PROPOSAL SKRIPSI
EFEKTIVITAS BLADDER TRAINING TERHADAP
RETENSI URIN PADA PASIEN BENIGNA PROSTATIC
HYPERPLASIA (BPH) POST OPERASI TRANS URETHRAL
PROSTATIC RESECTION (TURP)
DI RUANG CEMPAKA RSUD PASAR REBO DKI JAKARTA
OWIK HARIAWAN
NIM. 201613023
BAB I
PENDAHULUAN
BPH adalah suatu kondisi yang sering terjadi sebagai hasil dari pertumbuhan
dan pengendalian hormone prostat (Elin, 2011).
Komplikasi yang sering dialami oleh para penderita BPH yang sudah cukup
parah adalah adanya keluhan BAK macet atau retensi, terasa panas dan
perasaan tidak tuntas saat BAK Penanganan BPH dapat dilakukan dengan
berbagai cara antara lain watch full waiting, medikamentosa, dan tindakan
pembedahan. Transurethral resection prostate (TURP) menjadi salah satu
tindakan pembedahan yang paling umum dilakukan untuk mengatasi
pembesaran prostat (Ikatan Ahli Urologi Indonesia (IAUI), 2015)
Upaya perawatan post operasi yang dilakukan untuk mengatasi retensi urin
adalah dengan tindakan Bladder Training (BT). BT adalah salah satu upaya
untuk mengembalikan fungsi kandung kencing yang mengalami gangguan
kedalam keadaan normal atau fungsi optimal neurogenik (Syafar, 2011).
Latihan ini dilakukan dengan cara menahan atau menunda kencing pada
pasien yang terpasang kateter. Latihan ini dapat juga menggunakan
pengikatan pada saluran kateter selama 5 menit dalam waktu 2 jam sekali
kurang lebih selama 12 jam.
Data Rekam Medis RSUD Pasar Rebo Jakarta bulan Januari-Juli tahun 2018
berjumlah 86 pasien. Berdasarkan hasil wawancara terhadap 6 pasien post
operasi BPH, dua orang pasien mengatakan setelah kondisi membaik dan
selang kecing dilepas, mereka mengatakan BAK awalnya masih terasa agak
panas hingga akhirnya BAK lancar seperti biasanya. 4 orang pasien
mengatakan setelah pulang dari rumah sakit hari ke 2, mereka mengeluhkan
BAK macet dan terasa sakit sehingga mereka kembali dipasang selang
kencing . Tindakan perawat yang diambil pada saat kejadian seperti ini
biasanya adalah dengan memasang selang kencing kembali dan melakukan
spoel Nacl 0,9% untuk melancarkan saluran kemih bila ada sumbatan.
Berdasarkan kebiasaan yang dilakukan perawat di ruang bedah RSUD Pasar
Rebo BT yang dilakukan biasanya sekitar 12 jam dan bisa sampai 24 jam
sampai pasien dipulangkan ke rumah. Berdasarkan hasil konfirmasi dari
bidang keperawatan RSUD Pasar Rebo, sampai saat ini belum membuat SOP
(Standar Operasional Prosedur ) tentang latihan BT ini.
Berdasarkan permasalahan data - data data diatas maka peneliti tertarik untuk
melakukan penelitian yang berjudul “ Efektivitas Bladder Training terhadap
retensi urin pada pasien BPH post operasi TURP di Ruang Cempaka RSUD
Pasar Rebo
B. Rumusan Masalah
meningkatnya kadar kolesterol darah, pola makan tinggi lemak hewani, olah
raga, merokok, minuman beralkohol, penyakit Diabetes Mellitus dan aktifitas
seksual. BPH memiliki beberapa komplikasi diantaranya BAK macet, terasa
panas dan tidak tuntas saat BAK.
Penanganan yang dapat dilakukan pada BPH ini salah satunya adalah dengan
prosedur operasi yang biasa disebut dengan TURP. Kondisi yang mungkin
terjadi setelah operasi TURP ini adalah biasa terjadi retensi urin yang terjadi
setelah selang kencing dilepas. Tindakan mandiri perawat yang dapat
dilakukan untuk mengatasi keluhan tersebut adalah dengan pemberian latihan
bladder training guna mengurangi resiko retensi urin post operasi BPH.
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui efektivitas
bladder training terhadap retensi urin pada pasien BPH post operasi
TURP di Ruang Cempaka RSUD Pasar Rebo.
2. Tujuan Khusus
Tujuan khusus dari penelitian ini antara lain untuk:
a. Mengidentifikasi karakteristik responden berdasarkan umur pasien
yang mengalami retensi urin
b. Mengidentifikasi karakteristik responden berdasarkan obesitas pasien
yang mengalami retensi urin
c. Mengidentifikasi karakteristik responden berdasarkan merokok pasien
yang mengalami retensi urin
d. Mengidentifikasi karakteristik responden berdasarkan riwayat olahraga
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
c. Tanda
Tanda klinis terpenting BPH adalah ditemukannya pembesaran
konsistensi kenyal pada pemeriksaan colok dubur / digital rectal
examination (DRE). Hasil pemeriksaan fisik yang dilakukan apabila
teraba indurasi atau terdapat bagian yang teraba keras, perlu dipikirkan
kemungkinan prostat stadium 1 dan 2.
3. Klasifikasi BPH
Berdasarkan perkembangan penyakitnya secara klinis penyakit BPH
dibagi menjadi 4 gradiasi :
a. Derajat 1 : Ditemukan keluhan prostatismus, pada colok dubur
ditemukan penonjolan prostat, batas atas mudah teraba dan sisa urin
kurang dari 50 ml.
b. Derajat 2 : Ditemukan penonjolan prostat lebih jelas pada colok dubur
dan batas atas dapat dicapai, sedangkan sisa volum urin 50- 100 ml.
c. Derajat 3: Saat dilakukan pemeriksaan colok dubur batas atas prostat
tidak dapat diraba dan sisa volum urin lebih dari 100ml.
d. Derajat 4 : Sudah terjadi retensi urine total
4. Etiologi
Etiologi atau penyebab terjadinya BPH hingga saat ini belum diketahui
secara pasti, namun beberapa hipotesisi menyebutkan bahwa BPH erat
kaitanya dengan peningkatan kadar dehidrotestosteron (DHT) dan proses
menua. Terdapat perubahan mikroskopik pada prostat telah terjadi pada
pria usia 30-40 tahun. Perubahan mikroskopik ini berkembang, akan
terjadi perubahan patologik anatomi yang ada pada pria usia 50 tahun, dan
angka kejadiannya sekitar 50%, untuk usia 80 tahun angka kejadianya
10
ada mempunyai umur yang lebih panjang sehingga masa prostat jadi
lebih besar (Purnomo, 2011).
5. Patofisiologi
Pembesaran prostat menyebabkan penyempitan lumen uretra prostatika
dan menghambat aliran urine (Purnomo, 2011). Keadaan ini menyebabkan
peningkatan tekanan intravesikal. Buli-buli harus berkontraksi lebih kuat
dalam mengeluarkan urin guna melawan tahanan itu. Kontraksi yang terus
menerus ini menyebabkan perubahan anatomik buli-buli berupa hipertrofi
otot detrusor, trabekulasi, terbentuknya selula, sakula, dan divertikel buli-
buli. Perubahan struktur pada bulu-buli tersebut dikeluhkan pasien pada
saluran kemih sebelah bawah atau lower urinary tract symptom (LUTS)
yang dahulu dikenal dengan gejala prostatismus.
Tekanan intravesikal yang tinggi diteruskan ke seluruh bagian buli-buli
tidak terkecuali pada kedua muara ureter. Tekanan pada kedua muara
ureter ini dapat menimbulkan aliran balik urine dari buli-buli ke ureter
atau terjadi refluks vesiko ureter. Keadaan keadaan ini jIka berlangsung
terus akan mengakibatkan hidroureter, hidronefrosis, bahkan akhirnya
dapat jatuh ke dalam gagal ginjal (Purnomo, 2011).
6. Penatalaksanaan.
a. Observasi
Biasanya dilakukan pada pasien dengan keluhan ringan. Pasien
dianjurkan untuk mengurangi minum setelah makan malam yang
13
b. Residual urin.
Adalah jumlah sisa urin setelah BAK. Sisa urin dapat diukur dengan
cara melakukan kateterisasi setelah BAK atau ditentukan dengan
pemeriksaan USG setelah miksi.
d. Terapi medikamentosa
Tujuan dari obat-obat yang diberikan pada penderita BPH adalah :
1) Mengurangi pembesaran prostat dan membuat otot-otot berelaksasi
untuk mengurangi tekanan pada uretra
2) Mengurangi resistensi leher buli-buli dengan obat-obatan golongan
alfa blocker (penghambat alfa adrenergenik).
14
7. Pembedahan.
a. Pembedahan terbuka, beberapa teknik operasi prostatektomi terbuka
yang biasa digunakan adalah :
1) Prostatektomi suprapubik adalah salah satu metode mengangkat
kelenjar melalui insisi abdomen.
2) Prostatektomi perineal adalah suatu tindakan dengan mengangkat
kelenjar melalui suatu insisi dalam perineum.
3) Prostatektomi retropubik adalah tindakan lain yang dapat
dilakukan, dengan cara insisi abdomen rendah mendekati kelenjar
prostat, yaitu antara arkus pubis dan kandung kemih tanpa
memasuki kandung kemih.
8. Komplikasi
Menurut (IAUI, 2015) komplikasi BPH antara lain:
a. Retensi urin akut, terjadi apabila buli-buli menjadi dekompensasi
b. Infeksi saluran kemih
c. Involusi kontraksi kandung kemih
d. Refluk kandung kemih
e. Hidroureter dan hidronefrosis dapat terjadi karena produksi urin terus
berlanjut maka pada suatu saat buli-buli tidak mampu lagi menampung
urin yang akan mengakibatkan tekanan intravesika meningkat.
16
B. Retensi Urin
1. Pengertian.
Retensi urin adalah ketidakmampuan dalam mengeluarkan urine sesuai
dengan keinginan, sehingga urine yang terkumpul di buli-buli melampaui
batas maksimal. Penyebabnya adalah akibat penyempitan pada lumen
uretra karena fibrosis pada dindingnya, disebut dengan striktur uretra.
Penanganan kuratif penyakit ini adalah dengan operasi, namun tidak
jarang beberapa teknik operasi dapat menimbulkan rekurensi penyakit
yang tinggi bagi pasien (Purnomo, 2011). Kondisi retensi urin ini
diperlukan penanganan tepat dan adekuat untuk menghindari resiko
kekambuhan penyakit striktur uretra.
2. Etiologi
Retensi urin dibagi menurut lokasi kerusakan syaraf (Sulli, 2011):
a. Supravesikal, berupa kerusakan pada pusat kemih dimedulla spinalis
sakralis S2-S3 setinggi TH1-L1. Kerusakan terjadipada saraf simpatos
dan parasimpatis baik sebagian maupun seluruhnya.
b. Vesikal, berupa kelemahan otot destrusor karena lama teregang,
berhubungan dengan masa kehamilan dan proses persalinan (trauma
obstetrik).
c. Infravesikal (distal kandung kemih), berupa kekakuan leher vesika,
fimosis, stenosis meatus uretra, trauma uretra, batu uretra, sklerosis
leher kandung kemih (bladder neck sclerosis).
17
Penyebab retensi urin Secara garis besar retensi urin disebabkan oleh
(Selius & Subedi, 2008):
a. Obstruksi
b. Infeksi
c. Faktor farmakologi
d. Faktor neurologi
e. Faktor trauma
mengeluarkan urin.
4. Gambaran klinis
Menurut Pribakti ( 2011)
a. Jumlah residu urin lebih dari 150 ml dalam 24 jam
b. Ketidaknyamanan daerah pubis
c. Distensi vesika urinaria
d. Ketidaksanggupan berkemih
e. Sering berkemih saat vesika urinaria berisi sedikit urin (25-50 ml)
f. Ketidakseimbangan jumlah urin yang dikeluarkan dengan asupannya
g. Meningkat keresahan dan keinginan berkemih
h. Adanya urin sebanyak 3000-4000 ml dalam kandung kemih.
5. Pengobatan
Menurut Pribakti ( 2011)
Medikasi yang menggunakan bahan anti kolinergik, seperti trisiklik
antidepresan, dapat membuat retensi urine dengan cara menurunkan
kontraksi otot detrusor pada buli-buli. Obat-obat simpatomimetik, seperti
dekongestan oral, juga dapat menyebabkan retensi urine dengan
meningkatkan tonus alpha- adrenergik pada prostat dan leher buli-buli.
Studi terbaru obat anti radang non steroid ternyata berperan dalam
pengurangan kontraksi otot detrusor lewat inhibisi mediator prostaglandin.
c. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang dilakukan dengan mampu memilih berbagai
pemeriksaan yang dapat menunjang diagnosis, dianaranya adalah
pemeriksaan laboratorium, pencitraan (imaging). Pemeriksaan
penunjang mungkin diperlukan pada beberapa kasus yang lebih
bersifat spesialistik, yakni urolometri atau urodinamika,
elektromiografi, endourologi, dan laparoskopi (Purnomo, 2011).
C. Efektifitas
Kata efektif berasal dari bahasa inggris yaitu effective yang berarti sesuatu
yang dilakukan berhasil dengan baik. Kamus ilmiah popular mendefinisikan
efektifitas sebagai ketepatan penggunaan, hasil guna dan menunjang tujuan.
Efektifitas merupakan unsur pokok untuk mencapai tujuan atau sasaran yang
telah ditentukan didalam setiap organisasi kegiatan ataupun program. Bisa
disebut efektif apabila tercapai tujuan ataupun sasaran seperti yang telah
ditentukan.
2008).
D. Bladder Training
1. Pengertian
Terdapat tiga macam metode bladder training, yaitu kegel exercises
(latihan pengencangan atau penguatan otot-otot dasar panggul), Delay
urination (menunda berkemih), dan scheduled bathroom trips/jadwal
berkemih (Suhariyanto, 2009).
2. Tujuan
Tujuan dari bladder training adalah untuk melatih kandung kemih dan
mengembalikan pola normal perkemihan dengan menghambat atau
menstimulasi pengeluaran air kemih. Terapi ini bertujuan memperpanjang
21
d. Pelaksanaan.
1) Klien masih menggunakan kateter.
a) Prosedur 1 jam:
(1) Cuci tangan.
(2) Klien diberi mium setiap 1 jam sebanyak 200 cc dari pukul
07.00-19.00. Setiap kali klien diberi minum, kateter diklem.
(3) Kemudian, setiap jam kandung kemih dikosongkan mulai
pukul 08.00-20.00 dengan cara klem kateter dibuka.
(4) Pada malam hari (setelah pukul 20.00) buka klem kateter
dan klien boleh minum tanpa ketentuan seperti pada siang
hari.
(5) Prosedur terus diulang sampai berhasil.
b) Prosedur 2 jam:
(1) Cuci tangan.
(2) Klien diberi minum setiap 2 jam sebanyak 200 cc dari
pukul 07.00- 19.00. Setiap kali diberi minum, kateter
diklem.
(3) Kemudian, setiap jam kandung kemih dikosongkan mulai
pukul 08.00-21.00 dengan cara klem kateter dibuka.
(4) Pada malam hari (setelah pukul 21.00) buka klem kateter
dan klien boleh minum tanpa ketentuan seperti pada siang
hari.
(5) Prosedur terus diulang sampai berhasil.
E. Kerangka konsep
Bladder Training
Retensi urine
Karakteristik pasien Bedah Endrourologi
BPH (TURP) 1. Kelompok perlakuan
1. Umur 2. Kelompok kontrol
2. Obesitas
3. Merokok
4. Olahraga
5. Riwayat TURP
sebelumnya
BAB III
HIPOTESA PENELITIAN
A. Kerangka penelitian
Retensi urin
Bladder Training
B. DEFINISI OPERASIONAL
No. Variabel Definisi Operasional Cara ukur Alat Hasil Ukur Skala
Ukur Ukur
Variabel Independen
1. Bladder Upaya untuk mengembalikan SOP bladder Lembar 1. Dilakukan Nominal
Training fungsi kandung kemih yang training dan observasi BT
mengalami gangguan lembar checklist. 2. Tidak
kedalam kondisi normal atau
dilakukaan
neurogenik (Suharyanto,
2009) BT
Variabel Dependen
2. Retensi Urin Ketidakmampuan Lembar Lembar 1. Ya Nominal
dalam mengeluarkan urin observasi observasi 2. Tidak
sesuai dengan keinginan, frekuensi urin
sehingga urin yang per 24 jam.
terkumpul di buli-buli
melampaui batas maksimal,
apabila volume residu urin
lebih dari 150 ml dalam 24
jam (Purnomo, 2011)
28
C. Hipotesis Penelitian
Ha : Ada efektivitas bladder training terhadap retensi urin pada pasien BPH post
Ho : Tidak Ada efektivitas bladder training terhadap retensi urin pada pasien
BAB IV
METODE PENELITIAN
A. Desain Penelitian
hubungan antara gejala satu dengan gejala yang laian, atau variabel satu
1. Populasi
2. Sampel
a. Kriteria Inklusi
b. Kriteria Eksklusi
(Soefudin, 2005) :
{ }
2
Zα +Zβ
N= +3
0,5∈ [ ( 1+ r ) / ( 1−r ) ]
Keterangan :
N :Besar sampel
Zβ: Deviat baku beta, kesalaha tipe II: 10%, maka Zβ= 1,28
{ } { }
2 2
1,64+1,28 2,92
N= +3N= +3
0,5∈ [ ( 1+ 0,561 ) / (1−0,561 ) ] 0,5∈ [ ( 1,561 ) /0,439 ]
{ }
2
2,92
N= +3
0,5∈(1,91)
{ }
2
2,92
N= +3
0,261
2
N= { 4,218 } +3
N=17,791+3
N=20,79 atau 21
1. Alat penelitian
32
Menurut Wasis (2008). Instrumen adalah alat atau fasilitas yang di gunakan
Alat yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah lembar observasi
2. Pengumpulan data
melalui On-line.
ke responden
a. Editing
diisi, atau pengisian yang tidak sesuai dengan petunjuk dan tidak
yang ada.
c. Entry
program komputer.
d. Transferring
e. Tabulasi
2. Analisis
a. Univariat
Retensi Urin.
b. Bivariat
yang berpasangan sehingga uji data yang digunakan adalah uji Chi
Artinya jika taraf signifikansi kurang dari taraf nyata (0,05) maka terdapat
Sebaliknya jika taraf signifkansi sama atau lebih besar dari taraf nyata
F. Etika penelitian
BAB V
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang akan dilakukan maka dapat disimpulkan
penelitian ini akan menghubungkan Bladder Training terhadap retensi urin
pada pasien BPH Post operasi TURP.
B. Saran
1. Bagi RSUD Pasar Rebo
Diharapkan kepada pihak Rumah Sakit dapat mengevaluasi pentingnya
Bladder Training bagi pasien post Op TURP dengan BPH sehingga tidak
terjadi retensi urine post pemasangan Catheter pasien dengan BPH.
2. Bagi Perawat
Diharapkan kepada perawat untuk selalu menginformasikan kondisi
perkembangan kesehatan pasien kepada keluarga sampai keluarga
memahami kondisi/keadaannya.
3. Bagi Institusi Pendidikan
Hasil penelitian ini dapat dimasukkan dan digunakan sebagai bahan
pengembangan pengetahuan khususnya pada bidang keilmuan
Keperawatan Medikal Bedah
38
DAFTAR PUSTAKA
Ariane, Mc. Kinnon et al. (2011). Predictor of Acute Urinary Retention after
TransUrethral Resection of the Prostate: A Retrospective Chart Audit Society
Of Urology, Nurses and Associety Urology Nursing. Vol 31. H 4.
Fitri Mulyana. (2013). Penerapan Pre Operating Teaching pada klien dengan
masalah bedah Benign Prostate Hyperplasia Trans Urethral of the Prostate
(TURP) di Ruang Anggrek Tengah Kanan (Bedah Kelas 1) Rumah Sakit Umum
Pusat Persahabatan.Jakarta :RSUP Persahabatan.
Parsons, J.K. (2010). Benign Prostatic Hyperplasia and Male Lower Urinary
Tract Symptoms: Epidemiology & Risk factors Springer journal Curr Badder
Dysfunct Rep. 5. 212-218.
Potter & Perry. (2005). Buku Ajar Fundamental Keperawatan Edisi 4 vol 2.
Jakarta: EGC.
Purnomo, B. (2011). Dasar dasar Urologi. Edisi ketiga. Jakarta: CV Sagung Seto
Sabri, L,& Priyo, S, H. (2009). Edisi refisi statistic kesehatan. Jakarta. Rajapindo
Persada.
Sigit Ariyoso. (2012). Asuhan Keperawatan post operasi BPH pada Tn Y di
ruang Matahari RSI PKU Muhammadiyah Pekajang Pekalongan
Wiyono, D, dkk. (2016). Efektifitas bladder Training terhadap retensi urin pada
Pasien post operasi BPH di ruang mawar rsud dr. soehadi prijonegoro sragen
Sragen. Stikes Sragen.