Anda di halaman 1dari 18

BAB I

PENDAHULUAN

Eliminasi urin merupakan suatu proses dari pembuangan sisa-sisa hasil metabolisme
tubuh yang dikeluarkan dalam bentuk cairan melalui organ ginjal, ureter, kandung kemih
(bladder) dan uretra (Gultom & Hutabarat, 2020). Eliminasi urin termasuk dalam kebutuhan
dasar manusia secara fisiologis yang pemenuhannya harus segera dilakukan karena apabila
kebetuhan eliminasi urin ini terganggu atau bermasalah maka akan berpengaruh pada
kelangsungan hidup setiap manusia. Adapun beberapa masalah yang dapat terjadi pada
pemenuhan kebutuhan eliminasi urin seperti retensi urin, inkontinensia urin, enuresis,
urgensi, dysurian, poliuria, dan urinaria. Masalah-masalah kebutuhan eliminasi urin tersebut
banyak terjadi pada pasien-pasien post oprasi di rumah sakit (Hidaya, 2012).
Pasien-pasien yang melakukan operasi di rumah sakit harus diberikan anastesi kerana
tindakan bedah merupakan suatu tindakan invasif yang dapat memunculkan keluhan nyeri
yang sangat berat pada pasien. Pemberian anastesi ini dapat menimbulkan efek samping salah
satunya yaitu dapat menghambat saraf aferen dan eferen untuk mengontrol eliminasi urin
dengan ditandai otot dasar panggul,otot kandung kemih dan sfingter yang mengalami
gangguan sehingga menimbulkan ketidakmampuan merasakan saat kandung kemih penuh,
mengontrol pengeluaran urin serta tidak mampu merespon kemauan berkemih. Oleh karena
itu, pada pasien yang melakukan prosedur operasi dibutuhkan pemasangan kateter yang
bertujuan untuk mengosongkan kandung kemih (Agustin, 2016).
Pemasangan kateter pada pasien post operasi dalam waktu yang lama dapat
mengakibatkan berbagai masalah seperti infeksi, trauma pada uretra, dan menurunnya
rangsang berkemih sehingga kandung kemih akan kehilangan tonusnya yang membuat pasien
tidak dapat mengontrol pengeluaran urinnya (Smeltzer & Bare, 2013). Apabila kandung
kemih sudah kehilangan tonusnya maka saat kateter pada pasien post operasi dilepas, pasien
dapat mengalami masalah eliminasi urin yaitu inkontinensia urin yang merupakan keaadaan
saat urin keluar secara terus menerus pasca kateter dilepas atau pasien tidak dapat
mengendalikan urinnya (Potter & Perry, 2013).
Perawat sebagai tenaga kesehatan yang berperan dalam pemenuhan kebutuhan dasar
pasien, sudah seharusnya memberikan suatu intervensi untuk mengurangi masalah
pemenuhan kebutuhan eliminasi urin pada pasien post operasi agar saat sudah lepas kateter
pasien dapat merespon berkemih secara normal dan spontan. Adapun intervensi-intervensi
yang dapat dilakukan untuk pemenuhan kebutuhan eliminasi urin tersebut seperti bladder
training yang merupakan latihan kandung kemih yang bertujuan untuk mengembangkan
tonus otot dan otot sfringter kandung kemih secara maksimal yang dilakukan dengan cara
kateter diklem selama 2 jam dan dibuka selama 5 menit, kaegle exercise yang merupakan
latihan untuk meningkatkan pengontrolan laju urin, dan mobilisasi dini pada pasien post
operasi. Penemuan evidance based dari intervensi-intervensi keperawatan tersebut harus
dicari lebih dalam agar pemberian intervensi sudah berkualitas dan teruji (Agustin, 2016).
Berdasarkan fenomena-fenomena yang telah dipaparkan, disampaikan pada critical review
kali ini tentang evidence based intervensi-intervensi keperawatan yang dapat dilakukan untuk
pemenuhan kebutuhan eliminasi urin pada pasien post operasi.
2.3 Tabel Analisis Evidence Based
Variabel & Kekuatan &
Desain Intervensi Kekurangan
No Judul & Penulis Tujuan Penelitian Metode Penelitian Hasil Penelitian
Penelitian Keperawatan Penelitian
1 Judul : “Efektifitas Mengukur tingkat Populasi : 36 Quasi Variabel : Bladder training sejak dini Kekuatan :
Bladder Training Sejak efektifitas bladder Pasien yang Experimental - Jenis Kelamin lebih baik dalam mengatasi Dilakukan
Dini dan Sebelum training sejak dini terpasang kateter (Post Test - Usia inkontinensia urin intervensi
Pelepasan Kateter Urin dan sebelum urin paska oprasi di Only Control - Respon dibandingkan dengan langsung kepada
Terhadap Terjadinya pelepasan kateter SMC RS Group Berkemih bladder training sebelum pasien paska
Inkontinensia Urine Pada urin terhadap Telogorejo Design) pelepasan kateter urin operasi dengan
Pasien Paska Operasi di terjadinya Intervensi kateter urin
SMC RS Telegorejo” inkontinensia urin Sampel : 30 Keperawatan : dengan
responden - Bladder kelompok
Penulis : Training pembanding
- Lucky Angelia Teknik Sampling :
Shabrina Sampel Jenuh
Kekurangan :
- Ismonah
Tidak dijelaskan
- Syamsul Arif
durasi dan
periode bladder
Tahun : 2015
training
2 Judul : “The Effects Of Untuk menguji Populasi : Pasien Quasi Variabel : Bladder tarining yang Kekuatan :
Bladder Training On pengaruh bladder BPH yang Experimental - Karakteristik diberikan dengan Penjelasan
Bladder Functions After training terhadap menjalani pasien menekan/menjepit kateter intervensi detail
Transurethral Resection fungsi berkemih transuretheral - Waktu urgensi pada hari ke-2 post operasi dan sampel
Of Prostate” pada pasien BPH prostat pertama & memberikan efek positif banyak
setelah resesi Sampel : 50 pasien volume yang signifikan pada Kekurangan :
Penulis : transuretheral prostat (28 pasien pada berkemih pemenuhan kebutuhan Efek jangka
- Funda Büyükyilmaz  kelompok setelah eliminai urin panjang terkait
- Yeliz Culha intervensi yang pelepasan bladder training
- Hande  Zümreler menerima bladder kateter belum diketahui
- Murat Özer training & 22 - Catatan harian dan bias
- Mehmet Gokhan pasien kelompok pasien mungkin terjadi
Culha  kontrol) karena pada
- Alper Ötünçtemur Intervensi catatan harian
Teknik Sampling : Keperawatan : pasien bersifat
Tahun : 2020 Purposive Bladder Training laporan pribadi
Sampling (Pada hari ke-2
dan ke-3 post op
kateter urin pada
pasien dijepit
dengan interval 4
jam dan
kemudian
dibiarkan terbuka
selama 5 menit,
tindakan ini
dilakukan terus
selama 24 jam)

3 Judul : “Perbedaan Mengetahui Populasi : 50 Quasi Variabel : - Hasil uji Maan Whitney Kekuatan :
Efektivitas Bladder perbedaan efektifitas pasien operasi Experimental - Usia menunjukan nilai p= Intervensi
Training Dengan Kegel bladder training dan dengan general (Post Test - Waktu BAK 0,861 (p≥0.05) artinya dilakukan secara
Exercise Dan Bladder kegel exercise anastesi di RSUD Only Control pertama tidak ada perbedaan langsung dan
Training Terhadap Waktu terhadap waktu Ambarawa Group pasca yang bermakna antara intervensi yang
BAK Pertama Pasca eliminasi BAK Design) katerisasi bladder training dan diberikan tidak
Katerisasi Urin Pada peertama pasca Sampel : 36 urin bladder training dengan hanya satu tapi
Pasien Post Operasi katerisasi urin pada Resonden kegel exercise terhadap dua sekaligus
Dengan General Anastesi pasien post operasi Intervensi waktu BAK pertama
Di RSUD Ambarawa” dengan general Teknik Sampling : Keperawatan : pasca katerisasi urin
Kekurangan :
anastesi di RSUD Accidental - Bladder pada pasien post operasi
Responden
Penulis : Ambarawa Sampling Training general anastesi.
terbatas
- Eva Agustin - Kegel - Kombinasi bladder
- Sri Puguh Kristyawati Exercise training dan kegel
- M. Syamsul Arief exercise memiliki waktu
BAK pertama pasca
Tahun : 2016 katerisasi urin lebih
cepat yaitu 15 menit,
dibandingkan dengan
yang hanya diberi
bladder training yaitu
20 menit.

4 Judul : “Influence of Untuk mengetahui Populasi : Pria RCT Variabel : PMFT yang dilakukan pada Kekuatan :
Preoperative and apakah pasien yang melakukan - Karakteristik pasien sebelum operasi dan Sampel yang
Postoperative Pelvic dengan tambahan prostatektomi pasien sesudah operasi tidak digunakan
Floor Muscle Training PMFT pre oprasi radikal terbuka atau - Kejadian menunjukan adanya durasi banyak,
(PMFT) Compared with dapat mengatasi prostatektomi kontinensia yang lebih pendek terkait pemantauan
Postoperative PMFT on inkontinensia urin radikal laparoskopi - Kehilangan inkotinensia urin post intervensi
Urinary Incontinence lebih cepat dengan bantuan urin pada operasi dibandingkan berkala sampai
After Radical dibandingkan robot di RS bulan ke-1, pasien yang hanya 12 bulan
Prostatectomy: A dengan pasien yang Universitas Leuven ke-3, ke-6 & melakukan PMFT sesudah
Randomized Controlled melakukan PMFT ke-12 setelah operasi Kekurangan :
Trial” hanya ketika post Sampel : 180 prostektomi Adanya sampel
operasi pasien, dengan 91 yang mundur
Penulis : prostatektomi pasien kelompok Intervensi dari penelitian
- Geraerts intervensi & 89 Keperawatan : akibat kejadian
- Hendrik Van Poppel kelompok kontrol PMFT tertentu
- Nele Deyoogdt (Kelompok
- Steven Joniau Teknik Sampling : intervensi mulai
- Ben Van Two-Sided Log latihan 3 minggu
Cleynenbreugel Rank Test sebelum operasi
- An De Groef kemudian dilanjut
- Marijke Van Kampen sesudah operasi &
kelompok kontrol
Tahun : 2013 mulai setelah
pelepasan kateter)

5 Judul : “Efektifitas Mengetahui Populasi : Pasien Quasi Variabel : Mobilisasi dini yang Kekuatan :
Mobilisasi Dini Terhadap keefektifitasan post operasi Experimental - Usia dilakukan sesegera Intervensi
Respon Berkemih Pada mobilisasi dini abdomen di ruang (Post Test - Jenis mungkin efektif dan dilakukan secara
Pasien Post Operasi terhadap respon rawat inap RS Only Control Kelamin berpengaruh untuk pasien langsung
Abdomen Di RS Panti berkemih pada Panti Wilasa Group - Respon paska bedah abdomen
Wilasa Citarum pasien post operasi Citarum Semarang Design) Berkemih terhadap kemampuan
Kekurangan :
Semarang” abdomen di RS Panti berkemih, yang ditujukan
Responden
Wilasa Citarum Sampel : 30 Intervensi dari hasil uji statistik ada
terbatas
Penulis : Semarang Responden Keperawatan : perbedaan yang singnifikan
- Muslikah - Mobilisasi efektivitas mobilisasi dini
- Ismonah Teknik Sampling : Dini segera mungkin terhadap
- Wulandari Meika Purposive respon berkemih (p–value =
Sampling 0,000).
Tahun : 2015
BAB III

INTERVENSI KEPERAWATAN PEMENUHAN KEBUTUHAN


ELIMINASI URIN PADA PASIEN POST OPERASI

Pemenuhan kebutuhan eliminasi urin pada pasien post operasi dapat dipenuhi oleh
perawat dengan melakukan intervensi keperawatan yang sesuai. Setelah dilakukan pencarian
evidance based berdasarkan PICO dengan P/Population: pasien post op, I/Intervention:
intervensi eliminasi urin, C/Comparasion:-, dan O/Output: mampu melakukan eliminasi urin
tanpa gangguan, menggunakan kata kunci berbahasa indonesia “Pasien Post Operasi” AND
“Intervensi Eliminasi Urin OR Bladder Training” dan berbahasa inggris “Post Operative”
AND “Urine Elimination OR Bladder Training” dengan kriteria publikasi 10 tahun terakhir
pada database Google Scholar ditemukan 5 artikel penelitian (3 artikel dari Indonesia dan 2
artikel dari Luar Negeri) yang berisi intervensi-intervensi keperawatan yang diberikan pada
pasien post operasi untuk memenuhi kebutuhan eliminasi urin. Adapun intervensi-intervensi
keperawatanya terdiri dari berbagai jenis yaitu bladder training, kegel exercise, dan
mobilisasi dini.
Pada artikel penelitian pertama dan kedua yang dilakukan oleh Shabrina et. al (2015)
dan Büyükyilmaz et al. (2020) menyoroti pada intervensi keperawatan pemberian bladder
training pada pasien post operasi. Hasil penelitian artikel pertama yg dilakukan oleh
Shabrina et. al (2015) didapatkan bahwa bladder training sejak dini lebih efektif
dibandingkan dengan bladder training yang hanya dilakukan sebelum pelepasan kateter urin.
Hal ini dibuktikan dengan hasil uji beda dengan Maan Whitney pada kedua kelompok
didapatkan nilai p=0.004 dan dengan perbandingan nilai rerata, nilai rerata pada kelompok
bladder training sejak dini yaitu 10.93 dan rerata bladder training sebelum pelepasan kateter
yaitu 20.07, maka terbukti bahwa intervensi bladder training sejak dini lebih baik dalam
mengatasi inkontinensia urin.
Penelitian yang dilakukan oleh Shabrina et.al (2015) di SMC RS Telogorejo ini
dilakukan kepada 30 pasien post operasi yang terpasang kateter urin. Responden penelitian
ini dibagi kedalam dua kelompok yaitu kelompok pembanding yaitu kelompok yang
dilakukan intervensi bladder training sejak dini dan kelompok kontrol yang dilakukan
intervensi bladder training sebelum pelepasan kateter urin yang masing-masing terdiri dari
15 pasien. Selain membandingkan keefektifan bladder training sejak dini dengan bladder
training sebelum pelepasan kateter urin, penelitian ini juga berfokus pada jenis kelamin, usia
dan respon berkemih. Hasil penelitian didapatkan bahwa pasien laki-laki lebih dominan yaitu
18 pasien dengan usia paling banyak dewasa akhir sebanyak 12 pasien, hal ini karena jenis
kelamin mempengaruhi kemampuan berkemih dengan perbedaan struktur anatomi dan usisa
mempengaruhi kemampuan berkemih akibat penurunan respon berkemih seiring
bertambahnya usia. Untuk Respon berkemih pada kedua kelompok yang paling banyak
adalah spontan yaitu 6 pasien.
Penelitian kedua yang juga sama menyoroti intervensi keperawatan bladder
training pada pasien post operasi yaitu penelitian oleh Büyükyilmaz et al. (2020). Penelitian
ini merupakan jenis penelitian quasi eksperimental yang dilaksanakan pada Maret 2018 –
Agustus 2018 di klinik urologi pada RS Universitas di Istanbul, Turki. Sampel pada
penelitian ini adalah pasien post operasi BPH sebanyak 50 pasien dengan 28 pasien
kelompok eksperimen (menerima bladder training) dan 22 pasien kelompok kontrol. Pada
kelompok eksperimen, pasien dilakukan bladder training dengan intervensi menjepit kateter
urin pada interval 4 jam dan kemudian dibiarkan terbuka selama 5 menit pada hari kedua post
operasi. Penjepitan kateter urin pada kelompok eksperimen dibuka ketika mereka melaporkan
rasa urgensi buang air sebelum menyelesaikan interval 4 jam tersebut. Intervensi ini diulang
selama 24 jam sampai hari ke-3 post operasi. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa rata-
rata usia pasien adalah 66 tahun dengan 40% pasien memiliki riwayat penyakit kronis. Pada
kelompok eksperimen, rata-rata waktu urgensi pertama dan waktu buang air pertama setelah
pelepasan kateter lebih lama dibandingkan dengan kelompok kontrol. Pada kelompok
eksperimen, volume sebelum buang air, volume buang air, dan volume setelah buang air
lebih tinggi dibandingkan kelompok kontrol. Pada catatan harian kelompok eksperimen,
frekuensi harian mikturisi dan nokturia lebih rendah disbanding kelompok kontrol. Maka
bladder training yang diberikan dengan menekan menjepit kateter pada hari kedua post
operasi memberikan efek positif yang signifikan pada pemenuhan kebutuhan eliminasi urin.
Pada artikel penelitian yang ketiga yang dilakukan Agustin et. al pada tahun 2016
menjabarkan tentang intervensi keperawatan bladder training yang dikombinasikan
dengan kegel exercise. Pada penelitian ini didapatkan hasil bahwa tidak ada perbedaan yang
bermakna antara bladder training dan bladder training dengan kaegle exercise terhadap
waktu BAK Pertama pasca katerisasi urin pada pasien post operasi general anastesi yang
ditunjukan dari hasil uji Maan Whitney dengan nilai p= 0,861 (p≥0.05). Hasil penelitian juga
menyatakan bahwa kombinasi bladder training dan kaegle exercise memiliki keefektifan
lebih baik dalam waktu BAK pertama pasca katerisasi urin yaitu 15 menit, dibandingkan
dengan yang hanya diberi bladder training yaitu 20 menit. Kombinasi antara intervensi
bladder training dan kegel exercise tersebut sangat bermanfaat untuk melatih kembali otot
kandung kemih agar kembali normal. Hal ini dikarenakan adanya tambahan intervensi kegel
exercise dapat meningkatkan kekuatan fungsi sfrigter eksternal pada kandung kemih.
Pada penelitian Agustin et.al (2016) ini dilakukan kepada 36 responden dengan dibagi
kedalam 2 kelompok, 18 responden kelompok intervensi dan 18 responden kelompok
kontrol. Diketahui bahwa usia responden yang terpasang kateter paling banyak yaitu pada
usia 26-35 tahun sebanyak 24 responden (66,7%). Hal ini menunjukan bahwa pada penelitian
ini termasuk dalam usia dewasa dimana struktur maupun fungsional dari kandung kemih dan
sfringter masih baik dan dapat cepat kembali berkontraksi.
Pada artikel keempat yang diteliti oleh Geraerts et. al (2013) intervensi keperawatan
yang lakukan adalah PMFT (Pelvic Floor Muscle Training) atau kegel exercise. Penelitian
ini dilakukan di Rumah Sakit Universitas Leuven dengan sampel sebanyak 180 pasien yang
akan melakukan prostatektomi. 91 pasien kelompok eksperimen dan 89 pasien kelompok
kontrol. Intervensi yang diberikan pada kelompok eksperimen adalah PMFT dilakukan 3
minggu sebelum prostatektomi dan dilanjutkan sesudah prostatektomi sedangkan pada
kelompok kontrol PMFT dilakukan hanya sesudah prostatektomi. Hasil dari penelitian ini
menunjukan median waktu untuk kontinens adalah 30 hari pada kelompok kontrol dan 31
hari pada kelompok eksperimen (p = 0,878). Median jumlah untuk hari pertama inkontinensia
urin adalah 124 gram pada kelompok kontrol dan 108 gram pada kelompok eksperimen (p =
0,880). Tetapi, pasien dengan PMFT yang kuat memerlukan waktu yang lebih sedikit untuk
kontinens. 65% pasien benar-benar kontinens selama 3 hari pada periode pre operasi dan 30%
memiliki jumlah kecil pada kehilangan urin (1-10 g/d). Kaplan-Meier analisis pada waktu
untuk kontinens mengindikasikan bahwa pasien tanpa kehilangan urin saat pre operasi
menjadi kontinens lebih cepat dibanding pasien yang inkontinensia saat pre operasi. Maka
kesimpulan hasil penelitian ini adalah PMFT yang dilakukan pada pasien sebelum operasi
dan sesudah operasi tidak menunjukan danya durasi yang lebih pendek terkait inkontinensia
urin post operasi dibandingkan pasien yang hanya melakukan PMFT sesudah operasi.
Pada artikel penelitian yang kelima yang dilakukan oleh Muslikah et. al pada tahun
2015 membahas tentang intervensi keperawatan mobilisasi dini. Pada penelitian ini yang
dilakukan di RS Panti Wilasa Cotarum Semarang didapatkan bahwa mobilisasi dini yang
dilakukan sesegera mungkin efektif dan berpengaruh untuk pasien paska bedah abdomen
terhadap kemampuan berkemih, yang ditujukan dari hasil rata-rata efektivitas responden
dengan mobilisasi dini pada kelompok intervensi terhadap respon berkemih adalah 357.13
menit sedangkan pada kelompok kontrol rata – rata 457.00 menit (p value = 0,000). Hal ini
dikarenakan pada kondisi imobilisasi/posisi berbaring untuk waktu yang lama, gravitasi akan
menghambat proses berkemih akibatnya proses pengosongan kandung kemih manjadi
terhambat dan tidak tuntas.
Selain itu pada penelitian ini juga diteliti variabel lain seperti usia dan jenis kelamin,
dengan usia responden didominasi dengan kelompok usia dewasa kisaran 26-35 tahun
dimana struktur dan fungsional kandung kemih sudah cukup baik sehingga mobilisasi dini
yang dilakukan dapat memberikan rangsangan kontraksi kandung kemih lebih baik yang
berdampak kandung kemih cepat kembali berkontraksi secara normal sehingga respon
berkemih pun bisa maksimal dan jenis kelamin pada responden yang ditemukan pada
penelitian ini rata yang menunjukan bahwa mobilisasi dini memberikan dampak yang
berbeda pada jenis kelamin laki-laki dan perempuan tergantung keluhan berkemih pasien.
Kemudian berikut dilampirkan penjelasan dan langkah-langkah/SOP intervensi
keperawatan pada pemenuhan kebutuhan eliminasi urin pada pasien post operasi yang
terdiri dari Bladder Training, Kegel Exercise dan Mobilisasi Dini dari kelima artikel diatas
dan sumber lain:
A. Bladder Training
 Bladder Training merupakan salah satu intervensi keperawatan pada pasien post
operasi dalam bentuk latihan pada kandung kemih dengan mengembangkan tonus
otot dan spingter kandung kemih agar berfungsi maksimal. Latihan bladder training
bertujuan agar pasien dapat memperpanjang interval berkemih, menstabilkan
kandung kemih dan menghilangkan urgensi berkemih (Suharyanto, 2008 dalam
Shabrina et.al, 2015).
 Penelitian yang dilakukan Shabrina et. al (2015) di Indonesia pada pasien post
operasi yang terpasang kateter, merekomendasikan bladder training dilakukan
sedini mungkin dengan menggunakan penjadwalan latihan secara teratur setiap hari.
Pada penelitian ini bladder trainning dilakukan dengan cara kateter di klem selama 2
jam dan dilepas setelah 1 jam.
 Pada penelitian Agustin (2016) di Indonesia tindakan bladder trainng dilakukan
dengan menjepit kateter selama kurang-lebih 1-2 jam dan melepaskannya ketika
pasien sudah merasa ingin berkemih
 Artikel lain dari Indonesia oleh Bayhakki et. al (2011) memaparkan langkah-langkah
atau SOP bladder training dengan modifikasi cara Kozier pada pasien post
operasi, sebagai berikut :
1. Berikan penjelasan terkait bladder training (waktu, asupan cairan, produksi
urin yang cukup dan prosedur) kepada pasien yang sudah dirawat sebelum
operasi dilakukan
2. Bladder trainning dimulai dengan perawat mengikat atau memasang klem
kateter urin dengan posisi klem diantara kateter dan kantong urin. Bladder
training dilakukan kepada pasien yang berada pada rentang waktu hari ke-3
sampai ke-7 setelah operasi.
3. Pengikatan atau klem dimulai pada pagi hari dan dilakukan selama 2 jam atau
sampai pasien merasa kandung kemih telah penuh dan ingin segera berkemih.
Klem dibuka selama 5 menit, kemudian kateter diklem kembali.
4. Tindakan sebelumnya dilakukan sampai selama 12 jam.
5. Setelah 12 jam, kateter urin dan kantong urin dilepas dari pasien.
Menurut penelitian ini cara Kozier lebih cepat dalam mengembalikan proses
berkemih normal pada pasien dibandingkan cara konvensional (bladder training
dengan mengklem kateter selama 2 jam dan dilepas selama 1 jam yang berlangsung
6 jam)
 Sumber lain yaitu dari KEMENKES RI memaparkan langkah-langkah pelaksanaan
blader training secara umum :
1. Tentukan pola berkemih pasien. Ciptakan jadwal berkemih regular dan bantu
pasien untuk mempertahankannya, baik pasien merasakan keinginan untuk
berkemih ataupun tidak. (contoh jadwal berkemih: sesaat setelah bangun, tiap 1
hingga 2 jam selama siang hari, sebelum tidur, setiap 4 jam pada malam hari).
Rangkaian peregangan-relaksasi dalam jadwal tersebut dapat meningkatkan
tonus otot dan kontrol volunter.
2. Instruksikan pasien untuk mempraktikkan nafas dalam jika ingin berkemih
sebelum waktunya hingga rasa keinginan berkemih berkurang atau hilang.
3. Ketika pasien sudah mampu mengontrol berkemih, jangka waktu bisa
diperpanjang
4. Atur asupan cairan, terutama pada siang hari, untuk mengurangi berkemih pada
malam hari. Dorong pasien untuk minum Antara pukul 06.00 – 18.00.
5. Hindari konsumsi berlebihan dari jus sitrus, minuman berkabonasi alkohol dan
minuman yang mengandung kafein.
6. Bila pasien mendapatkan terapi diuretik, jadwalkan pemberian pada pagi hari.
7. Jelaskan pada pasien untuk minum air secara adekuat, hal ini dibutuhkan untuk
memastikan produksi urin adekuat yang dapat menstimulasi refleks berkemih.
8. Gunakan pengalas untuk mempertahankan tempat tidur dan linen tetap kering.
Hindari penggunaan diaper, menghindari persepsi boleh mengompol.
9. Bantu pasien dengan program latihan bladder ini dikombinasikan dengan
program latihan otot pelvis yang bertujuan untuk menguatkan otot dasar
panggul.
10. Berikan reward positif untuk mendorong kemampuan berkemih. Puji pasien bila
dapat melakukan berkemih di toilet dan mempertahankan untuk tidak
mengompol.
 Sedangkan untuk di luar negeri, penelitian oleh Büyükyilmaz et al. (2020)
mengintervensikan bladder training kepada pasien pada penelitiannya di Turkey
dengan cara kateter urin pada pasien dijepit dengan interval 4 jam dan kemudian
dibiarkan terbuka selama 5 menit, tindakan ini dilakukan terus selama 24 jam pada
hari ke-2 dan ke-3 post op

B. Kegel Exercise
 Kegel exercise merupakan latihan otot dasar panggul. Latihan ini dilakukan secara
rutin dapat menguatkan otot-otot pubococcygeus yang menyanga kandung kemih
dan spingter uretra (Nursalam & Baticaca, 2009 dalam Agustin, 2016)
 Kegel exercise yang dilakukan dalam penelitian Agustin (2016) di Indonesia
dilakukan dengan melakukan kontraksi-relaksasi 10 kali perhari. Penelitain ini juga
direkomendasikan pengkombinasian intervensi bladder training dengan kegel
exercise untuk membantu pasien post operasi paska katerisasi memulai BAK
Pertama secara normal dan spontan serta dapat mengontrol keinginan berkemih.
 Adadun jenis beserta tata cara melakukan latihan Kegel Exercise pada pasien
post operasi di Indonesia menurut Lestari (2011) dalam artikelnya pada usia pasien
50-60 tahun :
1. Latihan Dasar : (1) gerakan cepat : berupa gerakan kontraksi-relaksasi-
kontraksi-relaksasi dan setarusnya, (2) gerakan lambat : berupa gerakan tahan
kontraksi selama 3-4 detik, relaksasi 3-4 detik
2. Latihan 1 : Membayangkan seolah-olah ingin buang angin kemudian
mengusahakan agar tidak buang angin, manifestasi dari latihan ini akan terasa
gerakan otot dasar panggul, kulit sekitar anus berkontraksi yang mengakibatkan
masuknya anus ke area rektum bagian dalam.
3. Latihan 2 : Perawat harus dapat melakukan latihan imajinasi seolah-olah duduk
di toilet untuk buang air kecil atau miksi, dan bayangkan anda kemudian
menghentikan aktifitas berkemih anda, latihan ini disebut sebagai latihan
“STOP TEST”
4. Latihan 3 : Posisikan berbaring terlentang dengan lutut relaksasi dan terpisah
lebar. Imajinasikan saat ada yang mencoba menusukkan jarum ke arah perineal
atau anus, maka akan muncul gerakan reflek berupa tarikan anus atau rektum ke
arah dalam
5. Latihan 4 : Dengan posisi berbaring seperti latihan 4, letakkan satu tangan pada
area tulang ekor atau lumbal, sementara tangan yang lain di area pubis. Lalu
lakukan gerakan kontraksi, maka akan diperoleh gerakan kedua tangan menuju
ke arah tengah atau antara tulang lumbal atau tulang ekor dan tulang pubis
saling mendekat.
Latihan Kegel pada pasien operasi ini harus benar benar memperhatikan kondisi
pasien, jika pasien masih memakai kateter dan mengalami kelemahan fisik
sebaiknya kegel exercise dilakukan setelah pasien pulih sekitar 1-2 minggu post
operasi atau latihan kagel yang dilakukan hanya latihan ringan seperti latihan dasar
dan latihan membayangkan suatu tindakan intervensi (McCabe et. al, 2017)
 Sedangkan untuk prosedur kegel exercise post operasi di luar negeri ditemukan
dalam online book karangan Rosdahl & Kowalski tahun 2008 yang berjudul Text
Book Of Basic Nursing Edition 9 yang menuliskan prosedur kegel exercise yang
dapat diajarkan perawat kepada pasien secara mandiri, berikut prosedurnya :
1. Temukan otot panggul sekitar alat kelamin dengan menghentikan atau menahan
aliran urin, otot-otot yang digunakan untuk menghentikan aliran urin adalah otot
panggul bawah
2. Cek kekuatan otot sekitar vagina dengan meletakan tangan terbuka di vagina dan
kencangkan otot panggul dengan kotraksikan otat tersebut
3. Latihan
- Latihan A : Kencangkan otot panggul dengan tangan terbuka dan tahan 3
detik, kemudian lepaskan dan diulangi
- Latihan B : Kontraksi dan Relaksasikan otot secara cepat 10-25 kali dan
ulangi
- Latihan C : Bayangkan duduk diatas baskom air dengan vagina terendam
diair, kemudian tahan selama 3 detik
- Latihan D : dorong keluar seperti saat buang air besar yang hanya dilakukan
dengan vagina, tahan 3 detik
4. Dalam satu kali sesi latihan, ulangi latihan A,C, dan D sebanyak 10 kali dan
latihan B 1 kali. Lakukan 3 kali sesi dalam 1 hari
5. Hindari latihan kegel ini untuk menahan kencing dan dilakukan saat kandung
kemih kosong
6. Pertimbangan Keperawatan : jika pasien terpasang kateter, lebih baik latihan
dilakukan saat setelah kateter dilepas.
 Selain itu untuk di luar negeri terdapat cara melakukan kagel exercise secara umum
untuk pasien yang menderita inkontinensia urin yang diambil dari Text Book Online
berjudul “Medical Surgical Nursing : Assesment and Management of Clinical
Problems” karanagn Lewis et.al (2011), berikut caranya:
1. Terdapat dua jenis latihan kegel exercise yaitu gerakan pendek dan gerakan
panjang
2. Cara untuk melakukan gerakan lambat : kencangkan otot bawah panggul selama
2 detik kemudian relaksasi.
3. Cara untuk melakukan gerak panjang : kencangkan otot bawah pangul selama 5-
10 detik kemudian relaksasi
4. Lakukan kedua gerakan tersebut 40-50 kali perhari
C. Mobilisasi Dini
 Mobilisasi dini paska pembedahan dapat bermanfaat untuk peningkatan kedalaman
pernapasan, peningkatan sirkulasi, peningkatan berkemih dan metabolisme
(Muslikah, 2015). Mobilisasi dini adalah kegiatan yang dilakukan segera pasien post
operasi yang terdiri dari bangun, duduk, sampai turun dari tempat tidur.
 Adapun tahapan pelaksanaan mobilisasi dini post operasi di RSHS Bandung
pada tahun 2014 yang dijabarkan di website web.rshs.or.id :
- Hari Pertama : Latihan miring kanan dan kiri di tempat tidur dan latihan otot
untuk melatih kekuatan otot
- Hari Kedua : Duduk disisi tempat tidur. Kegiatan ini dilakukan 2/3 kali selama
10-15 menit
- Hari Ketiga sampai Kelima : Latihan turun dari tempat tidur dan latihan berdiri
- Hari Ketujuh : Mulai latihan berjalan perlahan
 Berikut ini dilampirkan langkah-langkah atau SOP mobilisasi dini pada pasien post
operasi sectio caesarea dalam artikel Rismawati (2015) :

Standar Operasional Prosedur


Mobilisasi Dini Pada Pasien Post Operasi Sectio Caesarea
Persiapan Pasien
1. Berikan salam, panggil klien dengan namanya
2. Jelaskan tindakan yang akan dilakukan kepada pasien / keluarga
3. Jelaskan tujuan tindakan kepada pasien / keluarga
4. Minta persetujuan pasien
5. Jaga privacy klien
Prosedur
1. Tahap pra interaksi
a. Menyiapkan SOP mobilisasi yang akan digunakan
b. Melihat data atau riwayat SC pasien
c. Melihat intervensi keperawatan yang telah diberikan oleh perawat
d. Mengkaji kesiapan ibu untuk melakukan mobilisasi diri
e. Mencuci tangan
2. Tahap orientasi
a. Memberikan salam dan memperkenalkan diri
b. Menanyakan identitas pasien dan menyampaikan kontrak waktu
c. Menjelaskan tujuan dan prosedur
d. Menanyakan persetujuan dan kesiapan klien
3. Tahap kerja
Pada 6 jam pertama post SC
a. Menjaga privasi klien
b. Mengatur posisi senyaman mungkin dan berikan lingkungan yang
tenang
c. Anjurkan pasien distraksi nafas dalam dengan tarik nafas perlahan-
lahan lewat hidung dan kelurkan lewat mulut sambil mengencangkan
dinding perut sebanyak 3 kali kurang lebih selama 1 menit
d. Latihan gerak tangan, lakukan gerakan abduksi dan adduksi pada jati
tangan, lengan dan siku selama setengah menit
e. Tetap pada posisi berbaring, kedua lengan diluruskan diatas kepala
dengan telapak tangan menghadap ke atas
f. Lakukan gerakan menarik keatas secara bergantian sebanyak 5-10 kali
g. Latihan gerak kaki yaitu dengan menggerakan abduksi dan adduksi,
rotasi pada seluruh bagian kaki
Pada 6-10 jam berikutnya
a. Latihan miring kanan dan kiri
b. Latihan dilakukan dengan miring kesalah satu bagian terlebih dahulu,
bagian lutut fleksi keduanya selama setengah menit, turunkan salah
satu kaki, anjurkan ibu berpegangan pada pelindung tempat tidur
dengan menarik badan kearah berlawanan kaki yang ditekuk. Tahan
selama 1 menit dan lakukan hal yang sama ke sisi yang lain
Pada 24 jam post SC
a. Posisikan semi fowler 30-40 secara perlahan selama 1-2 jam sambil
mengobsevasi nadi, jika mengeluh pusing turunkan tempat tidur
secara perlahan
b. Bila tidak ada keluhan selama waktu yang ditentukan ubah posisi
pasien sampai posisi duduk
Pada hari ke 2 post SC
a. Lakukan latihan duduk secara mandiri jika tidak pusing, perlahan kaki
diturunkan Pada hari ke 3 post SC 1. Pasien duduk dan menurunkan
kaki kearah lantai
b. Jika pasien merasa kuat dibolehkan berdiri secara mandiri, atau
dengan posisi dipapah dengan kedua tangan peganga pada perawat
atau keluarga, jika pasien tidak pusing dianjurkan untuk latihan
berjalan disekitar tempat tidur
Evaluasi dan Tindak Lanjut
1. Melakukan evaluasi tindakan
2. Menganjurkan klien untuk melakukan kembali setiap latihan dengan
pengawasan keluarga
3. Salam terapeutik dengan klien
4. Mencuci tangan
Dokumentasi
1. Dokumentasikan : nama klien, tanggal dan jam oerekaman, dan respon pasien
2. Paraf dan nama jelas dicantumkan pada catatan pasien

 Begitupula di luar negeri, pasien post operasi juga sangat direkomendasikan untuk
melakukan mobilisasi dini. Adapun bentuk mobilisasi dini post operasinya dimuat
dalam “A Clinical Practice Guideline developed by the University of Toronto’s Best
Practice Surgery” yang ditulis oleh Pearshall et. al tahun 2017 sebagai berikut :
1. Pasien harus didorong untuk berpartisipasi dalam mobilisasi dini dengan
pengecualian pada pasien yang menjalani operasi tulang belakang yang harus
dinilai perindividu
2. Pasien dibantu untuk mobilisasi dini secara perlahan seperti bangun dan duduk
bergelantung ditempat tidur mereka, berjalan atau duduk di kursi mulai pada hari
0 pasca operasi (Postoperative Day 0/POD 0)
3. Pasien harus dibantu untuk berjalan setidaknya 2 kali sehari
4. Pasien harus dibantu untuk duduk dikursi ketika bangun saat siang hari.
DAFTAR PUSTAKA

Angelia, S. L., Ismonah, & Arif, S. (2015). Efektivitas Bladder Training Sejak Dini dan
Sebelum Pelepasan Kateter Urin Terhadap Terjadinya Inkontinensia Urine Pada Pasien Paska
Operasi di SMC RS Telogorejo. Jurnal Ilmu Keperawatan Dan Kebidanan (JIKK), II(3),
144–151.
Agustin, E., Kristyawati, S. P., Arief, M. S. (2016). Perbedaan Efektivitas Bladder Training
Dengan Kegel Exercise Dan Bladder Training Terhadap Waktu BAK Pertama Pasca
Katerisasi Urin Pada Pasien Post Operasi Dengan General Anastesi Di RSUD Ambarawa.
Jurnal Ilmu Keperawatan dan Kebidanan
Bayhakki, Yetti K., Mustikasari. (2011). Bladder Training Modifikasi Cara Kozier Pada
Pasien Pasca Bedah Ortopedi Yang Terpasang Kateter Urin. Jurnal Keperawatan Indonesia,
Vol.12, No.1
Büyükyilmaz, F., Culha, Y., Zümreler, H., Özer, M., Culha, M. G., & Ötünçtemur, A. (2020).
The effects of bladder training on bladder functions after transurethral resection of prostate.
Journal of Clinical Nursing, 29(11–12), 1913–1919. https://doi.org/10.1111/jocn.14939

Geraerts, I., Van Poppel, H., Devoogdt, N., Joniau, S., Van Cleynenbreugel, B., De Groef, A., &
Van Kampen, M. (2013). Influence of preoperative and postoperative pelvic floor muscle training
(PFMT) compared with postoperative PFMT on urinary incontinence after radical prostatectomy:
A randomized controlled trial. European Urology, 64(5), 766–772.
https://doi.org/10.1016/j.eururo.2013.01.013

Gultom, L., dan Hutabarat, J. (2020). Asuhan Kebidanan Kehamilan. Sidoarjo: Zifatama
Jawara
Hidaya, A.A. (2012). Kebutuhan Dasar Manusia. Jakarta: Heal Books
Kemenkes RI. (2016). Praktikum Keperawatan Medikal Bedah II. Jakarta Selatan: Badan
Pengembangan dan Pemberdayaan SDM Kesehatan
Lestari. (2011). Perbandingan senam kegel 1x seminggu dan 3x seminggu terhadap
penurunan frekuensi buang air kecil pada wanita usai 50-60 tahun. Pustaka UNUD
Lewis, Sharon L., Bucher, L., Heitkemper, M.M., Dirksen, S. R. (2014). Medical-Surgical
Nursing - E-Book: Assessment and Management of Clinical Problems. Edisi 9. Elsevier
Health Science.
Meika, W. (2015). Efektifitas Mobilisasi Dini terhadap Respon Berkemih pada Pasien Post
Operasi Abdomen Di RS Panti Wilasa Citarum Semarang. Karya Ilmiah.
Pearsall, E., McCluskey, S., Aarts, MA., McLeod R. (2017). A Clinical Practice Guideline
developed by the University of Toronto’s Best Practice Surgery. Diakses online pada 26
Febuari 2021 di http://bestpracticeinsurgery.ca/wp-
content/uploads/2017/11/ERAS_BPS_FINAL_Nov2017.pdf

Potter & Perry. (2010). Fundamental Of Nursing Edisi 7. Jakarta : Salemba medika
Rismawati. (2015). Asuhan Keperawatan Dengan Penerapan Mobilisasi Dini Untuk
Meningkatkan Kemandirian Pasien Post Sc Di Ruang Bougenvile RSUD Kebumen. Diakses
25 Febuari 2021 dari : http://elib.stikesmuhgombong.ac.id/486/1/DWI520TINA
%20RISMAWATI%20NIM.%20A01401881.pdf

Rosdahl, C. B. & Kowalski, M. T. (2008). Textbook of Basic Nursing Ninth Edition.


Lippincott Williams & Wilkins
RSHS. (2014). Mobilisasi Dini Pasca Operasi. Diakses online pad 25 Febuari 2021 di
http://web.rshs.or.id/mobilisasi-dini-pasca operasi/#:~:text=Apa%20itu%20Moblisasi
%20Dini%3F,alat%20sesuai%20dengan%20kondisi%20pasien.
Smeltzer ,S, C., & Bare, B.G. (2013). Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddart Edisi
8 Vol.1. Alih Bahasa Agung Waluyo. Jakarta: EGC
McCabe, L., Young, K., Ferguson S. (2017). Patient Education : Pelvic Floor “Kagel”
Exercise. Toronto: UHN (University Health Network)

Anda mungkin juga menyukai