Anda di halaman 1dari 59

CRITICAL REVIEW EVIDENCE BASED

INTERVENSI PEMENUHAN KEBUTUHAN ELIMINASI URIN


PADA PASIEN POST OPERASI

Diajukan untuk memenuhui tugas mata kuliah Keperawatan Dasar Profesi yang
diampu oleh: Theresia Eriyani, S.Kep, Ners, M.H.Kes

Dosen Pembimbing : Ns.Henny Yulianita, S.Kep., M.Kep

Kelompok 6 (1)
Disusun Oleh :
Deisyati Rodliyah 220110160081
Farah Riski Deska 220110160023
Mohamad Faisal Nurjaman 220110166003

Tanggal Pengumpulan Tugas : 27 Februari 2021

FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS PADJADJARAN
2021
KATA PENGANTAR

Puji serta syukur penulis panjat kan kepada Allah SWT berkat rahmat dan
karunianya penyusunan laporan tugas keperawatan dasar profesi ini dapat
terselesaikan. Sholawat serta salam, tercurah limpahkan kepada Nabi Muhammad
SAW, keluarganya, sahabatnya, dan kepada umatnya hingga akhir zaman.
Penulisan laporan tugas keperawatan dasar profesi ini diajukan untuk
memenuhi salah satu syarat nilai mata kuliah keperawatan dasar profesi pada
program studi Ilmu Keperawatan Fakultas Keperawatan Universitas Padjadjaran,
dengan tema “Pemenuhan Kebutuhan Eliminasi Urin”
Proses penyusunan laporan ini tidak terlepas dari bantuan, bimbingan,
serta dukungan dari berbagai pihak. Oleh karenanya, dalam kesempatan ini
penulis ingin menyampaikan terimakasih kepada:
1. Theresia Eriyani, S.Kep, Ners, M.H.Kes yang telah memberikan arahan
dalam pengerjaan laporan.
2. Ns.Henny Yulianita, S.Kep., M.Kep sebagai pembimbing pendamping yang
telah memberikan arahan dan dukungan dalam proses penyusunan laporan.
3. Teman-teman yang telah memberikan dukungan dan doa untuk kelancaran
penyusunan laporan.
4. Pihak-pihak yang mungkin tidak tertulis didalam lembar ini yang telah
membantu dalam penyusunan laporan keperawatan dasar profesi ini dari
awal hingga akhir.
karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun untuk
kemajuan laporan ini. Semoga dengan laporan ini dapat bermanfaat bagi
pembacanya dan berguna bagi perkembangan ilmu pengetahuan.

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..........................................................................................i
DAFTAR ISI.......................................................................................................ii
DAFTAR TABEL..............................................................................................iii
Bab I Pendahuluan...............................................................................................1
Bab II Tinjauan Teoritis......................................................................................3
2.1 Konsep Kebutuhan Dasar Manusia............................................................3
2.1.1 Definisi Kebutuhan Dasar Manusia..................................................3
2.1.2 Konsep Kebutuhan Dasar manusia...................................................7
2.2 Perspektif Teori Tentang Pemenuhan Kebutuhan Eliminasi Urin
Pada Pasien Post Operasi...........................................................................8
2.2.1 Definisi Gangguan Pemenuhan Kebutuhan Eliminasi Urin Terhadap
Pasien Post Operasi..........................................................................8
2.2.2 Jenis Pemenuhan Kebutuhan Eliminasi Urin.................................10
2.2.3 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Eliminasi Urin......................12
2.2.4 Dampak Perubahan Kebutuhan Jenis Pemenuhan Eliminasi
Urin Terhadap Homeostatis Tubuh................................................13
2.2.5 Masalah Keperawatan Yang Berhubungan Dengan
Pemenuhan Kebutuhan Eliminasi Urin..........................................13
2.3 Intervensi Pemenuhan Kebutuhan Berdasarkan Hasil Riset....................14
Bab III Intervensi Keperawatan Pemenuhan Kebutuhan Eliminasi Urin
Pada Pasien Post Operasi...................................................................................20
3.1 Bladder Training......................................................................................24
3.2 Kegel Exercise.........................................................................................26
3.3 Mobilisasi Dini.........................................................................................29
Bab IV Pembahasan..........................................................................................33
4.1 Pembahasan Intervensi Pemenuhan Kebutuhan Eliminasi Urin
Pada Paisen Post Operasi.........................................................................33
4.1.1 Bladder Training............................................................................35
4.1.2 Kegel Exer Cise..............................................................................39
4.1.3 Mobilisasi Dini...............................................................................42
4.2 Peran Perawat...........................................................................................44
Bab V Simpulan dan Saran................................................................................46
5.1 Simpulan..................................................................................................46
5.2 Saran.........................................................................................................47
DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR TABEL

ii
DAFTAR TABEL

2.3 Tabel Analisis Evidence Based................................................................15

iii
BAB I
PENDAHULUAN

Eliminasi urin merupakan suatu proses dari pembuangan sisa-sisa hasil


metabolisme tubuh yang dikeluarkan dalam bentuk cairan melalui organ ginjal,
ureter, kandung kemih (bladder) dan uretra (Gultom & Hutabarat, 2020).
Eliminasi urin termasuk dalam kebutuhan dasar manusia secara fisiologis yang
pemenuhannya harus segera dilakukan karena apabila kebutuhan eliminasi urin ini
terganggu atau bermasalah maka akan berpengaruh pada kelangsungan hidup
setiap manusia. Adapun beberapa masalah yang dapat terjadi pada pemenuhan
kebutuhan eliminasi urin seperti retensi urin, inkontinensia urin, enuresis, urgensi,
dysurian, poliuria, dan urinaria. Masalah-masalah kebutuhan eliminasi urin
tersebut banyak terjadi pada pasien-pasien post oprasi di rumah sakit (Hidaya,
2012).
Pasien-pasien yang melakukan operasi di rumah sakit harus diberikan
anastesi kerana tindakan bedah merupakan suatu tindakan invasif yang dapat
memunculkan keluhan nyeri yang sangat berat pada pasien. Pemberian anastesi ini
dapat menimbulkan efek samping salah satunya yaitu dapat menghambat saraf
aferen dan eferen untuk mengontrol eliminasi urin dengan ditandai otot dasar
panggul,otot kandung kemih dan sfingter yang mengalami gangguan sehingga
menimbulkan ketidakmampuan merasakan saat kandung kemih penuh,
mengontrol pengeluaran urin serta tidak mampu merespon kemauan berkemih.
Oleh karena itu, pada pasien yang melakukan prosedur operasi dibutuhkan
pemasangan kateter yang bertujuan untuk mengosongkan kandung kemih
(Agustin, 2016).
Pemasangan kateter pada pasien post operasi dalam waktu yang lama dapat
mengakibatkan berbagai masalah seperti infeksi, trauma pada uretra, dan
menurunnya rangsang berkemih sehingga kandung kemih akan kehilangan
tonusnya yang membuat pasien tidak dapat mengontrol pengeluaran urinnya
(Smeltzer & Bare, 2013). Apabila kandung kemih sudah kehilangan tonusnya
maka saat kateter pada pasien post operasi dilepas, pasien dapat mengalami
masalah eliminasi urin yaitu inkontinensia urin yang merupakan keaadaan saat
2

urin keluar secara terus menerus pasca kateter dilepas atau pasien tidak dapat
mengendalikan urinnya (Potter & Perry, 2013).

2
2

Perawat sebagai tenaga kesehatan yang berperan dalam pemenuhan


kebutuhan dasar pasien, sudah seharusnya memberikan suatu intervensi untuk
mengurangi masalah pemenuhan kebutuhan eliminasi urin pada pasien post
operasi agar saat sudah lepas kateter pasien dapat merespon berkemih secara
normal dan spontan. Adapun intervensi-intervensi yang dapat dilakukan untuk
pemenuhan kebutuhan eliminasi urin tersebut seperti bladder training yang
merupakan latihan kandung kemih yang bertujuan untuk mengembangkan tonus
otot dan otot sfringter kandung kemih secara maksimal yang dilakukan dengan
cara kateter diklem selama 2 jam dan dibuka selama 5 menit, kaegle exercise yang
merupakan latihan untuk meningkatkan pengontrolan laju urin, dan mobilisasi
dini pada pasien post operasi. Penemuan evidance based dari intervensi-intervensi
keperawatan tersebut harus dicari lebih dalam agar pemberian intervensi sudah
berkualitas dan teruji (Agustin, 2016). Berdasarkan fenomena-fenomena yang
telah dipaparkan, disampaikan pada critical review kali ini tentang evidence based
intervensi-intervensi keperawatan yang dapat dilakukan untuk pemenuhan
kebutuhan eliminasi urin pada pasien post operasi.
BAB II
TINJAUAN TEORITIS

2.1 Konsep Kebutuhan Dasar Manusia


2.1.1 Definisi Kebutuhan Dasar Manusia
Kebutuhan menyatakan bahwa setiap manusia memiliki lima
kebutuhan dasar yaitu: kebutuhan fisiologis, keamanan, cinta,
harga diri, dan aktualisasi diri (Potter dan Patricia,1997). Manusia
memiliki kebutuhan dasar yang bersifat heterogen. Setiap orang
pada dasarnya memiliki kebutuhan yang sama, akan tetapi karena
budaya, maka kebutuhan tersebutpun ikut berbeda. Dalam memenuhi
kebutuhan manusia menyesuaikan diri dengan prioritas yang ada.
a. Model Kebutuhan Dasar Manusia Menurut Beberapa Ahli.
1. Abraham Maslow
Kebutuhan fisiologis, merupakan kebutuhan paling dasar
dan memiliki prioritas tertinggi dalam kebutuhan Maslow.
Kebutuhan fisiologis merupakan hal yang mutlak harus
terpenuhioleh manusia untuk bertahan hidup. Kebutuhan
tersebut terdiri dari pemenuhan oksigen dan pertukaran
gas, kebutuhan cairan (minuman), nutrisi (makanan),
eliminasi, istirahat dan tidur, aktivitas, keseimbangan suhu
tubuh, dan kebutuhan seksual, kebutuhan kedua adalah
Kebutuhan rasa aman dan perlindungan yang dibagi menjadi
perlindungan fisik dan perlindungan psikologis.
Perlindungan fisik meliputi perlindungan atas ancaman
terhadap tubuh atau hidup seperti penyakit, kecelakaan,
bahaya dari lingkungan dan sebagainya, sedangkan
perlindungan psikologis, yaitu perlindungan atas ancaman
dari pengalaman yang baru dan asing. Misalnya,
kekhawatiran yang dialami seseorang yang masuk sekolah
pertama kali, karena merasa terancam oleh keharusan
untuk berinteraksi dengan orang lain dan sebagainya.

3
4

Kebutuhan rasa cinta dan kasih sayang yaitu kebutuhan


untuk memiliki dan dimiliki, antara lain memberi dan
menerima kasih sayang, kehangatan, persahabatan,
mendapat tempat dalam keluarga, kelompok sosial, dan
sebagainya, kebutuhan akan harga diri maupun perasaan
dihargai oleh orang lain kebutuhan ini terkait, dengan
keinginan untuk mendapatkan kekuatan, meraih prestasi,
rasa percaya diri dan kemerdekaan diri. Selain itu, orang
juga memerlukan pengakuan dari orang lain, dan yang
terakhir/ke lima kebutuhan aktualiasasi diri, merupakan
kebutuhan tertinggi dalam hierarki Maslow, berupa
kebutuhan untuk berkontribusi pada orang lain/lingkungan
serta mencapai potensi diri sepenuhnya. Untuk lebih jelas
dapat dilihat di bagan berikut:

2. Imogine King

King berpendapat bahwa manusia merupakan individu


reaktif yang dapat bereaksi terhadap situasi orang dan objek
tertentu. Beliau juga mengatakan bahwa manusia sebagai
makhluk yang berorientasi pada waktu, dia tidak terlepas dari
tiga kejadian dalam hidupnya, yaitu masa lalu, masa sekarang
dan masa yang akan datang. Sebagai makhluk sosial, manusia
hidup bersama orang lain dan selalu berinteraksi satu
5

sama yang lain. Sesuai dengan hal tersebut, King


membagi kebutuhan manusia menjadi:

a) Kebutuhan akan informasi Kesehatan


b) Kebutuhan akan pencegahan penyakit
c) Kebutuhan akan perawatan jika sakit.
3. Martha E. Rogers
Beliau berpendapat bahwa manusia merupakan satu
kesatuan yang utuh serta memiliki sifat dan karakter
yang berbeda. Manusia selalu berinteraksi dengan
lingkungan dan saling mempengaruhi satu dengan yang
lainnya. Dalam proses kehidupannya, manusia diciptakan
dengan karakteristik dan keunikan nya masing-masing.
Dengan kata lain, setiap individu tidak ada yang sama satu
sama yang lainnya, walaupun mereka dilahirkan kembar.
Konsep Martha E. Rogers ini dikenal dengan konsep manusia
sebagai unit.
4. Johnson
Johnson mengungkapkan pandangannya dengan
menggunakan pendekatan sistem perilaku. Dalam
pendekatan ini, individu dipandang sebagai sistem perilaku
yang selalu ingin mencapai keseimbangan dan stabilitas,
baik dalam lingkungan internal maupun eksternal.
Individu juga memiliki keinginan untuk mengatur dan
menyesuaikan dirinya terhadap pengaruh yang terjadi
karena hal tersebut.
5. Virginia Henderson
Ibu Virginia Henderson (dalam Potter dan Perry, 1997)
membagi kebutuhan dasar manusia ke dalam 14 komponen
berikut yaitu manusia harus dapat bernafas secara normal,
makan dan minum yang cukup, setiap hari harus bisa
buang air besar dan buang air kecil (eliminasi) dengan
lancar, bisa bergerak dan mempertahankan postur tubuh yang
6

diinginkan, bisa tidur dan istirahat dengan tenang,


memilih pakaian yang tepat dan nyaman dipakai,
mempertahankan suhu tubuh dalam kisaran normal
dengan menyesuaikan pakaian yang dikenakan dan
memodifikasikan lingkungan, menjaga kebersihan diri dan
penampilan, menghindari bahaya dari lingkungan dan
menghindari membahayakan orang lain, berkomunikasi
dengan orang lain dalam mengekspresikan emosi,
kebutuhan,kekhawatiran, dan opini, beribadah sesuai
dengan agama dan kepercayaan, bekerja sedemikian rupa
sebagai modal untuk membiayai kebutuhan hidup,
bermain atau berpartisipasi dalam berbagai bentuk
rekreasi dan belajar, menemukan atau memuaskan rasa
ingin tahu yang mengarah pada perkembangan yang normal,
kesehatan dan penggunaan fasilitas kesehatan yang tersedia.
6. Jean Watson
Jean Watson (dalam B. Taleuto, 1995) membagi
kebutuhan dasar manusia ke dalam dua peringkat utama
yaitu kebutuhan yang tingkatnya lebih rendah (lower order
needs) dan kebutuhan yang tingkatnya lebih tinggi (higher
order needs). Pemenuhan kebutuhan yang tingkatnya lebih
rendah tidak selalu membantu upaya kompleks manusia
untuk mencapai aktualisasi diri. Tiap kebutuhan dipandang
dalam konteksnya terhadap kebutuhan lain, dan semuanya
dianggap penting.
7. Sister Calista Roy
Pendapat Roy, bahwa manusia sebagai individu dapat
meningkatkan kesehatannya dengan mempertahankan
perilaku yang adaptif dan mengubah perilaku mal adaptif.
Sebagai makhluk biopsikososial, manusia selalu berinteraksi
dengan lingkungannya. Untuk mencapai suatu posisi
seimbang/homeostasis, manusia harus bisa beradaptasi
7

dengan perubahan yang terjadi. Adaptasi tersebut dilakukan


dengan beberapa rangsangan, yaitu: rangsangan fokal,
konstektual dan residual. Dalam proses penyesuaian diri,
individu harus meningkatkan energinya agar mampu
mencapai tujuan berupa kelangsungan hidup,
perkembangan, reproduksi serta keunggulan. Dengan
demikian individu selalu mempunyai tujuan untuk respons
adaptif. Bila disingkat pendapat Roy, dikatakan bahwa
individu sebagai makhluk biopsikososiospiritual merupakan
satu kesatuan yang utuh, memiliki mekanisme koping
untuk beradaptasi dengan perubahan lingkungan yang
terjadi melalui interaksi yang dilakukan terhadap perubahan
lingkungan tersebut.

2.1.2 Konsep Kebutuhan Dasar Manusia


Konsep Kebutuhan Dasar Manusia adalah manusia dari
berbagai kelompok umur dan manusia dengan segala
kebutuhannya. Manusia dapat ditinjau dari dua sudut pandang,
yaitu manusia sebagai makhluk holistik dan manusia sebagai
system menurut (Kasiati & Rosmalawati N,W,D (2016)).
a. Manusia Sebagai Makhluk Holistik
Manusia sebagai makhluk holistik merupakan makhluk
yang utuh atau paduan dari unsur biologis, psikologis,
sosiologis dan spiritual. Sebagai makhluk biologis, manusia
tersusun atas organ tubuh yang digunakan untuk
mempertahankan hidupnya, mulai dari lahir, tumbuh kembang,
hingga meninggal. Sebagai makhluk psikologis, manusia
mempunyai struktur kepribadian, tingkah laku sebagai
manifestasi kejiwaan, dan kemampuan berpikir serta
kecerdasan. Sebagai makhluk solial, manusia perlu hidup
bersama orang lain, saling bekerja sama untuk memenuhi
kebutuhan dan tuntutan hidup, mudah dipengaruhi
kebudayaan, serta dituntut untuk bertingkah laku sesuai
8

dengan harapan dan norma yang ada. Sebagai makhluk


spiritual, manusia memiliki keyakinan, pandangan hidup,
dan dorongan hidup yang sejalan dengan keyakinan yang
dianutnya.
Jadi maksudnya di sini adalah bila kita memandang
manusia, kita harus melihatnya secara utuh menyeluruh tidak
boleh di penggal-penggal. Misalnya apabila seseorang sedang
dirawat karena sakit, sebagai makhluk factor, dia akan
mengalami beberapa gangguan, selain gangguan
fisik/biologis, secara bersamaan dia juga mengalami
gangguan psikologis, sosial dan spiritual, oleh karena itu
sebagai seorang perawat, dalam memberikan asuhan
keperawatan harus memperlakukan manusia/klien secara
menyeluruh tidak terpisah-pisah, misalnya facto klien
dirawat karena kanker payudara, yang diperhatikan bukan
hanya payudaranya (fisik/biologis) saja tetapi secara utuh
bagaimana psikologis, sosial dan spiritualnya.
b. Manusia Sebagai Sistem
Manusia sebagai factor terdiri atas factor adaptif, personal,
interpersonal, dan actor. Sistem adaptif merupakan proses
perubahan individu sebagai respons terhadap perubahan
lingkungan yang dapat mempengaruhi integritas atau
keutuhan. Sebagai factor personal, manusia memiliki proses
persepsi dan bertumbuh kembang. Sebagai factor
interpersonal, manusia dapat berinteraksi, berperan, dan
berkomunikasi terhadap orang lain. Sedangkan sebagai factor
factor, manusia memiliki kekuatan dan wewenang dalam
pengambilan keputusan di lingkungannya, baik dalam keluarga,
masyarakat, maupun lingkungan.
9

2.2 Perspektif Teori Tentang Pemenuhan Kebutuhan Eliminasi Urin pada


Pasien Post Operasi
2.2.1 Definisi Gangguan Pemenuhan Kebutuhan Eliminasi Urin Pasien
Post Operasi
Eliminasi urine merupakan proses pengosongan kandung kemih
(blass) yang berhubungan erat dengan kontraksi otot – otot pada
kandung kemih yang berada dibawah kendali otak, sehingga waktu
dan tempatnya untuk eliminasi sesuai dengan respon yang diatur oleh
otak. Eliminasi urine dimulai dari kandung kemih secara progresif
terisi sampai tegangan didindingnya meningkat diatas nilai ambang,
yang kemudian mencetuskan langkah kedua yaitu timbul refleks saraf
yang disebut refleks eliminasi urine (refleks berkemih) yang berusaha
mengosongkan kandung kemih (Nurliaty, N. (2020)). Gangguan
eliminasi urine sangat beragam dengan etiologi yang berbeda,
termasuk jika adanya kerusakan medulla spinalis sebagai akibat
traumatik pada tulang belakang yang sering terjadi pada pasien
operasi dengan anestesi spinal. Keadaan ini mempengaruhi otot- otot
yang dipersyarafi oleh bagian segmen medulla yang ada di bawah
tingkat lesi menjadi paralisis, komplet, fleksi dan refleks-refleksnya
tidak ada. Hal ini menjadi pemicu terjadinya inkontinensia urine pada
pasien (Brunner & Suddarth, 2016). Penatalaksanaan dalam
penanganan masalah eliminasi urine (inkontinensia urine) pada pasien
post operasi seksio sesarea dengan anestesi spinal adalah tindakan-
tindakan keperawatan yang bersifat non farmakologis, termasuk
tindakan bladder training yang harus dilakukan perawat sebelum
kateter pasien dilepas (Black & Hawks, 2015; Kozier & Erb, 2015;
Hickey, 2018; Fillingham & Dauglas, 2018)

Eliminasi urin/Berkemih merupakan proses pengosongan


kandung kemih (Hidayat & Uliyah, 2008, hlm.63). Proses
pengosongan kandung kemih dimulai adanya distensi kandung kemih
oleh urin yang merangsang otot destrusor, akibatnya akan terjadi
kontraksi dinding kandung kemih. Pada saat yang sama terjadi
10

relaksasi sfingter interna dan eksterna sehingga urin keluar dari


kandung kemih (Asmadi, 2008, hlm.93). Masalah yang biasa terjadi
adalah resiko infeksi, trauma uretra, dan menurunnya rangsangan
berkemih (Smeltzer & Bare, 2013, hlm.1388). Menurunnya
rangsangan berkemih dalam waktu lama dapat mengakibatkan
kandung kemih tidak meregang dan berkontraksi secara teratur dan
kehilangan tonusnya (Smeltzer & Bare, 2013, hlm.1387- 1390).
Apabila hal ini terjadi dan kateter dilepas, maka otot detrusor mungkin
tidak dapat berkontraksi dan pasien tidak dapat mengontrol
pengeluaran urinnya (Smelzter & Bare, 2013, hlm.1388). Pelepasan
kateter dilakukan setelah tujuan pemasangan tercapai, biasanya
berdasarkan program dari pemberi perawatan primer (Kozier, et al.,
2010, hlm.885). Dikatakan tercapai apabila pasien mampu berkemih
secara spontan dalam waktu 2-6 jam setelah pelepasan kateter (Potter
& Perry, 2006, hlm.1728). Pada pasien pasca kateterisasi urine
mengakibatkan tidak mampu mengontrol pengeluaran urin dan sangat
dianjurkan untuk melakukan delay urination dengan keagle exercise
untuk membantu mempercepat pemulihan kandung kemih. Sehingga
dengan intervensi delay urination dengan keagle exercise diharapkan
pasien pasca kateterisasi urine dapat merespon berkemih secara
normal dengan menahan waktu berkemih. Dari latar belakang diatas,
maka peneliti ingin mengetahui keefektifan delay urination dengan
keagle exercise terhadap respon berkemih pasca kateterisasi urine.

Gangguan eliminasi urin adalah keadaan dimana seseorang


individu mengalami atau berisiko mengalami disfungsi eliminasi urin.
Biasanya orang yang mengalami gangguan eliminasi urin akan
dilakukan kateterisasi urin, yaitu tindakan memasukan selang kateter
ke dalam kandung kemih melalui uretra dengan tujuan mengeluarkan
urin. Prevalensi gangguan eliminasi urin pada anak diperkirakan 5% -
6,8 % (Yanti, dkk, 2016). Hypospadia merupakan kelainan konginetal
yang paling sering terjadi pada anak laki-laki. Kata Hypospadia
berasal dari Bahasa Yunani yaitu Hypo, yang berarti di bawah, dan
11

Spadon, yang berarti lubang (Giannantoni A, 2011). Dampak yang


terjadi pada penyakit Hypospadia bila tidak ditangani dengan baik
maka dapat menimbulkan masalah pada pasien Hypospadia bahkan
bisa sampai komplikasi Komplikasi yang dapat terjadi pada pasien
Hypospadia, komplikasi awal: perdarahan, hematologic, infeksi pada
luka operasi, wound dehiscence, kerusakan kulit, infeksi saluran
kemih, retensi urin Vikaningrum, M. (2020).

2.2.2 Jenis Pemenuhan Kebutuhan Eliminasi Urin


a. Mobilisasi Dini

Mobilisasi dini adalah suatu pergerakan dan posisi yang


akan melakukan aktifitas atau kegiatan. Mobilisasi
merupakan kemampuan seseorang untuk bergerak dengan
bebas dan merupakan faktor yang menonjol dalam
mempercepat pemulihan pasca bedah, mobilisasi dini
merupakan suatu aspek yang terpenting pada fungsi
fisiologis karena hal ini esensial untuk mempertahankan
kemandirian. Dengan demikian mobilisasi dini adalah suatu
upaya mempertahankan kemandirian sedini mungkin
dengan cara membimbing penderita untuk mempertahankan
fungsi fisiologi. Bahwa mobilisasi dini adalah kebijaksanaan
untuk selekas mungkin membimbing penderita keluar dari
tempat tidurnya dan membimbing selekas mungkin berjalan
(Fauza, 2013).

b. Bladder Training
Bladder training merupakan penatalaksanaan melatih
kandung kemih yang bertujuan untuk mengembangkan tonus
otot dan spingter kandung kemih agar berfungsi optimal. Pada
perawatan maternitas, Bladder training dilakukan pada ibu yang
telah mengalami gangguan berkemih seperti inkontinensia urin
atau retensio urin. Bladder training dapat mulai dilakukan
sebelum masalah berkemih terjadi pada ibu postpartum,
12

sehingga dapat mencegah intervensi invasif seperti pemasangan


kateter yang justru akan meningkatkan kejadian infeksi kandung
kemih. Sehingga dengan Bladder training diharapkan ibu
postpartum dapat buang air kecil secara spontan dalam 2 hingga
6 jam postpartum sekaligus menjadi motivasi ibu untuk
melakukan mobilisasi dini (Suharyanto, 2019).
c. Kegel Exercise
Kegel exercises (latihan pengencangan atau penguatan otot-
otot dasar panggul), Latihan otot dasar panggul meliputi
program olahraga bertahap dari kontraksi otot pelvis berulang.
Dengan Kegel exercise mengencangkan otot pelvis 6-10 detik
diikuti periode istirahat dengan durasi yang sama. Mulailah
dengan 5-10 latihan sehari dan secara bertahap ditingkatkan
hingga 25-35 latihan perhari selama periode 6-12 minggu. Re-
eduksi neuromuskuler berfokus pada mengajari ketangkasan.
Ajari klien untuk mengontraksikan otot dasar pelvis secara sadar
kapanpun ia batuk, bersin, atau mengangkat barang berat.
Menunda perkemihan dari interval pendek setiap jam atau
kurang menjadi 3 jam. Klien yang melaksanakan latihan-latihan
otot dasar pelvis sebelum pembedahan, didapatkan hasil yang
bahkan lebih baik, klien yang menerima sesi dan melakukan
latihan sebelum pembedahan memiliki hasil yang secara
signifikan lebih baik dibandingkan klien yang menerima sesi
dan melakukan latihan setelah pembedahan (Black Joyce M dan
Hawks Jane Hokanson, 2014).

2.2.3 Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Eliminasi Urin


Faktor-faktor yang mempengaruhi eliminasi urin menurut
(PPNP (2016)). Yaitu :

a. Penurunan kapasitas kandung kemih


b. Iritasi kandung kemih
c. Penurunan kemampuan menyadari tanda-tanda gangguan
kandung kemih
13

d. Efek Tindakan medis dan diagnostic (mis. Operasi ginjal,


operasi saluran kemih, anestesi, dan obat obatan)
e. Kelemahan otot pelvis
f. Ketidak mampuan mengakses toilet (mis. Imobilisasi)
g. Hambatan lingkungan
h. Ketidak mampuan mengkomunikasikan kebutuhan eliminasi
i. Outlet kandung kemih tidak lengkap (mis. Anomaly saluran
kemih)
j. Imaturitas (pada anak usia <3 tahun)

2.2.4 Dampak Perubahan Kebutuhan Jenis Pemenuhan Eliminasi Urin


Terhadap Homeostatis Tubuh
Pada prinsipnya proses penyembuhan luka pada semua luka
sama, dengan variasinya bergantung pada lokasi, keparahan dan
luasnya cedera. Kemampuan sel dan jariangan melakukan regenerasi
atau kembali ke struktur normal melalui pertumbuhan sel juga
mempengaruhi penyembuhan luka (Perry & Potter, 2005). Salah satu
konsep dasar perawatan pada masa nifas pasien pasca sectio caesarea
didapatkan bahwa mobilisasi dini diberikan setelah sectio caesarea
(Manuaba, 2010).

Oprasi struktur abdomen bawah dan pelvis terkadang


mengganggu perkemihan karena adanya trauma local pada jaringan
sekitar. Setelah menjalani operasi pada ureter, kandung kemih, dan
uretra, klien biasanya akan menjalani pemasangan kateter urine
menurut A Aziz, A.H. (2006).

2.2.5 Masalah Keperawatan Yang Berhubungan Dengan Pemenuhan


Kebutuhan Eliminasi Urin
Masalah keperawatan dengan pemenuhan kebutuhan eliminasi
urin menurut (PPNP (2016)). Yaitu:

a. Inkontinensia Urin Berlanjut: b.d trauma d.d nocturia lebih dari


2 kali sepanjang tidur
14

b. nkontinensia Urin Berlebih: b.d obstruksi jalan keluar urin d.d


kandung kemih distensi
c. Inkontinensia Urin Fungsional: b.d hambatan lingkungan d.d
mengompol sebelum mencapai atau selama usaha mencapai
toilet
d. Inkontinensia Urin Refleksf: b.d kerusakan kondisi impuls di
atas arkus refleks d.d volume residu urin meningkat
e. Inkontinensia Urine Stres: b.d kelemahan otot pelvis d.d
mengeluh keluar urin <50 ml saat tekanan abdominal meningkat
f. Inkontinensia Urine Urgensi: b.d penurunan kapasitas kandung
kemih
g. Retensi Urin: pengosongan kandung kemih yang tidak lengkap
h. Risiko Inkontinensia Urin Urgensi: berisiko mengalami
pengeluaran urin yang tidak terkendali
i. Gangguan Eliminasi Urin: disfungsi eliminasi urin
j. Kesiapan Peningkatan Eliminasi Urin: pola fungsi sistem
perkemihan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan eliminasi
yang dapat ditingkatkan

2.3 Intervensi Pemenuhan Kebutuhan Berdasarkan Hasil Riset

Pemenuhan kebutuhan eliminasi urin pada pasien post operasi dapat


dipenuhi oleh perawat dengan melakukan intervensi keperawatan yang
sesuai. Setelah dilakukan pencarian evidance based berdasarkan PICO
dengan P/Population: pasien post op, I/Intervention: intervensi eliminasi
urin, C/Comparasion:-, dan O/Output: mampu melakukan eliminasi urin
tanpa gangguan, menggunakan kata kunci berbahasa indonesia “Pasien Post
Operasi” AND “Intervensi Eliminasi Urin OR Bladder Training” dan
berbahasa inggris “Post Operative” AND “Urine Elimination OR Bladder
Training” dengan kriteria publikasi 10 tahun terakhir pada database Google
Scholar ditemukan 5 artikel penelitian (3 artikel dari Indonesia dan 2 artikel
dari Luar Negeri) yang berisi intervensi-intervensi keperawatan yang
diberikan pada pasien post operasi untuk memenuhi kebutuhan eliminasi
15

urin. Adapun intervensi-intervensi keperawatanya terdiri dari berbagai jenis


yaitu bladder training, kegel exercise, dan mobilisasi dini.
16

2.3 Tabel Analisis Evidence Based


Variabel & Kekuatan &
Desain Intervensi Kekurangan
No Judul & Penulis Tujuan Penelitian Metode Penelitian Hasil Penelitian
Penelitian Keperawatan Penelitian
1 Judul : “Efektifitas Mengukur tingkat Populasi : 36 Quasi Variabel : Bladder training sejak dini Kekuatan :
Bladder Training Sejak efektifitas bladder Pasien yang Experimental 1. Jenis Kelamin lebih baik dalam mengatasi Dilakukan
Dini dan Sebelum training sejak dini terpasang kateter (Post Test 2. Usia inkontinensia urin intervensi
Pelepasan Kateter Urin dan sebelum urin paska oprasi di Only Control 3. Respon dibandingkan dengan langsung kepada
Terhadap Terjadinya pelepasan kateter SMC RS Group Berkemih bladder training sebelum pasien paska
Inkontinensia Urine Pada urin terhadap Telogorejo Design) pelepasan kateter urin operasi dengan
Pasien Paska Operasi di terjadinya Intervensi kateter urin
SMC RS Telegorejo” inkontinensia urin Sampel : 30 Keperawatan : dengan
responden 1. Bladder kelompok
Penulis : Training pembanding
1. Lucky Angelia Teknik Sampling :
Shabrina Sampel Jenuh
Kekurangan :
2. Ismonah
Tidak dijelaskan
3. Syamsul Arif
durasi dan
periode bladder
Tahun : 2015
training
2 Judul : “The Effects Of Untuk menguji Populasi : Pasien Quasi Variabel : Bladder tarining yang Kekuatan :
Bladder Training On pengaruh bladder BPH yang Experimental 1. Karakteristik diberikan dengan Penjelasan
Bladder Functions After training terhadap menjalani pasien menekan/menjepit kateter intervensi detail
Transurethral Resection fungsi berkemih transuretheral 2. Waktu urgensi pada hari ke-2 post operasi dan sampel
Of Prostate” pada pasien BPH prostat pertama & memberikan efek positif banyak
setelah resesi Sampel : 50 pasien volume yang signifikan pada Kekurangan :
17

Penulis : transuretheral prostat (28 pasien pada berkemih pemenuhan kebutuhan Efek jangka
1. Funda Büyükyilmaz  kelompok setelah eliminai urin panjang terkait
2. Yeliz Culha intervensi yang pelepasan bladder training
3. Hande  Zümreler menerima bladder kateter belum diketahui
4. Murat Özer training & 22 3. Catatan harian dan bias
5. Mehmet Gokhan pasien kelompok pasien mungkin terjadi
Culha  kontrol) karena pada
6. Alper Ötünçtemur Intervensi catatan harian
Teknik Sampling : Keperawatan : pasien bersifat
Tahun : 2020 Purposive Bladder Training laporan pribadi
Sampling (Pada hari ke-2
dan ke-3 post op
kateter urin pada
pasien dijepit
dengan interval 4
jam dan
kemudian
dibiarkan terbuka
selama 5 menit,
tindakan ini
dilakukan terus
selama 24 jam)

3 Judul : “Perbedaan Mengetahui Populasi : 50 Quasi Variabel : 1. Hasil uji Maan Whitney Kekuatan :
Efektivitas Bladder perbedaan efektifitas pasien operasi Experimental 1. Usia menunjukan nilai p= Intervensi
Training Dengan Kegel bladder training dan dengan general (Post Test 2. Waktu BAK 0,861 (p≥0.05) artinya dilakukan secara
Exercise Dan Bladder kegel exercise anastesi di RSUD Only Control pertama pasca tidak ada perbedaan langsung dan
Training Terhadap Waktu terhadap waktu Ambarawa Group katerisasi urin yang bermakna antara intervensi yang
18

BAK Pertama Pasca eliminasi BAK Design) Intervensi bladder training dan diberikan tidak
Katerisasi Urin Pada peertama pasca Sampel : 36 Keperawatan : bladder training dengan hanya satu tapi
Pasien Post Operasi katerisasi urin pada Resonden 1. Bladder kegel exercise terhadap dua sekaligus
Dengan General Anastesi pasien post operasi Training waktu BAK pertama
Di RSUD Ambarawa” dengan general Teknik Sampling : 2. Kegel pasca katerisasi urin
Kekurangan :
anastesi di RSUD Accidental Exercise pada pasien post operasi
Responden
Penulis : Ambarawa Sampling general anastesi.
terbatas
1. Eva Agustin 2. Kombinasi bladder
2. Sri Puguh Kristyawati training dan kegel
3. M. Syamsul Arief exercise memiliki waktu
BAK pertama pasca
Tahun : 2016 katerisasi urin lebih
cepat yaitu 15 menit,
dibandingkan dengan
yang hanya diberi
bladder training yaitu
20 menit.

4 Judul : “Influence of Untuk mengetahui Populasi : Pria RCT Variabel : PMFT yang dilakukan pada Kekuatan :
Preoperative and apakah pasien yang melakukan 1. Karakteristik pasien sebelum operasi dan Sampel yang
Postoperative Pelvic dengan tambahan prostatektomi pasien sesudah operasi tidak digunakan
Floor Muscle Training PMFT pre oprasi radikal terbuka atau 2. Kejadian menunjukan adanya durasi banyak,
(PMFT) Compared with dapat mengatasi prostatektomi kontinensia yang lebih pendek terkait pemantauan
Postoperative PMFT on inkontinensia urin radikal laparoskopi 3. Kehilangan inkotinensia urin post intervensi
Urinary Incontinence lebih cepat dengan bantuan urin pada operasi dibandingkan berkala sampai
After Radical dibandingkan robot di RS bulan ke-1, pasien yang hanya 12 bulan
Prostatectomy: A dengan pasien yang Universitas Leuven ke-3, ke-6 & melakukan PMFT sesudah
Randomized Controlled melakukan PMFT ke-12 setelah operasi Kekurangan :
19

Trial” hanya ketika post Sampel : 180 prostektomi Adanya sampel


operasi pasien, dengan 91 yang mundur
Penulis : prostatektomi pasien kelompok Intervensi dari penelitian
1. Geraerts intervensi & 89 Keperawatan : akibat kejadian
2. Hendrik Van Poppel kelompok kontrol PMFT tertentu
3. Nele Deyoogdt (Kelompok
4. Steven Joniau Teknik Sampling : intervensi mulai
5. Ben Van Two-Sided Log latihan 3 minggu
Cleynenbreugel Rank Test sebelum operasi
6. An De Groef kemudian dilanjut
7. Marijke Van Kampen sesudah operasi &
kelompok kontrol
Tahun : 2013 mulai setelah
pelepasan kateter)

5 Judul : “Efektifitas Mengetahui Populasi : Pasien Quasi Variabel : Mobilisasi dini yang Kekuatan :
Mobilisasi Dini Terhadap keefektifitasan post operasi Experimental 1. Usia dilakukan sesegera Intervensi
Respon Berkemih Pada mobilisasi dini abdomen di ruang (Post Test 2. Jenis mungkin efektif dan dilakukan secara
Pasien Post Operasi terhadap respon rawat inap RS Only Control Kelamin berpengaruh untuk pasien langsung
Abdomen Di RS Panti berkemih pada Panti Wilasa Group 3. Respon paska bedah abdomen
Wilasa Citarum pasien post operasi Citarum Semarang Design) Berkemih terhadap kemampuan
Kekurangan :
Semarang” abdomen di RS Panti berkemih, yang ditujukan
Responden
Wilasa Citarum Sampel : 30 Intervensi dari hasil uji statistik ada
terbatas
Penulis : Semarang Responden Keperawatan : perbedaan yang singnifikan
1. Muslikah 1. Mobilisasi efektivitas mobilisasi dini
2. Ismonah Teknik Sampling : Dini segera mungkin terhadap
3. Wulandari Meika Purposive respon berkemih (p–value =
Sampling 0,000).
20

Tahun : 2015
BAB III
INTERVENSI KEPERAWATAN PEMENUHAN KEBUTUHAN
ELIMINASI URIN PADA PASIEN POST OPERASI

Pemenuhan kebutuhan eliminasi urin pada pasien post operasi dapat


dipenuhi oleh perawat dengan melakukan intervensi keperawatan yang sesuai.
Setelah dilakukan pencarian evidance based berdasarkan PICO dengan
P/Population: pasien post op, I/Intervention: intervensi eliminasi urin,
C/Comparasion:-, dan O/Output: mampu melakukan eliminasi urin tanpa
gangguan, menggunakan kata kunci berbahasa indonesia “Pasien Post Operasi”
AND “Intervensi Eliminasi Urin OR Bladder Training” dan berbahasa inggris
“Post Operative” AND “Urine Elimination OR Bladder Training” dengan kriteria
publikasi 10 tahun terakhir pada database Google Scholar ditemukan 5 artikel
penelitian (3 artikel dari Indonesia dan 2 artikel dari Luar Negeri) yang berisi
intervensi-intervensi keperawatan yang diberikan pada pasien post operasi untuk
memenuhi kebutuhan eliminasi urin. Adapun intervensi-intervensi keperawatanya
terdiri dari berbagai jenis yaitu bladder training, kegel exercise, dan mobilisasi
dini.
Pada artikel penelitian pertama dan kedua yang dilakukan oleh Shabrina et.
al (2015) dan Büyükyilmaz et al. (2020) menyoroti pada intervensi keperawatan
pemberian bladder training pada pasien post operasi. Hasil penelitian artikel
pertama yg dilakukan oleh Shabrina et. al (2015) didapatkan bahwa bladder
training sejak dini lebih efektif dibandingkan dengan bladder training yang hanya
dilakukan sebelum pelepasan kateter urin. Hal ini dibuktikan dengan hasil uji beda
dengan Maan Whitney pada kedua kelompok didapatkan nilai p=0.004 dan
dengan perbandingan nilai rerata, nilai rerata pada kelompok bladder training
sejak dini yaitu 10.93 dan rerata bladder training sebelum pelepasan kateter yaitu
20.07, maka terbukti bahwa intervensi bladder training sejak dini lebih baik dalam
mengatasi inkontinensia urin.
Penelitian yang dilakukan oleh Shabrina et.al (2015) di SMC RS Telogorejo
ini dilakukan kepada 30 pasien post operasi yang terpasang kateter urin.

21
Responden penelitian ini dibagi kedalam dua kelompok yaitu kelompok
pembanding yaitu ke-

22
23

lompok yang dilakukan intervensi bladder training sejak dini dan kelompok
kontrol yang dilakukan intervensi bladder training sebelum pelepasan kateter urin
yang masing-masing terdiri dari 15 pasien. Selain membandingkan keefektifan
bladder training sejak dini dengan bladder training sebelum pelepasan kateter
urin, penelitian ini juga berfokus pada jenis kelamin, usia dan respon berkemih.
Hasil penelitian didapatkan bahwa pasien laki-laki lebih dominan yaitu 18 pasien
dengan usia paling banyak dewasa akhir sebanyak 12 pasien, hal ini karena jenis
kelamin mempengaruhi kemampuan berkemih dengan perbedaan struktur anatomi
dan usisa mempengaruhi kemampuan berkemih akibat penurunan respon
berkemih seiring bertambahnya usia. Untuk Respon berkemih pada kedua
kelompok yang paling banyak adalah spontan yaitu 6 pasien.
Penelitian kedua yang juga sama menyoroti intervensi keperawatan
bladder training pada pasien post operasi yaitu penelitian oleh Büyükyilmaz et al.
(2020). Penelitian ini merupakan jenis penelitian quasi eksperimental yang
dilaksanakan pada Maret 2018 – Agustus 2018 di klinik urologi pada RS
Universitas di Istanbul, Turki. Sampel pada penelitian ini adalah pasien post
operasi BPH sebanyak 50 pasien dengan 28 pasien kelompok eksperimen
(menerima bladder training) dan 22 pasien kelompok kontrol. Pada kelompok
eksperimen, pasien dilakukan bladder training dengan intervensi menjepit kateter
urin pada interval 4 jam dan kemudian dibiarkan terbuka selama 5 menit pada hari
kedua post operasi. Penjepitan kateter urin pada kelompok eksperimen dibuka
ketika mereka melaporkan rasa urgensi buang air sebelum menyelesaikan interval
4 jam tersebut. Intervensi ini diulang selama 24 jam sampai hari ke-3 post operasi.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa rata-rata usia pasien adalah 66 tahun
dengan 40% pasien memiliki riwayat penyakit kronis. Pada kelompok
eksperimen, rata-rata waktu urgensi pertama dan waktu buang air pertama setelah
pelepasan kateter lebih lama dibandingkan dengan kelompok kontrol. Pada
kelompok eksperimen, volume sebelum buang air, volume buang air, dan volume
setelah buang air lebih tinggi dibandingkan kelompok kontrol. Pada catatan harian
kelompok eksperimen, frekuensi harian mikturisi dan nokturia lebih rendah
disbanding kelompok kontrol. Maka bladder training yang diberikan dengan
24

menekan menjepit kateter pada hari kedua post operasi memberikan efek positif
yang signifikan pada pemenuhan kebutuhan eliminasi urin.
Pada artikel penelitian yang ketiga yang dilakukan Agustin et. al pada tahun
2016 menjabarkan tentang intervensi keperawatan bladder training yang
dikombinasikan dengan kegel exercise. Pada penelitian ini didapatkan hasil
bahwa tidak ada perbedaan yang bermakna antara bladder training dan bladder
training dengan kaegle exercise terhadap waktu BAK Pertama pasca katerisasi
urin pada pasien post operasi general anastesi yang ditunjukan dari hasil uji
Maan Whitney dengan nilai p= 0,861 (p≥0.05). Hasil penelitian juga menyatakan
bahwa kombinasi bladder training dan kaegle exercise memiliki keefektifan lebih
baik dalam waktu BAK pertama pasca katerisasi urin yaitu 15 menit,
dibandingkan dengan yang hanya diberi bladder training yaitu 20 menit.
Kombinasi antara intervensi bladder training dan kegel exercise tersebut sangat
bermanfaat untuk melatih kembali otot kandung kemih agar kembali normal. Hal
ini dikarenakan adanya tambahan intervensi kegel exercise dapat meningkatkan
kekuatan fungsi sfrigter eksternal pada kandung kemih.
Pada penelitian Agustin et.al (2016) ini dilakukan kepada 36 responden
dengan dibagi kedalam 2 kelompok, 18 responden kelompok intervensi dan 18
responden kelompok kontrol. Diketahui bahwa usia responden yang terpasang
kateter paling banyak yaitu pada usia 26-35 tahun sebanyak 24 responden
(66,7%). Hal ini menunjukan bahwa pada penelitian ini termasuk dalam usia
dewasa dimana struktur maupun fungsional dari kandung kemih dan sfringter
masih baik dan dapat cepat kembali berkontraksi.
Pada artikel keempat yang diteliti oleh Geraerts et. al (2013) intervensi
keperawatan yang lakukan adalah PMFT (Pelvic Floor Muscle Training) atau
kegel exercise. Penelitian ini dilakukan di Rumah Sakit Universitas Leuven
dengan sampel sebanyak 180 pasien yang akan melakukan prostatektomi. 91
pasien kelompok eksperimen dan 89 pasien kelompok kontrol. Intervensi yang
diberikan pada kelompok eksperimen adalah PMFT dilakukan 3 minggu sebelum
prostatektomi dan dilanjutkan sesudah prostatektomi sedangkan pada kelompok
kontrol PMFT dilakukan hanya sesudah prostatektomi. Hasil dari penelitian ini
menunjukan median waktu untuk kontinens adalah 30 hari pada kelompok kontrol
25

dan 31 hari pada kelompok eksperimen (p = 0,878). Median jumlah untuk hari
pertama inkontinensia urin adalah 124 gram pada kelompok kontrol dan 108 gram
pada kelompok eksperimen (p = 0,880). Tetapi, pasien dengan PMFT yang kuat
memerlukan waktu yang lebih sedikit untuk kontinens. 65% pasien benar-benar
kontinens selama 3 hari pada periode pre operasi dan 30% memiliki jumlah kecil
pada kehilangan urin (1-10 g/d). Kaplan-Meier analisis pada waktu untuk
kontinens mengindikasikan bahwa pasien tanpa kehilangan urin saat pre operasi
menjadi kontinens lebih cepat dibanding pasien yang inkontinensia saat pre
operasi. Maka kesimpulan hasil penelitian ini adalah PMFT yang dilakukan pada
pasien sebelum operasi dan sesudah operasi tidak menunjukan danya durasi yang
lebih pendek terkait inkontinensia urin post operasi dibandingkan pasien yang
hanya melakukan PMFT sesudah operasi.
Pada artikel penelitian yang kelima yang dilakukan oleh Muslikah et. al
pada tahun 2015 membahas tentang intervensi keperawatan mobilisasi dini.
Pada penelitian ini yang dilakukan di RS Panti Wilasa Cotarum Semarang
didapatkan bahwa mobilisasi dini yang dilakukan sesegera mungkin efektif dan
berpengaruh untuk pasien paska bedah abdomen terhadap kemampuan berkemih,
yang ditujukan dari hasil rata-rata efektivitas responden dengan mobilisasi dini
pada kelompok intervensi terhadap respon berkemih adalah 357.13 menit
sedangkan pada kelompok kontrol rata – rata 457.00 menit (p value = 0,000). Hal
ini dikarenakan pada kondisi imobilisasi/posisi berbaring untuk waktu yang lama,
gravitasi akan menghambat proses berkemih akibatnya proses pengosongan
kandung kemih manjadi terhambat dan tidak tuntas.
Selain itu pada penelitian ini juga diteliti variabel lain seperti usia dan jenis
kelamin, dengan usia responden didominasi dengan kelompok usia dewasa
kisaran 26-35 tahun dimana struktur dan fungsional kandung kemih sudah cukup
baik sehingga mobilisasi dini yang dilakukan dapat memberikan rangsangan
kontraksi kandung kemih lebih baik yang berdampak kandung kemih cepat
kembali berkontraksi secara normal sehingga respon berkemih pun bisa maksimal
dan jenis kelamin pada responden yang ditemukan pada penelitian ini rata yang
menunjukan bahwa mobilisasi dini memberikan dampak yang berbeda pada jenis
kelamin laki-laki dan perempuan tergantung keluhan berkemih pasien.
26

Kemudian berikut dilampirkan penjelasan dan langkah-langkah/SOP


intervensi keperawatan pada pemenuhan kebutuhan eliminasi urin pada pasien
post operasi yang terdiri dari Bladder Training, Kegel Exercise dan Mobilisasi
Dini dari kelima artikel diatas dan sumber lain:
3.1 Bladder Training
a. Bladder Training merupakan salah satu intervensi keperawatan pada
pasien post operasi dalam bentuk latihan pada kandung kemih dengan
mengembangkan tonus otot dan spingter kandung kemih agar
berfungsi maksimal. Latihan bladder training bertujuan agar pasien
dapat memperpanjang interval berkemih, menstabilkan kandung
kemih dan menghilangkan urgensi berkemih (Suharyanto, 2008 dalam
Shabrina et.al, 2015).
b. Penelitian yang dilakukan Shabrina et. al (2015) di Indonesia pada
pasien post operasi yang terpasang kateter, merekomendasikan
bladder training dilakukan sedini mungkin dengan menggunakan
penjadwalan latihan secara teratur setiap hari. Pada penelitian ini
bladder trainning dilakukan dengan cara kateter di klem selama 2 jam
dan dilepas setelah 1 jam.
c. Pada penelitian Agustin (2016) di Indonesia tindakan bladder trainng
dilakukan dengan menjepit kateter selama kurang-lebih 1-2 jam dan
melepaskannya ketika pasien sudah merasa ingin berkemih
d. Artikel lain dari Indonesia oleh Bayhakki et. al (2011) memaparkan
langkah-langkah atau SOP bladder training dengan modifikasi cara
Kozier pada pasien post operasi, sebagai berikut :
1. Berikan penjelasan terkait bladder training (waktu, asupan
cairan, produksi urin yang cukup dan prosedur) kepada pasien
yang sudah dirawat sebelum operasi dilakukan
2. Bladder trainning dimulai dengan perawat mengikat atau
memasang klem kateter urin dengan posisi klem diantara kateter
dan kantong urin. Bladder training dilakukan kepada pasien
yang berada pada rentang waktu hari ke-3 sampai ke-7 setelah
operasi.
27

3. Pengikatan atau klem dimulai pada pagi hari dan dilakukan


selama 2 jam atau sampai pasien merasa kandung kemih telah
penuh dan ingin segera berkemih. Klem dibuka selama 5 menit,
kemudian kateter diklem kembali.
4. Tindakan sebelumnya dilakukan sampai selama 12 jam.
5. Setelah 12 jam, kateter urin dan kantong urin dilepas dari
pasien.
e. Menurut penelitian ini cara Kozier lebih cepat dalam mengembalikan
proses berkemih normal pada pasien dibandingkan cara konvensional
(bladder training dengan mengklem kateter selama 2 jam dan dilepas
selama 1 jam yang berlangsung 6 jam)
f. Sumber lain yaitu dari KEMENKES RI memaparkan langkah-
langkah pelaksanaan blader training secara umum :
1. Tentukan pola berkemih pasien. Ciptakan jadwal berkemih
regular dan bantu pasien untuk mempertahankannya, baik pasien
merasakan keinginan untuk berkemih ataupun tidak. (contoh
jadwal berkemih: sesaat setelah bangun, tiap 1 hingga 2 jam
selama siang hari, sebelum tidur, setiap 4 jam pada malam hari).
Rangkaian peregangan-relaksasi dalam jadwal tersebut dapat
meningkatkan tonus otot dan kontrol volunter.
2. Instruksikan pasien untuk mempraktikkan nafas dalam jika ingin
berkemih sebelum waktunya hingga rasa keinginan berkemih
berkurang atau hilang.
3. Ketika pasien sudah mampu mengontrol berkemih, jangka
waktu bisa diperpanjang
4. Atur asupan cairan, terutama pada siang hari, untuk mengurangi
berkemih pada malam hari. Dorong pasien untuk minum Antara
pukul 06.00 – 18.00.
5. Hindari konsumsi berlebihan dari jus sitrus, minuman
berkabonasi alkohol dan minuman yang mengandung kafein.
6. Bila pasien mendapatkan terapi diuretik, jadwalkan pemberian
pada pagi hari.
28

7. Jelaskan pada pasien untuk minum air secara adekuat, hal ini
dibutuhkan untuk memastikan produksi urin adekuat yang dapat
menstimulasi refleks berkemih.
8. Gunakan pengalas untuk mempertahankan tempat tidur dan
linen tetap kering. Hindari penggunaan diaper, menghindari
persepsi boleh mengompol.
9. Bantu pasien dengan program latihan bladder ini
dikombinasikan dengan program latihan otot pelvis yang
bertujuan untuk menguatkan otot dasar panggul.
10. Berikan reward positif untuk mendorong kemampuan berkemih.
Puji pasien bila dapat melakukan berkemih di toilet dan
mempertahankan untuk tidak mengompol.
11. Sedangkan untuk di luar negeri, penelitian oleh Büyükyilmaz et
al. (2020) mengintervensikan bladder training kepada pasien
pada penelitiannya di Turkey dengan cara kateter urin pada
pasien dijepit dengan interval 4 jam dan kemudian dibiarkan
terbuka selama 5 menit, tindakan ini dilakukan terus selama 24
jam pada hari ke-2 dan ke-3 post op.

3.2 Kegel Exercise


a. Kegel exercise merupakan latihan otot dasar panggul. Latihan ini
dilakukan secara rutin dapat menguatkan otot-otot pubococcygeus
yang menyanga kandung kemih dan spingter uretra (Nursalam &
Baticaca, 2009 dalam Agustin, 2016)
b. Kegel exercise yang dilakukan dalam penelitian Agustin (2016) di
Indonesia dilakukan dengan melakukan kontraksi-relaksasi 10 kali
perhari. Penelitain ini juga direkomendasikan pengkombinasian
intervensi bladder training dengan kegel exercise untuk membantu
pasien post operasi paska katerisasi memulai BAK Pertama secara
normal dan spontan serta dapat mengontrol keinginan berkemih.
29

c. Adadun jenis beserta tata cara melakukan latihan Kegel Exercise


pada pasien post operasi di Indonesia menurut Lestari (2011) dalam
artikelnya pada usia pasien 50-60 tahun :
1. Latihan Dasar : (1) gerakan cepat : berupa gerakan kontraksi-
relaksasi-kontraksi-relaksasi dan setarusnya, (2) gerakan
lambat : berupa gerakan tahan kontraksi selama 3-4 detik,
relaksasi 3-4 detik
2. Latihan 1 : Membayangkan seolah-olah ingin buang angin
kemudian mengusahakan agar tidak buang angin, manifestasi
dari latihan ini akan terasa gerakan otot dasar panggul, kulit
sekitar anus berkontraksi yang mengakibatkan masuknya anus
ke area rektum bagian dalam.
3. Latihan 2 : Perawat harus dapat melakukan latihan imajinasi
seolah-olah duduk di toilet untuk buang air kecil atau miksi, dan
bayangkan anda kemudian menghentikan aktifitas berkemih
anda, latihan ini disebut sebagai latihan “STOP TEST”
4. Latihan 3 : Posisikan berbaring terlentang dengan lutut relaksasi
dan terpisah lebar. Imajinasikan saat ada yang mencoba
menusukkan jarum ke arah perineal atau anus, maka akan
muncul gerakan reflek berupa tarikan anus atau rektum ke arah
dalam
5. Latihan 4 : Dengan posisi berbaring seperti latihan 4, letakkan
satu tangan pada area tulang ekor atau lumbal, sementara tangan
yang lain di area pubis. Lalu lakukan gerakan kontraksi, maka
akan diperoleh gerakan kedua tangan menuju ke arah tengah
atau antara tulang lumbal atau tulang ekor dan tulang pubis
saling mendekat.
d. Latihan Kegel pada pasien operasi ini harus benar benar
memperhatikan kondisi pasien, jika pasien masih memakai kateter dan
mengalami kelemahan fisik sebaiknya kegel exercise dilakukan
setelah pasien pulih sekitar 1-2 minggu post operasi atau latihan kagel
30

yang dilakukan hanya latihan ringan seperti latihan dasar dan latihan
membayangkan suatu tindakan intervensi (McCabe et. al, 2017)
Sedangkan untuk prosedur kegel exercise post operasi di luar negeri
ditemukan dalam online book karangan Rosdahl & Kowalski tahun
2008 yang berjudul Text Book Of Basic Nursing Edition 9 yang
menuliskan prosedur kegel exercise yang dapat diajarkan perawat
kepada pasien secara mandiri, berikut prosedurnya :
1. Temukan otot panggul sekitar alat kelamin dengan
menghentikan atau menahan aliran urin, otot-otot yang
digunakan untuk menghentikan aliran urin adalah otot panggul
bawah
2. Cek kekuatan otot sekitar vagina dengan meletakan tangan
terbuka di vagina dan kencangkan otot panggul dengan
kotraksikan otat tersebut
3. Latihan
a) Latihan A : Kencangkan otot panggul dengan tangan terbuka
dan tahan 3 detik, kemudian lepaskan dan diulangi
b) Latihan B : Kontraksi dan Relaksasikan otot secara cepat 10-
25 kali dan ulangi
c) Latihan C : Bayangkan duduk diatas baskom air dengan
vagina terendam diair, kemudian tahan selama 3 detik
d) Latihan D : dorong keluar seperti saat buang air besar yang
hanya dilakukan dengan vagina, tahan 3 detik
e) Dalam satu kali sesi latihan, ulangi latihan A,C, dan D
sebanyak 10 kali dan latihan B 1 kali. Lakukan 3 kali sesi
dalam 1 hari
f) Hindari latihan kegel ini untuk menahan kencing dan
dilakukan saat kandung kemih kosong
g) Pertimbangan Keperawatan : jika pasien terpasang kateter,
lebih baik latihan dilakukan saat setelah kateter dilepas.
e. Selain itu untuk di luar negeri terdapat cara melakukan kagel exercise
secara umum untuk pasien yang menderita inkontinensia urin yang
31

diambil dari Text Book Online berjudul “Medical Surgical Nursing :


Assesment and Management of Clinical Problems” karanagn Lewis
et.al (2011), berikut caranya:
1. Terdapat dua jenis latihan kegel exercise yaitu gerakan pendek
dan gerakan panjang
2. Cara untuk melakukan gerakan lambat : kencangkan otot bawah
panggul selama 2 detik kemudian relaksasi.
3. Cara untuk melakukan gerak panjang : kencangkan otot bawah
pangul selama 5-10 detik kemudian relaksasi
4. Lakukan kedua gerakan tersebut 40-50 kali perhari

3.3 Mobilisasi Dini


Mobilisasi dini paska pembedahan dapat bermanfaat untuk
peningkatan kedalaman pernapasan, peningkatan sirkulasi, peningkatan
berkemih dan metabolisme (Muslikah, 2015). Mobilisasi dini adalah
kegiatan yang dilakukan segera pasien post operasi yang terdiri dari bangun,
duduk, sampai turun dari tempat tidur.
Adapun tahapan pelaksanaan mobilisasi dini post operasi di RSHS
Bandung pada tahun 2014 yang dijabarkan di website web.rshs.or.id :
a. Hari Pertama : Latihan miring kanan dan kiri di tempat tidur dan
latihan otot untuk melatih kekuatan otot
b. Hari Kedua : Duduk disisi tempat tidur. Kegiatan ini dilakukan 2/3
kali selama 10-15 menit
c. Hari Ketiga sampai Kelima : Latihan turun dari tempat tidur dan
latihan berdiri
32

d. Hari Ketujuh : Mulai latihan berjalan perlahan

Berikut ini dilampirkan langkah-langkah atau SOP mobilisasi dini


pada pasien post operasi sectio caesarea dalam artikel Rismawati (2015) :

Standar Operasional Prosedur


Mobilisasi Dini Pada Pasien Post Operasi Sectio Caesarea
Persiapan Pasien
1. Berikan salam, panggil klien dengan namanya
2. Jelaskan tindakan yang akan dilakukan kepada pasien / keluarga
3. Jelaskan tujuan tindakan kepada pasien / keluarga
4. Minta persetujuan pasien
5. Jaga privacy klien
Prosedur
1. Tahap pra interaksi
a. Menyiapkan SOP mobilisasi yang akan digunakan
b. Melihat data atau riwayat SC pasien
c. Melihat intervensi keperawatan yang telah diberikan oleh perawat
d. Mengkaji kesiapan ibu untuk melakukan mobilisasi diri
e. Mencuci tangan
2. Tahap orientasi
a. Memberikan salam dan memperkenalkan diri
b. Menanyakan identitas pasien dan menyampaikan kontrak waktu
c. Menjelaskan tujuan dan prosedur
d. Menanyakan persetujuan dan kesiapan klien
33

3. Tahap kerja
Pada 6 jam pertama post SC
a. Menjaga privasi klien
b. Mengatur posisi senyaman mungkin dan berikan lingkungan yang
tenang
c. Anjurkan pasien distraksi nafas dalam dengan tarik nafas perlahan-
lahan lewat hidung dan kelurkan lewat mulut sambil mengencangkan
dinding perut sebanyak 3 kali kurang lebih selama 1 menit
d. Latihan gerak tangan, lakukan gerakan abduksi dan adduksi pada jati
tangan, lengan dan siku selama setengah menit
e. Tetap pada posisi berbaring, kedua lengan diluruskan diatas kepala
dengan telapak tangan menghadap ke atas
f. Lakukan gerakan menarik keatas secara bergantian sebanyak 5-10 kali
g. Latihan gerak kaki yaitu dengan menggerakan abduksi dan adduksi,
rotasi pada seluruh bagian kaki
Pada 6-10 jam berikutnya
a. Latihan miring kanan dan kiri
b. Latihan dilakukan dengan miring kesalah satu bagian terlebih dahulu,
bagian lutut fleksi keduanya selama setengah menit, turunkan salah
satu kaki, anjurkan ibu berpegangan pada pelindung tempat tidur
dengan menarik badan kearah berlawanan kaki yang ditekuk. Tahan
selama 1 menit dan lakukan hal yang sama ke sisi yang lain
Pada 24 jam post SC
a. Posisikan semi fowler 30-40 secara perlahan selama 1-2 jam sambil
mengobsevasi nadi, jika mengeluh pusing turunkan tempat tidur secara
perlahan
b. Bila tidak ada keluhan selama waktu yang ditentukan ubah posisi
pasien sampai posisi duduk
Pada hari ke 2 post SC
a. Lakukan latihan duduk secara mandiri jika tidak pusing, perlahan kaki
diturunkan Pada hari ke 3 post SC 1. Pasien duduk dan menurunkan
kaki kearah lantai
b. Jika pasien merasa kuat dibolehkan berdiri secara mandiri, atau dengan
posisi dipapah dengan kedua tangan peganga pada perawat atau
keluarga, jika pasien tidak pusing dianjurkan untuk latihan berjalan
disekitar tempat tidur
Evaluasi dan Tindak Lanjut
1. Melakukan evaluasi tindakan
2. Menganjurkan klien untuk melakukan kembali setiap latihan dengan pengawasan
keluarga
3. Salam terapeutik dengan klien
4. Mencuci tangan
Dokumentasi
1. Dokumentasikan : nama klien, tanggal dan jam oerekaman, dan respon pasien
2. Paraf dan nama jelas dicantumkan pada catatan pasien

Begitupula di luar negeri, pasien post operasi juga sangat


direkomendasikan untuk melakukan mobilisasi dini. Adapun bentuk
mobilisasi dini post operasinya dimuat dalam “A Clinical Practice
34

Guideline developed by the University of Toronto’s Best Practice Surgery”


yang ditulis oleh Pearshall et. al tahun 2017 sebagai berikut :
a. Pasien harus didorong untuk berpartisipasi dalam mobilisasi dini
dengan pengecualian pada pasien yang menjalani operasi tulang
belakang yang harus dinilai perindividu
b. Pasien dibantu untuk mobilisasi dini secara perlahan seperti bangun
dan duduk bergelantung ditempat tidur mereka, berjalan atau duduk di
kursi mulai pada hari 0 pasca operasi (Postoperative Day 0/POD 0)
c. Pasien harus dibantu untuk berjalan setidaknya 2 kali sehari. Pasien
harus dibantu untuk duduk dikursi ketika bangun saat siang hari
BAB IV

PEMBAHASAN

4.1 Pemmbahasan Intervensi Pemenuhan Kebutuhan Eliminasi Urin Pada


Pasien Post Operasi
Operasi dapat mengubah alur fisiologis eliminasi urin sehingga retensi
urin post operasi cukup sering terjadi. Anastesi, medikasi, nyeri, dan
perubahan fisiologis akibar operasi itu sendiri termasuk destruksi local
memiliki efek potensial pada mikturisi dan terutama sistem saraf otonom.
Anastesi secara farmakologi mempengaruhi mikturisi normal. Anastesi
general, spinal, dan regional dapat mengarah pada retensi urin post operasi
dengan menekan kontrol dan refleks berkemih pada sistem saraf pusat dan
sistem saraf perifer sehingga membloking transmisi saraf di sumsum tulang
belakang sakral. Anastesi general menyebabkan pelemasan otot polos dan
penurunan kontraktilitas kandung kemih sekaligus mengganggu regulasi
otonom detrusor. Anastesi spinal dan epidural berdampak pada berkemih
dengan cara yang berbeda karena anastesi tersebut menggganggu saraf
aferen dan eferen dan busur refleks mikturisi saat mereka masuk dan keluar
dari sumsum tulang belakang dan menuju ke pusat miksi sentral. Retensi
urin post operasi memiliki efek seperti nyeri suprapubik dan
ketidaknyamanan, kejang kandung kemih, dan inkontinensia urin dengan
ketidakmampuan untuk mengeliminasi urin (Pomajzl & Siref, 2020).

Beberapa penelitian mendapatkan bahwa sebanyak 13% pasien yang


dirawat post operasi mengalami retensi urin (Hansen, Soreide, Warland, &
Nilsen, 2011). Estimasi kejadian retensi urin pada pasien setelah operasi
pelvis bervariasi dari 2.5% - 43% (Geller, 2014). Retensi urin yang terjadi
setelah anastesi dan pembedahan berkisar antara 5% - 70% (Steggall, 2013).

Pemasangan kateter urin merupakan standar praktik untuk operasi


kolorektal bagian abdomen untuk dekompresi kandung kemih, pengukuran
urin output, dan manajemen untuk retensi urin post operasi. Meskipun demi-

35
36

kian, pemasangan kateter dapat berpotensi menyebabkan urinary tract


infection (UTI) yang bisa mengarah pada urosepsis, ketidaknyamanan, dan
waktu rawat inap yang panjang. Pemasangan kateter urin perlu segera
dilepaskan apabila kondisi pasien tidak ada gangguan eliminasi urin. Pada
pasien dengan operasi kolorektal abdomen melepas kateter pada 1 hari
setelah operasi disarankan. Untuk pasien dengan operasi ekstremitas
mengengah sampai bawah memiliki risiko retensi urin lebih tinggi maka
disarankan 3-6 hari setelah operasi sudah melepas kateter (Hendren, 2013).

Manajemen retensi urin post operasi dapat dilakukan pertama kali


dengan indentifikasi dini, pasien yang menjalani operasi perlu dilakukan
pengkajian terkait fungsi berkemihnya (Geller, 2014). Intervensi yang
cukup efektif dalam masalah eliminasi urin adalah pemasangan kateter urin
dan bladder training (Potter & Perry, 2010). Bladder training adalah cara
untuk mengembalikan kandung kemih pada keadaan fungsi normal dengan
menunda berkemih, menolak atau menghambat sensasi urgensi, dan
berkemih sesuai dengan waktu yang ditentukan bukan berdasar keinginan
atau urgensi untuk berkemih (Berman, Snyder, & Frandsen, 2016).

Kegel exercise merupakan salah satu intervensi yang dapat dilakukan


untuk mengatasi gangguan eliminasi urin, kegel exercise mudah dilakukan,
efektif, tidak menimbulkan efek samping, dan tidak membutuhkan banyak
biaya. Kegel exercise berfungsi untuk mempertahankan kekuatan otot dasar
panggul dan mengkontraksikan otot detrusor kandung kemih sehingga
meminimalisir inkontensia urin (Chang, Lam, & Patel, 2016). Selain itu,
mobilisasi dini juga merupakan salah satu manajemen eliminasi urin pada
pasien post operasi. Mobilisasi dini adalah aktivitas yang dilakukan pada
pasien post operasi untuk membantu pemulihan serta mencegah terjadinya
komplikasi salah satunya adalah retensi urin (Frayoga & Nurhayati, 2018).

Fenomena yang sering terjadi pada pasien post operasi terutama pada
operasi abdomen dan ekstremitas mengengah sampai bawah banyak
ditemukan pasien yang mengalami gangguan pemenuhan eliminasi urin
seperti retensi urin maupun inkontinensia urin. Manajemen pemenuhan
37

kebutuhan eliminasi tersebut salah satunya adalah dengan pemasangan


kateter urin namun memiliki risiko bila dipasang terlalu lama. Sehingga,
intervensi non-farmakologi yang bisa membantu pasien post operasi
diantaranya adalah bladder training, kegel exercise, dan mobilisasi dini.
Intervensi tersebut dapat dilakukan untuk mengatasi retensi urin maupun
inkontinensia urin yang mengarah pada pelepasan kateter lebih cepat.

4.1.1 Bladder Training

Penelitian yang dilakukan oleh Shabrini et al. (2015)


mendapatkan bahwa pasien post operasi yang diberikan intervensi
bladder training sejak dini lebih baik dalam mengatasi inkontinensia
urin pada pasien. Penelitian ini dilakukan pada 30 pasien post operasi
yang terpasang kateter urin. Sebanyak 15 pasien sebagai kelompok
perlakuan diberikan intervensi bladder training sejak dipasang kateter
sampai dengan dilepas kateter. 15 pasien lainnya sebagai kelompok
kontrol diberikan intervensi bladder training sebelum pelepasan
kateter. Intervensi bladder training yang dilakukan adalah dengan cara
kateter diklem selama 2 jam dan dilepas setelah 1 jam. Tetapi pada
penelitian ini tidak dijelaskan prosedur bladder training yang
dilakukan, hanya menjelaskan bahwa bladder training dilakukan setiap
hari dan tidak dijelaskan berapa hari dilakukan intervensi bladder
training.

Efektivitas bladder training yang dilakukan pada pasien post


operasi BPH pada hari kedua setelah operasi menunjukan bahwa ada
efek positif yang signifikan pada pemenuhan kebutuhan eliminasi
urin. Penelitian ini dilakukan oleh Büyükyilmaz et al. (2020) pada 50
pasien post operasi BPH. 28 pasien sebagai kelompok eksperimen
yaitu dilakukan intervensi bladder training dengan mengklem kateter
pada interval 4 jam dan dibuka selama 5 menit, intervensi ini
dilakukan pada hari kedua post operasi. Klem dilepas ketika pasien
mengatakan ingin buang air sebelum selesai interval 4 jam. Intervensi
ini diulang selama 24 jam sampai hari ketiga post operasi. 22 pasien
38

kelompok kontrol tidak dilakukan bladder training namun kateter


urinnya dilepas pada hari ketiga post operasi.

Bladder training yang dikombinasikan dengan kegel exercise


lebih efektif dalam mempercepat buang air kecil pertama pada pasien
post operasi (Agustin, Kristyawati, & Arief, 2017). Bladder training
yang dilakukan pada 18 kelompok intervensi adalah dengan menjepit
kateter selama kurang lebih 1-2 jam dan melepaskannya ketika pasien
merasa sudah ingin berkemih. Tetapi pada penelitian ini tidak
dijelaskan pada hari ke berapa post operasi dan sampai hari ke berapa
post operasi intervensi bladder training ini dilakukan.

Berdasar hasil penelitian yang dilakukan oleh Pratiwi, Siswanti,


& Sudiarto (2017) yang dilakukan pada 30 pasien post operasi BPH
dengan terpasang kateter. Pada sampel penelitian tersebut terbagi ke
dalam kelompok perlakuan dan kelompok kontrol, masing-masing 15
pasien. Hasil penelitian tersebut didapatkan bahwa dengan uji Mann
Whitney nilai signifikan p<0,05 (p-value 0,001) dengan nilai Z score
-3.350 yang berarti terdapat perbedaan antara kelompok perlakukan
dan kelompok kontrol setelah dilakukan bladder training sejak dini.
Perbandingan nilai rerata pada bladder training sejak dini 2.73 dan
nilai rerata pada bladder training biasa 11.33 membuktikan bahwa
bladder training sejak dini lebih baik. Pada penelitian ini bladder
training dilakukan setiap hari namun tidak dijelaskan waktu klem dan
pelepasannya dalam kurun waktu berapa jam.

Penelitian lain terkait efektivitas bladder training pada pasien


post operasi BPH di ruang rawat inap RSUD Soreang. Penelitian ini
dilakukan pada 60 pasien dengan rincian 30 pasien diberikan
intervensi bladder training delay urination dan 30 pasien diberikan
intervensi bladder training scheduled urination. Bladder training delay
urination dilakukan dengan cara mengklem dan melepaskannya
kembali selama 7 kali per hari dari pagi sampai sore setelah proses
irigasi urin selesai, bladder training delay urination dilakukan sampai
39

pasien dapat merasakan dan menunda keinginan berkemih. Bladder


training scheduled urination dilakukan dengan cara pembiasaan
berkemih sesuai jadwal yang sudah dibuat sebanyak 7 kali per hari,
jadwal tersebut harus diikuti oleh pasien sampai pasien dapat
mengenal dan memberikan respon yang sesuai terhadap keinginan
berkemih. Hasil penelitian ini menunjukan usia pasien paling banyak
berusia lebih dari 56 tahun sebanyak 33 pasien, kondisi awal seluruh
pasien adalah inkontinensia urin, setelah diberikan intervensi delay
urination 11 pasien tidak mengalami inkontinensia urin dan untuk
intervensi scheduled intervention 15 pasien tidak mengalami
inkontinensia urin (Nurhasanah & Hamzah, 2017).

Salah satu operasi yang membutuhkan anastesi spinal adalah


operasi sectio caesare sehingga pada pasien post operasi sectio
caesare. Penelitian yang dilakukan oleh Nurliaty & Aspiati (2019) di
RS Advent Medan pada 26 pasien post operasi section caesare dengan
13 pasien sebagai kelompok intervensi dan 13 pasien sebagai
kelompok kontrol. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa setelah
dilakukan bladder training sebanyak 4 siklus pada kelompok
intervensi, 10 pasien dapat mengontrol eliminasi urin dan 3 pasien
tidak dapat mengontrol eliminasi urin. Pada kelompok kontrol yang
tidak diberikan intervensi bladder training, 4 pasien dapat mengontrol
eliminasi urin dan 9 pasien tidak dapat mengontrol eliminasi urin.

Beberapa hasil penelitian tersebut menyatakan bahwa bladder


training merupakan intervensi yang dapat membantu pemenuhan
kebutuhan eliminasi urin seperti inkontinensia urin dan kemampuan
mengontrol eliminasi urin. Bladder training meningkatkan kapasitas
retensi kandung kemih. Tekanan pada otot detrusor menyebabkan
regangan pada otot halus yang memungkinkan untuk mengembangkan
tonus kandung kemih. Otot detrusor bertanggung jawab atas tonus
kandung kemih tidak dipersarafi oleh jaringan saraf tertentu, reaksi
40

serat otot secara langsung masih mungkin terjadi bahkan jika


denervasi sepenuhnya (Crowe et. al dalam Büyükyilmaz et al., 2020)

Prosedur atau tata laksana intervensi bladder training pada setiap


penelitian berbeda-beda namun setiap penelitian mengacu pada
prinsip dasar bladder training yaitu mengklem kateter selama waktu
tertentu dan melepaskannya dalam waktu tertentu pula. Ada penelitian
yang dilakukan klem selama 1-2 jam lalu dilepas setelah 1 jam. Ada
pula penelitian dari luar negeri yaitu mengklem kateter urin selama
interval 4 jam lalu dilepas selama 5 menit. Bila mengacu pada
prosedur bladder training dari Kemenkes RI, bladder training
dilakukan dengan jadwal berkemih misalnya sesaat setelah bangun
tidur, tiap 1-2 jam selama siang hari, sebelum tidur, atau setiap 4 jam
pada malam hari.

Waktu pelaksanaan bladder training juga berbeda-beda pada tiap


intervensi di penelitian maupun prosedural dalam negeri maupun luar
negeri. Cara konvensional bladder training berlangsung selama 6 jam,
ada penelitian yang melakukan pagi-sore saja, bladder training dengan
modifikasi cara dari Kozier dilakukan selama 12 jam, dan penelitian
dari luar negeri dilakukan sampai 24 jam. Tetapi penelitian yang
dilakukan di dalam negeri banyak yang melakukan bladder training
setiap hari namun berapa harinya tidak dijelaskan. Waktu mulai
intervensi bladder training juga berbeda-beda, pada intervensi yang
dilakukan berdasar artikel penelitian dari Turki, bladder training
dilakukan pada hari kedua dan ketiga post operasi sedangkan
modifikasi cara Kozier dilakukan pada rentang waktu hari ketiga
sampai ketujuh post operasi

Bila mengkritisi dari intervensi yang dilakukan pada penelitian


tersebut dan berdasar prosedural dari Kemenkes RI, beberapa poin
perbedaan dan kekurangan terdapat pada hal-hal berikut:

a. Durasi klem kateter dan pelepasan klem kateter


41

b. Jangka waktu dilakukannya bladder training

c. Durasi hari dilakukan bladder training, apakah sampai masalah


pemenuhan kebutuhan eliminasi urin teratasi atau sampai kateter
dilepas saja tidak dibahas lebih rinci

d. Pada hari ke berapa dan sampai hari ke berapa post operasi


intervensi bladder training dilakukan

4.1.2 Kegel Exercise


Berdasar hasil analisis artikel terkait intervensi pemenuhan
kebutuhan urin pada pasien operasi, salah satu intervensinya adalah
kegel exercise. Pada penelitian yang dilakukan oleh Agustin et al.
(2017), kegel exercise yang dikombinasikan dengan bladder training
memiliki efek positif dalam mempercepat buang air kecil pertama post
operasi. Kegel exercise dilakukan dengan kontraksi 10 kali dengan
frekuensi 1 kali sehari. Tetapi pada penelitian ini tidak dijelaskan
lebih rinci terkait kapan waktu pelaksanaan kegel exercise dan tidak
dijelaskan kegel exercise dilakukan selama berapa hari.
Hasil penelitian terkait efektivitas kegel exercise sebelum dan
sesudah operasi dibandingkan dengan kegel exercise sesudah operasi
pada pasien prostatektomi menunjukan bahwa tidak adanya pengaruh
signifikan pada episode inkontinensia urin bila diberi intervensi kegel
exercise sebelum dan sesudah operasi (Geraerts et al., 2013).
Penelitian ini dilakukan pada 91 kelompok intervensi dan 89
kelompok kontrol. Pada kelompok intervensi, kegel exercise dimulai
sejak 3 minggu sebelum operasi setiap satu minggu sekali dengan
durasi 30 menit. Kegel exercise dilakukan dengan kontraksi 60 kali
per hari. Pada kelompok intervensi, kegel exercise dimulai lagi pada
hari keempat post operasi dengan kontraksi 60 kali per hari.
Sedangkan pada kelompok kontrol, kegel exercise dimulai ketika
kateter urin sudah dilepas dan dilakukan dengan kontraksi 60 kali per
hari. Pada penelitian ini terdapat pemantauan intervensi berkala
selama 12 bulan dan pada pasien yang sudah pulang, diharuskan untuk
42

mencatat aktivitas kegel exercisenya. Penelitian tersebut cukup


panjang untuk melihat kelanjutan intervensinya, namun pelaporan
mandiri bisa bias dan kelemahan penelitian inipun ada sampel yang
berkurang.

Latihan otot panggul atau kegel exercise merupakan salah satu


metode untuk mengatasi inkontinensia urin pada pasien post operasi.
Kegel exercise adalah rekomendasi metode yang diberikan oleh
International Continence Society sebagai Langkah awal untuk
mengatasi inkontinensia urin. Terdapat perbedaan yang bermakna
dalam mengatasi inkontinensia urin pada pasien post operasi
prostatektomi. Pengembalian lebih awal inkontinensia urin didapatkan
lebih awal pada pasien yang melakukan kegel exercise
(Sulistyaningsih, 2015). Kegel exercise melibatkan kontraksi berulang
otot pubokoksigeus yang merupakan otot penyokong panggul dan
mengelilingi pintu panggul pada vagina, uretra, dan rektum. Kegel
exercise dapat meningkatkan tonus otot dasar panggul dengan
menguatkan otot dasar panggul saat dirasa ingin berkemih (Maas et
al., 2011).

Beberapa artikel terkait kegel exercise dan masalah pemenuhan


eliminasi urin pada post operasi terutama pada pasien BPH
menunjukan hasil yang bervariasi. Hasil penelitian mendapatkan
bahwa terdapat penurunan signifikan terhadap inkontinensia urin pada
pasien post operasi yang melakukan kegel exercise. Bahkan intervensi
kegel exercise yang dilakukan pada pre operasi dan dilanjutkan hingga
post operasi berdampak pada waktu kontinens yang lebih cepat. Tetapi
pada beberapa randomized controlled trial juga ditemukan bahwa
kegel exercise tidak berpengaruh pada kondisi inkontinensia urin yang
membaik (Dorey, 2013). Hasil yang berbeda-beda pada efektifitas
kegel exercise dan inkontinensia urin disimpulkan bahwa terdapat
pelaporan teknik yang buruk dan pengukuran hasil yang berbeda di
tiap penelitian (Lucas et al., 2015).
43

Intervensi kegel exercise berdasar artikel penelitian yang


dianalisis dari dalam negeri yaitu dilakukan 10 kali kontraksi dalam
satu hari sementara berdasar artikel penelitian dari luar negerti
dilakukan 60 kali kontraksi dalam satu hari. Bila meninjau intervensi
kegel exercise berdasar Lestari (2011), dilakukan kontraksi dan
relaksasi otot dasar panggul selama masing-masing 3-4 detik, namun
tidak dijelaskan harus melakukan berapa kali kontaksi. Kegel exercise
juga disarankan untuk dilakukan setelah pasien pulih sekitar 1-2
minggu post operasi sementara artikel penelitian yang dianalisis
melakukan intevensi 4 hari setelah post operasi.

Berdasar Text Book of Basic Nursing Edition 9, kontraksi dan


relaksasi otot dilakukan sebanyak 10-25 kali. Intervensi menahan
untuk mengencangkan otot panggul dilakukan selama 3 detik dan
disarankan untuk melakukan 3 kali sesi dalam 1 hari. Tetapi tidak
dijelaskan kapan waktu pelaksanaan kegel exercise untuk pasien post
operasi namun disarankan dilakukan setelah pelepasan kateter.
Prosedur lain terkait kegel exercise tercantum dalam Text Book Online
berjudul “Medical Surgical Nursing : Assesment and Management of
Clinical Problems” karangan Lewis et.al (2011). Durasi menahan otot
panggul dilakukan selama 2 detik untuk gerakan lambat dan 5-10
detik untuk gerak panjang. Gerakan tersebut dilakukan 40-50 kali
perhari.

Bila mengkritisi dari intervensi yang dilakukan pada beberapa


penelitian tersebut dan sumber text book, terdapat beberapa perbedaan
dan hal yang belum dijelaskan untuk intervensi kegel exercise post
operasi, yaitu:

a. Jumlah kontraksi yang dilakukan per harinya dan/atau sesi kegel


exercise yang dilakukan per harinya

b. Durasi menahan otot panggul


44

c. Pada hari ke berapa dan sampai hari ke berapa post operasi


intervensi kegel exercise dilakukan

d. Pelatihan kegel exercise saat terpasang kateter urin

4.1.3 Mobilisasi Dini

Berdasar penelitian yang dilakukan oleh Muslikah et al. (2015)


tentang efektivitas mobilisasi dini terhadap respon berkemih pada
pasien post operasi abdomen menunjukan bahwa mobilisasi dini
mempercepat respon berkemih. Pada 15 kelompok intervensi, rata-rata
waktu berkemih yaitu 357,13 menit sementara pada 15 kelompok
kontrol, rata-rata waktu berkemih yaitu 461,13 menit. Tetapi pada
penelitian ini tidak dijelaskan secara rinci intervensi mobilisasi dini
seperti apa yang dilakukan, berapa lama dilakukannya, dan berapa kali
dilakukan intervensinya. Tidak ada penjelasan lebih lanjut terkait hal
tersebut karena hanya menyebutkan memberikan intervensi mobilisasi
dini.

Manajemen eliminasi urin yang dapat dilakukan lainnya adalah


mobilisasi dini. Penelitian yang dilakukan pada pasien post operasi
dengan spinal anastesi sejumlah 16 pasien yang dibagi sebanyak 8
pasien untuk kelompok kontrol dan kelompok intervensi. Diberikan
intervensi dengan SOP mobilisasi yang sudah baku, namun pada
penelitian ini tidak disebutkan langkah-langkahnya atau tindakan apa
saja yang dilakukan. Hasil penelitian tersebut didapatkan bahwa
terdapat pengaruh terapi mobilisasi dini pada pemulihan kandung
kemih post operasi dengan anastesi spinal. Pada pasien yang
melakukan mobilisasi dini post operasi, fungsi kandung kemihnya
pulih setelah 8 jam pelepasan kateter sementara pasien yang tidak
melakukan mobilisasi dini belum pulih setelah 8 jam pelepasan
kateter. Pasien yang diberikan terapi mobilisasi dini memiliki peluang
49 kali lebih cepat dalam pemulihan kandung kemih (Frayoga &
Nurhayati, 2018).
45

Terdapat hubungan antara mobilisasi dini dan penurunan insiden


retensi urin post operasi (Jackson et al., 2019). Mobilisasi dini
diperlukan untuk membantu mempercepat pemulihan kekuatan otot
pada pasien post operasi sehingga dapat mengembalikan fungsi
activity daily living. Intervensi mobilisasi dini akan membuat otot
sensorik dan motorik yang dihambat oleh anastesi kembali normal
agar tidak terjadi komplikasi lebih lanjut (Frayoga & Nurhayati,
2018). Namun, intervensi mobilisasi dini tidak banyak dilakukan
dibandingkan ddengan bladder training dan kegel exercise dalam
mengatasi gangguan eliminasi urin. Selain itu, kebanyakan dari
intervensi mobilisasi dini tidak dijelaskan lebih lanjut langkah-
langkah yang dilakukan melainkan hanya menyebutkan tindakan
mobilisasi dini.

Mobilisasi dini merupakan intervensi yang dilakukan pada


pasien post operasi terdiri dari bangun, duduk, sampai turun dari
tempat tidur. Berdasar artikel penelitian yang dianalisis untuk
intervensi, tidak dijelaskan dengan detail bagaimana teknik melakukan
mobilisasi dini pada pasien post operasi tersebut. Pada penelitian lain
terkait intervensi mobilisasi dini terhadap efektivitas pemulihan
kandung kemih pada pasien post operasi anastesi spinal hanya
disebutkan menggunakan SOP mobilisasi dini yang sudah baku
namun tidak dijelaskan sumber SOP dari mana.

Tahap melakukan mobilisasi dini post operasi di RSHS


Bandung pada tahun 2014 dilakukan selama 7 hari yang terdiri dari
hari pertama melakukan latihan miring kanan dan miring kiri, hari
kedua latihan duduk, hari ketiga sampai kelima latihan turun dari
tempat tidur dan berdiri, dan hari ketujuh latihan berjalan perlahan.
Prosedur dari RSHS tersebut cukup sejalan dengan prosedur yang
terdapat pada “A Clinical Practice Guideline developed by the
University of Toronto’s Best Practice Surgery” yang ditulis oleh
Pearshall et. al tahun 2017 yang terdiri dari pasien bangun dan duduk
46

pada hari 0 post operasi, dibantu berjalan setidaknya dua kali sehari,
dan dibantu duduk di kursi selama bangun di siang hari. Tidak ada
penjelasan yang mendekati prosedur tersebut pada artikel yang
ditemukan. Seluruh artikel penelitian hanya menyebutkan melakukan
mobilisasi dini saja.

Beberapa hal yang sebaiknya diperhatikan dalam penelitian


terkait intervensi mobilisasi dini diantaranya:

a. Kejelasan intervensi mobilisasi dini yang dilakukan, seperti


mencantumkan jenis mobilisasi apa saja yang diberikan

b. Waktu dimulainya mobilisasi dini sejak hari ke berapa post


operasi

c. Durasi waktu mobilisasi dini seperti dilakukan satu kali per hari
selama 7 hari

d. Mobilisasi dini saat terpasang kateter urin

4.2 Peran Perawat

Peran perawat dalam mengatasi masalah pemenuhan kebutuhan


eliminasi urin pada pasien post operasi dapat dimulai dengan pengkajian pre
operasi dan perencanaan. Perawat terlebih dahulu mengetahui status
kesehatan pasien sebelum operasi sampai pelaksanaan operasi. Setelah
pasien operasi, perawat mengkaji kembali kondisi pasien dan melakukan
perencanaan. Aktivitas keperawatan pada perawatan post operasi adalah
memonitor, memberikan terapi oksigen, monitor perdarahan dan cairan,
monitor urin output, serta memberikan kenyamanan pasien dan mengkaji
nyeri (Nilsson, Gruen, & Myles, 2020).

Salah satu peran perawat dalam pemenuhan kebutuhan eliminasi urin


pada pasien post operasi adalah sebagai edukator. Perawat dapat
memberikan pengetahuan dan informasi terkait tindakan perawatan
sehingga pasien dan keluarga dapat mengetahui dan melaksanakan tindakan
tersebut agar tercapainya kondisi yang lebih baik (Ginting, 2020).
47

Contohnya dalam kasus post operasi mengalami gangguan eliminasi urin


dan akan dilakukan intervensi bladder training atau kegel exercise. Perawat
dapat memberikan informasi terkait tujuan intervensi tersebut dan
mengajarkan langkah-langkah untuk melakukan bladder training atau kegel
exercise.

Peran perawat yang utama adalah care giver yaitu mampu


memberikan pelayanan keperawatan kepada individu sesuai dengan
diagnosa masalah yang terjadi (Yuniarti, 2014). Pada kasus ini peran
perawat sebagai care giver dapat dikolaborasikan dengan edukator karena
setelah memberikan edukasi terkait intervensi yang dilakukan, perawat juga
membantu pasien dalam melakukan intervensinya untuk memastikan
pelaksanaannya tepat. Selain itu, peran perawat sebagai care giver juga
untuk memastikan keseluruhan proses keperawatan mulai dari pengkajian
hingga evaluasi terlaksana dengan sesuai.
BAB V

SIMPULAN & SARAN

5.1 Simpulan

Prosedur operasi dapat mengakibatkan efek samping setelah operasi.


Hal tersebut dapat terjadi akibat anastesi, perubahan fisiologi akibat operasi,
dan pengobatan. Salah satu efek post operasi yang cukup bayak terjadi
adalah gangguan eliminasi urin. Terjadinya gangguan eliminasi urin
menyebabkan adanya rasa nyeri, sulit buang air kecil, atau sulit menahan
buang air kecil yang mana hal tersebut tentu mengganggu kenyamanan
pasien post operasi.

Penatalaksanaan untuk gangguan eliminasi urin dengan pendekatan


non-farmakologi yang dapat dilakukan adalah dengan pemasangan kateter
urin. Namun pemasangan kateter urin berpotensi menyebabkan infeksi
saluran kemih jika dipakai dalam jangka waktu yang lama. Intervensi yang
dapat membantu mengatasi retensi urin atau inkontinensia urin diantaranya
bladder training, kegel exercise, dan mobilisasi dini untuk mempercepat
waktu pelepasan kateter urin. Berdasar hasil analisis artikel mengenai
intervensi pada gangguan eliminasi urin, bladder training merupakan
intervensi yang paling banyak dilakukan dan efektif untuk mengatasi
gangguan eliminasi urin yaitu inkontinensia urin. Bladder training dilakukan
dengan cara mengklem kateter urin dan melepeasnya dalam kurun waktu
tertentu atau sampai pasien merasa ingin buang air.

Selain itu, kegel exercise dan mobilisasi dini dapat membantu pasien
post operasi untuk lebih cepat mengembalikan fungsi berkemih normal.
Kedua intervensi tersebut tidak cukup sering dilakukan dibanding intervensi
bladder training. Intervensi kegel exercise dilakukan untuk memperkuat otot
dasar panggul sehingga dapat membantu proses perkemihan. Mobilisasi
dinipun dilakukan untuk membantu otot-otot tubuh kembali normal namun

48
tidak banyak penelitian yang mengindikasikan keberhasilan mobilisasi dini
dalam mengatasi gangguan urin pada pasien post operasi.

49
50

5.2 Saran

Perawat perlu mengkaji secara menyeluruh pada pasien post operasi


terutama pada pemenuhan kebutuhan urin dengan memantau kondisi
perkemihan pasien serta mengkaji keluhan yang terjadi. Diharapkan perawat
dapat menerapkan intervensi bladder training, kegel exercise, atau
mobilisasi dini untuk membantu pemenuhan kebutuhan eliminasi urin pada
pasien post operasi. Meskipun terdapat pilihan intervensi, pastikan
melakukan intervensi sesuai dengan kebutuhan pasien dan kemampuan serta
kenyamanan pasien.

Penerapan intervensi juga perlu dilakukan sesuai prosedur dan dalam


jangka waktu yang telah ditentukan agar keberhasilan intervensi dapat
tercapai. Selain untuk memandirikan dan memberikan kenyamanan pada
pasien, perawat perlu memberikan edukasi terkait pentingnya melakukan
intervensi tersebut agar fungsi berkemih dapat lebih cepat pulih serta
mencegah terjadinya masalah atau komplikasi post operasi.

Saran untuk penelitian selanjutnya dan standar operasional untuk tiap


intervensi yaitu pada bladder training tetapkan durasi klem kateter dan
melepas klem mana yang paling efektif, pada hari ke berapa post operasi
seharusnya bladder training dilakukan, durasi pelaksanaan bladder training
per harinya, dan durasi waktu pelaksanaan bladder training itu sendiri. Pada
intervensi kegel exercise bisa dilakukan perbandingan jumlah kontraksi per
harinya mana yang lebih efektif mengatasi gangguan eliminasi urin dan
berapa hari kegel exercise sebaiknya dilaksanakan. Serta untuk mobilisasi
dini sebaiknya dijelaskan tindakannya dan jenis mobilisasi mana atau pada
tahap yang mana masalah eliminasi urin menunjukan perbaikan. Berikut
perhatikan pemasangan kateter urin saat kegel exercise dan mobilisasi dini.
DAFTAR PUSTAKA

A Aziz, A.H. (2006). Pengantar Kebutuhan Dasar Manusia: Aplikasi Konsep dan Proses
Keperawatan, 1. Salemba Medika.

Agustin, E., Kristyawati, S. P., & Arief, M. S. (2017). Perbedaan Efektivitas Bladder Trainning
Dengan Keagle Execise Dan Bladder Trainning Terhadap Waktu Bak Pertama Pasca
Kateterisasi Urin Pada Pasien Post Operasi Dengan General Anastesi Di Rsud Ambarawa.
Jurnal Ilmu Keperawatan Dan Kebidanan, 1–10.
Agustin, E., Kristyawati, S. P., Arief, M. S. (2016). Perbedaan Efektivitas Bladder Training
Dengan Kegel Exercise Dan Bladder Training Terhadap Waktu BAK Pertama Pasca
Katerisasi Urin Pada Pasien Post Operasi Dengan General Anastesi Di RSUD Ambarawa.
Jurnal Ilmu Keperawatan dan Kebidanan

Angelia, S. L., Ismonah, & Arif, S. (2015). Efektivitas Bladder Training Sejak Dini dan Sebelum
Pelepasan Kateter Urin Terhadap Terjadinya Inkontinensia Urine Pada Pasien Paska
Operasi di SMC RS Telogorejo. Jurnal Ilmu Keperawatan Dan Kebidanan (JIKK), II(3),
144–151.

ANTIKA, I. C. (2020). PENGARUH PENDIDIKAN KESEHATAN KAGEL EXERCISE DENGAN


MEDIA BOOKLET TERHADAP PENGETAHUAN PADA PASIEN PRE OPERASI
SALURAN KEMIH DI RSUD DR. H. ABDUL MOELOEK PROVINSI LAMPUNG TAHUN
2020 (Doctoral dissertation, Poltekkes Tanjungkarang).

Asih, A., Indrayani, T., & Carolin, B. T. (2020). PENGARUH BLADDER TRAINING
TERHADAP ELIMINASI BUANG AIR KECIL PADA IBU POSTPARTUM DI
WILAYAH PUSKESMAS TAKTAKAN KOTA SERANG TAHUN 2020. Asian Research
of Midwifery Basic Science Journal, 1(1), 166-173.

Astriana, W. (2019). Pengetahuan Mobilisasi Dini Dengan Kemandirian Merawat Dirinya Dan
Bayinya Pada Ibu Pasca Operasi Sectio Caesarea. JKAB: Jurnal Kesehatan
Abdurrahman, 8(2), 12-18.

Bayhakki, Yetti K., Mustikasari. (2011). Bladder Training Modifikasi Cara Kozier Pada Pasien
Pasca Bedah Ortopedi Yang Terpasang Kateter Urin. Jurnal Keperawatan Indonesia,
Vol.12, No.1

Berman, A., Snyder, S., & Frandsen, G. (2016). Kozier & Erb’s Fundamentals of Nursing
Concepts, Process, and Practice (Tenth Edit). New Jersey: Pearson Education.
Büyükyilmaz, F., Culha, Y., Zümreler, H., Özer, M., Culha, M. G., & Ötünçtemur, A. (2020). The
effects of bladder training on bladder functions after transurethral resection of prostate.
Journal of Clinical Nursing, 29(11–12), 1913–1919. https://doi.org/10.1111/jocn.14939
Büyükyilmaz, F., Culha, Y., Zümreler, H., Özer, M., Culha, M. G., & Ötünçtemur, A. (2020). The
effects of bladder training on bladder functions after transurethral resection of prostate.
Journal of Clinical Nursing, 29(11–12), 1913–1919. https://doi.org/10.1111/jocn.14939
Chang, J. I., Lam, V., & Patel, M. I. (2016). Preoperative Pelvic Floor Muscle Exercise and
Postprostatectomy Incontinence: A Systematic Review and Meta-analysis. European
Urology, 69(3), 460–467. https://doi.org/10.1016/j.eururo.2015.11.004
Dorey, G. (2013). Pelvic floor exercises after radical prostatectomy. British Journal of Nursing,
22(9 SUPPL.).
Eriyani, T., Shalahuddin, I., & Maulana, I. (2018). PENGARUH MOBILISASI DINI
TERHADAP PENYEMBUHAN LUKA POST OPERASI SECTIO CAESAREA. Media
Informasi, 14(2), 182-190.

Frayoga, F., & Nurhayati, N. (2018). Pengaruh Mobilisasi Dini terhadap Pemulihan Kandung
Kemih Pasca Pembedahan dengan Anastesi Spinal. Jurnal Ilmiah Keperawatan Sai Betik,
13(2), 226. https://doi.org/10.26630/jkep.v13i2.936
Geller, E. J. (2014). Prevention and management of postoperative urinary retention after
urogynecologic surgery. International Journal of Women’s Health, 6(1), 829–838.
https://doi.org/10.2147/IJWH.S55383
Geraerts, I., Van Poppel, H., Devoogdt, N., Joniau, S., Van Cleynenbreugel, B., De Groef, A., &
Van Kampen, M. (2013). Influence of preoperative and postoperative pelvic floor muscle
training (PFMT) compared with postoperative PFMT on urinary incontinence after radical
prostatectomy: A randomized controlled trial. European Urology, 64(5), 766–772.
https://doi.org/10.1016/j.eururo.2013.01.013
Geraerts, I., Van Poppel, H., Devoogdt, N., Joniau, S., Van Cleynenbreugel, B., De Groef, A., &
Van Kampen, M. (2013). Influence of preoperative and postoperative pelvic floor muscle
training (PFMT) compared with postoperative PFMT on urinary incontinence after radical
prostatectomy: A randomized controlled trial. European Urology, 64(5), 766–772.
https://doi.org/10.1016/j.eururo.2013.01.013
Ginting, D. S. (2020). Peran Perawat Sebagai Edukator Dalam Pengimplementasian Discharge
Planning Untuk Proses Asuhan Keperawatan. Program Studi Magister Ilmu Keperawatan
Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara.
Gultom, L., dan Hutabarat, J. (2020). Asuhan Kebidanan Kehamilan. Sidoarjo: Zifatama Jawara

Hansen, B. S., Soreide, E., Warland, A. M., & Nilsen, O. B. (2011). Risk factors of post ‐operative
urinary retention in hospitalised patients. Anaesthesiologica Scandinavica.
https://doi.org/https://doi.org/10.1111/j.1399-6576.2011.02416.x
Hendren, S. (2013). Urinary catheter management. Clinics in Colon and Rectal Surgery, 26(3),
178–181. https://doi.org/10.1055/s-0033-1351135
Hidaya, A.A. (2012). Kebutuhan Dasar Manusia. Jakarta: Heal Books

Jackson, J., Davies, P., Leggett, N., Nugawela, M. D., Scott, L. J., Leach, V., … Whiting, P.
(2019). Systematic review of interventions for the prevention and treatment of
postoperative urinary retention. BJS Open, 3(1), 11–23. https://doi.org/10.1002/bjs5.50114
Kasiati & Rosmalawati N,W,D. (2016). KEBUTUGAN DASAR MANUSIA I. KEMENTRIAN
KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA, cetakan pertama.

Kemenkes RI. (2016). Praktikum Keperawatan Medikal Bedah II. Jakarta Selatan: Badan
Pengembangan dan Pemberdayaan SDM Kesehatan

Lestari. (2011). Perbandingan senam kegel 1x seminggu dan 3x seminggu terhadap


Lewis, Sharon L., Bucher, L., Heitkemper, M.M., Dirksen, S. R. (2014). Medical-Surgical
Nursing - E-Book: Assessment and Management of Clinical Problems. Edisi 9. Elsevier
Health Science.

Lucas, M. G., Betretdinova, D., Berghmans, L. C., Bosch, J. L. H. R., Burkhard, F. C., Cruz, F., …
Pickard, R. S. (2015). EAU guidelines on urinary incontinence. European Association of
Urology.
Maas, M. L., Buckwalter, K. C., Hardy, M. D., Tripp-Reimer, T., Titler, M. G., & Specht, J. P.
(2011). Asuhan Keperawatan Geriatrik, Diagnosis NANDA, Kriteria Hasil NOC,
Intervensi NIC. Jakarta: EGC.
McCabe, L., Young, K., Ferguson S. (2017). Patient Education : Pelvic Floor “Kagel” Exercise.
Toronto: UHN (University Health Network)

Meika, W. (2015). Efektifitas Mobilisasi Dini terhadap Respon Berkemih pada Pasien Post
Operasi Abdomen Di RS Panti Wilasa Citarum Semarang. Karya Ilmiah.

Mulyani, C. D., Kristiyawati, S. P., & Purnomo, S. E. C. (2016). EFEKTIVITAS DELAY


URINATION DENGAN KEAGLE EXERCISE TERHADAP RESPON BERKEMIH
PASCA KATETERISASI URINE DI RSUD AMBARAWA. Karya Ilmiah.

Muslikah, Ismonah, & Meika, W. (2015). EFEKTIFITAS MOBILISASI DINI TERHADAP


RESPON BERKEMIH PADA PASIEN POST OPERASI ABDOMEN DI RS PANTI
WILASA CITARUM SEMARANG. Jurnal Ilmu Keperawatan Dan Kebidanan (JIKK), 1–
9.
Nilsson, U., Gruen, R., & Myles, P. S. (2020). Postoperative recovery: the importance of the team.
Anaesthesia, 75(S1), e158–e164. https://doi.org/10.1111/anae.14869
Nurhasanah, T. N., & Hamzah, A. H. (2017). Bladder Training Berpengaruh Terhadap Penurunan
Kejadian Inkontinensia Urine Pada Pasien Post Operasi Bph Di Ruang Rawat Inap Rsud
Soreang. Jurnal Ilmu Dan Teknologi Kesehatan, 5(1), 79–91.
https://doi.org/10.32668/jitek.v5i1.83
Nurliaty, & Aspiati. (2019). Efektivitas Bladder Training Terhadap Kemampuan Mengontrol
Eliminasi Urine Pada Pasien Post Operasi Sectio Caecaria di RS Advent Medan 2019.
Jukkessutra (Jurnal Kesehatan Surya Nusantara), 1–13.
Nurliaty, N. (2020). Efektifitas Bladder Training Terhadap Kemampuan Mengontrol Eliminasi
Urine Pada Pasien Post Operasi Sectio Caesare di RSU Advent Tahun 2019. Jurkessutra:
Jurnal Kesehatan Surya Nusantara, 8(2).

Pearsall, E., McCluskey, S., Aarts, MA., McLeod R. (2017). A Clinical Practice Guideline
developed by the University of Toronto’s Best Practice Surgery. Diakses online pada 26
Febuari 2021 di http://bestpracticeinsurgery.ca/wp-
content/uploads/2017/11/ERAS_BPS_FINAL_Nov2017.pdf
penurunan frekuensi buang air kecil pada wanita usai 50-60 tahun. Pustaka UNUD

Pomajzl, A., & Siref, L. E. (2020). Post-op Urinary Retention. https://doi.org/31751034


Potter & Perry. (2010). Fundamental Of Nursing Edisi 7. Jakarta : Salemba medika

PPNI (2016). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia: Definisi dan Indikator Diagnostik, Edisi
1. Jakarta: DPP PPNI

Pratiwi, A. N., Siswanti, J., & Sudiarto. (2017). PENGARUH BLADDER TRAINING SECARA
DINI TERHADAP INKONTINENSIA URIN PADA PASIEN POST OPERASI BPH di
RSUD dr. LOEKMONO HADI KUDUS. Retrieved from http://repository.poltekkes-
smg.ac.id/index.php?p=show_detail&id=12813&keywords=
Rismawati. (2015). Asuhan Keperawatan Dengan Penerapan Mobilisasi Dini Untuk
Meningkatkan Kemandirian Pasien Post Sc Di Ruang Bougenvile RSUD Kebumen. Diakses
25 Febuari 2021 dari : http://elib.stikesmuhgombong.ac.id/486/1/DWI520TINA
%20RISMAWATI%20NIM.%20A01401881.pdf
Rosdahl, C. B. & Kowalski, M. T. (2008). Textbook of Basic Nursing Ninth Edition. Lippincott
Williams & Wilkins

RSHS. (2014). Mobilisasi Dini Pasca Operasi. Diakses online pad 25 Febuari 2021 di
http://web.rshs.or.id/mobilisasi-dini-pasca operasi/#:~:text=Apa%20itu%20Moblisasi
%20Dini%3F,alat%20sesuai%20dengan%20kondisi%20pasien.

Shabrini, L. A., Ismonah, & Arif, S. (2015). Efektivitas Bladder Training Sejak Dini dan Sebelum
Pelepasan Kateter Urin Terhadap Terjadinya Inkontinensia Urine Pada Pasien Paska
Operasi di SMC RS Telogorejo. Jurnal Ilmu Keperawatan Dan Kebidanan (JIKK), II(3),
144–151.
Smeltzer ,S, C., & Bare, B.G. (2013). Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddart Edisi 8
Vol.1. Alih Bahasa Agung Waluyo. Jakarta: EGC

Steggal, M., Treacy, C., & Jones, M. (2013). Post-operative urinary retention. Nursing standard
(Royal College of Nursing (Great Britain) : 1987), 28(5), 43–48.
https://doi.org/10.7748/ns2013.10.28.5.43.e7926
Sulistyaningsih, D. R. (2015). Latihan Otot Dasar Panggul Efektif Untuk Mengatasi Inkontinensia
Urin Pada Klien Post Operasi Prostatectomy. Nurscope : Jurnal Penelitian Dan Pemikiran
Ilmiah Keperawatan, 1(2), 1. https://doi.org/10.30659/nurscope.1.2.1-8
Vikaningrum, M. (2020). STUDI DOKUMENTASI GANGGUAN ELIMINASI URIN PADA
PASIEN AN.“M” DENGAN HYPOSPADIA TYPE CORONAL POST CHORDECTOMY
DAN URETROPLASTY. Akademi Keperawatan YKY Yogyakarta.

Yuniarti, S. (2014). Peran perawat sebagai care giver nurse role as a care giver. Jurnal
Keperawatan, VII(1), 13–17.

Anda mungkin juga menyukai