Anda di halaman 1dari 19

LAPORAN PENDAHULUAN

FRAKTUR

Disusun Oleh:
SYAHRUL PUTRA
NIM. I1031191045

STASE KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH


PROGRAM PROFESI NERS
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS TANJUNGPURA
PONTIANAK
2021
1. Definisi
Fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas tulang,
kebanyakan fraktur terjadi akibat trauma, beberapa fraktur terjadi secara
sekunder akibat proses penyakit seperti osteoporosis yang menyebabkan
fraktur-fraktur yang patologis (Sagaran, Manjas, & Rasyid, 2017).
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang baik total,
partial yang dapat mengenai tulang panjang dan sendi jaringan otot dan
pembuluh darah. Fraktur dapat disebabkan trauma yang disebabkan oleh
stress pada tulang, jatuh dari ketinggian, kecelakaan kerja, cedera saat
olah raga, fraktur degeneratif (Marlina, 2015).
2. Etiologi
Tekanan berlebihan atau trauma langsung pada tulang menyebabkan
suatu retakan sehingga mengakibatkan kerusakan pada otot dan jaringan.
Kerusakan otot dan jaringan akan menyebabkan perdarahan, edema, dan
hematoma. Lokasi retak mungkin hanya retakan pada tulang, tanpa
memindahkan tulang manapun. Fraktur yang tidak terjadi disepanjang
tulang dianggap sebagai fraktur yang tidak sempurna sedangkan fraktur
yang terjadi pada semua tulang yang patah dikenal sebagai fraktur lengkap
(Digiulio, Jackson & Keogh, 2014).
Penyebab fraktur menurut Jitowiyono dan Kristiyanasari (2010) dapat
dibedakan menjadi:
a. Cedera traumatik
Cedera traumatik pada tulang dapat disebabkan oleh :
 Cedera langsung adalah pukulan langsung terhadap tulang
sehingga tulang patah secara spontan
 Cedera tidak langsung adalah pukulan langsung berada jauh dari
lokasi benturan, misalnya jatuh dengan tangan berjulur sehingga
menyebabkan fraktur klavikula. Fraktur yang disebabkan kontraksi
keras yang mendadak.
b. Fraktur patologik
Kerusakan tulang akibat proses penyakit dengan trauma minor
mengakibatkan :
 Tumor tulang adalah pertumbuhan jaringan baru yang tidak
terkendali
 Infeksi seperti ostemielitis dapat terjadi sebagai akibat infeksi akut
atau dapat timbul salah satu proses yang progresif

3. Klasifikasi
Fraktur dapat diklasifikasikan menjadi fraktur tertutup dan fraktur
terbuka. Fraktur tertutup memiliki kulit yang masih utuh diatas lokasi
cedera, sedangkan fraktur terbuka dicirikan oleh robeknya kulit diatas
cedera tulang. Kerusakan jaringan dapat sangat luas pada fraktur terbuka,
yang dibagi berdasarkan keparahannya (Black & Hawks, 2014) :
a. Derajat 1 : Luka kurang dari 1 cm, kontaminasi minimal
b. Derajat 2 : Luka lebih dari 1 cm, kontaminasi sedang
c. Derajat 3 : Luka melebihi 6 hingga 8 cm, ada kerusakan luas pada
jaringan lunak, saraf, tendon, kontaminasi banyak. Fraktur terbuka
dengan derajat 3 harus sedera ditangani karena resiko infeksi.

Menurut Wiarto (2017) fraktur dapat dibagi kedalam tiga jenis antara lain:

a. Fraktur tertutup
Fraktur terutup adalah jenis fraktur yang tidak disertai dengan luka
pada bagian luar permukaan kulit sehingga bagian tulang yang patah
tidak berhubungan dengan bagian luar.
b. Fraktur terbuka
Fraktur terbuka adalah suatu jenis kondisi patah tulang dengan
adanya luka pada daerah yang patah sehingga bagian tulang
berhubungan dengan udara luar, biasanya juga disertai adanya
pendarahan yang banyak. Tulang yang patah juga ikut menonjol keluar
dari permukaan kulit, namun tidak semua fraktur terbuka membuat
tulang menonjol keluar. Fraktur terbuka memerlukan pertolongan lebih
cepat karena terjadinya infeksi dan faktor penyulit lainnya.
c. Fraktur kompleksitas
Fraktur jenis ini terjadi pada dua keadaan yaitu pada bagian
ekstermitas terjadi patah tulang sedangkan pada sendinya terjadi
dislokasi.

Menurut Wiarto (2017) jenis fraktur berdasarkan radiologisnya antara lain:

a. Fraktur transversal
Fraktur transversal adalah frktur yang garis patahnya tegak lurus
terhadap sumbu panjang tulang. Fraktur ini , segmen-segmen tulang
yang patah direposisi atau direkduksi kembali ke tempat semula, maka
segmen-segmen ini akan stabil dan biasanya dikontrol dengan bidai
gips.
b. Fraktur kuminutif
Fraktur kuminutif adalah terputusnya keutuhan jaringan yang terdiri
dari dua fragmen tulang.
c. Fraktur oblik
Fraktur oblik adalah fraktur yang garis patahnya membuat sudut
terhadap tulang.
d. Fraktur segmental
Fraktur segmental adalah dua fraktur berdekatan pada satu tulang yang
menyebabkan terpisahnya segmen sentral dari suplai darahnya, fraktur
jenis ini biasanya sulit ditangani.
e. Fraktur impaksi
Fraktur impaksi atau fraktur kompresi terjadi ketika dua tulang
menumbuk tulang yang berada diantara vertebra.
f. Fraktur spiral
Fraktur spiral timbul akibat torsi ekstermitas. Fraktur ini menimbulkan
sedikit kerusakan jaringan lunak dan cenderung cepat sembuh dengan
imobilisasi.
g. Fraktur greenstick
Fraktur sebagian yang terdapat di satu sisi tulang, sedangkan tulang
yang lain membengkok akibat tekanan berlebih.
4. Patofisiologi
Keparahan dari fraktur bergantung pada gaya yang menyebabkan
fraktur. Jika ambang fraktur suatu tulang hanya sedikit terlewati, maka
tulang mungkin hanya retak saja bukan patah. Jika gayanya sangat
ekstrem, seperti tabrakan mobil, maka tulang dapat pecah berkeping-
keping. Saat terjadi fraktur, otot yang melekat pada ujung tulang dapat
terganggu. Otot dapat mengalami spasme dan menarik fragmen fraktur
keluar posisi. Kelompok otot yang besar dapat menciptakan spasme yang
kuat bahkan mampu menggeser tulang besar, seperti femur. Walaupun
bagian proksimal dari tulang patah tetap pada tempatnya, namun bagian
distal dapat bergeser karena faktor penyebab patah maupun spasme pada
otot-otot sekitar. Fragmen fraktur dapat bergeser ke samping, pada suatu
sudut (membentuk sudut), atau menimpa segmen tulang lain. Fragmen
juga dapat berotasi atau berpindah.
Selain itu, periosteum dan pembuluh darah di korteks serta
sumsum dari tulang yang patah juga terganggu sehingga dapat
menyebabkan sering terjadi cedera jaringan lunak. Perdarahan terjadi
karena cedera jaringan lunak atau cedera pada tulang itu sendiri. Pada
saluran sumsum (medula), hematoma terjadi diantara fragmen-fragmen
tulang dan dibawah periosteum. Jaringan tulang disekitar lokasi fraktur
akan mati dan menciptakan respon peradangan yang hebat sehingga akan
terjadi vasodilatasi, edema, nyeri, kehilangan fungsi, eksudasi plasma dan
leukosit. Respon patofisiologis juga merupakan tahap penyembuhan tulang
(Black & Hawks, 2014).
Cidera

Kecelakaan, Trauma, Terjatuh, Osteoporosis

Fraktur

Merusak Jaringan Lunak

Pre Operasi

Fraktur Terbuka Fraktur Tertutup

Operasi

Nyeri Post Operasi Adanya Luka

Ganguan Rasa Nyaman


Resiko
Pendarahan
Ganguan
Aktivitas
Terapi Non
FarmakologiResiko Infeksi
Mobilisasi

5. Tanda dan gejala


Menurut Black dan Hawks (2014) Mendiagnosis fraktur harus
berdasarkan manifestasi klinis klien, riwayat, pemeriksaan fisik, dan
temuan radiologis. Tanda dan gejala terjadinya fraktur antara lain:
a. Deformitas
Pembengkaan dari perdarahan lokal dapat menyebabkan deformitas
pada lokasi fraktur. Spasme otot dapat menyebabkan pemendekan
tungkai, deformitas rotasional, atau angulasi. Dibandingkan sisi yang
sehat, lokasi fraktur dapat memiliki deformitas yang nyata.
b. Pembengkakan
Edema dapat muncul segera, sebagai akibat dari akumulasi cairan
serosa pada lokasi fraktur serta ekstravasasi darah ke jaringan sekitar.
c. Memar
Memar terjadi karena perdarahan subkutan pada lokasi fraktur.
d. Spasme otot
Spasme otot involuntar berfungsi sebagai bidai alami untuk
mengurangi gerakan lebih lanjut dari fragmen fraktur.
e. Nyeri
Jika klien secara neurologis masih baik, nyeri akan selalu
mengiringi fraktur, intensitas dan keparahan dari nyeri akan berbeda
pada masingmasing klien. Nyeri biasanya terus-menerus , meningkat
jika. fraktur dimobilisasi. Hal ini terjadi karena spasme otot, fragmen
fraktur yang bertindihan atau cedera pada struktur sekitarnya.
f. Ketegangan
Ketegangan diatas lokasi fraktur disebabkan oleh cedera yang
terjadi. Kehilangan fungsi Hilangnya fungsi terjadi karena nyeri yang
disebabkan fraktur atau karena hilangnya fungsi pengungkit lengan
pada tungkai yang terkena. Kelumpuhan juga dapat terjadi dari cedera
saraf.
g. Gerakan abnormal dan krepitasi
Manifestasi ini terjadi karena gerakan dari bagian tengah tulang
atau gesekan antar fragmen fraktur.
h. Perubahan neurovaskular
Cedera neurovaskuler terjadi akibat kerusakan saraf perifer atau
struktur vaskular yang terkait. Klien dapat mengeluhkan rasa kebas
atau kesemutan atau tidak teraba nadi pada daerah distal dari fraktur.
i. Syok
Fragmen tulang dapat merobek pembuluh darah. Perdarahan besar
atau tersembunyi dapat menyebabkan syok.

6. Pemeriksaan penunjang
a. Diagnostik
 CT Scan
CT Scan adalah investigasi diagnostik utama dengan multiplanar
dan rekonstruksi 3D. CT scan memberikan manfaat untuk evaluasi
tulang dan memberikan informasi detail tentang alur fraktur. CT
scan juga memberikan informasi tentang jaringan lunak termasuk
perluasan edema, adanya benda asing, hematom retrobulbar dan
terjepitnya otot ekstraokular (Huriyati, Lestari, & Hafiz, 2018).
 Rontgen
Untuk menentukan lokasi, luasnya fraktur atau trauma.
b. Laboratorium
Hitung darah lengkap, hemokonsentrasi mungkin meningkat atau
menurun pada perdarahan selain itu peningkatan leukosit mungkin
terjadi sebagai respon terhadap peradangan.

7. Penatalaksanaan
Menurut(Rasjad, Chairuddin. 2012), Prinsip terapi fraktur yaitu :
a. Reduksi
Pemulihan keselarasan anatomi bagi tulang fraktur. Reposisi
memerlukan pemulihan panjang serta koreksi deformitas angular dan
rotasional. Reposisi mannipulatif biasanya dapat dilakukan pada
fraktura ekstremitas distal (tangan, pergelangan tangan. kaki, tungkai),
dimana spasme otot tidak berlebihan. Traksi bisa diberikan dengan
plester felt melekat diatas kulit atau dengan memasang pin tranversa
melalui tulang, distal terhadap ftaktur. Reduksi terbuka biasanya
disertai oleh sejumlah bentuk fiksasi interna dengan plat & pin, batang
atau sekrup.
Ada dua jenis reposisi, yaitu reposisi tertutup dan reposisi terbuka.
Reposisi tertutup dilakukan pada fraktur dengan pemendekan, angulasi
atau displaced. Biasanya dilakukan dengan anestesi lokal dan
pemberian analgesik. Selanjutnya diimobilisasi dengan gips. Bila gagal
maka lakukan reposisi terbuka dikamar operasi dengan anestesi
umum.Kontra indikasi reposisi tertutup:
 Jika dilakukan reposisi namun tidak dapat dievaluasi
 Jika reposisi sangat tidak mungkin dilakukan
 Jika fraktur terjadi karena kekuatan traksi, misalnya displaced
patellar fracture.
b. Imobilisasi.
Bila reposisi telah dicapai, maka diperlukan imobilisasi tempat
fraktur sampai timbul penyembuhan yang mencukupi. Kebanyakan
fraktur ekstremitas dapat diimobilisasi dengan dengan gips fiberglas
atau dengan brace yang tersedia secara komersial. Pemasangan gips
yang tidak tepat bisa menimbulkan tekanan kuIit, vascular, atau saraf.
Semua pasien fraktur diperiksa hari berikutnya untuk menilai
neurology dan vascular. Bila traksi digunakan untuk reduksi, maka
traksi juga bertindak sebagai imobilisasi dengan ektremitas disokong
di atas ranjang atau di atas bidai sampai reduksi tercapai. Kemudian
traksi diteruskan sampai ada penyembuhan yang mencukupi, sehingga
pasien dapat dipindahkan memakai gips/brace.
c. Rehabilitasi
Bila penyatuan tulang padat terjadi, maka rehabilitasi terutama
merupakanmasalah pemulihan jaringan lunak. Kapsula sendi, otot dan
ligamentum berkontraksi membatasi gerakan sendi sewaktu gips/bidai
dilepaskan. Dianjurkan terapi fisik untuk mgerakan aktif dan pasif
serta penguatan otot

8. Komplikasi (Elizabeth & Corwin, 2009)


a. Komplikasi awal
 Kerusakan arteri
Pecahnya arteri karena trauma bisa ditandai dengan tidak adanya
nadi, CRT menurun, cyanosis bagian distal, hematoma yang lebar,
dan dingin pada ekstrimitas yang disebabkan oleh tindakan
emergensi splinting, perubahan posisi pada yang sakit, tindakan
reduksi, dan pembedahan.
 Kompartement Syndrom
Komplikasi ini terjadi saat peningkatan tekanan jaringan dalam
ruang tertutup di otot, yang sering berhubungan dengan akumulasi
cairan sehingga menyebabkan hambatan aliran darah yang berat
dan berikutnya menyebabkan kerusakan pada otot. Gejala –
gejalanya mencakup rasa sakit karena ketidakseimbangan pada
luka, rasa sakit yang berhubungan dengan tekanan yang berlebihan
pada kompartemen, rasa sakit dengan perenggangan pasif pada otot
yang terlibat, dan paresthesia. Komplikasi ini terjadi lebih sering
pada fraktur tulang kering (tibia) dan tulang hasta (radius atau
ulna).
 Fat Embolism Syndrom
Keadaan pulmonari akut dan dapat menyebabkan kondisi fatal.
Hal ini terjadi ketika gelembung – gelembung lemak terlepas dari
sumsum tulang dan mengelilingi jaringan yang rusak. Gelombang
lemak ini akan melewati sirkulasi dan dapat menyebabkan oklusi
pada pembuluh – pembuluh darah pulmonary yang menyebabkan
sukar bernafas. Gejala dari sindrom emboli lemak mencakup
dyspnea, perubahan dalam status mental (gaduh, gelisah, marah,
bingung, stupor), tachycardia, demam, ruam kulit ptechie.
 Infeksi
System pertahanan tubuh rusak bila ada trauma pada jaringan.
Pada trauma orthopedic infeksi dimulai pada kulit (superficial) dan
masuk ke dalam. Ini biasanya terjadi pada kasus fraktur terbuka,
tapi bisa juga karena penggunaan bahan lain dalam pembedahan
seperti pin dan plat.
 Avaskuler Nekrosis
Avaskuler Nekrosis (AVN) terjadi karena aliran darah ke tulang
rusak atau terganggu yang bisa menyebabkan nekrosis tulang dan
diawali dengan adanya Volkman’s Ischemia. Nekrosis avaskular
dapat terjadi saat suplai darah ke tulang kurang baik. Hal ini paling
sering mengenai fraktur intrascapular femur (yaitu kepala dan
leher), saat kepala femur berputar atau keluar dari sendi dan
menghalangi suplai darah. Karena nekrosis avaskular mencakup
proses yang terjadi dalam periode waktu yang lama, pasien
mungkin tidak akan merasakan gejalanya sampai dia keluar dari
rumah sakit. Oleh karena itu, edukasi pada pasien merupakan hal
yang penting. Perawat harus menyuruh pasien supaya melaporkan
nyeri yang bersifat intermiten atau nyeri yang menetap pada saat
menahan beban.
 Shock
Shock terjadi karena kehilangan banyak darah dan meningkatnya
permeabilitas kapiler yang bisa menyebabkan menurunnya
oksigenasi. Ini biasanya terjadi pada fraktur.
 Osteomyelitis
Infeksi dari jaringan tulang yang mencakup sumsum dan korteks
tulang dapat berupa exogenous (infeksi masuk dari luar tubuh) atau
hematogenous (infeksi yang berasal dari dalam tubuh). Patogen
dapat masuk melalui luka fraktur terbuka, luka tembus, atau selama
operasi. Luka tembak, fraktur tulang panjang, fraktur terbuka yang
terlihat tulangnya, luka amputasi karena trauma dan fraktur –
fraktur dengan sindrom kompartemen atau luka vaskular memiliki
risiko osteomyelitis yang lebih besar.
b. Komplikasi dalam waktu lama
 Delayed Union (Penyatuan tertunda)
Delayed Union merupakan kegagalan fraktur berkonsolidasi
sesuai dengan waktu yang dibutuhkan tulang untuk menyambung.
Ini disebabkan karena penurunan supai darah ke tulang.
 Non union (tak menyatu)
Penyatuan tulang tidak terjadi, cacat diisi oleh jaringan fibrosa.
Kadangkadang dapat terbentuk sendi palsu pada tempat ini. Faktor-
faktor yang dapat menyebabkan non union adalah tidak adanya
imobilisasi, interposisi jaringan lunak, pemisahan lebar dari
fragmen contohnya patella dan fraktur yang bersifat patologis.
 Malunion
Kelainan penyatuan tulang karena penyerasian yang buruk
menimbulkan deformitas, angulasi atau pergeseran.

9. Asuhan Keperawatan ( Menurut (Nurarif & Hardhi, 2015)


a. Pengkajian
 Identitas klien
 Keluhan utama
 Riwayat kesehatan klien
 Riwayat penyakit terdahulu
 Pemeriksaan fisik
 Pemeriksaan penunjang
 CT Scan
CT Scan adalah investigasi diagnostik utama
dengan multiplanar dan rekonstruksi 3D. CT scan
memberikan manfaat untuk evaluasi tulang dan
memberikan informasi detail tentang alur fraktur. CT scan
juga memberikan informasi tentang jaringan lunak
termasuk perluasan edema, adanya benda asing, hematom
retrobulbar dan terjepitnya otot ekstraokular (Huriyati,
Lestari, & Hafiz, 2018).
 Rontgen
Untuk menentukan lokasi, luasnya fraktur atau trauma
b. Diagnosa keperawatan
 Nyeri akut b.d agen pencedera fisik (mis. abses, amputasi, terbakar,
terpotong, mengangkat berat, prosedur operasi, trauma, latihan
fisik berlebihan)
 Gangguan mobilitas fisik b.d kerusakan integritas struktur tulang.
 Gangguan integritas kulit/jaringan b.d faktor mekanis (mis.
penekanan, gesekan)
 Risiko infeksi d.d ketidakadekuatan pertahanan tubuh primer
(kerusakan integritas kulit
c. Rencana Intervensi
 Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisik (mis. abses,
amputasi, terbakar, terpotong, mengangkat berat, prosedur operasi,
trauma, latihan fisik berlebihan)
 Identifikasi lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas
nyeri dan intensitas nyeri
 Identifikasi skala nyeri
 Identifikasi respon nyeri non verbal
 Identifikasi faktor yang memperberat dan memperingan
nyeri
 Memonitor keberhasilan terapi komplomenter yang sudah
diberikan
 Berikan terapi non farmakologis untuk mengurangi rasa
nyeri (teknik nafas dalam)
 Fasilitasi istirahat tidur
 Jelaskan strategi meredakan nyeri
 Anjurkan memonitor nyeri secara mandiri
 Ajarkan teknik non farmakologis untuk mengurangi rasa
nyeri
 Kolaborasikan pemberikan analgesik, jika perlu
 Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan integritas
struktur tulang.
 Identifikasi adanya nyeri atau keluhan fisik lainnya
 Monitor kondisi umum selama melakukan mobilisasi
 Fasilitasi aktivitas mobilisasi dengan alat bantu (mis pagar
tempat tidur)
 Fasilitasi melakukan pergerakan, jika perlu
 Jelaskan tujuan dan prosedur mobilisasi
 Gangguan integritas kulit/jaringan berhubungan dengan faktor
mekanis (mis. penekanan, gesekan)
 Monitor karakteristik luka (mis: drainase,warna,ukuran,bau
 Monitor tanda –tanda infeksi
 Lepaskan balutan dan plester secara perlahan
Cukur rambut di sekitar daerah luka, jika perlu
 Bersihkan dengan cairan NaCl atau pembersih non
toksik,sesuai kebutuhan
 Bersihkan jaringan nekrotik
 Berikan salep yang sesuai di kulit /lesi, jika perlu
 Pasang balutan sesuai jenis luka
 Pertahan kan teknik steril saaat perawatan luka
 Ganti balutan sesuai jumlah eksudat dan drainase
 Jadwalkan perubahan posisi setiap dua jam atau sesuai
kondisi pasien
 Berikan diet dengan kalori 30-35 kkal/kgBB/hari dan
protein1,25-1,5 g/kgBB/hari
 Berikan suplemen vitamin dan mineral (mis vitamin
A,vitamin C,Zinc,Asam amino),sesuai indikasi
 Berikan terapi TENS (Stimulasi syaraf transkutaneous),
jika perlu
 Jelaskan tandan dan gejala infeksi
 Anjurkan mengonsumsi makan tinggi kalium dan protein
 Ajarkan prosedur perawatan luka secara mandiri
 Kolaborasi prosedur debridement(mis: enzimatik biologis
mekanis,autolotik), jika perlu
 Kolaborasi pemberian antibiotik, jika perlu
 Risiko infeksi dibuktikan dengan ketidakadekuatan pertahanan
tubuh primer (kerusakan integritas kulit
 Monitor tanda dan gejala infeksi lokal dan sistemik
 Berikan perawatan kulit pada edema
 Cuci tangan sebelum dan sesudah kontak dengan pasien
dan lingkungan pasien
 Pertahankan aseptik pada pasien beresiko
 Ajarkan cuci tangan dengan benar
 Anjurkan meningkatkan asupan nutrisi dan cairan
d. Evaluasi secara teoritis
Penilaian hasil ditentukan seberapa jauh keberhasilan yang dicapai
sebagai keluaran tindakan, evlauasi disusun menggunakan SOAP.
Daftar Pustaka

Andri, J., Febriawati, H., Padila, J, H., & Susmita, R. (2020). Nyeri Pada Pasien
Post Op Fraktur Ekstremitas Bawah Dengan Pelaksanaan Mobilisasi Dan
Ambulasi Dini. Journal of Telenursing (JOTING)
Asrizal, R. A. (2014). Closed Fracture 1/3 Middle Femur Dextra. Medula, 2(3),
94-101.
Brunner dan Suddarth. 2008.Keperawatan Medikal Bedah Edisi 3.Jakarta: EGC
Black, J., & Hawks, J. (2014). Keperawatan Medikal Bedah: Manajemen Klinis
untuk Hasil yang Diharapkan. Jakarta: Salemba Medika.
Elizabeth, J., & Corwin. (2009). Buku Saku Patofisiologi Corwin. Jakarta: Aditya
Media.
Huriyati, E., Lestari, D. Y., & Hafiz, A. (2018). Diagnosis dan Penatalaksanaan
Fraktur Le Fort I-II disertai Fraktur Palatoalveolar Sederhana. Jurnal
Kesehatan Andalas, 7(3), 78-85.
Melti, S., & Zuriati. (2019). Buku Ajar Asuhan Keperawatan Medikal Bedah
Gangguan Pada Sistem Muskuloskeletal Aplikasi Nanda NIC & NOC.
Padang: Pustaka Galeri Mandiri.
PPNI, T. P. (2017). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia (SDKI): Definisi
dan Indikator Diagnostik ((cetakan III) 1 ed.). Jakarta: DPP PPNI.
PPNI, T. P. (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia (SIKI): Definisi
dan Tindakan Keperawatan ((cetakan II) 1 ed.). Jakarta: DPP PPNI.
PPNI, T. P. (2019). Standar Luaran Keperawatan Indonesia (SLKI): Definisi dan
Kreteria Hasil Keperawatan ((cetakan II) 1 ed.). Jakarta: DPP PPNI.
Sagaran, V. C., Manjas, M., & Rasyid, R. (2017). Distribusi Fraktur Femur Yang
Dirawat Di Rumah Sakit Dr.M.Djamil, Padang (2010-2012). Jurnal
Kesehatan Andalas, 6(3), 1-4.
Smeltzer, S. C., & Bare B. G. 2009. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah
Brunner &Suddarth( Edisi 8 Nurarif & Hardhi. 2015. Aplikasi Asuhan
Keperawatan Berdasarkan Diagnosa Medis & Nanda Nic-Noc Panduan
penyusunan Asuhan Keperawatan Profesional. Yogyakarta : Mediaction
Jogja. Volume 1). Jakarta: EGC
Sutikno. (2014). Basic Trauma Cardiac Life Support (Btcls) In disaster. Jakarta:
CV. Sagung Seto.

Anda mungkin juga menyukai