Anda di halaman 1dari 10

BAB IV

PEMBAHASAN

Operasi dapat mengubah alur fisiologis eliminasi urin sehingga retensi urin post
operasi cukup sering terjadi. Anastesi, medikasi, nyeri, dan perubahan fisiologis akibar
operasi itu sendiri termasuk destruksi local memiliki efek potensial pada mikturisi dan
terutama sistem saraf otonom. Anastesi secara farmakologi mempengaruhi mikturisi
normal. Anastesi general, spinal, dan regional dapat mengarah pada retensi urin post
operasi dengan menekan kontrol dan refleks berkemih pada sistem saraf pusat dan sistem
saraf perifer sehingga membloking transmisi saraf di sumsum tulang belakang sakral.
Anastesi general menyebabkan pelemasan otot polos dan penurunan kontraktilitas kandung
kemih sekaligus mengganggu regulasi otonom detrusor. Anastesi spinal dan epidural
berdampak pada berkemih dengan cara yang berbeda karena anastesi tersebut
menggganggu saraf aferen dan eferen dan busur refleks mikturisi saat mereka masuk dan
keluar dari sumsum tulang belakang dan menuju ke pusat miksi sentral. Retensi urin post
operasi memiliki efek seperti nyeri suprapubik dan ketidaknyamanan, kejang kandung
kemih, dan inkontinensia urin dengan ketidakmampuan untuk mengeliminasi urin (Pomajzl
& Siref, 2020).

Beberapa penelitian mendapatkan bahwa sebanyak 13% pasien yang dirawat post
operasi mengalami retensi urin (Hansen, Soreide, Warland, & Nilsen, 2011). Estimasi
kejadian retensi urin pada pasien setelah operasi pelvis bervariasi dari 2.5% - 43% (Geller,
2014). Retensi urin yang terjadi setelah anastesi dan pembedahan berkisar antara 5% - 70%
(Steggall, 2013).

Pemasangan kateter urin merupakan standar praktik untuk operasi kolorektal bagian
abdomen untuk dekompresi kandung kemih, pengukuran urin output, dan manajemen untuk
retensi urin post operasi. Meskipun demikian, pemasangan kateter dapat berpotensi
menyebabkan urinary tract infection (UTI) yang bisa mengarah pada urosepsis,
ketidaknyamanan, dan waktu rawat inap yang panjang. Pemasangan kateter urin perlu
segera dilepaskan apabila kondisi pasien tidak ada gangguan eliminasi urin. Pada pasien
dengan operasi kolorektal abdomen melepas kateter pada 1 hari setelah operasi disarankan.
Untuk pasien dengan operasi ekstremitas mengengah sampai bawah memiliki risiko retensi
urin lebih tinggi maka disarankan 3-6 hari setelah operasi sudah melepas kateter (Hendren,
2013).

Manajemen retensi urin post operasi dapat dilakukan pertama kali dengan
indentifikasi dini, pasien yang menjalani operasi perlu dilakukan pengkajian terkait fungsi
berkemihnya (Geller, 2014). Intervensi yang cukup efektif dalam masalah eliminasi urin
adalah pemasangan kateter urin dan bladder training (Potter & Perry, 2010). Bladder
training adalah cara untuk mengembalikan kandung kemih pada keadaan fungsi normal
dengan menunda berkemih, menolak atau menghambat sensasi urgensi, dan berkemih
sesuai dengan waktu yang ditentukan bukan berdasar keinginan atau urgensi untuk
berkemih (Berman, Snyder, & Frandsen, 2016).

Kegel exercise merupakan salah satu intervensi yang dapat dilakukan untuk
mengatasi gangguan eliminasi urin, kegel exercise mudah dilakukan, efektif, tidak
menimbulkan efek samping, dan tidak membutuhkan banyak biaya. Kegel exercise
berfungsi untuk mempertahankan kekuatan otot dasar panggul dan mengkontraksikan otot
detrusor kandung kemih sehingga meminimalisir inkontensia urin (Chang, Lam, & Patel,
2016). Selain itu, mobilisasi dini juga merupakan salah satu manajemen eliminasi urin pada
pasien post operasi. Mobilisasi dini adalah aktivitas yang dilakukan pada pasien post
operasi untuk membantu pemulihan serta mencegah terjadinya komplikasi salah satunya
adalah retensi urin (Frayoga & Nurhayati, 2018).

Fenomena yang sering terjadi pada pasien post operasi terutama pada operasi
abdomen dan ekstremitas mengengah sampai bawah banyak ditemukan pasien yang
mengalami gangguan pemenuhan eliminasi urin seperti retensi urin maupun inkontinensia
urin. Manajemen pemenuhan kebutuhan eliminasi tersebut salah satunya adalah dengan
pemasangan kateter urin namun memiliki risiko bila dipasang terlalu lama. Sehingga,
intervensi non-farmakologi yang bisa membantu pasien post operasi diantaranya adalah
bladder training, kegel exercise, dan mobilisasi dini. Intervensi tersebut dapat dilakukan
untuk mengatasi retensi urin maupun inkontinensia urin yang mengarah pada pelepasan
kateter lebih cepat.

Berdasar hasil penelitian yang dilakukan oleh Pratiwi, Siswanti, & Sudiarto (2017)
yang dilakukan pada 30 pasien post operasi BPH dengan terpasang kateter. Pada sampel
penelitian tersebut terbagi ke dalam kelompok perlakuan dan kelompok kontrol, masing-
masing 15 pasien. Hasil penelitian tersebut didapatkan bahwa dengan uji Mann Whitney
nilai signifikan p<0,05 (p-value 0,001) dengan nilai Z score -3.350 yang berarti terdapat
perbedaan antara kelompok perlakukan dan kelompok kontrol setelah dilakukan bladder
training sejak dini. Perbandingan nilai rerata pada bladder training sejak dini 2.73 dan nilai
rerata pada bladder training biasa 11.33 membuktikan bahwa bladder training sejak dini
lebih baik. Pada penelitian ini bladder training dilakukan setiap hari namun tidak dijelaskan
waktu klem dan pelepasannya dalam kurun waktu berapa jam.

Penelitian lain terkait efektivitas bladder training pada pasien post operasi BPH di
ruang rawat inap RSUD Soreang. Penelitian ini dilakukan pada 60 pasien dengan rincian 30
pasien diberikan intervensi bladder training delay urination dan 30 pasien diberikan
intervensi bladder training scheduled urination. Bladder training delay urination dilakukan
dengan cara mengklem dan melepaskannya kembali selama 7 kali per hari dari pagi sampai
sore setelah proses irigasi urin selesai, bladder training delay urination dilakukan sampai
pasien dapat merasakan dan menunda keinginan berkemih. Bladder training scheduled
urination dilakukan dengan cara pembiasaan berkemih sesuai jadwal yang sudah dibuat
sebanyak 7 kali per hari, jadwal tersebut harus diikuti oleh pasien sampai pasien dapat
mengenal dan memberikan respon yang sesuai terhadap keinginan berkemih. Hasil
penelitian ini menunjukan usia pasien paling banyak berusia lebih dari 56 tahun sebanyak
33 pasien, kondisi awal seluruh pasien adalah inkontinensia urin, setelah diberikan
intervensi delay urination 11 pasien tidak mengalami inkontinensia urin dan untuk
intervensi scheduled intervention 15 pasien tidak mengalami inkontinensia urin
(Nurhasanah & Hamzah, 2017).

Salah satu operasi yang membutuhkan anastesi spinal adalah operasi sectio caesare
sehingga pada pasien post operasi sectio caesare. Penelitian yang dilakukan oleh Nurliaty &
Aspiati (2019) di RS Advent Medan pada 26 pasien post operasi section caesare dengan 13
pasien sebagai kelompok intervensi dan 13 pasien sebagai kelompok kontrol. Hasil
penelitian ini menunjukan bahwa setelah dilakukan bladder training sebanyak 4 siklus pada
kelompok intervensi, 10 pasien dapat mengontrol eliminasi urin dan 3 pasien tidak dapat
mengontrol eliminasi urin. Pada kelompok kontrol yang tidak diberikan intervensi bladder
training, 4 pasien dapat mengontrol eliminasi urin dan 9 pasien tidak dapat mengontrol
eliminasi urin.

Beberapa hasil penelitian tersebut menyatakan bahwa bladder training merupakan


intervensi yang dapat membantu pemenuhan kebutuhan eliminasi urin seperti inkontinensia
urin dan kemampuan mengontrol eliminasi urin. Bladder training meningkatkan kapasitas
retensi kandung kemih. Tekanan pada otot detrusor menyebabkan regangan pada otot halus
yang memungkinkan untuk mengembangkan tonus kandung kemih. Otot detrusor
bertanggung jawab atas tonus kandung kemih tidak dipersarafi oleh jaringan saraf tertentu,
reaksi serat otot secara langsung masih mungkin terjadi bahkan jika denervasi sepenuhnya
(Crowe et. al dalam Büyükyilmaz et al., 2020)

Latihan otot panggul atau kegel exercise merupakan salah satu metode untuk
mengatasi inkontinensia urin pada pasien post operasi. Kegel exercise adalah rekomendasi
metode yang diberikan oleh International Continence Society sebagai Langkah awal untuk
mengatasi inkontinensia urin. Terdapat perbedaan yang bermakna dalam mengatasi
inkontinensia urin pada pasien post operasi prostatektomi. Pengembalian lebih awal
inkontinensia urin didapatkan lebih awal pada pasien yang melakukan kegel exercise
(Sulistyaningsih, 2015).
Beberapa artikel terkait kegel exercise dan masalah pemenuhan eliminasi urin pada
post operasi terutama pada pasien BPH menunjukan hasil yang bervariasi. Hasil penelitian
mendapatkan bahwa terdapat penurunan signifikan terhadap inkontinensia urin pada pasien
post operasi yang melakukan kegel exercise. Bahkan intervensi kegel exercise yang
dilakukan pada pre operasi dan dilanjutkan hingga post operasi berdampak pada waktu
kontinens yang lebih cepat. Tetapi pada beberapa randomized controlled trial juga
ditemukan bahwa kegel exercise tidak berpengaruh pada kondisi inkontinensia urin yang
membaik (Dorey, 2013). Hasil yang berbeda-beda pada efektifitas kegel exercise dan
inkontinensia urin disimpulkan bahwa terdapat pelaporan teknik yang buruk dan
pengukuran hasil yang berbeda di tiap penelitian (Lucas et al., 2015).

Manajemen eliminasi urin yang dapat dilakukan lainnya adalah mobilisasi dini.
Penelitian yang dilakukan pada pasien post operasi dengan spinal anastesi sejumlah 16
pasien yang dibagi sebanyak 8 pasien untuk kelompok kontrol dan kelompok intervensi.
Diberikan intervensi dengan SOP mobilisasi yang sudah baku, namun pada penelitian ini
tidak disebutkan langkah-langkahnya atau tindakan apa saja yang dilakukan. Hasil
penelitian tersebut didapatkan bahwa terdapat pengaruh terapi mobilisasi dini pada
pemulihan kandung kemih post operasi dengan anastesi spinal. Pada pasien yang
melakukan mobilisasi dini post operasi, fungsi kandung kemihnya pulih setelah 8 jam
pelepasan kateter sementara pasien yang tidak melakukan mobilisasi dini belum pulih
setelah 8 jam pelepasan kateter. Pasien yang diberikan terapi mobilisasi dini memiliki
peluang 49 kali lebih cepat dalam pemulihan kandung kemih (Frayoga & Nurhayati, 2018).

Terdapat hubungan antara mobilisasi dini dan penurunan insiden retensi urin post
operasi (Jackson et al., 2019). Mobilisasi dini diperlukan untuk membantu mempercepat
pemulihan kekuatan otot pada pasien post operasi sehingga dapat mengembalikan fungsi
activity daily living. Intervensi mobilisasi dini akan membuat otot sensorik dan motorik
yang dihambat oleh anastesi kembali normal agar tidak terjadi komplikasi lebih lanjut
(Frayoga & Nurhayati, 2018). Namun, intervensi mobilisasi dini tidak banyak dilakukan
dibandingkan ddengan bladder training dan kegel exercise dalam mengatasi gangguan
eliminasi urin. Selain itu, kebanyakan dari intervensi mobilisasi dini tidak dijelaskan lebih
lanjut langkah-langkah yang dilakukan melainkan hanya menyebutkan tindakan mobilisasi
dini.

Peran perawat dalam mengatasi masalah pemenuhan kebutuhan eliminasi urin pada
pasien post operasi dapat dimulai dengan pengkajian pre operasi dan perencanaan. Perawat
terlebih dahulu mengetahui status kesehatan pasien sebelum operasi sampai pelaksanaan
operasi. Setelah pasien operasi, perawat mengkaji kembali kondisi pasien dan melakukan
perencanaan. Aktivitas keperawatan pada perawatan post operasi adalah memonitor,
memberikan terapi oksigen, monitor perdarahan dan cairan, monitor urin output, serta
memberikan kenyamanan pasien dan mengkaji nyeri (Nilsson, Gruen, & Myles, 2020).

Salah satu peran perawat dalam pemenuhan kebutuhan eliminasi urin pada pasien
post operasi adalah sebagai edukator. Perawat dapat memberikan pengetahuan dan
informasi terkait tindakan perawatan sehingga pasien dan keluarga dapat mengetahui dan
melaksanakan tindakan tersebut agar tercapainya kondisi yang lebih baik (Ginting, 2020).
Contohnya dalam kasus post operasi mengalami gangguan eliminasi urin dan akan
dilakukan intervensi bladder training atau kegel exercise. Perawat dapat memberikan
informasi terkait tujuan intervensi tersebut dan mengajarkan langkah-langkah untuk
melakukan bladder training atau kegel exercise.

Peran perawat yang utama adalah care giver yaitu mampu memberikan pelayanan
keperawatan kepada individu sesuai dengan diagnosa masalah yang terjadi (Yuniarti,
2014). Pada kasus ini peran perawat sebagai care giver dapat dikolaborasikan dengan
edukator karena setelah memberikan edukasi terkait intervensi yang dilakukan, perawat
juga membantu pasien dalam melakukan intervensinya untuk memastikan pelaksanaannya
tepat. Selain itu, peran perawat sebagai care giver juga untuk memastikan keseluruhan
proses keperawatan mulai dari pengkajian hingga evaluasi terlaksana dengan sesuai.
BAB V
SIMPULAN & SARAN

5.1 Simpulan

Prosedur operasi dapat mengakibatkan efek samping setelah operasi. Hal


tersebut dapat terjadi akibat anastesi, perubahan fisiologi akibat operasi, dan
pengobatan. Salah satu efek post operasi yang cukup bayak terjadi adalah gangguan
eliminasi urin. Terjadinya gangguan eliminasi urin menyebabkan adanya rasa nyeri,
sulit buang air kecil, atau sulit menahan buang air kecil yang mana hal tersebut
tentu mengganggu kenyamanan pasien post operasi.

Penatalaksanaan untuk gangguan eliminasi urin dengan pendekatan non-


farmakologi yang dapat dilakukan adalah dengan pemasangan kateter urin. Namun
pemasangan kateter urin berpotensi menyebabkan infeksi saluran kemih jika dipakai
dalam jangka waktu yang lama. Intervensi yang dapat membantu mengatasi retensi
urin atau inkontinensia urin diantaranya bladder training, kegel exercise, dan
mobilisasi dini untuk mempercepat waktu pelepasan kateter urin. Berdasar hasil
analisis artikel mengenai intervensi pada gangguan eliminasi urin, bladder training
merupakan intervensi yang paling banyak dilakukan dan efektif untuk mengatasi
gangguan eliminasi urin yaitu inkontinensia urin. Selain itu, kegel exercise dan
mobilisasi dini dapat membantu pasien post operasi untuk lebih cepat
mengembalikan fungsi berkemih normal.

5.2 Saran
Perawat perlu mengkaji secara menyeluruh pada pasien post operasi
terutama pada pemenuhan kebutuhan urin dengan memantau urin output pasien
serta mengkaji keluhan yang terjadi. Diharapkan perawat dapat menerapkan
intervensi bladder training, kegel exercise, atau mobilisasi dini untuk membantu
pemenuhan kebutuhan eliminasi urin pada pasien post operasi. Meskipun terdapat
pilihan intervensi, pastikan melakukan intervensi sesuai dengan kebutuhan pasien
dan kemampuan serta kenyamanan pasien.

Penerapan intervensi juga perlu dilakukan sesuai prosedur dan dalam jangka
waktu yang telah ditentukan agar keberhasilan intervensi dapat tercapai. Selain
untuk memandirikan dan memberikan kenyamanan pada pasien, perawat perlu
memberikan edukasi terkait pentingnya melakukan intervensi tersebut agar fungsi
berkemih dapat lebih cepat pulih serta mencegah terjadinya masalah atau
komplikasi post operasi.
DAFTAR PUSTAKA
Berman, A., Snyder, S., & Frandsen, G. (2016). Kozier & Erb’s Fundamentals of Nursing
Concepts, Process, and Practice (Tenth Edit). New Jersey: Pearson Education.
Büyükyilmaz, F., Culha, Y., Zümreler, H., Özer, M., Culha, M. G., & Ötünçtemur, A.
(2020). The effects of bladder training on bladder functions after transurethral
resection of prostate. Journal of Clinical Nursing, 29(11–12), 1913–1919.
https://doi.org/10.1111/jocn.14939
Chang, J. I., Lam, V., & Patel, M. I. (2016). Preoperative Pelvic Floor Muscle Exercise and
Postprostatectomy Incontinence: A Systematic Review and Meta-analysis. European
Urology, 69(3), 460–467. https://doi.org/10.1016/j.eururo.2015.11.004
Dorey, G. (2013). Pelvic floor exercises after radical prostatectomy. British Journal of
Nursing, 22(9 SUPPL.).
Frayoga, F., & Nurhayati, N. (2018). Pengaruh Mobilisasi Dini terhadap Pemulihan
Kandung Kemih Pasca Pembedahan dengan Anastesi Spinal. Jurnal Ilmiah
Keperawatan Sai Betik, 13(2), 226. https://doi.org/10.26630/jkep.v13i2.936
Geller, E. J. (2014). Prevention and management of postoperative urinary retention after
urogynecologic surgery. International Journal of Women’s Health, 6(1), 829–838.
https://doi.org/10.2147/IJWH.S55383
Ginting, D. S. (2020). Peran Perawat Sebagai Edukator Dalam Pengimplementasian
Discharge Planning Untuk Proses Asuhan Keperawatan. Program Studi Magister
Ilmu Keperawatan Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara.
Hansen, B. S., Soreide, E., Warland, A. M., & Nilsen, O. B. (2011). Risk factors of post‐
operative urinary retention in hospitalised patients. Anaesthesiologica Scandinavica.
https://doi.org/https://doi.org/10.1111/j.1399-6576.2011.02416.x
Hendren, S. (2013). Urinary catheter management. Clinics in Colon and Rectal Surgery,
26(3), 178–181. https://doi.org/10.1055/s-0033-1351135
Jackson, J., Davies, P., Leggett, N., Nugawela, M. D., Scott, L. J., Leach, V., … Whiting,
P. (2019). Systematic review of interventions for the prevention and treatment of
postoperative urinary retention. BJS Open, 3(1), 11–23.
https://doi.org/10.1002/bjs5.50114
Lucas, M. G., Betretdinova, D., Berghmans, L. C., Bosch, J. L. H. R., Burkhard, F. C.,
Cruz, F., … Pickard, R. S. (2015). EAU guidelines on urinary incontinence. European
Association of Urology.
Nilsson, U., Gruen, R., & Myles, P. S. (2020). Postoperative recovery: the importance of
the team. Anaesthesia, 75(S1), e158–e164. https://doi.org/10.1111/anae.14869
Nurhasanah, T. N., & Hamzah, A. H. (2017). Bladder Training Berpengaruh Terhadap
Penurunan Kejadian Inkontinensia Urine Pada Pasien Post Operasi Bph Di Ruang
Rawat Inap Rsud Soreang. Jurnal Ilmu Dan Teknologi Kesehatan, 5(1), 79–91.
https://doi.org/10.32668/jitek.v5i1.83
Nurliaty, & Aspiati. (2019). Efektivitas Bladder Training Terhadap Kemampuan
Mengontrol Eliminasi Urine Pada Pasien Post Operasi Sectio Caecaria di RS Advent
Medan 2019. Jukkessutra (Jurnal Kesehatan Surya Nusantara), 1–13.
Pomajzl, A., & Siref, L. E. (2020). Post-op Urinary Retention. https://doi.org/31751034
Pratiwi, A. N., Siswanti, J., & Sudiarto. (2017). PENGARUH BLADDER TRAINING
SECARA DINI TERHADAP INKONTINENSIA URIN PADA PASIEN POST OPERASI
BPH di RSUD dr. LOEKMONO HADI KUDUS. Retrieved from
http://repository.poltekkes-smg.ac.id/index.php?
p=show_detail&id=12813&keywords=
Sulistyaningsih, D. R. (2015). Latihan Otot Dasar Panggul Efektif Untuk Mengatasi
Inkontinensia Urin Pada Klien Post Operasi Prostatectomy. Nurscope : Jurnal
Penelitian Dan Pemikiran Ilmiah Keperawatan, 1(2), 1.
https://doi.org/10.30659/nurscope.1.2.1-8
Steggal, M., Treacy, C., & Jones, M. (2013). Post-operative urinary retention. Nursing
standard (Royal College of Nursing (Great Britain) : 1987), 28(5), 43–48.
https://doi.org/10.7748/ns2013.10.28.5.43.e7926
Yuniarti, S. (2014). Peran perawat sebagai care giver nurse role as a care giver. Jurnal
Keperawatan, VII(1), 13–17.

Anda mungkin juga menyukai