BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Benign Prostatic Hyperplasia (BPH) atau dalam bahasa umumnya dinyatakan sebagai
pembesaran prostat jinak (PPJ), merupakan suatu penyakit yang biasa terjadi. Ini di lihat dari
frekuensi terjadinya BPH di dunia, di Amerik secara umum dan di Indonesia secara
khususnya. Di dunia, diperkirakan bilangan penderita BPH adalah seramai 30 juta, bilangan
ini hanya pada kaum pria kerana wanita tidak mempunyai kalenjar prostat, maka oleh sebab
itu, BPH terjadi hanya pada kaum pria (emedicine,2009).
Jika dilihat secara epidemiologinya, di dunia, dan kita jaraskan menurut usia, maka
dapat di lihat kadar insidensi BPH, pada usia 40-an, kemungkinan seseorang itu menderita
penyakit ini adalah sebesar 40%, dan setelah meningkatnya usia, yakni dalam rentang usia 60
hingga 70 tahun, persentasenya meningkat menjadi 50% dan diatas 70 tahun, persen untuk
mendapatkannya bisa sehingga 90% (A.K. Abbas, 2005). Akan tetapi, jika di lihat secara
histologi penyakit BPH, secara umum membabitkan 20% pria pada usia 40-an, dan
meningkat secara dramatis pada pria berusia 60-an, dan 90% pada usia 70 . Di indonesia,
penyakit pembesaran prostat jinak menjadi urutan kedua setelah penyakit batu saluran kemih,
dan jika dilihat secara umumnya, diperkirakan hampir 50 persen pria Indonesia yang berusia
di atas 50 tahun, dengan kini usia harapan hidup mencapai 65 tahun ditemukan menderita
penyakit PPJ atau BPH ini. Selanjutnya, 5 persen pria Indonesia sudah masuk ke dalam
lingkungan usia di atas 60 tahun. Oleh itu, jika dilihat, dari 200 juta lebih bilangan rakyat
indonesia, maka dapat diperkirakan 100 juta adalah pria, dan yang berusia 60 tahun dan ke
atas adalah kira-kira seramai 5 juta, maka dapat secara umumnya dinyatakan bahwa kira-kira
2.5 juta pria Indonesia menderita penyakit BPH atau PPJ ini. Indonesia kini semakin hari
semakin maju dan dengan berkembangnya sesebuah negara, maka usia harapan hidup pasti
bertambah dengan sarana yang makin maju dan selesa, maka kadar penderita BPH secara
pastinya turut meningkat. (Furqan, 2003) Secara pasti, bilangan penderita pembesaran prostat
jinak belum di dapat, tetapi secara prevalensi di RS, sebagai contoh jika kita lihat di
Palembang, di RS Cipto Mangunkusumo ditemukan 423 kasus pembesaran prostat jinak yang
dirawat selama tiga tahun (1994-1997) dan di RS Sumber Waras sebanyak 617 kasus dalam
periode yang sama (Ponco Birowo, 2002). Ini dapat menunjukkan bahawa kasus BPH adalah
antara kasus yang paling mudah dan banyak ditemukan. Kanker prostat, juga merupakan
salah satu penyakit prostat yang lazim berlaku dan lebih ganas berbanding BPH yang hanya
melibatkan pembesaran jinak daripada prostat. Kenyataan ini adalah berdasarkan bilangan
dan presentase terjadinya kanker prostat di dunia secara umum dan Indonesia secara
khususnya.
Secara umumnya, jika diperhatikan, di dunia, pada 2003, terdapat lebih kurang
220,900 kasus baru ditemukan, dimana, daripada jumlah ini, 29,000 daripadanya berada di
tahap membunuh (A.K. Abbas, 2005) . Seperti juga BPH, kanker prostat juga menyerang pria
berusia lebih dari 50 dan pada usia di bawah itu bukan merupakan suatu yang abnormal.
Secara khususnya di Indonesia, menurut (WHO,2008), untuk tahun 2005, insidensi terjadinya
kanker prostat adalah sebesar 12 orang setiap 100,000 orang, yakni yang keempat setelah
kanker saluran napas atas, saluran pencernaan dan hati . Setelah secara umum melihat dan
mengetahui akan epidemiologi dari kedua penyakit, yakni BPH dan kanker prostat, penulis
tertarik untuk mengetahui dengan lebih dalam lagi mengenai gambaran penyakit ini terutama
berdasarkan gambaran secara histopalogi memandangkan tiada penelitian khusus yang
setakat diketahui oleh penulis mengenainya dijalankan di Medan.
B. RUMUSAN MASALAH
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
C. TUJUAN PENULISAN
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
BAB II
PEMBAHASAN
A. KONSEP TEORI
1.
DEFENISI
a.
Hiperplasia prostat adalah pembesanan prostat yang jinak bervariasi berupa hiperplasia
kelenjar atau hiperplasia fibromuskular. Namun orang sering menyebutnya dengan hipertropi
prostat namun secara histologi yang dominan adalah hyperplasia (Sabiston, David C,1994)
b.
BPH adalah pembesaran adenomatous dari kelenjar prostat, lebih dari setengahnya dan
orang yang usianya diatas 50 tahun dan 75 % pria yang usianya 70 tahun menderita
pembesaran prostat (C. Long, 1996 :331).
c.
Hiperplasia prostat jinak (BPH) adalah penyakit yang disebabkan oleh penuaan.
Price&Wilson (2005)
d.
Hiperplasi prostat adalah pembesaran progresif dari kelenjar prostat ( secara umum
pada pria > 50 tahun) yang menyebabkan berbagai derajat obstruksi uretra dan pembiasan
aliran urinarius. (Doenges, 1999)
e.
memanjang ke atas ke dalam kandung kemih dan menyumbat aliran urine dengan menutupi
orifisium uretra (Brunner and Suddart, 2001)
f.
BPH adalah suatu keadaan dimana prostat mengalami pembesaran memanjang keatas
kedalam kandung kemih dan menyumbat aliran urin dengan cara menutupi orifisium uretra.
(Smeltzer dan Bare, 2002)
2.
ETIOLOGI
Hingga sekarang masih belum diketahui secara pasti etiologi/penyebab terjadinya
BPH, namun beberapa hipotesis menyebutkan bahwa BPH erat kaitanya dengan peningkatan
kadar dehidrotestosteron (DHT) dan proses menua. Terdapat perubahan mikroskopik pada
prostat telah terjadi pada pria usia 30-40 tahun. Bila perubahan mikroskopik ini berkembang,
akan terjadi perubahan patologik anatomi yang ada pada pria usia 50 tahun, dan angka
kejadiannya sekitar 50%, untuk usia 80 tahun angka kejadianya sekitar 80%, dan usia 90
tahun sekitar 100% (Purnomo, 2011)
Etiologi yang belum jelas maka melahirkan beberapa hipotesis yang diduga menjadi
penyebab timbulnya Benigna Prosat, teori penyebab BPH menurut Purnomo (2011) meliputi :
1.
Dehidrotestosteron/ DHT adalah metabolit androgen yang sangat penting pada pertumbuhan
sel-sel kelenjar prostat. Aksis hipofisis testis dan reduksi testosteron menjadi
dehidrotestosteron (DHT) dalam sel prostad merupakan factor terjadinya penetrasi DHT
kedalam inti sel yang dapat menyebabkan inskripsi pada RNA, sehingga dapat menyebabkan
terjadinya sintesis protein yang menstimulasi pertumbuhan sel prostat. Pada berbagai
penelitian dikatakan bahwa kadar DHT pada BPH tidak jauh berbeda dengan kadarnya pada
prostat normal, hanya saja pada BPH, aktivitas enzim 5alfa reduktase dan jumlah reseptor
androgen lebih banyak pada BPH. Hal ini menyebabkan sel-sel prostat pada BPH lebih
sensitive terhadap DHT sehingga replikasi sel lebih banyak terjadi dibandingkan dengan
prostat normal.
2.
Pada usia yang semakin tua, terjadi penurunan kadar testosteron sedangkan kadar estrogen
relative tetap, sehingga terjadi perbandingan antara kadar estrogen dan testosterone relative
meningkat. Hormon estrogen didalam prostat memiliki peranan dalam terjadinya poliferasi
sel-sel kelenjar prostat dengan cara meningkatkan jumlah reseptor androgen, dan
Diferensiasi dan pertumbuhan sel epitel prostat secara tidak langsung dikontrol oleh sel-sel
stroma melalui suatu mediator yang disebut Growth factor. Setelah sel-sel stroma
mendapatkan stimulasi dari DHT dan estradiol, sel-sel stroma mensintesis suatu growth
factor yang selanjutnya mempengaruhi sel-sel stroma itu sendiri intrakrin dan autokrin, serta
mempengaruhi sel-sel epitel parakrin. Stimulasi itu menyebabkan terjadinya poliferasi sel-sel
epitel maupun sel stroma. Basic Fibroblast Growth Factor (BFGF) dapat menstimulasi sel
stroma dan ditemukan dengan konsentrasi yang lebih besar pada pasien dengan pembesaran
prostad jinak. BFGF dapat diakibatkan oleh adanya mikrotrauma karena miksi, ejakulasi atau
infeksi.
4.
Progam kematian sel (apoptosis) pada sel prostat adalah mekanisme fisiologik untuk
mempertahankan homeostatis kelenjar prostat. Pada apoptosis terjadi kondensasi dan
fragmentasi sel, yang selanjutnya sel-sel yang mengalami apoptosis akan difagositosis oleh
sel-sel di sekitarnya, kemudian didegradasi oleh enzim lisosom. Pada jaringan normal,
terdapat keseimbangan antara laju poliferasi sel dengan kematian sel. Pada saat terjadi
pertumbuhan prostat sampai pada prostat dewasa, penambahan jumlah sel-sel prostat baru
dengan yang mati dalam keadaan seimbang. Berkurangnya jumlah sel-sel prostat baru dengan
prostat yang mengalami apoptosis menyebabkan jumlah sel-sel prostat secara keseluruhan
menjadi meningkat, sehingga terjadi pertambahan masa prostat.
5.
Sel-sel yang telah apoptosis selalu dapat diganti dengan sel-sel baru. Didalam kelenjar prostat
istilah ini dikenal dengan suatu sel stem, yaitu sel yang mempunyai kemampuan berpoliferasi
sangat ekstensif. Kehidupan sel ini sangat tergantung pada keberadaan hormone androgen,
sehingga jika hormone androgen kadarnya menurun, akan terjadi apoptosis. Terjadinya
poliferasi sel-sel BPH dipostulasikan sebagai ketidaktepatan aktivitas sel stem sehingga
terjadi produksi yang berlebihan sel stroma maupun sel epitel.
3.
KLASIFIKASI
Menurut Rumahorbo (2000), terdapat empat derajat pembesaran kelenjar prostat yaitu
sebagai berikut :
1.
Derajat Rektal
Derajat rektal dipergunakan sebagai ukuran dari pembesaran kelenjar prostat ke arah rektum.
Rectal toucher dikatakan normal jika batas atas teraba konsistensi elastis, dapat digerakan,
tidak ada nyeri bila ditekan dan permukaannya rata. Tetapi rectal toucher pada hipertropi
prostat di dapatkan batas atas teraba menonjol lebih dari 1 cm dan berat prostat diatas 35
gram.Ukuran dari pembesaran kelenjar prostat dapat menentukan derajat rectal yaitu sebagai
berikut :
1). Derajat O : Ukuran pembesaran prostat 0-1 cm
2). Derajat I
Derajat Klinik
Derajat klinik berdasarkan kepada residual urine yang terjadi. Klien disuruh BAK sampai
selesai dan puas, kemudian dilakukan katerisasi. Urine yang keluar dari kateter disebut sisa
urine atau residual urine. Residual urine dibagi beberapa derajat yaitu sebagai berikut :
1). Normal sisa urine adalah nol
2). Derajat I sisa urine 0-50 ml
3). Derajat II sisa urine 50-100 ml
4). Derajat III sisa urine 100-150 ml
5). Derajat IV telah terjadi retensi total atau klien tidak dapat BAK sama sekali. Bila kandung
kemih telah penuh dan klien merasa kesakitan, maka urine akan keluar secara menetes dan
periodik, hal ini disebut Over Flow Incontinencia. Pada derajat ini telah terdapat sisa urine
sehingga dapat terjadi infeksi atau cystitis, nocturia semakin bertambah dan kadang-kadang
terjadi hematuria.
3.
Derajat ini dapat ditentukan dengan mempergunakan foto rontgen atau cystogram,
panendoscopy. Bila lobus medialis melewati muara uretra, berarti telah sampai pada stadium
tida derajat intra vesikal. Gejala yang timbul pada stadium ini adalah sisa urine sudah
mencapai 50-150 ml, kemungkinan terjadi infeksi semakin hebat ditandai dengan
peningkatan suhu tubuh, menggigil dan nyeri di daerah pinggang serta kemungkinan telah
terjadi pyelitis dan trabekulasi bertambah.
4.
Derajat ini dapat ditentukan dengan menggunakan panendoscopy untuk melihat sampai
seberapa jauh lobus lateralis menonjol keluar lumen uretra. Pada stadium ini telah terjadi
retensio urine total.
4.
MANIFESTASI KLINIS
Obstruksi prostat dapat menimbulkan keluhan pada saluran kemih maupun keluhan
diluar saluran kemih. Menurut Purnomo (2011) dan tanda dan gejala dari BPH yaitu : keluhan
pada saluran kemih bagian bawah, gejala pada saluran kemih bagian atas, dan gejala di luar
saluran kemih.
1.
2.
Keluhan akibat hiperplasia prostat pada saluran kemih bagian atas berupa adanya gejala
obstruksi, seperti nyeri pinggang, benjolan dipinggang (merupakan tanda dari hidronefrosis),
atau demam yang merupakan tanda infeksi atau urosepsis.
3.
2.
3.
4.
5.
PATOFISIOLOGI
Hiperplasia prostat adalah pertumbuhan nodul-nodul fibroadenomatosa majemuk
dalam prostat, pertumbuhan tersebut dimulai dari bagian periuretral sebagai proliferasi yang
terbatas dan tumbuh dengan menekan kelenjar normal yang tersisa. Jaringan hiperplastik
terutama terdiri dari kelenjar dengan stroma fibrosa dan otot polos yang jumlahnya berbedabeda. Proses pembesaran prostad terjadi secara perlahan-lahan sehingga perubahan pada
saluran kemih juga terjadi secara perlahan-lahan.
Pada tahap awal setelah terjadi pembesaran prostad, resistensi pada leher buli-buli dan
daerah prostad meningkat, serta otot destrusor menebal dan merenggang sehingga timbul
sakulasi atau divertikel. Fase penebalan destrusor disebut fase kompensasi, keadaan berlanjut,
maka destrusor menjadi lelah dan akhirnya mengalami dekompensasi dan tidak mampu lagi
untuk berkontraksi/terjadi dekompensasi sehingga terjadi retensi urin. Pasien tidak bisa
mengosongkan vesika urinaria dengan sempurna, maka akan terjadi statis urin. Urin yang
statis akan menjadi alkalin dan media yang baik untuk pertumbuhan bakteri ( Baradero, dkk
2007).
Obstruksi urin yang berkembang secara perlahan-lahan dapat mengakibatkan aliran
urin tidak deras dan sesudah berkemih masih ada urin yang menetes, kencing terputus-putus
(intermiten), dengan adanya obstruksi maka pasien mengalami kesulitan untuk memulai
berkemih (hesitansi). Gejala iritasi juga menyertai obstruksi urin. Vesika urinarianya
mengalami iritasi dari urin yang tertahan tertahan didalamnya sehingga pasien merasa bahwa
vesika urinarianya tidak menjadi kosong setelah berkemih yang mengakibatkan interval
disetiap berkemih lebih pendek (nokturia dan frekuensi), dengan adanya gejala iritasi pasien
mengalami perasaan ingin berkemih yang mendesak/ urgensi dan nyeri saat berkemih /disuria
( Purnomo, 2011).
Tekanan vesika yang lebih tinggi daripada tekanan sfingter dan obstruksi,akan terjadi
inkontinensia paradoks. Retensi kronik menyebabkan refluk vesiko ureter, hidroureter,
hidronefrosis dan gagalginjal. Proses kerusakan ginjal dipercepat bila terjadi infeksi. Pada
waktumiksi penderita harus mengejan sehingga lama kelamaan menyebabkanhernia atau
hemoroid. Karena selalu terdapat sisa urin, dapatmenyebabkan terbentuknya batu endapan
didalam kandung kemih. Batuini dapat menambah keluhan iritasi dan menimbulkan
hematuria. Batutersebut dapat juga menyebabkan sistitis dan bila terjadi refluk akan
mengakibatkan pielonefritis (Sjamsuhidajat dan De jong, 2005).
6.
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan Penunjang Menurut Purnomo (2011) dan Baradero dkk (2007)
Laboratorium
a. Analisi urin dan pemeriksaan mikroskopik urin penting dilakukan untuk melihat adanya
sel leukosit, bakteri dan infeksi. Pemeriksaan kultur urin berguna untuk menegtahui kuman
penyebab infeksi dan sensitivitas kuman terhadap beberapa antimikroba.
b.
menegenai saluran kemih bagian atas. Elektrolit kadar ureum dan kreatinin darah merupakan
informasi dasar dari fungsin ginjal dan status metabolic.
c.
Pemeriksaan prostate specific antigen (PSA) dilakukan sebagai dasar penentuan perlunya
biopsy atau sebagai deteksi dini keganasan. Bila nilai PSA <4ng/ml tidak perlu dilakukan
biopsy. Sedangkan bila nilai PSA 4-10 ng/ml, hitunglah prostate specific antigen density
(PSAD) lebih besar sama dengan 0,15 maka sebaiknya dilakukan biopsy prostat, demikian
pula bila nila PSA > 10 ng/ml.
2.
a.
Radiologis/pencitraan
Foto polos abdomen, untuk mengetahui kemungkinan adanya batu opak di saluran
kemih, adanya batu/kalkulosa prostat, dan adanya bayangan buli-buli yang penuh dengan urin
sebagai tanda adanya retensi urin. Dapat juga dilihat lesi osteoblastik sebagai tanda
metastasis dari keganasan prostat, serta osteoporosis akbibat kegagalan ginjal.
b.
kelainan pada ginjal maupun ureter yang berupa hidroureter atau hidronefrosis. Dan
memperkirakan besarnya kelenjar prostat yang ditunjukkan dengan adanya indentasi prostat
(pendesakan buli-buli oleh kelenjar prostat) atau ureter dibagian distal yang berbentuk seperti
mata kail (hooked fish)/gambaran ureter berbelok-belok di vesika, penyulit yang terjadi pada
buli-buli yaitu adanya trabekulasi, divertikel atau sakulasi buli-buli.
c.
Pemeriksaan USG transektal, untuk mengetahui besar kelenjar prostat, memeriksa masa
ginjal, menentukan jumlah residual urine, menentukan volum buli-buli, mengukur sisa urin
dan batu ginjal, divertikulum atau tumor buli-buli, dan mencari kelainan yang mungkin ada
dalam buli-buli.
.
7.
PENATALAKSANAAN MEDIS
1.
Stadium I
Pada stadium ini biasanya belum memerlukan tindakan bedah, diberikan pengobatan
konservatif, misalnya menghambat adrenoresptor alfa seperti alfazosin dan terazosin.
Keuntungan obat ini adalah efek positif segera terhadap keluhan, tetapi tidak mempengaruhi
proses hiperplasia prostat. Sedikitpun kekurangannya adalah obat ini tidak dianjurkan untuk
pemakaian lama.
b.
Stadium II
Stadium III
Pada stadium II reseksi endoskopi dapat dikerjakan dan apabila diperkirakan prostat sudah
cukup besar, sehinga reseksi tidak akan selesai dalam 1 jam. Sebaiknya dilakukan
pembedahan terbuka. Pembedahan terbuka dapat dilakukan melalui trans vesika, retropubik
dan perineal.
d. Stadium IV
Pada stadium IV yang harus dilakukan adalah membebaskan penderita dari retensi urin total
dengan memasang kateter atau sistotomi. Setelah itu, dilakukan pemeriksaan lebih lanjut
untuk melengkapi diagnosis, kemudian terapi definitive dengan TUR atau pembedahan
terbuka.
dilakukan
memberikan obat
dehidrotestosteron (DHT).
Adapun obat-obatan yang sering digunakan pada pasien BPH, menurut Purnomo
(2011) diantaranya : penghambat adrenergenik alfa, penghambat enzin 5 alfa reduktase,
fitofarmaka
1.
Obat-obat yang sering dipakai adalah prazosin, doxazosin,terazosin,afluzosin atau yang lebih
selektif alfa (Tamsulosin). Dosis dimulai 1mg/hari sedangkan dosis tamsulosin adalah 0,2-0,4
mg/hari. Penggunaaan antagonis alfa 1 adrenergenik karena secara selektif dapat mengurangi
obstruksi pada buli-buli tanpa merusak kontraktilitas detrusor. Obat ini menghambat reseptorreseptor yang banyak ditemukan pada otot polos di trigonum, leher vesika, prostat, dan
kapsul prostat sehingga terjadi relakasi didaerah prostat. Obat-obat golongan ini dapat
memperbaiki keluhan miksi dan laju pancaran urin. Hal ini akan menurunkan tekanan pada
uretra pars prostatika sehingga gangguan aliran air seni dan gejala-gejala berkurang. Biasanya
pasien mulai merasakan berkurangnya keluhan dalam 1-2 minggu setelah ia mulai memakai
obat. Efek samping yang mungkin timbul adalah pusing, sumbatan di hidung dan lemah. Ada
obat-obat yang menyebabkan ekasaserbasi retensi urin maka perlu dihindari seperti
antikolinergenik, antidepresan, transquilizer, dekongestan, obatobat ini mempunyai efek pada
otot kandung kemih dan sfingter uretra.
2.
Obat yang dipakai adalah finasteride (proscar) dengan dosis 1X5 mg/hari. Obat golongan ini
dapat menghambat pembentukan DHT sehingga prostat yang membesar akan mengecil.
Namun obat ini bekerja lebih lambat dari golongan alfa bloker dan manfaatnya hanya jelas
pada prostat yang besar. Efektifitasnya masih diperdebatkan karena obat ini baru
menunjukkan perbaikan sedikit 28 % dari keluhan pasien setelah 6-12 bulan pengobatan bila
dilakukan terus menerus, hal ini dapat memperbaiki keluhan miksi dan pancaran miksi. Efek
samping dari obat ini diantaranya adalah libido, impoten dan gangguan ejakulasi.
3.
Fitofarmaka/fitoterapi
Penggunaan fitoterapi yang ada di Indonesia antara lain eviprostat. Substansinya misalnya
pygeum africanum, saw palmetto, serenoa repeus. Efeknya diharapkan terjadi setelah
pemberian selama 1- 2 bulan dapat memperkecil volum prostat.
8.
KOMPLIKASI
2.
3.
4.
5.
Hidroureter dan hidronefrosis dapat terjadi karena produksi urin terus berlanjut maka
pada suatu saat buli-buli tidak mampu lagi menampung urin yang akan mengakibatkan
tekanan intravesika meningkat.
6.
7.
Hematuri, terjadi karena selalu terdapat sisa urin, sehingga dapat terbentuk batu
endapan dalam buli-buli, batu ini akan menambah keluhan iritasi. Batu tersebut dapat pula
menibulkan sistitis, dan bila terjadi refluks dapat mengakibatkan pielonefritis.
8.
Hernia atau hemoroid lama-kelamaan dapat terjadi dikarenakan pada waktu miksi
9. WOC
B. KONSEP KEPERAWATAN
1.
1.
PENGKAJIAN
Identitas
lebih tua dari 50 tahun ) menyebabkan berbagai derajat obstruksi uretral dan
pembatasan
adalah pembesaran progresif dari kelenjar prostat, bersifat jinak disebabkan oleh hyperplasia
beberapa atau semua komponen prostat yang mengakibatkan penyumbatan uretra pars
prostatika (Muttaqin : 2012).
2.
Keluhan Utama
Merupakan keluhan yang paling dirasakan oleh klien sehingga ia mencari pertolongan.
Keluhan yang diungkapkan klien pada umumnya yaitu adanya rasa nyeri. Disuria yaitu nyeri
pada waktu kencing. Hesitansi yaitu memulai kencing yang lama dan seringkali disertai
dengan mengejan yang disebabkan oleh karena otot destrussor buli-buli memerlukan waktu
beberapa lama meningkatkan tekanan intravesikal guna mengatasi adanya tekanan dalam
uretra prostatika.
3.
Hal- hal yang perlu dikaji adalah mulai kapan keluhan dirasakan, lokasi keluhan, intensitas,
lamanya atau frekuensi, faktor yang memperberat atau memperingan serangan, serta keluhankeluhan lain yang menyertai dan upaya- upaya yang telah dilakukan.
4.
Riwayat penyakit keluarga perlu ditanyakan apakah ada anggota keluarga yang pernah
menderita penyakit BPH atau tidak.
5.
Riwayat Pengobatan
Apakah klien pernah menggunakan obat- obatan. Yang perlu dikaji perawat yaitu: Kapan
pengobatan dimulai, Dosis dan frekuensi,Waktu berakhirnya minum obat
6.
a.
Pemeriksaan Fisik
Dilakukan dengan pemeriksaan tekanan darah, nadi dan suhu. Nadi
dapatmeningkat pada keadaan kesakitan pada retensi urin akut, dehidrasi sampai syok
pada retensi urin serta urosepsis sampai syok.
Penis dan uretra untuk mendeteksi kemungkinan stenose meatus, striktur uretra,
3)
sistim persarafan unit vesiko uretra dan besarnya prostat. Dengan rectal toucher dapat
diketahui derajat dari BPH, yaitu :
Derajat I = beratnya 20 gram.
Derajat II = beratnya antara 20 40 gram.
Derajat III = beratnya 40 gram.
2.
DIAGNOSA KEPERAWATAN
Retensi urin berhubungan dengan obstruksi uretra sekunder dari pembesaran prostat,
dekompensasi otot destrusor dan ketidakmampuan kandung kemih untuk berkontraksi secara
adekuat.
2.
Post Operasi
1.Nyeri berhubungan dengan spasmus kandung kemih dan insisi sekunder pada post operasi.
3.
RENCANA KEPERAWATAN
Pre Operasi
1.Retensi urin berhubungan dengan obstruksi uretra sekunder dari pembesaran prostat,
dekompensasi otot destrusor dan ketidakmampuan kandung kemih untuk berkontraksi secara
adekuat.
Tujuan : Setelah di lakukan asuhan keperawatan dalam waktu 3x24 jam pola eliminasi
optimal sesuai kondisi klien
Kriteria hasil : Frekuensi miksi dalam batas 5-8x/jam, tidak teraba distensi kandung kemih.
INTERVENSI
RASIONAL
dirasakan.
kandung kemih.
2. Untuk mengevaluasi
5. Mengurangi spasme
kandung kemih dan
5.Berkolaborasi dalam pemberia
obat sesuai indikasi (antispamodik)
mempercepat penyembuhan
2.
prosedur bedah.
Tujuan : Setelah di lakukan asuhan keperawatan dalam waktu 1x24 jam kecemasan klien
berkurang.
Kriteria hasil
Klien menyatakan kecemasan berkurang, mengenal perasaannya, dapat mengidentifikasi
penyebab atau faktor yang memengaruhinya, kooperatif terhadap tindakan, wajah tenang.
INTERVENSI
RASIONAL
1.Menunjukkan perhatian,
tindakan.
dilakukan.
3.Memberikan kesempatan pada
3.Dorong pasien atau orang terdekat pasien dan konsep solusi
untuk menyatakan masalah atau
pemecahan masalah.
perasaan.
4.Mengurangi rangsangan
4.Beri lingkungan yang tenang dan
suasana istirahat.
Post Operasi
1.
Nyeri berhubungan dengan spasmus kandung kemih dan insisi sekunder pada post
operasi.
Tujuan: Setelah di lakukan asuhan keperawatan dalam waktu 3x24 jam nyeri berkurang atau
hilang.
Kriteria hasil : Klien mengatakan nyeri berkurang / hilang, Ekspresi wajah klien tenang, TTV
dalam batas normal (TD: 120/80 mmHg, RR:16-24 x/mnt,N:80-100x/mnt,T:36C)
INTERVENSI
RASIONAL
1.
PQRST.
2.
menunjukkan Keefektifan
dalam mengurangi nyeri.
keperawatan
a.
meningkatkan asupan O2 ke
jaringan yang mengalami
a.
iskemia.
b.
b.
Istirahatkan klien
peradangan.
c.
d.
Meningkatkan asupan O2
Manajemen lingkungan :
e.
dirasakan membantu
mengurangi nyeri dan dapat
mengembangkan kepatuhan
d.
pernapasan dalam
f.
Distraksi dapat
Tingkatkan pengetahuan
f.
saat nyeri.
4.
Analgesik memblok
4.
Kolaborasi
BAB III
ANALISA KASUS
Bp. C (60 tahun) mengeluhkan susah buang air kecil sejak 7 hari yang lalu. Klien
mengatakan sakit saat akan buang air kecil. Sejak kemarin, klien benar-benar sudah tidak bisa
keluar urin. Setelah dilakukan pemeriksaan, adanya pembesaran pada prostat klien.
Ds :
1.
Bp. C (60 tahun) mengeluhkan susah buang air kecil sejak 7 hari yang lalu.
2.
3.
Do :
1.
Dari data subjektif dan objektif dapat di tarik kesimpulan bahwa klien mengalami
BPH, di mana BPH itu sendiri adalah suatu keadaan dimana prostat mengalami pembesaran
memanjang keatas kedalam kandung kemih dan menyumbat aliran urin dengan cara
menutupi orifisium uretra. Dan manifestasi dari BPH adalah
kemih bagian bawah Gejala obstruksi meliputi : Retensi urin (urin tertahan dikandung kemih
sehingga urin tidak bisa keluar), hesitansi (sulit memulai miksi), pancaran, miksi lemah.
Intermiten (kencing terputus-putus), dan miksi tidak puas (menetes setelah miksi)
Gejala diluar saluran kemih Pasien datang diawali dengan keluhan penyakit hernia
inguinalis atau
saan miksi sehingga mengakibatkan tekanan intra abdominal. Adapun gejala dan tanda lain
yang tampak pada pasien BPH, pada pemeriksaan prostat didapati membesar, kemerahan, dan
tidak nyeri tekan, keletihan, anoreksia, mual dan muntah, rasa tidak nyaman pada epigastrik,
dan gagal ginjal dapat terjadi dengan retensi kronis dan volume residual yang besar.
Diagnosa Medis : BPH
A. PENGKAJIAN
1.
Biodata
a.
Nama
: Tn. C
b.
Umur
: 60 Tahun
c. Alamat
d. Jenis kelamin
: Laki-laki
e.
f.
Pendidikan
: SMP
g.
No. Reg
2.
Pasien mengatakan nyeri saat BAK dan kesulitan untuk BAK selama 7 hari.
4.
Keluhan utama
Pemeriksaan Fisik
B-1 (pernafasan)
B-2 (kardiovaskuler)
CRT< 3 detik
150/100mmHg
Irama jantung S1 dan S2 normal
Nyeri dada (-)
Oedema (-)
3.
B-3 (persyarafan)
Kesadaran: Composmetis
GCS
: E: 4 V: 5
M: 6
Sklera putih
Konjungtiva merah muda.
Pupil isokor
Anemia
Ansietas
4.
B-4 (perkemihan)
Input 1800cc/24jam
Disuria
Distensi kandung kemih
Pembesaran prostat.
Warna urine kuning tua, bau khas.
Menggunakan Kateter
5.
B-5 (pencernaan)
mulut kotor
mukosa kering
anoreksia
mual muntah
total: 15
peristaltik 6x/menit
BAB 1x/sehari, konsistensi lunak
6.
B-6 (tulang-otot-integumen)
KU lemah
Kekuatan 5
6. Analisa Data
Data
Etiologi
Masalah
BPH
Retensi urin
BAK.
DO:
Input 1800cc/24jam
Disuria
Distensi kandung kemih
Disuria
Retensi urin
Pembesaran prostat.
Warna urine kuning tua,
bau khas.
DS: pasien mengatakan nyeri
Hormon androgen
Nyeri
saat BAK.
BPH
DO:
menyeringai.
polos prostat
Ansietas
KU lemah
Uretra menyempit
TTV: TD:150/100mmHg
N:100x/mnt RR:24x/mnt
T:36C
Merangsang pengeluaran
histamin keratinin, bradikinin
dan prostaglandin
Hipotalamus
Korteks serebal
Nyeri dipersepsikan
7.
1.
DIAGNOSA
Retensi urin berhubungan dengan obstruksi mekanik, pembesaran prostat,
Nyeri akut berhubungan dengan peregangan dari terminal saraf, distensi kandung
kemih, infeksi urinaria, efek mengejan saat miksi sekunder dari pembesaran prostat dan
obstruksi uretra.
8.
1.
INTERVENSI
Retensi urin berhubungan dengan obstruksi uretra sekunder dari pembesaran prostat,
dekompensasi otot destrusor dan ketidakmampuan kandung kemih untuk berkontraksi secara
adekuat.
Tujuan : Setelah di lakukan asuhan keperawatan dalam waktu 3x24 jam pola eliminasi
optimal sesuai kondisi klien
Kriteria hasil : Frekuensi miksi dalam batas 5-8x/jam, tidak teraba distensi kandung kemih.
INTERVENSI
RASIONAL
dirasakan.
kandung kemih.
5. Mengurangi spasme
2.
Nyeri akut berhubungan dengan peregangan dari terminal saraf, distensi kandung
kemih, infeksi urinaria, efek mengejan saat miksi sekunder dari pembesaran prostat dan
obstruksi uretra
Tujuan: Setelah di lakukan asuhan keperawatan dalam waktu 3x24 jam nyeri berkurang atau
hilang.
Kriteria hasil : Klien mengatakan nyeri berkurang / hilang, Ekspresi wajah klien tenang, TTV
dalam batas normal (TD: 120/80 mmHg, RR:16-24 x/mnt,N:80-100x/mnt,T:36C)
INTERVENSI
RASIONAL
1.
1.
PQRST.
Pendekatan dengan
2.
menunjukkan Keefektifan
keperawatan
a. Atur posisi fisiologi
a.
meningkatkan asupan O2 ke
jaringan yang mengalami
iskemia.
b.
Manajemen lingkungan :
dirasakan membantu
d. Ajarkan tehnik relaksasi
pernapasan dalam
mengembangkan kepatuhan
klien terhadap recana terapiutik.
f.
Distraksi dapat
Tingkatkan pengetahuan
berlangsung.
f.
saat nyeri.
4.
Kolaborasi
BAB IV
PENUTUP
A. KESIMPULAN
BPH (benign prostatic hyperplasia) adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh
faktor penuaan, dimana prostat mengalami pembesaran memanjang keatas kedalam kandung
kemih dan menyumbat aliran urin dengan cara menutupi orifisium uretra.
Hingga sekarang masih belum diketahui secara pasti etiologi/penyebab terjadinya
BPH, namun beberapa hipotesis menyebutkan bahwa BPH erat kaitanya dengan peningkatan
kadar dehidrotestosteron (DHT) dan proses menua. Terdapat perubahan mikroskopik pada
prostat telah terjadi pada pria usia 30-40 tahun. Bila perubahan mikroskopik ini berkembang,
akan terjadi perubahan patologik anatomi yang ada pada pria usia 50 tahun, dan angka
kejadiannya sekitar 50%, untuk usia 80 tahun angka kejadianya sekitar 80%, dan usia 90
tahun sekitar 100% (Purnomo, 2011)