Anda di halaman 1dari 17

BAB IV

PEMBAHASAN

4.1 Pembahasan Intervensi Pemenuhan Kebutuhan Eliminasi Urin Pada Pasien Post
Operasi
Operasi dapat mengubah alur fisiologis eliminasi urin sehingga retensi urin post
operasi cukup sering terjadi. Anastesi, medikasi, nyeri, dan perubahan fisiologis akibar
operasi itu sendiri termasuk destruksi local memiliki efek potensial pada mikturisi dan
terutama sistem saraf otonom. Anastesi secara farmakologi mempengaruhi mikturisi
normal. Anastesi general, spinal, dan regional dapat mengarah pada retensi urin post
operasi dengan menekan kontrol dan refleks berkemih pada sistem saraf pusat dan sistem
saraf perifer sehingga membloking transmisi saraf di sumsum tulang belakang sakral.
Anastesi general menyebabkan pelemasan otot polos dan penurunan kontraktilitas kandung
kemih sekaligus mengganggu regulasi otonom detrusor. Anastesi spinal dan epidural
berdampak pada berkemih dengan cara yang berbeda karena anastesi tersebut
menggganggu saraf aferen dan eferen dan busur refleks mikturisi saat mereka masuk dan
keluar dari sumsum tulang belakang dan menuju ke pusat miksi sentral. Retensi urin post
operasi memiliki efek seperti nyeri suprapubik dan ketidaknyamanan, kejang kandung
kemih, dan inkontinensia urin dengan ketidakmampuan untuk mengeliminasi urin (Pomajzl
& Siref, 2020).

Beberapa penelitian mendapatkan bahwa sebanyak 13% pasien yang dirawat post
operasi mengalami retensi urin (Hansen, Soreide, Warland, & Nilsen, 2011). Estimasi
kejadian retensi urin pada pasien setelah operasi pelvis bervariasi dari 2.5% - 43% (Geller,
2014). Retensi urin yang terjadi setelah anastesi dan pembedahan berkisar antara 5% - 70%
(Steggall, 2013).

Pemasangan kateter urin merupakan standar praktik untuk operasi kolorektal bagian
abdomen untuk dekompresi kandung kemih, pengukuran urin output, dan manajemen untuk
retensi urin post operasi. Meskipun demikian, pemasangan kateter dapat berpotensi
menyebabkan urinary tract infection (UTI) yang bisa mengarah pada urosepsis,
ketidaknyamanan, dan waktu rawat inap yang panjang. Pemasangan kateter urin perlu
segera dilepaskan apabila kondisi pasien tidak ada gangguan eliminasi urin. Pada pasien
dengan operasi kolorektal abdomen melepas kateter pada 1 hari setelah operasi disarankan.
Untuk pasien dengan operasi ekstremitas mengengah sampai bawah memiliki risiko retensi
urin lebih tinggi maka disarankan 3-6 hari setelah operasi sudah melepas kateter (Hendren,
2013).

Manajemen retensi urin post operasi dapat dilakukan pertama kali dengan
indentifikasi dini, pasien yang menjalani operasi perlu dilakukan pengkajian terkait fungsi
berkemihnya (Geller, 2014). Intervensi yang cukup efektif dalam masalah eliminasi urin
adalah pemasangan kateter urin dan bladder training (Potter & Perry, 2010). Bladder
training adalah cara untuk mengembalikan kandung kemih pada keadaan fungsi normal
dengan menunda berkemih, menolak atau menghambat sensasi urgensi, dan berkemih
sesuai dengan waktu yang ditentukan bukan berdasar keinginan atau urgensi untuk
berkemih (Berman, Snyder, & Frandsen, 2016).

Kegel exercise merupakan salah satu intervensi yang dapat dilakukan untuk
mengatasi gangguan eliminasi urin, kegel exercise mudah dilakukan, efektif, tidak
menimbulkan efek samping, dan tidak membutuhkan banyak biaya. Kegel exercise
berfungsi untuk mempertahankan kekuatan otot dasar panggul dan mengkontraksikan otot
detrusor kandung kemih sehingga meminimalisir inkontensia urin (Chang, Lam, & Patel,
2016). Selain itu, mobilisasi dini juga merupakan salah satu manajemen eliminasi urin pada
pasien post operasi. Mobilisasi dini adalah aktivitas yang dilakukan pada pasien post
operasi untuk membantu pemulihan serta mencegah terjadinya komplikasi salah satunya
adalah retensi urin (Frayoga & Nurhayati, 2018).

Fenomena yang sering terjadi pada pasien post operasi terutama pada operasi
abdomen dan ekstremitas mengengah sampai bawah banyak ditemukan pasien yang
mengalami gangguan pemenuhan eliminasi urin seperti retensi urin maupun inkontinensia
urin. Manajemen pemenuhan kebutuhan eliminasi tersebut salah satunya adalah dengan
pemasangan kateter urin namun memiliki risiko bila dipasang terlalu lama. Sehingga,
intervensi non-farmakologi yang bisa membantu pasien post operasi diantaranya adalah
bladder training, kegel exercise, dan mobilisasi dini. Intervensi tersebut dapat dilakukan
untuk mengatasi retensi urin maupun inkontinensia urin yang mengarah pada pelepasan
kateter lebih cepat.

4.2 Bladder Training


Penelitian yang dilakukan oleh Shabrini et al. (2015) mendapatkan bahwa pasien
post operasi yang diberikan intervensi bladder training sejak dini lebih baik dalam
mengatasi inkontinensia urin pada pasien. Penelitian ini dilakukan pada 30 pasien post
operasi yang terpasang kateter urin. Sebanyak 15 pasien sebagai kelompok perlakuan
diberikan intervensi bladder training sejak dipasang kateter sampai dengan dilepas kateter.
15 pasien lainnya sebagai kelompok kontrol diberikan intervensi bladder training sebelum
pelepasan kateter. Intervensi bladder training yang dilakukan adalah dengan cara kateter
diklem selama 2 jam dan dilepas setelah 1 jam. Tetapi pada penelitian ini tidak dijelaskan
prosedur bladder training yang dilakukan, hanya menjelaskan bahwa bladder training
dilakukan setiap hari dan tidak dijelaskan berapa hari dilakukan intervensi bladder training.

Efektivitas bladder training yang dilakukan pada pasien post operasi BPH pada hari
kedua setelah operasi menunjukan bahwa ada efek positif yang signifikan pada pemenuhan
kebutuhan eliminasi urin. Penelitian ini dilakukan oleh Büyükyilmaz et al. (2020) pada 50
pasien post operasi BPH. 28 pasien sebagai kelompok eksperimen yaitu dilakukan
intervensi bladder training dengan mengklem kateter pada interval 4 jam dan dibuka selama
5 menit, intervensi ini dilakukan pada hari kedua post operasi. Klem dilepas ketika pasien
mengatakan ingin buang air sebelum selesai interval 4 jam. Intervensi ini diulang selama 24
jam sampai hari ketiga post operasi. 22 pasien kelompok kontrol tidak dilakukan bladder
training namun kateter urinnya dilepas pada hari ketiga post operasi.
Bladder training yang dikombinasikan dengan kegel exercise lebih efektif dalam
mempercepat buang air kecil pertama pada pasien post operasi (Agustin, Kristyawati, &
Arief, 2017). Bladder training yang dilakukan pada 18 kelompok intervensi adalah dengan
menjepit kateter selama kurang lebih 1-2 jam dan melepaskannya ketika pasien merasa
sudah ingin berkemih. Tetapi pada penelitian ini tidak dijelaskan pada hari ke berapa post
operasi dan sampai hari ke berapa post operasi intervensi bladder training ini dilakukan.

Berdasar hasil penelitian yang dilakukan oleh Pratiwi, Siswanti, & Sudiarto (2017)
yang dilakukan pada 30 pasien post operasi BPH dengan terpasang kateter. Pada sampel
penelitian tersebut terbagi ke dalam kelompok perlakuan dan kelompok kontrol, masing-
masing 15 pasien. Hasil penelitian tersebut didapatkan bahwa dengan uji Mann Whitney
nilai signifikan p<0,05 (p-value 0,001) dengan nilai Z score -3.350 yang berarti terdapat
perbedaan antara kelompok perlakukan dan kelompok kontrol setelah dilakukan bladder
training sejak dini. Perbandingan nilai rerata pada bladder training sejak dini 2.73 dan nilai
rerata pada bladder training biasa 11.33 membuktikan bahwa bladder training sejak dini
lebih baik. Pada penelitian ini bladder training dilakukan setiap hari namun tidak dijelaskan
waktu klem dan pelepasannya dalam kurun waktu berapa jam.

Penelitian lain terkait efektivitas bladder training pada pasien post operasi BPH di
ruang rawat inap RSUD Soreang. Penelitian ini dilakukan pada 60 pasien dengan rincian 30
pasien diberikan intervensi bladder training delay urination dan 30 pasien diberikan
intervensi bladder training scheduled urination. Bladder training delay urination dilakukan
dengan cara mengklem dan melepaskannya kembali selama 7 kali per hari dari pagi sampai
sore setelah proses irigasi urin selesai, bladder training delay urination dilakukan sampai
pasien dapat merasakan dan menunda keinginan berkemih. Bladder training scheduled
urination dilakukan dengan cara pembiasaan berkemih sesuai jadwal yang sudah dibuat
sebanyak 7 kali per hari, jadwal tersebut harus diikuti oleh pasien sampai pasien dapat
mengenal dan memberikan respon yang sesuai terhadap keinginan berkemih. Hasil
penelitian ini menunjukan usia pasien paling banyak berusia lebih dari 56 tahun sebanyak
33 pasien, kondisi awal seluruh pasien adalah inkontinensia urin, setelah diberikan
intervensi delay urination 11 pasien tidak mengalami inkontinensia urin dan untuk
intervensi scheduled intervention 15 pasien tidak mengalami inkontinensia urin
(Nurhasanah & Hamzah, 2017).

Salah satu operasi yang membutuhkan anastesi spinal adalah operasi sectio caesare
sehingga pada pasien post operasi sectio caesare. Penelitian yang dilakukan oleh Nurliaty &
Aspiati (2019) di RS Advent Medan pada 26 pasien post operasi section caesare dengan 13
pasien sebagai kelompok intervensi dan 13 pasien sebagai kelompok kontrol. Hasil
penelitian ini menunjukan bahwa setelah dilakukan bladder training sebanyak 4 siklus pada
kelompok intervensi, 10 pasien dapat mengontrol eliminasi urin dan 3 pasien tidak dapat
mengontrol eliminasi urin. Pada kelompok kontrol yang tidak diberikan intervensi bladder
training, 4 pasien dapat mengontrol eliminasi urin dan 9 pasien tidak dapat mengontrol
eliminasi urin.

Beberapa hasil penelitian tersebut menyatakan bahwa bladder training merupakan


intervensi yang dapat membantu pemenuhan kebutuhan eliminasi urin seperti inkontinensia
urin dan kemampuan mengontrol eliminasi urin. Bladder training meningkatkan kapasitas
retensi kandung kemih. Tekanan pada otot detrusor menyebabkan regangan pada otot halus
yang memungkinkan untuk mengembangkan tonus kandung kemih. Otot detrusor
bertanggung jawab atas tonus kandung kemih tidak dipersarafi oleh jaringan saraf tertentu,
reaksi serat otot secara langsung masih mungkin terjadi bahkan jika denervasi sepenuhnya
(Crowe et. al dalam Büyükyilmaz et al., 2020)

Prosedur atau tata laksana intervensi bladder training pada setiap penelitian
berbeda-beda namun setiap penelitian mengacu pada prinsip dasar bladder training yaitu
mengklem kateter selama waktu tertentu dan melepaskannya dalam waktu tertentu pula.
Ada penelitian yang dilakukan klem selama 1-2 jam lalu dilepas setelah 1 jam. Ada pula
penelitian dari luar negeri yaitu mengklem kateter urin selama interval 4 jam lalu dilepas
selama 5 menit. Bila mengacu pada prosedur bladder training dari Kemenkes RI, bladder
training dilakukan dengan jadwal berkemih misalnya sesaat setelah bangun tidur, tiap 1-2
jam selama siang hari, sebelum tidur, atau setiap 4 jam pada malam hari.

Waktu pelaksanaan bladder training juga berbeda-beda pada tiap intervensi di


penelitian maupun prosedural dalam negeri maupun luar negeri. Cara konvensional bladder
training berlangsung selama 6 jam, ada penelitian yang melakukan pagi-sore saja, bladder
training dengan modifikasi cara dari Kozier dilakukan selama 12 jam, dan penelitian dari
luar negeri dilakukan sampai 24 jam. Tetapi penelitian yang dilakukan di dalam negeri
banyak yang melakukan bladder training setiap hari namun berapa harinya tidak dijelaskan.
Waktu mulai intervensi bladder training juga berbeda-beda, pada intervensi yang dilakukan
berdasar artikel penelitian dari Turki, bladder training dilakukan pada hari kedua dan ketiga
post operasi sedangkan modifikasi cara Kozier dilakukan pada rentang waktu hari ketiga
sampai ketujuh post operasi

Bila mengkritisi dari intervensi yang dilakukan pada penelitian tersebut dan
berdasar prosedural dari Kemenkes RI, beberapa poin perbedaan dan kekurangan terdapat
pada hal-hal berikut:

1. Durasi klem kateter dan pelepasan klem kateter

2. Jangka waktu dilakukannya bladder training

3. Durasi hari dilakukan bladder training, apakah sampai masalah pemenuhan


kebutuhan eliminasi urin teratasi atau sampai kateter dilepas saja tidak
dibahas lebih rinci

4. Pada hari ke berapa dan sampai hari ke berapa post operasi intervensi
bladder training dilakukan

4.3 Kegel Exercise


Berdasar hasil analisis artikel terkait intervensi pemenuhan kebutuhan urin pada
pasien operasi, salah satu intervensinya adalah kegel exercise. Pada penelitian yang
dilakukan oleh Agustin et al. (2017), kegel exercise yang dikombinasikan dengan bladder
training memiliki efek positif dalam mempercepat buang air kecil pertama post operasi.
Kegel exercise dilakukan dengan kontraksi 10 kali dengan frekuensi 1 kali sehari. Tetapi
pada penelitian ini tidak dijelaskan lebih rinci terkait kapan waktu pelaksanaan kegel
exercise dan tidak dijelaskan kegel exercise dilakukan selama berapa hari.

Hasil penelitian terkait efektivitas kegel exercise sebelum dan sesudah operasi
dibandingkan dengan kegel exercise sesudah operasi pada pasien prostatektomi
menunjukan bahwa tidak adanya pengaruh signifikan pada episode inkontinensia urin bila
diberi intervensi kegel exercise sebelum dan sesudah operasi (Geraerts et al., 2013).
Penelitian ini dilakukan pada 91 kelompok intervensi dan 89 kelompok kontrol. Pada
kelompok intervensi, kegel exercise dimulai sejak 3 minggu sebelum operasi setiap satu
minggu sekali dengan durasi 30 menit. Kegel exercise dilakukan dengan kontraksi 60 kali
per hari. Pada kelompok intervensi, kegel exercise dimulai lagi pada hari keempat post
operasi dengan kontraksi 60 kali per hari. Sedangkan pada kelompok kontrol, kegel
exercise dimulai ketika kateter urin sudah dilepas dan dilakukan dengan kontraksi 60 kali
per hari. Pada penelitian ini terdapat pemantauan intervensi berkala selama 12 bulan dan
pada pasien yang sudah pulang, diharuskan untuk mencatat aktivitas kegel exercisenya.
Penelitian tersebut cukup panjang untuk melihat kelanjutan intervensinya, namun pelaporan
mandiri bisa bias dan kelemahan penelitian inipun ada sampel yang berkurang.

Latihan otot panggul atau kegel exercise merupakan salah satu metode untuk
mengatasi inkontinensia urin pada pasien post operasi. Kegel exercise adalah rekomendasi
metode yang diberikan oleh International Continence Society sebagai Langkah awal untuk
mengatasi inkontinensia urin. Terdapat perbedaan yang bermakna dalam mengatasi
inkontinensia urin pada pasien post operasi prostatektomi. Pengembalian lebih awal
inkontinensia urin didapatkan lebih awal pada pasien yang melakukan kegel exercise
(Sulistyaningsih, 2015). Kegel exercise melibatkan kontraksi berulang otot pubokoksigeus
yang merupakan otot penyokong panggul dan mengelilingi pintu panggul pada vagina,
uretra, dan rektum. Kegel exercise dapat meningkatkan tonus otot dasar panggul dengan
menguatkan otot dasar panggul saat dirasa ingin berkemih (Maas et al., 2011).
Beberapa artikel terkait kegel exercise dan masalah pemenuhan eliminasi urin pada
post operasi terutama pada pasien BPH menunjukan hasil yang bervariasi. Hasil penelitian
mendapatkan bahwa terdapat penurunan signifikan terhadap inkontinensia urin pada pasien
post operasi yang melakukan kegel exercise. Bahkan intervensi kegel exercise yang
dilakukan pada pre operasi dan dilanjutkan hingga post operasi berdampak pada waktu
kontinens yang lebih cepat. Tetapi pada beberapa randomized controlled trial juga
ditemukan bahwa kegel exercise tidak berpengaruh pada kondisi inkontinensia urin yang
membaik (Dorey, 2013). Hasil yang berbeda-beda pada efektifitas kegel exercise dan
inkontinensia urin disimpulkan bahwa terdapat pelaporan teknik yang buruk dan
pengukuran hasil yang berbeda di tiap penelitian (Lucas et al., 2015).

Intervensi kegel exercise berdasar artikel penelitian yang dianalisis dari dalam
negeri yaitu dilakukan 10 kali kontraksi dalam satu hari sementara berdasar artikel
penelitian dari luar negerti dilakukan 60 kali kontraksi dalam satu hari. Bila meninjau
intervensi kegel exercise berdasar Lestari (2011), dilakukan kontraksi dan relaksasi otot
dasar panggul selama masing-masing 3-4 detik, namun tidak dijelaskan harus melakukan
berapa kali kontaksi. Kegel exercise juga disarankan untuk dilakukan setelah pasien pulih
sekitar 1-2 minggu post operasi sementara artikel penelitian yang dianalisis melakukan
intevensi 4 hari setelah post operasi.

Berdasar Text Book of Basic Nursing Edition 9, kontraksi dan relaksasi otot
dilakukan sebanyak 10-25 kali. Intervensi menahan untuk mengencangkan otot panggul
dilakukan selama 3 detik dan disarankan untuk melakukan 3 kali sesi dalam 1 hari. Tetapi
tidak dijelaskan kapan waktu pelaksanaan kegel exercise untuk pasien post operasi namun
disarankan dilakukan setelah pelepasan kateter. Prosedur lain terkait kegel exercise
tercantum dalam Text Book Online berjudul “Medical Surgical Nursing : Assesment and
Management of Clinical Problems” karangan Lewis et.al (2011). Durasi menahan otot
panggul dilakukan selama 2 detik untuk gerakan lambat dan 5-10 detik untuk gerak
panjang. Gerakan tersebut dilakukan 40-50 kali perhari.
Bila mengkritisi dari intervensi yang dilakukan pada beberapa penelitian tersebut
dan sumber text book, terdapat beberapa perbedaan dan hal yang belum dijelaskan untuk
intervensi kegel exercise post operasi, yaitu:

1. Jumlah kontraksi yang dilakukan per harinya dan/atau sesi kegel exercise yang
dilakukan per harinya

2. Durasi menahan otot panggul

3. Pada hari ke berapa dan sampai hari ke berapa post operasi intervensi kegel
exercise dilakukan

4. Pelatihan kegel exercise saat terpasang kateter urin

4.4 Mobilisasi Dini


Berdasar penelitian yang dilakukan oleh Muslikah et al. (2015) tentang efektivitas
mobilisasi dini terhadap respon berkemih pada pasien post operasi abdomen menunjukan
bahwa mobilisasi dini mempercepat respon berkemih. Pada 15 kelompok intervensi, rata-
rata waktu berkemih yaitu 357,13 menit sementara pada 15 kelompok kontrol, rata-rata
waktu berkemih yaitu 461,13 menit. Tetapi pada penelitian ini tidak dijelaskan secara rinci
intervensi mobilisasi dini seperti apa yang dilakukan, berapa lama dilakukannya, dan
berapa kali dilakukan intervensinya. Tidak ada penjelasan lebih lanjut terkait hal tersebut
karena hanya menyebutkan memberikan intervensi mobilisasi dini.

Manajemen eliminasi urin yang dapat dilakukan lainnya adalah mobilisasi dini.
Penelitian yang dilakukan pada pasien post operasi dengan spinal anastesi sejumlah 16
pasien yang dibagi sebanyak 8 pasien untuk kelompok kontrol dan kelompok intervensi.
Diberikan intervensi dengan SOP mobilisasi yang sudah baku, namun pada penelitian ini
tidak disebutkan langkah-langkahnya atau tindakan apa saja yang dilakukan. Hasil
penelitian tersebut didapatkan bahwa terdapat pengaruh terapi mobilisasi dini pada
pemulihan kandung kemih post operasi dengan anastesi spinal. Pada pasien yang
melakukan mobilisasi dini post operasi, fungsi kandung kemihnya pulih setelah 8 jam
pelepasan kateter sementara pasien yang tidak melakukan mobilisasi dini belum pulih
setelah 8 jam pelepasan kateter. Pasien yang diberikan terapi mobilisasi dini memiliki
peluang 49 kali lebih cepat dalam pemulihan kandung kemih (Frayoga & Nurhayati, 2018).

Terdapat hubungan antara mobilisasi dini dan penurunan insiden retensi urin post
operasi (Jackson et al., 2019). Mobilisasi dini diperlukan untuk membantu mempercepat
pemulihan kekuatan otot pada pasien post operasi sehingga dapat mengembalikan fungsi
activity daily living. Intervensi mobilisasi dini akan membuat otot sensorik dan motorik
yang dihambat oleh anastesi kembali normal agar tidak terjadi komplikasi lebih lanjut
(Frayoga & Nurhayati, 2018). Namun, intervensi mobilisasi dini tidak banyak dilakukan
dibandingkan ddengan bladder training dan kegel exercise dalam mengatasi gangguan
eliminasi urin. Selain itu, kebanyakan dari intervensi mobilisasi dini tidak dijelaskan lebih
lanjut langkah-langkah yang dilakukan melainkan hanya menyebutkan tindakan mobilisasi
dini.

Mobilisasi dini merupakan intervensi yang dilakukan pada pasien post operasi
terdiri dari bangun, duduk, sampai turun dari tempat tidur. Berdasar artikel penelitian yang
dianalisis untuk intervensi, tidak dijelaskan dengan detail bagaimana teknik melakukan
mobilisasi dini pada pasien post operasi tersebut. Pada penelitian lain terkait intervensi
mobilisasi dini terhadap efektivitas pemulihan kandung kemih pada pasien post operasi
anastesi spinal hanya disebutkan menggunakan SOP mobilisasi dini yang sudah baku
namun tidak dijelaskan sumber SOP dari mana.

Tahap melakukan mobilisasi dini post operasi di RSHS Bandung pada tahun 2014
dilakukan selama 7 hari yang terdiri dari hari pertama melakukan latihan miring kanan dan
miring kiri, hari kedua latihan duduk, hari ketiga sampai kelima latihan turun dari tempat
tidur dan berdiri, dan hari ketujuh latihan berjalan perlahan. Prosedur dari RSHS tersebut
cukup sejalan dengan prosedur yang terdapat pada “A Clinical Practice Guideline
developed by the University of Toronto’s Best Practice Surgery” yang ditulis oleh Pearshall
et. al tahun 2017 yang terdiri dari pasien bangun dan duduk pada hari 0 post operasi,
dibantu berjalan setidaknya dua kali sehari, dan dibantu duduk di kursi selama bangun di
siang hari. Tidak ada penjelasan yang mendekati prosedur tersebut pada artikel yang
ditemukan. Seluruh artikel penelitian hanya menyebutkan melakukan mobilisasi dini saja.

Beberapa hal yang sebaiknya diperhatikan dalam penelitian terkait intervensi


mobilisasi dini diantaranya:

1. Kejelasan intervensi mobilisasi dini yang dilakukan, seperti mencantumkan


jenis mobilisasi apa saja yang diberikan

2. Waktu dimulainya mobilisasi dini sejak hari ke berapa post operasi

3. Durasi waktu mobilisasi dini seperti dilakukan satu kali per hari selama 7 hari

4. Mobilisasi dini saat terpasang kateter urin

4.5 Peran Perawat


Peran perawat dalam mengatasi masalah pemenuhan kebutuhan eliminasi urin pada
pasien post operasi dapat dimulai dengan pengkajian pre operasi dan perencanaan. Perawat
terlebih dahulu mengetahui status kesehatan pasien sebelum operasi sampai pelaksanaan
operasi. Setelah pasien operasi, perawat mengkaji kembali kondisi pasien dan melakukan
perencanaan. Aktivitas keperawatan pada perawatan post operasi adalah memonitor,
memberikan terapi oksigen, monitor perdarahan dan cairan, monitor urin output, serta
memberikan kenyamanan pasien dan mengkaji nyeri (Nilsson, Gruen, & Myles, 2020).

Salah satu peran perawat dalam pemenuhan kebutuhan eliminasi urin pada pasien
post operasi adalah sebagai edukator. Perawat dapat memberikan pengetahuan dan
informasi terkait tindakan perawatan sehingga pasien dan keluarga dapat mengetahui dan
melaksanakan tindakan tersebut agar tercapainya kondisi yang lebih baik (Ginting, 2020).
Contohnya dalam kasus post operasi mengalami gangguan eliminasi urin dan akan
dilakukan intervensi bladder training atau kegel exercise. Perawat dapat memberikan
informasi terkait tujuan intervensi tersebut dan mengajarkan langkah-langkah untuk
melakukan bladder training atau kegel exercise.
Peran perawat yang utama adalah care giver yaitu mampu memberikan pelayanan
keperawatan kepada individu sesuai dengan diagnosa masalah yang terjadi (Yuniarti,
2014). Pada kasus ini peran perawat sebagai care giver dapat dikolaborasikan dengan
edukator karena setelah memberikan edukasi terkait intervensi yang dilakukan, perawat
juga membantu pasien dalam melakukan intervensinya untuk memastikan pelaksanaannya
tepat. Selain itu, peran perawat sebagai care giver juga untuk memastikan keseluruhan
proses keperawatan mulai dari pengkajian hingga evaluasi terlaksana dengan sesuai.
BAB V
SIMPULAN & SARAN

5.1 Simpulan

Prosedur operasi dapat mengakibatkan efek samping setelah operasi. Hal


tersebut dapat terjadi akibat anastesi, perubahan fisiologi akibat operasi, dan
pengobatan. Salah satu efek post operasi yang cukup bayak terjadi adalah gangguan
eliminasi urin. Terjadinya gangguan eliminasi urin menyebabkan adanya rasa nyeri,
sulit buang air kecil, atau sulit menahan buang air kecil yang mana hal tersebut
tentu mengganggu kenyamanan pasien post operasi.

Penatalaksanaan untuk gangguan eliminasi urin dengan pendekatan non-


farmakologi yang dapat dilakukan adalah dengan pemasangan kateter urin. Namun
pemasangan kateter urin berpotensi menyebabkan infeksi saluran kemih jika dipakai
dalam jangka waktu yang lama. Intervensi yang dapat membantu mengatasi retensi
urin atau inkontinensia urin diantaranya bladder training, kegel exercise, dan
mobilisasi dini untuk mempercepat waktu pelepasan kateter urin. Berdasar hasil
analisis artikel mengenai intervensi pada gangguan eliminasi urin, bladder training
merupakan intervensi yang paling banyak dilakukan dan efektif untuk mengatasi
gangguan eliminasi urin yaitu inkontinensia urin. Bladder training dilakukan dengan
cara mengklem kateter urin dan melepeasnya dalam kurun waktu tertentu atau
sampai pasien merasa ingin buang air.
Selain itu, kegel exercise dan mobilisasi dini dapat membantu pasien post
operasi untuk lebih cepat mengembalikan fungsi berkemih normal. Kedua intervensi
tersebut tidak cukup sering dilakukan dibanding intervensi bladder training.
Intervensi kegel exercise dilakukan untuk memperkuat otot dasar panggul sehingga
dapat membantu proses perkemihan. Mobilisasi dinipun dilakukan untuk membantu
otot-otot tubuh kembali normal namun tidak banyak penelitian yang
mengindikasikan keberhasilan mobilisasi dini dalam mengatasi gangguan urin pada
pasien post operasi.

5.2 Saran
Perawat perlu mengkaji secara menyeluruh pada pasien post operasi
terutama pada pemenuhan kebutuhan urin dengan memantau kondisi perkemihan
pasien serta mengkaji keluhan yang terjadi. Diharapkan perawat dapat menerapkan
intervensi bladder training, kegel exercise, atau mobilisasi dini untuk membantu
pemenuhan kebutuhan eliminasi urin pada pasien post operasi. Meskipun terdapat
pilihan intervensi, pastikan melakukan intervensi sesuai dengan kebutuhan pasien
dan kemampuan serta kenyamanan pasien.

Penerapan intervensi juga perlu dilakukan sesuai prosedur dan dalam jangka
waktu yang telah ditentukan agar keberhasilan intervensi dapat tercapai. Selain
untuk memandirikan dan memberikan kenyamanan pada pasien, perawat perlu
memberikan edukasi terkait pentingnya melakukan intervensi tersebut agar fungsi
berkemih dapat lebih cepat pulih serta mencegah terjadinya masalah atau
komplikasi post operasi.

Saran untuk penelitian selanjutnya dan standar operasional untuk tiap


intervensi yaitu pada bladder training tetapkan durasi klem kateter dan melepas
klem mana yang paling efektif, pada hari ke berapa post operasi seharusnya bladder
training dilakukan, durasi pelaksanaan bladder training per harinya, dan durasi
waktu pelaksanaan bladder training itu sendiri. Pada intervensi kegel exercise bisa
dilakukan perbandingan jumlah kontraksi per harinya mana yang lebih efektif
mengatasi gangguan eliminasi urin dan berapa hari kegel exercise sebaiknya
dilaksanakan. Serta untuk mobilisasi dini sebaiknya dijelaskan tindakannya dan
jenis mobilisasi mana atau pada tahap yang mana masalah eliminasi urin
menunjukan perbaikan. Berikut perhatikan pemasangan kateter urin saat kegel
exercise dan mobilisasi dini.

DAFTAR PUSTAKA
Agustin, E., Kristyawati, S. P., & Arief, M. S. (2017). Perbedaan Efektivitas Bladder
Trainning Dengan Keagle Execise Dan Bladder Trainning Terhadap Waktu Bak
Pertama Pasca Kateterisasi Urin Pada Pasien Post Operasi Dengan General Anastesi
Di Rsud Ambarawa. Jurnal Ilmu Keperawatan Dan Kebidanan, 1–10.
Berman, A., Snyder, S., & Frandsen, G. (2016). Kozier & Erb’s Fundamentals of Nursing
Concepts, Process, and Practice (Tenth Edit). New Jersey: Pearson Education.
Büyükyilmaz, F., Culha, Y., Zümreler, H., Özer, M., Culha, M. G., & Ötünçtemur, A.
(2020). The effects of bladder training on bladder functions after transurethral
resection of prostate. Journal of Clinical Nursing, 29(11–12), 1913–1919.
https://doi.org/10.1111/jocn.14939
Chang, J. I., Lam, V., & Patel, M. I. (2016). Preoperative Pelvic Floor Muscle Exercise and
Postprostatectomy Incontinence: A Systematic Review and Meta-analysis. European
Urology, 69(3), 460–467. https://doi.org/10.1016/j.eururo.2015.11.004
Dorey, G. (2013). Pelvic floor exercises after radical prostatectomy. British Journal of
Nursing, 22(9 SUPPL.).
Frayoga, F., & Nurhayati, N. (2018). Pengaruh Mobilisasi Dini terhadap Pemulihan
Kandung Kemih Pasca Pembedahan dengan Anastesi Spinal. Jurnal Ilmiah
Keperawatan Sai Betik, 13(2), 226. https://doi.org/10.26630/jkep.v13i2.936
Geller, E. J. (2014). Prevention and management of postoperative urinary retention after
urogynecologic surgery. International Journal of Women’s Health, 6(1), 829–838.
https://doi.org/10.2147/IJWH.S55383
Geraerts, I., Van Poppel, H., Devoogdt, N., Joniau, S., Van Cleynenbreugel, B., De Groef,
A., & Van Kampen, M. (2013). Influence of preoperative and postoperative pelvic
floor muscle training (PFMT) compared with postoperative PFMT on urinary
incontinence after radical prostatectomy: A randomized controlled trial. European
Urology, 64(5), 766–772. https://doi.org/10.1016/j.eururo.2013.01.013
Ginting, D. S. (2020). Peran Perawat Sebagai Edukator Dalam Pengimplementasian
Discharge Planning Untuk Proses Asuhan Keperawatan. Program Studi Magister
Ilmu Keperawatan Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara.
Hansen, B. S., Soreide, E., Warland, A. M., & Nilsen, O. B. (2011). Risk factors of post‐
operative urinary retention in hospitalised patients. Anaesthesiologica Scandinavica.
https://doi.org/https://doi.org/10.1111/j.1399-6576.2011.02416.x
Hendren, S. (2013). Urinary catheter management. Clinics in Colon and Rectal Surgery,
26(3), 178–181. https://doi.org/10.1055/s-0033-1351135
Jackson, J., Davies, P., Leggett, N., Nugawela, M. D., Scott, L. J., Leach, V., … Whiting,
P. (2019). Systematic review of interventions for the prevention and treatment of
postoperative urinary retention. BJS Open, 3(1), 11–23.
https://doi.org/10.1002/bjs5.50114
Lucas, M. G., Betretdinova, D., Berghmans, L. C., Bosch, J. L. H. R., Burkhard, F. C.,
Cruz, F., … Pickard, R. S. (2015). EAU guidelines on urinary incontinence. European
Association of Urology.
Maas, M. L., Buckwalter, K. C., Hardy, M. D., Tripp-Reimer, T., Titler, M. G., & Specht,
J. P. (2011). Asuhan Keperawatan Geriatrik, Diagnosis NANDA, Kriteria Hasil NOC,
Intervensi NIC. Jakarta: EGC.
Muslikah, Ismonah, & Meika, W. (2015). EFEKTIFITAS MOBILISASI DINI
TERHADAP RESPON BERKEMIH PADA PASIEN POST OPERASI ABDOMEN
DI RS PANTI WILASA CITARUM SEMARANG. Jurnal Ilmu Keperawatan Dan
Kebidanan (JIKK), 1–9.
Nilsson, U., Gruen, R., & Myles, P. S. (2020). Postoperative recovery: the importance of
the team. Anaesthesia, 75(S1), e158–e164. https://doi.org/10.1111/anae.14869
Nurhasanah, T. N., & Hamzah, A. H. (2017). Bladder Training Berpengaruh Terhadap
Penurunan Kejadian Inkontinensia Urine Pada Pasien Post Operasi Bph Di Ruang
Rawat Inap Rsud Soreang. Jurnal Ilmu Dan Teknologi Kesehatan, 5(1), 79–91.
https://doi.org/10.32668/jitek.v5i1.83
Nurliaty, & Aspiati. (2019). Efektivitas Bladder Training Terhadap Kemampuan
Mengontrol Eliminasi Urine Pada Pasien Post Operasi Sectio Caecaria di RS Advent
Medan 2019. Jukkessutra (Jurnal Kesehatan Surya Nusantara), 1–13.
Pomajzl, A., & Siref, L. E. (2020). Post-op Urinary Retention. https://doi.org/31751034
Pratiwi, A. N., Siswanti, J., & Sudiarto. (2017). PENGARUH BLADDER TRAINING
SECARA DINI TERHADAP INKONTINENSIA URIN PADA PASIEN POST OPERASI
BPH di RSUD dr. LOEKMONO HADI KUDUS. Retrieved from
http://repository.poltekkes-smg.ac.id/index.php?
p=show_detail&id=12813&keywords=
Shabrini, L. A., Ismonah, & Arif, S. (2015). Efektivitas Bladder Training Sejak Dini dan
Sebelum Pelepasan Kateter Urin Terhadap Terjadinya Inkontinensia Urine Pada
Pasien Paska Operasi di SMC RS Telogorejo. Jurnal Ilmu Keperawatan Dan
Kebidanan (JIKK), II(3), 144–151.
Steggal, M., Treacy, C., & Jones, M. (2013). Post-operative urinary retention. Nursing
standard (Royal College of Nursing (Great Britain) : 1987), 28(5), 43–48.
https://doi.org/10.7748/ns2013.10.28.5.43.e7926
Sulistyaningsih, D. R. (2015). Latihan Otot Dasar Panggul Efektif Untuk Mengatasi
Inkontinensia Urin Pada Klien Post Operasi Prostatectomy. Nurscope : Jurnal
Penelitian Dan Pemikiran Ilmiah Keperawatan, 1(2), 1.
https://doi.org/10.30659/nurscope.1.2.1-8
Yuniarti, S. (2014). Peran perawat sebagai care giver nurse role as a care giver. Jurnal
Keperawatan, VII(1), 13–17.

Anda mungkin juga menyukai