Anda di halaman 1dari 3

Penatalaksanaan

Hiv pada ibu hamil


1. Konseling dan Tes Antibodi HIV terhadap Ibu
Mulai mengadakan pengamatan tentang kemungkinan adanya ibu hamil yang berisiko
untuk menularkan penyakit HIV kepada bayinya. Anamnesis yang dapat dilakukan antara lain
dengan menanyakan apakah ibu pemakai obat terlarang, perokok, mengadakan hubungan seks
bebas, dan lain-lainnya. Bila ditemukan kasus tersebut di atas, harus dilakukan tindakan lebih
lanjut. Risiko penularan HIV secara vertikal dapat berkurang sampai 1-2% dengan melakukan
tata laksana yang baik pada ibu dan anak.

2. Pengobatan dan Profilaksis Antiretrovirus (ARV) Pada Ibu yang terinfeksi HIV
Untuk mencegah penularan vertikal dari ibu ke bayi maka ibu hamil terinfeksi HIV harus
mendapat pengobatan atau profilaksis antiretrovirus (ARV). Tujuan pemberian ARV pada ibu
hamil, di samping untuk mengobati ibu, juga untuk mengurangi risiko penularan perinatal
kepada janin atau neonatus.

Hiv pada ibu bersalin


Biasanya pasien dengan riwayat HIV/AIDS ini harus ditolong dengan cara section
caesaria (SC) /operasi cesar, karena apabila bayi lahir melalui vagina ibu ditakutkan bayi akan
tertular HIV/AIDS, sebab darah yang keluar dari vagina akan segera menyerang tubuh bayi yang
belum mendapatkan sistem kekebalan tubuh.
Bayi yang lahir dari seorang riwayat HIV/AIDS tidak boleh menyusui bayinya, sebab
besar kemungkinan bayi akan tertular HIV/AIDS dari ibunya karena cairan yang dihisap bayi

(ASI) akan langsung mengalir keseluruh tubuh bayi. Untuk menjaga agar bayi tidak tertular
sebaiknya diberikan susu formula untuk menjaga bayi agar tidak tertular HIV/ADIS sehingga
nutrisi bayi juga terpenuhi.

Hiv pada ibu nifas


Pengalaman program yang signifikan dan bukti riset tentang HIV dan pemberian
makanan untuk bayi telah dikumpulkan sejak rekomendasi WHO untuk pemberian makanan
bayi dalam konteks HIV terakhir kali direvisi pada tahun 2006. Secara khusus, telah dilaporkan
bahwaantiretroviral (ARV) intervensi baik ibu yang terinfeksi HIV atau janin yang terpapar
HIVsecara signifikan dapat mengurangi risiko penularan HIV pasca kelahiran melalui menyusui.
Bukti ini memiliki implikasi besar untuk bagaimana perempuan yang hidup dengan HIV mungkin
dapat memberi makan bayi mereka, dan bagaimana para pekerja kesehatan harus nasihati ibuibu ini. Bersama-sama, intervensi ASI dan ARV memiliki potensi secara signifikan untuk
meningkatkan peluang bayi bertahan hidup sambil tetap tidak terinfeksi HIV.
Meskipun rekomendasi 2010 umumnya konsisten dengan panduan sebelumnya, mereka
mengakui dampak penting dariARV selama masa menyusui, dan merekomendasikan bahwa
otoritas nasional di setiap negarauntuk memutuskan praktik pemberian makan bayi, seperti
menyusui yaitu dengan intervensi ARVuntuk mengurangi transmisi atau menghindari menyusui,
harus dipromosikan dan didukung oleh layanan Kesehatan Ibu dan Anak mereka. Hal ini
berbeda dengan rekomendasi sebelumnya di mana petugas kesehatan diharapkan untuk
memberikan nasihat secara individual kepada semua ibu yang terinfeksi HIV tentang berbagai
macam pilihan pemberian makanan bayi, dan kemudian ibu-ibu dapat memilih cara untuk
pemberian makanan bayinya.
Dimana otoritas nasional mempromosikan pemberian ASI dan ARV, ibu yang diketahui
terinfeksi HIV sekarang direkomendasikan untuk menyusui bayi mereka setidaknya sampai usia
12 bulan. Rekomendasi bahwa makanan pengganti tidak boleh digunakan kecuali jikadapat
diterima, layak, terjangkau, berkelanjutan dan aman (AFASS) .

Hiv pada BBL

Penghisapan lendir bayi tidak boleh dilakukan dengan penghisap mulut, melainkan
dengan suction penghisap lendir yang dihubungkan dengan mesin penghisap.

Perlakukan bayi seperti individu yang tidak terinfeksi.


Pencegahan infeksi harus dilakukan agar bayi terhindar dari transmisi infeksi dari ibu ke
bayi.
Ibu bayi harus diberitahu agar menghindari bayinya terkena sekresi tubuhnya.
Pemilihan makanan bayi harus didahului dengan konseling tentang risiko penularan HIV
melalui ASI. Konseling diberikan sejak perawatan antenatal atau sebelum persalinan.
Pengambilan keputusan oleh ibu dilakukan setelah mendapat informasi secara lengkap.
Pilihan apapun yang diambil oleh ibu harus didukung.
Upaya pencegahan penularan HIV dari ibu ke anak tidak berhenti setelah ibu melahirkan.
Ibu akan hidup dengan HIV di tubuhnya. Ia membutuhkan dukungan psikologis, sosial
dan perawatan sepanjang waktu. Hal ini terutama karena si ibu akan menghadapi
masalah stigma dan diskriminasi masyarakat terhadap ODHA. Faktor kerahasiaan status
HIV ibu dan bayi sangat penting dijaga. Dukungan juga harus diberikan kepada anak dan
keluarganya. Dengan dukungan psikososial yang baik, ibu dengan HIV akan bersikap
optimis dan bersemangat mengisi kehidupannya. Diharapkan ia akan bertindak bijak
dan positif untuk senantiasa menjaga kesehatan diri dan anaknya, serta berperilaku
sehat agar tidak terjadi penularan HIV dari dirinya ke orang lain.

Anda mungkin juga menyukai