Anda di halaman 1dari 47

PERBANDINGAN EFEKTIFITAS ROM AKTIF ASISTIF DAN

KOMPRES HANGAT DALAM MENINGKATKAN JUMLAH


PERISTALTIK USUS PASIEN POST OPERASI DENGAN
DENGAN ANASTESI GENERAL DI RS.X

SKRIPSI

ANDRI AGUSTIN
NIM. 1601460022

KEMENTERIAN KESEHATAN RI
POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES MALANG
JURUSAN KEPERAWATAN
PROGRAM STUDI DIPLOMA IV KEPERAWATAN MALANG
2019
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Setiap prosedur pembedahan pasti memerlukan upaya untuk menghilangkan


rasa nyeri, salah satu upaya yang bisa dilakukan adalah dengan memberikan
anastesi sebelum prosedur pembedahan dilakukan. Salah satu anastesi yang
diberikan terutama pada pasien yang menjalani operasi lebih dari 20 menit, dan
dibutuhkan pemulihan yang cepat yaitu dengan menggunakan anastesi umum.
istilah Anastesia umum ini sendiri dipakai jika pemberian anastesi sistemik
menghilangkan rasa nyeri (the loss of feeling) disertai dengan hilangnya
kesadaran. (Sjamsuhidajat Dkk, 2010) pada kondisi operasi yang cukup lama
prosedur pembedahan dengan menggunakan anastesi seimbang, yaitu kombinasi
obat hipnotik untuk mempertahankan anestesi (misalnya propofol, dan
sevofluran), analgesic untuk nyeri (misalnya opiate, OAINS) dan bila
diindikasikan relaksan otot (misalnya suksametonium, tubokurarin), atau anastesi
regional. (Grace & Borley, 2007). Karena anastesi yang diberikan maka akan
muncul efek setelah dilakukan prosedur pembedahan, diantaranya adalah
regulgitasi, asfiksia, spasme pita suara, hipotermi, gangguan irama jantung,
bronkospasme, asidosis syok, hipotesi, distensi abdomen, penurunan peristaltic
usus, mual dan muntah (Latief, 2002).

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Setiawan pada tahun 2017,


didapatkan data dari rekam medik RS LAVALETTE antara bulan Januari 2016
sampai bulan November 2016 terdapat 2957 pasien yang dilakukan tindakan
operasi. Sebanyak 1315 pasien dilakukan tindakan operasi dengan menggunakan
anastesi umum dan 1642 pasien dilakukan tindakan operasi dengan menggunakan
anastesi spinal epidural.

Salah satu keluhan yang sering muncul setelah pasien melakukan operasi
dengan anastesi umum adalah mual muntah pasca operasi atau lebih sering disebut
dengan Post Operative Nausea and Vomiting (PONV). Di inggris insiden PONV
mencapai 30% dan sering terjadi selama masa pemulihan kesadaran pasien setelah
operasi di ruang pemulihan dan setelah meninggalkan ruang pemulihan (Dexa
media, 2004, dikutip dari Wiyono, 2008) timbulnya mual muntah bergantung
pada interaksi antara chemoreceptor trigger zone (CTZ) dan pusat muntah. CTZ
yang terletak di postrema ventrikel keempat, bersifat vascular, dan tidak memiliki
sawar darah-otak. Tidak adanya selektivitas ini menyebabkan sel-selnya dapat
diaktifkan oleh stimulant kimiawi di dalam darah atau di cairan cerebrospinalis.
Daerah CTZ menimbulkan muntah dengan memberi sinyal ke pusat muntah yang
terletak di bentukan retikularis lateral medulla. (gruendemann & fernsebner, 2005)

Masalah lain yang sering muncul pada pasien post operasi adalah pasien
sering mengeluh karena menunggu terlalu lama untuk dapat makan dan minum.
Kebiasaan menghitung dan memperkirakan pemulihan peristaltik usus setelah
operasi berdasarkan waktu 3 jam setelah operasi, tidak memeriksa secara langsung
dengan auskultasi peristaltik usus pasien (wiyono, 2008) pemeriksaan peristaltik
usus pasien secara langsung ini sangat penting untuk memastikan pemulihan
kondisi peristaltik usus sudah bekerja secara normal, karena jika auskultasi ini
tidak dilakukan secara langsung dan jika seorang pasien yang belum pulih
peristaltik ususnya langsung diberikan asupan nutrisi maka pasien dapat
menderita ileus/ obstruksi usus (gangguan pada usus) (windiarto, 2008)

Untuk melihat proses pemulihan peristaltic usus ini dapat dilihat dari jumlah
bising usus yang terdengar saat auskultasi dengan menggunakan stetoskop. Jika
proses pemulihan peristaltik usus berjalan cepat normalnya akan terdengar bising
usus dengan jumlah 5-12x/menit, dan jika bising usus tidak terdengar atau <5
x/menit maka dapat dikatakan bahwa fungsi peritaltik usus belum kembali
normal.

Salah satu cara untuk mempercepat proses kembalinya peristaltik usus


adalah dengan melakukan mobilisasi dini, Tujuan dari mobilisasi yaitu terjadinya
peningkatan pergerakan tubuh secara hatihati pada pasca operasi adalah
memperbaiki sirkulasi, untuk mencegah statis vena, dan untuk mempertahankan
gerakan peristaltic. Dan salah satu intervensi mobilisasi adalah ROM aktif asistif
(Kozier, et al., 2009). ROM aktif asistif itu sendiri merupakan latihan yang dapat
meningkatkan gerakan aktif pada sisi tubuh yang lebih kuat dan menjaga
fleksibilitas sendi pada sisi anggota gerak yang lemah. Latihan ini tentunya
dilakukan secara perlahan dan hati hati menyesuaikan dengan fungsi dan kekuatan
organ sehingga tidak menimbulkan adanya komplikasi pada organ yang
digerakkan (alhuda, Dkk, 2016) selain untuk mempercepat pemulihan peristaltik
usus, mobilisasi dini ditujukan agar tidak terjadi kekakuan otot dan sendi sehingga
mengurangi rasa nyeri, mempercepat metabolisme tubuh, dan mengembalikan
kerja fisiologis organ-organ vital yang pada akhirnya akan mempercepat proses
penyembuhan luka.

Namun, pada kenyataannya banyak keluhan dari pasien yang mencoba


melakukan gerakan atau aktivitas adalah adanya rasa nyeri pada bagian tubuh
yang dilakukan operasi, hal ini juga yang mengakibatkan pasien takut bergerak
dan justru banyak berbaring tanpa melakukan aktivitas sehingga mengakibatkan
pemulihan dari peristaltik usus cenderung lambat, sehingga pada akhirnya juga
akan mempengaruhi proses defekasi pasien sehingga dapat menyebabkan
konstipasi pada pasien. Kondisi ini tentunya sangat berbahaya bagi pasien,
diantaranya adalah konstipasi berisiko tinggi menyebabkan intraabdominal
hipertensi, sehingga kondisi tersebut berisiko menyebabkan disfungsi beberapa
organ (Gacoin et al., 2010)

Untuk mencegah terjadinya konstipasi pada pasien post operasi,


berdasarkan Penelitian yang dilakukan oleh Utami (2015) berjudul “Efektivitas
Ambulasi Dini dan Kompres Hangat Terhadap Waktu Defekasi Pertama Pasien
Post Operasi Dengan Anestesi Umum di RSUD Ambarawa”, Hasil penelitian
menunjukkan 12 pasien yang diberikan ambulasi dini memiliki rentang waktu
defekasi pertama 21-47 jam post operasi, dan 3 pasien mengalami konstipasi
dengan waktu defekasi pertama ≥48 jam. Pada 11 pasien yang diberikan kompres
hangat memiliki rentang waktu defekasi pertama ≤20 jam dan 4 pasien 21-47
jam. Hal tersebut menunjukkan bahwa pasien post operasi mengalami perubahan
rentang waktu defekasi pertama. Defekasi pertama merupakan kemampuan pasien
melakukan defekasi pertama kali setelah menjalani operasi. Normalnya pasien
setelah operasi akan mengalami defekasi kurang dari 48 jam setelah pemberian
diet pertama, tetapi jika lebih dari 48 jam pasien tidak mengalami defekasi maka
pasien mengalami konstipasi (Kozier, et al., 2011)

Selain dengan melakukan ROM aktif asistif, metode lain yang dapat
digunakan untuk mempercepat pemulihan peristaltik usus adalah dengan
menggunakan kompres hangat.

(Tamsuri, 2007) mengemukakan bahwa suhu hangat pada pasien dewasa


yang tidak sadar karena pengaruh anestesi adalah 40,5-46,0C. Pada rentang
suhu ini dapat mengembangkan gas dan merangsang peristaltik usus,
sehingga mengakibatkan perbedaan tekanan antara ruang intra abdomen
dengan usus (Long, 2002). Apabila suhu yang diaplikasikan terlalu tinggi
akan menimbulakan rasa tidak nyaman, rasa terbakar dan kurang
memberikan efek penurunan nyeri pada klien. Metode penggunaan kompres
hangat dapat dilakukan dengan menggunakan handuk atau waslap yang
dicelupkan kedalam air hangat dan diletakkan pada bagian tubuh. Selain itu juga
bisa menggunakan kantong atau buli-buli panas. Metode dengan menggunakan
buli-buli panas sering digunakan karena dirasa aman (Tamsuri, 2007).

Penelitian terkait pernah dilakukan oleh Pramono (2010) dengan judul


pengaruh kompres hangat terhadap waktu flatus pada pasien post operasi
sectio caesarea dengan anestesi spinal di RSUD Kraton Kabupaten
Pekalongan menunjukkan adanya pengaruh kompres hangat terhadap lamanya
waktu flatus.

Berdasarkan uraian diatas, serta penelitian yang telah dibuktikan, serta


permasalahan yang sering muncul pada pasien post operasi dengan anastesi
umum, maka didapatkan dua tindakan yang dapat dilakukan untuk mempercepat
pemulihan peristaltik usus sehingga mempercepat proses defekasi pada pasien
post operasi dengan anastesi umum, sehingga peneliti yang mempunyai peran
sebagai calon perawat perioperative sangat tertarik untuk melakukan penelitian
yang berjudul “Perbandingan Efektifitas Rom Aktif Asistif dan Kompres Hangat
dalam Meningkatkan Jumlah Peristaltik Usus Pasien Post Operasi dengan dengan
Anastesi General di RS.X” dengan harapan mampu melakukan tindakan dengan
efektif sehingga dapat mempercepat proses pemulihan peristaltik usus pasien
sehingga dapat memperpendek waktu perawatan pasien.

1.2 Rumusan Masalah

Adakah perbedaan jumlah peristaltik usus setelah diberikan tindakan antara


ROM Aktif asistif dan kompres hangat pada pasien post operasi dengan anastesi
general?

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum


Untuk mengetahui perbandingan efektivitas tindakan massase
abdomen dan ROM aktif asistif untuk mempercepat Pemulihan
Peristaltik Usus pada pasien post operasi dengan anastesi general
1.3.2 Tujuan Khusus
1. mengidentifikasi pemulihan peristaltik usus dengan menganalisa
jumlah peritaltik usus pada pasien setelah operasi dengan anestesi
umum
2. mengetahui pengaruh dilakukannya tidakan kompres hangat dalam
mengembalikan fungsi peristaltik usus pada pasien post operasi
dengan anastesi umum
3. mengetahui pengaruh dilakukan tindakan ROM aktif asistif dalam
mengembalikan fungsi peristaltik usus pada pasien post operasi
dengan anastesi umum
1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Teoritis

1. Bagi institusi pendidikan


Diharapkan penelitian ini dapat memberikan bukti nyata dengan
pendidikan keperawatan terhadap pengembangan kurikulum mata
kuliah terutama keperawatan perioperative.
2. Bagi perawat
Sebagai kajian dala memberikan asuhan keperawatan pada klien post
operasi dengan anastesi umum terutama dalam upaya untuk
mempercepat pemulihan peristaltik usus
3. Bagi peneliti selanjutnya
Sebagai salah satu sumber informasi bagi pelaksanaan penelitian
keperawatan tentang cara yang lebih efektif untuk mempercepat
proses pemulihan peristaltik usus pada pasien post operasi dengan
anastesi umum pada masa yang akan datang dalam rangka
peningkatan ilmu pengetahuan dan teknologi keperawatan.

1.4.2 Praktis

1. Bagi Rumah Sakit


Diharapkan penelitian ini dapat sebagai bahan dalam pengambilan
keijakan dan informasi tentang tindakan yang lebih efektif antara
mobilisasi dini dan kompres hangat
2. Bagi pasien
Diharapkan penelitian ini dapat memberikan informasi tentang cara
yang lebih efektif yang dapat dilakukan kepada pasien sehingga
dapat memicu motivasi pasien untuk melakukan pemulihan sedini
mungkin
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Anastesi Umum

2.1.1 Pengertian Anastesi Umum

Anastesi merupakan suatu Kondisi dimana hilangnya sebagian atau semua


bentuk sensasi yang disebabkan oleh patologi pada sistem saraf, atau suatu teknik
yang menggunakan obat (inhalasi, intravena, atau lokal) yang menyebabkan
keseluruhan atau sebagian dari organisme menjadi mati rasa untuk berbagai
periode waktu tertentu. Pada anastesia umum akan menginduksi hilangnya
kesadaran dengan menggunakan obat hipnotik (obat yang menginduksi tidur)
yang dapat diberikan secara intravena (misalnya propofol) atau inhalasi (misalnya
sevofluran). (Grace & Borley, 2006)

Istilah Anastesi dimunculkan pertama kali oleh Holmes yang artinya tidak
ada rasa nyeri. Pada dasarnya anastesi ini diberikan pada prosedur pembedahan
adalah untuk mengurangi atau bahkan untuk menghilangkan rasa nyeri, baik
disertai atau tidak hilangnya kesadaran, tindakan tersebut dimaksudkan agar
pasien tidak merasakan nyeri sehingga tidak menimbulkan penderitaan bagi
manusia.

2.1.2 Tujuan Pemberian Anastesi Umum

Menurut Grace & Borley (2006) Anastesi umum memiliki tujuan sebagai berikut:

- Menginduksi hilangnya kesadaran dengan menggunakan obat hipnotik


yang dapat diberikan secara intravena (misalnya propofol) atau inhalasi
(misalnya sevofluran)
- Menyediakan kondisi yang cukup untuk lamanya prosedur pembedahan
dengan menggunakan anastesi seimbang, yaitu kombinasi obat hipnotik
untuk mempertahankan anastesi (misalnya propofol, sevofluran), analgesic
untuk nyeri (misalnya opaid, OAINS) dan bila diindikasikan relaksan otot
(misalnya suksametinonium, tubokurarin).

2.1.3 Indikasi pemberian Anastesi Umum

Anastesi umum biasanya dimanfaatkan untuk tindakan operasi besar yang


memerlukan ketenangan pasien dan waktu pengerjaan bedah yang lebih panjang,
misalnya pada kasus bedah jantung, pengangkatan batu empedu, bedah
rekonstruksi tulang dan lain-lain. Selain itu anastesi umum biasanya dilakukan
pada pembedahan yang luas. (potter & perry, 2006)

2.1.4 Jenis-jenis Anastesi Umum

Anastetik yang menghasilkan anastesia umum dapat diberikan dengan cara


inhalasi, Parenteral, atau balans/ kombinasi. (potter & perry, 2006)

1. Anastesia Inhalasi

Anastesi inhalasi bentuk dasarnya berupa gas (N2O) atau larutan yang
diuapkan dengan menggunakan mesin anastesia, masuk ke dalam sirkulasi
sistemik melalui sistem pernafasan, yaitu secara difusi di alveoli. Sistem aliran gas
dalam sistem pernafasan dikelompokkan menjadi sistem terbuka, setengah
terbuka, atau tertutup. Kriteria pengelompokan ini didasarkan pada ada tidaknya
proses rebreathing, yaitu penghirupan kembali udara ekhalasi, penyerap
(absorber) CO2 dalam sirkuit pernafasan mesin anastesia.

a. Eter

eter menghasilkan efek analgesia dan relaksasi otot yang baik dengan batas
keamanan yang lebar jika dibandingkan dengan obat inhalasi lain. Namun eter
jarang digunakan karena baunya yang menyengat, merangsang hiperekskresi, dan
menyebabkan mual dan muntah akibat rangsangan lambung maupun efek sentral.
Teknik pemberian eter ini cukup mudah yaitu dapat menggunakan sungkup
terbuka (open drop method), dan ditangan ahli anastesia yang berpengalaman,
efek samping penggunaan eter dapat diminimalkan. Eter tidak dianjurkan untuk
diberikan pada penderita trauma kepala dan keadaan peningkatantekanan
intracranial karenadapat menyebabkandilatasi pembuluh darah otak.

b. Halotan

Bentuk dari Halotan adalah cairan tidak berwarna, berbentuk gas yang
berbau enak. Induksinya mudah dan cepat sehingga menjadi pilihan utama induksi
anastesia pasien bayi dan anak. Selain itu, Halotan merupakan obat anastetik
dengan kekuatan 4-5 kali eter (Mansjoer, 2000) efek analgesic halotan lemah
tetapi relaksasi otot polos yang ditimbulkannya baik/ penurunan peristaltik usus.
Non iritasi terhadap saluran pernafasan dan menghasilkan mual muntah yang
minimal pascaoperasi (Wijaya, 2008)

c. Enfluran

Bentuk dasarnya adalah cairan tidak berwarna dengan bau menyerupai bau
eter. Enfluran tidak bersifat iritan bagi jala nafas, dan tidak menyebabkan
hiperekskresi kelenjar ludah dan bronkial.

d. isofluran

isofluran berbentuk cairan tidak berwarna dengan bau yang tidak enak.
Efeknya terhadap pernafasan dan sirkulasi kurang lebih sama dengan halotan dan
enfluran. Perbedaannya adalah bahwa pada konsentrasi rendah, isofluran tidak
menyebabkan perubahan aliran darah ke otak asalkan penderita dalam kondisi
normokapnia, sedangkan halotan dan enfluran menyebabkan vasodilatasi dan
meningkatkan aliran darah ke otak.

e. sevofluran

sevofluran disebut mempunyai efek neuroprotektif. Sevofluran tidak berbau


dan paling sedikit menyebabkan iritasi jalan nafas sehingga cocok digunakan
untuk induksi anastesia umum. Karena sifatnya mudah larut, waktu induksinya
lebih pendek dan pulih sadar segera terjadi setelah pemberian dihentikan.
Biodegradasi sevofluran menghasilkan metabolit yang bersifat toksik dalam
konsentrasi tinggi.
2. Anastesi Parenteral

Anastesi parenteral lebih banyak digunakan dalam beberapa tahun terakhir


ini sebagai adjuvant bagi anastesi inhalasi maupun sebagai anastesi tunggal karena
tidak diperlukan peralatan yang rumit dalam penggunaannya. Anastesi ini
langsung masuk ke darah dan eliminasinya harus menunggu proses
metabolismemaka dosisnya harus diperhitungkan secara teliti. Untuk
mempertahankan anastesia atau sedasi pada tingkat yang diinginkan, kadarnya
dalam darah harus dipertahankan dengan suntikan berkala atau pemberian infus
kontinu. (Sjamsuhidajat dkk, 2010)

a. Propofol

sebagai obat induksi, propofol 1,5-2,5 mg/kg menyebabkan ketidaksadaran


dalam waktu 30 detik. Bila dibandingkan dengan obat inhalasi desfluran, propofol
tidak memiliki efek residual pada susunan saraf pusat sehingga mengurangi
kejadian mual dan muntah pasca bedah. Kera waktu pulih sadarnya cepat, obat ini
makin banyak dipakai untuk menggantikan thiopental pada anastesia dan
pembedahan ambulatorik.

Propofol dapat digunakan secara tersendiri atau menjadi bagian dari


kombinasi obat pada anastesia balans dan anastesia intravena total. Pada penderita
kritis yang menggunakan bantuan nafas mekanik, propofol infus kontinu makin
banyak dipergunakan sebagai sedasi. (potter & perry, 2006)

b. Benzodiazepin

obat yang termasuk kelompok ini adalah diazepam, mediazolam, lorazepam.


Benzodiazepine lazim dipakai pada masa perioperative untuk pramedikasi dan
induksi pada anastesia umum maupun sebagai sedatif pada pasien yang dirawat di
ruang perawatan intensif. Secara umum, induksi anastesia dengan benzodiazepine
lebih lambat menimbulkan ketidaksadaran daripada induksi dengan thiopental

c. Ketamin
Ketamin dapat digunakan sebagai obat induksi atau anastesia umum
maupun analgesik yang sangat baik. Mula kerjanya cepat (30 detik), demikian
pula dengan masa pulih sadarnya, tetapi sering disertai delirium. Efek stimulasi
kuat terhadap sistem simpatis menyebabkan kenaikan tekanan darah dan nadi
secara signifikan. Ketamine sebaiknya tidak digunakan pada penderita hipertensi
dan kelainan coroner, tetapi dapat bermanfaat pada penderita syok hipovolemik.
Karena mempunyai efek vasodilatasi pada pembuluh darah otak, ketamine tidak
boleh diberikan pada penderita gangguan intracranial. (potter & perry, 2006)

2.1.5 Dampak Anastesi Umum

Dampak dari Anastesi umum menurut Barba C Long, 1996 antara lain:

1. Mual dan Muntah

2. Cekungan (hiccup)

3. Anfiksia

4. Spasme pita suara

5. Hipotermi

6. Gangguan irama jantung

7. Bronkospasme

8. Asidosis

9. Syok

10. Hipotensi

11. Distensi Abdomen

12. Penurunan peristaltik usus

2.1.6 Teknik pemberian anastesi umum

Menurut staf pengajar anestesiologi, 1990 teknik dalam memberikan anastesi


umum antara lain:
1. TA (total anastesi) nafas spontan dengan sungkup muka

- untuk tindakan yang sangat singkat 30 menit sampai 1 jam tetap membuka
rongga perut

- keadaan umum pasien cepat membaik

- lambung harus kosong

2. TA (total anastesi) nafas spontan dengan pipa endotrakeal

- operasi lama

- kesulitan mempertahankan jalan nafas bebas pada anastesi dengan sungkup


muka

3. TA (total anastesi) dengan pipa endotrakeal tube dan nafas kembali

4. Ekstubasi

2.1.7 Kontraindikasi Anastesi Umum

Dalam pemberian anastesi umum memiliki beberapa kontraindikasi yang


mungkin bisa terjadi pada pasien tertentu ketika pemberian tidak sesuai standart,
diantaranya adalah Dekompresi Kordis derajat III – IV, AV block derajat II –
Total (ditandai tidak ada gelombang P pada pemeriksaan ECG), Hipertensi berat/
tidak terkontrol (diastolic > 110), DM tidak terkontrol, Infeksi akut, sepsis dan
GNA. (Mangku & Senapathi, 2010)

2.2 Konsep Peristaltik Usus

2.2.1 Pengertian peristaltik usus

Peristaltik merupakan gerakan yang terjadi pada otot-otot pada saluran


pencernaan yang menimbulkan gerakan semacam gelombang sehingga
menimbulkan efek menyedot/ menelan makanan yang masuk kedalam saluran
pencernaan. (Ganong, 2007)
Peristaltik usus adalah gerakan kontraksi dan relaksasi otot, bahasa yang
lebih umum yaitu proses pengencangan dan pengendoran otot. Peristaltik usus
lebih akrab ditandai dengan buang angina atau flatus. (susanto, 2008)

2.2.2 Fisiologis saluran cerna

seperti yang kita ketahui bahwa proses pencernaan dimulai saat makanan
masuk kedalam mulut dan berakhir di usus kecil walaupun cairan akan
melanjutkannya sampai direabsorbsi di kolon. Fisiologi pencernaan itu sendiri
terdiri dari:

1. Usus Kecil

Usus kecil memiliki tiga bagian:

a. Duodenum yang berhubungan langsung dengan lambung

b. jejenum atau bagian tengah

c. ileum

Fungsi utama usus halus adalah mencampur dan mendorong kimus. Gerakan
segmental usus halus dalam gerakan peristaltik mendorong kimus, serta sebagai
tempat mengabsorpsi maksimal zat-zat gizi. (waluran sehat, 2008)

2. Usus besar (kolon)

Pada kolon manusia dewasa panjangnya kurang lebih mencapai 125-150 cm atau
50-60 inc terdiri dari:

a. caecum yang berhubungan langsung dengan usus kecil

b. kolon terdiri dari kolon asenden, transfersum, desenden, dan sigmoid

c. Rectum sepanjang 10-15 cm/ 4-6 inc


Fisiologi usus besar adalah bahwa usus besar tidak ikut serta dalam pencernaan
atau absorpsi makanan. Bila isi usus halus mencapai caecum, maka semua zat
makanan telah diabsorpsi dan sampai di rectum feces bersifat padat dan lunak.

Sedangkan fungsi utama usus besar (kolon) adalah sebagai berikut:

a. menerima chime dari lambung dan mengantarnya kearah bagian selanjutnya


untuk mengadakan absorpsi/ penyerapan baik air, elektrolit dan garam empedu.

b. mengeluarkan mucus yang berfungsi sebagai protectis sehingga akan


melindungi usus dari aktifitas bakteri dan trauma asam yang dihasilkan feces.

c. sebagai tempat penyimpanan feces sebelum dibuang.

Peristaltik pada kolon:

Yaitu gerakan mencampur dan mendorong feces kearah anus, peristaltik usus
paling lama 15 menit selama jam pertama setelah beberapa kali/hari makan pagi.
(Waluran sehat, 2008)

3. Anus/ Anal

Panjangnya 2,5-5 cm atau 1-2 inc. mempunyai 2 spincter yaitu internal


(involunter) dan eksternal (volunteer)

Fisiologi Defekasi:

Defekasi pengeluaran feces dari anus dan rectum, hal ini juga disebut bowel
movement. Frekuensi defekasi pada setiap orang sangat bervariasi dan beberapa
kali perhari sampai 2 – 3 kali perminggu.

2.2.3 pengukuran bising usus

Bising usus dapat diukur dengan metode auskultasi dengan menggunakan


stetoskop. Bising usus menunjukkan bahwa adanya gerakan peristaltik usus,
mereka dideskripsikan menurut intensitas, keteraturan, dan frekuensinya.
(Mubarak dkk, 2015) bising usus normalnya terdengar 5-30 x/menit jika kurang
dari itu atau tidak ada sama sekali kemungkinan ada konstipasi, peritonitis,
obstruksi, atau ileus paralitik yang disebabkan efek obat anastesi. (Debora, 2011)

2.2.4 Faktor yang mempengaruhi peristaltik

Menurut potter & perry (2010) salah satu faktor yang mempengaruhi peristaltik
usus adalah:

1. pembedahan

Pembedahan yang melibatkan langsung intestinal dapat menyebabkan


penghentian pergerakan intestinal sementara. Hal ini disebut ileus paralitik
berkepanjangan, suatu kondisi yang biasanya berakhir 24-48 jam pasca
pembedahan.

2. Anastesi

Pemberian anastesi dapat menyebabkan pergerakan usus yang normal


menurun dengan penghambatan stimulus parasimpatik pada otot usus.

3. Obat-obatan

Obat-obatan seperti didiklomin HCL (Bentyl) menekan pergerakan


peristaltik dan mengobati diare. Beberapa obat memiliki efek samping yang dapat
mengganggu eliminasi. Obat analgesic narkotik menekan gerakan peristaltik.
Opiate umumnya menyebabkan konstipasi. Obat-obatan antikolinergik seperti
atropine atau glikopirolat (robinul), menghambat sekresi asam lambung dan
menekan mortilitas.

2.2.5 pengaruh prosedur pembedahan dengan anastesi terhadap bising usus

pada proses pembedahan dengan anastesi umum akan menghambat impuls


saraf parasimpatis ke otot usus sehingga mengakibatkan gerakan peristaltik
berhenti untuk sementara waktu. Disisi lain juga dipengaruhi dan diperberat
dengan pembukaan rongga abdomen sehingga udara ikut masuk ke dalamnya,
Contohnya pada operasi laparatomi. Maka dari itu, pasien pasca bedah laparatomi
sangat membutuhkan observasi pada bagian abdomen termasuk kerja peristaltik.
(potter & perry, 2010)

pada saat peristaltik belum pulih maka pasien belum dianjurkan untuk
makan dan minum, karena dikhawatirkan usus belum mampu bekerja normal
sehingga memungkinkan terjadinya penyumbatan saat makanan tersebut melewati
usus. Tetapi sebaliknya jika peristaltik sudah pulih yang ditandai dengan adanya
bising usus dan flatus maka pasien diperbolehkan untuk mengakhiri puasanya dan
dapat segera memulai pemenuhan kebutuhan nutrisi secara bertahap untuk
mempercepat penyembuhan luka pasca pembedahan. (Bararah,2010)

2.3 Konsep Range Of Motion (ROM)

2.3.1 Pengertian Range Of Motion (ROM)

Range Of Motion (ROM) adalah gerakan yang dalam keadaan normal dapat
dilakukan oleh sendi yang bersangkutan (Suratun, 2008). Range Of Motion
(ROM) merupakan istilah baku untuk menyatakan batas/ besarnya gerakan sendi
baik dan normal serta untuk menyatakan batas gerakan sendi yang abnormal
(Helmi, 2012). Latihan rentang gerak merupakan jumlah maksimal gerakan yang
mungkin dilakukan pada potongan tubuh yaitu, sagitalis, frontal, transversal
(Asmadi, 2008). Sedangkan menurut Potter & Perry (2006), latihan Range Of
Motion (ROM) adalah latihan yang dilakukan untuk mempertahankan atau
memperbaiki tingkat kesempurnaan kemampuan menggerakkan persendian secara
normal dan lengkap untuk meningkatkan massa dan tonus otot.

2.3.2 Tujuan dasar latihan Range Of Motion (ROM)

Menurut Suratun (2008), tujuan ROM adalah sebagai berikut :

a) Merangsang sirkulasi darah


b) Mempertahankan atau memelihara kekuatan otot
c) Memelihara mobilitas persendian
d) Mencegah kelainan bentuk
2.3.3 Prinsip dasar latihan Range Of Motion (ROM)

Adapun prinsip latiahn ROM adalah sebagi berikut (Suratun, 2008) :

a) ROM harus diulang sekitar delapan kali dan dikerjakan minimal dua kalo
sehari.
b) ROM dilakukan perlahan dan hati-hati sehingga tidak melelahkan pasien
c) Dalam merencanakan program latihan ROM, memperlihatkan umur
pasien, diagnosa, tanda vital, dan lamanya tirah baring.
d) ROM sering diprogramkan oleh dokter dan dikerjakan oleh ahli fisioterapi.
e) Bagian-bagian tubuh yang dapat dilakukan adalah leher, jari, lengan, siku,
bahu, tumit, atau pergelangan kaki.
f) ROM dapat dilakukan pada semua persendian yang dicurigai mengurangi
proses penyakit.
g) Melakukan ROM harus sesuai waktunya, misalnya setelah mandi atau
perawatan rutin telah dilakukan.

2.3.4 Klasifikasi Range Of Motion (ROM)

a) Latihan ROM Pasif


ROM pasif merupakan latiahn ROM yang dilakukanklien dengan
bantuan petugas/ perawat pada setiap gerakan. Indikasi latiahn ROM
pasif adalah klien semikoma dan tidak sadar, klien usia lanjut dengan
mobilitas terbatas, klien tirah baring total, atau klien dengan paralis
ekstremitas total.
b) Latihan ROM Aktif
ROM aktif adalah latihan ROM yang dilakukan sendiri oleh klien
tanpa bantuan etugas/perawat dari setiap gerakan yang dilakukan.
Indikasi ROM aktif adalah semua pasien yang dirawat dan mampu
melakukan ROM sendiri dan kooperatif.

2.3.5 Indikasi dilakukannya Range Of Motion (ROM)

Menurut Brunner Suddarth (2002), masalah yang sering muncul segera


setelah operasi, pasien telah sadar dan berasa diruang perawatan dengan
edema/bengkak, nyeri, keterbatasan lingkup gerak sendi, penurunan kemampuan
operasi dan luka bekas trauma.

Hidayat (2009) mengatakan, indikas dilakukan latihan ROM aktif dan pasif
yaitu pasien dengan mobilitas sendi yang terbatas karena penyakit, disabilitas,
atau trauma untuk mengurangi bahaya immobilitas. Latihan tersebut dilakukan
untuk memelihara dan mempertahankan sirkulasi darah dan kekuatan otot serta
memlihara mobilitas persendian.

2.3.6 Kontraindikasi latihan Range Of Motion (ROM)

Pasien yang mengalami perubahan fungsi fisiologis seperti dispneu atau


nyeri dada selama latihan tidak akan tahan melakukan aktivitas seperti pada klien
yang tidak mengalaminya. Pada klien lemah tidak mampu meneruskan
aktivitasnya karena energy yang besar diperlukan untuk menyelesaikan aktivitas
menyebabkan kelelahan dan kelemahan menyeluruh. Orang depresi, khawatir atau
cemas sering tidak tahan melakukan aktivitas. Perubahan perkembangan juga
memengaruhi aktivitas, toodler dan remaja membutuhkan istirahat yang lebih
banyak. Ibu hamil tua, akibat ukuran dan lokasi fetus maka kemampuan ibu
bernafas dalam menurun dan berkurangnya oksigen yang dipakai untuk latihan.
Pada prang tua akibat massa otot berkurang, postur tubuh berubah, dan
kompensasi tulang berubah akan terjadi penurunan aktivitas (Potter & Perry,
2006).

2.3.7 Dampak tidak dilakukan Range Of Motion (ROM)

Masalah fisik yang dapat terjadi jika tidak dilakukkanya ROM atau mobilisasi
pada sistem musculoskeletal adalah sebagai berikut (Hidayat, 2009) :

a) Atrofi otot
Otot yang tidak dipergunakan dalam waktu yang lama akan kehilangan
sebagian besar kekuatan dan fungsi normalnya. Ini terjadi karena pasokan
nutrisi pada otot tidak memadai karena adanya gangguan sirkulasi darah.
b) Osteoporosis
Tanpa adanya aktivitas yang memberi beban pada tulang, tulang akan
mengalami demineralisasi (osteoporosis). Proses ini menyebabkan tulang
kehilanan kekuatan dan kepadatannya sehingga tulang menjadi keropos
dan mudah patah.
c) Kontraktur
Pada kondisi imobilisasi, serabut otot tidak mampu memendek atau
memanjang. Lama kelamaan, kondisi ini akan menyebabkan kontraktur
(pemendekan otot permanen). Proses ini sering mengenai sendi, tendon,
dan ligamen.
d) Kekakuan dan nyeri sendi
Pada kondisi imobilisasi, jaringan kolagen pada sendi dapat mengalami
ankilosa. Selain itu, tulang juga akan mengalami demineralisasi yang akan
menyebabkan akumulasi kalsium pada sendi yang dapat mengakibatkan
kekakuan dan nyeri pada sendi.

2.3.8 Gerakan pada Range Of Motion (ROM)

ROM aktif latihan gerak isotonic (terjadi kontraksi dan pergerakan otot)
yang dilakukan klien dengan menggerakkan masing-masing persendiannya sesuai
dengan rentang geraknya yang normal. Sedangkan ROM pasif merupakan latihan
pergerakan perawat atau petugas lain yang menggerakkan persendian klien sesuai
dengan rentang geraknya (Kusyati Eni, 2006).

Prosedur latihan rentang gerak pasif-aktif (untuk latihan ROM aktif dapat
dilakukan pasien tanpa bantuan petugas sesuai dengan kemampuan dan kapasitas
pasien) pada ekstremitas bawah menurut Smeltzer, S C (2002), ialah :

a) Latihan Panggul
1) Abduksi-adduksi panggul. Gerakkan tungkai kea rah luar dari tubuh
dengan rentang derajat 30-5-. Kembalikan ke posisi semula.
2) Fleksi lutut dan rotasi internal eksternal panggul. Tekuk lutut dan putar
tungkai dengan gerakan kedalaman luar 90 derajat.
3) Untuk meregangkan otot-otot hamstring, luruskan tungkai.
b) Latihan kaki
1) Dorsofleksi kaki, gerakkan kaki ke atas dan kearah tungkai 20-20 derajat.
Kemudian gerakkan kaki ke bawah dan menjauh dari tungkai 45-50
derajat, (fleksi plantar)
2) Inversi dan eversi kaki. Gerakkan sehingga telapak kaki menghadap keluar
(eversi). Kemudian gerakkan kaki sehingga telapak kaki menghadap ke
dalam (inversi) rentang derajat kurang dari 10 derajat.
3) Fleksi ibu jari kaki. Tekuk ibu jari kaki ke arah bawah 30-60 derajat.
4) Ekstensi ibu jari kaki, luruskan ibu jari kaki dan tarik kea rah tungkai
sejauh mungkin kurang lebih 30-60 derajat.
5) Abduksi ibu jari kaki, merenggangkan jari-jari kaki satu dengan yang lain
dengan rentang derajat kurang dari 15 derajat.
6) Adduksi iu jari kaki, merapatkan kembali bersama-sama dengan rentang
derajat kurang dari 15 derajat.

2.4 Konsep Kompres Hangat

2.4.1 Pengertian Kompres Hangat


Kompres hangat menurut (Bandiyah ,2013) adalah memberikan rasa
hangat pada pasien dengan menggunakan cairan atau alat yang menimbulkan
hangat pada bagian tubuh yang memerlukannya.
Pemberian kompres dengan buli buli hangat didasarkan pada efek
terapeutik panas, yaitu mengurangi spasme otot, kekakuan dan meningkatkan
aliran darah sehingga merangsang peristaltik usus. Untuk meningkatkan
peristaltik, kompres hangat diberikan di area abdomen (Asmadi, 2008)
2.4.2 Tujuan Kompres Hangat
Menurut Sasmito (2011) dan Masanori (2003), kompres hangat dapat
memberikan efek berupa meningkatkan fungsi gastrointestinal, menurunkan
tingkat kecemasan, depresi serta tingkat amarah pada pasien. Selain itu,
kompres hangat juga efektif digunakan untuk mengoptimalkan fungsi saraf,
memperbaiki sirkulasi darah dan metabolisme tubuh serta merangsang
peningkatan sel darah putih.
Secara fisiologis respon tubuh terhadap panas yaitu menyebabkan
pelebaran pembuluh darah, menurunkan kekentalan darah, menurunkan
ketegangan otot, meningkatkan metabolism jaringan dan meningkatkan
permeabilitas kapiler. Respon dari panas ilmiah yang dipergunakan untuk
keperluan terapi pada berbagai kondisi dan keadaan yang terjadi dalam tubuh.
Prinsip kerja kompres hangat dengan menggunakan buli-buli panas yang
dibungkus kain yaitu secara konduksi sehingga terjadi pemindahan panas dari
suatu obyek yang suhunya lebih tinggi ke obyek lain dengan jalan kontak
langsung.
2.4.3 Alat dan Bahan
1. Termometer air dan digital
Digunakan untuk mengukur suhu air hangat yang dimasukkan ke dalam buli-
buli panas dan mengukur permukaan buli-buli panas.
2. Buli-buli panas/WWZ
Digunakan untuk mengompres pada daerah abdomen responden.
3. Stopwatch
Digunakan untuk menghitung waktu pengompresan pada daerah
abdomen
responden selama 30 menit
4. Stetoskop
Digunakan untuk mengkaji peristaltik usus responden.
5. Lembar observasi
Digunakan untuk mencatat jumlah peristaltik responden sebelum dan sesudah
dilakukan intervensi.
6. Check List kompres hangat
Digunakan untuk memastikan kelengkapan intervensi
2.4.4 Prosedur Tindakan
a. Siapkan alat dan bahan
b. Jaga privasi klien
c. Jelaskan prosedur dan tujuan intervensi
d. Auskultasi bising usus klien pada 4 kuadran abdomen dengan stetoskop
selama 1 menit
e. Untuk tindakan kompres hangat dilakukan dengan menggunakan buli-
buli yang dilapisi kain katun dengan suhu 40 o – 43o C selama 30 menit
pada bagian abdomen kiri
f. Kemudian auskultasi ulang bising usus pada 4 kuadran abdomen dengan
stetoskop selama 1 menit

2.5 Kerangka Konseptual

Operasi dengan anastesi general

Peristaltik Usus Faktor yang


memepengaruhi
peristaltik usus:
1. Jenis makanan
atau diet
2. Umur
3. Kesehatan usus
ROM aktif asistif pada Kompres Hangat pada 4. Cairan
pasien post operasi dengan pasien post operasi 5. Anestesia dan
anastesi general dengan anastesi general pembedahan
Keterangan

: Diteliti

: Tidak diteliti

: Ada hubungan

2.6 Hipotesis
Hipotesis H1 :
1. Tidak ada perbedaan hasil diantara pemberian tindakan ROM aktif asistif dan
Kompres hangat dalam mengembalikan fungsi peristaltik usus pasien post
operasi dengan anastesi umum.
2. Pemberian tindakan ROM aktif asistif lebih efektif dibandingkan dengan
Kompres hangat dalam mengembalikan fungsi peristaltik usus pasien post
operasi dengan anastesi umum.
3. Pemberian tindakan Kompres hangat lebih efektif dibandingkan dengan ROM
aktif asistif dalam mengembalikan fungsi peristaltik usus pasien post operasi
dengan anastesi umum.
BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Desain Penelitian

Desain penelitian merupakan rencana penelitian yang disusun sedemikian

rupa sehingga peneliti dapat memperoleh jawaban terhadap pertanyaan penelitian.

Desain penelitian ini menggunakan rancangan penelitian eksperimental (Setiadi,

2013).

Desain penelitian eksperimental yang digunakan adalah quasy

eksperimental design dengan pendekatan pre test-post test dalam dua kelompok

(two group pre test dan post test design). Dikatakan quasy eksperimental design

karena tidak mungkin menggunakan sebagian kelompok subyek untuk

eksperimental dan sebagian tidak. Oleh karena itu, untuk mengatasi kesulitan

dalam menemukan kelompok kontrol dalam penelitian, maka dikembangkan

quasy ekspreimental (Sugiyono, 2017).


Dalam penelitian ini kelompok eksperimental dibagi menjadi dua

perlakuan yaitu kompres hangat dan ROM aktif asistif. Pada kelompok

eksperimental diawali dengan pre-test dan setelah diberi perlakuan dilakukan

pengukuran kembali post-test dan membandingkan hasil akhir dua kelompok

eksperimental.

Tabel 3.1 Tabel Desain Penelitian

Subjek Pra Perlakuan Pasca Tes


K O1 X O2-X
K O1 Y O2-Y

Keterangan :

K : Subyek (Pasien Post op dengan anastesi general)

perlakuan

O1 : auskultasi bising usus sebelum diberi perlakuan

X : Kompres Hangat

Y : ROM aktif

02-X : Pengukuran setelah diberi perlakuan Kompres hangat

02-Y : Pengukuran setelah diberi perlakuan ROM aktif

3.2 Kerangka Kerja


POPULASI
Seluruh pasien post operasi dengan anastesi general di Rumah Sakit
Lavalette Kota Malang dengan jumlah kasus rata-rata 1 bulan
terakhir 174 responden.
SAMPLING
Purposive Sampling

SAMPEL
Sesuai dengan kriteria inklusi.
Sesuai metode Gay yaitu ukuran minimum sample yang dapat diterima berdasarkan pada
penelitian dengan metode eksperimental, minimal 15 subyek per kelompok. Jadi sampel
penelitian diambil dari populasi sebanyak 174 responden menjadi 30 responden

MENGOBSERVASI MENGOBSERVASI

Jumlah peristaltik usus sebelum Jumlah Peristaltik usus sebelum


dilakukan Kompres hangat dilakukan ROM aktif

Responden diberikan tindakan kompres Responden diberikan tindakan ROM


aktif asistif hari pertama post operasi 6
hangat hari pertama post operasi 6 jam
jam

MENGOBSERVASI MENGOBSERVASI

Peristaltik usus sesudah dilakukan Peristaltik usus sebelum dilakukan


kompres hangat ROM aktif

ANALISIS PERBEDAAN

Jumlah Peristaltik usus sebelum dan sesudah dilakukan kompres hangat dan ROM aktif

Uji Statistik yang digunakan adalah Uji Komparatif yaitu Paired T-Test & Indepent T-Test

Penyajian Hasil Penelitian


3.3 Populasi, Sampel, dan Sampling
3.3.1 Populasi

Populasi adalah keseluruhan dari subjek penelitian yang memenuhi kriteria

yang telah ditetapkan (Arikunto, 2006). Populasi merupakan seluruh subjek atau

objek dengan karakteristik tertentu yang akan diteliti [ CITATION AAz03 \l 1033 ].

Jumlah populasi dalam penelitian ini adalah semua pasien post

operasi dengan anastesi umum di Rumah Sakit Lavalette Kota Malang yang

berjumlah 510 orang pasien dalam 3 bulan terakhir pada bulan September-

november tahun 2016. Jumlah populasi dalam penelitian ini didapatkan hasil

rata-rata dalam 1 bulan terdapat 170 populasi.

3.3.2 Sampel

Sampel terdiri dari bagian populasi terjangkau yang dapat dipergunakan

sebagai subjek penelitian melalui sampling (Nursalam, 2011). Sampel dalam

penelititan ini adalah pasien post operasi dengan anastesi general yang memenuhi

kriteria inklusi dan eksklusi di Rumah Sakit Lavalette, Kota Malang.

Dalam menentukan sample, peneliti menggunakan metode menurut Gay

yaitu ukuran minimum sample yang dapat diterima berdasarkan pada penelitian

dengan metode eksperimental, minimal 15 subyek per kelompok. Jadi sampel

penelitian diambil dari populasi sebanyak 174 responden menjadi 30 responden

yang akan dibagi menjadi 2 kelompok menjadi 15 responden kelompok perlakuan

Kompres Hangat dan 15 responden kelompok perlakuan ROM aktif asistif.

3.3.3 Sampling
Sampling adalah proses menyeleksi porsi dari populasi untuk dapat

mewakili populasi (Nursalam, 2011). Teknik pengambilan sampling yang

digunakan dalam penelitian ini adalah nonprobability sampling jenis purposive

sampling yaitu suatu teknik penetapan sampel dengan cara memilih sampel di

antara populasi sesuai dengan yang dikehendaki peneliti (tujuan/masalah

penelitian) (Setiadi, 2013).

3.3.4 Kriteria Inklusi

Kriteria inklusi adalah karakterisitik umum subjek penelitian dari suatu

populasi target yang terjangkau yang akan diteliti. Pertimbangan ilmiah harus

menjadi pedoman dalam menentukan kriteria inklusi (Nursalam,2013).

Kriteria inklusi dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Pasien post operasi dengan general anastesi yang bersedia menjadi

responden

b. Pasien yang tidak mengalami gangguan mobilisasi

c. Pasien yang berumur 20-60 tahun

d. Pasien minimal 6 jam post operasi dengan anastesi general

e. Pasien yang belum terdengar peristaltik usus atau jumlah peristaltik usus <5

x/menit

3.3.5 Kriteria Eksklusi

Kriteria eksklusi adalah kriteria dimana subyek penelitian tidak dapat


mewakili sampel karena tidak memenuhi syarat sampel (Nursalam,2013).

a. Pasien dengan kegawatan atau kondisi khusus yang tidak memungkinkan


dilakukan ROM aktif
b. Pasien dengan gangguan mobilisasi

c. Tidak bersedia menandatangani informed consent

3.4 Variable Penelitian

Variabel adalah perilaku atau karakterisitik yang memberikan nilai beda

terhadap sesuatu (benda, manusia, dan lain-lain) (Nursalam, 2013)

3.4.1 Variabel Bebas (Independent Variable)

Variabel bebas adalah variabel yang nilainya menentukan variabel lain.

Variabel bebas biasanya dimanipulasi, diamati, dan diukur untuk diketahui

hubungannya atau pengaruhnya terhadap variabel lain (Nursalam, 2013). Variabel

bebas dalam penelitian ini adalah Kompres Hangat dan ROM aktif asistif.

3.4.2 Variabel Terikat (Dependent Variable)

Variabel Terikat adalah Variabel yang nilainya ditentukan oleh variabel

lain. Variabel respon akan muncul sebagai akibat dari manipulasi variabel-

variabel lain (Nursalam, 2013). Variabel terikat dalam penelitian ini adalah

jumlah peristaltik usus.

3.5 Definisi Operasional

Definisi operasional adalah definisi berdasarkan karakteristik yang diambil

dari sesuatu yang didefinisikan tersebut, dapat diambil artinya

memungkinkan peneliti untuk melakukan observasi atau pengukuran secara


cermat terhadap suatu objek atau fenomena yang kemudian diulang lagi oleh

orang lain. (Nursalam, 2013).


Tabel 3.2 Definisi Operasional Efektifitas Kompre Hangat dan ROM aktif
Terhadap pemulihan peristaltik usus pada Pasien Post Operasi dengan anastesi general
No Variabel Definisi Parameter Instrumen Skala Hasil Ukur
Data
1 Variabel
Independen
Pemberian kompres dengan buli buli Sesuai SOP  Lembar - -
Kompres hangat didasarkan pada efek Kompres Hangat SOP
hangat terapeutik panas, yaitu mengurangi Poltekkes Kompres
spasme otot, kekakuan dan Kemenekes Hangat
meningkatkan aliran darah sehingga Malang
merangsang peristaltik usus. Untuk
meningkatkan peristaltik, kompres
hangat diberikan di area abdomen.
dengan menggunakan buli-buli yang
dilapisi kain katun dengan suhu 40 o –
43o C selama 30 menit pada bagian
abdomen kiri.

ROM aktif Sesuai SOP ROM  Lembar


Suatu tindakan yang dilakukan pada aktif Poltekkes SOP ROM
responden pasca operasisetelah masa Kemenekes aktif
anastesi hilang dalam bentuk tindakan Malang
pada ekstremitas bawah yaitu ROM
aktif asistif pinggul dan lutut karena
secara anatomi berdekatan dengan
abdomen yang dapat merangsang
peristaltik usus. Sesuai dengan SOP
ROM aktif
2 Variabel
Dependen 59

Jumlah Hasil pengukuran atau penilayan Auskultasi Bising  Stetoskop Tidak normal =
peristaltik peristaltik usus pada responden pasca Usus Normal Apabila frekuensi
usus operasi dengan general anastesia yang Frekuensi  Lembar Bising usus 0 - 4x
dilakukan sebanyak 2x yaitu sebelum Peristaltik Usus observasi permenit
dan sesudah dilakukan kompres hangat = 5-12x/menit Normal = Apabila
dan ROM aktif frekuensi Bising usus
5 – 12x permenit

60
3.6 Tempat dan Waktu Penelitian

3.6.1 Tempat Penelitian

Penelitian dilaksanakan di ruang rawat inap bedah yaitu Rumah

Sakit Lavalette, Kota Malang.

3.6.2 Waktu Penelitian

Pengumpulan data dalam penelitian ini dilaksanakan pada tanggal

12 Februari sampai dengan 12 Maret 2020.

3.7 Instrumen Pengumpulan Data

Instrumen penelitian adalah alat – alat yang akan digunakan

untuk pengumpulan data (Notoatmodjo, 2010). Dalam penelitian ini

instrumen yang digunakan untuk pengumpulan data yaitu standat

operasional prosedur kompres hangat dan ROM aktif, lembar observasi

peristaltik usus, dan lembar wawancara data karakteristik responden.

Observasi dilakukan dengan mengadakan pengamatan secara

langsung kepada responden penelitian untuk mencari perubahan atau hal-

hal yang diteliti sedangkan wawancara dilakukan dengan mewawancarai

langsung responden yang diteliti [ CITATION AAz121 \l 1033 ]. Alat yang

digunakan untuk mengukur/menghitung peristaltik usus adalah dengan

menggunakan stetoskop, selain itu pada lembar pengumpulan data

(instrument) dalam penelitian terdapat 2 lembar yaitu:

1. Instrumen lembar wawancara untuk data karakteristik responden


Data karakteristik responden diperoleh dengan cara wawancara dan

pemeriksaan yang menekankan pada informasi mengenai usia, jenis

kelamin, alamat, pendidikan, pengalaman operasi, diagnosa medis, dan

jenis obat anastesi (terlampir).

2. Instrumen lembar observasi untuk pencatatan hasil observasi

Lembar observasi digunakan untuk mencatat hasil: jumlah bising

usus dalam 1 menit.

3.8 Langkah – langkah penelitian

Pengumpulan data merupakan kegiatan mengumpulkan data yang

diperlukan dalam suatu penelitian [ CITATION AAz121 \l 1033 ] . Teknik

pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan wawancara

dan observasi. Teknik wawancara yang digunakan bertujuan untuk memperoleh

informasi tentang data dasar/identitas responden, sedangkan metode observasi

digunakan untuk mengamati secara langsung kepada responden tentang

pemulihan peristaltik usus post operasi dengan anastei general.

Langkah-langkah yang dilakukan dalam pengumpulan data:

1. Tahap Persiapan

a. Peneliti mengurus ethical approval recommendation kepada komisi

etik Poltekkes Kemenkes Malang sampai sertifikat kelayakan etik

diterbitkan.

b. Peneliti mengurus surat ijin dari institusi dengan membawa hardcopy

proposal dan bukti telah melaksanakan etik dari Komisi etik


Poltekkes Malang untuk penelitian yang ditujukan pada ruang bedah

Rumah Sakit Lavalette, Malang kota.

c. Melakukan studi pendahuluan tentang penelitian yang akan dilakukan

d. Peneliti mengurus surat persetujuan penelitian di Rumah Sakit

Lavalette, Malang kota dengan membawa hardcopy proposal dan surat

ijin dari institusi yang ditujukan kepada pihak ruang bedah Rumah

Sakit Lavalette, Malang kota.

2. Tahap Pelaksanaan

Prosedur penelitian yang dilakukan peneliti adalah sebagai berikut:

a. Peneliti menentukan sampel yang menjadi subjek penelitian, yaitu

responden yang sesuai dengan kriteria inklusi.

b. Setelah memilih responden yang sesuai dengan kriteria inklusi,

peneliti, menjelaskan maksud dan tujuan pengambilan data, serta

meminta persetujuan menjadi responden dengan memberikan lembar

informed consent.

c. Melakukan wawancara untuk pengambilan data umum kepada

responden penelitian dan memberikan KIE tindakan kompres hangat

dan ROM aktif asistif kepada responden dengan menjelaskan prosedur

saat berada di ruang pre medikasi.

d. Melakukan pengkajian pada buku status responden untuk

mengambil data tentang identitas responden dan laporan operasi

e. Melakukan pengambilan data dengan melakukan intervensi yaitu

terlebih dahulu peneliti melihat waktu paruh terapi analgesik sudah

selesai (jam ke-6), setelah itu melakukan penghitungan jumlah


peristaltik usus selama 1 menit pada 4 regio abdomen sebelum

diberikan Kompres hangat dan ROM aktif. Selanjutnya peneliti

memberikan Kompres hangat selama 30 menit pada abdomen kiri

dengan dengan menggunakan buli-buli yang dilapisi kain katun

dengan suhu 40o – 43o C dan ROM aktif selama 10-15 menit yang

berfokus pada pinggang dan ekstremitas bawah. Setelah itu, 5 menit

sesudah pemberian Kompres hangat dan ROM aktif, peneliti

melakukan pengukuran ulang jumlah peristaltik usus. Hasil

pengukuran didokumentasikan pada lembar observasi. Intervensi

mulai dilakukan 6 jam post operasi dan ketika waktu paruh terapi

analgesik selesai.

f. Pengukuran pada hari ke 2 sampai hari ke 3 dilakukan sesuai poin e.

3. Tahap Pengolahan Data

Pengolahan data merupakan tindakan memperoleh data dalam

bentuk raw data atau data mentah kemudian diolah menjadi informasi

yang dibutuhkan oleh peneliti [CITATION Set07 \t \l 1033 ]. Teknik dalam

mengolah data adalah sebagai berikut:

a. Editing (Editing Data)

Editing adalah memeriksa daftar pertanyaan yang telah diserahkan

oleh peneliti. Data lapangan yang ada dalam lembar observasi dan

wawancara perlu dicek kembali oleh peneliti untuk melihat kelengkapan

pengisian data, melihat kelogisan jawaban dari responden.

b. Coding (Memberi Tanda Koding)


Coding adalah mengklarifikasikan jawaban-jawaban dari responden

ke dalam bentuk angka/bilangan [ CITATION Set13 \l 1033 ]. Lembar

observasi yang telah melalui tahap editing selanjutnya dilakukan

pengkodean dengan cara mengklasifikasikan jawaban dengan memberi

kode pada masing-masing jawaban.

c. Processing/Entry (Pemasukan Data)

Processing/Entry adalah proses memasukkan data ke dalam tabel

dengan cara menghitung frekuensi data. Data yang diolah dalam SPSS

16.0 merupakan data rerata jumlah peristaltik usus sebelum kompres

hangat dan ROM aktif (pre test) dan rerata jumlah peristaltik usus setelah

pemberian kompres hangat dan ROM aktif (post test).

d. Cleaning (Pembersihan Data)

Cleaning adalah pembersihan data untuk melihat apakah data sudah

benar atau belum. Pembersihan data dilakukan setelah data seluruhnya

berhasil dimasukkan ke dalam SPSS.

3.9 Analisa Data

analisis data merupakan pengumpulan data dari seluruh

responden yang dikumpulkan. Teknik analisa data dalam penelitian

analitik menggunakan uji statistik (Sugiyono, 2012) Data yang terkumpul

dianalisa secara sistematis dan disajikan dalam bentuk tabel. Langkah

berikutnya adalah mengadakan hipotesa untuk mengetahui perbedaan

peristaltik usus sebelum dan sesudah kompres hangat dan ROM aktif pada

pasien post operasi dengan anastesi general.


3.9.1 Analisa Univariat

Analisis univariat merupakan analisis statistik deskriptif dari

variabel penelitian. Dalam analisis deskriptif digunakan untuk

menggambarkan dan meringkas data secara ilmiah dalam bentuk tabel atau

grafik [ CITATION Nur11 \l 1033 ].

Adapun analisa data dalam penelitian ini dilakukan dengan cara

yaitu menghitung jumlah skor pada data khusus. Pada data khusus, data

observasi mengenai jumlah peristaltik usus sebelum dan sesudah kompres

hangat dan ROM aktif. Kemudian dijumlah dan dirata-rata menggunakan

rumus mean berikut ini:

X 1+ X 2 +⋯+ X n ∑ X
X= =
n n
Keterangan:
X : Rata-rata hitung
∑X : Jumlah semua nilai data
n : Banyaknya nilai data

Kemudian rata-rata pengukuran jumlah peristaltik usus dibandingkan

sebelum dan sesudah kompres hangat dan ROM aktif untuk melihat hasil

perkembangan. Cara untuk melakukan interpretasi mengikuti ketentuan sebagai

berikut :

Tidak normal = Apabila frekuensi Bising usus 0 - 4x permenit (nilai = 0)

Normal = Apabila frekuensi Bising usus 5 – 12x permenit (nilai =1)


Pada data umum yaitu usia, pendidikan dan riwayat operasi seksio

sesarea data dapat diolah dengan menggunakan analisis prosentase dengan rumus

sebagai berikut:
P = F x 100%

Keterangan:
P : Prosentase
F : Jumlah kategori jawaban
N : Jumlah responden
Kemudian, cara untuk melakukan interpretasi mengikuti ketentuan sebagai
berikut:
100% : seluruhnya
76-99% : hampir seluruhnya
51-75% : sebagian besar
50% : setengahnya
25-49% : hampir setengahnya
1-24% : sebagian kecil
0% : tidak satupun

3.9.2 Analisa Bivariat

Analisis bivariat adalah analisa yang dilakukan terhadap dua variabel yang
diduga ada hubungan atau korelasi ( Notoatmodjo,2010). Analisa bivariat ini
berfungsi untuk mengetahui efektivitas pemberian kompres hangat dan mobilisasi
dini pada pemulihan kandung kemih. Sebelum memnentukan jenis analisis
bivariat yang digunakan, dilakukan uji homogenitas dengan menggunakan Test of
Normality Kolmogorov – Smirnov. Hasil uji homogenitas untuk mengetahui ada
atau tidaknya perbedaan yang bermakna antara kelompok perlakuan I dengan
Kelompok perlakuan II berdasarkan karakteristik responden. Uji statistik yang
digunakan dalam penelitian ini jika data berdistribusi normal maka menggunakan
uji analisis uji independent Sample t-Test, jika data tidak berdistribusi normal
maka menggunakan Wilcoxon rank-sum Test atau Wilcoxom Mann Whitney Test .
pada uji Kolmogrov Smirnov ( K-S) dan didapatkan data hasil uji K-S adalah tidak
homogen, sehingga uji statistik yang digunakan adalah Non-Parametric test Mann
Whitney untuk mengetahui efektivitas antara dua kelompok sampel yaitu
kelompok yang dilakukan kompres hangat dengan kelompok yang dilakukan
mobilisasi dini.
Untuk taraf signifikasi menggunakan 0,05 dengan pengambilan keputusan
jika signifijasi > 0.05 Ho diterima yang artinya tidak ada pengaruh kompres
hangat dan ROM aktif asistif terhadap pemulihan peristaltik usus pasien post
operasi dengan anastesi general, dan apabila nilai signifikasi ≤ 0,05 maka Ho
ditolak yang artinya ada pengaruh kompres hangat dan ROM aktif asistif terhadap
pemulihan peristaltik usus pasien post operasi dengan anastesi general.
( Sugiyono,2012).

3.10 Penyajian Data

Data statistik perlu disajikan dalam bentuk yang mudah dibaca dan

dimengerti. Tujuannnya adalah agar informasi hasil analisis yang

diberikan mudah dimengerti [CITATION Set07 \t \l 1033 ]. Hasil analisa data

dalam penelitin ini akan disajikan dalam bentuk diagram lingkaran (pie)

untuk menyajikan karakteristik responden berdasarkan data demografinya

atau data umum, seperti: usia, pendidikan, pengalaman operasi

sebelumnya.

3.11 Etika Penelitian


Pada penelitian ilmu keperawatan, karena hampir 90% subjek yang

dipergunakan adalah manusia, maka peneliti harus memahami prinsip-prinsip

etika penelitian [ CITATION Nur11 \l 1033 ].

Etika penelitian menurut Nursalam (2016) dapat dibedakan menjadi

tiga bagian yaitu sebagai berkut:

a. Prinsip manfaat

1) Bebas dari penderitaan

Penelitian harus dilaksanakan tanpa mengakibatkan penderitaan kepada subjek,

khususnya jika menggunakan tindakan khusus

2) Bebas dari eksploitasi

Partisipasi subjek dalam penelitian, harus dihindarkan dari keadaan yang

tidak menguntungkan. Subjek harus diyakin kan bahwa partisipasinya dalam

penelitian atau informasi yang telah diberikan, tidak akan dipergunakan dalam

hal-hal yang dapat merugikan subjek dalam bentuk apapun.

3) Risiko (Benefit Ratio)

Peneliti harus hati-hati mempertimbangkan risiko dan keuntungan yang akan

berakibat kepada subjek pada setiap tindakan

b. Prinsip menghargai ha asasi manusia (respect human dignity)

1) Hak untuk ikut/tidak menjadi responden (right to self determination)

Responden mempunyai hak memutuskan apakah mereka bersedia menjadi

subjek ataupun tidak, tanpa adanya sangsi apapun atau akan berakibat terhadap

kesembuhannya.

2) Informed Consent
Peneliti memberikan tujuan dari penelitian yang dilaukan dengan benar tanpa

memaksa resonden

3) Subjek harus mendapatkan informasi secara lengkap tentang tujuan

penelitian yang akan dilaksanakan, mempunyai hak untuk bebas

berpartisipasi atau menolak mnjadi responden.

c. Prinsip keadilan (right to justice)

1) Hak untuk mendapatkan pengobatan yang adil (right in fair treatment)

Subjek harus diperlakukan secara adil baik sebelum, selama dan sesudah

keikut sertannya dalam penelitian tanpa adanya diskiminasi apabila ternyata

mereka tidak bersedia atau dikeluarkan dari penelitian.

2) Hak dijaga kerahasiaannya (right to privacy)

Subjek mempunyai hak untuk memninta bahwa data yang diberikan harus

dirahasiakan, untuk itu perlu adanya tanpa nama (anonymity) dan rahasia

(confidentiality).
DAFTAR PUSTAKA

Alimul, A. A. 2003. Riset Keperawatan & Teknik Penulisan Ilmiah. Jakarta:


Salemba Medika

Arikunto, S. 2006. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik (Edisi Revisi


IV). Jakarta: PT Asdi Mahasatya

Asmadi. 2008. Teknik Prosedural Keperawatan Konsep dan Aplikasi Kebutuhan


Dasar Klien. Jakarta: Salemba Medika

Bandiyah, Siti. (2013). Keterampilan Dasar Dalam keperawatan (KDDK).


Yogyakarta: Nuha Medika

Bararah, V.F. 2010. Pentingnya Kentut Setelah Operasi


(http://health.detik.com/pentingnya-kentut-setelah-operasi/) Diakses pada 23
Januari 2019
Barbara. C. Long. (2009). Perawatan Medikal Bedah 2. Bandung: Yayasan Ikatan
Alumni Pendidikan Keperawatan.

Brunner & Suddarth. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta:
EGC.

Debora, Oda. 2011. Proses Keperawatan dan Pemeriksaan Fisik. Jakarta:


Salemba Medika.

Gacoin, A., Camus, C., Gros A, Isslame, S., Lavoue, S., Chimot, L., Donnio, P.Y.,
& Le Tulzo, Y. (2010). In long term ventilated patients: associated factors
and impact on intensive care unit outcomes. Crit care med, 38(10), 1933-8.

Ganong, F. 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta: EGC.

Grace, P.A & Borley, N.R. 2006. At a Glance Ilmu Bedah, E/3. Jakarta: Erlangga.

Gruendemann, B.J & Fernsebner, B. 2005. Keperawatan Perioperatif. Jakarta:


EGC.

Hidayat & Uliyah. 2009. Pengantar Kebutuhan Dasar Manusia. Jakarta: Salemba
Medika.

Kozier, et al., 2009. Fundamentals Of Nursing. California: Addison-Wesly.

Kozier, et al., 2011. Fundamentals Of Nursing. California: Addison-Wesly.

Lamas, K. (2011). Using Massage To Ease Constipation.


http://search.proquest.com/docview/1038834599/77B075B808A84C62PQ/1
?accountid=62691 pada tanggal 22 November 2015

Latief, A.S. 2002. Petunjuk Praktis Anestesiologi. Jakarta: FK UI.

Long, BC 2002, Praktek Perawatan Medikal Bedah, Ikatan Alumni


Pendidikan Keperawatan Universitas Padjajaran, Bandung

Mangku & Senapathi, 2010. Buku Ajar Ilmu Anestesi dan Reanimasi. Jakarta: PT.
Indeks.
Mansjoer, A. 2000. Kapita Selekta Kedokteran Edisi Ketiga Jilid 2. Jakarta:
Medika Aesculapius.

Mubarak, W.I. 2015. Buku Ajar Ilmu Keperawatan Dasar. Jakarta: Salemba
Medika

Notoatmojdo, S. 2010. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta

Nursalam, 2009. Konsep dan Penerapan Metodelogi Penelitian Ilmu


Keperawatan. Jakarta : Salemba Medika.

Potter, P.A & perry, A.G. 2006. Buku Ajar Fundamental Keperawatan : Konsep,
Proses dan Praktik. Edisi 4. Vol 2. Jakarta: EGC

Potter, P.A & perry, A.G. 2010. Fundamental Keperawatan E/7. Jakarta: EGC.

Pramono, H 2010, Pengaruh kompres hangat terhadap waktu flatus pada pasien
post operasi sectio caesarea dengan anestesi spinal di RSUD Kraton
Pekalongan, Skripsi S.Kep, Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan
Muhammadiyah Pekajangan Pekalongan

Sasmito, N. (2011). Pengaruh Kompres Hangat Terhadap Motilitas Usus


Pasien Pasca Pembedahan Fraktur Eksremitas Bawah Dengan Anestesi
Blok Subaraknoid Di Ruang Sadar Pulih Rsud Sidoarjo. (online),
(http://old.fk.ub.ac.id/artikel/id/filedownload/keperawatan/Majalah
%20nanang%20Bagus%20Samito.pdf, diakses 15 Oktober 2013)

Setiadi, 2013. Konsep dan Penulisan Riset Keperawatan. Yogyakarta: Graha


Ilmu

Sinclair, C. 2010. Buku Saku Kebidanan. Jakarta: EGC

sjamsuhidajat, et al. 2010. Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta: EGC.

Smeltzer, S.C & Bare, B.G. 2002. Buku Ajar Medikal Bedah Edisi 8 Volume 2,
Alih Bahasa Kuncara, H.Y, Dkk. Jakarta: EGC

Sugiyono. 2017. Statistika Untuk Penelitian. Bandung: Alfabeta.


Suratun et al. 2008. Seri Asuhan Keperawatan Klien Gangguan Sistem
Muskuloskeletal. Jakarta: EGC

Tamsuri, Anas 2006, Konsep dan Penatalaksanaan Nyeri, EGC, Jakarta

widianto, 2008. Pemulihan Dan Peningkatan Kualitas Hidup Pascaoperasi.


(online). http://rsa.ugm.ac.id/2014/12/ Pemulihan-Dan-Peningkatan-
Kualitas-Hidup-Pascaoperasi/) diakses pada 23 Januari 2019.

Wiyono, Narko. (2006). Pengaruh Pedoman Ambulasi Dini Terhadap Kecepatan


Pemulihan Peristaltik Usus Pasien Paska Operasi Fraktur Femur dengan
Anastesi Umum.

Anda mungkin juga menyukai