Anda di halaman 1dari 22

LAPORAN PENDAHULUAN PADA PASIEN

FRAKTUR DENGAN GANGGUAN


MOBILITAS FISIK

OLEH :

I Putu Pande Andi Mahendra Putra


P07120018131
3.4
D-III KEPERAWATAN

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLITEKNIK KESEHATAN DENPASAR
TAHUN 2020
LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN

PADA PASIEN FRAKTUR DENGAN GANGGUAN MOBILITAS FISIK

A. KONSEP DASAR PENYAKIT


1. DEFINISI
Fraktur merupakan istilah dari hilangnya kontinuitas tulang, baik
yang bersifat total maupun sebagian, biasanya disebabkan oleh trauma.
Terjadinya suatu fraktur lengkap atau tidak lengkap ditentukan oleh
kekuatan, sudut dan tenaga, keadaan tulang, serta jaringan lunak di sekitar
tulang. Secara umum, keadaan patah tulang secara klinis dapat
diklasifikasikan sebagai fraktur terbuka, fraktur tertutup dan fraktur
dengan komplikasi. Fraktur tertutup adalah fraktur dimana kulit tidak
ditembus oleh fragmen tulang, sehingga tempat fraktur tidak tercemar oleh
lingkungan/dunia luar. Fraktur terbuka adalah fraktur yang mempunyai
hubungan dengan dunia luar melalui luka pada kulit dan jaringan lunak,
dapat terbentuk dari dalam maupun luar. Fraktur dengan komplikasi
adalah fraktur yang disertai dengan komplikasi seperti malunion, delayed
union, nounion dan infeksi tulang (Mahartha et al., 2013).

Fraktur merupakan terganggunya kesinambungan jaringan tulang


yang dapat disebabkan oleh trauma atau tenaga fisik dan ditandai dengan
Look: tanda yang dapat dilihat, adanya deformitas berupa penonjolan yang
abnormal, bengkak, warna kulit merah, adanya ekimosis, angulasi,rotasi
dan pemendekan, Feel: nyeri, Move: krepitasi dan terasa nyeri saat
digerakkan, gangguan fungsi pergerakan (Bachtiar, 2018).

2. PENYEBAB
Fraktur disebabkan oleh trauma di mana terdapat tekanan yang
berlebihan pada tulang yang biasanya diakibatkan secara langsung dan
tidak langsung dan sering berhubungan dengan olahraga, pekerjaan atau
luka yang disebabkan oleh kendaraan bermotor.
Penyebab patah tulang paling sering di sebabkan oleh trauma
terutama pada anak – anak, apabila tulang melemah atau tekanan ringan.
Adapun penyebab fraktur antara lain:
a. Kekerasan langsung
Kekerasan langsung menyebabkan patah tulang pada titik terjadinya
kekerasan. Fraktur demikian demikian sering bersifat fraktur terbuka
dengan garis patah melintang atau miring.
b. Kekerasan tidak langsung
Kekerasan tidak langsung menyebabkan patah tulang ditempat yang
jauh dari tempat terjadinya kekerasan. Yang patah biasanya adalah
bagian yang paling lemah dalam jalur hantaran vektor kekerasan.
c. Kekerasan akibat tarikan otot
Patah tulang akibat tarikan otot sangat jarang terjadi. Kekuatan dapat
berupa pemuntiran, penekukan, penekukan dan penekanan, kombinasi
dari ketiganya, dan penarikan.

Adapun penyebab fraktur antara lain:


a. Trauma Langsung
Yaitu fraktur terjadi di tempat dimana bagian tersebut mendapat ruda
paksa misalnya benturan atau pukulan pada anterbrachi yang
mengakibatkan fraktur
b. Trauma Tak Langsung
Yaitu suatu trauma yang menyebabkan patah tulang ditempat yang jauh
dari tempat kejadian kekerasan.
c. Fraktur Patologik
Stuktur yang terjadi pada tulang yang abnormal(kongenital,peradangan,
neuplastik dan metabolik.
3. POHON MASALAH

Trauma langsung Trauma tdk langsung Kondisi patologis

Fraktur

Diskontinuitas tulang Pergeseran fragmen tlg

Perubahan jaringan sekitar Pelepasan histamin

Merangsang nosiseptor
(reseptor nyeri)
Pergeseran fragmen tulang

Laserasi kulit: Nyeri, Nyeri Akut


Deformitas
ebngkak, perdarahan

Ggn fungsi ekstermitas Kondisi pasca operasi

Gangguan Mobilitas Fisik Gangguan integritas kulit/


Restrain Fisik
jaringan

Mengeluh sulit tidur

Gangguan Pola Tidur


4. KLASIFIKASI
Secara umum, keadaan patah tulang secara klinis dapat
diklasifikasikan sebagai fraktur terbuka, fraktur tertutup, fraktur komplit
dan tidak komplit (Mahartha et al., 2013).
a. Fraktur komplit, adalah patah pada seluruh garis tengah tulang dan
biasanya mengalami pergeseran (bergeser dari posisi normal).
b. Fraktur tidak komplit (inkomplit), adalah patah yang hanya terjadi
pada sebagian dari garis tengah tulang.
c. Fraktur tertutup (closed), adalah hilangnya atau terputusnya
kontinuitas jaringan tulang dimana tidak terdapat hubungan antara
fragmen tulang dengan dunia luar atau bila jaringan kulit yang berada
diatasnya / sekitar patah tulang masih utuh.
d. Fraktur terbuka (open/compound), adalah hilangnya atau terputusnya
jaringan tulang dimana fragmen-fragmen tulang pernah atau sedang
berhubungan dengan dunia luar. Fraktur terbuka dapat dibagi atas tiga
derajat, yaitu :
1) Derajat I
a) Luka < 1 cm
b) Kerusakan jaringan lunak sedikit, tak ada tanda luka remuk
c) Fraktur sederhana, transversal, oblik, atau koinutif ringan
d) Kontaminasi minimal
2) Derajat II
a) Laserasi > 1 cm
b) Kerusakan jaringan lunak, tidak luas, flap/avulse
c) Fraktur kominutif sedang
d) Kontaminasi sedang
3) Derajat III
Terjadi kerusakan jaringan lunak yang luas, meliputi struktur kulit,
otot, dan neurovascular serta kontaminasi derajat tinggi. Fraktur
derajat III terbagi atas :
a) IIIA: Fragmen tulang masih dibungkus jaringan lunak
b) IIIB: Fragmen tulang tak dibungkus jaringan lunak terdapat
pelepasan lapisan periosteum, fraktur kontinuitif
c) IIIC: Trauma pada arteri yang membutuhkan perbaikan agar
bagian distal dapat diperthankan, terjadi kerusakan jaringan
lunak hebat.

Fraktur diklasifikasikan berdasarkan garis patah tulang dan


berdasarkan bentuk patah tulang.
Berdasarkan garis patah tulangnya: Greenstick, yaitu fraktur
dimana satu sisi tulang retak dan sisi lainnya bengkok. Transversal, yaitu
fraktur yang memotong lurus pada tulang. Spiral, yaitu fraktur yang
mengelilingi tungkai/lengan tulang. Obliq, yaitu fraktur yang garis
patahnya miring membentuk sudut melintasi tulang (Mahartha et al.,
2013).
Berdasarkan bentuk patah tulangnya : komplet, yaitu garis fraktur
menyilang atau memotong seluruh tulang dan fragmen tulang biasanya
tergeser. Inkomplet, meliputi hanya sebagian retakan pada sebelah sisi
tulang. fraktur kompresi, yaitu fraktur dimana tulang terdorong ke arah
permukaan tulang lain. Avulsi, yaitu fragmen tulang tertarik oleh ligament.
Communited (segmental), fraktur dimana tulang terpecah menjadi
beberapa bagian simple. Fraktur dimana tulang patah dan kulit utuh.
Fraktur dengan perubahan posisi, yaitu ujung tulang yang patah berjauhan
dari tempat yang patah. Fraktur tanpa perubahan posisi, yaitu tulang patah,
posisi pada tempatnya yang normal. Fraktur komplikata, yaitu tulang yang
patah menusuk kulit dan tulang terlihat.

5. GEJALA KLINIS
Menurut (Brunner & Suddarth, 2002) manifestasi klinik dari faktur yaitu:
a. Nyeri
Nyeri dirasakan langsung setelah terjadi trauma. Hal ini dikarenakan
adanya spasme otot, tekanan dari patahan tulang atau kerusakan
jaringan sekitarnya.
b. Bengkak/edama
Edema muncul lebih cepat dikarenakan cairan serosa yang terlokalisir
pada daerah fraktur dan extravasi daerah di jaringan sekitarnya, atau
sebagai akibat trauma dan perdarahan yang mengikuti fraktur.
c. Memar/ekimosis
Merupakan perubahan warna kulit sebagai akibat dari extravasi daerah
di jaringan sekitarnya, atau akibat trauma dan perdarahan yang
mengikuti fraktur.
d. Pemendekan tulang
Pada fraktur panjang, terjadi pemendekan tulang yang sebenarnya
karena kontraksi otot yang melekat di atas dan bawah tempat fraktur.
Fragmen sering saling melengkapi satu sama lain sampai 2,5 sampai 5
cm (1 sampai 2 inci).
e. Penurunan sensasi
Terjadi karena kerusakan saraf, dan terkenanya saraf karena edema.
f. Gangguan fungsi
Terjadi karena ketidakstabilan tulang yang frkatur, nyeri atau spasme
otot. paralysis dapat terjadi karena kerusakan saraf.
g. Mobilitas abnormal
Adalah pergerakan yang terjadi pada bagian-bagian yang pada kondisi
normalnya tidak terjadi pergerakan. Ini terjadi pada fraktur tulang
panjang.
h. Krepitasi
Merupakan rasa gemeretak yang terjadi jika bagian-bagaian tulang
digerakkan.
i. Deformitas / Perubahan bentuk
Abnormalnya posisi dari tulang sebagai hasil dari kecelakaan atau
trauma dan pergerakan otot yang mendorong fragmen tulang ke posisi
abnormal, akan menyebabkan tulang kehilangan bentuk normalnya.
Tidak semua tanda dan gejala tersebut terdapat pada setiap fraktur.
Kebanyakan justru tidak ada pada fraktur linear atau fisur atau fraktur
impaksi permukaan patahan saling terdesak satu sama lain).

6. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
a. Pemeriksaan Radiologi
X-ray dilakukan untuk melihat bentuk patahan atau keadaan tulang
yang cedera. CT scan dilakukan untuk mendeteksi struktur fraktur
yang kompleks, memperlihatkan fraktur lebih jelas, mengidentifikasi
kerusakan jaringan lunak. Venogram / Arteriogram dilakukan untuk
memastikan ada tidaknya kerusakan vaskuler dan menggambarkan
arus vascularisasi.
b. Laboratorium
Lekosit turun/meningkat, eritrosit dan albumin turun, Hb dan
hematokrit cenderung rendah akibat perdarahan, Laju Endap Darah
(LED) meningkat bila kerusakan jaringan lunak sangat luas. Pada masa
penyembuhan, Ca meningkat di dalam darah, trauma otot
meningkatkan beban kreatinin untuk ginjal sehingga sering meningkat.
Profil koagulasi: perubahan dapat terjadi pada kehilangan darah,
transfusi multiple, atau cederah hati.

7. PENATALAKSANAAN MEDIS
Prinsip penanganan fraktur meliputi reduksi, imobilisasi, dan
pengembalian fungsi dan kekuatan (Hernawilly & Fatonah, 2012).
a. Rekognisi (Pengenalan)
Riwayat kecelakaan, derajat keparahan, harus jelas untuk menentukan
diagnosa dan tindakan selanjutnya. Contoh, pada tempat fraktur
tungkai akan terasa nyeri sekali dan bengkak. Kelainan bentuk yang
nyata dapat menentukan diskontinuitas integritas rangka.
b. Reduksi fraktur (setting tulang)
Mengembalikan fragmen tulang pada kesejajarannya dan rotasi
anatomis. Reduksi tertutup dilakukan dengan mengembalikan fragmen
tulang ke posisinya dengan manipulasi dan traksi manual. Reduksi
terbuka dilakukan dengan pendekatan bedah, fragmen tulang direduksi
alat fiksasi interna (ORIF) dalam bentuk pin, kawat, sekrup, plat, paku,
atau batangan logam untuk mempertahankan fragmen tulang dalam
posisinya sampai penyembuhan tulang yang solid terjadi.
c. Retensi (Imobilisasi fraktur)
Setelah fraktur direduksi fragmen tulang harus diimobilisasi atau
dipertahankan dalam posisi dan kesejajaran yang benar sampai terjadi
penyatuan. Imobilisasi dapat dilakukan dengan fiksasi eksterna
(OREF) meliputi : pembalutan, gips, bidai, traksi kontinu pin, dan
tehnik gips atau fiksator ekterna. Implan logam dapat digunakan untuk
fiksasi interna (ORIF) yang berperan sebagai bidai interna untuk
mengimobilisasi fraktur yang dilakukan dengan pembedahan.
d. Rehabilitasi (Mempertahankan dan mengembalikan fungsi)
Segala upaya diarahkan pada penyembuhan tulang dan jaringan
lunak.Latihan isometric dan setting otot diusahakan untuk
meminimalkan atrofi disuse dan meningkatkan aliran darah.Partisipasi
dalam aktivitas hidup sehari-hari diusahakan untuk memperbaiki
kemandirian fungsi dan harga diri.

Pada kasus fraktur untuk mengembalikan struktur dan fungsi


tulang secara cepat maka perlu tindakan operasi dengan imobilisasi.
Imobilisasi yang sering digunakan yaitu plate and screw. Pada kondisi
fraktur fisiologis akan diikuti proses penyambungan. Proses
penyambungan tulang dibagi dalam 5 fase (Mahartha et al., 2013).
 Fase hematoma terjadi selama 1- 3 hari. Pembuluh darah robek dan
terbentuk hematoma di sekitar dan di dalam fraktur. Tulang pada
permukaan fraktur, yang tidak mendapat pesediaan darah akan mati
sepanjang satu atau dua milimeter.
 Fase proliferasi terjadi selama 3 hari sampai 2 minggu. Dalam 8
jam setelah fraktur terdapat reaksi radang akut disertai proliferasi
dibawah periosteum dan didalam saluran medula yang tertembus
ujung fragmen dikelilingi jaringan sel yang menghubungkan
tempat fraktur. Hematoma yang membeku perlahan-lahan
diabsorbsi dan kapiler baru yang halus berkembang dalam daerah
fraktur.
 Fase pembentukan kalus terjadi selama 2-6 minggu. Pada sel yang
berkembangbiak memiliki potensi untuk menjadi kondrogenik dan
osteogenik jika diberikan tindakan yang tepat selain itu akan
membentuk tulang kartilago dan osteoklas. Massa tulang akan
menjadi tebal dengan adanya tulang dan kartilago juga osteoklas
yang disebut dengan kalus. Kalus terletak pada permukaan
periosteum dan endosteom. Terjadi selama 4 minggu, tulang mati
akan dibersihkan.
 Fase konsolidasi terjadi dalam waktu 3 minggu – 6 bulan. Tulang
fibrosa atau anyaman tulang menjadi padat jika aktivitas aktivitas
osteoklas dan osteoblastik masih berlanjut maka anyaman tulang
berubah menjadi tulang lamelar. Pada saat ini osteoblast tidak
memungkinkan untuk menerobos melalui reruntuhan garis fraktur
karena sistem ini cukup kaku. Celah-celah diantara fragmen
dengan tulang baru akan diisi oleh osteoblas. Perlu beberapa bulan
sebelum tulang cukup untuk menumpu berat badan normal.
 Fase remodelling terjadi selama 6 minggu hingga 1 tahun. Fraktur
telah dihubungkan oleh tulang yang padat, tulang yang padat
tersebut akan diresorbsi dan pembentukan tulang yang terus
menerus lamelar akan menjadi lebih tebal, dinding-dinding yang
tidak dikehendaki dibuang, dibentuk rongga sumsum dan akhirnya
akan memperoleh bentuk tulang seperti normalnya. Terjadi dalam
beberapa bulan bahkan sampai beberapa tahun.

Menurut (Hernawilly & Fatonah, 2012) ada beberapa terapi yang


digunakan untuk pada pasien fraktur antara lain:
a. Debridemen luka untuk membuang kotoran, benda asing, jaringan
yang rusak dan tulang yang nekrose
b. Memberikan toksoid tetanus
c. Membiakkan jaringan
d. Pengobatan dengan antibiotic
e. Memantau gejala osteomyelitis, tetanus, gangrene gas
f. Menutup luka bila tidak ada gejala infeksi
g. Reduksi fraktur
h. Imobilisasi fraktur
i. Kompres dingin boleh dilaksanakan untuk mencegah perdarahan,
edema, dan nyeri
j. Obat penawar nyeri.

8. KOMPLIKASI
a. Komplikasi Awal
1) Kerusakan Arteri
Pecahnya arteri karena trauma bisa ditandai dengan tidak adanya
nadi, CRT menurun, cyanosis bagian distal, hematoma yang lebar,
dan dingin pada ekstrimitas yang disebabkan oleh tindakan
emergensi splinting, perubahan posisi pada yang sakit, tindakan
reduksi, dan pembedahan.
2) Kompartement Syndrom
Sindrom kompartemen berakibat kehilangan fungsi ekstremitas
permanen jika tidak ditangani segera. Sindrom kompartemen
merupakan masalah yang terjadi saat perfusi jaringan dalam otor
kurang dari yang dibutuhkan untuk kehidupan jaringan. Biasanya
pasien akan merasa nyeri pada saat bergerak. Ada 5 tanda
syndrome kompartemen, yaitu : pain (nyeri), pallor (pucat),
pulsesness (tidak ada nadi), parestesia (rasa kesemutan), dan
paralysi (kelemahan sekitar lokasi terjadinya syndrome
kompartemen)
3) Fat Embolism Syndrom
Merupakan keadaan pulmonari akut dan dapat menyebabkan
kondisi fatal. Hal ini terjadi ketika gelembung – gelembung lemak
terlepas dari sumsum tulang dan mengelilingi jaringan yang rusak.
Gelombang lemak ini akan melewati sirkulasi dan dapat
menyebabkan oklusi pada pembuluh – pembuluh darah pulmonary
yang menyebabkan sukar bernafas. Gejala dari sindrom emboli
lemak mencakup dyspnea, perubahan dalam status mental (gaduh,
gelisah, marah, bingung, stupor), tachycardia, demam, ruam kulit
ptechie.
4) Infeksi
Sistem pertahanan tubuh rusak bila ada trauma pada jaringan. Pada
trauma orthopedic infeksi dimulai pada kulit (superficial) dan
masuk ke dalam. Ini biasanya terjadi pada kasus fraktur terbuka,
tapi bisa juga karena penggunaan bahan lain dalam pembedahan
seperti pin dan plat.
5) Avaskuler Nekrosis
Avaskuler Nekrosis (AVN) terjadi karena aliran darah ke tulang
rusak atau terganggu yang bisa menyebabkan nekrosis tulang dan
diawali dengan adanya Volkman’s Ischemia. Nekrosis avaskular
dapat terjadi saat suplai darah ke tulang kurang baik. Hal ini paling
sering mengenai fraktur intrascapular femur (yaitu kepala dan
leher), saat kepala femur berputar atau keluar dari sendi dan
menghalangi suplai darah. Karena nekrosis avaskular mencakup
proses yang terjadi dalam periode waktu yang lama, pasien
mungkin tidak akan merasakan gejalanya sampai dia keluar dari
rumah sakit. Oleh karena itu, edukasi pada pasien merupakan hal
yang penting. Perawat harus menyuruh pasien supaya melaporkan
nyeri yang bersifat intermiten atau nyeri yang menetap pada saat
menahan beban
6) Shock
Shock terjadi karena kehilangan banyak darah dan meningkatnya
permeabilitas kapiler yang bisa menyebabkan menurunnya
oksigenasi. Ini biasanya terjadi pada fraktur.
7) Osteomyelitis
Adalah infeksi dari jaringan tulang yang mencakup sumsum dan
korteks tulang dapat berupa exogenous (infeksi masuk dari luar
tubuh) atau hematogenous (infeksi yang berasal dari dalam tubuh).
Patogen dapat masuk melalui luka fraktur terbuka, luka tembus,
atau selama operasi, luka tembak, fraktur tulang panjang, fraktur
terbuka yang terlihat tulangnya, luka amputasi karena trauma dan
fraktur – fraktur dengan sindrom kompartemen atau luka vaskular
memiliki risiko osteomyelitis yang lebih besar
b. Komplikasi Dalam Waktu Lama
1) Delayed Union (Penyatuan tertunda)
Delayed Union merupakan kegagalan fraktur berkonsolidasi sesuai
dengan waktu yang dibutuhkan tulang untuk menyambung. Ini
disebabkan karena penurunan supai darah ke tulang.
2) Non Union (tak menyatu)
Penyatuan tulang tidak terjadi, cacat diisi oleh jaringan fibrosa.
Kadang – kadang dapat terbentuk sendi palsu pada tempat ini.
Faktor – faktor yang dapat menyebabkan non union adalah tidak
adanya imobilisasi, interposisi jaringan lunak, pemisahan lebar dari
fragmen contohnya patella dan fraktur yang bersifat patologis..
3) Malunion
Kelainan penyatuan tulang karena penyerasian yang buruk
menimbulkan deformitas, angulasi atau pergeseran.

B. KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN


1. PENGKAJIAN KEPERAWATAN
a. Identitas Klien
Kaji nama, umur, jenis kelamin, alamat, agama, pekerjaan,
kebangsaan, suku, pendidikan, no register, diagnosa medis.
b. Keluhan Utama
Kaji keluhan pasien yang menyebabkan ia datang ke pelayanan
kesehatan. Biasanya klien dengan fraktur akan mengalami nyeri saat
beraktivitas / mobilisasi pada daerah fraktur tersebut.
c. Riwayat Penyakit
1) Riwayat Penyakit Sekarang.
Menggambarkan keluhan utama klien, kaji tentang proses
perjalanan penyakit sampai timbulnya keluhan, faktor apa saja
yang memperberat dan meringankan keluhan. Pada klien fraktur /
patah tulang dapat disebabkan oleh trauma / kecelakaan,
degeneratif dan pathologis yang didahului dengan perdarahan,
kerusakan jaringan sekitar yang mengakibatkan nyeri, bengkak,
kebiruan, pucat / perubahan warna kulit dan kesemutan.
2) Riwayat Penyakit Dahulu.
Tanyakan masalah kesehatan yang lalu yang relavan baik yang
berkaitan langsung dengan penyakit sekarang maupun yang tidak
ada kaitannya. Kaji apakah pada klien fraktur pernah mengalami
kejadian patah tulang atau tidak sebelumnya dan ada / tidaknya
klien mengalami pembedahan perbaikan dan pernah menderita
osteoporosis sebelumnya.
3) Riwayat Penyakit Keluarga.
Kaji apakah pada keluarga klien ada / tidak yang menderita
osteoporosis, arthritis dan tuberkolosis atau penyakit lain yang
sifatnya menurun dan menular.
d. Pola Fungsi Kesehatan.
1) Pola Persepsi dan Pemeliharaan Kesehatan
Pada kasus fraktur akan timbul ketakutan akan terjadinya
kecacatan pada dirinya dan harus menjalani penatalaksanaan
kesehatan untuk membantu penyembuhan tulangnya. Selain itu,
pengkajian juga meliputi kebiasaan hidup klien seperti penggunaan
obat steroid yang dapat mengganggu metabolisme kalsium,
pengkonsumsian alkohol yang bisa mengganggu keseimbangannya
dan apakah klien melakukan olahraga atau tidak.
2) Pola Nutrisi dan Metabolisme
Kaji frekuensi/porsi makan, jenis makanan, tinggi badan, berat
badan, serta nafsu makan. Pada umumnya tidak akan mengalami
gangguan penurunan nafsu makan, meskipun menu berubah.
3) Pola Eliminasi
Untuk kasus fraktur humerus tidak ada gangguan pada pola
eliminasi, tapi walaupun begitu perlu juga dikaji frekuensi,
konsistensi, warna serta bau feces pada pola eliminasi
alvi. Sedangkan pada pola eliminasi uri dikaji frekuensi,
kepekatannya, warna, bau, dan jumlah. Pada kedua pola ini juga
dikaji ada kesulitan atau tidak
4) Pola Tidur dan Istirahat
Semua klien fraktur timbul rasa nyeri, keterbatasan gerak, sehingga
hal ini dapat mengganggu pola dan kebutuhan tidur klien.Selain itu
juga, pengkajian dilaksanakan pada lamanya tidur, suasana
lingkungan, kebiasaan tidur, dan kesulitan tidur serta penggunaan
obat tidur.
5) Pola Aktivitas dan Latihan
Karena timbulnya nyeri, keterbatasan gerak, maka semua bentuk
kegiatan klien menjadi berkurang dan kebutuhan klien perlu
banyak dibantu oleh orang lain. Hal lain yang perlu dikaji adalah
bentuk aktivitas klien terutama pekerjaan klien. Karena ada
beberapa bentuk pekerjaan beresiko untuk terjadinya fraktur
dibanding pekerjaan yang lain
6) Pola Hubungan Peran
Pola hubungan dan peran akan mengalami gangguan karena
keterbatasan dalam beraktivitas.
7) Pola Persepsi dan Konsep Diri
Kaji adanya ketakutan akan kecacatan akibat frakturnya, rasa
cemas, rasa ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas secara
optimal, dan pandangan terhadap dirinya yang salah (gangguan
body image).
8) Pola Sensori dan Kognitif
Pada klien fraktur daya rabanya berkurang terutama pada bagian
distal fraktur, sedang pada indera yang lain tidak timbul gangguan.
Begitu juga pada kognitifnya tidak mengalami gangguan. Selain itu
juga, timbul rasa nyeri akibat fraktur
9) Pola Stres Adaptasi
Masalah fraktur femur dapat menjadi stres tersendiri bagi klien.
Dalam hal ini pola penanggulangan stress sangat tergantung pada
sistem mekanisme klien itu sendiri misalnya pergi kerumah sakit
untuk dilakukan perawatan / pemasangan traksi. Kaji cara pasien
untuk menangani stress yang dihadapi.
10) Pola reproduksi dan seksual
Bila klien sudah berkeluarga dan mempunyai anak maka akan
mengalami gangguan pola seksual dan reproduksi, jika klien belum
berkeluarga klein tidak akan mengalami gangguan. Selain itu juga,
perlu dikaji status perkawinannya termasuk jumlah anak, lama
perkawinannya
11) Pola tata nilai dan kepercayaan
Untuk klien fraktur tidak dapat melaksanakan kebutuhan beribadah
dengan baik terutama frekuensi dan konsentrasi. Hal ini bisa
disebabkan karena nyeri dan keterbatasan gerak klien.
e. Pemeriksaan Fisik
1) Keadaan umum: kesadaran, tanda – tanda vital, sikap, keluhan
nyeri
2) Kepala: bentuk, keadaan rambut dan kepala, adanya kelainan atau
lesi
3) Mata: bentuk bola mata, pergerakan, keadaan pupil,
konjungtiva,dll
4) Hidung: adanya secret, pergerakan cuping hidung, adanya suara
napas tambahan, dll
5) Telinga: kebersihan, keadaan alat pendengaran
6) Mulut: kebersihan daerah sekitar mulut, keadaan selaput lendir,
keadaan gigi, keadaan lidah
7) Leher: pembesaran kelenjar/pembuluh darah, kaku kuduk,
pergerakan leher
8) Thoraks: bentuk dada, irama pernapasan, tarikan otot bantu
pernapasan, adanya suara napas tambahan
9) Jantung: bunyi, pembesaran
10) Abdomen: bentuk, pembesaran organ, keadaan pusat, nyeri pada
perabaan, distensi
11) Ekstremitas: kelainan bentuk, pergerakan, reflex lutut, adanya
edema
12) Alat kelamin : Kebersihan, kelainan
13) Anus : kebersihan, kelainan

2. DIAGNOSIS KEPERAWATAN
Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan integritas
struktur tulang yang dibuktikan dengan mengeluh sulit menggerakan
ekstremitas, kekuatan otot menurun, rentang gerak (ROM) menurun, nyeri
saat bergerak, enggan melakukan pergerakan, merasa cemas saat bergerak,
sendi kaku, gerakan tidak terkoordinasi, gerakan terbatas, fisik lemah (Tim
Pokja SDKI DPP PPNI, 2017)
3. INTERVENSI KEPERAWATAN
Intervensi perawat dibuat menurut (Tim Pokja SIKI DPP PPNI, 2018) & (Tim Pokja SLKI DPP PPNI, 2019)
Diagnosa Keperawatan Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi Rasional
No
(SDKI) (SLKI) (SIKI)
1 Gangguan Mobilitas Fisik Dukungan Ambulasi Dukungan Ambulasi
Penyebab Setelah dilakukan asuhan Observasi Mendukung kekuatan, daya
 Kerusakan integritas keperawatan selama … x …  Identifikasi adanya nyeri tahan dan fleksibelitas sendi
struktur tulang jam, maka mobilitas fisik atau keluhan fisik lainnya dan otot sehingga pasien
 Perubahan metabolism meningkat dengan kriteria  Identifikasi toleransi fisik dapat menunjukkan tanda
 Ketidakbugaran fisik hasil: melakukan ambulasi peningkatan toleransi

 Penurunan kendali otor Mobilitas Fisik  Monitor frekuensi jantung aktivitas.


 Penurunan massa otot  Pergerakan dan tekanan darah sebelum
ekstremitas memulai ambulasi
 Penurunan kekuatan
meningkat  Monitor kondisi umum
otot
 Kekuatan otot selama melakukan
 Keterlambatan
meningkat ambulasi
perkembangan
 Rentang gerak Terapeutik
 Kekakuan sendi
(ROM) meningkat  Fasilitasi aktivitas
 Kontraktur
 Nyeri menurun ambulasi dengan alat bantu
 Malnutrisi
 Kecemasan menurun (mis, tongkat, kruk)
 Gangguan
musculoskeletal  Gerakan tidak  Fasilitasi melakukan
 Gangguan terkoordinasi mobilisasi fisik, jika perlu
neuromuscular menurun  Libatkan keluarga untuk
 Indeks masa tubuh  Gerakan terbatas membantu pasien dalam
diatas persentil ke-75 menurun meningkatkan ambulasi
sesuai usia  Kelemahan fisik Edukasi
 Efek agen farmakologis menurun  Jelaskan tujuan dan
 Program pembatasan prosedur ambulasi
gerak  Anjurkan melakukan
 Nyeri ambulasi dini
 Kurang terpapar  Ajarkan ambulasi
informasi tentang sederhana yang harus
aktivitas fisik dilakukan (mis, berjalan
 Kecemasan dari tempat tidur ke kursi

 Gangguan kognitif roda, berjalan dari tempat

 Keengganan melakukan tidur ke kamar mandi,

pergerakan berjalan sesuai toleransi)


Dukungan Mobilisasi
 Gangguan sensori
Dukungan Mobilisasi Mendukung kekuatan, daya
persepsi
Observasi tahan dan fleksibelitas sendi
Gejala dan Tanda Mayor  Identifikasi adanya nyeri dan otot sehingga pasien
 Mengeluh sulit atau keluhan fisik lainnya dapat menunjukkan tanda
menggerakkan  Identifikasi toleransi fiisk peningkatan toleransi
ekstremitas melakukan pergerakan aktivitas.
 Kekuatan otot menurun  Monitor frekuensi jantung
 Rentang gerak ROM dan tekanna darah sebelum
menurun memulai mobilisasi
 Monitor kondisi umum
Gejala dan Tanda Minor selama melakukan
 Nyeri saat bergerak mobilisasi
 Enggan melakukan
pergerakan Terapeutik
 Merasa cemas saat  Fasilitasi aktivitas
bergerak mobilisasi dengan alat
 Sendi kaku bantu (mis, pagar tempat

 Gerakan tidak tidur)

terkoordinasi  Fasilitasi melakukan

 Fisik lemah pergerakan, jika perlu


 Libatkan keluarga untuk
membantu pasien dalam
meningkatkan pergerakan

Edukasi
 Jelaskan tujuan dan
prosedur mobilisasi
 Anjurkan melakukan
mobilisasi dini
 Ajarkan mobilisasi
sederhana yang harus
dilakukan (mis, duduk di
tempat tidur, duduk di sisi
tempat tidur, pindah dari
tempat tidur ke kursi)
DAFTAR PUSTAKA

Bachtiar, S. M. (2018). PENERAPAN ASKEP PADA PASIEN NY. N DENGAN


POST OPERASI FRAKTUR FEMUR DEXTRA DALAM PEMENUHAN
KEBUTUHAN AKTIVITAS. In Foreign Affairs (Vol. 91, Issue 5, pp. 1689–
1699). https://doi.org/10.1017/CBO9781107415324.004
Brunner & Suddarth. (2002). Keperawatan medikal bedah. Jakarta: EGC.
Hernawilly, & Fatonah, S. (2012). Faktor Yang Berkontribusi Pada Pelaksanaan
Ambulasi Dini Pasien Fraktur Ekstremitas Bawah. Jurnal Keperawatan,
VIII(2), 124–131. https://www.google.com/url?
sa=t&source=web&rct=j&url=https://ejurnal.poltekkes-
tjk.ac.id/index.php/JKEP/article/view/153/145&ved=2ahUKEwj40oTcycbo
AhWp8HMBHRhhC6QQFjAKegQIARAB&usg=AOvVaw1UUo-
pSD7CaAOIt5c5EbsD
Mahartha, G. R. A., Maliawan, S., Kawiyana, K. S., & Sanglah, S. U. P. (2013).
Manajemen Fraktur pada Trauma Muskuloskeletal. Bali: Fakultas
Kedokteran Universitas Udayana.
Tim Pokja SDKI DPP PPNI. (2017). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia.
Tim Pokja SIKI DPP PPNI. (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia.
Tim Pokja SLKI DPP PPNI. (2019). Standar Luaran Keperawatan Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai