Anda di halaman 1dari 13

ASUHAN KEPERAWATAN PASIEN DENGAN GANGGUAN SISTEM

MUSKULOSKLETAL FRAKTUR FEMUR

A. KONSEP DASAR PENYAKIT


1. Pengertian
Fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontuinitas jaringan tulang atau
tulang rawan yang umumnya disebabkan oleh rudapaksa (Mansjoer Arif dkk,
2009).
Fraktur merupakan rusaknya komtiunitas tulang yang disebakan tekanan
eksternal yang datang lebih besar dari yang diserap oleh tulang (Wahid,
2013).
Menurut Lukman dan Ningsih (2009) fraktur radius ulna biasanya terjadi
karena trauma langsung sewaktu jatuh dengan posisi tangan hiperekstensi, hal
ini dikarenakan adanya mekanisme refleks jatuh di mana lengan akan
menahan badan dengan posisi siku agak menekuk.

2. Etiologi
Menurut Wahid (2013), etiologidari fraktur meliputi:
a. Kekerasan langsung
Kekerasan langsung menyebabkan patah tulang pada titik terjadinya
kekerasan. Fraktur demikian sering besifat fraktur terbuka dengan garis
patah melintang atau miring.
b. Kekerasan tidak langsung
Kekerasan tidak langsung menyebabkan patah tulang di tempat yang jauh
dari tempat terjadinya kekerasan. Yang patah tulang adalah bagian yang
paling lemah dalam jalur hantaran vektor kekerasan.
c. Kekerasan akibat trauma
Patah tulang tarikan otot sangat jarang terjadi. Kekuatan dapat berupa
pemutiran, penekukan, penekanan, dan kombinasi dari ketiganya.

3. Manifistasi Klinis
Menurut Mutaqin (2012), manifestasi klinis fraktur meliputi: nyeri, hilangnya
fungsi, deformitas, pemendekan ekstremitas atas karena kontraksi otot,
krepitasi, pembengkakan dan perubahan warna lokal pada kulit yang terjadi
akibat trauma dan perdarahan yang mengikuti fraktur, spasme otot,
pergerakan abnormal, rontgen abnormal. Tanda ini terjadi beberapa jam atau
hari setelah cidera.

Pada kondisi klinis, perawat sering dihadapkan dengan kondisi klien yang
mengalami komplikasi lanjut fraktur yaitu malunion dengan deformitas yang
jelas. Secara anatomis, kondisi klinis ini tejadi akibat penarikan dari kontraksi
otot-otot paha yang kuat sehingga posisi fragmen tulang menjadi tidak tepat
dengan deformitas yang khas (pemendekan tungkai bawah). Kondisi ini sering
terjadi apabila klien tidak optimal melakukan terapi kondisi frakturnya, seperti
berobat ke dukun patah atau tidak dilakukan intervensi.
Klasifikasi
Menurut Mansjoer Arif (2009), fraktur dibagi menjadi 2 yaitu:
a. Fraktur tertutup (closed), bila tidak terdapat hubungan antara fragmen
tulang dengan dunia luar.
b. Fraktur terbuka (open/compound), bila terdapat hubungan antara fragmen
dengan dunia luar karena adanya perlukaan di kulit.

Menurut Mansjoer Arif (2009), derajat kerusakan tulang dapat dibagi menjadi
2 meliputi:
a. Patah tulang lengkap (Complete fraktur)
Dikatakan lengkap bila patahan tulang terpisah satu dengan yang lainya,
atau garis fraktur melibatkan seluruh potongan menyilang dari tulang dan
fragmen tulang biasanya berubak tempat.
b. Patah tulang tidak lengkap (Incomplete fraktur)
Bila antara oatahan tulang masih ada hubungan sebagian. Salah satu sisi
patah yang lainya biasanya hanya bengkok yang sering disebut green
stick.

Menurut Mansjoer Arif (2009), bentuk garis patah dan hubungannya dengan
mekanisme trauma ada 5 yaitu:
a. Fraktur transversal: fraktur yang arahnya malintang pada tulang dan
merupakan akibat trauma angulasi atau langsung.
b. Fraktur oblik: fraktur yang arah garis patahnya membentuk sudut
terhadap sumbu tulang dan merupakan akibat dari trauma angulasi juga.
c. Fraktur spiral: fraktur yang arah garis patahnya sepiral yang di sebabkan
oleh trauma rotasi.

2
d. Fraktur kompresi: fraktur yang terjadi karena trauma aksial fleksi yang
mendorong tulang kea rah permukaan lain.
e. Fraktur afulsi: fraktur yang di akibatkan karena trauma tarikan atau traksi
otot pada insersinya pada tulang.

4. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan rontgen : menetukan lokasi/luasnya fraktur/trauma
b. Scan tulang, scan CT/MRI: memperlihatkan fraktur, juga dapat digunakan
untuk mengidentifikasi kerusakan jaringan lunak.
c. Arteriogram : dilakukan bila kerusakan vaskuler dicurigai.
d. Hitung darah lengkap: HT mungkin meningkat (hemokonsentrasi) atau
menurun (perdarahan bermakna pada sisi fraktur) perdarahan bermakna
pada sisi fraktur atau organ jauh pada trauma multipel.
e. Kreatinin : trauma otot meningkatkan beban kreatinin untuk klien ginjal.
f. Profil koagulasi : perubahan dapat terjadi pada kehilangan darah, transfusi
multipel, atau cidera hati. Golongan darah, dilakukan sebagai persiapan
transfusi darah jika ada kehilangan darah yang bermakna akibat cedera atau
tindakan pembedahan.

5. Komplikasi
Adapun beberapa komplikasi dari fraktur femur yaitu:
a. Syok
Syok hipovolemik atau traumatik akibat pendarahan (baik kehilangan
darah eksterna maupun interna) dan kehilangan cairan ekstrasel ke jaringan
yang rusak dapat terjadi pada fraktur ekstremitas, toraks, pelvis, dan
vertebra karena tulang merupakan organ yang sangat vaskuler, maka dapat
terjadi kehilangan darah dalam jumlah yang besar sebagai akibat trauma,
khususnya pada fraktur femur pelvis.
b. Emboli lemak
Setelah terjadi fraktur panjang atau pelvis, fraktur multiple atau cidera
remuk dapat terjadi emboli lemak, khususnya pada pria dewasa muda 20-
30 tahun. Pada saat terjadi fraktur globula lemak dapat termasuk ke dalam
darah karna tekanan sumsum tulang lebih tinggi dari tekanan kapiler atau
karna katekolamin yang di lepaskan oleh reaksi stres pasien akan
memobilitasi asam lemak dan memudahkan terjadiya globula lemak dalam
aliran darah. Globula lemak akan bergabung dengan trombosit membentuk

3
emboli, yang kemudian menyumbat pembuluh darah kecil yang memasok
otak, paru, ginjal dan organ lain. Awitan dan gejalanya yang sangat cepat
dapat terjadi dari beberapa jam sampai satu minggu setelah cidera,
gambaran khasnya berupa hipoksia, takipnea, takikardi dan pireksia.
c. Sindrom Kompertemen
Peningkatan tekanan intra kompartemen akan mengakibatkan
berkurangnya perfusi jaringan dan tekanan oksigen jaringan, sehingga
terjadi gangguan sirkulasi dan fungsi jaringan di dalam ruangan tersebut.
Ruangan tersebut terisi oleh otot, saraf dan pembuluh darah yang
dibungkus oleh tulang dan fascia serta otot-otot individual yang dibungkus
oleh epimisium. Sindrom kompartemen ditandai dengan nyeri yang hebat,
parestesi, paresis, pucat, disertai denyut nadi yang hilang. Secara anatomi
sebagian besar kompartemen terletak di anggota gerak dan paling sering
disebabkan oleh trauma, terutama mengenai daerah tungkai bawah dan
tungkai atas.
d. Nekrosis avaskular tulang
Cedera, baik fraktur maupun dislokasi, seringkali mengakibatkan iskemia
tulang yang berujung pada nekrosis avaskular. Nekrosis avaskuler ini
sering dijumpai pada kaput femoris, bagian proksimal dari os. Scapphoid,
os. Lunatum, dan os. Talus (Suratum, 2008).
e. Atropi Otot
Pada pasien fraktur, atrofi terjadi akibat otot yang tidak digerakkan (disuse)
sehingga metabolisme sel otot, aliran darah tidak adekuat ke jaringan otot
(Suratum, dkk, 2008).

6. Penatalaksanaan
Penalaksanaan fraktur dibagi 2 macam, yaitu: secara konservatif (penanganan
tanpa pembedahan) dan operatif meliputi operasi ORIF (open reduction internal
fixation) dan OREF (open reduction eksternal fixation). ORIF adalah suatu
bentuk pembedahan dengan pemasangan internal fikasasi pada tulang yang
mengalami fraktur. Fungsi ORIF untuk mempertahankan posisi fragmen tulang
agar tetap menyatu dan tidak mengalami pergeseran. Internal fiksasi ini berupa
Intra Medullary Nail biasanya digunakan untuk fraktur tulang panjang dengan
tipe fraktur transvers. OREF adalah penanganan intraoperatif pada fraktur
terbuka yang dengan cara reduksi terbuka diikuti fiksasi eksternal OREF (open

4
reduction eksternal fixation) sehingga diperoleh stabilisasi fraktur yang baik.
Kkeuntugan fiksasi eksternal adalah memungkinkan stabilisasi fraktur sekaligus
menilai jaringan lunak sekitar dalam masa penyembuhan fraktur (Lukman dan
Ningsih, 2009).
7. Pathway
Trauma langsung, trauma tidak langsung, kondisi patilogis

Ketidakmampuan tulang dalam menahan beban

Fraktur

Pergeseran Terputusnya Malunion, non-union, Kerusakan saraf


frakmen tulang hubungan tulang dan delayed union spasme otot

nyeri deformitas Terapi imobilisasi,


traksi, terapi bedah Kerusakan Kerusakan
Ketidakmampuan fiksasi interna dan jaringan kulit vaskuler
melakukan pergerakan fiksasi eksterna
Pembengkakan
Hambatan Nyeri
lokal
mobilitas fisik

Risiko sindrom
Respon psikologis Pasca bedah
kompartemen

Ansietas Port de entree kuman

Risiko infeksi
Defisit
perawatan diri

(Mutaqin, 2012)

B. Asuhan Keperawatan
Menurut Mutaqin (2012), pengkajian yang dilakukan antara lain:
a. Anamnesis:
1) Identitas klien Pada umumnya keluhan utama pada kasus fraktur adalah
rasa nyeri yang hebat. Untuk memperoleh pengkajian yang lengkap
mengenai rasa nyeri klien, perawat dapat menggunakan PQRST.
2) Riwayat penyakit sekarang, kaji kronologi terjadinya trauma, yang
menyebabkan fraktur, pertolongan apa yang telah didapatkan, dan

5
apakah sudah berobat di dukun patah. Dengan mengetahui mekanisme
terjadinya kecelakaan, perawat dapat mengetaahui luka kecelakaan yang
lain.
3) Riwayat penyakit dahulu, penyakit-penyakit tertentu seperti kanker
tulang dan penyakit yang menyebabkan fraktur patologis sehingga
tulang sulit menyambung. Selaian itu, klien diabetes dengan luka di kaki
sangat beresiko mengalami osteomilitis akut dan kronis dan penyakit
diabetes menghambat proses penyembuhan tulang.
4) Riwayat penyakit keluarga, penyakit keluarga yang berhubungan
dengan patah tulang paha adalah faktor presdiposisi terjadinya fraktur,
seperti osteoporosis yang sering terjadi pada beberapa keturunan dan
kanker tulang yang cenderung diturunikan secara genetik.
5) Riwayat alergi dan obat-obatan

b. Pola-pola fungsi kesehatan dalam proses keperawatan klien fraktur:


1) Pola persepsi dan tata laksana hidup sehat
Klien merasa takut terjadi kecacatan pada dirinya dan harus menjalani
penatalaksanaan kesehatan untuk membantu penyembuhan tulangnya.
Pengkajian meliputi kebiasaan hidup klien, seperti penggunaan obat
steroid yang dapat mengganggu metabolism kalsium, pengonsumsi
alkohol yang dapat mengganggu keseimbangan klien, dan apakah klien
melakukan olahraga atau tidak.
2) Pola persepsi dan konsep diri
Dampak yang timbul timbul ketakutan atau kecacatan akibat fraktur
yang dialaminya, merasa cemas, rasa ketidakmampuan untuk
melakukan aktivitas secara optimal, dan pandangan terhadap dirinya
yang salah (gangguan citra diri).
3) Pola sensori dan kognitif
Daya raba klien fraktur berkurang terutama pada bagian yang
mengalami fraktur, sedangkan indra yang lain dan kognitifnya tidak
mengalami gangguan. Selain itu, timbul nyeri akibat akibat fraktur.
4) Pola manajemen koping
Pada timbul rasa cemas akan keadaan dirinya, yaitu ketakutan yaitu
timbul kecacatan pada diri dan fungsi tubuhnya. Mekanisme koping
yang ditempuh klien dapat tidak efektif.

6
5) Pola tata nilai dan keyakinan
Klien fraktur tidak dapat melaksanakan ibadah dengan baik, terutama
frekuensi dan konsentrasi dalam beribadah. Hal ini dapat disebabkan
oleh nyeri dan keterbatasangerak klien.
6) Pola nutrisi dan metabolik, klien fraktur harus mengonsumsi nutrisi
melebihi kebutuhan sehari-hari, seperti kalsium, zat besi, protein,
vitamin C, dan lainnya untuk membantu proses penyembuhan tulang.
Evaluasi terhadap pola nutrisi klien dapat menentukan penyebab
masalah muskuloskeletal dan mengantisipasi komplikasi dari nutrisi
yang tidak adekuat, terutama kalsium atau protein. Nyeri pada fraktur
menyebabkan klien kadang mual muntah sehingga pemenuhan
kebutuhan nutrisi menjadi berkurang.konjungtiva tidak anemis (pada
klien dengan patah tulang tertutup karena tidak terjadi perdarahan).
Klien fraktur terbuka dengan banyaknya perdarahan yang keluar
biasanya mengalami konjungtiva anemis.
7) Pola eliminasi, untuk kasus fraktur femur, klien tidak mengalami
gangguan pola eliminasi. Meskipun demikian, perawat perlu mengkaji
frekuensi, konsentrasi, serta warna dan bau feses pada pola eliminasi
alvi. Selain itu, perawat perlu mengkaji frekuensi, kepekatan, warna,
bau, dan jumlah pada pola eliminasi urine. Pada kedua pola ini juga
dikaji adanya kesulitan atau tidak.inspeksi abdomen: bentuk datar,
simetris, tidak ada hernia. Palpasi: turgor baik, tidak ada defans
muscular dan hepar tidak teraba. Perkusi : suara timpani, ada pantulan
gelombang cairan. Auskultasi : peristaltic usus normal + 20 kali/menit.
Inguinal-genitalia-anus : tidak ada hernia, tidak ada pembesaran limfe,
dan tidak ada kesulitan BAB (buang air besar).
8) Pola aktivitas, karena timbul rasa nyeri, gerak menjadi terbatas. Semua
bentuk kegiatan klienmenjadi berkurang dan klien memerlukan banyak
bantuan orang lain. Hal ini yang perlu dikaji adalah bentuk aktivitas
klien terutama pekerjaan klien karena beberapa pekerjaan beresiko
terjadinya fraktur.
9) Pola tidur dan istirahat, semua klien fraktur merasakan nyeri dan
gerakan terbatas sehingga dapat mengganggu pola dan kebutuhan tidur
klien. Selain itu, dilakukan pengkajian lamanya tidur, suasana tidur,

7
suasana lingkungan, kebiasaan tidur, kesulitan tidur, dan penggunaan
obat tidur.
10) Pola aktivitas
a) Pemeriksaan saraf serebral, status mental : observasi penampilan
dan tingkah laku klien. Biasanya status mental tidak mengalami
perubahan.
b) Pemeriksaan reflek, biasanya tidak didapatkan reflek-reflek
patologis.
c) Pemeriksaan sensorik, daya raba klien fraktur femur berkurang
terutama pada bagian distal fraktur, sedangakan indra yang lain dan
kognitif tidak mengalami gangguan. Selain itu, timbul nyeri akibat
fraktur. Adanya fraktur akan mengganggu secara lokal, baik fungsi
motorik, sensorik, maupun peredaran darah.
d) Look, pada sistem integument terdapat eritema, suhu disekitar
daerah trauma meningkat, bengkak, edema, dan nyeri tekan.
Perhatikan adanya pembengkakan yang tidak biasa (abnormal) dan
deformitas.Apabila terjadifraktur terbuka, perawat dapat
menemukan adanya tanda-tanda trauma jaringan lunak samapai
kerusakan integritas kulit
e) Pada keadaan tertentu, terjebaknya otot, lemak, saraf, dan pembuluh
darah dalam sindrom kompartemen memerlukan perhatian perawat
secara khusus agar organ dibawah paha tidak mengalami penurunan
suplai darah atau nekrosis.
f) Feel, kaji adanya nyeri tekan (tendrnes) dan krepitasi pada daerah
fraktur.
g) Move, setelah dilakukan pemeriksaan feel, peeriksaan dilanjutkan
menggerakan ekstremitas, kemudian perawat mencatat apakah ada
keluhan nyeri pada pergerakan. Pencatatan rentang gerak ini perlu
dilakukan agar dapat mengevaluasi keadaan sebelum dan
sesudahnya. Pemeriksaan ini menentukan apakah ada gangguan
gerak (mobilitas) atau tidak. Gerakan yang dilihat adalah gerakan
aktif dan pasif.

8
C. Diagnosa Keperawatan
a. Nyeri akut berubungan dengan agen injuri fisik, kerusakan
neuromuskuloskeletal, pergerakan fragmen tulang, edema, cedera jaringan
lnak, pemasanggan traksi.
b. Hambatan mobilitas fisik yang berhubungan dengan respon nyeri, kerusakan
neuromuskuloskeletal, pergerakan fragmen tulang, terapi restriktif
(imobilisasi)
c. Defisit perawatan diri berhubungan dengan kelemahan fisik ekstremitas
bawah.
d. Resiko infeksi berhubungan dengan prosedur invasive, luka bedah,
pemasangan traksi tulang dan fiksasi eksterna.
e. Ansietas berhubungan dengan prosedur invasif (tindakan medis).

D. Intervensi Keperawatan
a. Nyeri yang berubungan dengan kompresi saraf, kerusakan
neuromuskuloskeletal, pergerakan fragmen tulang.
1) Tujuan: nyeri dapat berkurang atau teratasi setelah dilakukan tindakan
keperawatan selama 1x24 jam.Kriteria hasil: secara subyektif, klien
melaporkan nyeri berkurang atau dapat diatasi, dapat mengidentifikasi
aktivitas yang dapat meningkatkan atau menurunkan nyeri, klien tidak
gelisah, skala nyeri 0 sampai 1 atau tidak terdeteksi.
2) Intervensi:
a) Observasi karakteristik nyeri.
R: dapat dikaji menggunakan skala nyeri.
b) Atur posisi imobilisasi.
R: imobilisasi adekuat mengurangi pergerakkan fragmen tulang.
c) Lakukan pemasangan traksi kulit secara sistematis.
R: traksi kulit dengan pengaturan posisi kontraksi dapat
menurunkan kompresi saraf sehingga menurunkan respon nyeri.
d) Manajemen lingkungaan: lingkungan tenang, batasi pengunjung,
dan istirahatkan klien.
R: lingkungan tenang akan menurunkan stimulus nyeri eksternal.
e) Ajarkan teknik relaksasi pernapasan dalam ketika nyeri.
R: meningkatkan asupan oksigen sehingga akan menurunkan nyeri
sekunder akibat iskemia.

9
f) Ajarkan teknik distraksi pada saat nyeri.
R: distraksidapat menurunkan stimulus nyeri internal.
g) Kolaborasi dengan dokter untuk pemasangan traksi tulang.
R: akan memberikan dampak pada penurunan pergeseran fragmen
tulang dan memberikan posisi yang baik untuk penyatuan tulang.
h) Kolaborasi dengan dokter untuk operasi pemasangan fiksasi
internal.
R: fiksasi interna dapat membantu imobilisasi fraktur femur
sehingga pergerakan fragmen berkurang.
i) Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian analgesik
R: pemberian analgesik membantu mengurangi nyeri.
b. Hambatan mobilitas fisik yang berhubungan dengan respon nyeri, kerusakan
neuromuskuloskeletal, pergerakan fragmen tulang.
1) Tujuan: setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam
diharapkan klien mampu melaksanakan aktivitas fisik sesuai dengan
kemampuannya. Kriteria hasil; klien dapat ikut serta dalam program
latihan, tidak terjadi kontraktur sendi, bertambahnya kekuatan otot,
klien menunjukan tindakan untuk meningkatkan mobilitas.
2) Intervensi
a) Observasi mobilitas yang ada dan observasi peningkatan kerusakan
dan kaji secara teraur fungsi motorik.
R:mengetahui tingkat kemampuan klien dalam melakukan aktivitas.
b) Atur posisi imobilisasi pada fraktur.
R: dapat mengurangi pergeragakan fragmen tulang.
c) Ajarkan pada klien untuk melakukan latihan gerak aktif pada
ekstremitas yang tidak sakit.
R: gerakan aktif memberikan masa, tonus dan kekuatan otot serta
memperbaiki fungsi jantung dan pernapasan.
d) Bantu klien melakukan latihan ROM, perawatan diri sesuai
toleransi.
R: untuk memelihara fleksibilitas sendi sesuai kemampuan.
e) Kolaborasi dengan ahli fisioterapi untuk latihan fisik klien.
R: peningkatan kemampuan dalam mobilisasi ekstremitas dapat
dicaapi dengan latihan fisik dari tim ahli fisioterapi.

10
c. Defisit perawatan diri berhubungan dengan kelemahan fisik ekstremitas
bawah.
1) Tujuan: setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x24 jam
diharapkan klien dapat menunjukan perubahan hidup untuk kebutuhan
merawat diri. Kriteria hasil: klien mampu melakukan aktivitas
perawatan diri sesuai dengan tingkat kemampuan, mengidentifikasi
personal yang dapat membantu.
2) Intervensi:
a) Observasi kemampuan dan tingkat penurunan dalam skala 0 sampai
4 untuk melakukan ADL.
R: untuk membantu klien dalam pemenuhan ADL.
b) Dekatkan alat dan sarana yang dibutuhkan klien.
R: memudahkan klien dan menngkatkan kemandirian klien.
c) Identifikasi kebiasaan defekasi dan anjurkan minum dan tingkatkan
aktivitas.
R: untuk meningkatkan latihan dan menolong mencegah konstipasi.
d) Kolaborasi pemberian supositoriia dan pelunak feses atau pencahar.
R: pertolongan utama terhadap fungsi defekasi.
e) Kolaborasi terapi ke dokter okupasi.
R: mengembangkan terapi dan melengkapi kebutuhan khusus.

d. Resiko infeksi berhubungan dengan port de entree, luka bedah, pemasangan


traksi tulang dan fiksasi eksterna.
1) Tujuan: tidak terjadi infeksi selama dilakukan tindakan keperawatan di
rumah sakit. Kriteria hasil: bebas dari infeksi nosokomial selama
perawatan di rumah sakit.
2) Intervensi:
a) Kaji-kaji faktor yang memungkinkan terjadinya infeksi yang masuk
ke port de entrée.
R: faktor port de entree luka terbuka dari fraktur, luka pasca-bedah,
sisi luka dari traksi tulang, setiap sisi besi pada fiksasi eksterna.
b) Pantau atau batasi kunjungan.
R: untuk mengurangi kontak infeksi dari orang lain.
c) Lakukan perawatan luka secara steril:
R: teknik perawatan luka secara steril dapat mengurangi
kontaminasi kuman.

11
d) Bantu perawatan diri dan keterbatasan aktivitas sesuai toleransi
serta bantu program latihan.
R: untuk menunjukan kemampuan secara umum dan kekuatan otot
dan merangsang pengembalian sistem imun.
e) Tingkatkan asupan nutrisi tinggi kalori dan tinggi protein.
R: untuk meningkatkan imunitas tubuh secara umum dan membantu
menurunkan resiko infeksi.
f) Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian antibiotik sesuai
indikasi.
R: satu atau beberapa agens diberikan bergantung pada sifat
patogen dan infeksi yang terjadi.
e. Ansietas berhubungan dengan prosedur invasif (tindakan medis).
1) Tujuan: cemas klien berkurang atau dapat teratasi setelah dilakukan
tindakan keperawatan dalam 30 menit. Kriteria hasil: pasien akan
menggambarkan tingkat kecemasan dan pola koping, klien mengetahui
dan mengerti tentang penyakit yang dideritanya dan cara perawatannya.
2) Intervensi
a) Observasi tingkat kecemasan pasien.
R: untuk menentukan tindakan berikutnya.
b) Jelaskan tentang proses penyakitnya.
R: untuk menurunkan ansietas dan dapat menimbulkan perbaikan
partisipasi pada rencana pengobatan.
c) Diskusikan faktor individu yang meningkatkan kondisi, misalnya
lingkungan dengan suhu ekstrim.
R: faktor lingkungan dapat menimbulkan atau meningkatkan iritasi.

12
DAFTAR PUSTAKA

Lukman dan Ningsih (2009).Asuhan Keperawatan Pada Klien Dengan Gangguan


Muskolosekeletal.Jakarta. Salemba Medika.
Mansjoer Arief (2009). Kapita Selekta Kedokteran. Edisi Ketiga. Jilid Kedua.
Jakarta: FKUI.
Mutaqin Arif (2012). Buku Sdaku Gangguan Muskoloskeletal. Jakarta: EGC.
Wahid Abdul (2013). Buku Saku Asuhan Keperawatan Dengan Gangguan Sistem
Muskoloskeletal. Jkarta: CV. Trans Info Medika.

13

Anda mungkin juga menyukai