Anda di halaman 1dari 42

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Kelenjar prostate adalah suatu kelenjar fibro muscular yang
melingkar Bledder neck dan bagian proksimal uretra. Kelenjar prostat
berguna untuk melindungi spermatozoa terhadap tekanan yang ada
diuretra dan vagina, serta menambah cairan alkalis pada cairan seminalis.
Pada beberapa pasien dengan usia diatas 50 tahun, kelenjar prostatnya
mengalami perbesaran, karena terjadi perubahan keseimbangan
testosterone dan estrogen, pada beberapa kasus kelenjar prostat bisa
memanjang ke atas ke dalam kandung kemih dan menyumbat aliran urin
dengan menutupi orifisium uretra. Kondisi ini dikenal sebagai hiperplasia
prostatik jinak (BPH), perbesaran atau hipertrofi prostat.
Benign Prostatic Hyperplasia (BPH) atau dalam bahasa umumnya
dinyatakan sebagai Pembesaran Prostat Jinak (PPJ), merupakan suatu
penyakit yang biasa terjadi. Di dunia, penderita BPH hanya pada kaum
pria kerana wanita tidak mempunyai kalenjar prostat, maka oleh sebab itu,
BPH terjadi hanya pada kaum pria.
Di lihat secara histologi penyakit BPH, secara umum membabitkan
20% pria pada usia 40-an, dan meningkat secara dramatis pada pria
berusia 60-an, dan 90% pada usia 70. Di indonesia, penyakit pembesaran
prostat jinak menjadi urutan kedua setelah penyakit batu saluran kemih,
dan jika dilihat secara umumnya, diperkirakan hampir 50% pria Indonesia
yang berusia di atas 50 tahun, dengan kini usia harapan hidup mencapai
65 tahun ditemukan menderita penyakit PPJ atau BPH ini. Selanjutnya,
5% pria Indonesia sudah masuk ke dalam lingkungan usia di atas 60
tahun. Seperti juga BPH, kanker prostat juga menyerang pria berusia lebih
dari 50 dan pada usia di bawah itu bukan merupakan suatu yang
abnormal. Secara khususnya di Indonesia, menurut (WHO,2008).

1
Setelah secara umum melihat dan mengetahui akan epidemiologi
dari kedua penyakit, yakni BPH dan kanker prostat, kami tertarik untuk
mengetahui dengan lebih dalam lagi mengenai gambaran penyakit ini.

1.2. Rumusan Masalah


1. Apakah pengertian dari BPH (Benign Prostatic Hyperplasia) ?
2. Bagaimana etiologi dari BPH (Benign Prostatic Hyperplasia) ?
3. Apa saja tanda dan gejala dari BPH (Benign Prostatic Hyperplasia) ?
4. Bagaimana patifisiologi dari BPH (Benign Prostatic Hyperplasia) ?
5. Bagaiaman WOC dari BPH (Benign Prostatic Hyperplasia) ?
6. Bagaimanakah manifestasi klinis dari BPH (Benign Prostatic
Hyperplasia) ?
7. Apa saja komplikasi dari BPH (Benign Prostatic Hyperplasia) ?
8. Bagaimana pemeriksaan penunjang dari BPH (Benign Prostatic
Hyperplasia) ?
9. Bagaimana penatalaksanaan medis dari BPH (Benign Prostatic
Hyperplasia) ?
10. Bagaimana konsep asuhan keperawatan pada BPH (Benign Prostatic
Hyperplasia)?

1.3. Tujuan Penulisan


A. Tujuan Umum
Agar mahasiswa Universitas Nahdlatul Ulama Surabaya khususnya S1
Keperawatan dapat memahami penyakit Hiperplasi Prostat Benigna
(BPH) dan dapat memberikan Asuhan Keperawatan kepada pasien
Hiperplasia Prostat Benigna (BPH) pre-operasi dan post-operasi sesuai
dengan Standar Operasional Perawat (SOP).
B. Tujuan Khusus
1. Untuk mengetahui pengertian dari BPH
2. Untuk mengetahui etiologi dari BPH
3. Untuk mengetahui tanda dan gejala dari BPH
4. Untuk memahami patifisiologi dari BPH

2
5. Untuk mengetahui WOC dari BPH
6. Untuk mengetahui manifestasi klinis dar BPH
7. Untuk mengetahui macam komplikasi dari BPH
8. Untuk mengetahui macam pemeriksaan penunjang dari BPH
9. Untuk memahami penatalaksanaan medis dari BPH
10. Untuk memahami konsep asuhan keperawatan pada BPH

1.4 Manfaat Penulisan


1. Bagi Penulis
Penulis membaca terlebih dahulu keperpustakaan yang ada relavansinya
dengan topik yang hendak dibahas dan dapat terlatih menggabungkan hasil
bacaan dari berbagai sumber, mengambil intinya dan mengembangkan
ketingkatan pemikiran yang lebih matang.
2. Bagi Pembaca
Pembaca dapat mengetahui dan memahami tentang asuhan keperawatan
pada klien dengan diagnosa BPH.
3. Bagi FKK
Mahasiswa dapat mengetahui tentang asuhan keperawatan pada klien
dengan diagnosa BPH. Serta menguasai tentang kajian sumber dari
perpustakaan.

3
BAB 2
TINJAUAN TEORI

2.1 Pengertian BPH (Benign Prostatic Hyperplasia)


Ada beberapa pengertian penyakit Benigna Prostate
Hiperplasia (BPH) menurut beberapa ahli adalah Benigna Prostate
Hiperplasia (BPH) merupakan perbesaran kelenjar prostat, memanjang
ke atas kedalam kandung kemih dan menyumbat aliran urin dengan
menutupi orifisium uretra akibatnya terjadi dilatasi ureter (hidroureter)
dan ginjal (hidronefrosis) secara bertahap (Smeltzer dan Bare, 2012).
Benigna Prostat Hiperplasi (BPH) adalah pembesaran jinak
kelenjar prostat, disebabkan oleh karena hiperplasi beberapa atau semua
komponen prostat meliputi jaringan kelenjar atau jaringan fibromuskuler
yang menyebabkan penyumbatan uretra pars prostatika (lab/UPF Ilmu
Bedah RSUD dr.Soetomo, 1994).
BPH merupakakan pertumbuhan nodul-nodul fibroadenomatosa
majemuk dalam prostat, pertumbuhan tersebut dimulai dari bagian
periuretral sebagai proliferasi yang terbatas dan tumbuh dengan menekan
kelenjar normal yang tersisa, prostat tersebut mengelilingi uretra dan, dan
pembesaran bagian periuretral menyebabkan obstruksi leher kandung
kemih dan uretra parsprostatika yang menyebabkan aliran kemih dari
kandung kemih (Price dan Wilson, 2010).
BPH merupakan suatu keadaan yang sering terjadi pada pria umur
50 tahun atau lebih yang ditandai dengan terjadinya perubahan pada
prostat yaitu prostat mengalami atrofi dan menjadi nodular, pembesaran
dari beberapa bagian kelenjar ini dapat mengakibatkan obstruksi urine
( Baradero, Dayrit, dkk, 2013).
Berdasarkan pengertian diatas dapat disimpulkan
bahwa Benigna Prostat Hiperplasi (BPH) merupakan penyakit
pembesaran prostat yang disebabkan oleh proses penuaan, yang biasa
dialami oleh pria berusia 50 tahun keatas, yang mengakibatkan obstruksi

4
leher kandung kemih, dapat menghambat pengosongan kandung kemih
dan menyebabkan gangguan perkemihan.
2.2 Etiologi BPH (Benign Prostatic Hyperplasia)
Hingga sekarang masih belum diketahui secara pasti
etiologi/penyebab terjadinya BPH, namun beberapa hipotesisi
menyebutkan bahwa BPH erat kaitanya dengan peningkatan
kadar dehidrotestosteron (DHT) dan proses menua. Terdapat
perubahan mikroskopik pada prostat telah terjadi pada pria usia 30-40
tahun. Bila perubahan mikroskopik ini berkembang, akan terjadi
perubahan patologik anatomi yang ada pada pria usia 50 tahun, dan
angka kejadiannya sekitar 50%, untuk usia 80 tahun angka kejadianya
sekitar 80%, dan usia 90 tahun sekiatr 100% (Purnomo, 2011).
Etiologi yang belum jelas maka melahirkan beberapa hipotesa yang
diduga menjadi penyebab timbulnya Benigna Prosat, teori penyebab BPH
menurut Purnomo (2011) meliputi, Teori Dehidrotestosteron (DHT),
teori hormon (ketidakseimbangan antara estrogen dan testosteron), faktor
interaksi stroma dan epitel-epitel, teori berkurangnya kematian sel
(apoptosis), teori sel stem.

1. Teori Dehidrotestosteron (DHT)


Dehidrotestosteron/ DHT adalah metabolit androgen yang sangat
penting pada pertumbuhan sel-sel kelenjar prostat. Aksis hipofisis
testis dan reduksi testosteron menjadi dehidrotestosteron (DHT)
dalam sel prostad merupakan factor terjadinya penetrasi DHT
kedalam inti sel yang dapat menyebabkan inskripsi pada RNA,
sehingga dapat menyebabkan terjadinya sintesis protein yang
menstimulasi pertumbuhan sel prostat. Pada berbagai penelitian
dikatakan bahwa kadar DHT pada BPH tidak jauh berbeda dengan
kadarnya pada prostat normal, hanya saja pada BPH, aktivitas enzim
5alfa –reduktase dan jumlah reseptor androgen lebih banyak pada
BPH. Hal ini menyebabkan sel-sel prostat pada BPH lebih sensitive

5
terhadap DHT sehingga replikasi sel lebih banyak terjadi
dibandingkan dengan prostat normal.
2. Teori hormone ( ketidakseimbangan antara estrogen dan testosteron)
Pada usia yang semakin tua, terjadi penurunan kadar testosteron
sedangkan kadar estrogen relative tetap, sehingga terjadi
perbandingan antara kadar estrogen dan testosterone relative
meningkat. Hormon estrogen didalam prostat memiliki peranan
dalam terjadinya poliferasi sel-sel kelenjar prostat dengan cara
meningkatkan jumlah reseptor androgen, dan menurunkan jumlah
kematian sel-sel prostat (apoptosis). Meskipun rangsangan
terbentuknya sel-sel baru akibat rangsangan testosterone meningkat,
tetapi sel-sel prostat telah ada mempunyai umur yang lebih panjang
sehingga masa prostat jadi lebih besar.
3. Faktor interaksi Stroma dan epitel epitel.
Diferensiasi dan pertumbuhan sel epitel prostat secara tidak langsung
dikontrol oleh sel-sel stroma melalui suatu mediator yang
disebut Growth factor. Setelah sel-sel stroma mendapatkan stimulasi
dari DHT dan estradiol, sel-sel stroma mensintesis suatu growth
factor yang selanjutnya mempengaruhi sel-sel stroma itu sendiri
intrakrin dan autokrin, serta mempengaruhi sel-sel epitel
parakrin.Stimulasi itu menyebabkan terjadinya poliferasi sel-sel
epitel maupun sel stroma. Basic Fibroblast Growth Factor(BFGF)
dapat menstimulasi sel stroma dan ditemukan dengan konsentrasi
yang lebih besar pada pasien dengan pembesaran prostad jinak.
bFGF dapat diakibatkan oleh adanya mikrotrauma karena miksi,
ejakulasi atau infeksi.
4. Teori berkurangnya kematian sel (apoptosis)
Progam kematian sel (apoptosis) pada sel prostat adalah mekanisme
fisiologik untuk mempertahankan homeostatis kelenjar prostat. Pada
apoptosis terjadi kondensasi dan fragmentasi sel, yang selanjutnya
sel-sel yang mengalami apoptosis akan difagositosis oleh sel-sel di
sekitarnya, kemudian didegradasi oleh enzim lisosom. Pada jaringan

6
normal, terdapat keseimbangan antara laju poliferasi sel dengan
kematian sel. Pada saat terjadi pertumbuhan prostat sampai pada
prostat dewasa, penambahan jumlah sel-sel prostat baru dengan yang
mati dalam keadaan seimbang. Berkurangnya jumlah sel-sel prostat
baru dengan prostat yang mengalami apoptosis menyebabkan jumlah
sel-sel prostat secara keseluruhan menjadi meningkat, sehingga
terjadi pertambahan masa prostat.
5. Teori sel stem
Sel-sel yang telah apoptosis selalu dapat diganti dengan sel-sel baru.
Didalam kelenjar prostat istilah ini dikenal dengan suatu sel stem,
yaitu sel yang mempunyai kemampuan berpoliferasi sangat
ekstensif. Kehidupan sel ini sangat tergantung pada keberadaan
hormone androgen, sehingga jika hormone androgen kadarnya
menurun, akan terjadi apoptosis. Terjadinya poliferasi sel-sel BPH
dipostulasikan sebagai ketidaktepatan aktivitas sel stem sehingga
terjadi produksi yang berlebihan sel stroma maupun sel epitel.
2.3 Tanda dan Gejala BPH (Benign Prostatic Hyperplasia)
1. Gejala iritatif meliputi :
a. Peningkatan frekuensi berkemih
b. Nokturia
c. Perasaan ingin miksi yang sangat mendesak/ tidak dapat ditunda
d. Nyeri pada saat miksi
2. Gejala obstruktif meliputi :
a. Pancaran urine melemah
b. Rasa tidak puas sehabis miksi, kandung kemih tidak kosong dengan
baik
c. Kalau mau miksi harus menunggu lama
d. Volume urine menurun dan harus mengedan saat berkemih
e. Aliran urine tidak lancar/ terputus-putus
f. Urine terus menetes setelah berkemih
3. Gejala generalisata seperti keletihan, anoreksia, mual dan muntah, rasa
tidak nyaman pada epigastrik

7
2.4 Patofisiologi BPH (Benign Prostatic Hyperplasia)
Hiperplasi prostat adalah pertumbuhan nodul-nodul
fibroadenomatosa majemuk dalam prostat, pertumbuhan tersebut dimulai
dari bagian periuretral sebagai proliferasi yang terbatas dan tumbuh
dengan menekan kelenjar normal yang tersisa.Jaringan hiperplastik
terutama terdiri dari kelenjar dengan stroma fibrosa dan otot polos yang
jumlahnya berbeda-beda. Proses pembesaran prostad terjadi secara
perlahan-lahan sehingga perubahan pada saluran kemih juga terjadi
secara perlahan-lahan. Pada tahap awal setelah terjadi pembesaran
prostad, resistensi pada leher buli-buli dan daerah prostad meningkat,
serta otot destrusor menebal dan merenggang sehingga timbul sakulasi
atau divertikel. Fase penebalan destrusor disebut fase kompensasi,
keadaan berlanjut, maka destrusor menjadi lelah dan akhirnya mengalami
dekompensasi dan tidak mampu lagi untuk berkontraksi/terjadi
dekompensasi sehingga terjadi retensi urin. Pasien tidak bisa
mengosongkan vesika urinaria dengan sempurna, maka akan terjadi statis
urin. Urin yang statis akan menjadi alkalin dan media yang baik untuk
pertumbuhan bakteri ( Baradero, dkk 2013).
Obstruksi urin yang berkembang secara perlahan-lahan dapat
mengakibatkan aliran urin tidak deras dan sesudah berkemih masih ada
urin yang menetes, kencing terputus-putus (intermiten), dengan adanya
obstruksi maka pasien mengalami kesulitan untuk memulai berkemih
(hesitansi). Gejala iritasi juga menyertai obstruksi urin. Vesika
urinarianya mengalami iritasi dari urin yang tertahan tertahan didalamnya
sehingga pasien merasa bahwa vesika urinarianya tidak menjadi kosong
setelah berkemih yang mengakibatkan interval disetiap berkemih lebih
pendek (nokturia dan frekuensi), dengan adanya gejala iritasi pasien
mengalami perasaan ingin berkemih yang mendesak/ urgensi dan nyeri
saat berkemih atau disuria(Purnomo, 2011).
Tekanan vesika yang lebih tinggi daripada tekanan sfingter dan
obstruksi, akan terjadi inkontinensia paradoks. Retensi kronik

8
menyebabkan refluk vesiko ureter, hidroureter, hidronefrosis dan gagal
ginjal. Proses kerusakan ginjal dipercepat bila terjadi infeksi. Pada waktu
miksi penderita harus mengejan sehingga lama kelamaan menyebabkan
hernia atau hemoroid. Karena selalu terdapat sisa urin, dapat
menyebabkan terbentuknya batu endapan didalam kandung kemih. Batu
ini dapat menambah keluhan iritasi dan menimbulkan hematuria. Batu
tersebut dapat juga menyebabkan sistitis dan bila terjadi refluk akan
mengakibatkan pielonefritis (Sjamsuhidajat dan De jong, 2010).

9
2.5 WOC BPH (Benign Prostatic Hyperplasia)

10
2.6 Manifestasi Klinis BPH (Benign Prostatic Hyperplasia)
Obstruksi prostat dapat menimbulkan keluhan pada saluran kemih
maupun keluhan diluar saluran kemih. Menurut Purnomo (2011) dan
tanda dan gejala dari BPH yaitu : keluhan pada saluran kemih bagian
bawah, gejala pada saluran kemih bagian atas, dan gejala di luar saluran
kemih.
1. Keluhan pada saluran kemih bagian bawah
a. Gejala obstruksi meliputi : Retensi urin (urin tertahan dikandung
kemih sehingga urin tidak bisa keluar), hesitansi (sulit memulai
miksi), pancaran miksi lemah, Intermiten (kencing terputus-
putus), dan miksi tidak puas (menetes setelah miksi).
b. Gejala iritasi meliputi : Frekuensi, nokturia, urgensi (perasaan
ingin miksi yang sangat mendesak) dan disuria (nyeri pada saat
miksi).
2. Gejala pada saluran kemih bagian atas
Keluhan akibat hiperplasi prostat pada sluran kemih bagian atas
berupa adanya gejala obstruksi, seperti nyeri pinggang, benjolan
dipinggang (merupakan tanda dari hidronefrosis), atau demam yang
merupakan tanda infeksi atau urosepsis.
3. Gejala diluar saluran kemih
Pasien datang diawali dengan keluhan penyakit hernia inguinalis
atau hemoroid. Timbulnya penyakit ini dikarenakan sering mengejan
pada saat miksi sehingga mengakibatkan tekanan intraabdominal.
Adapun gejala dan tanda lain yang tampak pada pasien BPH, pada
pemeriksaan prostat didapati membesar, kemerahan, dan tidak nyeri
tekan, keletihan, anoreksia, mual dan muntah, rasa tidak nyaman
pada epigastrik, dan gagal ginjal dapat terjadi dengan retensi kronis
dan volume residual yang besar.

11
2.7 Komplikasi BPH (Benign Prostatic Hyperplasia)
Menurut Sjamsuhidajat dan De Jong (2010) komplikasi BPH
adalah :
1. Retensi urin akut, terjadi apabila buli-buli menjadi dekompensasi
2. Infeksi saluran kemih
3. Involusi kontraksi kandung kemih
4. Refluk kandung kemih
5. Hidroureter dan hidronefrosis dapat terjadi karena produksi urin
terus berlanjut maka pada suatu saat buli-buli tidak mampu lagi
menampung urin yang akan mengakibatkan tekanan intravesika
meningkat.
6. Gagal ginjal bisa dipercepat jika terjadi infeksi
7. Hematuri, terjadi karena selalu terdapat sisa urin, sehingga dapat
terbentuk batu endapan dalam buli-buli, batu ini akan menambah
keluhan iritasi. Batu tersebut dapat pula menibulkan sistitis, dan
bila terjadi refluks dapat mengakibatkan pielonefritis
8. Hernia atau hemoroid lama-kelamaan dapat terjadi dikarenakan
pada waktu miksi pasien harus mengedan.
2.8 Pemeriksaan Penunjang BPH (Benign Prostatic Hyperplasia)
Menurut Purnomo (2011) dan Baradero dkk (2013) pemeriksaan
penunjang yang dapat dilakukan pada penderita BPH meliputi :
1. Laboratorium
a. Analisi urin dan pemeriksaan mikroskopik urin penting dilakukan
untuk melihat adanya sel leukosit, bakteri dan infeksi.
Pemeriksaan kultur urin berguna untuk menegtahui kuman
penyebab infeksi dan sensitivitas kuman terhadap beberapa
antimikroba.
b. Pemeriksaan faal ginjal, untuk mengetahui kemungkinan adanya
penyulit yang menegenai saluran kemih bagian atas. Elektrolit,
kadar ureum dan kreatinin darah merupakan informasi dasar dari
fungsin ginjal dan status metabolic.

12
c. Pemeriksaan prostate specific antigen (PSA) dilakukan sebagai
dasar penentuan perlunya biopsy atau sebagai deteksi dini
keganasan. Bila nilai PSA <4ng/ml tidak perlu dilakukan biopsy.
Sedangkan bila nilai PSA 4-10 ng/ml, hitunglah prostate specific
antigen density (PSAD) lebih besar sama dengan 0,15 maka
sebaiknya dilakukan biopsy prostat, demikian pula bila nila PSA >
10 ng/ml.
d. Urinalisis dan kultur urine. Sedimen urine di periksa untuk
mencari kemungkinan adanya proses infeksi atau inflamasi pada
saluran kemih. Pemeriksaan kultur urine berguna untuk
mengetahui kuman penyebab infeksi dan sensitivitas kuman
terhadap beberapa antimikroba yang diujikan.
e. Pemeriksaan gula darah dilakukan untuk mengidentifikasi
kemungkinan adanya penyakit diabetes melitus yang dapat
menimbulkan kelainan persarafan pada buli-buli.
2. Radiologis/pencitraan
Menurut Purnomo (2011) pemeriksaan radiologis bertujuan untuk
memperkirakan volume BPH, menentukan derajat disfungsi buli-buli
dan volume residu urin serta untuk mencari kelainan patologi lain,
baik yang berhubungan maupun tidak berhubungan dengan BPH.
a. Foto polos abdomen, untuk mengetahui kemungkinan adanya
batu opak di saluran kemih, adanya batu/kalkulosa prostat, dan
adanya bayangan buli-buli yang penuh dengan urin sebagai tand
adanya retensi urin. Dapat juga dilihat
lesiosteoblastiksebagaitandametastasisdarikeganasanprostat,serta
osteoporosis akibat kegagalan ginjal.
b. Pemeriksaan Pielografi intravena ( IVP ), untuk memperkirakan
besarnya kelenjar prostat yang ditunjukkan dengan adanya
indentasi prostat (pendesakan buli-buli oleh kelenjar prostat) atau
ureter dibagian distal yang berbentuk seperti mata kail
(hookedfish)/gambaran ureter berbelok-belok di vesika, penyulit

13
yangterjadi pada buli-buli yaitu adanya trabekulasi, divertikel atau
sakulasi buli-buli.
c. Pemeriksaan USG transektal, untuk mengetahui besar kelenjar
prostat, memeriksa masa ginjal, menentukan jumlah residual
urine, menentukan volum buli-buli, mengukur sisa urin dan batu
ginjal, divertikulum atau tumor buli-buli, dan mencari kelainan
yang mungkin ada dalam buli-buli.
2.9 Penatalaksanaan BPH (Benign Prostatic Hyperplasia)
1. Observasi
Biasanya dilakukan pada pasien dengan keluhan ringan. Pasien
dianjurkan untuk mengurangi minum setelah makan malam yang
ditujukan agar tidak terjadi nokturia, menghindari obat-obat
dekongestan (parasimpatolitik), mengurangi minum kopi dan tidak
diperbolehkan minum alkohol agar tidak terlalu sering miksi. Pasien
dianjurkan untuk menghindari mengangkat barang yang berat agar
perdarahan dapat dicegah. Ajurkan pasien agar sering mengosongkan
kandung kemih (jangan menahan kencing terlalu lama) untuk
menghindari distensi kandung kemih dan hipertrofi kandung kemih.
Secara periodik pasien dianjurkan untuk melakukan control keluhan,
pemeriksaan laboratorium, sisa kencing dan pemeriksaan colok dubur
(Purnomo, 2011).
Pemeriksaan derajat obstruksi prostat menurut Purnomo (2011)
dapat diperkirakan dengan mengukur residual urin dan pancaran urin:
a. Residual urin, yaitu jumlah sisa urin setelah miksi. Sisa urin
dapat diukur dengan cara melakukan kateterisasi setelah miksi
atau ditentukan dengan pemeriksaan USG setelah miksi.
b. Pancaran urin (flow rate), dapat dihitung dengan cara
menghitung jumlah urin dibagi dengan lamanya miksi
berlangsung (ml/detik) atau dengan alat urofometri yang
menyajikan gambaran grafik pancaran urin.

14
2. Terapi medikamentosa
Menurut Baradero dkk (2013) tujuan dari obat-obat yang
diberikan pada penderita BPH adalah :
a. Mengurangi pembesaran prostat dan membuat otot-otot
berelaksasi untuk mengurangi tekanan pada uretra
b. Mengurangi resistensi leher buli-buli dengan obat-obatan
golongan alfa blocker (penghambat alfa adrenergenik)
c. Mengurangi volum prostat dengan menentuan kadar hormone
testosterone/ dehidrotestosteron (DHT).
Adapun obat-obatan yang sering digunakan pada pasien BPH,
menurut Purnomo (2011) diantaranya : penghambat adrenergenik
alfa, penghambat enzin 5 alfa reduktase, fitofarmaka.
a. Penghambat adrenergenik alfa
Obat-obat yang sering dipakai adalah prazosin, doxazosin,
terazosin, afluzosin atauyang lebih selektif alfa 1a(Tamsulosin).
Dosis dimulai 1mg/hari sedangkan dosis tamsulosin adalah 0,2-
0,4 mg/hari. Penggunaaan antagonis alfa 1 adrenergenik karena
secara selektif dapat mengurangi obstruksi pada buli-buli tanpa
merusak kontraktilitas detrusor. Obat ini menghambat reseptor-
reseptor yang banyak ditemukan pada otot polos di trigonum,
leher vesika, prostat dan kapsul prostat sehingga terjadi relakasi
didaerah prostat. Obat-obat golongan ini dapat memperbaiki
keluhan miksi dan laju pancaran urin. Hal ini akan menurunkan
tekanan pada uretra pars prostatika sehingga gangguan aliran air
seni dan gejala-gejala berkurang. Biasanya pasien mulai
merasakan berkurangnya keluhan dalam 1-2 minggu setelah ia
mulai memakai obat. Efek samping yang mungkin timbul adalah
pusing, sumbatan di hidung dan lemah. Ada obat-obat yang
menyebabkan ekasaserbasi retensi urin maka perlu dihindari
seperti antikolinergenik, antidepresan, transquilizer,
dekongestan, obat-obat ini mempunyai efek pada otot kandung
kemih dan sfingter uretra.

15
b. Pengahambat enzim 5 alfa reduktase
Obat yang dipakai adalah finasteride (proscar) dengan dosis
1X5 mg/hari. Obat golongan ini dapat menghambat
pembentukan DHT sehingga prostat yang membesar akan
mengecil. Namun obat ini bekerja lebih lambat dari golongan
alfa bloker dan manfaatnya hanya jelas pada prostat yang besar.
Efektifitasnya masih diperdebatkan karena obat ini baru
menunjukkan perbaikan sedikit/ 28 % dari keluhan pasien
setelah 6-12 bulan pengobatan bila dilakukan terus menerus, hal
ini dapat memperbaiki keluhan miksi dan pancaran miksi. Efek
samping dari obat ini diantaranya adalah libido, impoten dan
gangguan ejakulasi.
c. Fitofarmaka/fitoterapi
Penggunaan fitoterapi yang ada di Indonesia antara lain
eviprostat. Substansinya misalnyapygeum africanum, saw
palmetto,serenoa repeus, dll. Afeknya diharapkan terjadi setelah
pemberian selama 1-2 bulan dapat memperkecil volum prostat.
3. Terapi bedah
Pembedahan adalah tindakan pilihan, keputusan untuk dilakukan
pembedahan didasarkan pada beratnya obstruksi, adanya ISK,
retensio urin berulang, hematuri, tanda penurunan fungsi ginjal, ada
batu saluran kemih dan perubahan fisiologi pada prostat. Waktu
penanganan untuk tiap pasien bervariasi tergantung pada beratnya
gejala dan komplikasi. Menurut Smeltzer dan Bare (2002) intervensi
bedah yang dapat dilakukan meliputi : pembedahan terbuka dan
pembedahan endourologi.
a. Pembedahan terbuka, beberapa teknik operasi prostatektomi
terbuka yang biasa digunakan adalah :
1. Prostatektomi suprapubik
Adalah salah satu metode mengangkat kelenjar melalui
insisi abdomen. Insisi dibuat dikedalam kandung kemih, dan

16
kelenjar prostat diangat dari atas. Teknik demikian dapat
digunakan untuk kelenjar dengan segala ukuran, dan
komplikasi yang mungkin terjadi ialah pasien akan kehilangan
darah yang cukup banyak dibanding dengan metode lain,
kerugian lain yang dapat terjadi adalah insisi abdomen akan
disertai bahaya dari semua prosedur bedah abdomen mayor.
2. Prostatektomi perineal
Adalah suatu tindakan dengan mengangkat kelenjar melalui
suatu insisi dalam perineum. Teknik ini lebih praktis dan
sangat berguan untuk biopsy terbuka. Pada periode pasca
operasi luka bedah mudah terkontaminasi karena insisi
dilakukan dekat dnegan rectum. Komplikasi yang mungkin
terjadi dari tindakan ini adalah inkontinensia, impotensi dan
cedera rectal.
3. Prostatektomi retropubik
Adalah tindakan lain yang dapat dilakukan, dengan cara
insisi abdomen rendah mendekati kelenjar prostat, yaitu antara
arkus pubis dan kandung kemih tanpa memasuki kandung
kemih. Teknik ini sangat tepat untuk kelenjar prostat yang
terletak tinggi dalam pubis. Meskipun jumlah darah yang
hilang lebih dapat dikontrol dan letak pembedahan lebih
mudah dilihat, akan tetapi infeksi dapat terjadi diruang
retropubik.

b. Pembedahan endourologi, pembedahan endourologi transurethral


dapat dilakukan dengan memakai tenaga elektrik diantaranya:
1 Transurethral Prostatic Resection (TURP)
Merupakan tindakan operasi yang paling banyak dilakukan,
reseksi kelenjar prostat dilakukan dengan transuretra
menggunakan cairan irigan (pembilas) agar daerah yang akan
dioperasi tidak tertutup darah. Indikasi TURP ialah gejala-
gejala sedang sampai berat, volume prostat kurang dari 90

17
gr.Tindakan ini dilaksanakan apabila pembesaran prostat
terjadi dalam lobus medial yang langsung mengelilingi
uretra. Setelah TURP yang memakai kateter threeway. Irigasi
kandung kemih secara terus menerus dilaksanakan untuk
mencegah pembekuan darah. Manfaat pembedahan TURP
antara lain tidak meninggalkan atau bekas sayatan serta
waktu operasi dan waktu tinggal dirumah sakit lebih singkat.
Komplikasi TURP adalah rasatidakenakpadakandungkemih,
spasmekandungkemihyangterusmenerus,adanya perdarahan,
infeksi, fertilitas (Baradero dkk, 2013).
2 Transurethral Incision of the Prostate (TUIP)
Adalah prosedur lain dalam menangani BPH. Tindakan ini
dilakukan apabila volume prostat tidak terlalu besar atau
prostat fibrotic. Indikasi dari penggunan TUIP adalah
keluhan sedang atau berat, dengan volume prostat
normal/kecil (30 gram atau kurang). Teknik yang dilakukan
adalah dengan memasukan instrument kedalam uretra. Satu
atau dua buah insisi dibuat pada prostat dan kapsul prostat
untuk mengurangi tekanan prostat pada uretra dan
mengurangi konstriksi uretral. Komplikasi dari TUIP adalah
pasien bisa mengalami ejakulasi retrograde (0-37%)
(Smeltzer dan Bare, 2002).
3 Terapi invasive minimal
Menurut Purnomo (2011) terapai invasive minimal
dilakukan pada pasiendengan resiko tinggi terhadap tindakan
pembedahan.Terapiinvasiveminimal
diantaranya TransurethralMicrovaweThermotherapy (TUMT
),TransuretralBallon Dilatation (TUBD),TransuretralNeedle
Ablation/AblasijarumTransuretra (TUNA), Pemasangan stent
uretra atau prostatcatt.
a) Transurethral Microvawe Thermotherapy (TUMT), jenis
pengobatan ini hanya dapat dilakukan di beberapa rumah

18
sakit besar. Dilakukan dengan cara pemanasan prostat
menggunakan gelombang mikro yang disalurkan ke
kelenjar prostat melalui transducer yang diletakkan di
uretra pars prostatika, yang diharapkan jaringan prostat
menjadi lembek. Alat yang dipakai antara lain prostat.
b) Transuretral Ballon Dilatation (TUBD), pada tehnik
inidilakukan dilatasi (pelebaran) saluran kemih yang
berada di prostat dengan menggunakan balon yang
dimasukkan melalui kateter. Teknik ini efektif pada
pasien dengan prostat kecil, kurang dari 40 cm3.
Meskipun dapat menghasilkan perbaikan gejala
sumbatan, namun efek ini hanya sementar, sehingga cara
ini sekarang jarang digunakan.
c) Transuretral Needle Ablation (TUNA), pada teknik
ini memakai energy dari frekuensi radio yang
menimbulkan panas mencapai 100 derajat selsius,
sehingga menyebabkan nekrosis jaringan prostat. Pasien
yang menjalani TUNA sering kali mengeluh hematuri,
disuria, dan kadang-kadang terjadi retensi urine
(Purnomo, 2011).
d) Pemasangan stent uretra atau prostatcatth yang dipasang
pada uretra prostatika untuk mengatasi obstruksi karena
pembesaran prostat, selain itu supaya uretra prostatika
selalu terbuka, sehingga urin leluasa melewati lumen
uretra prostatika. Pemasangan alat ini ditujukan bagi
pasien yang tidak mungkin menjalani operasi karena
resiko pembedahan yang cukup tinggi.

19
BAB 3
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN

3.1. Pengkajian
Pengkajian fokus keperawatan yang perlu diperhatikan pada
penderita BPH merujuk pada teori menurut Smeltzer dan Bare (2012),
Tucker dan Cannobio (2013) ada berbagai macam, meliputi :
a. Demografi
Kebanyakan menyerang pada pria berusia diatas 50 tahun. Ras
kulit hitam memiliki resiko lebih besar dibanding dengan ras kulit
putih. Status social ekonomi memili peranan penting dalam
terbentuknya fasilitas kesehatan yang baik. Pekerjaan memiliki
pengaruh terserang penyakit ini, orang yang pekerjaanya mengangkat
barang-barang berat memiliki resiko lebih tinggi.
b. Riwayat penyakit sekarang
Pada pasien BPH keluhan keluhan yang ada adalah frekuensi ,
nokturia, urgensi, disuria, pancaran melemah, rasa tidak puas sehabis
miksi, hesistensi ( sulit memulai miksi), intermiten (kencing terputus-
putus), dan waktu miksi memanjang dan akhirnya menjadi retensi
urine.
c. Riwayat penyakit dahulu
Kaji apakah memilki riwayat infeksi saluran kemih (ISK), adakah
riwayat mengalami kanker prostat. Apakah pasien pernah menjalani
pembedahan prostat/hernia sebelumnya.
d. Riwayat kesehatan keluarga
Kaji adanya keturunan dari salah satu anggota keluarga yang
menderita penyakit BPH.
e. Pola kesehatan fungsional
1. Eliminasi
Pola eliminasi kaji tentang pola berkemih, termasuk
frekuensinya, ragu ragu, menetes, jumlah pasien harus bangun
pada malam hari untuk berkemih (nokturia), kekuatan system

20
perkemihan. Tanyakan pada pasien apakah mengedan untuk
mulai atau mempertahankan aliran kemih. Pasien ditanya tentang
defikasi, apakah ada kesulitan seperti konstipasi akibat dari
prostrusi prostat kedalam rectum.
2. Pola nutrisi dan metabolisme
Kaji frekuensi makan, jenis makanan, makanan pantangan,
jumlah minum tiap hari, jenis minuman, kesulitan menelan atau
keadaan yang mengganggu nutrisi seperti anoreksia, mual,
muntah, penurunan BB.
3. Pola tidur dan istirahat
Kaji lama tidur pasien, adanya waktu tidur yang berkurang
karena frekuensi miksi yang sering pada malam hari ( nokturia ).
4. Nyeri/kenyamanan
Nyeri supra pubis, panggul atau punggung, tajam, kuat,
nyeri punggung bawah
5. Pola persepsi dan tatalaksana hidup sehat
Pasien ditanya tentang kebiasaan merokok, penggunaan
obat-obatan, penggunaan alkhohol.
6. Pola aktifitas
Tanyakan pada pasien aktifitasnya sehari – hari, aktifitas
penggunaan waktu senggang, kebiasaan berolah raga. Pekerjaan
mengangkat beban berat. Apakah ada perubahan sebelum sakit
dan selama sakit. Pada umumnya aktifitas sebelum operasi tidak
mengalami gangguan, dimana pasien masih mampu memenuhi
kebutuhan sehari – hari sendiri.
7. Seksualitas
Kaji apakah ada masalah tentang efek kondisi/terapi pada
kemampua seksual akibat adanya penurunan kekuatan ejakulasi
dikarenakan oleh pembesaran dan nyeri tekan pada prostat.
8. Pola persepsi dan konsep diri
Meliputi informasi tentang perasaan atau emosi yang
dialami atau dirasakan pasien sebelum pembedahan dan sesudah

21
pembedahan pasien biasa cemas karena kurangnya pengetahuan
terhadap perawatan luka operasi.

3.2. Diagnosa Keperawatan


Diagnosa Keperawatan (Post-Oprasi)
1. Nyeri akut (000132 hal: 469) berhubungan dengan tindakan pasca
pembedahan TUR-P
2. Resiko pendarahan (00206 hal: 408) berhubungan dengan tindakan
pembedahan TUR-P
3. Resiko infeksi (00004 hal: 405) berhubungan dengan port de entree
mikroorganisme akibat pemakaian kateter pasca tindakan pembedahan

3.3. Intervensi Keperawatan


Diagnosa Nursing Outcomes Nursing Interventions Classification
Keperawatan Classification (NOC) (NIC)

Nyeri akut Setelah di lakukan tindakan Pain Management


(00132 hal: 469) keperawatan 3x24 jam pasien Aktivitas Keperawatan:
berhubungan diharapkan dapat mengontrol 1. Kaji nyeri, meliputi PQRST
dengan nyeri dengan indicator 5 ( Secara 2. Gunakan komunikasi terapiutik
obstruksi pada konsisten) untuk menggali pengalaman nyeri
saluran kemih klien dan respon klien terhadap nyeri
Dengan kriteria Hasil :
(disuria) 3. Kaji dampak dari nyeri yang terjadi
1. Mengenali kapan nyeri terjadi 4. Anjurkan keluarga untuk
(5) memberikan dukungan kepada klien
2. Mengenali apa yang terkait dalam mengatasi nyeri
dengan gejala nyeri (5) 5. Atur lingkungan senyaman mungkin
3. Melaporkan nyeri yang untuk klien
terkontrol (5) 6. Hindari faktor pencetus nyeri
4. TTV dalam batas normal (5) 7. Pilih tindakan yang dapat mengatasi
5. Pasien tidak menunjukan nyeri klien (farmakologis, non
ekspresi nyeri (5) farmakologis, interpersonal)

22
8. Ajarkan klien teknik non
farmakologis secara kontinyu dalam
mengatasi nyeri (masase punggung,
TENS, hipnotis, relaksasi, Guided
imagery, terapi musik, distraksi,
akupressure, hidroterapi)
9. Ajari dan pantau klien dalam
menggunakan nalgesik sesuai
anjuran medis

Analgesik Administration
Aktivitas Keperawatan:
1. Cek keberhasilan pengobatan
2. Tentukan nalagesik yang akan
digunakan oleh klien
3. Pilih jalur pemberian analgesik yang
benar
4. Kaji dan monitoring tanda-tanda
vital sebelum dan sesudah
pemberian analgesik
5. Pertimbangkan pemberian analgesik
kontinyu untuk mengatsi nyeri
kronis
6. Evaluasi efektifitas penggunaan
analgesik
7. Ajarkan klien tentang penggunaan
analgesik dan cara menguranginya
efek samping.
8. Dokumentasikan respon dari
pemberian analgesik.

23
Diagnosa Nursing Outcomes Nursing Interventions Classification
Keperawatan Classification (NOC) (NIC)
Resiko Setelah di lakukan tindakan Bleeding Precautions
pendarahan keperawatan 2x24 jam diharapkan Aktivitas Keperawatan:
(00206 hal: 408) pendarahan teratasi dengan 1. Monitoring terjadinya pendarahan
berhubungan indicator 5 (Tidak ada) 2. Cacat nilai hemoglobin dan
dengan tindakan hematokrit sebelum dan sesudah
Kriteria Hasil:
pembedahan terjadi pendarahan
1. Hematuria (5)
TUR-P 3. Monitoring tanda dan gejala
2. Hemoptysis (5)
persistent bleeding
3. Hematemesis (5)
4. Cek kadar prothrombin time, partial
4. Pendarahan pasca
protthrombin dan jumlah platelet
pembedahan (5)
5. Berikan bantuan plasma sesuai
5. Penurunan tekanan darah
dengan kebutuhan
diastole (5)
6. Hindari penggunaan alat yang dapat
6. Penurunan tekanan darah
mengakibatkan pasien kehilangan
sistol (5)
darah
7. TTV normal (5)
7. Hindari penggunaan aspirin atau
antikoagulan lainnya
8. Anjurkan klien untuk meningkatkan
asupan makanan yang kaya akan
vitamin K
9. Anjurkan klien atau keluarga untuk
memberitahu perawat jika ada tanda
gejalah perdarahan terjadi

Bleeding Reduction
Aktivitas Keperawatan:
1. Identifikasi penyebab terjadinya
perdarahan
2. Lakukan irigasi untuk mengurangi
perdarahan

24
3. Monitoring ukuran dan karakter
hematoma
4. Monitoring tekanan darah dan
hemodinamika
5. Monitoring keseimbangan cairan
(intake dan output)
6. Monitoring oksigen jaringan
7. Cek perdarahan sekunder melalui
membran mukosa
8. Monitoring terjadinya persistent
bleeding
9. Evaluasi kondisi psikologis pasien
terhadap terjadinya perdarahan
10. Anjurkan klien untuk mengurangi
aktivitas

Nursing Outcomes Nursing Interventions Classification


Diagnosa Classification (NOC) (NIC)
Keperawatan
Resiko infeksi Setelah di lakukan tindakan Infection Control
(00004 hal: 405) keperawatan 2x24 jam pasien Ativitas keperawatan:
berhubungan diharapkan keparahan infeksi 1. Jaga kebersihan lingkungan
dengan port de berkurang dengan indicator 5 ( 2. Lakukan perawatan pasien sesuai
entree Tidak ada) dengan prosedur safety yang berlaku
mikroorganisme 3. Batasi pengunjung
Kriteria Hasil:
akibat tindakan 4. Lakukan cuci tangan sebelum dan
1. Kemerahan (5)
pasca sesudah tindakan ke pasien dengan
2. Cairan luka yang berbau
pembedahan antiseptik
busuk (5)
5. Anjurkan pasien untuk melakukan
3. Nanah dalam urin (5)
cuci tangan dengan sabun antiseptik
4. Nyeri (5)
sebelum dan sesudah aktivitas
6. Terapkan universal precautions

25
dalam perawatan pasien
7. Lakukan penggantian dan
perawatankateter secara periodik
8. Tingkatkan asupan nutrisi yang
adekuat
9. Lakukan pemeriksaan urinalisis
10. Kolaborasi dengan dokter pemberian
antibiotik
11. Jelaskan kepada pasien tentang tanda
gejala infeksi

Infection Protection
Aktivitas keperawatan:
1. monitor adanya tanda dan gek=jala
infeksi sistemik dan lokal
2. monitor status kerentanan terhadap
infeksi
3. jaga teknik dan aseptik pada
perawatan pasien yang berisiko
infeksi
4. lakukan kultur urin sesuai kebutuhan
5. tingkatkan asupan nutrisi sesuai
dengan kebutuhan
6. instruksikan pasien untuk minum
obat sesuai dengan indikasi dokter
dengan tepat waktu
7. jelaskan kepada pasien tanda dan
gejala infeksi
8. hindarkan benda yang dapat menjadi
tempat media berkembangnya
mikroba patogen

26
3.4 Implementasi Keperawatan
Implementasi keperawatan adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan
oleh perawat untuk membantu klien dari masalah status kesehatan yang dihadapi
ke status kesehatan yang baik yang menggambarkan kriteria hasil yang
diharapkan.
3.5 Evaluasi Keperawatan
Tahap penilaian atau evaluasi adalah perbandingan yang sistematik dan
terencana tentang kesehatan klien dengan tujuan yang telah ditetapkan, dilakukan
dengan cara bersinambungan dengan melibatkan klien dan tenaga kesehatan
lainnya.

27
BAB 4
KASUS SEMU BPH (Hiperplasia Prostat Benigna)

Kasus
Tn. A usia 58 tahun, di bawa oleh keluarganya ke IGD Rs. Islam
Surabaya, dengan keluhan sering BAK sejak 6 bulan yang lalu dan disertai
dengan rasa nyeri. Dalam sehari Tn. B BAK ± 10 kali dengan rentang waktu
antara BAK pertama dan selanjutnya pendek. Tn. B mengatakan jika malam
hari beliau sering terbangun dari tidurnya hanya untuk BAK. Saat dikaji
pasien mengatakan nyeri saat BAK pasien juga harus mengejan saat miksi,
urine menetes setelah miksi, dan perasaan tidak puas ketika setelah miksi:
Dari hasil pemeriksaan Uroplowmetri <10 ml/detik dan pancaran urine
melemah, rectal touch di dapatkan hasil ada pembesaran prostat >40 gram.
Setelah 3 hari pasien berada diruang rawat inap mawar. Pasien dijadwalkan
dokter untuk dilakukan tindakan pembedahan TUR-P.
Pasien telah melakukan pembedahan TUR-P pada tanggal 11 september
2016, jam 09.00 WIB. Perawat AN melakukan observasi pada Tn. B pada
jam 15.00 WIB. Pasien mengeluh perih pada daerah penis seperti ditusuk-
tusuk dengan skala nyeri 8, nyeri yang dirasakan hilang timbul. Nyeri
semakin memberat jika dibuat bergerak. Pasien terpasang infuse dan kateter
urine.

4.1 pengkajian
Nama : Tn.A
Umur : 58 tahun
Alamat : Jalan wonokromo No 22
Suku Bangsa : Jawa
Bahasa : Indonesia
Agama : Islam
Pendidikan : SD
Penanggung Jawab : Ny. A
Tanggal MRS : 7 September 2016, pukul 10.00 WIB

28
Diagnosa Medis : Hiperplasia Prostat Benigna (BPH)

A. Keluhan Utama
Pasien mengatakan setelah dilakukan pembedahan TUR-P pasien merasa
nyeri pada daerah penisnya seperti ditusuk-tusuk dengan skala nyeri 8
yang hilang timbul.
B. Riwayat Penyakit Sekarang
pasien mengeluh nyeri pada penisnya seperti ditusuk-tusuk dengan skala
nyeri 8 yang hilang timbul dan nyeri semakin memberat saat pasien
bergerak
C. Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien mengatakan sebelumnya tidak mengalami penyakit Hiperplasia
Prostat Benigna ataupun gangguan system perkemihan lainya, hanya saja
pasien 6 bulan yang lalu sering berkemih dengan rasa nyeri. Pasien
mengatakan punya riwayat hipertensi dan sesak nafas.
D. Riwayat Penyakit Keluarga
pasien mengatakan sebelumnya ayahnya yang sudah meninggal pernah di
diagnose dokter mengalami hyperplasia prostat. Dan sembuh dengan
dilakukan pembedahan TUR-P dan hasilnya keluhan yang di rasakan
oleh ayahnya hilang.
E. Riwayat Pengobatan dan Alergi
Pasien mengatakan tidak memiliki riwayat alergi terhadap obat-obatan
dan makanan tertentu.
F. Psikososial
Awalnya pasien menolak dilakukan pembedahan TUR-P, namun setelah
dijelaskan tujuan dan prosedur tindakan TUR-P pasien setuju untuk
melakukan pembedahan tersebut.

29
Pemeriksaan fisik
Keadaan umum:
Keadaan umum pasien lemah, pasien tampak menyeringai karena nyeri pada
penis. Kesadaran compos mentis, pasien terpasang infuse RL 20 tpm dan
kateter urine.
Tanda-tanda vital:
Suhu (aksila) 38oC Nadi: 100x/menit
Tekanan darah: 180/110 mmHg RR: 24x/menit
Tinggi badan: 165 cm Berat badan : 56 kg
B1 (Breathing) Sistem pernafasan
Hidung simetris, tidak terdapat polip hidung dan tidak ada secret. Bentuk
dada simetris, pasien mengeluh sesak, RR: 24x/menit, irama nafas irregular.
B2 (Blood) Sistem cardiovaskuler
Irama jantung irregular, TD: 180/110 mmHg (hipertensi), pasien mengatakan
mempunyai riwayat hipertensi, N: 100x/menit, akral hangat, kering, merah,
CRT <2 detik.
B3 (Brain) Sistem neurosensori
Kesadaran composmentis, klien tampak lemah, GCS 15 (E=4 V=5 M=6).
Tidak terdapat ikterik pada sclera mata dan konjungtiva tidak anemis.
B4 (Bowel) Sistem pencernaan
Kebersihan mulut kotor, terdapat gigi yang sudah tanggal, terdapat distensi
abdomen, bising usus 12x/menit, intake cairan pasien selain air putih adalah
cairan infuse RL, bibir merah dan tidak sianosis.
B5 (Bladder) Sistem genitourinarius
Pasien mengeluh nyeri pada penis nya seperti ditusuk-tusuk, skala nyeri 8,
nyeri yang dirasakan hilang timbul dan semakin memberat jika dibuat
bergerak. Pasien terpasang kateter urine, kondisi kateter bersih, jumlah urine
dalam urine bag sedikit ( 2 jam hanya 60cc) warna urine keruh dan
kemerahan.

30
B6 (Bone) Sistem musculoskeletal
Warna kulit sawo matang, kulit keriput, tidak sianosis, tidak ada ikterik,
kelembaban kulit baik, turgor kulit baik, CRT <2 detik, suhu: 380C. pasien
mengatakan aktivitas nya berkurang sejak dirawat di RS.

4.2 Analisa Data


No. Analisa Data Etiologi Masalah keperawatan
1. DS: pasien mengatakan Hyperplasia Nyeri akut
setelah pembedahan terasa jaringan prostat
nyeri.
P: post operasi TUR-P Insisi sekunder
Q: nyeri seperti di tusuk- pada TUR-P
tusuk
R: pada daerah penis Saraf perifer
S:skala nyeri 8 terpotong/ rusak
T: nyeri yang dirasakan
hilang timbul dan semakin Merangsang
memberat jika dibuat reseptor nyeri
bergerak.
DO: Rasa nyeri pada
- pasien tampak lemah daerah insisi
dan menyeringai
kesakitan. Nyeri akut
- Pasien terpasang
kateter urine.
- Kebersihan kateter
cukup baik.
- Jumlah urine yang
keluar selama 2 jam
60cc.
- TD: 180/110 mmHg,
N: 100x/menit, RR:

31
24x/menit, S: 380C
2. DS: Pasien mengatakan nyeri Hyperplasia Resiko perdarahan
pada daerah penis prostat
DO:
- Pasien terpasang Insisi sekunder
kateter. pada TUR-P
- Kebersihan kateter
cukup baik. Pertukaran pada
- Jumlah urine yang daerah insisi
keluar selama 2 jam
terakhir 60cc. Resiko
- Warna urine keruh perdarahan
dan kemerahan

4.3 Diagnosis Keperawatan


No. Diagnosa Keperawatan Paraf

1. Nyeri akut berhubungan dengan tindakan pasca


prosedur pembedahan TUR-P
2. Resiko perdarahan berhubungan dengan tindakan
pasca prosedur pembedahan TUR-P

4.4 Intervensi Keperawatan


Dx. Keperawatan Tujuan dan Kriteria Rencana Keperawatan
Hasil
Nyeri akut Setelah dilakukan tindakan Pain Management
berhubungan keperawatan 3x24 jam Aktivitas Keperawatan:
dengan tindakan pasien diharapkan dapat 1. Kaji nyeri, meliputi
pasca prosedur mengontrol nyeri dengan PQRST
pembedahan TUR- indicator 5 ( Secara 2. Gunakan komunikasi
P konsisten) terapiutik untuk
menggali pengalaman

32
Dengan kriteria Hasil : nyeri klien dan respon
klien terhadap nyeri
1. Mengenali kapan nyeri
3. Kaji dampak dari nyeri
terjadi (5)
yang terjadi
2. Mengenali apa yang
4. Anjurkan keluarga untuk
terkait dengan gejala
memberikan dukungan
nyeri (5)
kepada klien dalam
3. Melaporkan nyeri yang
mengatasi nyeri
terkontrol (5)
5. Atur lingkungan
4. TTV dalam batas
senyaman mungkin
normal (5)
untuk klien
5. Pasien tidak
6. Hindari faktor pencetus
menunjukan ekspresi
nyeri
nyeri (5)
7. Pilih tindakan yang
dapat mengatasi nyeri
klien (farmakologis, non
farmakologis,
interpersonal)
8. Ajarkan klien teknik non
farmakologis secara
kontinyu dalam
mengatasi nyeri (masase
punggung, TENS,
hipnotis, relaksasi,
Guided imagery, terapi
musik, distraksi,
akupressure, hidroterapi)
9. Ajari dan pantau klien
dalam menggunakan
nalgesik sesuai anjuran
medis

33
Analgesik Administration
Aktivitas Keperawatan:
1. Cek keberhasilan
pengobatan
2. Tentukan nalagesik yang
akan digunakan oleh
klien
3. Pilih jalur pemberian
analgesik yang benar
4. Kaji dan monitoring
tanda-tanda vital
sebelum dan sesudah
pemberian analgesik
5. Pertimbangkan
pemberian analgesik
kontinyu untuk mengatsi
nyeri kronis
6. Evaluasi efektifitas
penggunaan analgesik
7. Ajarkan klien tentang
penggunaan analgesik
dan cara menguranginya
efek samping.
Dokumentasikan respon dari
pemberian analgesik.

Resiko perdarahan Setelah di lakukan Bleeding Precautions


berhubungan tindakan keperawatan Aktivitas Keperawatan:
dengan tindakan 2x24 jam diharapkan 1. Monitoring terjadinya
pasca prosedur pendarahan teratasi dengan pendarahan
pembedahan TUR- indicator 5 (Tidak ada) 2. Cacat nilai hemoglobin
P dan hematokrit sebelum

34
Kriteria Hasil: dan sesudah terjadi
1. Hematuria (5) pendarahan
2. Hemoptysis (5) 3. Monitoring tanda dan
3. Hematemesis (5) gejala persistent bleeding
4. Pendarahan pasca 4. Cek kadar prothrombin
pembedahan (5) time, partial
5. Penurunan tekanan protthrombin dan jumlah
darah diastole (5) platelet
6. Penurunan tekanan 5. Berikan bantuan plasma
darah sistol (5) sesuai dengan kebutuhan
7. TTV normal (5) 6. Hindari penggunaan alat
yang dapat
mengakibatkan pasien
kehilangan darah
7. Hindari penggunaan
aspirin atau antikoagulan
lainnya
8. Anjurkan klien untuk
meningkatkan asupan
makanan yang kaya akan
vitamin K
9. Anjurkan klien atau
keluarga untuk
memberitahu perawat
jika ada tanda gejalah
perdarahan terjadi

Bleeding Reduction
Aktivitas Keperawatan:
1. Identifikasi penyebab
terjadinya perdarahan
2. Lakukan irigasi untuk

35
mengurangi perdarahan
3. Monitoring ukuran dan
karakter hematoma
4. Monitoring tekanan
darah dan hemodinamika
5. Monitoring
keseimbangan cairan
(intake dan output)
6. Monitoring oksigen
jaringan
7. Cek perdarahan sekunder
melalui membran
mukosa
8. Monitoring terjadinya
persistent bleeding
9. Evaluasi kondisi
psikologis pasien
terhadap terjadinya
perdarahan
Anjurkan klien untuk
mengurangi aktivitas

36
4.5 Implementasi Keperawatan
No. Dx. Keperawatan Tindakan Keperawatan Paraf
1. Nyeri akut berhubungan 1. Mengkaji dan monitoring TTV
dengan tindakan pasca sebelum pemberian analgesik:
prosedur pembedahan TD: 180/110 mmHg
TUR-P N:100x/menit
S: 380C
RR: 24x/menit
2. Memonitor keberhasilan
pengobatan sbelumnya
R/ pasien mengatakan masih nyeri
pada daerah penis
3. Kolaborasi dengan dokter
pemberian analgesik metamizole
3x1 ampul 2 ml secara IV
R/ tidak ada tanda alergi obat
pasien kooperatif.
4. Mengkaji dan memonitor TTV
setelah pemberian analgesik
TD: 180/110 mmHg
N:100x/menit
S: 380C
RR: 24x/menit
5. Mengkaji tingkat nyeri pasien
meliputi PQRST
R/ pasien mengatakan nyeri yang
dirasakan sedikit berkurang. ( P:
post operasi TUR-P, Q: seperti di
tusuk-tusuk, R: daerah penis, S:
skala nyeri 5, T : hilang timbul)

37
2. Resiko perdarahan 1. Mengidentifikasi penyebab
berhubungan dengan perdarahan
tindakan pasca prosedur R/ terdapat hematuria pada urine
pembedahan TUR-P bag, jumlah urine bag 2 jam 60cc.
Kemungkinan adanya obstruksi
akibat darah post TUR-P yang
beku
2. Melakukan irigasi untuk
mengurangi perdarahan dan
melancarkan selang kateter dari
obstruksi dengan menggunakan
cairan Nacl 0,9% dengan tetesan
cepat
R/ hematuria berkurang urine
berangsur-angsur jernih dan tidak
ada sumbatan pada kateter.
3. Monitoring keseimbangan cairan
(intake&output).
R/ cairan irigasi – jumlah urine di
urine bag (1000cc – 500cc = 500cc
)
4. Monitoring terjadinya perdarahan
dan tanda gejala persistent bleeding
pada urine bag pasien tiap 3 jam
sekali.
R/ hematuria berkurang urine
pasien berangsur-angsur jernih
setelah dilakukan irigasi, dan
selang kateter pasien tidak ada
sumbatan.

38
4.6 Evaluasi Keperawatan
No. Dx. Keperawatan Catatan Perkembangan Paraf
1. Nyeri akut berhubungan S : pasien mengatakan masih nyeri pada
dengan tindakan pasca daerah penis seperti di tusuk-tusuk
prosedur pembedahan O : pasien tampak lemah, kesadaran
TUR-P compos mentis, wajah pasien tampak
menyeringai, skala nyeri 5 (3 4)
A : masalah belum teratasi
P : intervensi 1,2,3,4,5 dilanjutkan
2. Resiko perdarahan S : pasien mengatakan nyeri yang
berhubungan dengan dirasakan sedikit berkurang
tindakan pasca prosedur O : keadaan umum tampak lemah,
pembedahan TUR-P hematuria berkurang dan urine
berangsur-angsur jernih
A : masalah sebagian teratasi
P : tindakan 1,2,3,4 dilanjutkan

39
BAB 5
PENUTUP

5.1. Kesimpulan
BPH (benign prostatic hyperplasia) adalah suatu penyakit yang
disebabkan oleh faktor penuaan, dimana prostat mengalami pembesaran
memanjang keatas kedalam kandung kemih dan menyumbat aliran urin
dengan cara menutupi orifisium uretra.
Hingga sekarang masih belum diketahui secara pasti
etiologi/penyebab terjadinya BPH, namun beberapa hipotesis
menyebutkan bahwa BPH erat kaitanya dengan peningkatan
kadar dehidrotestosteron (DHT) dan proses menua. Terdapat perubahan
mikroskopik pada prostat telah terjadi pada pria usia 30-40 tahun. Bila
perubahan mikroskopik ini berkembang, akan terjadi perubahan
patologik anatomi yang ada pada pria usia 50 tahun, dan angka
kejadiannya sekitar 50%, untuk usia 80 tahun angka kejadianya sekitar
80%, dan usia 90 tahun sekitar 100% (Purnomo, 2011)

5.2. Saran
Dengan terbentuknya makalah ini diharapkan para pembaca dapat
memahami secara luas konsep teori asuhan keperawatan pada gangguan
perkemihan “Benigna Prostat Hiperplasia (BPH)” dan pembaca
khususnya mahasiswa prodi S1 Keperawatan dapat mengaplikasikan
konsep teori dengan baik dan benar dalam memberikan asuhan
keperawatan yang sesuai dengan Standart Operasional Prosedur (SOP).

40
DAFTAR PUSTAKA

Smeltzer, S dan Bare, B. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner
dan Suddarth, Edisi 8, Volume 2, Alih bahasa oleh Kuncara..(dkk). Jakarta :
EGC.
Baradero, M dan Dayrit, M. 2007. Seri Asuhan Keperawatan Pasien Gangguan
Sistem Reproduksi & Seksualitas. Jakarta: EGC.
Sjamsuhidayat, R. dan De Jong. 2005. Buku Ajar Ilmu Bedah, Edisi 2, Copy
Editor: Adinda Candralela. EGC : Jakarta.
Purnomo, B. 2011. Dasar-dasar Urologi,. Jakarta: Sagung Seto.
Susan Maertin Tucker, Marry M. Cannobio, dkk. 2008. Standar Perawatan
Pasien volume 2. Jakarta : EGC.
Carpenito. 2007. Buku Saku Diagnosa Keperawatan / Lynda Juall Carpenito ;
Editor Edisi Bahasa Indonesia, Monica Ester, Edisi 8. Jakarta: EGC.
Amanda Tamalia D, 2012, Asuhan Keperawatan pada Tn. M Dengan Benigna
Prostathiperplasia ( Bph ) Post Operasi Open Prostatektomy Suprapubik di
Ruang Anggrek RSUD Tugurejo Semarang Universitas Muhammadiyah
Semarang. Thesis, Universitas Muhammadiyah Surakarta. diakses 16-02-
2019 dari http://eprints.ums.ac.id/20433/.
Mina Nurul. 2012. Asuhan Keperawatan Pada Tn. I Dengan Gangguan Sistem
Perkemihan: Post Operasi Benigna Prostat Hiperplasia (BPH) Hari Ke-0
Di Ruang Flamboyan Rumah Sakit Umum Daerah Pandanarang
Boyolali. Thesis, Universitas Muhammadiyah Surakarta. diakses 16-02-
2019 darihttp://eprints.ums.ac.id/20515/.
Sari, Farida Kumala. 2010. Perbedaan Angka Kejadian Benign Prostatic
Hyperplasia pada Usia Antara 50-59 Tahun Dengan Usia diatas 60
Tahun pada Pemeriksaan Ultrasonografi di Rs. Pku (Pembina
Kesejahteraan Umat) Muhammadiyah Surakarta. Skripsi, Universitas
Muhammadiyah Surakarta diakses 16–02-2019
darihttp://eprints.ums.ac.id/9300/.
Jitowiyono, S. 2011. Asuhan Keperawatan Post Operasi. Edisi 2. Yogyakarta:
Nuha Medika.

41
NANDA. 2018-2020. Panduan Diagnosa Keperawatan. Jakarta: EGC.
Purnomo, B. 2011, Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 3. Jakarta:EGC.
Sjamsuhidajat, R. 2011, Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 3. Jakarta:EGC.
Wijaya, S. A. & Putri, M. Y. 2013. Keperawatan Medikal Bedah: Keperawatan
Dewasa, Teori, Contoh Askep. Yogyakarta: Nuha Medika.

42

Anda mungkin juga menyukai