PENDAHULUAN
Salah satu keluhan yang sering muncul setelah pasien melakukan operasi
dengan anastesi umum adalah mual muntah pasca operasi atau lebih sering disebut
dengan Post Operative Nausea and Vomiting (PONV). Di inggris insiden PONV
mencapai 30% dan sering terjadi selama masa pemulihan kesadaran pasien setelah
operasi di ruang pemulihan dan setelah meninggalkan ruang pemulihan (Dexa
media, 2004, dikutip dari Wiyono, 2008) timbulnya mual muntah bergantung
pada interaksi antara chemoreceptor trigger zone (CTZ) dan pusat muntah. CTZ
yang terletak di postrema ventrikel keempat, bersifat vascular, dan tidak memiliki
sawar darah-otak. Tidak adanya selektivitas ini menyebabkan sel-selnya dapat
diaktifkan oleh stimulant kimiawi di dalam darah atau di cairan cerebrospinalis.
Daerah CTZ menimbulkan muntah dengan memberi sinyal ke pusat muntah yang
terletak di bentukan retikularis lateral medulla. (gruendemann & fernsebner, 2005)
Masalah lain yang sering muncul pada pasien post operasi adalah pasien
sering mengeluh karena menunggu terlalu lama untuk dapat makan dan minum.
Kebiasaan menghitung dan memperkirakan pemulihan peristaltik usus setelah
operasi berdasarkan waktu 3 jam setelah operasi, tidak memeriksa secara langsung
dengan auskultasi peristaltik usus pasien (wiyono, 2008) pemeriksaan peristaltik
usus pasien secara langsung ini sangat penting untuk memastikan pemulihan
kondisi peristaltik usus sudah bekerja secara normal, karena jika auskultasi ini
tidak dilakukan secara langsung dan jika seorang pasien yang belum pulih
peristaltik ususnya langsung diberikan asupan nutrisi maka pasien dapat
menderita ileus/ obstruksi usus (gangguan pada usus) (windiarto, 2008)
Selain dengan melakukan ROM aktif asistif, metode lain yang dapat
digunakan untuk mempercepat pemulihan peristaltik usus adalah dengan
menggunakan kompres hangat.
(Tamsuri, 2007) mengemukakan bahwa suhu hangat pada pasien dewasa
yang tidak sadar karena pengaruh anestesi adalah 40,5-46,0C. Pada rentang
suhu ini dapat mengembangkan gas dan merangsang peristaltik usus,
sehingga mengakibatkan perbedaan tekanan antara ruang intra abdomen
dengan usus (Long, 2002). Apabila suhu yang diaplikasikan terlalu tinggi
akan menimbulakan rasa tidak nyaman, rasa terbakar dan kurang
memberikan efek penurunan nyeri pada klien. Metode penggunaan kompres
hangat dapat dilakukan dengan menggunakan handuk atau waslap yang
dicelupkan kedalam air hangat dan diletakkan pada bagian tubuh. Selain itu juga
bisa menggunakan kantong atau buli-buli panas. Metode dengan menggunakan
buli-buli panas sering digunakan karena dirasa aman (Tamsuri, 2007).
1.2.2 mengapa harus dilakukan tindakan kompres hangat dan ROM aktif
asistif pada pasien post operasi dengan anastesi umum?
1.4.1 Teoritis
1.4.2 Praktis
TINJAUAN PUSTAKA
Istilah Anastesi dimunculkan pertama kali oleh Holmes yang artinya tidak
ada rasa nyeri. Pada dasarnya anastesi ini diberikan pada prosedur pembedahan
adalah untuk mengurangi atau bahkan untuk menghilangkan rasa nyeri, baik
disertai atau tidak hilangnya kesadaran, tindakan tersebut dimaksudkan agar
pasien tidak merasakan nyeri sehingga tidak menimbulkan penderitaan bagi
manusia.
Menurut Grace & Borley (2006) Anastesi umum memiliki tujuan sebagai berikut:
1. Anastesia Inhalasi
Anastesi inhalasi bentuk dasarnya berupa gas (N2O) atau larutan yang
diuapkan dengan menggunakan mesin anastesia, masuk ke dalam sirkulasi
sistemik melalui sistem pernafasan, yaitu secara difusi di alveoli. Sistem aliran gas
dalam sistem pernafasan dikelompokkan menjadi sistem terbuka, setengah
terbuka, atau tertutup. Kriteria pengelompokan ini didasarkan pada ada tidaknya
proses rebreathing, yaitu penghirupan kembali udara ekhalasi, penyerap
(absorber) CO2 dalam sirkuit pernafasan mesin anastesia.
a. Eter
eter menghasilkan efek analgesia dan relaksasi otot yang baik dengan batas
keamanan yang lebar jika dibandingkan dengan obat inhalasi lain. Namun eter
jarang digunakan karena baunya yang menyengat, merangsang hiperekskresi, dan
menyebabkan mual dan muntah akibat rangsangan lambung maupun efek sentral.
Teknik pemberian eter ini cukup mudah yaitu dapat menggunakan sungkup
terbuka (open drop method), dan ditangan ahli anastesia yang berpengalaman,
efek samping penggunaan eter dapat diminimalkan. Eter tidak dianjurkan untuk
diberikan pada penderita trauma kepala dan keadaan peningkatantekanan
intracranial karenadapat menyebabkandilatasi pembuluh darah otak.
b. Halotan
Bentuk dari Halotan adalah cairan tidak berwarna, berbentuk gas yang
berbau enak. Induksinya mudah dan cepat sehingga menjadi pilihan utama induksi
anastesia pasien bayi dan anak. Selain itu, Halotan merupakan obat anastetik
dengan kekuatan 4-5 kali eter (Mansjoer, 2000) efek analgesic halotan lemah
tetapi relaksasi otot polos yang ditimbulkannya baik/ penurunan peristaltik usus.
Non iritasi terhadap saluran pernafasan dan menghasilkan mual muntah yang
minimal pascaoperasi (Wijaya, 2008)
c. Enfluran
Bentuk dasarnya adalah cairan tidak berwarna dengan bau menyerupai bau
eter. Enfluran tidak bersifat iritan bagi jala nafas, dan tidak menyebabkan
hiperekskresi kelenjar ludah dan bronkial.
d. isofluran
isofluran berbentuk cairan tidak berwarna dengan bau yang tidak enak.
Efeknya terhadap pernafasan dan sirkulasi kurang lebih sama dengan halotan dan
enfluran. Perbedaannya adalah bahwa pada konsentrasi rendah, isofluran tidak
menyebabkan perubahan aliran darah ke otak asalkan penderita dalam kondisi
normokapnia, sedangkan halotan dan enfluran menyebabkan vasodilatasi dan
meningkatkan aliran darah ke otak.
e. sevofluran
2. Anastesi Parenteral
a. Propofol
b. Benzodiazepin
Dampak dari Anastesi umum menurut Barba C Long, 1996 antara lain:
2. Cekungan (hiccup)
3. Anfiksia
5. Hipotermi
7. Bronkospasme
8. Asidosis
9. Syok
10. Hipotensi
- untuk tindakan yang sangat singkat 30 menit sampai 1 jam tetap membuka
rongga perut
- operasi lama
4. Ekstubasi
Peristaltik usus adalah gerakan kontraksi dan relaksasi otot, bahasa yang
lebih umum yaitu proses pengencangan dan pengendoran otot. Peristaltik usus
lebih akrab ditandai dengan buang angina atau flatus. (susanto, 2008)
seperti yang kita ketahui bahwa proses pencernaan dimulai saat makanan
masuk kedalam mulut dan berakhir di usus kecil walaupun cairan akan
melanjutkannya sampai direabsorbsi di kolon. Fisiologi pencernaan itu sendiri
terdiri dari:
1. Usus Kecil
c. ileum
Fungsi utama usus halus adalah mencampur dan mendorong kimus. Gerakan
segmental usus halus dalam gerakan peristaltik mendorong kimus, serta sebagai
tempat mengabsorpsi maksimal zat-zat gizi. (waluran sehat, 2008)
Pada kolon manusia dewasa panjangnya kurang lebih mencapai 125-150 cm atau
50-60 inc terdiri dari:
Yaitu gerakan mencampur dan mendorong feces kearah anus, peristaltik usus
paling lama 15 menit selama jam pertama setelah beberapa kali/hari makan pagi.
(Waluran sehat, 2008)
3. Anus/ Anal
Fisiologi Defekasi:
Defekasi pengeluaran feces dari anus dan rectum, hal ini juga disebut bowel
movement. Frekuensi defekasi pada setiap orang sangat bervariasi dan beberapa
kali perhari sampai 2 – 3 kali perminggu.
Menurut potter & perry (2010) salah satu faktor yang mempengaruhi peristaltik
usus adalah:
1. pembedahan
2. Anastesi
3. Obat-obatan
pada saat peristaltik belum pulih maka pasien belum dianjurkan untuk
makan dan minum, karena dikhawatirkan usus belum mampu bekerja normal
sehingga memungkinkan terjadinya penyumbatan saat makanan tersebut melewati
usus. Tetapi sebaliknya jika peristaltik sudah pulih yang ditandai dengan adanya
bising usus dan flatus maka pasien diperbolehkan untuk mengakhiri puasanya dan
dapat segera memulai pemenuhan kebutuhan nutrisi secara bertahap untuk
mempercepat penyembuhan luka pasca pembedahan. (Bararah,2010)
Range Of Motion (ROM) adalah gerakan yang dalam keadaan normal dapat
dilakukan oleh sendi yang bersangkutan (Suratun, 2008). Range Of Motion
(ROM) merupakan istilah baku untuk menyatakan batas/ besarnya gerakan sendi
baik dan normal serta untuk menyatakan batas gerakan sendi yang abnormal
(Helmi, 2012). Latihan rentang gerak merupakan jumlah maksimal gerakan yang
mungkin dilakukan pada potongan tubuh yaitu, sagitalis, frontal, transversal
(Asmadi, 2008). Sedangkan menurut Potter & Perry (2006), latihan Range Of
Motion (ROM) adalah latihan yang dilakukan untuk mempertahankan atau
memperbaiki tingkat kesempurnaan kemampuan menggerakkan persendian secara
normal dan lengkap untuk meningkatkan massa dan tonus otot.
a) ROM harus diulang sekitar delapan kali dan dikerjakan minimal dua kalo
sehari.
b) ROM dilakukan perlahan dan hati-hati sehingga tidak melelahkan pasien
c) Dalam merencanakan program latihan ROM, memperlihatkan umur
pasien, diagnosa, tanda vital, dan lamanya tirah baring.
d) ROM sering diprogramkan oleh dokter dan dikerjakan oleh ahli fisioterapi.
e) Bagian-bagian tubuh yang dapat dilakukan adalah leher, jari, lengan, siku,
bahu, tumit, atau pergelangan kaki.
f) ROM dapat dilakukan pada semua persendian yang dicurigai mengurangi
proses penyakit.
g) Melakukan ROM harus sesuai waktunya, misalnya setelah mandi atau
perawatan rutin telah dilakukan.
Hidayat (2009) mengatakan, indikas dilakukan latihan ROM aktif dan pasif
yaitu pasien dengan mobilitas sendi yang terbatas karena penyakit, disabilitas,
atau trauma untuk mengurangi bahaya immobilitas. Latihan tersebut dilakukan
untuk memelihara dan mempertahankan sirkulasi darah dan kekuatan otot serta
memlihara mobilitas persendian.
Masalah fisik yang dapat terjadi jika tidak dilakukkanya ROM atau mobilisasi
pada sistem musculoskeletal adalah sebagai berikut (Hidayat, 2009) :
a) Atrofi otot
Otot yang tidak dipergunakan dalam waktu yang lama akan kehilangan
sebagian besar kekuatan dan fungsi normalnya. Ini terjadi karena pasokan
nutrisi pada otot tidak memadai karena adanya gangguan sirkulasi darah.
b) Osteoporosis
Tanpa adanya aktivitas yang memberi beban pada tulang, tulang akan
mengalami demineralisasi (osteoporosis). Proses ini menyebabkan tulang
kehilanan kekuatan dan kepadatannya sehingga tulang menjadi keropos
dan mudah patah.
c) Kontraktur
Pada kondisi imobilisasi, serabut otot tidak mampu memendek atau
memanjang. Lama kelamaan, kondisi ini akan menyebabkan kontraktur
(pemendekan otot permanen). Proses ini sering mengenai sendi, tendon,
dan ligamen.
d) Kekakuan dan nyeri sendi
Pada kondisi imobilisasi, jaringan kolagen pada sendi dapat mengalami
ankilosa. Selain itu, tulang juga akan mengalami demineralisasi yang akan
menyebabkan akumulasi kalsium pada sendi yang dapat mengakibatkan
kekakuan dan nyeri pada sendi.
ROM aktif latihan gerak isotonic (terjadi kontraksi dan pergerakan otot)
yang dilakukan klien dengan menggerakkan masing-masing persendiannya sesuai
dengan rentang geraknya yang normal. Sedangkan ROM pasif merupakan latihan
pergerakan perawat atau petugas lain yang menggerakkan persendian klien sesuai
dengan rentang geraknya (Kusyati Eni, 2006).
a) Latihan Bahu
1) Abduksi bahu. Gerakan lengan dari sisi tubuh kearah kepala. Kemudian
kembalikan lengan ke sisi tubuh posisi netral (adduksi).
2) Rotasi internal bahu. Dengan lengan pada ketinggian bahu, siku ditekuk
pada sudut 90 derajat, dan telapak tangan mengarah ke kaki, putar lengan
atas hingga telapak dan lengan bawah menghadap kea rah belakang.
3) Rotasi eksternal bahu. Dengan lengan setinggi bahu, siku ditekuk dengan
sudut 90 derajat, dan telapak tangan mengarah ke kaki, putar lengan atas
hingga telapak dan lengan atas mengarah kedepan.
4) Fleksi bahu ke arah atas. Gerakkan lengan ke arah atas dan bawah hingga
lengan sejajar dengan kepala.
b) Latihan Lengan Bawah
1) Pronensi lengan bawah. Dengan siku setinggi pinggang dan ditekuk
dengan sudut 90 derajat, balik lengan sehingga telapak tangan menghadap
bawah.
2) Supinasi lengan bawah. Dengan siku setinggi pinggang dan lengan ditekuk
pada sudut 90 derajat , putar lengan sehingga telapak tangan menghadap
ke atas.
3) Fleksi siku. Tekuk siku, arahkan lengan bawah dan tangan kea rah bahu.
Kemudian kembalikan lengan bawah dan tangan ke posisi netral (lengan
lurus).
c) Latihan Pergelangan dan Jari Tangan
1) Ekstensi pergelangan tangan
2) Fleksi pergelangan tangan. Tekuk pergelangan tanagnsehingga telapak
tangan mengarah lengan bawah. Luruskan ke posisi netral
3) Deviasi ulnar. Gerakkan tangan kea rah samping sisi lengan yang sejajar
dengan letak jari kelingking gerakkan kearah lengan bawah
4) Deviasi radial. Gerakkan tangan kearah samping sehingga bagian lengan
yang sejajar dengan letak ibujari digerakkan kearah lengan bawah.
5) Oposisi ibu jari. Gerakkan ibu jari keluar dan memutar hingga menyentuh
jari kelingking.
6) Ekstensi jari-jari.
d) Latihan Panggul
1) Abduksi-adduksi panggul. Gerakkan tungkai kea rah luar dari tubuh
dengan rentang derajat 30-5-. Kembalikan ke posisi semula.
2) Fleksi lutut dan rotasi internal eksternal panggul. Tekuk lutut dan putar
tungkai dengan gerakan kedalaman luar 90 derajat.
3) Untuk meregangkan otot-otot hamstring, luruskan tungkai.
e) Latihan kaki
1) Dorsofleksi kaki, gerakkan kaki ke atas dan kearah tungkai 20-20 derajat.
Kemudian gerakkan kaki ke bawah dan menjauh dari tungkai 45-50
derajat, (fleksi plantar)
2) Inversi dan eversi kaki. Gerakkan sehingga telapak kaki menghadap keluar
(eversi). Kemudian gerakkan kaki sehingga telapak kaki menghadap ke
dalam (inversi) rentang derajat kurang dari 10 derajat.
3) Fleksi ibu jari kaki. Tekuk ibu jari kaki ke arah bawah 30-60 derajat.
4) Ekstensi ibu jari kaki, luruskan ibu jari kaki dan tarik kea rah tungkai
sejauh mungkin kurang lebih 30-60 derajat.
5) Abduksi ibu jari kaki, merenggangkan jari-jari kaki satu dengan yang lain
dengan rentang derajat kurang dari 15 derajat.
6) Adduksi iu jari kaki, merapatkan kembali bersama-sama dengan rentang
derajat kurang dari 15 derajat.
DAFTAR PUSTAKA
Brunner & Suddarth. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta:
EGC.
Grace, P.A & Borley, N.R. 2006. At a Glance Ilmu Bedah, E/3. Jakarta: Erlangga.
Hidayat & Uliyah. 2009. Pengantar Kebutuhan Dasar Manusia. Jakarta: Salemba
Medika.
Mangku & Senapathi, 2010. Buku Ajar Ilmu Anestesi dan Reanimasi. Jakarta: PT.
Indeks.
Mubarak, W.I. 2015. Buku Ajar Ilmu Keperawatan Dasar. Jakarta: Salemba
Medika
Potter, P.A & perry, A.G. 2006. Buku Ajar Fundamental Keperawatan : Konsep,
Proses dan Praktik. Edisi 4. Vol 2. Jakarta: EGC
Potter, P.A & perry, A.G. 2010. Fundamental Keperawatan E/7. Jakarta: EGC.
Pramono, H 2010, Pengaruh kompres hangat terhadap waktu flatus pada pasien
post operasi sectio caesarea dengan anestesi spinal di RSUD Kraton
Pekalongan, Skripsi S.Kep, Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan
Muhammadiyah Pekajangan Pekalongan
Smeltzer, S.C & Bare, B.G. 2002. Buku Ajar Medikal Bedah Edisi 8 Volume 2,
Alih Bahasa Kuncara, H.Y, Dkk. Jakarta: EGC