FRAKTUR
Disusun Oleh:
SYAHRUL PUTRA
NIM. I1031191045
3. Klasifikasi
Fraktur dapat diklasifikasikan menjadi fraktur tertutup dan fraktur
terbuka. Fraktur tertutup memiliki kulit yang masih utuh diatas lokasi
cedera, sedangkan fraktur terbuka dicirikan oleh robeknya kulit diatas
cedera tulang. Kerusakan jaringan dapat sangat luas pada fraktur terbuka,
yang dibagi berdasarkan keparahannya (Black & Hawks, 2014) :
a. Derajat 1 : Luka kurang dari 1 cm, kontaminasi minimal
b. Derajat 2 : Luka lebih dari 1 cm, kontaminasi sedang
c. Derajat 3 : Luka melebihi 6 hingga 8 cm, ada kerusakan luas pada
jaringan lunak, saraf, tendon, kontaminasi banyak. Fraktur terbuka
dengan derajat 3 harus sedera ditangani karena resiko infeksi.
Menurut Wiarto (2017) fraktur dapat dibagi kedalam tiga jenis antara lain:
a. Fraktur tertutup
Fraktur terutup adalah jenis fraktur yang tidak disertai dengan luka
pada bagian luar permukaan kulit sehingga bagian tulang yang patah
tidak berhubungan dengan bagian luar.
b. Fraktur terbuka
Fraktur terbuka adalah suatu jenis kondisi patah tulang dengan
adanya luka pada daerah yang patah sehingga bagian tulang
berhubungan dengan udara luar, biasanya juga disertai adanya
pendarahan yang banyak. Tulang yang patah juga ikut menonjol keluar
dari permukaan kulit, namun tidak semua fraktur terbuka membuat
tulang menonjol keluar. Fraktur terbuka memerlukan pertolongan lebih
cepat karena terjadinya infeksi dan faktor penyulit lainnya.
c. Fraktur kompleksitas
Fraktur jenis ini terjadi pada dua keadaan yaitu pada bagian
ekstermitas terjadi patah tulang sedangkan pada sendinya terjadi
dislokasi.
a. Fraktur transversal
Fraktur transversal adalah frktur yang garis patahnya tegak lurus
terhadap sumbu panjang tulang. Fraktur ini , segmen-segmen tulang
yang patah direposisi atau direkduksi kembali ke tempat semula, maka
segmen-segmen ini akan stabil dan biasanya dikontrol dengan bidai
gips.
b. Fraktur kuminutif
Fraktur kuminutif adalah terputusnya keutuhan jaringan yang terdiri
dari dua fragmen tulang.
c. Fraktur oblik
Fraktur oblik adalah fraktur yang garis patahnya membuat sudut
terhadap tulang.
d. Fraktur segmental
Fraktur segmental adalah dua fraktur berdekatan pada satu tulang yang
menyebabkan terpisahnya segmen sentral dari suplai darahnya, fraktur
jenis ini biasanya sulit ditangani.
e. Fraktur impaksi
Fraktur impaksi atau fraktur kompresi terjadi ketika dua tulang
menumbuk tulang yang berada diantara vertebra.
f. Fraktur spiral
Fraktur spiral timbul akibat torsi ekstermitas. Fraktur ini menimbulkan
sedikit kerusakan jaringan lunak dan cenderung cepat sembuh dengan
imobilisasi.
g. Fraktur greenstick
Fraktur sebagian yang terdapat di satu sisi tulang, sedangkan tulang
yang lain membengkok akibat tekanan berlebih.
4. Patofisiologi
Keparahan dari fraktur bergantung pada gaya yang menyebabkan
fraktur. Jika ambang fraktur suatu tulang hanya sedikit terlewati, maka
tulang mungkin hanya retak saja bukan patah. Jika gayanya sangat
ekstrem, seperti tabrakan mobil, maka tulang dapat pecah berkeping-
keping. Saat terjadi fraktur, otot yang melekat pada ujung tulang dapat
terganggu. Otot dapat mengalami spasme dan menarik fragmen fraktur
keluar posisi. Kelompok otot yang besar dapat menciptakan spasme yang
kuat bahkan mampu menggeser tulang besar, seperti femur. Walaupun
bagian proksimal dari tulang patah tetap pada tempatnya, namun bagian
distal dapat bergeser karena faktor penyebab patah maupun spasme pada
otot-otot sekitar. Fragmen fraktur dapat bergeser ke samping, pada suatu
sudut (membentuk sudut), atau menimpa segmen tulang lain. Fragmen
juga dapat berotasi atau berpindah.
Selain itu, periosteum dan pembuluh darah di korteks serta
sumsum dari tulang yang patah juga terganggu sehingga dapat
menyebabkan sering terjadi cedera jaringan lunak. Perdarahan terjadi
karena cedera jaringan lunak atau cedera pada tulang itu sendiri. Pada
saluran sumsum (medula), hematoma terjadi diantara fragmen-fragmen
tulang dan dibawah periosteum. Jaringan tulang disekitar lokasi fraktur
akan mati dan menciptakan respon peradangan yang hebat sehingga akan
terjadi vasodilatasi, edema, nyeri, kehilangan fungsi, eksudasi plasma dan
leukosit. Respon patofisiologis juga merupakan tahap penyembuhan tulang
(Black & Hawks, 2014).
Cidera
Fraktur
Pre Operasi
Operasi
6. Pemeriksaan penunjang
a. Diagnostik
CT Scan
CT Scan adalah investigasi diagnostik utama dengan multiplanar
dan rekonstruksi 3D. CT scan memberikan manfaat untuk evaluasi
tulang dan memberikan informasi detail tentang alur fraktur. CT
scan juga memberikan informasi tentang jaringan lunak termasuk
perluasan edema, adanya benda asing, hematom retrobulbar dan
terjepitnya otot ekstraokular (Huriyati, Lestari, & Hafiz, 2018).
Rontgen
Untuk menentukan lokasi, luasnya fraktur atau trauma.
b. Laboratorium
Hitung darah lengkap, hemokonsentrasi mungkin meningkat atau
menurun pada perdarahan selain itu peningkatan leukosit mungkin
terjadi sebagai respon terhadap peradangan.
7. Penatalaksanaan
Menurut(Rasjad, Chairuddin. 2012), Prinsip terapi fraktur yaitu :
a. Reduksi
Pemulihan keselarasan anatomi bagi tulang fraktur. Reposisi
memerlukan pemulihan panjang serta koreksi deformitas angular dan
rotasional. Reposisi mannipulatif biasanya dapat dilakukan pada
fraktura ekstremitas distal (tangan, pergelangan tangan. kaki, tungkai),
dimana spasme otot tidak berlebihan. Traksi bisa diberikan dengan
plester felt melekat diatas kulit atau dengan memasang pin tranversa
melalui tulang, distal terhadap ftaktur. Reduksi terbuka biasanya
disertai oleh sejumlah bentuk fiksasi interna dengan plat & pin, batang
atau sekrup.
Ada dua jenis reposisi, yaitu reposisi tertutup dan reposisi terbuka.
Reposisi tertutup dilakukan pada fraktur dengan pemendekan, angulasi
atau displaced. Biasanya dilakukan dengan anestesi lokal dan
pemberian analgesik. Selanjutnya diimobilisasi dengan gips. Bila gagal
maka lakukan reposisi terbuka dikamar operasi dengan anestesi
umum.Kontra indikasi reposisi tertutup:
Jika dilakukan reposisi namun tidak dapat dievaluasi
Jika reposisi sangat tidak mungkin dilakukan
Jika fraktur terjadi karena kekuatan traksi, misalnya displaced
patellar fracture.
b. Imobilisasi.
Bila reposisi telah dicapai, maka diperlukan imobilisasi tempat
fraktur sampai timbul penyembuhan yang mencukupi. Kebanyakan
fraktur ekstremitas dapat diimobilisasi dengan dengan gips fiberglas
atau dengan brace yang tersedia secara komersial. Pemasangan gips
yang tidak tepat bisa menimbulkan tekanan kuIit, vascular, atau saraf.
Semua pasien fraktur diperiksa hari berikutnya untuk menilai
neurology dan vascular. Bila traksi digunakan untuk reduksi, maka
traksi juga bertindak sebagai imobilisasi dengan ektremitas disokong
di atas ranjang atau di atas bidai sampai reduksi tercapai. Kemudian
traksi diteruskan sampai ada penyembuhan yang mencukupi, sehingga
pasien dapat dipindahkan memakai gips/brace.
c. Rehabilitasi
Bila penyatuan tulang padat terjadi, maka rehabilitasi terutama
merupakanmasalah pemulihan jaringan lunak. Kapsula sendi, otot dan
ligamentum berkontraksi membatasi gerakan sendi sewaktu gips/bidai
dilepaskan. Dianjurkan terapi fisik untuk mgerakan aktif dan pasif
serta penguatan otot
Andri, J., Febriawati, H., Padila, J, H., & Susmita, R. (2020). Nyeri Pada Pasien
Post Op Fraktur Ekstremitas Bawah Dengan Pelaksanaan Mobilisasi Dan
Ambulasi Dini. Journal of Telenursing (JOTING)
Asrizal, R. A. (2014). Closed Fracture 1/3 Middle Femur Dextra. Medula, 2(3),
94-101.
Brunner dan Suddarth. 2008.Keperawatan Medikal Bedah Edisi 3.Jakarta: EGC
Black, J., & Hawks, J. (2014). Keperawatan Medikal Bedah: Manajemen Klinis
untuk Hasil yang Diharapkan. Jakarta: Salemba Medika.
Elizabeth, J., & Corwin. (2009). Buku Saku Patofisiologi Corwin. Jakarta: Aditya
Media.
Huriyati, E., Lestari, D. Y., & Hafiz, A. (2018). Diagnosis dan Penatalaksanaan
Fraktur Le Fort I-II disertai Fraktur Palatoalveolar Sederhana. Jurnal
Kesehatan Andalas, 7(3), 78-85.
Melti, S., & Zuriati. (2019). Buku Ajar Asuhan Keperawatan Medikal Bedah
Gangguan Pada Sistem Muskuloskeletal Aplikasi Nanda NIC & NOC.
Padang: Pustaka Galeri Mandiri.
PPNI, T. P. (2017). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia (SDKI): Definisi
dan Indikator Diagnostik ((cetakan III) 1 ed.). Jakarta: DPP PPNI.
PPNI, T. P. (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia (SIKI): Definisi
dan Tindakan Keperawatan ((cetakan II) 1 ed.). Jakarta: DPP PPNI.
PPNI, T. P. (2019). Standar Luaran Keperawatan Indonesia (SLKI): Definisi dan
Kreteria Hasil Keperawatan ((cetakan II) 1 ed.). Jakarta: DPP PPNI.
Sagaran, V. C., Manjas, M., & Rasyid, R. (2017). Distribusi Fraktur Femur Yang
Dirawat Di Rumah Sakit Dr.M.Djamil, Padang (2010-2012). Jurnal
Kesehatan Andalas, 6(3), 1-4.
Smeltzer, S. C., & Bare B. G. 2009. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah
Brunner &Suddarth( Edisi 8 Nurarif & Hardhi. 2015. Aplikasi Asuhan
Keperawatan Berdasarkan Diagnosa Medis & Nanda Nic-Noc Panduan
penyusunan Asuhan Keperawatan Profesional. Yogyakarta : Mediaction
Jogja. Volume 1). Jakarta: EGC
Sutikno. (2014). Basic Trauma Cardiac Life Support (Btcls) In disaster. Jakarta:
CV. Sagung Seto.