Anda di halaman 1dari 40

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Mortalitas dan morbiditas pada wanita hamil dan bersalin adalah masalah
besar di negara berkembang. Di negara miskin, sekitar 25-50% kematian
wanita subur disebabkan hal berkaitan dengan kehamilan. Kematian saat
melahirkan biasanya menjadi faktor utama mortalitas wanita pada masa
puncak produktivitasnya. Saat ini, persalinan dengan bedah sesarea bukan
hal yang baru lagi bagi para ibu maupun pasangan suami istri. Sejak awal,
tindakan operasi sesarea atau C-section merupakan pilihan yang harus
dijalani karena kadaan gawat darurat untuk menyelamatkan nyawa ibu
maupun janinnya (Dewi, 2009).

Persalinan sectio caesarea (SC) merupakan persalinan melalui sayatan pada


dinding abdomen dan uterus yang masih utuh dengan berat janin kurang dari
1.000 gram atau umur kehamilan lebih dari 28 minggu (Manuaba, 2012).
SC didefinisikan sebagai lahirnya janin melalui insisi pada dinding abdomen
(laparotomi) dan dinding uterus (histerektomi) (Rasjidi, 2009).

Data World Health Organization (WHO) tahun 2018 memperkirakan bahwa


sekitar 32 juta kelahiran SC dilakukan setiap tahunnya diseluruh dunia.
Sedangkan di Amerika Serikat sepertiga wanita yang melahirkan pada tahun
2018, melahirkan secara SC. Jumlah ini mengalami peningkatan sebesar
60% sejak tahun 2005, dari jumlah tersebut hanya sekitar 2% yang telah
dilakukan bladder training pasca seksio sesarea (Kostania, 2018).

Data RISKESDAS (2018) menunjukkan kelahiran SC sebesar 9,8% dengan


proporsi tertinggi di DKI Jakarta (19,9%) dan terendah di Sulawesi
Tenggara (3,3%). Berdasarkan hasil rekap di di Rumah Sakit Umum Daerah
BLUD dr. H. Soemarno Sosroatmodjo Kuala Kapuas, didapatkan pada

1
2

tahun 2016 ibu yang melahirkan secara SC sebanyak 980 orang, tahun 2017
sebanyak 584 orang dan tahun 2018 sebanyak 1030 orang. Namun hanya
sekitar 0,7% atau sekitar 10 orang telah dilakukan bladder training pasca
seksio sesarea dalam setiap tahunnya.

Komplikasi yang dapat terjadi saat tindakan SC dengan frekuensi lebih dari
11% (kira-kira 80% komplikasi minor dan 20% komplikasi mayor).
Komplikasi mayor meliputi trauma kandung kemih, laserasi pada kedua
arteri laterina, trauma usus, dan trauma pada bayi dengan sekuele (Benson
& Pernoll, 2009).

Kandung kemih yang normal dapat menampung jumlah urin mencapai ±


1200– 1500 cc (Smeltzert & Bare, 2013). Jumlah urin di dalam kandung
kemih tergantung urin yang dihasilkan, lebih sering urin diproduksi, lebih
sering orang berkemih (Nursalam & Baticaca, 2009).

Sering berkemih mengakibatkan kapasitas kandung kemih menurun. Sisa


urin di dalam kandung kemih cenderung meningkat dan kontraksi otot
kandung kemih yang tidak teratur makin sering terjadi. Keadaan ini
mengakibatkan berkemih menjadi tidak normal (Nursalam & Baticaca,
2009). Dikatakan tidak normal apabila berkemih tidak terjadi secara alami
misalnya dalam pengisian maupun pengosongan kandung kemih. Apabila
hal tersebut terjadi maka diperlukan pemasangan kateter (Smeltzer & Bare,
2013).

Kateterisasi urine dilakukan untuk membantu pasien yang tidak mampu


berkemih secara mandiri, sehingga harus memenuhi kebutuhan berkemih
(Wirahayu, 2015). Kateterisasi juga dilakukan pada pasien yang mengalami
obstruksi pada saluran kemih. Adanya obstruksi pada saluran kemih akan
menimbulkan masalah yang kemungkinan muncul (Smeltzer & Bare, 2013).
3

Masalah yang biasa terjadi adalah resiko infeksi, trauma uretra, dan
menurunnya rangsangan berkemih (Smeltzer & Bare, 2013). Menurunnya
rangsangan berkemih dalam waktu lama dapat mengakibatkan kandung
kemih tidak meregang dan berkontraksi secara teratur dan kehilangan
tonusnya (Smeltzer & Bare, 2013). Apabila hal ini terjadi dan kateter
dilepas, maka otot detrusor mungkin tidak dapat berkontraksi dan pasien
tidak dapat mengontrol pengeluaran urinnya (Smelzter & Bare, 2013).

Ketidakmampuan mengontrol pengeluaran urin atau inkontinensia urine


jarang dikeluhkan oleh pasien karena dianggap sesuatu yang biasa, malu
atau tabu untuk diceritakan pada orang lain maupun pada dokter, dianggap
sesuatu yang wajar tidak perlu diobati. Inkontinensia urin bukanlah
penyakit, melainkan merupakan gejala dari suatu penyakit atau masalah
kesehatan lain yang mendasarinya (Syah, 2014).

Jumlah urin normal rata-rata 1 sampai 2 liter sehari, tetapi berbeda-beda


sesuai jumlah cairan yang dimasukkan. Banyaknya bertambah pula bila
terlampau banyak protein yang dimakan, sehingga tersedia cukup cairan
yang diperlukan untuk melarutkan urea. Urin normal berwarna bening
orange pucat tanpa endapan, Baunya tajam, reaksinya sedikit asam terhadap
lakmus dengan pH rata-rata 6, berat jenisnya berkisar dari 1.010 sampai
1.025 (Pearce. E. C, 2009).

Pada perawatan maternitas, bladder training dilakukan pada ibu yang telah
mengalami gangguan berkemih seperti inkontinensia urin atau retensio urin.
Padahal sesungguhnya bladder training dapat mulai dilakukan sebelum
masalah berkemih terjadi pada ibu postpartum, sehingga dapat mencegah
intervensi invasif seperti pemasangan kateter yang justru akan
meningkatkan kejadian infeksi kandung kemih (Ermiati, et al., 2008).
Bladder training merupakan latihan kandung kemih yang bertujuan
mengembangkan tonus otot dan spingter kandung kemih agar fungsi
4

optimal. Sehingga dengan bladder training diharapkan ibu postpartum dapat


buang air kecil secara spontan dalam enam jam post partum (Suharyanto &
Majid, 2009).

Pada ibu post SC sangat dianjurkan untuk melakukan mobilisasi dini dan
bladder training untuk membantu mempercepat pemulihan kandung kemih
dan pembedahan. Mobilisasi dini merupakan suatu kebutuhan dasar manusia
yang diperlakukan oleh individu untuk melakukan aktivitas sehari – hari
yang berupa gerakan miring kanan – kiri turun dari tempat tidur, mencoba
duduk, dan berlatih berjalan sendiri, yang dilakukan setelah 8 jam setelah
melahirkan operasi sesar. (Perry & Potter, 2006dalam Rizki, 2013).
Penelitian yang dilakukan oleh Hasibun (2010) yang berjudul Bladder
training pada ibu-ibu pasca seksio sesarea di RSUD. Dr. Pirngadi Medan
menyatakan bahwa penelitian dilakukan pada 32 responden dimana hasil
penelitiannya terdapat peningkatan volume urin setelah dilakukan bladder
training. Selain meningkatkan volume urin bladder training juga
memangkas waktu pengeluaran urin dimana dengan melakukan latihan
bladder training waktu pengeluaran urin akan lebih cepat dan lancar.

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Hasibun (2010) yang


berjudul Bladder training pada ibu-ibu pasca seksio sesarea di RSUD. Dr.
Pirngadi Medan juga menyatakan durasi waktu keluarnya Urin setelah dan
sesudah perlakuan Bladder training menjadi lebih cepat dengan selisih nilai
mean antara sebelum dan sesudah perlakukan 2,317. Yang berarti perlakuan
Bladder training meningkatkan durasi keluarnya urin 2,317 kali lebih cepat
dibandingkan dengan responden yang tidak dilakukan bladder training.

Dari hasil studi pendahuluan yang dilakukan oleh peneliti di RSUD Dr. H.
Soemarno Sostroatmodjo Kuala Kapuas pada tanggal 26 Oktober 2019
peneliti mendapatkan informasi dari sepuluh orang ibu yang bersalin dengan
5

seksio sesarea mengatakan bahwa belum pernah dilakukan bladder training


pasca seksio sesarea.

Berdasarkan uraian diatas mendorong peneliti untuk melakukan penelitian


tentang Efektifitas Bledder Training Terhadap Jumlah Urine Pasca
Kateterisasi Pada Pasien Post Operasi Sectio Caesarea Di BLUD RSUD Dr.
H. Soemarno Sostroatmodjo Kuala Kapuas Tahun 2019.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang masalah di atas maka dapat ditarik rumusan
masalah “Sejauh Mana Efektifitas Bledder Training Terhadap Jumlah Urine
Pasca Kateterisasi Pada Pasien Post Operasi Sectio Caesarea Di BLUD
RSUD Dr. H. Soemarno Sostroatmodjo Kuala Kapuas Tahun 2019?”.

1.3 Tujuan Penelitian


1.3.1 Tujuan umum
Tujuan umum dalam penelitian ini adalah untuk menganalisa
efektifitas bledder training terhadap jumlah urine pasca kateterisasi
pada pasien post operasi section caesrea di BLUD RSUD Dr. H.
Soemarno Sosroatmodjo Kuala Kapuas Tahun 2020.
1.3.2 Tujuan khusus
1.3.2.1 Mengidentifikasi jumlah urine pada pasien post operasi
section caesrea sebelum pemberian bledder training di
BLUD RSUD Dr. H. Soemarno Sosroatmodjo Kuala
Kapuas Tahun 2020.

1.3.2.2 Mengidentifikasi jumlah urine pasca kateterisasi pada


pasien post operasi section caesrea sesudah pemberian
bledder training di BLUD RSUD Dr. H. Soemarno
Sosroatmodjo Kuala Kapuas Tahun 2020.
6

1.3.2.3 Menganalisis efektifitas bledder training terhadap jumlah


urine pasca kateterisasi pada pasien post operasi section
caesrea di BLUD RSUD Dr. H. Soemarno Sosroatmodjo
Kuala Kapuas Tahun 2020.

1.4 Manfaat Penelitian


1.4.1 Bagi Pelayanan Kesehatan
Penelitian ini diharapkan akan dapat memberikan informasi bagi
perawat/bidan tentang penatalaksanaan bladder training dan manfaat
bladder training terhadap penyembuhan pasien pasca seksio sesarea.

1.4.2 Bagi Pendidikan Kebidanan


Penelitian ini diharapkan dapat menjadi pengembangan ilmu
pengetahuan dalam institusi keperawatan terutama keperawatan
maternitas sehingga dapat meningkatkan pengetahuan peserta didik
tentang manfaat bladder training pada pasien pasca seksio sesarea.

1.4.2 Bagi Peneliti selanjutnya


Untuk mengembangkan ilmu pengetahuan sebagai salah satu
intervensi bagi penelitian selanjutnya yang sejenis.

1.5 Penelitian Terkait


1.5.1 Fitrotun Navisah (2017) Perbedaan Efektivitas Mobilisasi Dini Dan
Bladder Training Terhadap Waktu Eliminasi BAK Pertama Pada
Ibu Post Sectio Caesarea Di RSUD DR. H. Soewondo Kendal.
Desain penelitian menggunakan Quasy Experiment, dengan
rancangan penelitian post test - only non equivalent control group.
teknik sampling yang digunakan adalah purposive sampling dengan
jumlah 16 responden untuk kelompok perlakuan mobilisasi dini dan
16 responden untuk kelompok perlakuan bladder training. uji yang
digunakan dalam penelitian ini adalah mann whitney. Hasil
7

penelitian menunjukkan terdapat perbedaan yang signifikan antara


waktu eliminasi BAK pertama pada ibu post section caesarea dengan
diperoleh nilai ρ-value 0,032 karena nilai ρ < 0,05 dapat disimpulkan
bahwa ada perbedaan efektivitas antara mobilisasi dini dan bladder
training terhadap waktu eliminasi BAK pertama pada ibu post sectio
caesarea di RSUD Dr. H. Soewondo Kendal.

Perbedaan penelitian ini dengan penelitian yang dilakukan oleh


peneliti adalah pada variabel dependen dan independen, waktu dan
tempat penelitian. Dimana penelitian variabel pada penelitian ini
adalah efektifitas bledder training dan jumlah urine pasca
kateterisasi pada pasien post operasi section caesrea. Serta penelitian
ini dilakukan pada tahun 2019, dan dilakukan di BLUD RSUD Dr.
H. Soemarno Sosroatmodjo Kuala Kapuas Tahun 2019.

1.5.2 Catur Dwi Mulyani (2016) Efektivitas Delay Urination Dengan


Keagle Exercise Terhadap Respon Berkemih Pasca Kateterisasi
Urine Di RSUD Ambarawa. Penelitian ini menggunakan quasy
eksperiment dengan rancangan post test only control group design.
Penelitian ini menggunakan purposive sampling dengan jumlah
sampel 33 responden untuk kelompok perlakuan delay urination
dengan keagle exercise dan 33 responden untuk kelompok kontrol
delay urination. Uji yang digunakan dalam penelitian ini adalah
mann whitney. Hasil penelitian ini menunjukkan adanya selisih
rerata waktu BAK pada responden yang dilakukan delay urination
dengan keagle exercise maupun responden yang dilakukan delay
urination di RSUD Ambarawa, dengan diperoleh nilai ρ-value 0,002
karena nilai ρ < 0,05 dapat disimpulkan bahwa latihan delay
urination dengan keagle exercise lebih efektif daripada latihan delay
urination. Rekomendasi hasil penelitian ini disarankan dapat
8

dijadikan sebagai salah satu intervensi keperawatan pada pasien


gangguan berkemih yang terpasang kateter.

Perbedaan penelitian ini dengan penelitian yang dilakukan oleh


peneliti adalah pada variabel dependen dan independen, waktu dan
tempat penelitian. Dimana penelitian variabel pada penelitian ini
adalah efektifitas bledder training dan jumlah urine pasca
kateterisasi pada pasien post operasi section caesrea. Serta penelitian
ini dilakukan pada tahun 2019, dan dilakukan di BLUD RSUD Dr.
H. Soemarno Sosroatmodjo Kuala Kapuas Tahun 2019.

1.5.3 Indah Wulaningsih (2017) Pengaruh Bladder Training Terhadap


Kemampuan Ibu Postpartum Sectio Caesarea Dalam Berkemih Di
Rsud Kajen Kabupaten Pekalongan. Metode atau desain penelitian
menggunakan quasy experiment dengan pendekatan two group
pretest and posttest design. Sampel penelitian adalah ibu
postpartum sectio caesarea sebanyak 38 orang untuk kelompok
kontrol dan 38 orang kelompok perlakuan. Pengambilan sampel
menggunakan purposive sampling. Instrumen penelitian adalah
lembar observasi. Analisa data menggunakan uji Independent T test.
Hasil penelitian ini rata-rata kemampuan berkemih (pretest)
kelompok kontrol pre test sebesar 530,08 ml dan post test sebesar
596,63 ml. Rata-rata kemampuan berkemih (pretest) kelompok
perlakuan pre test sebesar 632,26 ml dan post test sebesar 836,71
ml. Hasil independent T test diperoleh ρ value sebesar 0,000 < 0,05.
Kesimpulan penelitian ada pengaruh bladder training terhadap
kemampuan ibu postpartum sectio caesarea dalam berkemih di
RSUD Kajen Kabupaten Pekalongan.

Perbedaan penelitian ini dengan penelitian yang dilakukan oleh


peneliti adalah pada variabel dependen dan independen, waktu dan
9

tempat penelitian. Dimana penelitian variabel pada penelitian ini


adalah efektifitas bledder training dan jumlah urine pasca
kateterisasi pada pasien post operasi section caesrea. Serta penelitian
ini dilakukan pada tahun 2019, dan dilakukan di di BLUD RSUD Dr.
H. Soemarno Sosroatmodjo Kuala Kapuas Tahun 2019.

1.5.4 Yani Erniyawati (2018) Pengaruh Kegel Exercise Terhadap


Inkontinensia Urin, Disfungsi Ereksi, Dan Kualitas Hidup Pada
Klien Post TURP Di RS Muhammadiyah Lamongan. Jenis penelitian
ini adalah true exsperiment. Populasi pada penelitian ini adalah klien
post TURP yang mengalami inkontinensia urin, disfungsi ereksi, dan
penurunan kualitas hidup di RS Muhammadiyah Lamongan. Besar
sampel sebanyak 32 responden (16 responden kelompok perlakuan
dan 16 responden kelompok kontrol) diambil secara systematic
random sampling. Hasil penelitian menunjukkan penurunan
inkontinensia urin. Peningkatan fungsi ereksi, dan kualitas hidup.
Ujistatistik MANOVAmemperoleh hasil p=0,000 pada inkontinensia
urin, p=0,009 pada disfungsi ereksi, dan p=0.024 pada kualitas
hidup. Inkontinensia urin pada kelompok perlakuan menunjukkan
perbaikan pada keluarnya urin pada saat menggunakan kamar mandi,
batuk atau bersin, dan tidak perlu lari ke kamar mandi karena
dorongan untuk BAK.

Perbedaan penelitian ini dengan penelitian yang dilakukan oleh


peneliti adalah pada variabel dependen dan independen, waktu dan
tempat penelitian. Dimana penelitian variabel pada penelitian ini
adalah efektifitas bledder training dan jumlah urine pasca
kateterisasi pada pasien post operasi section caesrea. Serta
penelitian ini dilakukan pada tahun 2019, dan dilakukan di BLUD
RSUD Dr. H. Soemarno Sosroatmodjo Kuala Kapuas Tahun 2019.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Konsep Dasar Sectio Caesaria


2.1.1 Pengertian Sectio Caesaria
Seksio sesarea adalah suatu cara melahirkan janin dengan membuat
sayatan pada dinding uterus melalui dinding depan perut atau vagina
atau suatu histerektomia untuk melahirkan janin dari dalam rahim
(Llewelyn, D, 2012).

Sectio Caesaria (SC) adalah suatu tindakan untuk melahirkan bayi


dengan berat diatas 500 gram, melalui sayatan pada dinding uterus
yang masih utuh (Prawirohardjo, 2009). Sectio Caesaria (SC)
adalah suatu pembedahan guna melahirkan anak lewat insisi pada
dinding abdomen dan uterus (Oxorn & Forte, 2010).

Sectio Caesaria adalah suatu cara untuk melahirkan janin dengan


membuat sayatan pada dinding uterus melalui dinding depan perut
atau vagina (Mochtar, 2002). Sectio Caesaria adalah suatu cara
melahirkan janin dengan membuat sayatan pada dinding uterus
melalui dinding perut ( Sofian, 2012).

Peneliti menyimpulkan bahwa sectio caesaria adalah pembedahan


untuk melahirkan janin dengan membuka dinding perut dan dinding
uterus yang dilaksanakan oleh tenaga medis yang berkompeten
dalam bidang obgyn.

2.1.2 Indikasi Sectio Caesaria


Tindakan seksio sesaria dilakukan apabila tidak memungkinkan
dilakukan persalinan pervaginal disebabkan adanya resiko terhadap
ibu atau janin, dengan pertimbangan hal-hal yang perlu tindakan

10
11

seksio sesaria seperti proses persalinan normal lama atau kegagalan


proses persalinan normal (Dystasia) (Saifudin, 2002).

Menurut Mochtar & Sarwono Prawirohardjo (2009), beberapa


indikasi dilakukannya Sectio Caesaria yaitu :
2.1.2.1 Plasenta previa, terutama plasenta previa totalis dan
subtotalis
2.1.2.2 Panggul sempit
2.1.2.3 Rupturi uteri mengancam
2.1.2.4 Partus lama
2.1.2.5 Tumor yang menghalangi jalan lahir
2.1.2.6 Kelainan letak atau bayi besar
2.1.2.7 Keadaan dimana usaha-usaha untuk melahirkan anak
pervaginam gagal
2.1.2.8 Kematian janin
2.1.2.9 Gemeli
2.1.2.10 Komplikasi pre eklampasia dan hipertensi.
2.1.2.11 Distosia jaringan lunak.
2.1.2.12 Disproporsi kepala panggul (CPD / FPD)
2.1.2.13 Disfungsi uterus.

2.1.3 Komplikasi
Menurut Oxorn dan Forte (2010), komplikasi yang serius pada
operasi Sectio Caesaria adalah :
2.1.3.1 Perdarahan.
Perdarahan pada sectio caesaria terjadi karena adanya atonia
uteri, pelebaran insisi uterus, kesulitan mengeluarkan
plasenta dan hematoma ligamentum latum.
2.1.3.2 Infeksi
Infeksi sectio caesaria bukan hanya terjadi daerah insisi
saja, tetapi dapat terjadi di daerah lain seperti traktus
12

genetalia, traktus urinaria, paru-paru dan traktus respiratori


atas.
2.1.3.3 Thromboplebitis
2.1.3.4 Cedera, dengan atau tanpa fistula bisa terjadi di traktus
urinaria dan usus.
2.1.3.5 Dapat mengakibatkan obstruksi usus baik mekanis maupun
paralitik

2.1.4 Perawatan Post Sectio Caesaria


Menurut Rasjidi (2009), pasien pasca operasi perlu mendapatkan
perawatan sebagai berikut :
2.1.4.1 Ruang pemulihan
Di ruang pemulihan, pasien dipantau dengan cermat jumlah
perdarahan dari vagina dan dilakukan palpasi fundus uteri
untuk memastikan bahwa uterus berkontraksi dengan kuat.
Selain itu, pemberian cairan intravena juga dibutuhkan.
Kebutuhan akan cairan intravena termasuk darah sangat
bervariasi. Wanita dengan berat badan rata-rata dengan
hematokrit kurang dari atau sama dengan 30 dan volume
darah serta cairan ekstraselular yang normal umumnya
dapat mentoleransi kehilangan darah sampai 2.000 ml.
2.1.4.2 Ruang perawatan
Beberapa prosedur yang dilakukan di ruang perawatan
adalah :
a. Monitor tanda-tanda vital
Tanda-tanda vital yang perlu di evaluasi adalah tekanan
darah, nadi, jumlah urin, jumlah perdarahan, status
fundus uteri dan suhu tubuh.
b. Analgesik.
Untuk pasien berat dengan berat badan rata-rata, dapat
diberikan paling banyak setiap 3 jam untuk
13

menghilangkan nyeri. Sedangkan pada pasien yang


menggunakan opioid, harus diberikan pemeriksaan
rutin tiap jam untuk memantau respirasi, sedasi dan
skor nyeri selama pemberian dan sekurangnya 2 jam
setelah penghentian pengobatan.
c. Terapi cairan dan makanan.
Pemberian cairan intravena, pada umumnya
mendapatkan 3 liter cairan memadai untuk 24 jam
pertama setelah tindakan, namun apabila pengeluaran
urin turun, dibawah 30 ml/jam, wanita tersebut harus
segera dinilai kembali.
d. Pangawasan fungsi vesika urinaria dan usus.
Kateter vesika urinaria umumnya dapat dilepas dalam
waktu 12 jam setelah operasi atau keesokan pagi
setelah pembedahan dan pemberian makanan padat bisa
diberikan setelah 8 jam, bila tidak ada komplikasi.
e. Ambulasi.
Waktu ambulasi diatur agar analgesik yang baru
diberikan dapat mengurangi rasa nyeri.
f. Perawatan luka.
Luka insisi diperiksa setiap hari dan jahitan kulit (atau
klip) pada hari keempat setalah pembedahan. Pada hari
ketiga pasca persalinan, mandi dengan pancuran tidak
membahayakan luka insisi.
g. Pemeriksaan laboratorium.
Hematokrit diukur setiap pagi hari setelah pembedahan.
Pemeriksaan ini dilakukan lebih dini apabila terdapat
kehilangan darah yang banyak selama operasi atau
terjadi oliguria atau tanda-tanda lain yang
mengisyaratkan hipovolemia.
h. Menyusui.
14

Menyusui dapat dimulai pada hari pasca operasi seksio


sesaria.
i. Pencegahan infeksi pasca operasi.
Morbiditas demam cukup sering dijumpai setelah
seksio sesaria. Infeksi panggul pasca operasi
merupakan penyebab tersering dari demam dan tetap
terjadi pada sekitar 20 persen wanita walaupun mereka
telah diberi antibiotik profilaksis.
2.2. Konsep Kateter Urin
2.2.1. Pengertian
Pemasangan kateter urin merupakan tindakan keperawatan dengan
cara memasukkan kateter ke dalam kandung kemih melalui uretra
yang bertujuan membantu memenuhi kebutuhan eliminasi dan
sebagai pengambilan bahan pemeriksaan (Hidayat, 2011).

Kateter urine yaitu memasukkan selang karet atau plastik (kateter)


ke dalam vesika urinaria (kandung kemih) melalui uretra (Asmadi,
2008)
Kateter urine yaitu tindakan pemasangan kateter urine yang
dilakukan dengan memasukkan selang plastik, karet atau logam
melakui uretra ke dalam kandung kemih (Potter & Perry, 2010).

Peneliti menyimpulkan bahwa kateter urine adalah selang karet


dengan berbagai ukuran yang dimasukan ke dalam kandung kemih
melalui uretra yang bertujuan membantu memenuhi kebutuhan
eliminasi.

2.2.2. Tipe kateterisasi


Menurut Hidayat pemasangan kateter dengan dapat bersifat
sementara atau menetap. Pemasangan kateter sementara atau
intermiten catheter(straight kateter) dilakukan jika pengosongan
15

kandung kemih dilakukan secara rutin sesuai dengan jadwal,


sedangkan pemasangan kateter menetap atau indwelling catheter
(folley kateter) dilakukan apabila pengosongan kateter dilakukan
secara terus menerus (Hidayat, 2011).
2.2.2.1 Kateter sementara(straight kateter)
Pemasangan kateter sementara dilakukan dengan cara
kateter lurus yang sekali pakai dimasukkan sampai
mencapai kandung kemih yang bertujuan untuk
mengeluarkan urin. Tindakan ini dapat dilakukan selama 5
sampai 10 menit. Pada saat kandung kemih kosong maka
kateter kemudian ditarik keluar, pemasangan kateter
intermitten dapat dilakukan berulang jika tindakan ini
diperlukan, tetapi penggunaan yang berulang meningkatkan
resiko infeksi (Potter dan Perry, 2010 ).

Pemasangan kateter sementara dilakukan jika tindakan


untuk mengeluarkan urin dari kandung kemih pasien
dibutuhkan. Efek samping dari penggunaan kateter ini
berupa pembengkakan pada uretra, yang terjadi saat
memasukkan kateter dan dapat menimbulkan infeksi
(Thomas, 2012).

Beberapa keuntungan penggunaan kateterisasi sementara


yang dikemukakan oleh Japardi (2010) antara lain:
a. Mencegah terjadinya tekanan intravesikal yang
tinggi/overdistensi yang mengakibatkan aliran darah ke
mukosa kandung kencing dipertahankan seoptimal
mungkin.
b. Kandung kencing dapat terisi dan dikosongkan secara
berkala seakan-akan berfungsi normal.
16

c. Bila dilakukan secara dini pada penderita cedera


medula spinalis, maka penderita dapat melewati masa
syok spinal secara fisiologis sehingga fedback ke
medula spinalis tetap terpelihara
d. Teknik yang mudah dan klien tidak terganggu kegiatan
sehari harinya.

Kerugian kateterisasi sementara ini adalah adanya bahaya


distensi kandung kemih, resiko trauma uretra akibat kateter
yang keluar masuk secara berulang, resiko infeksi akibat
masuknya kuman-kuman dari luar atau dari ujung distal
uretra (flora normal) (Japardi, 2010).

2.2.2.2 Keteter menetap(foley kateter)


Kateter menetap digunakan untuk periode waktu yang lebih
lama. Kateter menetap ditempatkan dalam kandung kemih
untuk beberapa minggu pemakaian sebelum dilakukan
pergantian kateter. Pemasangan kateter ini dilakukan
sampai klien mampu berkemih dengan tuntas dan spontan
atau selama pengukuran urin akurat dibutuhkan (Potter dan
Perry, 2010).

Pemasangan kateter menetap dilakukan dengan sistem


kontinyu ataupun penutupan berkala (clamping). Pemakaian
kateter menetap ini banyak menimbulkan infeksi atau
sepsis. Bila menggunakan kateter menetap, maka yang
dipilih adalah penutupan berkala oleh karena kateterisasi
menetap yang kontinu tidak fisiologis dimana kandung
kencing yang selalu kosong akan mengakibatkan
kehilangan potensi sensasi miksi serta terjadinya atrofi serta
penurunan tonus otot kandung kemih (Japardi, 2010).
17

Kateter menetap terdiri atas foley kateter (double lumen)


dimana satu lumen berfungsi untuk mengalirkan urin dan
lumen yang lain berfungsi untuk mengisi balon dari luar
kandung kemih. Tipe triple lumen terdiri dari tiga lumen
yang digunakan untuk mengalirkan urin dari kandung
kemih, satu lumen untuk memasukkan cairan ke dalam
balon dan lumen yang ketiga dipergunakan untuk
melakukan irigasi pada kandung kemih dengan cairan atau
pengobatan (Potter dan Perry, 2010).

2.2.3. Indikasi kateterisasi


Kateterisasi sementara digunakan pada penatalaksanaan jangka
panjang klien yang mengalami cidera medulla spinalis, degenerasi
neuromuscular, atau kandung kemih yang tidak kompeten,
pengambilan spesimen urin steril, pengkajian residu urin setelah
pengosongan kandung kemih dan meredakan rasa tidak nyaman
akibat distensi kandung kemih (Perry dan Potter, 2010). Menurut
Hidayat (2011) kateterisasi sementara diindikasikan pada klien yang
tidak mampu berkemih 8-12 jam setelah operasi, retensi akut setelah
trauma uretra, tidak mampu berkemih akibat obat sedative atau
analgesic, cidera pada tulang belakang, degerasi neuromuscular
secara progresif dan pengeluaran urin residual.Kateterisasi menetap
(foley kateter) digunakan pada klien paskaoperasi uretra dan struktur
di sekitarnya (TUR-P), obstruksi aliaran urin, obstruksi uretra, pada
pasien inkontinensia dan disorientasi berat (Hidayat, 2011).

2.3. Konsep Bledder Training


2.3.1. Bledder Training
Bledder training adalah latihan kandung kemih yang bertujuan
mengembangkan tonus otot dan spingter kandung kemih agar fungsi
18

optimal. Bledder training adalah latihan kandung kemih setelah


kateter dipasang dalam waktu lama. Bledder training biasanya
digunakan untuk stress inkontenensia, desakan inkontenensia, atau
kombinasi keduanya yang disebut inkontenensia campuran. (Abdul
Majid, 2010).

Latihan kandung kemih atau bledder training dilakukan dengan


tujuan untuk mengembalikan pola normal perkemihan dengan
menghambat atau menstimulasi pengeluaran air kemih. Agar bledder
retraining ini berhasil, klien harus menyadari secara fisik mampu
mengikuti program pelatihan. Program tersebut meliputi penyuluhn,
upaya berkemih yang terjadwal, dan memberikan umpan baik postif.
Fungsi kandung kemih untuk sementara mungkin terganggu setelah
suatu periode kateterisasi. (Abdul Majid, 2010).

Perawatan pada awalnya mengkaji pola berkemih klien. Informasi


ini memungkinkan perawat merencanakan sebuah program yang
sering memakan waktu 2 minggu atau lebih untuk dipelajari.
Walaupun program dapat mulai dilaksanakan dirumah sakit atau
diunit rehabilitas, program tersebut mungkin perlu dilanjutkan
disuatu fasilitas perawatan yang luas atau dirumah. (Arif Muttaqin,
2011).

Dari pengertian diatas dapat disimpulkan bawha bledder training


adalah melatih kandung kemih setelah kateter dipasang, yang
bertujuan untuk mengembangkan tonus otot dan spingter kandung
kemih serta mengembalikan pola normal perkemihan dengan
menghambat atau menstimulasi pengeluaran air kemih.

Terdapat 3 macam metode bledder training, yaitu kegel exercise


(latihan pengencangan atau penguatan otot-otot dasar panggul),
19

delay urination (menunda berkemih), scheduled bathroom (jadwal


berkemih). (Arif Muttaqin, 2011).

Cara kerja bledder training adalah :


a. Memperpanjang waktu untuk menahan kemih.
b. Meningkatkan jumlah urine yang ditampung di dalam kandung
kemih.
c. Memperbaiki control terhadap pengeluaran urine.

2.3.2. Tujuan Bleder Training


2.3.2.1. Tujuan umum
Secara umum bledder training bertujuan untuk
mengembalikan pola normal berkemih dengan
menghambat bau menstimulasi pengeluaran air kemih.
bledder training dikatakan efektif apabila jumlah urine
setelah dilakukan bledder training lebih banyak
dibandingkan jumlah urine sebelum dilakukan bledder
training (Arif Muttaqin, 2011).
2.3.2.2. Tujuan khusus
2.3.2.2.1. Mengembangkan tonus otot kandung kemih
sehingga dapat mencegah inkontinensia.
2.3.2.2.2. Mencegah proses terjading batu utine.
2.3.2.2.3. Melatih kandung kemih untuk mengeluarkan
urine secara periodic.
2.3.2.2.4. Membantu klien untuk mendapatkan pola
berkemih rutin.
2.3.2.2.5. Mengontrol faktor-faktor yang mungkin
meningkatkan jumlah episode inkontinensia.
(Arif Muttaqin, 2011).
20

2.3.3. Indikasi Bledder Training


Bladder training dilakukan pada klien yang mengalami
inkontinensia atau terpasang kateter dalam waktu yang lama
sehingga funsgi singter kandung kemih menjadi terganggu. (Abdul
Majid, 2010).

2.3.4. Persiapan alat


2.3.4.1. Arteri klem
2.3.4.2. Sarung tangan
2.3.4.3. Bengkok
2.3.4.4. Air minum dalam gelas (200-250 cc)
2.3.4.5. Jam
2.3.4.6. Alat tulis

2.3.5. Prosedur Kerja


2.3.5.1. Perawat cuci tangan
2.3.5.2. Ucapkan salam
2.3.5.3. Jelaskan tjuan dan prosedur tindakan pada klien
2.3.5.4. Ciptakan lingkungan yang nyaman dengan menutup
ruangan atau tirai ruangan.
2.3.5.5. Atur posisi klien yang nyaman
2.3.5.6. Pakai sarung tangan steril
2.3.5.7. Ukur volume urine pada kantung urine dan kosongkan
kandung urine
2.3.5.8. Klem atau ikat selang kateter sesuai program (slama 1-2
jam) yang memungkinlan kandung kemih terisi urine dan
otot destrusor berkntraksi, supaya meningkatkan volume
urine residual.
2.3.5.9. Anjurkan klien untuk minum sesuai program (200-250cc).
2.3.5.10. Tanyakan pada klien apakah terasa ingin berkemih
(setelah 1 jam).
21

2.3.5.11. Buka klem atau ikatan, biarkan urine mengalir keluar.


2.3.5.12. Ulangi lai seperti langkah 8 selama 4 kali (4siklus)
2.3.5.13. Ukur volume dan perhatikan warna dan bau urine
2.3.5.14. Lepaskan sarung tangan dan bereskan semua peralatan
2.3.5.15. Perawat cuci tangan
2.3.5.16. Catat pada catatan perawatan : volume urine, warna dan
bau urine, serta respon klien. (Arif Muttaqin, 2011).

2.4. Konsep Buang Air Kecil (BAK)


2.4.1. Teknik obsevasi dalam hal mengukur/mengamati BAK :
2.4.1.1. Frekuensi atau jumlah pengeluaran urine normal
Frekuensi merupakan banyaknya jumlah berkemih dalam
sehari. Peningkatan frekuensi berkemih dikarenakan
meningkatnya jumlah cairan yang masuk. Frekuensi yang
tinggi tanpa suatu tekanan asupan cairan dapat disebabkan
oleh sistisis. Frekuensi tinggi dapat ditemukan juga pada
keadaan stress atau hamil. Kapasitas memegang urin
normal kantung kemih bervariasi dari 300 ml sampai
sekitar 350 ml, tapi dengan pelebaran penuh, dapat
menyimpan hingga 600 ml cairan ekskresi. Artinya,
volume meningkat hampir dua kali lipat pada pencapaian
distensi penuh. Namun, segera setelah 150 ml cairan
dikumpulkan, keinginan untuk buang air kecil ringan
diinduksi. (Syaiffudin . 2011). Jumlah urin normal rata-
rata 1 sampai 2 liter sehari, tetapi berbeda-beda sesuai
jumlah cairan yang dimasukkan. Banyaknya bertambah
pula bila terlampau banyak protein yang dimakan,
sehingga tersedia cukup cairan yang diperlukan untuk
melarutkan urea. Urin normal berwarna bening orange
pucat tanpa endapan, Baunya tajam, reaksinya sedikit
22

asam terhadap lakmus dengan pH rata-rata 6, berat


jenisnya berkisar dari 1.010 sampai 1.025 (Pearce. E. C,
2009).

2.4.2 Perkembangan Pengendalian Kandung Kemih


Kematangan seorang anak untuk dapat mengendalikan
kandung kemih tergantung dari:
2.4.2.1 Kapasitas kandung kemih yang adekuat
2.4.2.2 Pengendalian sfingter eksterna kandung kemih
secara sadar untuk memulai dan mengakhiri miksi.
2.4.2.3 Pengendalian pusat miksi diotak untuk merangsang
atau menghambat miksi pada berbagai tingkat
kapasitas kandung kemih (Gray dan Moore, 2009).

Pengisian kandung kemih, selain memicu refleks kandung


kemih juga menyebabkan rasa secara sadar bahwa kandung
kemih penuh juga menyebabkan timbulnya keinginan untuk
miksi. Persepsi kandung kemih yang penuh muncul
sebelum sfingter eksterna secara refleks melemas, sehingga
memberi peringatan bahwa proses miksi akan dimulai.
Akibatnya, kontrol volunter terhadap miksi yang dipelajari
selama toilet training pada masa anak-anak dini dapat
mengalahkan refleks miksi. Sehingga pengosongan
kandung kemih dapat terjadi sesuai keinginan orang yang
bersangkutan dan bukan pada saat pengisian kandung kemih
pertama kali mencapai titik yang menyebabkan pengaktifan
reseptor regang. Apabila saat miksi tidak tepat sementara
refleks miksi sudah dimulai, pengosongan kandung kemih
dapat secara sengaja dicegah dengan mengencangkan
sfingter eksterna dan diafragmapelvis sehingga impuls
eksitatoris volunter yang berasal dari korteks serebrum
23

mengalahkan masukan inhibitorik refleks dari reseptor


regang ke neuron-neuron motorik yang terlibat sehingga
otototot ini tetap berkontraksi dan urin tidak keluar
(Sherwood, 2011).

2.4.3 Jenis Makanan Dan Minuman Yang Mempengaruhi Jumlah


Urin.
Dehidrasi menyebabkan tubuh harus menerima asupan
cairan atau mengkonsumsi cairan. Cairan apapun baik untuk
tubuh dalam menghadapi dehidrasi. Perlu diperhatikan
mengenai cairan yang dikonsumsi, alangkah baiknya
apabila cairan yang dikonsumsi tersebut tidak mengandung
kuman, virus ataupun bakteri serta hindari konsumsi cairan
yang memiliki dampak mempercepat seseorang berkemih
(teh dan kopi) yang kurang efisien dalam menangani
dehidrasi. Menurut Elvina (2016) jenis konsumsi cairan
atau minuman yang dapat menyeimbangkan cairan di dalam
tubuh terbagi menjadi 3 jenis, yaitu minuman hipotonik,
isotonik dan hipertonik. Pengertianya sebagai berikut:
2.4.3.1 Minuman Hipotonik mengandung kadar elektrolit
(Na) dan juga rendah karbohidrat. Berfungsi
mengganti cairan yang keluar melalui keringat tanpa
menambah karbohidrat. Minuman hipotonik
merupakan minuman yang cepat diserap oleh usus,
sehinggan minuman ini bisa dikonsumsi saat
berolahraga. Contoh minuman hipotonik yang sering
dikonsumsi adalah air putih.
2.4.3.2 Minuman isotonik merupakan minuman pengganti
ion dan cairan yang hilang. Minuman ini memiliki
kosentrasi yang mirip dengan tubuh manusia,
sehingga cepat menggantikan keringat dan cepat
24

pula diserap tubuh. Minuman isotonik dapat


menggantikan elektrolit dan memberikan asupan
karbohidrat. Cocok dikonsumsi oleh seseorang yang
benar-benar memiliki kegiatan sangat padat.
Beberapa minuman isotonik yang mudah kita
jumpai di pasaran seperti pocari sweat, fatigon
hydro, mizone, dan vitazone serta minuman sport
drink lainya.
2.4.3.3 Minuman hipertonik merupakan minuman yang
mengandung karbohidrat sebesar 10%. Minuman
ini cocok untuk seseorang yang melakukan aktifitas
motorik yang berat. Minuman ini tidak dapat
merehidrasi cairan dalam tubuh atau tidak mampu
mengatasi dehidrasi karena substasi kandunganya
yang pekat. Secara umum minuman ini sering
diartikan sebagai minuman bernergi (energy drink),
proman, ekstra joss, kuku bima, ekstra joss bland
dan minuman lain yang dipercaya sebagai penambah
tenaga.

Ketika seseorang sedang mengalami dehidrasi minuman


yang paling tepat untuk dikonsumsi adalah minuman
isotonik, karena dalam minuman ini kandungannya mirip
konsentrasi cairan yang ada di dalam tubuh. Seseorang yang
mengalami dehidrasi juga dapat memilih minuman
hipotonik karena minuman ini dapat diserap oleh tubuh
dengan cepat.

Biologi Online (2009) Air dalam tubuh merupakan unsur


esensial. Tubuh memperoleh air secara eksogen dan
endogen. Air eksogen yaitu air yang berasal dari luar,
25

diperoleh dari air yang diminum dan air yang bersama


dengan makanan. Air endogen berarti air yang diperoleh
dari dalam tubuh sendiri berasal dari hasil oksidasi berbagai
nutrisi dalam tubuh. Air merupakan bahan yang sangat
penting bagi kehidupan umat manusia dan fungsinya tidak
dapat digantikan oleh senyawa lain. Berdasarkan
sumbernya air dapat dibagi menjadi beberapa macam, yaitu:
2.4.3.4 Air yang diperoleh secara Eksogen
Air yang diperoleh secara eksogen adalah air yang
didapat dari luar tubuh. Dimana air tersebut juga
berpengaruh di dalam menjaga keseimbangan cairan
di dalam tubuh, air eksogen meliputi:
a. Air Minum
1) Air bebas, merupakan air yang tidak terikat
oleh komponen lain, seperti aquades atau
air putih yang komponen terbesarnya
adalah H2O atau juga air yang terdapat
dalam ruang-ruang antar sel dan inter
granulardan pori-pori yang terdapat dalam
bahan air yang terdapat dalam bentuk
bebas.
2) Air yang terikat secara lemah karena
terserap (terabsorbsi) pada permukaan
koloid makro molekul seperti protein, pek-
tin, pati, selluosa. Ikatan antara air dengan
koloid tersebut merupakan ikatan hydrogen.
3) Air dalam keadaan terikat kuat yaitu
membentuk hidrat, ikatannya bersifat tonik
sehingga relative sukar dihilangkan. Air ini
tidak membeku meskipunpada suhu 00F.
26

4) Air dalam es yaitu merupakan suatu


senyawa yang terdiri dari molekul H2O
(HoH) yang tersusun sedemikian rupa
sehingga 1 atom H disatu sisi antara
sepasang atom oksigen molekul-molekul air
lainnya, membentuk suatu pasangan
simetrik, Dimana satu molekul (HoH) dapat
mengikat 4 molekul HoH yang berdekatan
dan jarak atom 0-0 yang berdampingan
sebesar 2,76 A0.
5) Air dalam kompleks minuman : peran air
dalam kompleks minuman yaitu sebagai
pelarut. Air dapat melarutkan bahan seperti
garam, vitamin, mineral, gula, dan
senyawa-senyawa seperti yang terkandung
dalam teh dan kopi.
b. Air dari Makanan Air yang terdapat dalam
bahan makanan dinamakan sebagai air terikat
yaitu suatu sistem yang mencakup air yang
mempunyai derajat keterikatan yang berbeda
dalam bahan. Menurut derajat keterikatan air
dapat dibedakan 4 tipe, yaitu :
1) Molekul-molekul air membentuk ikatan
hidrogen dengan molekul air lain.
2) Molekul air yang terikat pada molekul-
molekul lain melalui suatu ikatan hidrogen
yang berenergi besar.
3) Molekul yang secara fisik terikat dalam
jaringan matrik. Dalam membran, kapiler,
serat dan lain-lainnya.
27

4) Molekul yang tidal terikat dalam suatu


bahan. Berdasarkan ke empat tipe di atas
dapat dibedakan menjadi 2, yaitu:
(a) Air imbibisi: Air yang masuk ke dalam
bahan pangan menyebabkan
pengembangan volume. Misalnya air
yang tercampur dengan beras menjadi
nasi.
(b) Air Kristal: Air yang terikat dalam
semua bahan baik pangan maupun non
pangan yang membentuk Kristal.
Misalnya gul, garam, Cu SO4, dan lain-
lain.

2.4.3.5 Air yang Diperoleh secara Endogen


Air endogen merupakan air yang diperoleh dari hasil
oksidasi berbagai nutrisi dalam tubuh misalnya
karbohidrat dihidrolisis menjadi Co2 dan H2O. Air
endogen juga dapat dikatakan air yang diperoleh
dari proses metabolisme di dalam tubuh.

2.4.4 Jumlah Urin Normal


Giri Wiarto (2012) Menyatakan bahwa di dalam tubuh
manusia jumlah cairan yang ada cukup banyak sekitar 60%.
Cairan tubuh tersebut meliputi plasma darah, plasma
jaringan, cairan sinovial, cairan pada bola mata, dan
berbagai cairan yang terkandung dalam organ ataupun
jaringan. Komposisi cairan dalam tubuh individu yang
memiliki berat badan 70 kg adalah sekitar 42 kg hal ini di
dapatkan dari 60% x 70 kg = 42 kg. Kondisi cairan di dalam
28

tubuh dapat berubah-ubah tergantung pada aktifitas dan


konsumsi cairan yang dilakukan.

Selain dapat mengetahui kebutuhan cairan dalam tubuh


manusia Giri Wiarto (2015) juga menyatakan bahwa tubuh
akan mengeluarkan cairan melalui, paru-paru (pernafasan)
kelenjar ketingat, BAB dan BAK. Jumlah/volume BAK
normalnya perhari berkisar antara 900 – 2100 cc/hari hal ini
tergantung dengan seberapa banyak cairan yang di
konsumsi baik itu dari minuman maupun makanan.

2.5. Pengaruh bledder training terhadap jumlah pengeluaran BAK


Tujuan dari bladder training adalah untuk melatih kandung kemih dan
mengembalikan pola normal perkemihan dengan menghambat atau
menstimulasi pengeluaran air kemih. (AHCPR,dalam Engla 2017) terapi ini
bertujuan memperpanjang interval berkemih yang normal dengan berbagai
teknik distraksi atau teknik relaksasi sehingga frekuensi berkemih dapat
berkurang hanya 6-7 kali per hari atau 3-4 jam sekali. Melalui latihan, klien
diharapkan dapat menahan sensasi berkemih. Adapun Penelitian terdahulu
dilakukan oleh Bayhakki (2007) “Dampak Baldder Training Menggunakan
Modifikasi Cara Kozier Pada Pasien Pasca Bedah Ortopedi Yang Terpasang
Kateter Urin Di Ruang Rawat Bedah RSCM Jakarta“. Hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa adanya perbedaan pola berkemih dengan kelompok
treatment dan kelompok kontrol dan ada perbedaan yang signifikan lama
waktu pada kelompok treatment dan kelompok kontrol dan didukung juga
oleh rata - rata dari post – test kelompok treatment yeng lebih cepat dari
kelompok kontrol. Dalam jurnal yang mengungkapkan penelitian mengenai
“The influence Of Bladder Training Inititation On Residual Urine In The
Stroke Patients With Urine Catheter”. Penelitian ini menggunakan metode
Quasy eksperimental studi post - test dengan desain kelompok pembanding.
Dengan jumlah pasien 14 pasien stroke sebagai responden yang cocok
29

dengan kriteria inklusi yang terbagi dua kelompok, yaitu kelompok


treatment dan kelompok kontrol. Hasil penelitiannya menunjukkan adanya
perbedaan yang signifikan jumlah pengeluaran urin dan lama waktu, hasil
pre – test 12820ml dan post – test 2075ml. Bladder training adalah salah
satu upaya untuk mengendalikan fungsi kandung kemih yang mengalami
gangguan keadaan normal atau ke fungsi optimal neurogenik. Bladder
training merupakan salah satu terapi yang efektif diantara terapi
nonfarmakologis.

2.6 Bladder Training Pada Pasien Post Operasi Sectio Caesarea Yang
Terpasang Kateter
Operasi Sectio Caesarea bisa menyebabkan gangguan kebutuhan eliminasi
urine dimana pembedahan berefek menurunkan filtrasi glomerulus sebagai
dampak dari pemberian obat anestesi sehingga menyebabkan penurunan
jumlah produksi urine sehingga diperlukan untuk dilakukannya bladder
training. Bladder training bertujuan mengembalikan pola berkemih pasien
kembali normal. Detrusor kandung kemih tidak optimal mengosongkan
kandung kemih selama kateter urin terpasang. Pasca melahirkan kadar
steroid menurun sehingga menyebabkan penurunan fungsi ginjal. Fungsi
ginjal kembali normal dalam waktu satu bulan setelah wanita melahirkan.
Urin dalam jumlah yang besar akan dihasilkan dalam waktu 12 – 36 jam
sesudah melahirkan. Adanya odema trigonium yang menimbulkan obstruksi
sehingga terjadi retensi urin. Kondisi psikologis ibu: ibu takut untuk
berkemih karena nyeri akibat adanya laserasi pada perineum. (Indah
Wulaningsih, 2017)
Pasien post operasi sectio caesarea dengan anestesi spinal akan mengalami
kematian sistem kerja impuls sementara dan jaringan di sekitarnya. Anestesi
spinal akan berangsur-angur berkurang dan membutuhkan waktu kurang
lebih 8 jam sehingga pasien dapat merasakan dan menggerakkan bagian
tubuh yang sebelumnya tidak bekerja seperti otot kandung kemih dan otot
sfingter. Selama proses berkemih otot-otot perinium dan sfingter uretra
30

eksterna relaksasi, otot detrusor berkontraksi dan urin akan mengalir melalui
uretra. Pasien perlu dilakukan bladder training untuk merangsang otot
destrusor kandung kemih saat terpasang kateter urin.
2.7 Kerangka Konsep
Berdasarkan landasan teori diatas maka dapat disusun kerangka konsep
penelitian sebagai berikut :

Jumlah Urine sebelum Jumlah Urine setelah


Bladder training
perlakuan perlakuan

Gambar 2.1 kerangka konsep

2.8 Hipotesis
Hipotesis penelitian ini adalah tindakan Bledder Training efektif
mempengaruhi Jumlah Urine Pasca Kateterisasi Pada Pasien Post Operasi
Sectio Caesarea Di BLUD RSUD Dr. H. Soemarno Sostroatmodjo Kuala
Kapuas Tahun 2020.
BAB 3
METODE PENELITIAN

3.1. Desain Penelitian


Desain penelitian merupakan suatu strategi penelitian dalam mengidentifikasi
permasalahan sebelum perencanaan akhir pengumpulan data dan digunakan
untuk mendefinisikan struktur penelitian yang akan dilaksanakan (Nursalam,
2013). Dalam penelitian ini menggunakan penelitian kuantitatif dengan
metode penelitian quasi eksperimen with pretest-posttest design yaitu dengan
desain ini peneliti melakukan pengukuran tindakan bledder training pada
satu kelompok sebelum dan sesudah intervensi. Adapun bentuk rancangan
penelitian sebagai berikut :
Skema 3.1
Bentuk Rancangan Penelitian

O1 X1 O2
Observasi Jumlah Urine Perlakuan bladder Observasi Jumlah Urine
training

Keterangan:
O1 : Observasi awal jumlah urine bladder training sebelum perlakuan
O2 : Observasi akhir jumlah urine bladder training setelah perlakuan
Xl : Perlakuan bladder training

3.2. Definisi Operasional


Definisi operasional merupakan definisi berdasarkan karakteristik yang
diamati dan dapat diukur dari variabel dependen dan independen (Nursalam,
2013). Variabel dependennya yaitu bladder training, sedangkan variabel
independennya yaitu Jumlah Urine. Hal ini dapat dilihat pada tabel 3.1.

31
32

Tabel 3.1
Definisi Operasional Variable Penelitian
No Variabel Definisi Parameter Alat Ukur Skala Hasil Ukur
Operasional
Variabel Bebas (Independent Variable)
1 Bladder Latihan kandung SOP Wawancara - -
training kemih yang tersetruktur
bertujuan
mengembangkan
tonus otot dan
spingter kandung
kemih agar
fungsi optimal.
Variabel Terikat (Dependen Variable)
2. Jumlah Urine Jumlah Jumlah urin Jam - Hasil ukur di
keseluruhan per jam tulis dalam
urine yang keluar satuan
melalui kateter menit/jam.
dan tertampung
pada urine bag.

3.2. Populasi dan Sampel


3.3.1. Populasi
Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas subjek yang
mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan peneliti
untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya (Sugiyono,
2011). Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh ibu post operasi
section caesrea di BLUD RSUD Dr. H. Soemarno Sosroatmodjo
Kuala Kapuas pada Bulan Desember 2019.
3.3.2. Sampel
Sampel adalah bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh
populasi tersebut (Sugiyono, 2011). Sampel dalam penelitian ini
adalah ibu post operasi section caesrea di BLUD RSUD Dr. H.
Soemarno Sosroatmodjo Kuala Kapuas pada Bulan Desember 2019.
3.3.3. Tehnik Pengambilan Sampel
Sampel yang diambil adalah responden yang memberikan gambaran
karakteristik dari populasi. Sampel penelitian ini diambil dengan
tekhnik acidental sampling, adalah teknik penentuan sampel
berdasarkan kebetulan, yaitu siapa saja yang secara kebetulan bertemu
33

dengan peneliti yang memenuhi kriteria dapat digunakan sebagai


sampel (Sugiyono, 2016).

3.4. Tempat Dan Waktu Penelitian


3.4.1 Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di BLUD RSUD Dr. H. Soemarno
Sosroatmodjo Kuala Kapuas.
3.4.2 Waktu Penelitian
Penelitian ini dimulai dari awal perencanaan pembuatan proposal
yaitu pada bulan November 20l9, sampai dengan bulan April 2020.

3.5. Alat pengumpul data


Instrument penelitian digunakan untuk mengukur nilai variabel yang diteliti
(Sugiyono, 2011). Instrumen yang digunakan untuk pengumpulan data
meliputi:
3.5.1. Variabel Independen
Pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan metode
wawancara, merupakan metode pengumpulan data dengan cara
mewawancarai langsung (A.Aziz Alimul Hidayat, 2009: 87). Hal ini
peneliti mengguakan wawancara terstruktur yaitu meliputi strategi
yang memungkinkan adanya suatu contoh dari pembicaraan sesuai
dengan isi yang diinginkan peneliti (Nursalam, 2008: 108). Dalam
penelitian ini peneliti akan melakukan wawancara mengenai jumlah
urine sebelum dan setelah pelaksanaan bladder training.
3.5.2. Variabel Dependen
Instrumen penelitian untuk variabel dependen berupa pengukuran
waktu pengeluaran urin dengan menggunakan lembar observasi. Hasil
ukur dalam satuan menit/jam.
34

3.6. Tekhnik Pengumpul Data


Pengumpulan data adalah suatu proses pendekatan kepada subjek dan proses
pengumpulan karakteristik subjek yang diperlukan dalam satu penelitian
(Nursalam, 2013). Dalam penelitian ini pengumpulan data akan dilakukan
oleh peneliti. Adapun prosedur pengumpulan data dalam penelitian ini
sebagai berikut:
3.6.1 Prosedur Administrasi
Beberapa tahapan prosedur administrasi yang dilakukan peneliti
antara lain:
3.6.1.1. Mengajukan Surat Ijin Penelitian ke Fakultas Ilmu
Keperawatan Universitas Muhammadiyah Banjarmasin.
3.6.1.2. Mendapatkan Surat Ijin untuk melakukan penelitian di
BLUD RSUD Dr. H. Soemarno Sosroatmodjo Kuala
Kapuas dari Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas
Muhammadiyah Banjarmasin.
3.6.1.3. Peneliti menyampaikan surat ijin dari Fakultas Ilmu
Keperawatan Universitas Muhammadiyah Banjarmasin ke
kepala BLUD RSUD Dr. H. Soemarno Sosroatmodjo Kuala
Kapuas.
3.6.1.4. Mendapatkan Surat Ijin dan rekomendasi dari kepala
BLUD RSUD Dr. H. Soemarno Sosroatmodjo Kuala
Kapuas.

3.6.2 Prosedur Pelaksanaan


3.6.2.1. Mengidentifikasi pasien yang menjadi responden.
Kemudian peneliti yang menentukan calon responden yang
akan diberikan tindakan. Mendatangi calon
responden/keluarga tersebut dan menjelaskan mengenai
tujuan dan prosedur penelitian, kemungkinan risiko dan
ketidaknyamanan Calon responden/keluarga berhak untuk
menolak berpartisipasi tanpa mempengaruhi perawatan
35

yang akan didapatkan serta jaminan kerahasiaan dan


privacy.
3.6.2.2. Meminta keluarga responden untuk menandatangani lembar
persetujuan menjadi responden setelah menyetujui sebagai
partisipan dalam penelitian yang akan dilakukan.
3.6.2.3. Prosedur pelaksanaan penelitian sebagai berikut :
a. Tahap Pertama, Pre Eksperimen Measurenment
Sebelum melaksanakan tindakan dilakukan observasi
terlebih dahulu waktu pengeluaran urinnya.
b. Tahap Kedua, Treatment.
Setelah diobservasi, maka tahap selanjutnya adalah
melakukan treatment. Treatment ke pasien
menggunakan SOP. Observasi dilakukan per 30 menit
untuk menngetahui segera apabila ada perubahan yang
membahayakan klien.
c. Tahap Ketiga, Post Eksperiment Measurenment
Langkah ketiga sekaligus langkah terakhir adalah
melakukan observasi waktu pengeluaran urin apakah
ada perbedaan antara sebelum dan setelah treatment.

3.7. Tekhnik Analisa Data


Analisis data yang dilakukan setelah data-data yang diperlukan terkumpul.
Kegiatan dalam menganalisis data adalah mengelompokan data berdasarkan
variabel dari keseluruhan responden, mentabulasi dan menyajikan data tiap
variabel yang diteliti, melakukan perhitungan untuk menjawab rumusan
masalah dan melakukan perhitungan untuk menguji hipotesis yang telah
dirumuskan sebelumnya (Sugiyono, 2011). Tahapan dari analisis data harus
melalui proses pengolahan data terlebih dahulu.
3.7.1 Pengolahan Data
Peneliti akan melakukan penilaian kelengkapan, kejelasan dan
kesesuaian data yang didapat sesuai dengan data yang diinginkan.
36

3.7.1.1 Editing
Melakukan pengecekan terhadap kelengkapan dan kejelasan
data penelitian sehingga data yang ada dipastikan lengkap
memudahkan proses pengolahan data. Semua hasil
pengukuran yang ada dilembar observasi (terlampir)
diperiksa kelengkapannya.
3.7.1.2 Coding,
a. Jenis minuman yang di konsumsi
1. Air putih kode 1
2. Teh kode 2
3. Kopi kode 3
4. Sirup kode 4
b. Usia
1. 17 tahun – 30 tahun kode 1
2. 30 tahun – 40 tahun kode 2
3. > 40 tahun kode 3
c. Paritas
1. 1 anak kode 1
2. 2 anak kode 2
3. 3 anak kode 3
4. 4 anak kode 4
5. ≥5 anak kode 5

3.7.1.2 Entry Data


Peneliti akan memasukan data untuk diproses sebagai analisa
data. Kegiatan memproses data menggunakan komputer
dengan program SPSS. Uji statistik yang digunakan adalah
paired t Test.
37

3.7.1.3 Cleaning Data


Peneliti melakukan pengecekan kembali terhadap kesalahan
data yang telah dimasukan ke dalam komputer sebelum
maupun sesudah dilakukan analisis.

3.7.2 Analisa Data


Analisa data yang akan dilakukan dalam penelitian ini meliputi analisis
univariat, bivariat dengan penjelasan sebagai berikut:
3.7.2.1 Analisis Univariat
Analisis univariat dilakukan untuk mendeskripsikan semua
variabel yang diteliti. Adapun variabel yang dianalisis dengan
univariat adalah jumlah pengeluaran urine. Data numerik
menggunakan mean, median, standar deviasi, minimal dan
maksimal. Data yang numerik pada penelitian ini adalah,
jumlah urine sebelum dan sesudah perlakuan bledder training.
3.7.2.2 Analisis Bivariat
Analisis bivariat dilakukan untuk membuktikan hipotesis
penelitian yaitu dengan mengetahui efektifitas bledder
training terhadap jumlah urine pasca kateterisasi upada pasien
post operasi section caesrea di BLUD BLUD Dr. H.
Soemarno Sosroatmodjo Kuala Kapuas. Analisis bivariat
dalam penelitian ini dilakukan berdasarkan uji normalitas data
maka uji statistik yang digunakan adalah Paired t Test untuk
distribusi data normal dan untuk distribusi data tidak normal
maka digunakan uji wilcoxon. Analisis ini dilakukan dengan
bantuan perangkat komputer dengan menggunakan tingkat
kepercayaan 95%. Interpretasi hasil penelitian yaitu :
a. Jika p < 0,05 maka Hipotesis diterima yang berarti
tindakan bledder training efektif dalam meningkatkan
jumlah urine pasca kateterisasi pada pasien post operasi
38

section caesrea di BLUD RSUD Dr. H. Soemarno


Sosroatmodjo Kuala Kapuas.
b. Jika p > 0,05 maka hipotesis ditolak yang berarti tindakan
bledder training tidak efektif dalam meningkatkan jumlah
urine pasca kateterisasi pada pasien post operasi section
caesrea di BLUD RSUD Dr. H. Soemarno Sosroatmodjo
Kuala Kapuas.
Menurut Sugiyono (2011) pedoman untuk memberikan
interpretasi koefisien korelasi sebagai berikut:
Tabel 3.2
Tabel Interpretasi Koefisien Korelasi
No Nilai Interpretasi Koefisien Korelasi
1 0,00 - 0,199 Sangat Rendah
2 0,20 – 0,399 Rendah
3 0,40 – 0,599 Sedang
4 0,60 – 0,799 Kuat
5 0,80 – 1,000 Sangat Kuat

3.8. Etika Penelitian


Sebuah penelitian harus memperhatikan prinsip etik penelitian sebagai
bentuk rasa tanggungjawab terhadap upaya untuk mengenal dan
mempertahankan hak asasi manusia sebagai bagian dari sebuah penelitian
(Wood & Haber, 2010). Peneliti dalam melaksanakan penelitian ini, yang
melibatkan pasien sebagai responden harus memperhatikan prinsip etik
penelitian yaitu prinsip hak asasi manusia yang merujuk pada lima aspek
sesuai panduan American Nurse Association (ANA) yaitu:
3.8.1 Right to Information
Responden sebagai subyek penelitian mempunyai hak untuk
mendapatkan informasi mengenai tujuan, manfaat, risiko, metode
penelitian dan kerahasiaan informasi.

3.8.2 Right to self-determination


Responden sebagai subjek penelitian memiliki hak asasi dan
kebebasan untuk menentukan pilihan ikut serta atau menolak terlibat
39

dalam penelitian setelah mendapatkan informasi. Responden diberi


kesempatan untuk memberikan persetujuan ataupun menolak
berpartisipasi dalam penelitian. Jika responden bersedia, maka
diberikan lembar persetujuan atau informed consent (lihat lampiran 2)
untuk ditandatangani. Sebelum menandatangani format, responden
diberikan kesempatan untuk bertanya.
3.8.3 Right to privacy and dignity
Responden dalam penelitian ini orang tua memiliki hak untuk
mendapatkan privasi dalam hal menentukan waktu, tempat dan
kondisi lingkungan yang menjamin privacyi responden. Privacy
responden dijaga dengan cara menghargai setiap data yang diberikan
responden, tidak memaksakan responden untuk memberikan informasi
sesuai dengan keinginan peneliti, dan peneliti tidak membagi
informasi yang diberikan responden kepada orang lain.
3.8.4 Right to anonymity and confidentiality
Prinsip ini mengandung pengertian bahwa responden memiliki hak
untuk tidak diketahui identitas pribadinya serta dijaga kerahasiaan
pribadinya dari data yang telah diberikan oleh responden. Peneliti
tidak mencantumkan nama responden dalam kuesioner penelitian
tetapi hanya berupa inisial kode responden untuk tujuan identifikasi,
selain itu peneliti akan menjamin kerahasiaan dari seluruh informasi
yang diberikan responden dalam kuesioner dan tidak akan
dipublikasikan. Informasi yang telah dikumpulkan dalama bentuk
lembaran kertas dan data dipindahkan ke dalam software. Data
disimpan selama minimal 3 tahun, hal ini berdasarkan rekomendasi
Human Research Review Committee if Grand Valley State University
bahwa data penelitian minimal disimpan selama 3 tahun dan tidak ada
maksimum lama penyimpanan data penelitian.
3.8.5 Right to fair treatment
Peneliti dalam memilih responden akan memperhatikan prinsip
keadilan yang berarti peneliti tidak melakukan diskriminasi saat
40

memilih responden penelitian. Responden penelitian yang


mendapatkan intervensi dan kontrol sama dilakukan observasi ketat
per 30 menit.
3.8.6 Right to protection from discomfort and harm
Prinsip ini mengandung makna bahwa sebuah penelitian yang
dilakukan hendaknya tidak akan menimbulkan ketidaknyamanan dan
kerugian bagi responden. Penelitian dilaksanakan dengan tetap
memperhatikan kondisi fisik pasien. Kenyamanan responden baik
fisik, psikologis dan social tetap dipertimbangkan.

Anda mungkin juga menyukai