Anda di halaman 1dari 10

TELAAH KASUS GANGGUAN REPRODUKSI PRIA : BENIGN

PROSTATE HYPERPLASIA

Disusun Oleh:
KELOMPOK 1

ASRI DEISMAWARANTI I1A020018


SALMA RAIHANA AISYAH I1A020029
DHIYA SARY NADHIFA I1A020034
MUTIARA CITRA PRAMESWARY S I1A020095
SILA OLIFIA RUMBRAWER I1A020103

UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN


FAKULTAS ILMU-ILMU KESEHATAN
JURUSAN KESEHATAN MASYARAKAT
PURWOKERTO
2023
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kesehatan reproduksi memiliki cakupan yang luas dengan
melibatkan dua gender utama, wanita dan pria. Kebanyakan kasus
menyoroti kesehatan reproduksi khusus untuk wanita saja. Padahal kasus
pada kesehatan reproduksi tidak luput pada pria. Tak banyak kasus pada
kesehatan reproduksi pria. Pria atau laki-laki juga memiliki risiko besar
terjangkit penyakit pada sistem reproduksinya baik pada alat bagian luar
yaitu penis dan skrotum ataupun bagian dalam seperti testis, saluran semen,
saluran prostat, dan lain-lain (Sutanto, 2021).
Beberapa kasus gangguan reproduksi pria seperti Ejakulasi dini,
Disfungsi ereksi, Infeksi menular seksual, Kanker penis, Balanitis,
Kriptorkismus, Peyronie. Salah satunya yang banyak pria di dunia terjangkit
penyakit gangguan reproduksi yaitu BPH atau Benign Prostate Hyperplasia.
Pada Bimandana dan Evi (2018) BPH atau Benign Prostate Hyperplasia
merupakan pembesaran prostat jinak pada saluran prostat dimana adanya
kejadian hiperplasia pada sel-sel stroma dan epitel pada kelenjar prostat.
Pada (Coyne, 2016) kejadian Benign Prostate Hyperplasia atau BPH dikenal
sebagai gejala saluran kemih bawah. Kasusnya di dunia sudah banyak dan
terus bertambah setiap tahunnya. Dilaporkan WHO atau World Health
Organization tercatat kasus BPH seluruh dunia sudah mencapai 2.466.000
jiwa.
Kasus BPH pada Benua Asia termasuk tidak sedikit dengan capaian
kasus 764.000 jiwa. Insidensi kasus BPH di negara maju ada sebanyak
19%, sedangkan di negara berkembang sebanyak 5.35% kasus.
Kementerian Kesehatan atau Kemenkes mencatat pada tahun 2018 kasus
BPH pada pria di Indonesia sudah mencapai 80.000 kasus. Prevalensi BPH
sekitar 20% terjadi pada pria berusia 41-50 tahun. Prevalensi itu meningkat
hingga 50% pada pria 51-60 tahun dan bertambah lagi hingga 90% pada
pria di atas 80 tahun (Amelia, 2014).
Banyak kasus BPH meningkat pada kelompok usia lanjut. Hampir
70% kasus BPH menjangkit pada pria berusia 60 tahun ke atas dengan batas
usia maksimal 90 tahun. Kejadian BPH ini dapat berakibat lanjut disfungsi
ereksi, penderita mengalami ketidaknormalan pada saat ejakulasi atau
ereksi. Kebanyakan kasus penderita sangat susah atau terlalu mudah untuk
ereksi dibandingkan dengan kejadian ereksi normal. Meningkatkan kejadian
BPH perlu diketahui karena banyaknya masyarakat khususnya di Indonesia
masih skeptis dengan kejadian ini. Banyaknya stigma masyarakat yang
menganggap tabu masalah kesehatan reproduksi khususnya pria, membuat
penulis tertarik menelaah lebih lanjut mengenai gangguan sistem reproduksi
pria yaitu Benign Prostate Hyperplasia atau BPH.
B. Tujuan
1. Mengetahui gambaran dan definisi dari salah satu gangguan infeksi
pada sistem reproduksi pria yaitu BPH (Benign Prostate
Hyperplasia).
2. Mengetahui penyebab dari berbagai macam gangguan infeksi pada
sistem reproduksi pria yaitu BPH (Benign Prostate Hyperplasia).
3. Mengetahui cara pencegahan dan intervensi dari berbagai macam
gangguan infeksi pada sistem reproduksi pria yaitu BPH (Benign
Prostate Hyperplasia).
BAB II
PEMBAHASAN
A. Overview Kasus
Benign Prostatic Hyperplasia (BPH) adalah adanya hiperplasia pada
sel stroma dan sel epitel kelenjar prostat. Pembesaran prostat merupakan salah
satu penyakit yang paling umum pada pria yang menua dan dapat
menyebabkan keluhan lower urinary tract symtomps (LUTS) yang dapat
mempengaruhi kualitas hidup yang mengganggu aktifitas normal sehari-hari.
BPH merupakan penyakit yang menjadi urutan kedua dari kasus urologi di
Indonesia setelah penyakit saluran kemih. Secara histologi prevalensi, BPH
tergantung pada usia dengan perkembangan awal pada usia 40 tahun. Pada
usia 60 tahun prevalensinya lebih dari 50% dan pada usia 85 tahun menjadi
90%. Menurut penelitian di Amerika Serikat (AS) prevalensi BPH pada usia
60-69 tahun mencapai 70% dan pada usia >70 tahun mencapai 80%. Pada
tahun 1998 dan 2007 di AS, prevalensi tingkat populasi penyakit BPH
meningkat sangat cepat yang hampir mencapai dua kali jumlah kasus. Pada
tahun 2003 jumlah kasus BPH di AS ada 9,3 juta kasus yang diperkirakan
dapat meningkat menjadi 19,5 juta pada tahun 2030. Angka kejadian BPH
meningkat seiring dengan bertambahnya usia. Benign prostatic hyperplasia
merupakan tumor jinak yang paling sering terjadi pada pria, yaitu sekitar 8%
pada pria usia 41-50 tahun, 50% pada pria usia 51-60, dan >90% pada pria di
atas 80 tahun. Pada usia 55 tahun, sekitar 25% pria mengalami gejala
obstruktif saluran kemih dan pada usia 75 tahun 50% pria mengalami
pelemahan pancaran urin (weak stream).
Di Indonesia, angka kejadian penyakit BPH belum pernah diteliti
secara pasti, tetapi sebagai gambaran prevalensi di Rumah Sakit Cipto
Mangunkusumo (RSCM) sejak tahun 1994-2013 ditemukan 3.804 kasus
dengan rata-rata penderita berusia 61-77 tahun. Data yang didapat dari Rumah
Sakit Hasan Sadikin pada tahun 2012-2016 ditemukan 718 kasus dimana rata-
rata umur penderita berusia 67,9 tahun. Epidemiologi hiperplasia prostat jinak
di Indonesia kurang tercatat dengan baik. Salah satu penelitian menunjukkan
bahwa BPH mengenai hampir 50% laki-laki Indonesia di atas usia 50 tahun
dan sebanyak 20% laki-laki dengan lower urinary tract symptoms (LUTS)
dinyatakan menderita benign prostatic hyperplasia. Hiperplasia prostat jinak
tidak menyebabkan kematian. Mortalitas BPH juga semakin menurun dari
tahun ke tahun dan hampir mendekati nol. Angka mortalitas benign prostatic
hyperplasia adalah sekitar 0.5 sampai 1.5 per 100.000 kasus dan umumnya
terjadi karena komplikasinya.
B. Definisi BPH
BPH merupakan tumor jinak kronik progresif paling sering pada laki-
laki, yang menimbulkan keluhan saluran kencing bawah (lower urinary tract
symptom, LUTS) yang mengganggu kualitas hidup pasien (Duarsa, 2020).
Benign Prostatic Hyperplasia (BPH) adalah kondisi ketika kelenjar prostat
mengalami perbesaran yang berakibat aliran urine menjadi tidak lancar dan
buang air kecil terasa tidak tuntas. Kelenjar prostat hanya dimiliki oleh pria.
Oleh karena itu, penyakit ini hanya dialami oleh pria
C. Tanda Gejala
Tanda dan gejala yang terjadi saat seorang menderita BPH :
a. kandung kemih tidak bisa benar-benar kosong, setelah berkemih ada
rasa tidak lampias atau tuntas.nokturia, yang merupakan kebutuhan
untuk buang air kecil dua kali atau lebih per malam
b. inkontinensia, atau keluar urin tak disadari
c. sebentar-sebentar ingin kencing
d. aliran urin yang lemah
e. dorongan tiba-tiba untuk buang air kecil,
f. aliran urin melambat atau tertunda,
g. nyeri buang air kecil,darah dalam urin,nanah dalam urin
D. Diagnosis
Alur penegakan diagnosis BPH dilakukan dengan urutan sebagai
berikut (Sutanto, 2021).
1. Anamnesis
Anamnesis dilakukan sebagai pemeriksaan awal untuk mengetahui
keluhan dan riwayat penyakit. Pada tahap ini dokter akan menggali
informasi dasar pasien sebagai bahan untuk penentuan langkah
tindakan yang akan dilakukan.
2. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksan fisik yang dilakukan adalah Digital Rectal Examination
(DRE). Metode ini dikenal dengan pemeriksaan colok dubur dengan
tujuan untuk mengetahui adanya pembesaran prostat, konsistensi
prostat, dan ada tidaknya nodul sebagai tanda keganasan prostat.
3. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan meliputi urinalisis,
pemeriksaan fungsi ginjal, dan pemeriksaan Prostate Spesific Antigen
(PSA).
a. Pemeriksaan urinalisis ditujukan untuk mengetahui adanya
leukosituria dan hematuria yang menandakan infeksi saluran
kemih.
b. Pemeriksaan fungsi ginjal ditujukan sebagai keputusan perlu
tidaknya dilakukan pemeriksaan pencitraan pada saluran
kemih bagian atas. Hal tersebut diakibatkan oleh BPH memicu
gangguan pada traktus urinarius.
c. Pemeriksaan Prostate Spesific Antigen (PSA) ditujukan untuk
mengetahui perjalanan penyakit BPH, misalnya kecepatan
pertumbuhan volume prostat.
E. Pencegahan
Seiring dengan pertambahan usia pria, ukuran prostat akan semakin
membesar sehingga BPH tidak dapat dicegah dengan sepenuhnya. Namun,
beberapa upaya dapat dilakukan untuk mengurangi faktor risiko terjadinya
BPH, yaitu (Roehrborn 2016):
1. Memperhatikan Konsumsi Jenis Obat
Beberapa jenis obat dapat menimbulkan risiko BPH dan memicu
gejala parah, seperti obat golongan antidepresan, antihistamin, dan
bronkodilator. Selain itu, jenis obat lain dapat memperparah gejala
BPH dengan mempengaruhi otot polos vesica urinaria.
2. Menghindari Perilaku Merokok
Merokok berpengaruh terhadap perkembagan BPH. Kandungan
nikotin dalam rokok memicu peningkatan kadar testosteron dan
estrogen di dalam tubuh. Akibatnya, kelebihan kadar hormon akan
diubah menjadi Dihydrotestosterone (DHT). Ketidakseimbangan
kadar hormon DHT dalam tubuh pria yang memicu kondisi BPH.
3. Menjaga Berat Badan dan Melakukan Aktivitas Fisik
Berat badan ideal dan rutin melakukan aktivitas fisik merupakan
faktor protektif BPH. Hal tersebut dikaitkan dengan kemampuan
jaringan adiposa untuk menjalankan mekanisme aromatisasi
testosteron menjadi estrogen. Dampaknya adalah ketidakseimbangan
hormon dalam tubuh pria dan memicu BPH.
4. Menjaga Pola Diet
Gejala-gejala BPH dapat diminimalkan dengan pola diet yang sehat.
Pola diet tersebut diantaranya mengkonsumsi makanan rendah lemak,
rendah daging merah, serta memperbanyak konsumsi protein dan
sayur.
F. Intervensi
Penanganan pada penderita BPH dapat dilakukan melalui tiga jenis
tindakan, yaitu (Mochtar et al. 2015):
1. Konservatif
Manajemen konservatif dilakukan pada penderita dengan gejala BPH
ringan. Penderita tidak mendapatkan terapi apapun, tetapi dianjurkan
untuk melakukan pemeriksaan rutin 3-6 bulan sekali. Selain itu,
penderita diberikan edukasi untuk memperlambat perkembangan BPH.
2. Medikamentosa
Terapi medikamentosa dilakukan pada pasien dengan indikasi gejala
mengganggu. Pasien diberikan obat-obatan seperi α1-blocker,
penghambat 5α-reduktase, antagonis reseptor mukarinik, penghambat
fosfodiesterase-5, terapi kombinasi (α1-blocker dan 5α-reduktase),
atau fitofarmaka. Tujuan diberikannya obat tersebut diantaranya
adalah mencegah kontraksi berlebih pada dinding prostat dan
mengecilkan volume prostat.
3. Pembedahan
Pembedahan dilakukan apabila BPH bersifat invasif dan menunjukkan
indikasi seperti retensi urin akut, infeksi saluran berkemih ulang,
hematuria makroskopik, sistolitiasis, serta tidak ada perbaikan setelah
terapi konservatif dan medikamentosa. Beberapa terpai pembedahan
yang dapat dilakukan adalah Transurethral Resection of the Prostate
(TURP), laser prostatektomi, Transurethral Insicion of the Prostate
(TUIP), termoterapi kelenjar prostat, pemasangan stent intraluminal,
operasi terbuka, dan kateterisasi.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Gangguan reproduksi pada pria dapat terjadi baik pada alat kelamin
bagian luar yaitu penis dan skrotum maupun alat kelamin pria bagian dalam
seperti testis, saluran semen, dan saluran prostat. Salah satu gangguan
reproduksi pria yang terjadi di prostat adalah BPH. BPH atau Benign Prostate
Hyperplasia adalah kondisi adanya hiperplasia atau perbesaran pada sel
stroma dan sel epitel kelenjar prostat yang berakibat aliran urine menjadi tidak
lancar dan buang air kecil terasa tidak tuntas. Beberapa tanda gejala dari BPH
adalah adanya rasa tidak tuntas setelah berkemih karena kandung kemih tidak
bisa benar-benar kosong, ada dorongan tiba-tiba ingin buang air kecil, nyeri
saat buang air, dan terdapat darah di urin.
B. Saran
Terdapat upaya pencegahan yang dapat dilakukan agar terhindar dari
BPH diantaranya adalah dengan menghindari konsumsi obat yang dapat
memperparah risiko BPH, hindari merokok, menjaga pola makan dan berat
badan. Dan untuk upaya intervensi yang dapat dilakukan adalah pemeriksaan
rutin, terapi hingga pembedahan.
DAFTAR PUSTAKA

Bimandama, M.A. and Kurniawaty, E. (2018) ‘Benign Prostatic Hyperplasia


dengan Retensi Urin dan Vesicolithiasis Benign Prostatic Hyperplasia with
Urine Retention and Vesicolithiasis’, Jurnal Agromedicine Unila, 5(2), pp.
655–661.

Coyne, S.M. et al. (2016) ‘Pretty as a Princess : Longitudinal Effects of


Engagement With Disney Princesses on Gender Stereotypes , Body Esteem
, and Prosocial Behavior in Children’, child development, 87(6), pp. 1909–
1925. Available at: https://doi.org/10.1111/cdev.12569.

M, Amelia Kiki, (2021), “KORELASI NILAI INTRAVESICAL PROSTATIC


PROTRUSION DAN POST VOID RESIDUAL URINE
MENGGUNAKAN PEMERIKSAAN ULTRASONOGRAFI
TRANSABDOMINAL DENGAN SKOR INTERNATIONAL
PROSTATE SYMPTOM PADA PASIEN PEMBESARAN PROSTAT
JINAK”, Tesis, Fakultas Kedokteran : Universitas Hasanuddin.

Mochtar, C.A., Umbas, R., Soebadi, D.M., Rasyid, N., Noegroho, B.S., Poernomo,
B.B., Tjahjodjati, Danarto, H.R., Wijanarko, S., Warli, S.M. & Hamid,
A.R.A.H. (2015) Panduan Penatalaksanaan Klinis Pembesaran Prostat
Jinak (Benign Prostatic Hyperplasia/BPH), Ikatan Ahli Urologi Indonesia.

Roehrborn, C. (2016) Benign Prostatic Hyperplasia: Etiology, Pathophysiology,


Epidemiology, and Natural History.

Sutanto, R.L. (2021) ‘Hiperplasia Prostat Jinak’, JIMKI: Jurnal Ilmiah


Mahasiswa Kedokteran Indonesia, 8(3), pp. 90–97. Available at:
https://doi.org/10.53366/jimki.v8i3.230.

Anda mungkin juga menyukai