Anda di halaman 1dari 42

Case Report Session

Benign Prostatic Hyperplasia

Oleh :
Revi Annisa 2140312203

Pembimbing :
Dr. dr. Yevri Zulfiqar, Sp.B, SpU(K)

BAGIAN ILMU BEDAH


RSUP DR M DJAMIL PADANG
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS
2022
DAFTAR ISI
BAB 1 ................................................................................................................................3

PENDAHULUAN ............................................................................................................3

1.1 Latar Belakang .........................................................................................................3

1.2. Tujuan Penulisan ................................................................................................4

1.3. Batasan Penulisan ...............................................................................................4

1.4 Metode Penulisan...............................................................................................4

BAB 2 ................................................................................................................................5

TINJAUAN PUSTAKA ..................................................................................................5

2.1 Anatomi Kelenjar Prostat .......................................................................................5

2.2 Definisi Benign prostate hyperplasia (BPH) ..........................................................5

2.3 Epidemiologi BPH..................................................................................................6

2.4 Etiologi BPH ..........................................................................................................7

2.5 Patofisiologi dan Komplikasi BPH ........................................................................9

2.6 Diagnosis BPH ....................................................................................................9

2.7 Terapi .....................................................................................................................16

2.8 Prognosis ...............................................................................................................29

BAB 3 ..............................................................................................................................30

LAPORAN KASUS .......................................................................................................30

BAB 4 ..............................................................................................................................38

DISKUSI .........................................................................................................................38

BAB 5 ..............................................................................................................................40

KESIMPULAN ..............................................................................................................40

DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................................41

2
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Pembesaran prostat benigna atau lebih dikenal sebagai BPH sering ditemukan
pada pria yang memasuki usia lanjut. Istilah BPH atau Benign Prostatic Hyperplasia
merupakan istilah histopatologis, yaitu terdapat hiperplasia sel-sel stroma dan sel-sel
epitel kelenjar prostat.1,2 Pada dasarnya BPH tumbuh pada pria yang menginjak usia
tua dan memiliki testis yang masih menghasilkan testosteron. Di samping itu,
pengaruh hormon lain (estrogen, prolaktin), pola diet, mikrotrauma, inflamasi,
obesitas, dan aktivitas fisik diduga berhubungan dengan proliferasi sel kelenjar prostat
secara tidak langsung.3,4
Berdasarkan hasil penelitian bahwa prevalensi Benigna Prostat Hiperplasia
(BPH) yang bergejala pada pria berusia 40–49 tahun mencapai hampir 15%. Angka
tersebut meningkat seiring bertambahnya usia, sehingga pada usia 50–59 tahun
prevalensinya mencapai hampir 25% dan pada usia 60 tahun mencapai angka sekitar
43%. Beberapa hasil studi memperkirakan prevalensi BPH sebanyak 20% pada pria
usia 40 tahun, 60% pada pria usia 60 tahun, dan meningkat sampai 90% pada pria usia
70-80 tahun.5 Angka kejadian BPH di Indonesia yang pasti belum pernah diteliti,
tetapi sebagai gambaran hospital prevalence di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo
(RSCM) sejak tahun 1994- 2013 ditemukan 3.804 kasus dengan rata-rata umur
penderita berusia 66,61 tahun.6 Sedangkan data yang didapatkan dari Rumah Sakit
Hasan Sadikin dari tahun 2012-2016 ditemukan 718 kasus dengan rata-rata umur
penderita berusia 67.9 tahun.6 Angka kejadian BPH di RSUP Dr. M. Djamil Padang
adalah 3.780 tahun 2006-2011.7 Terdapat peningkatan kasus kasus BPH yang
dilakukan tindakan TURP di RSUP Dr. M. Djamil. Pada tahun 2013 terdapat
sebanyak 179 kasus dan meningkat pada tahun 2014 sebanyak 185 kasus.8
Meskipun jarang mengancam jiwa, BPH memberikan keluhan yang dapat
mengganggu aktivitas sehari-hari. Keadaan ini akibat dari obstruksi pada leher
kandung kemih dan uretra oleh BPH. Selanjutnya obstruksi ini dapat menimbulkan

3
perubahan struktur kandung kemih maupun ginjal sehingga menyebabkan komplikasi
pada saluran kemih atas maupun bawah.3
Keluhan yang disampaikan oleh pasien BPH seringkali berupa lower urinary
tract symptoms (LUTS), yang terdiri atas gejala obstruksi (voiding symptoms), gejala
iritasi (storage symptoms), dan gejala pasca berkemih. Gejala obstruksi meliputi
pancaran kemih lemah dan terputus (intermitensi), merasa tidak puas sehabis
berkemih. Gejala iritasi meliputi frekuensi berkemih meningkat, urgensi, nokturia.
Gejala pasca berkemih berupa urine menetes (dribbling); hingga gejala yang paling
berat adalah retensi urine.3
Pemeriksaan yang penting pada pasien BPH adalah colok dubur atau digital
rectal examina-tion (DRE) disamping pemeriksaan fisik pada regio suprapubik untuk
mencari kemungkinan adanya distensi buli-buli. Dari pemeriksaan colok dubur ini
dapat diperkirakan adanya pembesaran prostat, konsistensi prostat, dan adanya nodul
yang merupakan salah satu tanda dari keganasan prostat. Kecurigaan suatu keganasan
pada pemeriksaan colok dubur, diapatkan 26-34% yang positif kanker prostat pada
pemeriksaan biopsi. Sensitifitas pemeriksaan ini dalam menentukan adanya
karsinoma prostat sebesar 33%.9

1.2. Tujuan Penulisan


Penulisan makalah ini bertujuan untuk memahami serta menambah
pengetahuan mengenai BPH.

1.3. Batasan Penulisan


Batasan penulisan makalah ini membahas mengenai definisi, epidemiologi,
etiologi, patofisiologi, diagnosis, dan penatalaksanaan BPH.

1.4 Metode Penulisan


Metode penulisan makalah ini berupa tinjauan pustaka yang merujuk pada
beberapa literatur.

4
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi Kelenjar Prostat
Kelenjar prostat merupakan salah satu organ genitalia pria yang terletak di
sebelah inferior vesica urinaria, di depan rektum dan melingkari uretra posterior (uretra
pars prostatica). Bentuknya seperti buah kenari dengan berat normal pada orang dewasa
pada usia 21-30 tahun ±20 gram. Ukuran tersebut akan meningkat bersama dengan
kenaikan umur seseorang.1

Gambar 2.1 : McNeal zona anatomis prostat2


Kelenjar ini secara histopatologik terdiri dari komponen kelenjar dan stroma.
Komponen stroma terdiri dari otot polos, fibroblast, pembuluh darah, saraf dan jaringan
penyangga lain. McNeal 1970 membagi kelenjar prostat menjadi beberapa daerah atau
zona yaitu zona perifer, zona central, zona transisional, zona preprostatik sfingter, dan
zona anterior.1

2.2 Definisi Benign prostate hyperplasia (BPH)


Benign prostate hyperplasia (BPH) adalah istilah histopatologis merujuk pada
adanya hiperlasia sel stroma dan sel epitel kelenjar prostat. Sementara itu, istilah benign
prostatic enlargement (BPE) merupakan istilah klinis yang menggambarkan
bertambahnya volume prostat akibat adanya perubahan histopatologis yang jinak pada
prostat (BPH).3,4

5
2.3 Epidemiologi BPH
Di dunia, diperkirakan jumlah penderita BPH sebesar 30 juta, jumlah ini hanya
pada kaum pria karena wanita tidak mempunyai kalenjar prostat. Di Amerika Serikat,
terdapat lebih dari setengah (50%) pada laki laki usia 60- 70 th mengalami gejala BPH
dan antara usia 70-90 th sebanyak 90% mengalami gejala BPH. Jika dilihat secara
epidemiologinya, di dunia, menurut usia, maka dapat di lihat kadar insidensi BPH, pada
usia 40-an, kemungkinan seseorang menderita penyakit ini sebesar 40%, dan seiring
meningkatnya usia, dalam rentang usia 60-70 tahun, persentasenya meningkat menjadi
50% dan diatas 70 tahun, persen untuk mendapatkannya bisa sehingga 90%. Akan
tetapi, jika di lihat secara histologi penyakit BPH, secara umum sejumlah 20% pria
pada usia 40-an, dan meningkat pada pria berusia 60-an, dan 90% pada usia 70 tahun.4,5
Kasus di dunia jumlah penderita selalu meningkat dari tahun ke tahun. Di
Indonesia pun, kasus BPH menjadi urutan kedua setelah penyakit batu saluran kemih,
dan secara umum, diperkirakan hampir 50% pria Indonesia yang berusia di atas 50
tahun ditemukan menderita BPH ini. Oleh karena itu, jika dilihat, dari 200 juta lebih
rakyat indonesia, maka dapat diperkirakan 100 juta adalah pria, dan yang berusia 60
tahun dan ke atas adalah kira-kira sejumlah 5 juta, maka dapat dinyatakan kira-kira 2,5
juta pria Indonesia menderita penyakit ini.18 BPH merupakan kelainan urologi kedua
setelah batu saluran kemih yang dijumpai di klinik Urologi. Diperkirakan 50% pada
pria berusia diatas 50 tahun. Kalau dihitung dari seluruh penduduk Indonesia yang
berjumlah 200 juta lebih, kira – kira 100 juta, sehingga diperkirakan ada 2,5 juta laki–
laki Indonesia yang menderita BPH.6

Suatu penelitian menyebutkan bahwa prevalensi BPH yang bergejala pada pria
berusia 40–49 tahun mencapai hampir 15%. Angka ini meningkat dengan
bertambahnya usia, sehingga pada usia 50–59 tahun prevalensinya mencapai hampir
25% dan pada usia 60 tahun mencapai angka sekitar 43%. Angka kejadian BPH di
Indonesia sebagai gambaran hospital prevalensi di dua Rumah Sakit besar di Jakarta
yaitu RSCM dan Sumber Waras terdapat 1040 kasus.7

6
2.4 Etiologi BPH
Hingga sekarang masih belum diketahui secara pasti penyebab terjadinya
BPH, tetapi beberapa hipotesis menyebutkan bahwa BPH erat kaitannya dengan
peningkatan kadar dihydrotestosterone (DHT) dan proses penuaan. Beberapa
hipotesis yang diduga sebagai penyebab timbulnya hiperplasia prostat.1,4
a. Teori dihydrotestosterone (DHT)
Pertumbuhan kelenjar prostat sangat tergantung pada hormon testosteron.
Dimana pada kelenjar prostat, hormon ini akan diubah menjadi metabolit aktif
dihydrotestosterone (DHT) dengan bantuan enzim 5α–reduktase. DHT inilah yang
secara langsung memicu m-RNA di dalam sel-sel kelenjar prostat untuk mensintesis
protein growth factor yang memacu pertumbuhan kelenjar prostat.1,4

Gambar 2.2 Perubahan testosterone menjadi dihidrotetosteron oleh enzim


5α -reduktase.1
Pada berbagai penelitian, aktivitas enzim 5α–reduktase dan jumlah reseptor
androgen lebih banyak pada BPH. Hal ini menyebabkan sel-sel prostat menjadi lebih
sensitif terhadap DHT sehingga replikasi sel lebih banyak terjadi dibandingkan
dengan prostat normal.1,4

b. Ketidakseimbangan antara estrogen-testosteron


Pada pria dengan usia yang semakin tua, kadar tetosteron makin menurun,
sedangkan kadar estrogen relatif tetap, sehingga perbandingan estrogen dan
testosterone relatif meningkat. Estrogen di dalam prostat berperan dalam terjadinya
proliferasi sel-sel kelenjar prostat dengan cara meningkatkan sensitivitas sel-sel
prostat terhadap rangsangan hormon androgen, meningkatkan jumlah reseptor
androgen dan menurunkan jumlah kematian sel-sel prostat (apoptosis). Akibatnya,
dengan testosteron yang menurun merangsang terbentuknya sel-sel baru, tetapi selsel

7
prostat yang telah ada memiliki usia yang lebih panjang sehingga massa prostat
menjadi lebih besar.1
c. Interaksi stroma-epitel
Cunha (1973) membuktikan bahwa diferensiasi dan pertumbuhan sel epitel
prostat secara tidak langsung dikontrol oleh sel-sel stroma melalui suatu mediator
(growth factor). Setelah sel stroma mendapatkan stimulasi dari DHT dan estradiol,
sel-sel stroma mensintesis suatu growth factor yang selanjutnya mempengaruhi sel
stroma itu sendiri, yang menyebabkan terjadinya proliferasi sel-sel epitel maupun
stroma.1

d. Berkurangnya kematian sel prostat


Apoptosis sel pada sel prostat adalah mekanisme fisiologi homeostatis
kelenjar prostat. Pada jaringan nomal, terdapat keseimbangan antara laju proliferasi
sel dengan kematian sel. Berkurangnya jumlah sel-sel prostat yang apoptosis
menyebabkan jumlah sel-sel prostat secara keseluruhan makin meningkat sehingga
mengakibatkan pertambahan massa prostat. Diduga hormon androgen berperan dalam
menghambat proses kematian sel karena setelah dilakukan kastrasi, terjadi
peningkatan aktivitas kematian sel kelenjar prostat.1
e. Teori sel stem
Untuk mengganti sel-sel yang telah mengalami apoptosis, selalu dibentuk
selsel baru. Dalam kelenjar prostat dikenal suatu sel stem, yaitu sel yang mempunyai
kemampuan berproliferasi sangat ekstensif. Kehidupan sel ini bergantung pada
hormon androgen, dimana jika kadarnya menurun (misalnya pada kastrasi),
menyebabkan terjadinya apoptosis. Sehingga terjadinya proliferasi sel-sel pada BPH
diduga sebagai ketidaktepatan aktivitas sel stem sehingga terjadi produksi yang
berlebihan sel stroma maupun sel epitel.1

8
2.5 Patofisiologi dan Komplikasi BPH
Proses pembesaran prostat terjadi secara perlahan-lahan
sehingga perubahan pada saluran kemih juga terjadi secara perlahan.
Pada tahap awal setelah terjadi pembesaran prostat, terjadi penyempitan
lumen uretra pars prostatika dan menghambat aliran urin. Keadaan ini
menyebabkan peningkatan tekanan intravesikal. Untuk dapat
mengeluarkan urin, vesica urinaria harus berkontraksi lebih kuat untuk
melawan tahanan tersebut. Kontraksi yang terus menerus ini
menyebabkan peruabahan anatomi vesika urinaria berupa hipertrofi otot
detrusor, trabekulasi, terbentuknya selula, sakula, dan divertikel buli-
buli. Perubahan ini dirasakan oleh pasien sebagai keluhan pada saluran
kemih bawah atau lower urinary tract symptoms (LUTS) yang dahulu
dikenal dengan gejala prostatismus.1

Tekanan intravesikal yang tinggi diteruskan ke seluruh bagian


vesika urinaria termasuk pada kedua muara ureter. Tekanan pada kedua
muara ini dapat menimbulkan aliran balik urine dari vesika urinaria ke
ureter (refluks vesico- ureter). Keadaan ini jika terus berlangsung akan
mengakibatkan hidroureter, hidronefrosis, bahkan akhirnya dapat jatuh
ke gagal ginjal.1,8

2.6 Diagnosis BPH


Diagnosis BPH ditegakkan berdasarkan anamnesis, dan pemeriksaan fisik.
2.6.1 Anamnesis
a. Riwayat Penyakit
Poin-poin anamnesis yang dapat ditanyakan ialah :1

- Keluhan seperti apa yang dirasakan ?


- Sudah berapa lama keluhan tersebut mengganggu ?

Keluhan pada saluran kemih bawah ini terdiri atas gejala


obstruksi dan gejala iritatif seperti yang terlihat pada tabel 1

9
Gejala obstruktif disebabkan oleh karena penyempitan uretra
pars prostatika karena didesak oleh prostat yang membesar dan
kegagalan otot detrusor untuk berkontraksi cukup kuat dan atau
cukup lama sehingga kontraksi terputus-putus. Sementara itu,
gejala itritatif disebabkan oleh karena pengosongan vesika
urinaria yang tidak sempurna pada saat miksi atau disebabkan
oleh hipersensitivitas otot detrusor karena pembesaran prostat
menyebabkan rangsangan pada vesiika, sehingga vesika sering
berkontraksi meskipun belum penuh.9 Pasien dengan BPH
dilaporkan gejala predominannya yaitu nocturia, poor stream,
hesitancy atau Prolonged micturition.
Tabel 1: Keluhan pada saluran kemih bawah (LUTS)4,9
Obstruktif Iritatif
Hesitancy : perlu waktu bila mau miksi Frekuensi (miksi > 8x/ hari) karena
pengosongan vesika urinaria tidak
sempurna, pembesaran prostat ke
vesika urinaria, hipertrofi m.detrusor.
Straining:miksi mengejan Urgency: non koordinasi antara
kontraksi m. detrusor dengan relaksasi
m.sfingter.
Weak stream:pancaran miksi lemah Nokturia (miksi > 2x pada malam hari)
Prolonges micturition:miksi perlu Urge incontinence: tidak bisa menahan
waktu lama miksi
Emptying incomplete:miksi tidak puas Disuria
-

- Riwayat penyakit lain dan penyakit pada saluran urogenitalia (pernah


mengalami cedera, infeksi, hematuria, kencing batu)
- Riwayat operasi pada saluran kemih
- Riwayat Kesehatan secara umum dan keadaan fungsi seksual
- Riwayat konsumsi obat yang dapat menimbulkan keluhan berkemih.
Sebagai contoh, penggunaan obat harian, seperti antidepresan,
antihistamin, atau bronkodilator terbukti dapat menyebabkan

10
peningkatan 2 – 3 skor International Prostate Symptom Score
(IPSS).10

b. Sistem Skor BPH


Salah satu penskoran yang digunakan secara luas adalah
International Prostate Symptom Score (IPSS). IPSS sendiri
dikembangkan oleh American Urological Association (AUA) dan
distandarisasi oleh WHO.
Keluhan pada saluran kemih bawah (LUTS)
Sistem skoring IPSS terdiri atas tujuh pertanyaan yang
berhubungan dengan keluhan miksi (LUTS) dan satu pertanyaan yang
berhubungan dengan kualitas hidup pasien (Quality of life atau QoL).
Setiap pertanyaan yang berhubungan dengan keluhan miksi diberi nilai
0 sampai dengan 5 dengan total skor maksimum 35, sedangkan keluhan
yang menyangkut kualitas hidup pasien diberi nilai dari 1 hingga 7.3

Dari skor I-PSS itu dapat dikelompokkan gejala LUTS dalam 3 derajat, yaitu:

• Ringan : skor 1-7


• Sedang : skor 8-19
• Berat : skor 20-35

11
Gambar 2.3 IPSS Score3

12
2.6.2 Pemeriksaan Fisik
a. Status Urologis

• Ginjal Pemeriksaan fisik ginjal pada kasus BPH untuk mengevaluasi


adanya obstruksi atau tanda infeksi.11

• Kandung kemih Pemeriksaan kandung kemih dilakukan dengan palpasi


dan perkusi untuk menilai isi kandung kemih, ada tidaknya tanda
infeksi.11

• Genitalia Eksterna Penilaian adanya meatal stenosis, fimosis, tumor penis


serta urethral discharge.

b. Rectal Toucher
Pada pemeriksaan colok dubur atau digital rectal examination (DRE)
atau Rectal Toucher dapat memberikan gambaran tentang keadaan
tonus spingter ani, reflek bulbo cavernosus, mukosa rektum, adanya
kelainan lain seperti benjolan di dalam rektum dan tentu saja teraba
prostat. Pada perabaan prostat harus diperhatikan :
1. Konsistensi prostat (pada hiperplasia prostat konsistensinya
kenyal)
2. Adakah nodul pada prostat
3. Apakah batas atas dapat diraba
4. Sulcus medianus prostat
5. Adakah krepitasi
Colok dubur pada hiperplasia prostat menunjukkan prostat
teraba membesar, konsistensi prostat kenyal seperti meraba ujung
hidung, permukaan rata, tidak didapatkan nodul, dan menonjol ke
dalam rectum. Semakin berat derajat hiperplasia prostat, batas atas
semakin sulit untuk diraba. Sedangkan pada karsinoma prostat,
konsistensi prostat keras dan atau teraba nodul dan diantara lobus
prostat tidak simetris. Sedangkan pada batu prostat akan teraba
krepitasi.11

13
Pada pemeriksaan abdomen ditemukan kandung kemih yang terisi penuh
dan teraba masa kistik di daerah supra simfisis akibat retensio urin dan kadang
terdapat nyeri tekan supra simfisis.11

2.6.3 Pemeriksaan Penunjang


1. Urinalisis
Pemeriksaan urinalisis dapat menentukan adanya leukosituria dan
hematuria. Apabila ditemukan hematuria, maka perlu dicari penyebabnya.
Bila dicurigai adanya infeksi saluran kemih perlu dilakukan pemeriksaan
kultur urine.11
2. Pemeriksaan Fungsi Ginjal
Penilaian fungsi ginjal harus dilakukan jika dicurigai adanya
gangguan fungsi ginjal, berdasarkan riwayat dan pemeriksaan klinis atau
dengan adanya hidronefrosis atau ketika mempertimbangkan perlu
tidaknya melakukan pemeriksaan pencitraan pada saluran kemih atas.11
3. PSA (Prostate Spesific Antigen)
PSA disintesis oleh sel epitel prostat dan bersifat organ specific
tetapi bukan cancer specific.14 Kadar PSA di dalam serum dapat
mengalami peningkatan pada keradangan, setelah manipulasi pada prostat
(biopsi prostat atau TURP), pada retensi urine akut, 72 jam setelah
kateterisasi, keganasan prostat, dan usia yang makin tua.15 jika kadar PSA
tinggi berarti:
a. pertumbuhan volume prostat lebih cepat,
b. keluhan akibat BPH/ laju pancaran urine lebih jelek, dan
c. lebih mudah terjadi retensi urine akut.12,13
Pertumbuhan volume kelenjar prostat dapat diprediksikan
berdasarkan kadar PSA. Semakin tinggi kadar PSA, maka semakin cepat
laju pertumbuhan prostat. Laju pertumbuhan volume prostat rata-rata
setiap tahun pada kadar PSA 0,2-1,3 ng/dl adalah 0,7 mL/tahun,
sedangkan pada kadar PSA 1,4-3,2 ng/dl adalah 2,1 mL/tahun, dan kadar

14
PSA 3,3-9,9 ng/dl adalah 3,3 mL/tahun. Apabila kadar PSA >4 ng/ml,
biopsi prostat dipertimbangkan setelah didiskusikan dengan pasien 14

4. Uroflowmetry (Pancaran Urin)

Uroflowmetry merupakan pemeriksaan pancaran urine selama


proses berkemih. Ditujukan untuk mendeteksi gejala obstruksi saluran
kemih bagian bawah. Dari uroflowmetry dapat diperoleh informasi
mengenai volume berkemih, laju pancaran maksimum (Qmax), laju
pancaran rata-rata (Qave), waktu yang dibutuhkan untuk mencapai laju
pancaran maksimum, dan lama pancaran. Pemeriksaan ini dipakai untuk
mengevaluasi gejala obstruksi infravesika, baik sebelum maupun setelah
terapi.11

5. Pemeriksaan Pencitran
• Ultrasonografi transabdominal (TAUS) atau ultrasonografi
transrektal (TRUS) pemeriksaan rutin yang bertujuan untuk menilai
bentuk dan besar prostat serta mencari kelainan yang mungkin ada
dalam vesika urinaria seperti batu atau tumor.15 Pengukuran besar
prostat penting dalam menentukan pilihan terapi invasif, seperti
operasi terbuka, teknik enukleasi, TURP, TUIP, atau terapi minimal
invasif lainnya. Selain itu, hal ini juga penting dilakukan sebelum
pengobatan dengan 5ARI. USG saluran kemih bagian atas
dikerjakan apabila terdapat hematuria, infeksi saluran kemih,
insufisiensi renal, residu urine yang banyak, riwayat urolitiasis, dan
riwayat pernah menjalani pembedahan pada saluran urogenitalia.11

• Pemeriksaan uretrosistografi retrograd dilakukan jika dicurigai


adanya striktur uretra.11
• Foto Polos Abdomen/BNO berguna untuk mencari adanya batu
opak di saluran kemih, adanya batu/ kalkulosa prostat dan kadangkala
dapat menunjukkan bayangan vesica urinaria yang penuh terisi urin, yang

15
merupakan tanda dari suatu retensi urine. Selain itu juga bisa
menunjukkan adanya hidronefrosis, divertikel kandung kemih atau
adanya metastasis ke tulang dari karsinoma prostat.1 Pemeriksaan
lanjutan BNO-IVP dilakukan untuk menilai fungsi eksresi ginjal.
• Uretrosistoskopi dilakukan pada pasien dengan riwayat hematuria,
striktur uretra, urethritis, trauma uretra, instrumentasi uretra, Riwayat
operasi uretra, atau kecurigaan kanker kandung kemih.12,13

2.7 Terapi
Tujuan terapi pada pasien BPH adalah (1) memperbaiki keluhan miksi, (2)
meningkatkan kualitas hidup, (3) mengurangi obstruksi infravesika, (4)
mengembalikan fungsi ginjal jika terjadi gagal ginjal, (5) mengurangi volume residu
urin setelah miksi, dan (6) mencegah progesifitas penyakit.16 Terapi yang didiskusikan
dengan pasien tergantung pada derajat keluhan, keadaan pasien, serta ketersediaan
fasilitas setempat. Pilihannya adalah: (1) konservatif (watchful waiting), (2)
medikamentosa, (3) pembedahan (Tabel 1), dan (4) lain-lain (kondisi khusus).3

2.7.1 Konservatif
Terapi konservatif pada BPH dapat berupa watchful waiting yaitu pasien tidak
mendapatkan terapi apapun tetapi perkembangan penyakitnya tetap diawasi oleh
dokter. Pilihan tanpa terapi ini ditujukan untuk pasien BPH dengan skor IPSS dibawah
7, yaitu keluhan ringan yang tidak mengganggu aktivitas sehari-hari.3
Pada watchful waiting ini, pasien diberi penjelasan mengenai segala sesuatu
hal yang mungkin dapat memperburuk keluhannya, misalnya:
1. jangan banyak minum dan mengkonsumsi kopi atau alkohol setelah makan
malam,
2. kurangi konsumsi makanan atau minuman yang menyebabkan iritasi pada
kandung kemih (kopi atau cokelat),
3. batasi penggunaan obat-obat influenza yang mengandung fenilpropanolamin,
4. jangan menahan kencing terlalu lama.
5. penanganan konstipasi

16
Pasien diminta untuk datang kontrol berkala (3-6 bulan) untuk menilai
perubahan keluhan yang dirasakan, IPSS, uroflowmetry, maupun volume residu
urine. Jika keluhan berkemih bertambah buruk, perlu dipikirkan untuk memilih
terapi yang lain. 12
2.7.2 Medikamentosa
Tujuan terapi medikamentosa adalah berusaha untuk: (1) mengurangi
resistensi otot polos prostat sebagai komponen dinamik penyebab obstruksi
infravesika dengan obat-obatan dengan penghambat adrenergik alfa dan (2)
mengurangi volume prostat sebagai komponen statik dengan cara menurunkan
kadar hormon testosteron/dihidrotestosteron (DHT) melalui penghambat 5α-
reduktase. Selain kedua cara tersebut, banyak terapi dengan menggunakan
fitofarmaka yang mekanisme kerjanya masih belum jelas.3,17
Terapi medikamentosa diberikan pada pasien dengan skor IPSS >7. Jenis obat
yang digunakan adalah:3,18
α1-‐blocker
Pengobatan dengan α1-blocker bertujuan menghambat kontraksi otot polos
prostat sehingga mengurangi resistensi tonus leher kandung kemih dan uretra.
Beberapa obat α1-blocker yang tersedia, yaitu terazosin, doksazosin, alfuzosin, dan
tamsulosin yang cukup diberikan sekali sehari 1 serta silodosin dengan dosis 2 kali
sehari.
Obat golongan ini dapat mengurangi keluhan storage symptom dan voiding
symptom dan mampu memperbaiki skor gejala berkemih hingga 30-45% atau
penurunan 4-6 skor IPSS dan Qmax hingga 15-30%.1,5,6 Tetapi obat α1-blocker
tidak mengurangi volume prostat maupun risiko retensi urine dalam jangka panjang.
α1-blocker memiliki selektivitas terhadap a1-adrenoceptor yang terdapat
selain di prostat (buli-buli dan medulla spinalis). Subtype adrenoceptor ini berperan
dalam mediasi mekanisme kerja terhadap reseptor tersebut. Selain itu a1-
adrenoceptor yang terdapat pada pembuluh darah, sel otot polos selain prostat dan
susunan saraf pusat akan terkena juga sehingga akan memberikan efek samping.

17
Masing-masing α1-blocker mempunyai tolerabilitas dan efek terhadap
sistem kardiovaskuler yang berbeda (hipotensi postural, dizzines, dan asthenia)
yang seringkali menyebabkan pasien menghentikan pengobatan.6 Penyulit lain
yang dapat terjadi adalah ejakulasi retrograde dimana semakin selektif obat tersebut
terhadap a1adrenoceptor maka makin tinggi kejadian ejakulasi retrograde.5,6
Selain itu komplikasi yang harus diperhatikan adalah intraoperativefloppy iris
syndrome (IFIS) pada operasi katarak dan hal ini harus diinformasikan
kepadapasien dan Ophthalmologist bila akan menjalani operasi katarak.

Gambar 2.4 Reseptor Alpha Adrenergik pada Otot Polos Prostat dan Leher
Kandung Kemih 3
5α-reductase inhibitor
5α-reductase inhibitor bekerja dengan menginduksi proses apoptosis sel
epitel prostat yang kemudian mengecilkan volume prostat hingga 20 – 30%. 5a-
reductase inhibitor juga inhibitor yang dipakai untuk mengobati BPH, yaitu
finasteride dan dutasteride. Efek klinis finasteride atau dutasteride baru dapat
terlihat setelah 6 bulan. Finasteride digunakan bila volume prostat >40 ml dan
dutasteride digunakan bila volume prostat >30 ml. Efek samping yang terjadi pada
pemberian finasteride atau dutasteride ini minimal, di antaranya dapat terjadi

18
disfungsi ereksi, penurunan libido, ginekomastia, atau timbul bercak-bercak
kemerahan di kulit.
Antagonis Reseptor Muskarinik
Pengobatan dengan menggunakan obat-obatan antagonis reseptor
muskarinik bertujuan untuk menghambat atau mengurangi stimulasi reseptor
muskarinik sehingga akan mengurangi kontraksi sel otot polos kandung kemih.
Beberapa obat antagonis reseptor muskarinik yang terdapat di Indonesia adalah
fesoterodine fumarate, propiverine HCL, solifenacin succinate, dan tolterodine l-
tartrate
Penggunaan antimuskarinik terutama untuk memperbaiki gejala storage
LUTS. Analisis pada kelompok pasien dengan nilai PSA <1,3 ng/ml (≈volume
prostat kecil) menunjukkan pemberian antimuskarinik bermanfaat.1 Sampai saat
ini, penggunaan antimuskarinik pada pasien dengan BOO masih terdapat
kontroversi, khususnya yang berhubungan dengan risiko terjadinya retensi urine
akut. Oleh karena itu, perlu dilakukan evaluasi rutin keluhan dengan IPSS dan sisa
urine pasca berkemih. Sebaiknya, penggunaan antimuskarinik dipertimbangkan
jika penggunaan α-blocker tidak mengurangi gejala storage.
Penggunaan antimuskarinik dapat menimbulkan efek samping, seperti mulut
kering (sampai dengan 16%), konstipasi (sampai dengan 4%), kesulitan berkemih
(sampai dengan 2%), nasopharyngitis (sampai dengan 3%), dan pusing (sampai
dengan 5%)

Phospodiesterase 5 inhibitor
Phospodiesterase 5 inhibitor (PDE 5 inhibitor) meningkatkan konsentrasi
dan memperpanjang aktivitas dari cyclic guanosine monophosphate (cGMP)
intraseluler, sehingga dapat mengurangi tonus otot polos detrusor, prostat, dan
uretra.1 Di Indonesia, saat ini ada 3 jenis PDE5 Inhibitor yang tersedia, yaitu
sildenafil, vardenafil, dan tadalafil. Sampai saat ini, hanya tadalafil dengan dosis 5
mg per hari yang direkomendasikan untuk pengobatan LUTS.

19
Tadalafil 5 mg per hari dapat menurunkan nilai IPSS sebesar 22-37%.
Penurunan yang bermakna ini dirasakan setelah pemakaian 1 minggu.6 Pada
penelitian uji klinis acak tanpa meta-analisis, peningkatan Qmax dibandingkan
plasebo adalah 2,4 ml/s dan tidak didapatkan perbedaan yang bermakna pada residu
urine.1 Data metaanalisis menunjukkan PDE 5 inhibitor memberikan efek lebih
baik pada pria usia lebih muda dengan indeks massa tubuh yang rendah dengan
keluhan LUTS berat.
Terapi Kombinasi
α1-blocker + 5α-reductase inhibitor
Terapi kombinasi α1-blocker (alfuzosin, doksazosin, tamsulosin) dan
5αreductase inhibitor (dutasteride atau finasteride) bertujuan untuk mendapatkan
efek sinergis denganmenggabungkan manfaat yang berbeda dari kedua golongan
obat tersebut, sehingga meningkatkan efektivitas dalam memperbaiki gejala dan
mencegah perkembangan penyakit.
Waktu yang diperlukan oleh α1-blocker untuk memberikan efek klinis adalah
beberapa hari, sedangkan 5α-reductase inhibitor membutuhkan beberapa bulan
untuk menunjukkan perubahan klinis yang signifikan.Data saat ini menunjukkan
terapi kombinasi memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan monoterapi dalam
risiko terjadinya retensi urine akut dan kemungkinan diperlukan terapi bedah. Akan
tetapi, terapi kombinasi juga dapat meningkatkan risiko terjadinya efek samping.
Terapi kombinasi ini diberikan kepada orang dengan keluhan LUTS
sedangberat dan mempunyai risiko progresi (volume prostat besar, PSA yang tinggi
(>1,3 ng/dL), dan usia lanjut). Kombinasi ini hanya direkomendasikan apabila
direncanakan pengobatan jangka panjang (>1 tahun). • α1-blocker + antagonis
reseptor muskarinik
Terapi kombinasi α1-blocker dengan antagonis reseptor muskarinik
bertujuan untuk memblok α1-adrenoceptor dan cholinoreceptors muskarinik (M2
dan M3) pada saluran kemih bawah. Terapi kombinasi ini dapat mengurangi
frekuensi berkemih, nokturia, urgensi, episode inkontinensia, skor IPSS dan
memperbaiki kualitas hidup dibandingkan dengan α1-blocker atau plasebo saja.

20
Pada pasien yang tetap mengalami LUTS setelah pemberianmonoterapi α1-blocker
akan mengalami penurunan keluhan LUTS secara bermakna dengan pemberian anti
muskarinik, terutama bila ditemui overaktivitas detrusor (detrusor overactivity).
Efek samping dari kedua golongan obat kombinasi, yaitu α1-blocker dan
antagonis reseptor muskarinik telah dilaporkan lebih tinggi dibandingkan
monoterapi. Pemeriksaan residu urine harus dilakukan selama pemberian terapi ini.

2.7.3 Pembedahan
Indikasi tindakan pembedahan, yaitu pada BPH yang sudah menimbulkan
komplikasi, seperti:
(1) retensi urine akut; 3

(2) gagal Trial Without Catheter (TWOC);


(3) infeksi saluran kemih berulang;
(4) hematuria makroskopik berulang;
(5) batu kandung kemih;

(6) penurunan fungsi ginjal yang disebabkan oleh obstruksi akibat BPH;
(7) dan perubahan patologis pada kandung kemih dan saluran kemih bagian atas.

Indikasi relatif lain untuk terapi pembedahan adalah keluhan sedang hingga
berat, tidak menunjukkan perbaikan setelah pemberian terapi non bedah, dan pasien
yang menolak pemberian terapi medikamentosa. 3

1. Transurethral Resection of the Prostate (TURP)


TURP merupakan tindakan baku emas pembedahan pada pasien BPH
dengan volume prostat 30-80 ml.1 Akan tetapi, tidak ada batas maksimal volume
prostat untuk tindakan ini di kepustakaan, hal ini tergantung dari pengalaman
spesialis urologi, kecepatan reseksi, dan alat yang digunakan. Secara umum, TURP
dapat memperbaiki gejala BPH hingga 90% dan meningkatkan laju pancaran urine
hingga 100%. Penyulit dini yang dapat terjadi pada saat TURP bisa berupa

21
perdarahan yang memerlukan transfusi ( 0-9%), sindrom TUR (0-5%), AUR (0-
13,3%), retensi bekuan darah (0-39%), dan infeksi saluran kemih (0-22%)..
Sementara itu, angka mortalitas perioperatif (30 hari pertama) adalah 0,1. 1 Selain
itu, komplikasi jangka panjang yang dapat terjadi meliputi inkontinensia urin
(2,2%), stenosis leher kandung kemih (4,7%), striktur urethra (3,8%), ejakulasi
retrograde (65,4%), disfungsi ereksi (6,5-14%), dan retensi urin dan UTI.12
2. Modifikasi TURP: Biporal TURP
Mekanisme Aksi: TURP Bipolar (TURP-B) memiliki perbedaan dengan
TURP monopolar dimana pada bipolar menggunakan normal saline sebagai cairan
irigasi. Berbeda dengan TURP Monopolar, pada sistem TURP Bipolar, energi tidak
melalui tubuh untuk mencapai pad kulit. Sirkuit bipolar bekerja secara lokal melalui
pole aktif (resection loop) dan pole pasif (ujung resektoskop), serta membutuhkan
energi yang lebih sedikit. Energi dari loop ditransmisikan ke larutan garam,
sehingga eksitasi ion natrium untuk membentuk plasma; molekul tersebut
kemudian dengan mudah dibelah dalam tegangan rendah sehingga memungkinkan
terjadinya reseksi. Selama koagulasi, panas menghilang dalam dinding pembuluh,
menciptakan gumpalan dan penyusutan kolagen.
TURP-B memiliki efektifitas yang sama dibandingkan dengan TURP-M
dalam IPSS, skor kualitas hidup dan Qmax. Namun TURP-B memiliki profil
keamaan perioperatif yang lebih baik dibandingkan TURP-M (Sindroma TUR,
retensi bekuan darah, angka transfusi darah, waktu irigasi dan kateterisasi yan lebih
singkat). Angka kejadian striktur uretra dan kontraktur bladder neck serta disfungsi
ereksi tidak ada perbedaan dibandingkan dengan TURP-M
Komplikasi TURP
Disfungsi ereksi diketahui merupakan salahsatu komplikasi pasca TURP
yang dialami sebagian populasi. Dari studi yang dilakukan Taher dkk, insidensi
disfungsi ereksi di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Jakarta sebesar 14%.
Diabetes mellitus dan skor IIEF-5 kurang dari 21 merupakan fakor risiko terjadinya
disfungsi ereksi setelah TURP. TURP merupakan prosedur yang aman bagi fungsi
seksual bila tidak didapatkan faktor risiko tersebut.12

22
Gambar 2.7.3 Transurethral Resection of the Prostate (TURP)19
3. Laser Prostatektomi3
Terdapat 5 jenis energi yang dipakai untuk terapi invasif BPH, yaitu:
Nd:YAG, Holmium:YAG, KTP:YAG, Green Light Laser, Thulium:YAG
(Tm:YAG), dan diode. Kelenjar prostat akan mengalami koagulasi pada suhu 60-
650C dan mengalami vaporisasi pada suhu yang lebih dari 1000C.
Penggunaan laser pada terapi pembesaran prostat jinak dianjurkan khususnya
pada pasien yang terapi antikoagulannya tidak dapat dihentikan.12
4. Lain-lain 3,12

Transurethral Incision of the Prostate (TUIP) atau insisi leher kandung kemih
(bladder neck insicion) direkomendasikan pada prostat yang ukurannya kecil
(kurang dari 30 ml) dantidak terdapat pembesaran lobus medius prostat.9,27 TUIP
mampu memperbaiki keluhan akibat BPH dan meningkatkan Qmax meskipun tidak
sebaik TURP.
Thermoterapi kelenjar prostat adalah pemanasan >45oC sehingga
menimbulkan nekrosis koagulasi jaringan prostat. Gelombang panas dihasilkan dari

23
berbagai cara, antara lain adalah Transurethral Microwave Thermotherapy
(TUMT), Transurethral Needle Ablation (TUNA), dan High Intensity Focused
Ultrasound (HIFU). Semakin tinggi suhu di dalam jaringan prostat, semakin baik
hasil klinik yang didapatkan, tetapi semakin banyak juga efek samping yang
ditimbulkan. Teknik thermoterapi ini seringkali tidak memerlukan perawatan di
rumah sakit, tetapi masih harus memakai kateter dalam jangka waktu lama. Angka
terapi ulang TUMT (84,4% dalam 5 tahun) dan TUNA (20-50% dalam 20 bulan).
Stent dipasang intraluminal di antara leher kandung kemih dan di proksimal
verumontanum, sehingga urine dapat melewati lumen uretra prostatika. Stent dapat
dipasang secara temporer atau permanen serta pada pasien yang tidak dapat untuk
dilakukan tindakan operatif. Namun secara umum stent mempunyai risiko untuk
terjadinya kesalahan posisi, migrasi, dan enkrustrasi. Efek samping utama
diantaranya nyeri perineal dan gejala pengisian buli-buli.
2.7.4 Operasi Terbuka 3
Pembedahan terbuka dapat dilakukan melalui transvesikal (Hryntschack atau
Freyer) dan retropubik (Millin).29 Pembedahan terbuka dianjurkan pada prostat
yang volumenya lebih dari 80 ml.
Prostatektomi terbuka adalah cara operasi yang paling invasif dengan
morbiditas yang lebih besar. Penyulit dini yang terjadi pada saat operasi dilaporkan
sebanyak 7-14% berupa perdarahan yang memerlukan transfusi. Sementara itu,
angka mortalitas perioperatif (30 hari pertama) adalah di bawah 0,25%. Komplikasi
jangka panjang dapat berupa kontraktur leher kandung kemih dan striktur uretra
(6%) dan inkontinensia urine (10%).

2.7.5 Lain-Lain 3
1. Trial Without Catheterization (TWOC)
TWOC adalah cara untuk mengevaluasi apakah pasien dapat berkemih
secara spontan setelah terjadi retensi. Setelah kateter dilepaskan, pasien kemudian
diminta dilakukan pemeriksaan pancaran urin dan sisa urin.30 TWOC baru dapat
dilakukan bersamaan dengan pemberian α1-blocker selama minimal 3-7 hari.

24
TWOC umumnya dilakukan pada pasien yang mengalami retensi urine akut yang
pertama kali dan belum ditegakkan diagnosis pasti.
2. Clean Intermittent Catheterization (CIC)
CIC adalah cara untuk mengosongkan kandung kemih secara intermiten baik
mandirimaupun dengan bantuan. CIC dipilih sebelum kateter menetap dipasang
pada pasien-pasien yang mengalami retensi urine kronik dan mengalami gangguan
fungsi ginjal ataupun hidronefrosis. CIC dikerjakan dalam lingkungan bersih ketika
kandung kemih pasien sudah terasa penuh atau secara periodik.
3. Sistostomi
Pada keadaan retensi urine dan kateterisasi transuretra tidak dapat dilakukan,
sistostomi dapat menjadi pilihan. Sistostomi dilakukan dengan cara pemasangan
kateter khusus melalui dinding abdomen (supravesika) untuk mengalirkan urine.
4. Kateter menetap
Kateterisasi menetap merupakan cara yang paling mudah dan sering
digunakan untuk menangani retensi urine kronik dengan keadaan medis yang tidak
dapat menjalani tidakan operasi.

25
26
27
28
2.7.6 Kontrol berkala
Setiap pasien hiperplasia prostat yang telah mendapatkan pengobatan perlu kontrol
secara teratur untuk mengetahui perkembangan penyakitnya. Jadwal kontrol tergantung
pada tindakan apa yang sudah dijalani. Pasien yang hanya mendapatkan pengawasan
dianjurkan kontrol setelah 6 bulan, kemudian setiap tahun untuk mengetahui apakah terjadi
perbaikan klinis. Penilaian dilakukan dengan pemeriksaan skor IPSS, uroflowmetri, dan
residu urin pasca miksi. Setelah pembedahan, pasien harus menjalani kontrol paling lambat
6 minggu pasca operasi untuk mengetahui kemungkinan terjadinya penyulit. Kontrol
selanjutnya setelah 3 bulan untuk mengetahui hasil akhir operasi. Pasien yang mendapat
terapi invasfi minimal harus menjalani kontrol secara teratur dalam jangka waktu lama,
yaitu setelah 6 minggu, 3 bulan, 6 bulan, dan setiap tahun. Pada pasien yang mendapatkan
terapi invasif minimal, selain dilakukan penilaian terhadap skor miksi, dilakukan
pemeriksaan kultur urin.3
2.8 Prognosis
Prognosis untuk BPH berubah-ubah dan tidak dapat diprediksi pada setiap individu. BPH yang
tidak segera diobati memiliki prognosis yang buruk.

29
BAB 3
LAPORAN KASUS
3.1 Identitas Pasien

Nama : Tn. N
Usia : 64 th
Alamat : Sungai Dareh, Dharmasraya
Pekerjaan : Petani
Status Perkawinan : Menikah
Suku : Minang
Agama : Islam
No. MR : 00.07.44.46

3.2 Anamnesis
Keluhan Utama
Susah buang air kecil yang semakin berat sejak 2 hari sebelum masuk rumah sakit
Riwayat Penyakit Sekarang
• Pasien mengeluhkan susah untuk BAK yang dirasakan semakin berat sejak 2 hari sebelum
masuk rumah sakit. Awalnya pasien kontrol rutin di RSUD Sungai Dareh Dharmasraya
karena keluhannya tersebut, pasien mengaku tidak pernah mengknsumsi obat-obatan terkait
keluhan sulit BAK tersebut.
• Pasien juga mengeluh nyeri perut, perut penuh dan kembung namun tidak dapat BAK.
• Pasien mengaku sudah dipasang kateter di RSUD Sungai Daerah sejak 6 bulan yang lalu,
namun keluhan tersebut tidak membaik sehingga dilakukan sistostomi. Pasien mengeluhkan
• BAK berdarah sejak 2 hari sebelum masuk rumah sakit. Pasien menyebutkan darah menetes
dari ujung uretra, jumlah darah ± 100 cc, BAK berdarah ini dikeluhkan pasien setelah
pemasangan kateter.
• Pasien akhirnya dibawa ke IGD Rumah Sakit BMC dan direncanakan Tindakan TURP.
Namun, tindakan ditunda karena pasien mengalami hipertensi sehingga pasien diberi obat
antihipertensi (Candesartan 1x8 mg).
• Selanjutnya, pasien direncanakan tindakan TURP di Rumah Sakit UNAND.

30
• Riwayat keluhan awal pasien, susah menahan BAK ada sekitar 1 tahun yang lalu. Nyeri saat
BAK ada, terdapat riwayat sering bolak- balik wc karena rasa ingin BAK.
• Riwayat pancaran BAK dirasakan lemah dan pasien sering agak mengedan saat BAK
• Pasien kadang mengalami BAK tersendat-sendat dan rasa tidak lampias/tidak puas selesai
BAK.
• Pasien sering terbangun 2-3x pada malam hari karena ingin BAK.
• Tidak ada riwayat trauma pada regio punggung dan sekitarnya. Riwayat jatuh terduduk
disangkal.
• Tidak terdapat riwayat penurunan berat badan.

Riwayat Penyakit Dahulu.


• Pasien sudah dikenal dengan Hipertensi sejak 10 tahun yang lalu, awalnya rutin kontrol ke
puskemas, namun tidak kontrol lagi 2 bulan terakhir. Pasien lupa nama obat yang pernah
dikonsumsi.
• Riwayat asma (+)
• Riwayat Diabetes Mellitus disangkal
• Riwayat keganasan sebelumnya disangkal

Riwayat Penyakit Keluarga


• Tidak ada riwayat anggota keluarga yang memiliki keluhan yang sama dengan pasien
• Tidak ada riwayat hipertensi dan diabetes melitus pada keluarga
• Riwayat keluarga dengan keganasan disangkal

Riwayat Kebiasaan, Sosial, dan Ekonomi


• Pasien merupakan seorang petani dengan aktivitas sedang-berat.

Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan Tanda Vital
Keadaan umum : Sakit sedang
Kesadaran : Composmentis Cooperatif, GCS 15 E4M6V5
Tekanan darah : 141/76 mmHg
Nadi : 98x/menit, teraba kuat angkat

31
Pernapasan : 22 x/menit
Saturasi O2 : 98%
Suhu : 36,7oC
VAS 3

Pemeriksaan Fisik Umum


Kulit : teraba hangat, turgor kulit normal
KGB : tidak ada pembesaran KGB
Kepala : normocephal.
Rambut : hitam, tidak ada kelainan
Wajah : tampak scar pada wajah terutama pipi kiri
Mata : Pupil isokor 3mm/3mm, refleks cahaya +/+, konjungtiva anemis -/-, sklera
ikterik -/-.
Telinga : Liang telinga lapang, otorrhea (-)
Hidung : rhinorea (-), septum deviasi (-)
Tenggorok : tidak ada kelainan
Gigi dan mulut : tidak ada kelainan.
Leher : JVP 5-2 cm H2O
Abdomen : Inspeksi: jejas (-), distensi (-), sikatrik (-), terpasang selang dari buli
(sistostomi)
Palpasi : supel, nyeri tekan (-), nyeri lepas (-), defans muscular (-).
Perkusi : timpani
Auskultasi : bising usus (+) normal
Paru : Inspeksi : normochest, simetris saat saat statis dan dinamis, jejas (-)
Palpasi : taktil fremitus kiri = kanan
Perkusi : sonor kiri = kanan
Auskultasi : suara nafas vesikuler, rhonki (-), wheezing (-)
Jantung : Inspeksi : ictus cordis tidak terlihat
Palpasi : ictus cordis teraba 1 jari medial LMCS RIC V
32
Perkusi : batas jantung normal
Auskultasi : bunyi S1-S2 normal, irama regular, murmur (-), gallop (-)
Genitalia: : dalam batas normal
Anus : dalam batas normal
Ekstremitas : Akral hangat, CRT <2 s, edema (-), tidak terdapat jejas ataupun skar

Status Lokalis

Regio Flank

Inspeksi : ramping pinggang (+)/(+), bulging (-), skar (-), tanda inflamasi (-)

Palpasi : nyeri tekan (-)/(-), balotemen (-)/(-)

Perkusi : nyeri ketok CVA (-)/(-)

Regio Suprapubik

Inspeksi : distensi (-), massa (-), tanda inflamasi (-), terpasang selang dari buli (sistostomi)

Palpasi : nyeri tekan (-)

Regio Genitalia Eksterna

Inspeksi : benjolan daerah inguinal (-), benjolan di scrotum (-), tanda inflamasi (-), OUE
tidak tampak kelainan

Palpasi : nyeri tekan (-), masa (-)

Rectal Toucher

- Inspeksi Anus : tenang, tanda inflamasi (-), penonjolan (-), fistula (-), fisura (-)
- Sfingter ani : tonus sfingter menjepit (+)
- Mukosa rectum : licin, tidak
- Ampula recti : tidak kolaps

33
- Prostat : Teraba prostat pada arah jam 12, permukaan licin, nodul (-), konsistensi
kenyal, pole atas teraba, volume ± 40 cc
- Handschoen : darah (-), feses (-), nanah (-)

3.4 Diagnosis Kerja


Retensio urine e.c BPH + Hematuria

3.5 Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksaan Laboratorium (27-9-22)
Darah : Hb : 13,5 gr/dL
Leukosit :17.000 /mm3
Trombosit : 402.000 /mm3
Hematokrit : 38,7%
PT/APTT: 7,5/18,0
Kimia Klinik : SGOT : 37 U/L
SGPT : 93 U/L
Ureum : 85,4 mg/dL
Kreatinin : 1,8 mg/dL
GDS :125 mg/dL
Elektrolit : Na/K/Cl : 140/43,9/103 mmol/L
GDS : 116 mg/dL
Kesan : Leukositosis, Trombositosis, PT kurang dari nilai rujukan, SGPT
meningkat, Ureum meningkat, kreatinin meningkat

Rontgen toraks (27-9-22)

Kesan : Cor dan Pulmo dalam batas normal

Elektrokardiografi (28/9/22)

Kesan : Sinus Rhythm, Axis LAD, ST-T change (-), LVH (-)

34
3.6 Diagnosis
• Retensio Urine e.c BPH + Hematuria

• Hipertensi grade II , 185/105 mmHg (Konsul Penyakit Dalam)

3.7 Penatalaksanaan
• IVFD NaCl 0,9% 500cc per 8 jam
• Inj. Ceftriaxone 2x1 gr
• Paracetamol 3x500 mg
• Tamsulosin 1x0,4 mg
• Pro TURP elektif (Kamis/29 September 2022)
3.8 Prognosis
Quo ad vitam : dubia ad bonam
Quo ad functionam : dubia ad bonam
Quo ad sanationam : dubia ad bonam

FOLLOW-UP
Kamis/29 September 2022
S/ Telah selesai dilakukan operasi TUR-P. nyeri post op (+)

O/ KU : sakit sedang
Kes : CMC
TD : 128/70 mmHg
Nadi : 90 x/menit
Nafas : 19 x/menit
T : 36,7OC

Regio Suprapubik

Inspeksi : distensi (-), massa (-), tanda inflamasi (-)


35
Palpasi : nyeri tekan (-)

Regio Genitalia Eksterna

Inspeksi : terpasang kateter urin three way, strain, drip aqua (irigasi)

Palpasi : nyeri tekan (-), massa (-)

A/ Post TURP a.i Retensio urine e.c BPH + Hematuria

P/ Paracetamol 4 x 500mg
Inj. Ceftriaxone 1 x 2 gr
Pertahankan strain selama 12 jam
Irigasi/drip dipertahankan hingga cairan jernih

Jumat/30 September 2022


S/ Nyeri post op berkurang
Pasien belum tau sudah bisa BAK dengan lancar atau belum karena masih terpasang drip irigasi

O/ KU : sakit sedang
Kes : CMC
TD : 131/72 mmHg
Nadi : 92 x/menit
Nafas : 19 x/menit
T : 36,8OC
Drain irigasi : serohemoragik
Regio Suprapubik

Inspeksi : distensi (-), massa (-), tanda inflamasi (-)

Palpasi : nyeri tekan (-)

Regio Genitalia Eksterna

36
Inspeksi : terpasang kateter urin three way, strain, drip aqua (irigasi)

Palpasi : nyeri tekan (-), massa (-)

A/ Post TURP a.i Retensio urine e.c BPH + Hematuria

P/ Paracetamol 4 x 500mg
Lepaskan strain
Irigasi/drip dipertahankan hingga cairan jernih
Mulai lakukan TOWC tanggal 1 Oktober 2022

37
BAB 4
DISKUSI

Pasien seorang pria berusia 64 tahun, datang dengan keluhan susah buang air
yang semakin memberat sejak 2 hari sebelum masuk rumah sakit. Anamnesis lanjutan
terhadap pasien diketahui keluhan tersebut diiringi nyeri perut, perut terasa penuh dan
kembung. Terhadap pasien telah di pasang kateter namun keluhan tidak membaik
sehingga dilakukan sistostomi. Setelah terpasang kateter terdapat keluhan BAK
berdarah pada pasien. Keluhan terkait buang air kecil telah dirasakan pasien sejak 1
tahun yang lalu, awalnya keluhannya adalah sulit menahan BAK, sering bolak-balik
WC untuk BAK, namun BAK terasa tersendat-sendat sehingga pasien merasa tidak
lampias/puas setelah selesai BAK. Pancaran BAK juga dirasakan melemah. Pasien
juga terbangun 2-3x saat tidur malam untuk BAK. Pada pasien tidak ditemukan
keluhan penurunan berat badan dan riwayat trauma pada daerah pinggang/panggul.
Gejala-gejala awal tersebut termasuk ke dalam lower urinary tract
symptoms(LUTS). Gejala pada pasien yang termasuk gejala iritatif adalah frecuency,
urgency, dan Nocturia. Sedangkan yang termasuk gejala obstruktif pada pasien ini
adalah Straining, Incomplete Emptying, Weak Streaming. Pada pasien skor IPSS tidak
bisa dinilai karena keluhan tersebut adalah keluhan awal pasien sekitar 1 tahun yang
lalu dan sekarang skor IPSS tidak dapat dinilai karena pasien telah terpasang kateter.
Dari pemeriksaan colok dubur,prostat teraba membesar, permukaan rata, tidak
terdapat nodul, konsistensi kenyal, pole atas prostat teraba, dan sulkus medianus
teraba. Perkiraan volume prostat < 50 cc. Dari Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik Hal
menunjukkan bahwa pembesaran prostat tidak mengarah ke arah keganasan sehingga
didapatkan diagnose kerja Retensio Urin e.c BPH dengan Hematuria.
Dari pemeriksaan laboratorium didapatkan ureum dan creatinine serum
meningkat serta didapatkan pula leukositosis pada pasien. Ureum dan Creatinin serum
digunakan sebagai indikator penilaian fungsi ginjal, yang mana pada pasien dengan
retensio urin dapat terjadi reflux vesico-ureter yang selanjutnya dikhawatirkan dapat
meluas hingga ginjal sehingga terjadi hidronefrosis. Pada pasien juga ditemukan
leukositosis yang dapat dicurigai mengarah pada infeksi saluran kemih (ISK).

38
Pasien diberikan terapi IVFD NaCl 0,9% 500 cc per 8 jam, injeksi ceftriaxone
2x1 gram, Paracetamol 3x500 mg, Tamsulosin 1x0,4 mg, dan direncanakan Tindakan
TURP elektif. Pemberian IVFD digunakan sebagai terapi cairan maintenance.
Ceftriaxone merupakan antibiotik spektrum luas golongan Cephalosporin generasi
ketiga dalam hal ini digunakan untuk pencegahan infeksi saluran kemih pada pasien.
Pada pasien diberikan juga Paracetamol yang merupakan analgetik dan antipiretik
untuk mengatasi keluhan nyeri pada pasien.
Pemberian Tamsulosin yang merupan obat golongan α1-blocker bertujuan
untuk menghambat kontraksi otot polos prostat sehingga mengurangi resistensi tonus
leher kandung kemih dan uretra. Obat golongan ini dapat mengurangi keluhan storage
symptom dan voiding symptom. Tetapi obat α1-blocker tidak mengurangi volume
prostat maupun risiko retensi urine dalam jangka panjang.
Pasien direncanakan untuk tindakan TURP, indikasi tindakan pembedahan
ialah retensi urine akut, gagal Trial Without Catheter (TWOC); infeksi saluran kemih
berulang; hematuria makroskopik berulang; batu kandung kemih; penurunan fungsi
ginjal yang disebabkan oleh obstruksi akibat BPH; dan perubahan patologis pada
kandung kemih dan saluran kemih bagian atas. Pada pasien indikasinya adalah retensi
urin akut.
Telah direncanakan Tindakan TURP pada pasien, namun pasien mengalami
hipertensi dengan tekanan darah 186/105 mmHg sehingga pasien dikonsulkan
kebagian Jantung dan Penyakit Dalam. Pasien didiagnosis sebagai Hipertensi grade
II. Tindakan TURP terhadap pasien ditunda dan pasien diberi obat antihipertensi oral
Candesartan 1x8 mg. Selanjutnya dilakukan operasi TURP pada pasien di RS
UNAND.

39
BAB 5
KESIMPULAN

Benign prostatic hyperplasia adalah suatu keadaan dimana terjadi hiperplasia


sel-sel stroma dan sel-sel epitel kelenjar prostat. Benign prostatic hyperplasia ini dapat
dialami oleh sekitar 70% pria di atas usia 60 tahun. Angka ini akan meningkat hingga
90% pada pria berusia di atas 80 tahun.
Tujuan terapi pada pasien hiperplasia prostat adalah untuk memperbaiki
keluhan miksi, meningkatkan kualitas hidup, mengurangi obstruksi intravesika,
mengembalikan fungsi ginjal jika terjadi gagal ginjal, mengurangi volume residu urin
setelah miksi, dan mencegah progesifitas penyakit. Hal ini dapat dicapai dengan cara
medikamentosa, pembedahan, atau tindakan endourologi yang kurang invasif.
Indikasi tindakan pembedahan ialah retensi urine akut, gagal Trial Without
Catheter (TWOC); infeksi saluran kemih berulang; hematuria makroskopik berulang;
batu kandung kemih; penurunan fungsi ginjal yang disebabkan oleh obstruksi akibat
BPH; dan perubahan patologis pada kandung kemih dan saluran kemih bagian atas.
Pada pasien indikasinya adalah retensi urin akut.

40
DAFTAR PUSTAKA

1. Purnomo, B.B. Dasar-Dasar Urologi Edisi Ketiga. Jakarta: Sagung Seto. 2016
2. Mayo Foundation for Medical Education and Research
3. Tjahjodjati, Soebadi DM, Umbas R, Poernomo BB, Wijanarko S, Mochtar CA, et al.
Panduan Penatalaksanaan Klinis Pembesaran Prostat Jinak. Ikatan Ahli Urologi
Indonesia. 2017(3)
4. Ng M, Baradhi KM. Benign Prostatic Hyperplasia. Books StatPearls. 2020.
Diakses pada https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK558920/
5. Kiliç M, Özdemir A, Altinova S, Et Al. What is the best radiological method to predict
the actual weight of the prostate? Turk J Med Sci. (2014) 44: 31-5
6. Parsons KJ. 2010. Benign Prostatic Hyperplasia and Male Lower Urinary Tract
Symptoms: Epidemiology and Risk Factor. PMC;5:212-218.
7. Amalia, R. 2010. Faktor-faktor risiko terjadinya pembesaran prostat jinak (Studi Kasus
di RS Dr. Kariadi. RSI Sultan Agung, RS Roemani Semarang). http://jurnal.unimus.ac.id
- Diakses Mei 2020.
8. Skinder, D., Ilana, Z., Jillian, S., Jean, C. Benign Prostatic Hyperplasia: A Clinical
Review. Journal of the American of Physician Assistants. 2016 August; 29 (8): 19-23.
9. McAninch JW, Lue TF. Smith & Tanagho’s General Urology, 18th edn. California :
McGraw Hill. 2013.
10. Gerber GS, Brendler CB. Evaluation of the Urologic Patient:History, Physical
Examination, and Urinalysis. In: Campbell-••Walsh Urology. 10th Edition. Philadelphia:
Elsevier Saunders 2012; p. 71-80.
11. Gravas S, Bachmann A, Descazeaud A, et al. Guidelines on the Management of Non-
•Neurogenic Male Lower Urinary Tract Symptoms (LUTS), incl. Benign Prostatic
Obstruction (BPO). European Association of Urology; 2014
12. Lim CF, Buchan NC. Measurement of serum PSA as a predictor of symptoms scored on
the IPSS for patients with benign prostatic hyperplasia. N Z Med J. 2014 Feb
14;127(1389):17-24

41
13. D'Silva KA, Dahm P, Wong CL. Does this man with lower urinary tract symptoms have
bladder outlet obstruction?: The Rational Clinical Examination: a systematic review.
JAMA. 2014 Aug 6;312(5):535-42.
14. Roehrborn CG, McConnell J, Bonilla J, Rosenblatt S, Hudson PB, Malek GM, et al.
Serum prostate specific antigen is a strong predictor of future prostate growth in men with
benign prostatichyperplasia. J Urol. 2000.1320
15. Kiliç M, Özdemir A, Altinova S, Et Al. What is the best radiological method to predict
the actual weight of the prostate? Turk J Med Sci. (2014) 44: 31-5
16. Roehrborn CG. Benign Prostatic Hyperplasia: Etiology, pathophysiology,
epidemiology, and natural history. Dalam: Campbell's urology, edisi ke 10. Editor:
Walsh PC, Retik AB,Vaughan ED, dan Wein AJ. Philadelphia: WB SaundersCo.
2012.hal.2570-91.
17. Sjamsuhidajat, dkk. Buku Ajar Ilmu Bedah Sjamsuhudajat-De Jong. Edisi ke 3. Jakarta:
EGC. 2012.
18. Katzung BG, Trevor AJ, Masters SB. Benign prostatic hyperplasia. In:
Katzung and Trevor’s Pharmacology. Sixth edition. USA: McGraw-Hill. 2012. p.483-
86.
19. Skinder, D., Ilana, Z., Jillian, S., Jean, C. Benign Prostatic Hyperplasia: A Clinical
Review. Journal of the American of Physician Assistants. 2016 August; 29 (8): 19-23.

42

Anda mungkin juga menyukai