Anda di halaman 1dari 39

1

PROPOSAL SKRIPSI
EFEKTIVITAS BLADDER TRAINING TERHADAP
RETENSI URIN PADA PASIEN BENIGNA PROSTATIC
HYPERPLASIA (BPH) POST OPERASI TRANS URETHRAL
PROSTATIC RESECTION (TURP)
DI RUANG CEMPAKA RSUD PASAR REBO DKI JAKARTA

OWIK HARIAWAN
NIM. 201613023

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN JAYAKARTA


PROGRAM STUDI SARJANA KEPERAWATAN
JAKARTA
2018
2

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

BPH adalah pembesaran kelenjar prostat yang dapat menyebabkan sumbatan


pada uretra pars prostatika sehingga mengakibatkan terhambatnya aliran urine
keluar dari buli-buli (Purnomo, 2008).

BPH adalah suatu kondisi yang sering terjadi sebagai hasil dari pertumbuhan
dan pengendalian hormone prostat (Elin, 2011).

Menurut data WHO (2013), diperkirakan terdapat sekitar 70 juta kasus


degeneratif, salah satunya ialah BPH, dengan insidensi di negara maju
sebanyak 19%, sedangkan di negara berkembang sebanyak 5.35% kasus.
BPH ini merupakan salah satu masalah genitourinari yang prevalensi dan
insidennya meningkat seiring dengan bertambahnya usia. Angka kejadian
BPH diketahui terjadi pada 70 persen pria berusia 60-69 tahun di Amerika
Serikat dan 80 persen pada pria berusia 70 tahun ke atas. Insiden BPH
diperkirakan akan meningkat mencapai 20 persen pada pria berusia 65 tahun
ke atas atau mencapai 20 juta pria pada tahun 2030 (Parsons, 2010). Data di
Amerika Serikat diperkirakan sekitar 10-12 juta orang dewasa mengalami
inkontinensia urine. Penduduk dunia sekitar 200 juta mengalami inkontinensia
urin (Data dari WHO, dalam Collein, 2012). Penderita inkontinensia
mencapai 13 juta dengan 85% diantaranya perempuan di Amerika Serikat.
Sekitar 50% usia lanjut diinstalasi perawatan kronis dan 11–30%
dimasyarakat mengalami inkontinensia urine. Prevalensinya meningkat
seiring dengan peningkatan umur (Elin, 2011).

Penyakit BPH di Indonesia menjadi urutan kedua setelah penyakit batu


saluran kemih di tahun 2005, jika dilihat secara umum diperkirakan hampir
50% pria di Indonesia yang berusia diatas 50 tahun mengalami penyakit
3

pembesaran prostat ( Hamawi, 2010). Tahun 2013 di Indonesia terdapat 9,2


juta kasus BPH, di antaranya diderita oleh laki-laki berusia di atas 60 tahun
(Adelia, 2017).

Komplikasi yang sering dialami oleh para penderita BPH yang sudah cukup
parah adalah adanya keluhan BAK macet atau retensi, terasa panas dan
perasaan tidak tuntas saat BAK Penanganan BPH dapat dilakukan dengan
berbagai cara antara lain watch full waiting, medikamentosa, dan tindakan
pembedahan. Transurethral resection prostate (TURP) menjadi salah satu
tindakan pembedahan yang paling umum dilakukan untuk mengatasi
pembesaran prostat (Ikatan Ahli Urologi Indonesia (IAUI), 2015)

Kasus BPH ini salah satu penanganannya adalah dengan prosedur


pembedahan yang biasa disebut dengan prosedur TURP (Transurethral
Resection of the Prostate). Efek dari tindakan operasi ini adalah keluhan
BAK kemerahan dan terjadi retensi urin yang disebabkan oleh adanya cloth
yang menyumbat di saluran kemih.

Upaya perawatan post operasi yang dilakukan untuk mengatasi retensi urin
adalah dengan tindakan Bladder Training (BT). BT adalah salah satu upaya
untuk mengembalikan fungsi kandung kencing yang mengalami gangguan
kedalam keadaan normal atau fungsi optimal neurogenik (Syafar, 2011).
Latihan ini dilakukan dengan cara menahan atau menunda kencing pada
pasien yang terpasang kateter. Latihan ini dapat juga menggunakan
pengikatan pada saluran kateter selama 5 menit dalam waktu 2 jam sekali
kurang lebih selama 12 jam.

Hasil penelitian dari Santosa (2015) menyatakan bahwa kombinasi latihan BT


dan muscle pelvic exercise ternyata efektif dalam perbaiki fungsi eliminasi
kemih pada pasien BPH pasca operasi TVP (Trans Vesika Prostatectomy).

Penelitian ini juga didukung oleh penelitian Hinora (2014) menyebutkan


4

bahwa bladder training dapat meningkatkan kemampuan berkemih pada


pasien retensi urin yang terpasang kateter. Penelitian lain yang mendukung
adalah penelitian yang dilakukan oleh Wahyu Hidayati, (2011) menjelaskan
bahwa terdapat pengaruh latihan BT terhadap penurunan jumlah residu urin
pada pasien stroke yang terpasang kateter urin.

Data Rekam Medis RSUD Pasar Rebo Jakarta bulan Januari-Juli tahun 2018
berjumlah 86 pasien. Berdasarkan hasil wawancara terhadap 6 pasien post
operasi BPH, dua orang pasien mengatakan setelah kondisi membaik dan
selang kecing dilepas, mereka mengatakan BAK awalnya masih terasa agak
panas hingga akhirnya BAK lancar seperti biasanya. 4 orang pasien
mengatakan setelah pulang dari rumah sakit hari ke 2, mereka mengeluhkan
BAK macet dan terasa sakit sehingga mereka kembali dipasang selang
kencing . Tindakan perawat yang diambil pada saat kejadian seperti ini
biasanya adalah dengan memasang selang kencing kembali dan melakukan
spoel Nacl 0,9% untuk melancarkan saluran kemih bila ada sumbatan.
Berdasarkan kebiasaan yang dilakukan perawat di ruang bedah RSUD Pasar
Rebo BT yang dilakukan biasanya sekitar 12 jam dan bisa sampai 24 jam
sampai pasien dipulangkan ke rumah. Berdasarkan hasil konfirmasi dari
bidang keperawatan RSUD Pasar Rebo, sampai saat ini belum membuat SOP
(Standar Operasional Prosedur ) tentang latihan BT ini.

Berdasarkan permasalahan data - data data diatas maka peneliti tertarik untuk
melakukan penelitian yang berjudul “ Efektivitas Bladder Training terhadap
retensi urin pada pasien BPH post operasi TURP di Ruang Cempaka RSUD
Pasar Rebo

B. Rumusan Masalah

Pembesaran kelenjar prostat / BPH adalah salah satu masalah genitourinari


yang cukup serius bila tidak segera ditangani dengan tepat. Faktor resiko
terjadinya BPH antara lain faktor penuaan, obesitas, usia, riwayat keluarga,
5

meningkatnya kadar kolesterol darah, pola makan tinggi lemak hewani, olah
raga, merokok, minuman beralkohol, penyakit Diabetes Mellitus dan aktifitas
seksual. BPH memiliki beberapa komplikasi diantaranya BAK macet, terasa
panas dan tidak tuntas saat BAK.

Penanganan yang dapat dilakukan pada BPH ini salah satunya adalah dengan
prosedur operasi yang biasa disebut dengan TURP. Kondisi yang mungkin
terjadi setelah operasi TURP ini adalah biasa terjadi retensi urin yang terjadi
setelah selang kencing dilepas. Tindakan mandiri perawat yang dapat
dilakukan untuk mengatasi keluhan tersebut adalah dengan pemberian latihan
bladder training guna mengurangi resiko retensi urin post operasi BPH.

Berdasarkan uraian rumusan masalah tersebut, peneliti dapat merumuskan


permasalahan dalam penelitian ini adalah “Bagaimanakah efektivitas bladder
training terhadap retensi urin pada pasien BPH post operasi TURP di Ruang
Cempaka RSUD Pasar Rebo

C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui efektivitas
bladder training terhadap retensi urin pada pasien BPH post operasi
TURP di Ruang Cempaka RSUD Pasar Rebo.

2. Tujuan Khusus
Tujuan khusus dari penelitian ini antara lain untuk:
a. Mengidentifikasi karakteristik responden berdasarkan umur pasien
yang mengalami retensi urin
b. Mengidentifikasi karakteristik responden berdasarkan obesitas pasien
yang mengalami retensi urin
c. Mengidentifikasi karakteristik responden berdasarkan merokok pasien
yang mengalami retensi urin
d. Mengidentifikasi karakteristik responden berdasarkan riwayat olahraga
6

pasien yang mengalami retensi urin


e. Mengidentifikasi karakteristik responden berdasarkan riwayat operasi
TURP sebelumnya pasien yang mengalami retensi urin
f. Mengidentifikasi pre dan post retensi urin pada kelompok perlakuan
pasien BPH post operasi TURP di ruang Cempaka RSUD Pasar Rebo.
g. Mengidentifikasi efektifitas bladder training terhadap retensi urin
pada pasien BPH post operasi TURP di Ruang ruang Cempaka RSUD
Pasar Rebo.

D. Manfaat penelitian bagi Rumah Sakit / masyarakat


1. Bagi pasien / masyarakat.
Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dalam mengurangi resiko
retensi urin dan meningkatkan kenyamanan serta kepuasan pada pasien
BPH post operasi TURP yang dirawat di rumah sakit dengan post operasi
2. Bagi perawat atau rumah sakit RSUD Pasar Rebo.
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi panduan dalam bekerja terutama
dalam melakukan tindakan bladder training dan sebagai acuan dalam
membuat SOP (Standar Operasional Prosedur) khusunya dalam teknik
Bladder training yang tepat pada pasien BPH post operasi TURP.
3. Manfaat bagi institusi pendidikan.
Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai sumber literatur untuk materi
pembelajaran dan juga berguna untuk menambah pengetahuan dan
wawasan khususnya tentang pengaruh bladder training terhadap retensi
urin pada pasien BPH post operasi TURP .
4. Manfaat bagi penelitian lain.
Hasil penelitian ini diharapkan mampu menjadi sumber data untuk
memotivasi pelaksanaan penelitian yang lebih baik di waktu yang akan
datang.
7

5. Manfaat bagi peneliti.


Penelitian ini diharapkan dapat menambah pengalaman dan pengetahuan
dalam hal efektivitas bladder training terhadap retensi urin pada pasien
BPH post operasi TURP.
8

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Benigna Prostat Hipertofi (BPH)


1. Pengertian BPH

BPH adalah pembesaran kelenjar prostat yang dapat menyebabkan uretra


pars prostatika dan menyebabkan terhambatnya aliran urine keluar dari
buli-buli(Purnomo,2008).

BPH adalah pembesanan prostat yang jinak bervariasi berupa hiperplasia


kelenjar atau hiperplasia fibromuskular. Namun orang sering
menyebutnya dengan hipertropi prostat namun secarahistologi yang
dominan adalah hyperplasia (David, 2008).

BPH adalah pembesaran progresif dari kelenjar prostat , bersifat jinak


disebabkan oleh hypertrophi beberapa atau semua komponen prostat yang
mengakibatkan penyumbatan uretra pars prostatika (Mutakin & Sari,
2011).

BPH adalah diagnosis histologikal, yaitu proliferasi jaringan ikat, otot


polos, dan epitel kelenjar pada zona transisi prostat yang tidak terkendali.
Secara klinis BPH didiagnosis ketika terjadi obstruksi saluran kemih yang
diakibatkan oleh pembesaran prostat (Vuichoud & Loughlin, 2015).

2. Gejala dan Tanda


Gejala BPH dapat digolongkan menjadi dua kelompok yaitu gejala
obstruktif dan gejala iritatif :
a. Gejala obstruktif meliputi hesitancy, pancaran BAK lemah (loss of
force), pancaran BAK terputus-putus (intermitency), tidak tuntas saat
selesai berkemih (sense of residual urine), rasa ingin BAK lagi
sesudah BAK (double voiding) dan keluarnya sisa BAK pada akhir
berkemih (terminal dribbling).
9

b. Gejala iritatif adalah frekuensi BAK yang tidak normal (polakisuria),


terbangun di tengah malam karena sering BAK (nocturia), sulit
menahan BAK (urgency), dan rasa sakit waktu BAK (disuria), kadang
juga terjadi BAK berdarah (hematuria).

c. Tanda
Tanda klinis terpenting BPH adalah ditemukannya pembesaran
konsistensi kenyal pada pemeriksaan colok dubur / digital rectal
examination (DRE). Hasil pemeriksaan fisik yang dilakukan apabila
teraba indurasi atau terdapat bagian yang teraba keras, perlu dipikirkan
kemungkinan prostat stadium 1 dan 2.

3. Klasifikasi BPH
Berdasarkan perkembangan penyakitnya secara klinis penyakit BPH
dibagi menjadi 4 gradiasi :
a. Derajat 1 : Ditemukan keluhan prostatismus, pada colok dubur
ditemukan penonjolan prostat, batas atas mudah teraba dan sisa urin
kurang dari 50 ml.
b. Derajat 2 : Ditemukan penonjolan prostat lebih jelas pada colok dubur
dan batas atas dapat dicapai, sedangkan sisa volum urin 50- 100 ml.
c. Derajat 3: Saat dilakukan pemeriksaan colok dubur batas atas prostat
tidak dapat diraba dan sisa volum urin lebih dari 100ml.
d. Derajat 4 : Sudah terjadi retensi urine total

4. Etiologi
Etiologi atau penyebab terjadinya BPH hingga saat ini belum diketahui
secara pasti, namun beberapa hipotesisi menyebutkan bahwa BPH erat
kaitanya dengan peningkatan kadar dehidrotestosteron (DHT) dan proses
menua. Terdapat perubahan mikroskopik pada prostat telah terjadi pada
pria usia 30-40 tahun. Perubahan mikroskopik ini berkembang, akan
terjadi perubahan patologik anatomi yang ada pada pria usia 50 tahun, dan
angka kejadiannya sekitar 50%, untuk usia 80 tahun angka kejadianya
10

sekitar 80%, dan usia 90 tahun sekitar 100% (Purnomo, 2011)


Etiologi yang belum jelas maka melahirkan beberapa hipotesa yang
diduga menjadi penyebab timbulnya Benigna Prosat. Teori tentang
penyebab BPH meliputi: Teori Dehidrotestosteron (DHT), teori hormon
(ketidakseimbangan antara estrogen dan testosteron), faktor interaksi
stroma dan epitel-epitel, teori berkurangnya kematian sel (apoptosis), teori
sel stem (Purnomo, 2011).

a) Teori Dehidrotestosteron (DHT)


Dehidrotestosteron (DHT) adalah metabolit androgen yang sangat
penting pada pertumbuhan sel-sel kelenjar prostat. Aksis hipofisis
testis dan reduksi testosteron menjadi dehidrotestosteron (DHT) dalam
sel prostad merupakan factor terjadinya penetrasi DHT kedalam inti
sel yang dapat menyebabkan inskripsi pada RNA, sehingga dapat
menyebabkan terjadinya sintesis protein yang menstimulasi
pertumbuhan sel prostat. Pada berbagai penelitian dikatakan bahwa
kadar DHT pada BPH tidak jauh berbeda dengan kadarnya pada
prostat normal, hanya saja pada BPH, aktivitas enzim 5alfa –reduktase
dan jumlah reseptor androgen lebih banyak pada BPH. Hal ini
menyebabkan sel-sel prostat pada BPH lebih sensitive terhadap DHT
sehingga replikasi sel lebih banyak terjadi dibandingkan dengan
prostat normal (Purnomo, 2011).

b) Teori hormon ( ketidakseimbangan antara estrogen dan testosteron)


Usia yang semakin tua, menyebabkan terjadinya penurunan kadar
testosteron sedangkan kadar estrogen relative tetap, sehingga terjadi
perbandingan antara kadar estrogen dan testosterone relatif meningkat.
Hormon estrogen didalam prostat memiliki peranan dalam terjadinya
poliferasi sel-sel kelenjar prostat dengan cara meningkatkan jumlah
reseptor androgen, dan menurunkan jumlah kematian sel-sel prostat
(apoptosis). Rangsangan terbentuknya sel-sel baru akibat rangsangan
testosterone meningkat, akan menyebabkan sel-sel prostat yang telah
11

ada mempunyai umur yang lebih panjang sehingga masa prostat jadi
lebih besar (Purnomo, 2011).

c) Faktor interaksi Stroma dan epitel epitel.


Diferensiasi dan pertumbuhan sel epitel prostat secara tidak langsung
dikontrol oleh sel-sel stroma melalui suatu mediator yang disebut
Growth factor. DHT dan estradiol menstimulasi sel-sel stroma setelah
itu sel-sel stroma mensintesis suatu growth factor yang selanjutnya
mempengaruhi sel-sel stroma itu sendiri intrakrin dan autokrin, serta
mempengaruhi sel-sel epitel parakrin. Stimulasi itu menyebabkan
terjadinya poliferasi sel-sel epitel maupun sel stroma. Basic Fibroblast
Growth Factor (bFGF) dapat menstimulasi sel stroma dan ditemukan
dengan konsentrasi yang lebih besar pada pasien dengan pembesaran
prostad jinak. bFGF dapat diakibatkan oleh adanya mikrotrauma
karena miksi, ejakulasi atau infeksi (Purnomo, 2011).

d) Teori berkurangnya kematian sel (apoptosis)


Progam kematian sel (apoptosis) pada sel prostat adalah mekanisme
fisiologik untuk mempertahankan homeostatis kelenjar prostat.
Kondensasi dan fragmentasi sel terjadi pada apoptosis ini, yang
selanjutnya sel-sel yang mengalami apoptosis akan difagositosis oleh
sel-sel di sekitarnya, kemudian didegradasi oleh enzim lisosom.
Terdapat keseimbangan antara laju poliferasi sel dengan kematian sel
pada jaringan normal. Pertumbuhan prostat sampai pada prostat
dewasa terjadi, penambahan jumlah sel-sel prostat baru dengan yang
mati dalam keadaan seimbang. Berkurangnya jumlah sel-sel prostat
baru dengan prostat yang mengalami apoptosis menyebabkan jumlah
sel-sel prostat secara keseluruhan menjadi meningkat, sehingga terjadi
pertambahan masa prostat (Purnomo, 2011).
12

e) Teori sel stem


Sel-sel yang telah apoptosis selalu dapat diganti dengan sel-sel baru.
Istilah tersebut di dalam kelenjar prostat dikenal dengan suatu sel
stem yaitu sel yang mempunyai kemampuan berpoliferasi sangat
ekstensif. Kehidupan sel ini sangat tergantung pada keberadaan
hormone androgen, sehingga jika hormon androgen kadarnya
menurun, akan terjadi apoptosis. Terjadinya poliferasi sel-sel BPH
dipostulasikan sebagai ketidaktepatan aktivitas sel stem sehingga
terjadi produksi yang berlebihan sel stroma maupun sel epitel
(Purnomo, 2011).

5. Patofisiologi
Pembesaran prostat menyebabkan penyempitan lumen uretra prostatika
dan menghambat aliran urine (Purnomo, 2011). Keadaan ini menyebabkan
peningkatan tekanan intravesikal. Buli-buli harus berkontraksi lebih kuat
dalam mengeluarkan urin guna melawan tahanan itu. Kontraksi yang terus
menerus ini menyebabkan perubahan anatomik buli-buli berupa hipertrofi
otot detrusor, trabekulasi, terbentuknya selula, sakula, dan divertikel buli-
buli. Perubahan struktur pada bulu-buli tersebut dikeluhkan pasien pada
saluran kemih sebelah bawah atau lower urinary tract symptom (LUTS)
yang dahulu dikenal dengan gejala prostatismus.
Tekanan intravesikal yang tinggi diteruskan ke seluruh bagian buli-buli
tidak terkecuali pada kedua muara ureter. Tekanan pada kedua muara
ureter ini dapat menimbulkan aliran balik urine dari buli-buli ke ureter
atau terjadi refluks vesiko ureter. Keadaan keadaan ini jIka berlangsung
terus akan mengakibatkan hidroureter, hidronefrosis, bahkan akhirnya
dapat jatuh ke dalam gagal ginjal (Purnomo, 2011).

6. Penatalaksanaan.
a. Observasi
Biasanya dilakukan pada pasien dengan keluhan ringan. Pasien
dianjurkan untuk mengurangi minum setelah makan malam yang
13

ditujukan agar tidak terjadi nokturia, menghindari obat-obat


dekongestan (parasimpatolitik), mengurangi minum kopi dan tidak
diperbolehkan minum alkohol agar tidak terlalu sering BAK. Pasien
dianjurkan untuk menghindari mengangkat barang yang berat agar
perdarahan dapat dicegah. Ajurkan pasien agar sering mengosongkan
kandung kemih (jangan menahan BAK terlalu lama) untuk
menghindari distensi kandung kemih dan hipertrofi kandung kemih.
Secara periodik pasien dianjurkan untuk melakukan kontrol keluhan,
pemeriksaan laboratorium, sisa kencing dan pemeriksaan colok dubur
(IAUI, 2015). Pemeriksaan derajat obstruksi prostat dapat diperkirakan
dengan mengukur residual urin dan pancaran urin:

b. Residual urin.
Adalah jumlah sisa urin setelah BAK. Sisa urin dapat diukur dengan
cara melakukan kateterisasi setelah BAK atau ditentukan dengan
pemeriksaan USG setelah miksi.

c. Pancaran urin (flow rate).


Dapat dihitung dengan cara menghitung jumlah urin dibagi dengan
lamanya BAK berlangsung (ml/detik) atau dengan alat urofometri
yang menyajikan gambaran grafik pancaran urin.

d. Terapi medikamentosa
Tujuan dari obat-obat yang diberikan pada penderita BPH adalah :
1) Mengurangi pembesaran prostat dan membuat otot-otot berelaksasi
untuk mengurangi tekanan pada uretra
2) Mengurangi resistensi leher buli-buli dengan obat-obatan golongan
alfa blocker (penghambat alfa adrenergenik).
14

7. Pembedahan.
a. Pembedahan terbuka, beberapa teknik operasi prostatektomi terbuka
yang biasa digunakan adalah :
1) Prostatektomi suprapubik adalah salah satu metode mengangkat
kelenjar melalui insisi abdomen.
2) Prostatektomi perineal adalah suatu tindakan dengan mengangkat
kelenjar melalui suatu insisi dalam perineum.
3) Prostatektomi retropubik adalah tindakan lain yang dapat
dilakukan, dengan cara insisi abdomen rendah mendekati kelenjar
prostat, yaitu antara arkus pubis dan kandung kemih tanpa
memasuki kandung kemih.

b. Pembedahan endourologi, pembedahan endourologi transurethral


dapat dilakukan dengan memakai tenaga elektrik diantaranya:
1) Transurethral Prostatic Resection (TURP) merupakan tindakan
operasi yang paling banyak dilakukan, reseksi kelenjar prostat
dilakukan dengan transuretra menggunakan cairan irigan
(pembilas) agar daerah yang akan dioperasi tidak tertutup darah.
2) Transurethral Incision of the Prostate (TUIP)adalah tindakan ini
dilakukan apabila volume prostat tidak terlalu besar atau prostat
fibrotic.

c. Terapi invasif minimal


Terapai invasive minimal dilakukan pada pasien dengan resiko tinggi
terhadap tindakan pembedahan. Terapi invasive minimal diantaranya
Transurethral Microvawe Thermotherapy (TUMT), Transuretral
Ballon Dilatation (TUBD), ransuretral Needle Ablation/Ablasi jarum
Transuretra (TUNA), Pemasangan stent uretra atau prostatcatt
(Purnomo, 2011).

1) Transurethral Microvawe Thermotherapy (TUMT), jenis


pengobatan ini hanya dapat dilakukan di beberapa rumah sakit
besar. Dilakukan dengan cara pemanasan prostat menggunakan
15

gelombang mikro yang disalurkan ke kelenjar prostat melalui


transducer yang diletakkan di uretra pars prostatika, yang
diharapkan jaringan prostat menjadi lembek. Alat yang dipakai antara lain
prostat.
2) Transuretral Ballon Dilatation (TUBD), pada tehnik ini dilakukan
dilatasi (pelebaran) saluran kemih yang berada di prostat dengan
menggunakan balon yang dimasukkan melalui kateter. Teknik ini
efektif pada pasien dengan prostat kecil, kurang dari 40 cm3.
Meskipun dapat menghasilkan perbaikan gejala sumbatan, namun
efek ini hanya sementar, sehingga cara ini sekarang jarang
digunakan.
3) Transuretral Needle Ablation (TUNA), pada teknik ini memakai
energy dari frekuensi radio yang menimbulkan panas mencapai 100
derajat selsius, sehingga menyebabkan nekrosis jaringan prostat.
Pasien yang menjalani TUNA sering kali mengeluh hematuri,
disuria, dan kadang-kadang terjadi retensi urine (Purnomo, 2011).
4) Pemasangan stent uretra atau prostatcatth yang dipasang pada
uretra prostatika untuk mengatasi obstruksi karena pembesaran
prostat, selain itu supaya uretra prostatika selalu terbuka, sehingga
urin leluasa melewati lumen uretra prostatika. Pemasangan alat ini
ditujukan bagi pasien yang tidak mungkin menjalani operasi karena
resiko pembedahan yang cukup tinggi.

8. Komplikasi
Menurut (IAUI, 2015) komplikasi BPH antara lain:
a. Retensi urin akut, terjadi apabila buli-buli menjadi dekompensasi
b. Infeksi saluran kemih
c. Involusi kontraksi kandung kemih
d. Refluk kandung kemih
e. Hidroureter dan hidronefrosis dapat terjadi karena produksi urin terus
berlanjut maka pada suatu saat buli-buli tidak mampu lagi menampung
urin yang akan mengakibatkan tekanan intravesika meningkat.
16

f. Gagal ginjal bisa dipercepat jika terjadi infeksi


g. Hematuri, terjadi karena selalu terdapat sisa urin, sehingga dapat
terbentuk batu endapan dalam buli-buli, batu ini akan menambah
keluhan iritasi. Batu tersebut dapat pula menibulkan sistitis, dan bila
terjadi refluks dapat mengakibatkan pielonefritis.

B. Retensi Urin

1. Pengertian.
Retensi urin adalah ketidakmampuan dalam mengeluarkan urine sesuai
dengan keinginan, sehingga urine yang terkumpul di buli-buli melampaui
batas maksimal. Penyebabnya adalah akibat penyempitan pada lumen
uretra karena fibrosis pada dindingnya, disebut dengan striktur uretra.
Penanganan kuratif penyakit ini adalah dengan operasi, namun tidak
jarang beberapa teknik operasi dapat menimbulkan rekurensi penyakit
yang tinggi bagi pasien (Purnomo, 2011). Kondisi retensi urin ini
diperlukan penanganan tepat dan adekuat untuk menghindari resiko
kekambuhan penyakit striktur uretra.

2. Etiologi
Retensi urin dibagi menurut lokasi kerusakan syaraf (Sulli, 2011):
a. Supravesikal, berupa kerusakan pada pusat kemih dimedulla spinalis
sakralis S2-S3 setinggi TH1-L1. Kerusakan terjadipada saraf simpatos
dan parasimpatis baik sebagian maupun seluruhnya.
b. Vesikal, berupa kelemahan otot destrusor karena lama teregang,
berhubungan dengan masa kehamilan dan proses persalinan (trauma
obstetrik).
c. Infravesikal (distal kandung kemih), berupa kekakuan leher vesika,
fimosis, stenosis meatus uretra, trauma uretra, batu uretra, sklerosis
leher kandung kemih (bladder neck sclerosis).
17

Penyebab retensi urin Secara garis besar retensi urin disebabkan oleh
(Selius & Subedi, 2008):
a. Obstruksi
b. Infeksi
c. Faktor farmakologi
d. Faktor neurologi
e. Faktor trauma

3. Klasifikasi Retensi Urin :


a. Retensi urin akut

Retensi urin akut penderitanya seakan-akan tidak dapat berkemih


(BAK). Kandung kemih terasa sakit yang hebat didaerah suprapubik
dan hasrat ingin BAK yang hebat disertai mengejan. Sering kali urin
keluar menetes atau sedikit-sedikit (Kapita Selekta Kedokteran, 2008).
Kasus retensi akut ini bila penyebabnya tidak segera ditemukan maka
kerusakan lebih berat yang sifatnya permanen dapat terjadi, karena
otot destrusor atau ganglia parasimpatik pada kandung kemih menjadi
tidak dapat berkompromi (Pribakti, 2011).

b. Retensi urin kronis


Penderita secara perlahan dalam waktu yang lama tidak dapat BAK,
merasakan nyeri didaerah suprapubik hanya sedikit atau tidak sama
sekali walaupun kandung kemihpenuh (Kapita Selekta Kedokteran,
2000).
Terdapat masalah khusus pada retensi urin kronis akibat peningkatan
tekanan intravesikal yang menyebabkan refluks uretra, infeksi saluran
kemih atas dan penurunan fungsi ginjal (Pribakti, 2011).
Retensi urin juga dapat terjadi sebagian dan total:
a) Retensi urin sebagian yaitu penderita masih bisa mengeluarkan
urin tetapi terdapat sisa urin yang cukup banyak dalam kandung
kemih.
b) Retensi urin total yaitu penderita sama sekali tidak dapat
18

mengeluarkan urin.

4. Gambaran klinis
Menurut Pribakti ( 2011)
a. Jumlah residu urin lebih dari 150 ml dalam 24 jam
b. Ketidaknyamanan daerah pubis
c. Distensi vesika urinaria
d. Ketidaksanggupan berkemih
e. Sering berkemih saat vesika urinaria berisi sedikit urin (25-50 ml)
f. Ketidakseimbangan jumlah urin yang dikeluarkan dengan asupannya
g. Meningkat keresahan dan keinginan berkemih
h. Adanya urin sebanyak 3000-4000 ml dalam kandung kemih.

5. Pengobatan
Menurut Pribakti ( 2011)
Medikasi yang menggunakan bahan anti kolinergik, seperti trisiklik
antidepresan, dapat membuat retensi urine dengan cara menurunkan
kontraksi otot detrusor pada buli-buli. Obat-obat simpatomimetik, seperti
dekongestan oral, juga dapat menyebabkan retensi urine dengan
meningkatkan tonus alpha- adrenergik pada prostat dan leher buli-buli.
Studi terbaru obat anti radang non steroid ternyata berperan dalam
pengurangan kontraksi otot detrusor lewat inhibisi mediator prostaglandin.

6. Pengkajian Retensi Urin


a. Pemeriksaan Subjektif
Pemeriksaan sebjektif dengan mencermati keluhan yang disampaikan
oleh pasien dan yang digali melalui anamnesis sitematik.
b. Pemeriksaan Objektif
Pemeriksaan objektif yaitu dengan melakukan pemeriksaan fisik
terhadap pasien untuk mencari data-data yang objektif mengenai
keadaan pasien.
19

c. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang dilakukan dengan mampu memilih berbagai
pemeriksaan yang dapat menunjang diagnosis, dianaranya adalah
pemeriksaan laboratorium, pencitraan (imaging). Pemeriksaan
penunjang mungkin diperlukan pada beberapa kasus yang lebih
bersifat spesialistik, yakni urolometri atau urodinamika,
elektromiografi, endourologi, dan laparoskopi (Purnomo, 2011).

C. Efektifitas

Kata efektif berasal dari bahasa inggris yaitu effective yang berarti sesuatu
yang dilakukan berhasil dengan baik. Kamus ilmiah popular mendefinisikan
efektifitas sebagai ketepatan penggunaan, hasil guna dan menunjang tujuan.
Efektifitas merupakan unsur pokok untuk mencapai tujuan atau sasaran yang
telah ditentukan didalam setiap organisasi kegiatan ataupun program. Bisa
disebut efektif apabila tercapai tujuan ataupun sasaran seperti yang telah
ditentukan.

Pada dasarnya pengertian efektifitas yang umum menunjukkan pada taraf


tercapainya hasil. Senantiasa dikaitkan dengan pengertian efisien, meskipun
sebenarnya ada perbedaan diantara keduanya. Efektifitas menekankan pada
hal yang dicapai, sedangkan efisiensi lebih melihat pada bagaimana cara
mencapai hasil yang dicapai itu dengan membandingkan antara input dan
outputnya. Istilah efektife (effective) dan efisien (efficient) merupakan dua
istilah yang saling berkaitan dan patut dihayati dalam upaya untuk mencapai
tujuan suatu organisasi (Simamora, 2008).

Efektivitas adalah tingkat keberhasilan dalam mencapai tujuan atau sasaran.


Efektifitas ini sesungguhnya merupakan suatu konsep yang lebih luas
mencakup berbagai factor didalam maupun diluar diri seorang.
Dengandemikian efektivitas tiadak hanya dapat dilihat dari sisi produktivitas,
tetapi juga dapat dilihat dari sisi persepsi atau sikap individu (Simamora,
20

2008).

Menurut Chester I Barner didalam kebijakan kinerja karyawan menjelaskan


bahwa arti efektif dan efisien adalah sebagai berikut :When aspecific desired
end is attained we shall say that the action is effective. When the unsought
consequences of the action are more important than the attainment of the
desaired end and are unimportant or trival, the actionis efficient. Accordingly,
we shall say that an action is effective if it specific objective aim. It is efficient
if it satisfies the motives of the aim, whatever it is effective or not. (Bila suatu
tujuan tertentu akhirnya dapat dicapai, kita boleh mengatakan bahwa kegiatan
tersebut adalah efektif. Tetapi bila akibat-akibat yang tidak dicapai dari
kegiatan mempunyai nilai yang lebih pentingdibandingkan dengan hasil yang
dicapai, sehingga mengakibatkan ketidak puasan walaupun efektif, hal ini
disebut tidak efisien. Sebaliknya bila akibat yang tidak dicari-cari, tidak
penting atau remeh, maka kegiatan tersebutefisien. Sehubungan dengan itu,
kita dapat mengatakan sesuatu efektif bila mencapai tujuan tertentu. Dikatakan
efisien bila hal itu memuaskan sebagai pendorong mencapai tujuan, terlepas
apakah efektif atau tidak). Dilain pihak Efektivitas adalah kemampuan untu
memilih tujuan yang tepat. (Kapita Selekta kedokteran, 2008).

D. Bladder Training
1. Pengertian
Terdapat tiga macam metode bladder training, yaitu kegel exercises
(latihan pengencangan atau penguatan otot-otot dasar panggul), Delay
urination (menunda berkemih), dan scheduled bathroom trips/jadwal
berkemih (Suhariyanto, 2009).

2. Tujuan
Tujuan dari bladder training adalah untuk melatih kandung kemih dan
mengembalikan pola normal perkemihan dengan menghambat atau
menstimulasi pengeluaran air kemih. Terapi ini bertujuan memperpanjang
21

interval berkemih yang normal dengan berbagai teknik distraksi atau


teknik relaksasi sehingga frekuensi berkemih dapat berkurang, hanya 6-7
kali per hari atau 2-3 jam sekali. Melalui latihan, penderita diharapkan
dapat menahan sensasi berkemih. Latihan ini dilakukan pada pasien pasca
bedah yang di pasang kateter (Suharyanto, 2009).

Secara umum bladder training dilakukan sejak sebelum kateter dilepas


hingga setelah kateter dilepas. Pada pasien dengan kateter menetap dapat
dilakukan tindakan bladder training rutin setiap hari. Bladder training
yang dilakukan rutin setiap hari, hasilnya sangat membantu dalam
mempertahankan kondisi normal maupun mengembalikan ke keadaan
semula pada pasien gangguan pola berkemih akibat kateterisasi
(Widiastuti, 2012).

Pada pasien yang dikateterisasi meskipun telah dilakukan bladder


training sebelum dibuka, belum mendapatkan pola berkemih yang optimal
karena kemunduran akibat pengaruh kateterisasi belum dapat
dikembalikan. Kurangnya latihan pada otot-otot destrusor di kandung
kemih menyebabkan kemampuan kandung kemih untuk mengembang
berkurang sehingga kapasitas dalam kandung kemih pun menjadi
menurun.

3. Indikasi Bladder Training


Bladder Training dapat dilakukan pada pasien yang mengalami retensi
urin, pada pasien yang terpasang kateter dalam waktu yang lama sehingga
fungsi spingter kandung kemih terganggu (Suharyanto, 2009). Bladder
training juga bisa dilakukan pada pasien yang menggunakan kateter yang
lama, dan pasien yang mengalami retensi urin.
22

4. Kontribusi Bladder Training

Menurut Potter dan Perry dalam Mardhotillah (2016) kontibusi atau


manfaat Bladder Training adalah :
a. Mengembalikan fungsi kandung kencing yang mengalami gangguan
ke keadaan normal atau ke fungsi optimal neurogenik
b. Memperpanjang interval berkemih yang normal dengan berbagai
teknik distraksi atau teknik relaksasi.
c. Dapat menahan sensasi berkemih.
d. Untuk mengurangi gejala dari:
e. Frekuensi urin: mengeluarkan urin lebih dari 6-7 kali per hari.
f. Nokturia: sering kencing di malam hari.
g. Inkontinensia urge.
h. Mengembalikan tonus otot dari kandung kemih yang sementara waktu
tidak ada karena pemasangan kateter.
i. Mempersiapkan klien sebelum pelepasan kateter yang terpasang lama
j. Melatih klie untuk melakukan BAK secara mandiri
k. Mempersiapkan pelepasan kateter yang sdah terpasang lama
l. Mengembalikan tonus otot dari kandung kemih yang sementara waktu
tidak ada karena pemasangan kateter
m. Klien dapat mengontrol berkemih
n. Klien dapat mengontrol buang air besar
o. Menghindari kelembapan dan iritasi pada kulit lansia
p. Menghindari isolasi social bagi klien

5. Prosedur Bladder Training


Menurut Mardhotillah (2016) ada beberapa macam Bladder Training
namun yang paling sering digunakan/ paling mudah dilakukan yaitu :
a. Mengucapkan salam.
b. Jelaskan tujuan dan prosedur tindakan.
c. Ciptakan lingkungan yang nyaman dengan menutup ruangan atau tirai
ruangan (ciptakan privasi bagi klien).
23

d. Pelaksanaan.
1) Klien masih menggunakan kateter.
a) Prosedur 1 jam:
(1) Cuci tangan.
(2) Klien diberi mium setiap 1 jam sebanyak 200 cc dari pukul
07.00-19.00. Setiap kali klien diberi minum, kateter diklem.
(3) Kemudian, setiap jam kandung kemih dikosongkan mulai
pukul 08.00-20.00 dengan cara klem kateter dibuka.
(4) Pada malam hari (setelah pukul 20.00) buka klem kateter
dan klien boleh minum tanpa ketentuan seperti pada siang
hari.
(5) Prosedur terus diulang sampai berhasil.

b) Prosedur 2 jam:
(1) Cuci tangan.
(2) Klien diberi minum setiap 2 jam sebanyak 200 cc dari
pukul 07.00- 19.00. Setiap kali diberi minum, kateter
diklem.
(3) Kemudian, setiap jam kandung kemih dikosongkan mulai
pukul 08.00-21.00 dengan cara klem kateter dibuka.
(4) Pada malam hari (setelah pukul 21.00) buka klem kateter
dan klien boleh minum tanpa ketentuan seperti pada siang
hari.
(5) Prosedur terus diulang sampai berhasil.

2) Pada klien yang tidak menggunakan kateter.


a) Cuci tangan.
b) Klien diberi minum setiap 1 jam sebanyak 200 cc dari pukul
07.00-19.00, lalu kandung kemih dikosongkan.
c) Kateter dilepas.
d) Monitor pengeluaran urin klien setiap 8 jam selama 1-2 hari
setelah pelepasan kateter.
24

e) Atur posisi yang nyaman untuk klien, bantu klien untuk


konsentrasi BAK, kemudian lakukan penekanan pada area
kandung kemih dan lakukan pengosongan kandung kemih
setiap 2 jam secara urinal.
f) Berikan minum terakhir pukul 19.00, selanjutnya klien tidak
boleh diberi minum sampai pukul 07.00 pagi untuk
menghindari klien berkemih pada malam hari.
g) Beritahu klien bahwa pengosongan kandung kemih selanjutnya
dijadwalkan setiap 2 jam sekali, apabila ada rangsangan BAK
sebelum 2 jam klien diharuskan untuk menahannya.
h) Buatlah sebuah jadwal bagi pasien untuk mencoba
mengosongkan kandung kemih secara urinal.
i) Anjurkan klien untuk menggunakan Kegel exercise dan teknik
pengosongan kandung kemih.
3) Alat-alat dibereskan.
4) Akhiri interaksi dengan mengucapkan salam.
5) Dokumentasi.
25

E. Kerangka konsep

Bladder Training

Retensi urine
Karakteristik pasien Bedah Endrourologi
BPH (TURP) 1. Kelompok perlakuan
1. Umur 2. Kelompok kontrol
2. Obesitas
3. Merokok
4. Olahraga
5. Riwayat TURP
sebelumnya

Gambar 2.2. Kerangka konsep


26

BAB III

KERANGKA PENELITIAN, DEFINISI OPERASIONAL DAN

HIPOTESA PENELITIAN

A. Kerangka penelitian

Kerangka penelitian merupakan fokus penelitian yang akan diteliti,


kerangka konsep ini terdiri dari variabel b e b a s (independent variable) dan
variabel t e r i k a t (dependent variable). Adapun kerangka penelitian ini
adalah sebagai berikut :

Variabel Bebas Variabel Terikat

Retensi urin
Bladder Training

Bagan 3.1. Kerangka penelitian


27

B. DEFINISI OPERASIONAL

Tabel 3.2. Definisi Operasional

No. Variabel Definisi Operasional Cara ukur Alat Hasil Ukur Skala
Ukur Ukur
Variabel Independen
1. Bladder Upaya untuk mengembalikan SOP bladder Lembar 1. Dilakukan Nominal
Training fungsi kandung kemih yang training dan observasi BT
mengalami gangguan lembar checklist. 2. Tidak
kedalam kondisi normal atau
dilakukaan
neurogenik (Suharyanto,
2009) BT
Variabel Dependen
2. Retensi Urin Ketidakmampuan Lembar Lembar 1. Ya Nominal
dalam mengeluarkan urin observasi observasi 2. Tidak
sesuai dengan keinginan, frekuensi urin
sehingga urin yang per 24 jam.
terkumpul di buli-buli
melampaui batas maksimal,
apabila volume residu urin
lebih dari 150 ml dalam 24
jam (Purnomo, 2011)
28

C. Hipotesis Penelitian

Hipotesis dalam penelitian merupakan jawaban sementara dari rumusan

masalah penelitian yang kebenarannya akan dibuktikan dalam sebuah

penelitian (Sugiyono, 2011). Hipotesis dalam penelitian ini adalah

Ha : Ada efektivitas bladder training terhadap retensi urin pada pasien BPH post

operasi TURP di Ruang Cempaka RSUD Pasar Rebo.

Ho : Tidak Ada efektivitas bladder training terhadap retensi urin pada pasien

BPH post operasi TURP di Ruang Cempaka RSUD Pasar Rebo.


29

BAB IV
METODE PENELITIAN

A. Desain Penelitian

Desain penelitian ini adalah deskriptif korelatif. Pada hakikatnya

merupakan penelitian atau penelaahan hubungan antara dua variabel pada

suatu situasi atau kelompok subjek.hal ini dilakukan untuk melihat

hubungan antara gejala satu dengan gejala yang laian, atau variabel satu

dengan variabel yang lain (Notoatmodjo, 2010). Desain penelitian yang

akan digunakan pada penelitian ini yaitu Quasy Experimental dengan

rancangan penelitian Non Equivalent control group pretest-post test.

B. Populasi dan Sample

Populasi adalah keseluruhan dari unit di dalam pengamatan yang akan

kita lakukan, sedangkan sampel adalah sebagian dari populasi yang

dinilai / karakteristiknya kita ukur dan yang nantinya dipakai untuk

menduga karakteristik dari populasi (Hastono dan Sabri, 2008).

1. Populasi

Populasi pada penelitian ini adalah pasien post Op Urologi di ruang

Cempaka RSUD Pasar Rebo.

2. Sampel

Sampel adalah sebagian yang diambil dari keseluruhan objek yang di

teliti dan dianggap mewakili seluruh populasi (Notoatmodjo, 2005).


30

a. Kriteria Inklusi

1) Pasien laki-laki berusia >40 tahun yang telah dilakukan

operasi TURP hari ke 2 di ruang Cempaka RSUD Pasar Rebo.

2) Pasien laki-laki berusia >40 tahun yang telah dilakukan

operasi TURP hari ke 2 di ruang Cempaka RSUD Pasar

Rebo.yang bersedia menjadi responden.

b. Kriteria Eksklusi

1) Pasien laki-laki berusia >40 tahun yang telah dilakukan

operasi di ruang Cempaka RSUD Pasar Rebo.

2) Pasien laki-laki berusia >40 tahun yang telah dilakukan

operasi di ruang Cempaka RSUD Pasar Rebo.yang tidak

bersedia menjadi responden.

Cara pengambilan sample dilakukan dengan cara memberikan

kesempatan kepada setiap individu untuk menjadi anggota sample.

Untuk menentukan jumlah sampel menggunakan rumus

(Soefudin, 2005) :

{ }
2
Zα +Zβ
N= +3
0,5∈ [ ( 1+ r ) / ( 1−r ) ]

Keterangan :

N :Besar sampel

Zα : Deviat baku alpha, kesalahan tipe I: 5%, maka Zα = 1,64

Zβ: Deviat baku beta, kesalaha tipe II: 10%, maka Zβ= 1,28

r : Korelasi dari penelitian sebelumnya 0,561


31

{ } { }
2 2
1,64+1,28 2,92
N= +3N= +3
0,5∈ [ ( 1+ 0,561 ) / (1−0,561 ) ] 0,5∈ [ ( 1,561 ) /0,439 ]

{ }
2
2,92
N= +3
0,5∈(1,91)

{ }
2
2,92
N= +3
0,261
2
N= { 4,218 } +3

N=17,791+3

N=20,79 atau 21

Jumlah sampel yang akan dilakukan pengambilan data

penelitian sesuai dengan perhitungan diatas yaitu sebanyak

21 responden. Sebagai antisipasi kemungkinan data yang

akan terkumpul dari responden tidak dapat dianalisis atau

tidak lengkap (maka besar sampel di tambah 10% dari besar

sampel minimum sehingga dibutuhkan 23 responden.

C. Tempat dan waktu penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Oktober-November 2018 di ruang

Cempaka RSU D Pasar Rebo Jakarta

D. Alat penelitian dan cara pengumpulan data

1. Alat penelitian
32

Menurut Wasis (2008). Instrumen adalah alat atau fasilitas yang di gunakan

Peneliti dalam mengumpulkan data baik dengan membuat daftar pertanyaan

atau angket, wawancara, observasi dan pengukuran.

Alat yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah lembar observasi

yang akan di isi oleh perawat ruangan atau peneliti sendiri.

2. Pengumpulan data

Menurut Nursalam (2010). Pengumpulan data adalah suatu proses

pendekatan kepada subjek dan proses pengumpulan karakteristik subjek

yang diperlukan dalam suatu penelitian Adapun metode pengumpulan data

dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Peneliti meminta surat pengantar penelitian dari akademi.

b. Peneliti memasukkan surat pengantar penelitian ke bagian pendidikan

dan pelatihan (Diklat) RSUD Pasar Rebo.

c. Setelah mendapatkan persetujuan dari direktur rumah sakit kemudian

surat ditembuskan ke bagian diklat dan ke ruangan dimana dilakukan

penelitian yaitu ruang cempaka RSUD Pasar Rebo

d. Peneliti meminta izin penelitian ke Suku Dinas Jakarta Timur dengan

melalui On-line.

e. Peneliti melakukan studi pendahuluan kepada calon responden.

f. Peneliti mengumpulkan data dengan memberikan kuesioner (pre test)

ke responden

g. Setelah satu jam peneliti kemudian menyebar kuesioner kembali (Post

test) kepada responden.


33

h. Hasil dari kuesioner ditabulasi dan kemudian dianalisa.

E. Teknik Pengolahan dan analisa data

1. Teknik pengolahan data

Pengolahan dan analisa data bertujuan mengubah data menjadi sebuah

informasi. Kegiatan pengolahan data meliputi:

a. Editing

Langkah pertama yang perlu dilakukan adalah memeriksa kembali

semua kuesioner satu per satu. Editing dilakukan dengan maksud

untuk mengecek, apakah setiap lembar observasi telah diisi sesuai

dengan petunjuk sebelumnya lembar observasi yang masih belum

diisi, atau pengisian yang tidak sesuai dengan petunjuk dan tidak

relevannya jawaban dengan pertanyaan. Lembar observasi yang di isi

keluarga dan tidak sesuai dengan petunjuk pengisian akan

dikembalikan untuk di isi kembali sehingga sesuai dengan petunjuk

yang ada.

b. Coding (memberi tanda kode)

Coding adalah memberi tanda kode terhadap pertanyaan maupun

pernyataan yang telah diajukan, hal ini dimaksudkan untuk

mempermudah waktu mengadakan tabulasi dan analisa. Coding

dilakukan dengan memberi tanda pada masing-masing jawaban

dengan kode berupa angka. Kode-kode tersebut selanjutnya

dimasukkan dalam tabel kerja untuk mempermudah pembacaan.


34

c. Entry

Memasukkan data dengan cara manual atau melalui pengolahan

program komputer.

d. Transferring

Memindahkan jawaban atau kode jawaban kedalam media tertentu.

e. Tabulasi

Tabulasi dilakukan dengan cara memasukkan data sesuai dengan alat

pengumpul data yang telah dicoding ke dalam program komputer.

2. Analisis

Terdapat 2 jenis analisa data dalam penelitian ini yaitu:

a. Univariat

Analisa univariat adalah analisa data satu variabel (Putri, 2014).

Variabel yang diukur adalah Karakteristik pasien BPH Umur,

Obesitas, Merokok, Olahraga, Riwayat TURP sebelumnya, BT dan

Retensi Urin.

b. Bivariat

Analisa bivariat adalah analisa data 2 variabel (Putri, 2014). Setelah

entry data di dalam program komputer Peneliti akan melakukan

analisis. Penelitian ini adalah penelitian yang bersifat komparatif yaitu

suatu penelitian yang dilakukan untuk membandingkan pasien yang

dilakukan Bladder Training dan tidak dengan menggunakan 2 sampel

yang berpasangan sehingga uji data yang digunakan adalah uji Chi

Square (Wasis, 2008).


35

Taraf signifikansi yang digunakan dalam penelitian ini adalah α=0,05.

Artinya jika taraf signifikansi kurang dari taraf nyata (0,05) maka terdapat

efektifitas Bladder Training dan tidak dilakukan Bladder Training.

Sebaliknya jika taraf signifkansi sama atau lebih besar dari taraf nyata

maka tidak terdapat efektifitas antara pasien-pasien yang dilakukan

Bladder Training atau tidak di ruang Cempaka RSUD Pasar Rebo.

F. Etika penelitian

Dalam melakukan penelitian, peneliti memperhatikan masalah etika


penelitian. Etika penelitian menurut Hidayat (2007), terdiri dari 4 macam
yaitu:
1. Informed Consent
Informed consent merupakan bentuk persetujuan antara peneliti dan
responden, dengan bentuk lembar persetujuan. Lembar persetujuan
diberikan sebelum penelitian kepada responden yang akan diteliti.
Lembar ini dilengkapi dengan judul penelitian dan manfaat penelitian,
sehingga subjek mengerti maksud dan tujuan penelitian. Bila subjek
menolak, maka peneliti tidak boleh memaksa dan harus tetap
menghormati hak-hak subjek.
2. Anonomity
Anonimity digunakan untuk menjaga kerahasiaan, peneliti tidak akan
mencantumkan nama responden, tetapi pada lembar tersebut diberikan
kode pengganti nama responden.
3. Confidentiality
Informasi yang telah dikumpulkan dari responden akan dijamin
kerahasiaanya oleh peneliti, dan hanya akan digunakan untuk
pengembangan ilmu.
4. Asas Keadilan (Justice)
Prinsip ini bertujuan untuk menjunjung tinggi keadilan responden
dengan menghargai hak-hak dalam memberikan informasi, dan hak
36

menjaga privasi responden.


37

BAB V

KESIMPUAN DAN SARAN

A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang akan dilakukan maka dapat disimpulkan
penelitian ini akan menghubungkan Bladder Training terhadap retensi urin
pada pasien BPH Post operasi TURP.

B. Saran
1. Bagi RSUD Pasar Rebo
Diharapkan kepada pihak Rumah Sakit dapat mengevaluasi pentingnya
Bladder Training bagi pasien post Op TURP dengan BPH sehingga tidak
terjadi retensi urine post pemasangan Catheter pasien dengan BPH.
2. Bagi Perawat
Diharapkan kepada perawat untuk selalu menginformasikan kondisi
perkembangan kesehatan pasien kepada keluarga sampai keluarga
memahami kondisi/keadaannya.
3. Bagi Institusi Pendidikan
Hasil penelitian ini dapat dimasukkan dan digunakan sebagai bahan
pengembangan pengetahuan khususnya pada bidang keilmuan
Keperawatan Medikal Bedah
38

DAFTAR PUSTAKA

Anita Widiastuti. (2012). Perbedaan Kejadian Inkontinensia Urin pada Pasien


post kateterisasi yang dilakukan Bladder Training setiap hari dengan Bladder
Training sehari sebelum Kateter dibuka di BPK RSU Tidar Magelang.
Magelang Jawa Tengah.

Ariane, Mc. Kinnon et al. (2011). Predictor of Acute Urinary Retention after
TransUrethral Resection of the Prostate: A Retrospective Chart Audit Society
Of Urology, Nurses and Associety Urology Nursing. Vol 31. H 4.

Fitri Mulyana. (2013). Penerapan Pre Operating Teaching pada klien dengan
masalah bedah Benign Prostate Hyperplasia Trans Urethral of the Prostate
(TURP) di Ruang Anggrek Tengah Kanan (Bedah Kelas 1) Rumah Sakit Umum
Pusat Persahabatan.Jakarta :RSUP Persahabatan.

Ernawati. (2016). Pengaruh akombinasi bladder training dan kegel exercise


terhadap pemulihan inkontinensia pada pasien stroke. Serang. Stikes Paletehan

Hinora, F. (2014). Pengaruh Bladder Training Terhadap Kemampuan Berkemih


pada Pasien Pria dengan Retensi Urin. Buletin Sari putra .vol 1 (1).

Guess. (1995). Epidemiology and Natural History Of Benign Prostatic


Hyperplasia Urological Clinic of America. volume 22, No 2

Maya, H. (2011). Efektivitas Bladder Training Sitz Bath terhadap Fungsi


eliminasi Berkemih spontan pada ibu post partum spontan di RSUP H. Adam
Malik - RSUP dr Pringadi Medan dan RS Jejaring. diakses dari
http://repository.usu.ac.id/handle//23456789/27637

Mark. J. Speakman. (2009). Management of Acute and Chronic Retention in Men.


European Urology Supplement’s. vol 8 .523-529

Kusuma, K, D. (2015). Metodologi penelitian keperawatan. Jakarta. Trans Info


Media.
Nanda. (2012). Nursing Diagnosis Definition & Classification 2012-2014 Oxford.
Wiley – Black Well

Narbuko, C. 2007. Metodologi penelitian . Jakarta: Bumi Aksara

Notoadmodjo, S. (2005). Metodologi Penelitian kesehatan. Jakarta: PT Rineka


Cipta.
39

Nursalam. (2010). Konsep dan penerapan metodologi Penelitian Ilmu


Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika.

Parsons, J.K. (2010). Benign Prostatic Hyperplasia and Male Lower Urinary
Tract Symptoms: Epidemiology & Risk factors Springer journal Curr Badder
Dysfunct Rep. 5. 212-218.

Potter & Perry. (2005). Buku Ajar Fundamental Keperawatan Edisi 4 vol 2.
Jakarta: EGC.

Purnomo, B. (2011). Dasar dasar Urologi. Edisi ketiga. Jakarta: CV Sagung Seto
Sabri, L,& Priyo, S, H. (2009). Edisi refisi statistic kesehatan. Jakarta. Rajapindo
Persada.
Sigit Ariyoso. (2012). Asuhan Keperawatan post operasi BPH pada Tn Y di
ruang Matahari RSI PKU Muhammadiyah Pekajang Pekalongan

Surgical Nursing (10th Ed) Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins


Sopiyudin Dahlan, M.(2010). Statistik untuk Kedokteran dan Kesehatan edisi
5. Jakarta
Sri Wulandari. (2012). Pengaruh Latihan Bladder Training terhadap Penurunan
Inkontinensia pada Lanjut Usia di Panti Wreda Dharma Bakti Surakarta

Sugiyono. (2015). Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: Alfa Beta


Gangguan Sistem Perkemihan. Jakarta: Trans Info Media
Sulli Nova. (2011). Retensi Urin. Diakses dari http://www.scribd.co/novasulli
Tri Subyati.(2010). Hubungan frekuensi seksual terhadap kejadian BPH di RSUD
kabupaten Kebumen. Jurnal Ilmiah Kesehatan Keperawatan .vol 6 .no.2

Wiyono, D, dkk. (2016). Efektifitas bladder Training terhadap retensi urin pada
Pasien post operasi BPH di ruang mawar rsud dr. soehadi prijonegoro sragen
Sragen. Stikes Sragen.

Anda mungkin juga menyukai