Disusun Oleh :
FAKULTAS KEPERAWATAN
TANGERANG
2020
BAB I
PENDAHULUAN
Benign Prostatic Hyperplasia (BPH) dikenal juga dengan hipertrofi prostat jinak
yang merupakan penyakit degenaratif yang umum terjadi pada pria usia lanjut.
BPH merupakan pembesaran pada kelenjar prostat yang menyumbat uretra
parsprostatika dan menyebabkan terhambatnya aliran urin keluar.
Angka kejadian BPH meningkat seiring dengan bertambahnya usia, yaitu sekitar
20% pada pria usia 40 tahun, kemudian menjadi 70% pada pria usia 60 tahun, dan
akan mencapai 90% pada pria usia 80 tahun (Kumar dkk, 2010).
Berdasarkan uraian diatas, maka penulis merasa bahwa Laporan ini perlu
dilakukan dengan harapan dapat membantu Mahasiswa/I Faculty of Nursing
Universitas Pelita Harapan dalam meningkatkan pelayanan kesehatannya terutama
dalam mengetahui penyakit Benign Prostate Hyperplasia, terutama dalam
melakukan auhan keperawatan pada pasien Tn. T dengan diagnosa medis Benign
Prostate Hyperplasia.
Bab I: pendahuluan yang berisi tentang latar belakang pembahasan, tujuan penulisan,
manfaat penulisan dan sistematika penulisan.
Bab II: konsep dasar teoritis yang menguraikan tentang landasan teori medis pada
masalah dan teori dalam keperawatan.
Bab III: tinjauan kasus yang membahas mengenai pengelolaan kasus yang dilakukan
tim penulis meliputi pengkajian, diagnosa, rencana, dan intervensi keperawatan
kepada Tn. T dengan diagnosa Benign Prostate Hyperplasia di Lt. 6 Rumah Sakit
Umum Siloam Lippo Village.
2.1.1 Defenisi
BPH adalah pembesaran jinak kelenjar prostat yang disebabkan oleh karena
hiperplasi beberapa atau semua komponen prostat meliputi jaringan kelenjar
atau jaringan fibromuskuler yang menyebabkan penyumbatan uretra pars
prostatika (Sueb 2016)
Dari beberapa pengertian diatas dapat kita simpulkan bahwa BPH merupakan
suatu keadaan dimana terjadi pembesaran pada kelenjar prostat sehingga
menyebabkan penyumbatan pada uretra dan biasanya terjadi pada pria lansia
usia di atas 60 tahun.
2.1.2 Klasifikasi
Dari skor IPSS (International Prostate Symptom Score) dan gejala LUTS
(Lower Urinary Tract Symptoms) dapat dikelompokkan menjadi 3 bagian
seperti pada tabel berikut:
Keparahan Skor IPPS Gejala dan tanda yang khas
penyakit
Ringan ≤7 Asimtomatik
Laju aliran puncak
urine 25-50 mL
Sedang 8-19 Semua tanda-tanda di atas
ditambah gejala obstruktif dan
iritatif
Berat ≥ 20 Semua diatas diitambah satu
atau lebih komplikasi BPH
Tabel 1.1 Kategori BPH berdasarkan tanda dan gejala (Wells et al., 2015)
2.1.3 Etiologi
Pada usia yang semakin tua, kadar testosteron menurun, sedangkan kadar
estrogen relatif tetap sehingga perbandingan antara hormon estrogen dan
testosteron relatif meningkat. telah diketahui bahwa estrogen di dalam prostat
berperan dalam terjadinya proliferasi sel-sel kelenjar prostat dengan cara
meningkatkan sensitifitas sel-sel prostat terhadap rangsangan hormon
androgen, meningkatkan jumlah reseptor androgen, dan menurunkan jumlah
kematian selsel prostat (apoptosis). Hasil akhir dari semua keadaan ini adalah,
meskipun rangsangan terbentuknya sel-sel baru akibat rangsangan testosteron
menurun, tetapi sel-sel prostat yang telah ada mempunyai umur yang lebih
panjang sehingga massa prostat jadi lebih besar (Purnomo, 2016).
Sel epitel prostat secara tidak langsung dikontrol oleh sel-sel stroma melalui
suatu mediator (growth factor) tertentu. setelah sel-sel stroma mendapatkan
stimulasi dari DHT dan estradiol, sel-sel stroma mensintesis suatu growth
factor yang selanjutnya mempengaruhi sel-sel stroma itu sendiri secara
intrakrin dan autokrin, serta mempengaruhi sel-sel epitel secara parakrin.
Stimulasi itu menyebabkan terjadinya proliferasi sel-sel epitel maupun sel
stroma (Purnomo. 2016)
Untuk menganti sel-sel yang telah mengalami apotosis, selalu dibentuk sel-sel
baru. di dalam kelenjar prostat dikenal suatu sel stem, yaitu sel yang
mempunyai kemampuan berproliferasi sangat ekstensif. Kehidupan sel ini
sangat tergantung pada keberadaan hormon androgen, sehingga jika hormon
ini kadarnya menurun seperti yang terjadi pada kastrasi, menyebabkan
terjadinya apoptosis. Terjadinya proliferasi sel-sel pada BPH dipostulasikan
sebagai ketidaktepatnya sktivitas sel stem sehingga terjadi produksi yang
berlebihan sel stroma maupun sel epitel (Purnomo, 2016).
2.1.4 Anatomi dan Fisiologi
1. Ligamentum puboprostatika.
Pembuluh darah dan saraf untuk glandula prostat meliputi arteri pudenda
interna,arteri sesikalis inferior, dan arteri haemoroidalis medialis.
2. Fisiologi
Kelenjar prostat berfungsi untuk menyekresikan cairan seperti susu yang juga
membentuk bagian semen. Cairan yang dikeluarkan oleh kelenjar prostat ini
mengandung asam sitrat untuk menjaga perjalanan sperma agar tetap hidup
ketika menghadapi tekanan pada uretra selain itu juga cairan ini dapat menjadi
pemasok makanan, jika dibutuhkan. Sekresi prostat dihasilkan dalam jaringan
kelenjar yang bercabang yang tertanam dalam otot prostat. Otot ini
berkontraksi selama ejakulasi, dan sekresi prostat disemburkan melalui ductus
ejakulatorius ke dalam uretra.
2.1.6 Patofisiologi
1. Urinalisis
PSA disintesis oleh sel epitel prostat dan bersifat organ specific tetapi bukan
cancer specific. Kadar PSA di dalam serum dapat mengalami peningkatan
pada peradangan, setelah manipulasi pada prostat (biopsi prostat atau TURP),
pada retensi urine akut, kateterisasi, keganasan prostat, dan usia yang makin
tua.
Serum PSA dapat dipakai untuk meramalkan perjalanan penyakit dari BPH;
dalam hal ini jika kadar PSA tinggi berarti: (a) pertumbuhan volume prostat
lebih cepat, (b) keluhan akibat BPH/laju pancaran urine lebih jelek, dan (c)
lebih mudah terjadi retensi urine akut.
5. Residu urine
Residu urine atau post voiding residual urine (PVR) adalah sisa urine di
kandung kemih setelah berkemih. Jumlah residu urine pada pria normal rata-
rata 12 mL. Pemeriksaan residu urine dapat dilakukan dengan cara USG,
bladder scan atau dengan kateter uretra. Peningkatan volume residu urine
dapat disebabkan oleh obstruksi saluran kemih bagian bawah atau kelemahan
kontraksi otot detrusor. Volume residu urine yang banyak pada pemeriksaan
awal berkaitan dengan peningkatan risiko perburukan gejala. Peningkatan
volume residu urine pada pemantauan berkala berkaitan dengan risiko
terjadinya retensi urine.
Terapi medikamentosa
Terapi Bedah
Kateterisasi Urine
Merupakan tindakan memasukkan selang melalui uretra kedalam kandung
kemih. Pemasangan kateter menyebabkan urine mengalir secara kontinu pada
pasien yang tidak mampu mengontrol perkemihan.
Merupakan tindakan memasukan instrumen nelalui uretra. Satu atau dua buah
insisi dibuat pada prostat dan kapsul prostat untuk mengurangi tekanan
prostat pada uretra dan mengurangi kontriksi uretral
2.1.9 Komplikasi
Komplikasi yang sering terjadi pada pasien BPH menurut (Wibowo, 2012)
yaitu:
3. Stasis urin dalam vesika urinaria akan membentuk batu endapan yang
menambah keluhan iritasi dan hematuria. Selain itu stasis urin daalm vesika
urinaria dapat menyebabkan sistitis dan bila terjadi refluks menyebabkan
pyelonefritis.
2.1.10 Prognosis
Prognosis untuk BPH berubah-ubah dan tidak dapat diprediksi pada setiap
individu. BPH yang tidak segera diobati memiliki prognosis yang buruk
karena dapat berkembang menjadi kanker prostat yang dapat berujung pada
kematian
2.1.11 Pathway
Testosterone ↓ Endrogen ↑
Mempengaruhi RNA dalam inti sel Peningkatan lama hidup sel stoma
BPH
Retensi Urin
Luka operasi
2.2.1 Pengkajian
a. Pola Eliminasi
Pasien dengan BPH biasanya akan mengalami retensi urin sehingga pasien
sulit untuk berkemih yang mengakibatkan ia tidak mampu mengeliminasi urin
sehingga Pola eliminasi dalm hal ini berkemih akan menurun. Selain itu, pada
pasien post operasi BPH biasanya juga akan mengalami gangguan eliminasi
akibat tindakan invasive serta prosedur pembedahan yang dilakukan.
b. Sirkulasi
Pada pasien BPH juga sering terjadi gangguan sirkulasi yaitu TD menurun.
Namun kebanyakan pada pasien postoperasi BPH ini juga biasanya terdapat
peningkatan nadi akibat kekurangan volume cairan.
c. Integritas Ego
Integritas ego pada pasien dengan BPH seringkali menjadi terganggu karena
memikirkan pengobatan dan segala tindakan yang dilakukan. Dapat kita lihat
dari tanda-tanda seperti kegelisahan dan perubahan perilaku.
Pada pasien BPH seringkali juga terganggu Pola Nutrisi akibat adanya nyeri
yang menyebabkan efek penekanan pada abdomen baik preoperasi maupun
postoperasi. Sehingga dapat menyebabkan tanda dan gejala seperti :
anoreksia, mual dan muntah, serta penurunan berat badan pasien.
f. Seksualitas
2.2.2. Diagnosa
Black, Joyce M & Hawks, Jane Hokanson. (2014). Keperawatan Medikal Bedah.
Edisi 8, Buku 2. Elsevier. Singapura : PT Salemba Medika.
Brunner dan Suddarth. (2010). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Edisi 8.
Jakarta : EGC.
Nuari, N. Afrian & Widhayati Dina. (2017). Gangguan Pada Sistem Perkemihan &
Penatalaksanaan Keperawatan. Yogyakarta : Deepublish