Anda di halaman 1dari 18

ASUHAN KEPERAWATAN KEPADA Tn.

T DENGAN BENIGNA PROSTATE


HYPERPLASIA DI LANTAI 6 RUMAH SAKIT UMUM SILOAM

Disusun Oleh :

ADE LISATRIA TELAUMBANUA 01501180225


BRILIA DESVIANTY MARLIN PALIJAMA 01501180182
DELLY NATALYA ELFETO 01501180158
INDIRA YOBI 01501180003
NANA DESIANA TESALONIKA 01501170335
RISNARIANI IRMAYANTI FUA 01501180016
ROSELLA AYU PRATAMA ORON 01501170404

PROGRAM STUDI KEPERAWATAN

FAKULTAS KEPERAWATAN

UNIVERSITAS PELITA HARAPAN

TANGERANG

2020
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Benign Prostatic Hyperplasia (BPH) dikenal juga dengan hipertrofi prostat jinak
yang merupakan penyakit degenaratif yang umum terjadi pada pria usia lanjut.
BPH merupakan pembesaran pada kelenjar prostat yang menyumbat uretra
parsprostatika dan menyebabkan terhambatnya aliran urin keluar.

Istilah pembesaran prostat jinak dideinisikan sebagai pertumbuhan prostat yang


cukup untuk mengobstruksi (menghambat) jalan keluar uretra, yang menyebabkan
gejala saluran kemih bawah (LUTS) yang menganggu infeksi saluran kemih
(ISK), hematuria, atau gangguan fungi saluran kemih atas.

Angka kejadian BPH meningkat seiring dengan bertambahnya usia, yaitu sekitar
20% pada pria usia 40 tahun, kemudian menjadi 70% pada pria usia 60 tahun, dan
akan mencapai 90% pada pria usia 80 tahun (Kumar dkk, 2010).

Menurut WHO (2013), diperkirakan terdapat 70 juta kasus degenerative, salah


satunya ialah BPH, dengan insidensi di negara maju sebanyak 19%, dan di negara
berkembang sebanyak 5.35% kasus. Tahun 2013 di Indonesia terdapat 9.2 juta
kasus BPH, diantaranya diderita oleh laki-laki berusia diatas 60 tahun. Di Jawa
Barat, umur diatas 60 tahun yang menderita penyakit BPH menempati urutan ke-
19 yaitu sebesar 1,37% (530 orang).

Berdasarkan uraian diatas, maka penulis merasa bahwa Laporan ini perlu
dilakukan dengan harapan dapat membantu Mahasiswa/I Faculty of Nursing
Universitas Pelita Harapan dalam meningkatkan pelayanan kesehatannya terutama
dalam mengetahui penyakit Benign Prostate Hyperplasia, terutama dalam
melakukan auhan keperawatan pada pasien Tn. T dengan diagnosa medis Benign
Prostate Hyperplasia.

1.2 Tujuan Penulisan

1.2.1 Tujuan Umum

Untuk mengetahui definisi, klasifikasi, etiologi, anatomi fisiologi, manifestasi


klinis, patofisiologi, pemeriksaan diagnostik, penatalaksanaan medis, komplikasi,
prognosis, tinjauan teoritis keperawatan, dan dapat melakukan asuhan
keperawatan kepada Tn. T dengan Benign Prostate Hyperplasia yang dirawat di
Lt. 6 Rumah Sakit Umum Siloam Lippo Village.

1.2.2 Tujuan Khusus

a. Mampu mengetahui dan memahami tentang definisi, klasifikasi, etiologi,


anatomi fisiologi, manifestasi klinis, patofisiologi, pemeriksaan diagnostik,
penatalaksanaan medis, komplikasi, prognosis, tinjauan teoritis keperawatan
tentang Benign Prostate Hyperplasia

b. Mampu melakukan pengkajian keperawatan kepada Tn. T dengan Benign


Prostate Hyperplasia yang dirawat di Lt. 6 Rumah Sakit Umum Siloam Lippo
Village.

c. Mampu merumuskan diagnosa keperawatan kepada Tn. T dengan Benign


Prostate Hyperplasia yang dirawat di Lt. 6 Rumah Sakit Umum Siloam Lippo
Village.

d. Mampu membuat rencana keperawatan kepada Tn. T dengan Benign Prostate


Hyperplasia yang dirawat di Lt. 6 Rumah Sakit Umum Siloam Lippo Village.
1.3 Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan dalam Laporan Pendahuluan yang dilakukan oleh tim


penulis tentang pasien dengan diagnosa sebagai berikut :

Bab I: pendahuluan yang berisi tentang latar belakang pembahasan, tujuan penulisan,
manfaat penulisan dan sistematika penulisan.

Bab II: konsep dasar teoritis yang menguraikan tentang landasan teori medis pada
masalah dan teori dalam keperawatan.

Bab III: tinjauan kasus yang membahas mengenai pengelolaan kasus yang dilakukan
tim penulis meliputi pengkajian, diagnosa, rencana, dan intervensi keperawatan
kepada Tn. T dengan diagnosa Benign Prostate Hyperplasia di Lt. 6 Rumah Sakit
Umum Siloam Lippo Village.

Bab IV: penutup yang berisi tentang kesimpulan dan saran.


BAB II

KONSEP DASAR TEORITIS

2.1 Tinjauan Teoritis Medis.

2.1.1 Defenisi

BPH adalah pembesaran jinak kelenjar prostat yang disebabkan oleh karena
hiperplasi beberapa atau semua komponen prostat meliputi jaringan kelenjar
atau jaringan fibromuskuler yang menyebabkan penyumbatan uretra pars
prostatika (Sueb 2016)

BPH (Benign Prostate Hyperplasia) merupakan suatu penyakit dimana terjadi


pembesaran kelenjar prostat akibat adanya pembesaran jinak dari sel-sel yang
biasa terjadi pada laki-laki berusia lanjut (Aprina 2016).

BPH adalah pembesaran progresif dari kelenjar prostat disebabkan oleh


hyperthropi beberapa atau semua komponen prostat yang mengakibatkan
penyumbatan uretra pars prostatika. ( Arif Mutakin & Kumala sari 2011)

Dari beberapa pengertian diatas dapat kita simpulkan bahwa BPH merupakan
suatu keadaan dimana terjadi pembesaran pada kelenjar prostat sehingga
menyebabkan penyumbatan pada uretra dan biasanya terjadi pada pria lansia
usia di atas 60 tahun.

2.1.2 Klasifikasi

Dari skor IPSS (International Prostate Symptom Score) dan gejala LUTS
(Lower Urinary Tract Symptoms) dapat dikelompokkan menjadi 3 bagian
seperti pada tabel berikut:
Keparahan Skor IPPS Gejala dan tanda yang khas
penyakit
Ringan ≤7 Asimtomatik
Laju aliran puncak
urine 25-50 mL
Sedang 8-19 Semua tanda-tanda di atas
ditambah gejala obstruktif dan
iritatif
Berat ≥ 20 Semua diatas diitambah satu
atau lebih komplikasi BPH

Tabel 1.1 Kategori BPH berdasarkan tanda dan gejala (Wells et al., 2015)

2.1.3 Etiologi

Hingga sekarang masih belum diketahui secara pasti penyebab terjadinya


BPH, tetapi beberapa hipotesis menyebutkan bahwa BPH erat kaitannya
dengan peningkatan kadar dihidrotestosteron (DHT) dan proses aging
(penuaan).
Beberapa hipotesis yang diduga sebagai penyebab timbulnya BPH adalah :

(1) Teori Dihidrotestosteron

Dihidrotestosterone atau DHT adalah metabolit androgen yang sangat penting


pada pertumbuhan sel-sel kelenjar prostat. Kadar DHT pada BPH tidak jauh
berbeda dengan kadar pada prostat normal, hanya saja pada BPH aktivitas
enzim 5α-reduktase dan jumlah reseptor androgen lebih banyak pada BPH
yang menyebabkan sel-sel prostat pada BPH lebih sensitif terhadap DHT
sehingga replikasi sel lebih banyak terjadi dibandingkan dengan prostat
normal (Purnomo, 2016).
(2) Adanya ketidakseimbangan antara estrogen dan testosteron

Pada usia yang semakin tua, kadar testosteron menurun, sedangkan kadar
estrogen relatif tetap sehingga perbandingan antara hormon estrogen dan
testosteron relatif meningkat. telah diketahui bahwa estrogen di dalam prostat
berperan dalam terjadinya proliferasi sel-sel kelenjar prostat dengan cara
meningkatkan sensitifitas sel-sel prostat terhadap rangsangan hormon
androgen, meningkatkan jumlah reseptor androgen, dan menurunkan jumlah
kematian selsel prostat (apoptosis). Hasil akhir dari semua keadaan ini adalah,
meskipun rangsangan terbentuknya sel-sel baru akibat rangsangan testosteron
menurun, tetapi sel-sel prostat yang telah ada mempunyai umur yang lebih
panjang sehingga massa prostat jadi lebih besar (Purnomo, 2016).

(3) Interaksi antara sel stroma dan sel epitel prostat

Sel epitel prostat secara tidak langsung dikontrol oleh sel-sel stroma melalui
suatu mediator (growth factor) tertentu. setelah sel-sel stroma mendapatkan
stimulasi dari DHT dan estradiol, sel-sel stroma mensintesis suatu growth
factor yang selanjutnya mempengaruhi sel-sel stroma itu sendiri secara
intrakrin dan autokrin, serta mempengaruhi sel-sel epitel secara parakrin.
Stimulasi itu menyebabkan terjadinya proliferasi sel-sel epitel maupun sel
stroma (Purnomo. 2016)

(4) Berkurangnya kematian sel (apoptosis)

Program kematian sel (apoptosis) pada sel prostat adalah mekanisme


fisiologik untuk mempertahankan homeostasis kelenjar prostat. pada apoptosis
terjadi kondensasi dan fragmentasi sel yang selanjutnya sel-sel yang
mengalami apoptosis akan difagositosis oleh sel-sel di sekitarnya kemudian
didegradasi oleh enzim lisosom sedangkan ada jaringan normal, terdapat
keseimbangan antara laju proliferasi sel dengan kematian sel. Pada saat terjadi
pertumbuhan prostat sampai pada prostat dewasa, penambahan jumlah sel-sel
prostat baru dengan yang mati dalam keadaan seimbang. Berkurangnya
jumlah sel-sel prostat yang mengalami apoptosis menyebabkan jumlah sel-sel
prostat secara keseluruhan menjadi meningkat sehingga menyebabkan
pertambahan massa prostat. sampai sekarang belum dapat diterangkan secara
pasti faktor-faktor yang menghambat proses apoptosis. diduga hormon
androgen berperan dalam menghambat proses kematian sel karena setelah
dilakukan kastrasi, terjadi peningkatan aktivitas kematian sel kelenjar prostat.
Estrogen diduga mampu memperpanjang usia selsel prostat, sedangkan faktor
pertumbuhan TGFβ berperan dalam proses apoptosis (Purnomo, 2016).

(5) Teori stem sel.

Untuk menganti sel-sel yang telah mengalami apotosis, selalu dibentuk sel-sel
baru. di dalam kelenjar prostat dikenal suatu sel stem, yaitu sel yang
mempunyai kemampuan berproliferasi sangat ekstensif. Kehidupan sel ini
sangat tergantung pada keberadaan hormon androgen, sehingga jika hormon
ini kadarnya menurun seperti yang terjadi pada kastrasi, menyebabkan
terjadinya apoptosis. Terjadinya proliferasi sel-sel pada BPH dipostulasikan
sebagai ketidaktepatnya sktivitas sel stem sehingga terjadi produksi yang
berlebihan sel stroma maupun sel epitel (Purnomo, 2016).
2.1.4 Anatomi dan Fisiologi

Gambar 1.1 Reproduksi Pria dan Kelenjar Prostat


1. Anatomi

Pada anak-anak, prostat berukuran kecil, namun selama pubertas prostat


bertumbuh hingga seukuran kacang kastanye. Kelenjar prostat dewasa
berukuran sekitar 2 cm posterior terhadap simfisis pubis. Prostat laki-laki
dewasa normal berbobot 15 hingga 20 gram dan memiliki panjang hingga 4-6
cm. Glandula Prostat terdapat dibawah orifisium uretra interna dan sekeliling
permukaan uretra, melekat dibawah vesika urinaria dalam rongga pelvis
dibawah simfisis pubis posterior. Prostat merupakan suatu kelenjar yang
mempunyai empat lobus yaitu posterior, anterior, lateral dan medial. Bagian
dasar/basal dari prostat ini menghadap ke atas yang berhubungan dengan
permukaan inferior vesika urinaria. sedangkan apeks atau puncak dari prostat
mengarah ke bawah berhubungan dengan diafragma urogenitalis. Prostat
dipertahankan posisinya oleh :

1. Ligamentum puboprostatika.

2. Lapisan dalam diafragma urogenitalis.

3. M. levator ani pars anterior

4. M. levator prostat bagian dari M. levator ani.

Pembuluh darah dan saraf untuk glandula prostat meliputi arteri pudenda
interna,arteri sesikalis inferior, dan arteri haemoroidalis medialis.

2. Fisiologi

Kelenjar prostat berfungsi untuk menyekresikan cairan seperti susu yang juga
membentuk bagian semen. Cairan yang dikeluarkan oleh kelenjar prostat ini
mengandung asam sitrat untuk menjaga perjalanan sperma agar tetap hidup
ketika menghadapi tekanan pada uretra selain itu juga cairan ini dapat menjadi
pemasok makanan, jika dibutuhkan. Sekresi prostat dihasilkan dalam jaringan
kelenjar yang bercabang yang tertanam dalam otot prostat. Otot ini
berkontraksi selama ejakulasi, dan sekresi prostat disemburkan melalui ductus
ejakulatorius ke dalam uretra.

2.1.5 Manifestasi Klinis


Keluhan utama yang sering dikeluhkan adalah LUTS (Lower Urinary Tract
Symptoms). Keluhan LUTS dibagi menjadi dua yaitu Gejala Obstruktif
(Voiding Symptoms) meliputi memulai BAK yang lama dan sering disertai
mengejan, pancaran urin lemah dan sering terputus-putusnya aliran urin serta
rasa tidak puas setekah BAK. Adapun Gejala Obstruktif (Voiding Symptoms)
meliputi perasaan ingin BAK yang sulit ditahan, meningkatnya frekuensi
berkemih dan biasanya sering terjadi di malam hari (nokturia) dan rasa nyeri
pada waktu BAK.

2.1.6 Patofisiologi

Hiperplasia pada prostat dapat menyebabkan obstruksi pada kandung kemih.


Hiperplasia berawal pada produksi hormone estrogen dan testosterone yang
tidak seimbang pada usia lanjut dimana testosterone mengalami penurunan
sedangkan kadar estrogen semakin meningkat. Penurunan testosterone ini
mempengaruhi RNA dalam inti sel yang menyebabkan proliferasi sel-sel
prostat dan menyebabkan pembesaran jinak kelenjar prostat atau BPH. Selain
itu juga peningkatan kadar estrogen dapat menjadi salah satu penyebab karena
estrogen yang meningkat dapat mennyebabkan peningkatan lama hidup
stroma dan epitel dari kelenjar prostat sehingga berkurangnya sel yang mati
dan terjadi penumpukan sehingga terjadi Hiperplasia Prostat jinak.

2.1.7 Pemeriksaan Diagnostik

1. Urinalisis

Pemeriksaan urinalisis dapat menentukan adanya leukosituria dan hematuria.


Apabila ditemukan hematuria, maka perlu dicari penyebabnya. Bila dicurigai
adanya infeksi saluran kemih perlu dilakukan pemeriksaan kultur urine.

2. Pemeriksaan fungsi ginjal


Obstruksi infravesika akibat BPH dapat menyebabkan gangguan pada saluran
kemih bagian atas. Gagal ginjal akibat BPH terjadi sebanyak 0,3-30% dengan
rata-rata 13,6%. Pemeriksaan faal ginjal berguna sebagai petunjuk perlu
tidaknya melakukan pemeriksaan pencitraan pada saluran kemih bagian atas.

3. Pemeriksaan PSA (Prostate Specific Antigen)

PSA disintesis oleh sel epitel prostat dan bersifat organ specific tetapi bukan
cancer specific. Kadar PSA di dalam serum dapat mengalami peningkatan
pada peradangan, setelah manipulasi pada prostat (biopsi prostat atau TURP),
pada retensi urine akut, kateterisasi, keganasan prostat, dan usia yang makin
tua.

Serum PSA dapat dipakai untuk meramalkan perjalanan penyakit dari BPH;
dalam hal ini jika kadar PSA tinggi berarti: (a) pertumbuhan volume prostat
lebih cepat, (b) keluhan akibat BPH/laju pancaran urine lebih jelek, dan (c)
lebih mudah terjadi retensi urine akut.

4. Uroflowmetry (Pancaran Urine )

Uroflowmetry adalah pemeriksaan pancaran urine selama proses berkemih.


Pemeriksaan non-invasif ini ditujukan untuk mendeteksi gejala obstruksi
saluran kemih bagian bawah.

5. Residu urine

Residu urine atau post voiding residual urine (PVR) adalah sisa urine di
kandung kemih setelah berkemih. Jumlah residu urine pada pria normal rata-
rata 12 mL. Pemeriksaan residu urine dapat dilakukan dengan cara USG,
bladder scan atau dengan kateter uretra. Peningkatan volume residu urine
dapat disebabkan oleh obstruksi saluran kemih bagian bawah atau kelemahan
kontraksi otot detrusor. Volume residu urine yang banyak pada pemeriksaan
awal berkaitan dengan peningkatan risiko perburukan gejala. Peningkatan
volume residu urine pada pemantauan berkala berkaitan dengan risiko
terjadinya retensi urine.

2.1.8 Penatalaksanaan Medis

Penatalaksanaan pengobatan tergantung pada penyebab, keparahan obstruksi


dan kondisi pasien.

 Observasi (watchfull waiting)

Memberikan edukasi kepada pasien mengenai BPH dan menghindari hal-hal


yang dapat memperburuk keadaanya seperti mengurangi minum setelah
makan malam, megurangi minum kafein. Biasanya dilakukan kontrol setiap 3
bulan.

 Terapi medikamentosa

• Penghambat adrenergika (prazosin, tetrazosin) yaitu untuk


menghambat reseptor pada otot polos di leher vesika prostat sehingga terjadi
relaksasi.

• Penghambat enzim 5-a-reduktase yaitu untuk menghambat


pembentukan DHT sehingga prostat yang membesar menjadi mengecil

 Terapi Bedah

Tergantung pada beratnya gejala dan komplikasi. Beberapa indikasi untuk


terapi bedah yaitu retensi urin berulang, hematuria, tanda penurunan fungsi
ginjal, ISK berulang, hidrokel.

 Kateterisasi Urine
Merupakan tindakan memasukkan selang melalui uretra kedalam kandung
kemih. Pemasangan kateter menyebabkan urine mengalir secara kontinu pada
pasien yang tidak mampu mengontrol perkemihan.

 Insisi Prostat Transuretral (TUIP)

Merupakan tindakan memasukan instrumen nelalui uretra. Satu atau dua buah
insisi dibuat pada prostat dan kapsul prostat untuk mengurangi tekanan
prostat pada uretra dan mengurangi kontriksi uretral

 TransUretral Reseksi Prostat

Merupakan pengangkatan jaringan prostat melalui uretra menggunakan


resektroskop.

2.1.9 Komplikasi

Komplikasi yang sering terjadi pada pasien BPH menurut (Wibowo, 2012)
yaitu:

1. Dapat terjadi obstruksi saluran kemih karena urin tidak mampu


melewati prostat sehingga dapat meyebabkan infeksi saluran kemih dan
apabila tidak diobati dapat menyebabkan gagal ginjal.

2. Kerusakan traktus urinarius bagian atas akibat dari obstruksi kronik


mengakibatkan penderita harus mengejan pada miksi yang menyebabkan
peningkatan tekanan intra abdomen yang akan menimbulkan hernia dan
hemoroid.

3. Stasis urin dalam vesika urinaria akan membentuk batu endapan yang
menambah keluhan iritasi dan hematuria. Selain itu stasis urin daalm vesika
urinaria dapat menyebabkan sistitis dan bila terjadi refluks menyebabkan
pyelonefritis.
2.1.10 Prognosis

Prognosis untuk BPH berubah-ubah dan tidak dapat diprediksi pada setiap
individu. BPH yang tidak segera diobati memiliki prognosis yang buruk
karena dapat berkembang menjadi kanker prostat yang dapat berujung pada
kematian

2.1.11 Pathway

Faktor pertambahan usia

Ketidakseimbangan produksi testosterone dan endrogen

Testosterone ↓ Endrogen ↑

Mempengaruhi RNA dalam inti sel Peningkatan lama hidup sel stoma

Proliferasi sel-sel prostat Penumpukan sel

BPH

Obstruksi saluran kemih yang bermuara ke vesika urinaria

Retensi Urin

Prosedur pembedahan (TURP)

Luka operasi

Nyeri akut Resiko Infeksi Intoleransi Aktifitas


2.2 Tinjauan Teoritis Keperawatan

2.2.1 Pengkajian

Pada umumnya proses pengkajian akan dilakukan dengan pengkajian Head to


Toe serta Menurut Doenges, dkk (2000) focus pengkajian keperawatan pada
pasien dengan diagnosa Benigna Prostate Hiperplasia (BPH) adalah sebagai
berikut.

a. Pola Eliminasi

Pasien dengan BPH biasanya akan mengalami retensi urin sehingga pasien
sulit untuk berkemih yang mengakibatkan ia tidak mampu mengeliminasi urin
sehingga Pola eliminasi dalm hal ini berkemih akan menurun. Selain itu, pada
pasien post operasi BPH biasanya juga akan mengalami gangguan eliminasi
akibat tindakan invasive serta prosedur pembedahan yang dilakukan.

b. Sirkulasi

Pada pasien BPH juga sering terjadi gangguan sirkulasi yaitu TD menurun.
Namun kebanyakan pada pasien postoperasi BPH ini juga biasanya terdapat
peningkatan nadi akibat kekurangan volume cairan.

c. Integritas Ego

Integritas ego pada pasien dengan BPH seringkali menjadi terganggu karena
memikirkan pengobatan dan segala tindakan yang dilakukan. Dapat kita lihat
dari tanda-tanda seperti kegelisahan dan perubahan perilaku.

d. Makanan dan cairan

Pada pasien BPH seringkali juga terganggu Pola Nutrisi akibat adanya nyeri
yang menyebabkan efek penekanan pada abdomen baik preoperasi maupun
postoperasi. Sehingga dapat menyebabkan tanda dan gejala seperti :
anoreksia, mual dan muntah, serta penurunan berat badan pasien.

e. Nyeri dan kenyamanan

Hierarki maslow mengatakan bahwa kebutuhan rasa nyaman merupakan hal


yang utama. Pada pasien BPH Preoperasi juga merasakan nyeri sehingga
pengkajian pada nyeri harus dilakukan demi memenuhi kebutuhan rasa
nyaman pada pasien.

f. Seksualitas

Pada pasien Preoperasi dan Postoperasi BPH dapat mengalami masalah


kemampuan seksualnya terutama terhadap efek kondisi/terapi, menurunnya
kekuatan pada saat ejakulasi dan nyeri akibat dari pembesaran prostat ini.

2.2.2. Diagnosa

Diagnosa yang mungkin dapat muncul menurut NANDA (2015), adalah :

1. Gangguan eliminasi urin b.d sumbatan saluran pengeluaran pada kandung


kemih: Benigna Prostate Hyperplasia.
2. Nyeri akut b.d agent injuri fisik (spasme kandung kemih).
3. Resiko infeksi b.d kerusakan jaringan sebagai efek sekunder dari prosedur
pembedahan.
4. Resiko perdarahan b.d trauma efek samping pembedahan.
5. Resiko ketidakefektifan perfusi ginjal.
6. Retensi Urine.
7. Ansietas b.d perasaan takut terhadap tindakan pembedahan.
REFERENSI

Black, Joyce M & Hawks, Jane Hokanson. (2014). Keperawatan Medikal Bedah.
Edisi 8, Buku 2. Elsevier. Singapura : PT Salemba Medika.

Brunner dan Suddarth. (2010). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Edisi 8.
Jakarta : EGC.

Mochtar, Chaidir A. 2015. Panduan Penatalaksanaan Klinis Pembesaran Prostat


Jinak (Benign Prostatic Hyperplasia/BPH). Jakarta : Ikatan Ahli urologi
Indonesia.

Nic-Noc. (2015). Asuhan Keperawatan Klien Berdasarkan Diagnosis Medis &


NANDA. Jilid 1. Yogyakarta : Mediaction.

Nuari, N. Afrian & Widhayati Dina. (2017). Gangguan Pada Sistem Perkemihan &
Penatalaksanaan Keperawatan. Yogyakarta : Deepublish

Syaifuddin, Haji. (2011). Anatomi fisiologi : kurikulum berbasis kompetenssi untuk


keperawatan & kebidanan. Jakarta : EGC.

Anda mungkin juga menyukai