Anda di halaman 1dari 6

Nama : Rizki Cahyani

NIM : 1911020194
Kelas : 4D Keperawatan S1
Mata Kuliah : Keperawatan HIV-AIDS
Dosen pengampu : Ns. Agus Santosa, S.Kep., M.Kep
Hari, tanggal : Minggu, 14 Maret 2021

TUGAS
Identifikasi masalah

1. Kenapa pasien Ny S yang hamil dengan HIV mengeluhkan mudah lemas, kondisi
cepat drop, cepat capek dan lelah tidak seperti orang hamil pada umumnya?
2. Apakah Ny S yang hamil dengan HIV bisa melahirkan secara Normal?
3. Lebih aman manakah Ny S melahirkan secara Normal atau Sesar?
4. Apakah Ny S yang hamil dengan HIV bisa menyusui saat anaknya lahir?
5. Apakah janin Ny s bisa bermasalah dan tertular HIV juga?
6. Bagaimana model / cara agar masyarakat agar tidak mendeskriminasi ibu hamil
dengan HIV?
7. Bagaimana pengobatan yang aman untuk Ny S yang hamil dengan HIV?
8. Bagaimana terapi psikologis pada pasien Ny S yang hamil dengan HIV?
9. Apa masalah keperawatan/diagnose keperawatan yang muncul pada pasien Ny S yang
hamil dengan HIV?
10. Bagaimana prognosis Ny S yang hamil dengan HIV?

Penyelesaian masalah

1. HIV (human immunodeficiency virus) merupakan virus yang bekerja dengan dengan
menginfeksi dan menghancurkan sel CD4 untuk merusak sistem kekebalan tubuh.
Semakin banyak sel CD4 yang dihancurkan, kekebalan tubuh perlahan akan melemah,
sehingga rentan terserang penyakit. Pada ibu hamil trimester tiga merasakan
ketidaknyamanan fisik kelelahan dan rasa cepat lelah. Pada ibu hamil dengan HIV/AIDS
menimbulkan berbagai perubahan fisik yang terjadi seperti kelemahan atau rasa capek.
Kelemahan ini semakin bertambah dengan adanya peran ganda sebagai ibu, istri dan
dirinya sendiri yang harus merawat anaknya dan kondisi sakitnya. Hal ini berdampak pada
keterbatasannya dalam melakukan peran tersebut yang dinyatakan oleh responden dengan
mengeluh cepat capek dengan berbagai peran yang harus dijalankannya. Timbulnya
berbagai perubahan fisik atau gejala akan mempengaruhi kualitas hidup dan dipandang
oleh perempuan HIV/AIDS. Hal ini juga dinyatakan oleh Lowdermilk, dan Jensen (2005),
ibu hamil dengan HIV mengalami ketidaknyamanan prenatal antara lain adanya keletihan
yang hebat. dikarenakan sistem kekebalan tubuh sudah menurun tidak seperti orang lain.

2. Bisa. Jika persalinan pervaginam merupakan pilihan, maka diupayakan memperpendek


waktu pecahnya selaput ketuban (tidak boleh dilakukan amniotomi) dan hindari
penggunaan forcep atau vacum selama proses persalinan (Varney’s, 2007). Bila ibu ingin
melahirkan secara normal, peluang bayi tidak tertular masih ada. Namun, ada
persyaratannya, yaitu:

 Telah mengonsumsi obat antivirus mulai dari usia kehamilan 14 minggu atau kurang.
 Jumlah viral load kurang dari 10.000 kopi/ml. Viral load adalah jumlah partikel virus
dalam 1 ml atau 1 cc darah. Ibu akan berpotensi tinggi menularkan virus ke bayi dan
mengalami komplikasi HIV jika ditemukan jumlah partikel virus yang banyak dalam
darah ibu.
 Proses melahirkan harus berlangsung secepat mungkin, dan bayi harus segera
dibersihkan setelah keluar.

3. Menurut pendapat saya, lebih aman jika menggunakan metode caesar. Karena dalam
proses melahirkan, bayi terkena darah dan cairan vagina ketika melewati saluran rahim yang 
menjadi cara virus HIV dari ibu masuk ke dalam tubuhnya. Menurut berbagai penelitian,
risiko penularan HIV/AIDS dari ibu ke bayi pada saat persalinan lebih rendah jika
menggunakan metode caesar. Dari data yang diperoleh dari America College of
Obstetricians and Gynecologist, dituliskan pada kondisi kehamilan pada umumnya, operasi
caesar dianjurkan untuk dilakukan sebelum kehamilan berusia 39 minggu. Namun, pada ibu
hamil pengidap HIV, operasi caesar dianjurkan dilakukan saat kehamilan berusia 38 minggu.
Sebelum dan sesudah menjalani operasi caesar, ibu juga diberikan antibiotik untuk mencegah
infeksi pasca melahirkan. Hal ini dilakukan karena wanita yang mengidap HIV memiliki
kekebalan tubuh yang lebih rendah, sehingga lebih rentan terkena infeksi.
4. Bisa. WHO merekomendasikan kepada seluruh ibu untuk menyusui secara ekslusif
termasuk ibu positif HIV yang artinya tidak ada cairan atau makanan yang diberikan pada
enam bulan pertama. Setelah enam bulan bayi harus mulai mengkonsumsi makanan
tambahan. Ibu yang mengidap HIV dalam tubuhnya dianjurkan untuk tetap memberikan ASI
eksklusif pada 6 bulan pertama kelahiran Si Kecil. Namun, hal tersebut dilakukan dengan
syarat, yaitu ibu harus melakukan pengobatan rutin yang dianjurkan guna mengurangi risiko
penularan pada bayi.

5. Bisa. Lewat serangkaian pemeriksaan, setidaknya bisa diketahui kapan kemungkinan bayi
mulai terinfeksi. Penularan dalam kandungan terjadi lewat tali plasenta. Selain tertular dalam
kandungan, biasanya anak juga bisa mendapat HIV saat persalinan. Pada tahap ini, bayi dapat
tertular darah atau cairan milik ibu yang telah terinfeksi HIV. Biasanya cairan ini mungkin
telah terminum oleh bayi sehingga virus yang terdapat di dalamnya mulai menginfeksi. Pada
wanita yang positif terinfeksi HIV, ditemukan virus pada cairan yang keluar dari sekitar area
kewanitaannya. Dan sekitar 21 % dari virus tersebut juga ditemukan pada bayi yang
dilahirkan. Namun, besarnya paparan pada proses lahir sangat dipengaruhi dengan beberapa
faktor. Seperti kadar HIV pada cairan vagina ibu, cara persalinan, ulkus serviks, dan
permukaan dinding vagina. Selain itu faktor infeksi cairan ketuban, ketuban pecah dini,
persalinan prematur juga bisa memengaruhi. Selanjutnya, penularan HIV juga bisa terjadi
selama ibu menyusui bayi. Penularan lewat Air Susu Ibu (ASI) bahkan meningkat hingga dua
kali lipat. Penularan HIV lewat ASI bisa mencapai 5 hingga 20 persen. ASI diketahui
mengandung HIV dalam jumlah cukup banyak. Beberapa kondisi saat menyusui juga dapat
meningkatkan risiko penularan HIV. Salah satunya adalah luka di sekitar puting susu, luka di 
mulut bayi hingga fungsi kekebalan tubuh bayi. Sebuah penelitian menyebutkan risiko
penularan HIV melalui ASI terjadi pada 3 dari 100 anak per tahun.

6. - Melakukan pendidikan kesehatan yang bertujuan meningkatkan pengetahuan mengenai


HIV/AIDS dalam banyak penelitian dibuktikan sebagai salah satu faktor yang paling
memengaruhi terjadinya pengurangan stigma.

- Peningkatan Pendidikan kesehatan pada masyarakat tentang HIV dan AIDS sehingga dapat
menurunkan HIV/AIDS related stigma and discrimination (HASD).

7. Setiap ibu hamil dapat mengonsumsi lebih dari satu jenis obat. Beberapa obat-obatan yang
termasuk ARV adalah lamivudine (3TC), zidovudine (ZDV), nevirapine (NVP), indinavir,
dan nelfinavir. Penggunaan obat akan disesuaikan dengan usia kehamilan karena beberapa
obat dapat menyebabkan cacat pada janin.

8. Art therapy merupakan salah satu terapi yang dinyatakan efektif untuk mengatasi beberapa
permasalahan psikologis, seperti menurunkan kecemasan, depresi, gejala trauma,
permasalahan perilaku, dan distres; serta meningkatkan mood yang positif, kualitas hidup,
harga diri, coping, dan fungsi kognitif (Uttley, Scope, Stevenson et al., 2015). Art therapy
akan mendorong individu untuk merekonsiliasi konflik emosional; meningkatkan kesadaran
diri, keterampilan sosial, mekanisme coping, harga diri, dan keterampilan pemecahan
masalah; menurunkan kecemasan; memampukan individu untuk berpikir secara kreatif;
mengubah atau melihat kembali bagaimana perasaan dan respon individu dalam menanggapi
sebuah peristiwa atau pengalaman, serta bagaimana mereka dapat melakukan perubahan dari
segi emosi ataupun perilaku; serta secara aktif mencoba, bereksperimen, atau melatih
perubahan yang diinginkan melalui penggunaan bahan seni, proses kreatif, dan gambar
ataupun formasi gambar (Malchiodi dalam Ugurlu, Akca, & Acarturk, 2016; Malchiodi,
2003). Dengan efektivitas art therapy dalam mengatasi permasalahan psikologis dan
meningkatkan kualitas diri individu, maka art therapy juga memiliki potensi untuk
meningkatkan selfcompassion, terutama bagi ODHA dengan berbagai permasalahan yang
tidak dapat diungkapkan secara verbal akibat dampak dari penyakitnya, dan akhirnya
memengaruhi sikap dan perilaku terhadap dirinya sendiri. Proses kreatif dari art therapy
berpotensi membantu individu untuk menghadapi permasalahan, mendorong untuk terjadinya
perubahan yang mengarah pada perubahan sikap dan perilaku yang menuju ke arah kasih
sayang terhadap dirinya sendiri. Meskipun demikian, penerapan art therapy terhadap self-
compassion masih sangat terbatas, khususnya dalam konteks klinis.

Art therapy akan mendorong individu untuk meningkatkan mekanisme coping dan
kemampuan pemecahan masalah, karena dengan art therapy individu dibantu untuk melihat
aspek diri yang sebelumnya tidak disadari melalui proses kreatif yang terjadi. Dengan begitu,
individu tidak lagi tenggelam di dalam emosi dan pikiran negatif secara terus menerus, lebih
mampu memusatkan perhatian pada apa yang sedang dihadapinya saat ini (mindful), dan
dapat menentukan langkah selanjutnya untuk menghadapi atau mengatasi permasalahannya.
Dengan demikian, art therapy berpotensi dapat mendorong terciptanya self-compassion di
mana individu dapat memiliki sikap yang baik terhadap dirinya sendiri (self kindness); tidak
lagi menarik diri dengan terciptanya sudut pandang baru terkait permasalahannya; serta
menghadapi permasalahan dengan jelas, tidak menghakimi, dan dapat menentukan alternatif
pemecahan masalah atas kesulitan atau masalah yang dihadapi.

9. - Kelelahan b.d proses penyakit

- Isolasi sosial b.d stigma

- Gangguan harga diri. (Nanda Internasional, 2014)

- Harga diri rendah situasional b.d gangguan citra tubuh

- Keletihan b.d status penyakit

- Peningkatan kelelahan fisik, malnutrisi, ansitas, depresi, stress

- Gangguan rasa nyaman b.d gejala terkait penyakit.

10. Prognosis Ny. S yang hamil dengan HIV masih akan tetap menderita hiv/aids dan tetap
mengkonsumsi obat ARV. Anak dari Ny. S juga bisa tertular hiv jika persalinan yg dipilih
kurang tepat.
DAFTAR PUSTAKA

Bobak, I.M.,& Lowdermilk,D.L. 2005. Buku Ajar Keperawatan Maternitas Edisi 4.

Jakarta:EGC.

https://www.halodoc.com/artikel/pengidap-hiv-masih-boleh-menyusui-ini-syaratnya .

Diakses tanggal 12 Maret 2021 pukul 13.15 WIB.

https://www.halodoc.com/artikel/ibu-hamil-bisa-tularkan-hiv-pada-janin-

Diakses tanggal 12 Maret pukul 14.00 WIB.

Varney, Helen. 2007. Buku Ajar Asuhan Kebidanan Edisi 4. Jakarta:EGC.

Anda mungkin juga menyukai