LAPORAN KASUS
Laporan Kasus ini Dibuat Sebagai Laporan Hasil Kegiatan Program Internship Dokter
Indonesia di RS
Disusun Oleh:
dr.
Pembimbing:
dr.
1
BAB 1
Tinjauan Pustaka
1.1 Definisi
Hipospadia dapat didefinisikan sebagai adanya muara uretra yang terletak di ventral atau
proksimal dari lokasi yang seharusnya. Kelainan terbentuk pada masa embrional karena
adanya gangguan pada masa perkembangan alat kelamin dan sering dikaitkan dengan
gangguan pembentukan seks primer maupun gangguan aktivitas seksual saat dewasa
(Snodgrass & Bush, 2016).
Hipospadia merupakan salah satu kelainan kongenital saluran kemih. Pada hipospadia
terdapat gangguan perkembangan uretra yang mana meatus uretra eksternus terletak di
permukaan ventral penis dan lebih ke proksimal dari tempatnya yang normal pada ujung
penis. Pada hipospadia didapatkan tiga kelainan anatomi dari penis yaitu meatus uretra
terletak di ventral, terdapat korde, dan distribusi kulit penis di ventral lebih sedikit dibanding
di distal. (Hapsari, 2012)
Menurut studi yang dilakukan di Amerika Serikat hipospadia sebagian besar pada anak kulit
putih.9 Terdapat banyak klasifikasi pada hipospadia. Hipospadia dibagi menurut posisi
meatus dan derajat kelengkungan penis. Meatus uretra eksternal bisa berlokasi dari glans
penis hingga perineum. Makin proksimal letak meatus, makin berat kelainannya dan makin
jarang frekuensinya. (Hapsari, 2012)
1
Penyebab hipospadia sangat bervariasi dan dipengaruhi banyak faktor, namun belum
ditemukan penyebab pasti dari kelainan ini. Beberapa kemungkinan dikemukakan oleh para
peneliti mengenai etiologi hipospadia. Faktor risiko yang mempengaruhi terjadinya
hipospadia yaitu :
Genetik merupakan faktor risiko yang diduga kuat mempengaruhi proses terjadinya
hipospadia. Penelitian menyebutkan bahwa anak laki-laki yang memiliki saudara yang
mengalami hipospadia beresiko 13,4 kali lebih besar mengalami hipospadia,
sedangkan anak yang memiliki ayah dengan riwayat hipospadia beresiko 10,4 kali
mengalami hal yang sama (Van der Zaden et al., 2012). Selama masa embrional,
kegagalan dalam pembentukan genital folds dan penyatuanya diatas sinus urogenital
juga dapat menyebabkan terjadinya hipospadia. Biasanya semakin berat derajat
hipospadia ini, semakin besar terdapat kelainan yang mendasari. Kelainan kromosom
dan ambigu genitalia seperti hermafrodit maupun pseudohermafrodit merupakan
kelainan yang kerap kali ditemukan bersamaan dengan hipospadia (Krisna &
Maulana, 2017).
b. Faktor hormonal
Perkembangan genitalia pada laki laki merupakan proses yang kompleks dan
melibatkan berbagai gen serta interaksi hormon yang ada pada ibu hamil. Proses
pembentukan saluran uretra ini terjadi pada minggu ke-6 trimester pertama dan bersifat
androgendependent, sehingga ketidak normalan metabolisme androgen seperti
defisiensi reseptor androgen di penis, kegagalan konversi dari testosteron ke
dihidrotestoteron, serta penurunan ikatan antara dihidrostestoteron dengan reseptor
androgen mungkin dapat menyebabkan terjadinya hipospadia (Noegroho et al., 2018).
c. Faktor Lingkungan
Faktor lingkungan dicurigai sebagai salah satu faktor penyebab hipospadia seperti
terdapat paparan estrogen atau progestin pada ibu hamil di awal kehamilan, paparan
estrogen tersebut biasanya terdapat pada pestisida yang menempel pada buah,
sayuran, tanaman, dan obat obatan yang dikonsumsi oleh ibu hamil. Pada ibu hamil
2
yang mengkonsumsi obat-obatan anti epilepsi seperti asam valporat juga diduga
meningkatkan resiko hipospadia tetapi untuk pil kontrasepsi yang mengandung
hormon estrogen dan progestin diketahui tidak menyebabkan hipospadia (Krisna &
Maulana, 2017).
d. Lain-lain
Pada anak laki-laki yang lahir dengan program Intra-cystolasmic sperm Injection
(ICSI) atau In Vitro Fertilization (IVF) memiliki insiden yang tinggi pada
hipospadia (Krisna & Maulana, 2017). Selain itu faktor ibu yang hamil dengan usia
terlalu muda atau terlalu tua juga sangat berpengaruh, diketahui bayi yang lahir
dari ibu yang berusia >35 tahun beresiko mengalami hipospadia berat. Kelahiran
prematur serta berat bayi lahir rendah, bayi kembar juga sering dikaitkan dengan
kejadian hipospadia (Widjajana, 2017).
Gejala yang timbul bervariasi sesuai dengan derajat kalainan. Secara umum jarang
ditemukan adanya gangguan fungsi, namun cenderung berkaitan dengan masalah
kosmetik karena letak muara uretra pada bagian ventral penis. Biasanya juga
ditemukan kulit luar bagian ventral lebih tipis atau bahkan tidak ada, dimana kulit luar
di bagian dorsal menebal. Pada hipospadia sering ditemukan adanya chorda
(Sigumonrong, 2016).
Chorda adalah adanya pembengkokan menuju arah ventral dari penis. Hal ini
disebabkan oleh karena adanya atrofi dari corpus spongiosum, fibrosis dari tunica
albuginea dan facia di atas tunica, pengencangan kulit ventral dan fasia buck,
perlengketan antara uretra plate ke corpus cavernosa. Keluhan yang mungkin
3
ditimbulkan adalah adanya pancaran urin yang lemah ketika berkemih, nyeri Ketika
ereksi, dan gangguan dalam berhubungan seksual. Hipospadia sangat sering
ditemukan bersamaan dengan cryptorchismus dan hernia inguinalis sehingga
pemeriksaan adanya testis tidak boleh terlewatkan (Krisna & Maulana, 2017).
1.3 Klasifikasi
4
c. Tipe Posterior
Pada tipe posterior, biasanya akan mengakibatkan terganggunya pertumbuhan penis,
seringkali disertai dengan skrotum bifida, meatus uretra terbuka lebar dan umumnya
testis tidak turun. Yang termasuk hipospadia posterior dianataranya yaitu hipospadia
tipe perenial, lubang kencing berada di antara anus dan skrotum, dan hipospadia tipe
scrotal, lubang kencing berada tepat di bagian depan skrotum.
5
Gejala lainnya yang sering dikeluhkan penderita adalah kesulitan dalam mengatur
aliran air kencing saat miksi dan pada penderita dewasa mengalami gangguan
hubungan seksual. Berikut ini gejala klinis hipospadia.
a. Muara uretra eksterna tidak berada di ujung glans penis;
b. Prepusium tidak didapatkan di bawah penis dan menumpuk di bagian dorsal penis;
c. Adanya chordee yang nampak dengan ciri adanya kurvatura penis terutama saat
ereksi; dan
d. Tidak adanya chordee, jika letak meatus pada dasar dari glans penis (McAninch
dalam Tanagho et al, 2008).
1.4 Diagnosis
Diagnosis hipospadia secara jelas dapat ditemukan pada pemeriksaan inspeksi. Pada
beberapa kasus, hipospadia dapat didiagnosis pada pemeriksaan ultrasound prenatal.
Jika tidak dapat teridentifikasi pada masa intrauterin maka dapat diidentifikasi setelah
bayi lahir. Kasus tertentu dapat diketahui saat penderita dewasa, yaitu penderita
mengeluh adanya gangguan mengarahkan pancaran urin dan gangguan seksual.
Hipospadia tipe perineal dan penoscrotal menyebabkan penderita harus miksi dengan
posisi duduk. Gangguan seksual yang mereka alami karena adanya chordee pada
penisnya (McAninch dalam Tanagho et al, 2008).
1.5 Penatalaksanaan
Terapi hipospadia penting dilakukan untuk memperbaiki secara fungsi dan estetika.
Indikasi terapi hipospadia secara fungsional, yaitu meatus yang terletak proksimal,
aliran urin yang keluar dari ventral atau aliran urin yang menyemprot, stenosis meatus,
dan kurvatura penis. Sementara, indikasi terapihipospadia secara estetika dan juga
dapat dihubungkan dengan keadaan psikologis orang tua pasien atau masa depan pasien
itu sendiri, yaitu lokasi meatus uretra yang abnormal (Tekgül et al., 2015).
6
penis sehingga meatus berada di ujung glans dan memperbaiki keadaan fungsional,
yaitu aliran urin dan koitus yang normal. Mayoritas kasus hipospadia ditangani dengan
operasi satu tahap, namun jika hipospadia yang dialami parah dapat dilakukan dengan
dua tahap atau lebih (Chung et al., 2012).
1.6 Komplikasi
Komplikasi awal (immadiate complication) terjadi dalam kurun waktu enam bulan
pasca operasi atau saat enam bulan pertama follow up (Prat et al.,2012). Komplikasi
awal yang dapat terjadi sebagai berikut.
a. Perdarahan pasca operasi jarang terjadi dam biasanya dapat diatasi dengan bebat
tekan. Jika terjadi perdarahan maka harus ditinjau ulang untuk mengeluarkan
hematoma dan mengidentifikasi serta mengatasi sumber perdarahan;
b. Infeksi, jika dicurigai terjadi infeksi, segera lakukan debridement, insisi, drainase,
dan kultur. Kemudian berikan antibiotik sesuai kuman yang menyebabkan infeksi.
Infeksi yang berat dapat menyebabkan kegagalan secara menyeluruh dari operasi
perbaikan hipospadia;
c. Edema lokal dan bintik perdarahan umumnya dapat terjadi segera pasca operasi
tetapi biasanya tidak menimbukan gangguan yang berarti;
d. Jahitan yang terlepas; dan
e. Nekrosis flap (Mouriquand dalam Gearhart et al., 2010).
Komplikasi lanjut (late complication) terjadi lebih dari enam bulan pasca operasi atau
setelah enam bulan pertama follow up ( Prat et al., 2012). Komplikasi lanjut menurut
Yildiz et al. (2013), yaitu fistula uretroktaneus (6,2 %), meatal stenosis (3,58%), glans
7
dehiscence (0,97%), dan urethral stenosis (0,65%).
Secara umum, fistula dengan diameter <= 4 mm dapat diperbaiki dengan simple
closure dengan tanpa gangguan pada diameternya. Bagaimanapun juga, hasil yang
memuaskan hanya didapatkan pada fistula di batang penis. Kemudian, fistula ukuran
kecil dapat diklasifikasikan berdasarkan letaknya menjadi
8
(1) koronal, yang harus diperbaiki dengan teknik flap kulit karena memiliki tinggak
rekurensi yang cukup tinggi setelah simple closure. Fistula yang dekat dengan meatus
dapat berubah menjadi hipospadia dan digunakan perbaikan teknik meatal-based flap
secara lengkap;
(2) fistula pada batang penis, dimana ketika fistula tersebut kecil idealnya diperbaiki
dengan simple closure. Derajat kelenturan kulit dan vaskularisasi yang baik dapat
mendukung proses penyembuhan yang optimal pada perbaikan sederhana ini
(3) fistula multiple ukuran kecil, yang harus didiseksi dan diubah menjadi satu fistula
besar jika mereka berdekatan satu dengan yang lain. Jika terdapat suatu jarak yang
terlihat antar fistula, setiap fistula diperbaiki secara terpisah tergantuk ukuran dan
tempat fistulanya.
Fistula ukuran besar (> 4 mm), diperbaiki menggunakan flap kulit. Perbaikan ini
biasanya terdiri atas dua tahap :
(1) pembuatan flap kulit dengan vaskularisasi baik untuk penutupan uretra,
menyediakan diameter lumen uretra; dan (2) penutup kulit dari batang penis pada
daerah perbaikan tersebut. Untuk fistula yang besar, dengan kulit penis yang adekuat,
defek fistula pada dinding uretra ditutup dengan flap local (trap-door) atau pedicle
skin patch. Kemudian uretra yang telah diperbaiki dilindungi oleh flap kulit penis
yang lain yang dapat didiseksi dan diperluas (advancement flap) atau dimobilisasi
secara rotasional (rotational flap). Teknik pants over vest dan double-skin flap
membutuhkan sejumlah sedang kulit penis. Defek uretra yang telah diperbaiki
dilindungi oleh dua lapisan kulit, salah satunya dibuat de-epitelisasi untuk
memastikan penutupan yang sempurna. Fistula besar dengan kulit penis yang
inadekuat merupakan kasus yang sulit; flap kulit penis dapat digunakan hanya untuk
satu tahap, baik untuk menutup dinding uretra maupun untuk melindungi fistula yang
sudah diperbaiki ketika graft bebas digunakan untuk menutup uretra. Ketika flap kulit
penis digunakan untuk menutup defek uretra, pelindung tersebut bisa menggunakan
flap rotasional dari kulit skrotum. Alternatif lain, defek dinding uretra dapat ditutup
dengan menggunakan mukosa bukalis, mukosa buli-buli, atau matriks kolagen
9
submukosa pada buli-buli, dan graft ini dilindungi oleh kulit penis dengan
vaskularisasi baik.
(Elbakry, 2001)
BAB 2
Data Klinis
2.1 Identitas Pasien
Nama : An. A
Jenis kelamin : Laki-laki
Usia : 13 tahun
Pekerjaan : Pelajar
Status Pernikahan : Belum menikah
Alamat :
Agama :
2.2 Anamnesis
Keluhan Utama: Kencing menetes dari bawah lubang kencing
Pasien dibawa ke RS oleh orang tua pasien karena kencing anaknya masih menetes, pasien
sudah pernah melakukan operasi uretroplasti untuk kondisi hipospadia yang dalaminya
sebanyak 2x sebelumnya yaitu pada tahun X, dan tahun X.
awalnya pasien diketahui memiliki kondisi hipospadia pada usia 9 tahun, kini pasien ingin
melakukan operasi yang ke 3 dikarenakan buang air kecil dirasa masih menetes dari bawah
lubang. Keluhan ini timbul pasca dilakukan operasi chordectomy & urethroplasty pada bulan
Mei 2016.
Sejak lahir pasien memiliki penis yang bengkok dan lubang kencing tidak pada ujung
penis, melainkan pada pangkal penis dekat dengan buah zakar. Pasien kemudian diawa ke
10
Poli Urologi RS X untuk menjalankan operasi pertama, dan dilanjutkan operasi tahap ke 2 di
RS. Pasien dan keluarga pasien sudah dijelaskan tentang penyakit pasien dan rencana
tindakan yang akan dilakukan, yaitu pasien mengalami hipospadia dan akan dilakukan
operasi untuk meluruskan penisnya (chordectomy) dan pembuatan lubang kencing
(urethroplasty).
Pasca operasi tersebut kencing pasien keluar dari dua lubang yaitu lubang kencing
dan lubang di bawahnya. pasien merasa sudah bisa kencing dengan lancar dari lubang
kencing bagian atas (yang berada pada glan penis), namun pasien merasa masih ada kencing
yang keluar menetes pada lubang yang berada di bawahnya di tempat awal. Diameter lubang
hanya sekitar ± 2 mm. Pasien dapat buang air kecil secara spontan. Pancaran urin besar dan
kuat. Pasien tidak pernah mengalami keluhan, hanya menetes tiap kali buang air kecil.
Riwayat Pengobatan:
Tidak pernah mengkonsumsi obat dalam jangka waktu yang lama. Pasien sudah pernah
menjalani sirkumsisi dan 2x uretroplasti
11
● TTV :
a. Tekanan Darah : 103/63 mmHg
b. Nadi : 89x/menit
c. Pernafasan : 18x/menit
d. Suhu : 36.9 ⁰
Pemeriksaan Fisik Umum:
● Kepala
Normochepal, rambut warna hitam, distribusi merata, wajah simetris
● Mata
Mata tidak cekung, konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), kornea jernih, pupil
bulat, isokor dengan diameter 3 mm/3mm, reflex cahaya langsung (+/+), reflex cahaya
tidak langsung (+/+)
● Hidung
Simetris, deviasi septum (-), sekret (-/-), mimisan (-/-), lesi (-)
● Telinga
Bentuk normal, liang telinga lapang, sekret (-/-), hiperemis (-/-), lesi (-)
● Mulut
Bibir tidak sianotik, lidah kotor (-), gusi berdarah (-), tonsil T1-T1 tidak hiperemis,
faring tidak hiperemis
● Leher
KGB tidak teraba pembesaran, trakea ditengah
● Thoraks
1. Paru
❖ Inspeksi : Tidak ada retraksi, simetris kanan kiri, nampak lesi papul
eritema multiple tersebar diskret di region dada, ukuran milier
❖ Palpasi : Stem fremitus simetris kanan kiri
❖ Perkusi : Sonor dikedua lapang paru
❖ Auskultasi : Vesikuler (+/+), wheezing (-/-), ronkhi (-/-)
12
2. Jantung
❖ Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak
❖ Palpasi : Ictus cordis teraba di ICS V linea midclavicularis sinistra
❖ Perkusi : batas jantung dalam batas normal
❖ Auskultasi : Bunyi Jantung 1 dan II regular, murmur (-), gallop (-)
● Abdomen
❖ Inspeksi : Supel, lesi (-)
❖ Auskultasi : Bising usus (+) normal
❖ Perkusi : Timpani
❖ Palpasi : Tidak ada nyeri tekan
● Ekstremitas
Akral dingin(-/-), edema (-/-), CRT < 2”
Genitalia eksterna : (status lokalis)
Anal-perianal : fistula (-), hemmoroid (-), tanda-tanda abses (-)
Status Urologis:
- Regio flank : flank pain -/- massa -/-
- Regio suprapubik : VU kesan kosong, massa (-), nyeri (-)
- Regio genitalia eksterna : (status lokalis)
13
Status Lokalis Genitalia Externa
- Inspeksi: curve penis (-), sirkumsisi (+), OUE (+) letak normal, terdapat fistula
uretrokutan regio mid line ventral penis ∅ 2mm, tanda peradangan (-).
- Palpasi: Nyeri tekan glands dan corpus penis (-), pembesaran KGB inguinal (-/-),
testis teraba (+/+).
14
BAB III
Pembahasan
3.1 Pembahasan
An. A usia 13 tahun datang dengan keluhan utama terdapat lubang di bawah lubang
kencing. Setelah dilakukan anamnesa dan pemeriksaan fisik pasien didiagnosa fistula
uretrokutan post urethroplasty ec hypospadia penoscrotal.
diagnosa dapat ditegakan berdasarkan anamnesa dan pmeriksaan fisik yaitu didapatkan
kencing menetes dari bawah lubang kencing, dengan riwayat muara saluran kencing
berada di penis bagian bawah dekat buah zakar serta penis bengkok, riwayat
urethroplasty satu minggu lalu dan 2x uretroplasti lainnya pada tahun X
Dari pemeriksaan fisik muara saluran kencing normal, tidak terdapat chordee, terdapat
fistula uretrokutan mid line ventral penis +-1 mm, dimana hal ini sangat sesuai dengan
teori yang sudah dipaparkan di atas, bahwa jika komplikasi utama tersering yang dapat
terjadi pada pasien post uretropalsti adalah fistula uretrokutan. Angka kejadian pada
fistula uretrokutan bervariasi antara 4% sampai 20% dengan penyebab pasti yang
belum di ketahui. Studi yang dilakukan di Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo
didapatkan sebanyak 12 (13,92%) pasien mengalami fistula uretrokutaneus pasca
operasi uretroplasti dari total 116 pasien yang menderita hipospadia. Penelitian lain
yang juga melaporkan insiden fistula uretrokutaneus adalah penelitian yang dilakukan
oleh Korean Urological Association yang mendapatkan insiden fistula uretrokutaneus
berdasarkan tipe: hipopasdia tipe anterior (30.2%), hipospadia tipe medius (34,9%),
hipospadia tipe posterior (34,9%). (Yassin et al, 2011)
15
pada penelitian yang juga telah dilakukan oleh Wendy et al, menunjukan bahwa adanya
korelasi antara tipe hipospadia dengan kejadian fistula uretrokutan yang dapat dilihat
pada tabel setelah dilakukan uji analisis, didapatkan nilai dari Chi-Square adalah 16,162
dan p-value<0,0001 sehingga dapat dinyatakan terdapat hubungan yang signifikan
antara insiden fistula uretrokutaneus dengan tipe hipospadia pasca operasi uretroplasti.
(Wendy et al 2015)
Hal ini juga mendukung data yang dimiliki oeh pasien, dimana jenis hipospadia yang
dialami pasien adalah tipe penoscrotal yang termasuk dalam kategori posterior, data
lain juga menyebutkan bahwa Insiden fistula uretrokutaneus yang lebih tinggi pada
hipospadia tipe posterior mungkin karena adanya resiko devaskularisasi uretra yang
baru (neouretra) yaitu berkurangnya aliran dan suplai darah sehingga dapat
menimbulkan iskemi dan nekrosis jaringan yang menyebabkan terhambatnya proses
penyembuhan luka operasi dan bisa menyebabkan terbentukanya sebuah fistula
uretrokutaneus. Faktor mobilisasi
atau pergerakan yang luas pada penis juga merupakan suatu faktor yang menyebabkan
terhambatnya penyembuhan luka operasi dan bisa menyebabkan terbentuknya fistula
uretrokutaneus pasca operasi uretroplasti.(Ahmad T et al, 2004)
16
Gambar 4. Klasifikasi Hipospadia
Insiden fistula uretrokutaneus pasca operasi uretroplasti pada pasien yang dirawat di
RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado periode Januari 2009 - Oktober 2012 sebanyak
2 kasus (11,8%), yaitu hipospadia tipe scrotal (posterior) dan 1 kasus tidak diketahui
tipe hipospadianya. (Fariz, 2011)
Diagnosis dapat ditegakkan secara klinis. Paisen biasanya datang dengan keluhan
dribbling of urine (urine yang menetes) dan gejala perineal infection jika ada. Pada
pemeriksaan fisik dapat ditemukan saluran yang menghubungkan uretra dengan kulit
pada daerah genitalia externa. Pemeriksaan penunjang seperti VCUG, retrograde
urethrography and fistulography dapat memberikan gambaran sejauh mana saluran
terhubung. Komplikasi lanjutan seperti terjadinya abses dapat diteksi dengan CT Scan.
(Fariz, 2011)
17
3.2 Tatalaksana
Pada pasien ini penatalaksanaan yang dilakukan adalah dengan perawatan luka dan
memberikan antibitotik untuk profilaksis terjadinya infeksi pada luka bekas operasi
berupa ciprofloxacin 2x500 mg, serta anti nyeri parasetamol 3x500 mg
3.3 Prognosis
Ad Vitam: Ad bonam
Ad Functionam: Dubia ad bonam
Ad Sanationam: Dubia ad bonam
3.4 Follow Up
No Tanggal Subjective Asesmen planning
.
1. 13-Juli 2022 PO uretroplasti ec Hipospadia penile KIE (+)
hipospadia penoscrotal
2. 12- Sept-2022 Control Riwayat Hipospadia penile
hipospadia penoscrotal
3. 7- Okt - 2022 Post choroidecomy Hipospadia penile -perawatan luka
uretroplasti penoscrotal -cefixime 2x200 mg
-Asam mefenamat 3x500 mg
4. 10-Okt-2022 Perawatan luka Fistula post -perawatan luka
uretroplasti ec -ciproflixacin 2x500 mg
hipospadia -Asam mefenamat 3x500 mg
5. 14-Okt-2022 Keluhan BAK Fistula post -ciproflixacin 2x500 mg
keluar dari atas dan uretroplasti ec -Parasetamol 3x500 mg
bawah hipospadia
18
1.
19
BAB IV
Kesimpulan
1. Telah diperiksa pasien dengan nama An. A usia 13 tahun datang dengan keluhan utama
terdapat lubang di bawah lubang kencing. Setelah dilakukan anamnesa dan pemeriksaan
fisik pasien didiagnosa fistula uretrokutan post chordectomy et urethroplasty ec
hypospadia penoscrotal.
2. Dari anamnesa didapatkan kencing menetes dari bawah lubang kencing, dengan
riwayat muara saluran kencing berada di penis bagian bawah dekat buah zakar serta
penis bengkok, riwayat chordectomy dan urethroplasty.
3. Dari pemeriksaan fisik muara saluran kencing normal, tidak terdapat chordee,terdapat
fistula uretrokutan mid line ventral penis +- 2mm
4. Penatalaksanaan pada pasien ini diberikan antibiotik ciprofloxacin 2x500 mg dan
parasetamol tab 3x500 mg
20
DAFTAR PUSTAKA
Ahmed T. Hadidi and Amir F.Azmy. 2004. Complications and Late Sequelae, in:
Hypospadias Surgery An Illustrated Guide. SpringerVerlag, Berlin Heidelberg, New York
23: 273-283
Chung JW, Choi SH, Kim BS, Chung SK. 2012. Risk Factors for the Development of
Urethrocutaneous Fistula after Hypospadias Repair: A Retrospective Study. Korean J Urol.
53(10):711–15.
Fariz M, Rodjani A, Wahyudi I. 2011. Risk factors for urethrocutaneous fistulas formation
after one stage hypospadias repair. JURI. 18(2):48-54.
Noegroho, B. S., Siregar, S., & Firmansyah, I. 2018. Karakteristik Pasien Hipospadia Di
Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung Tahun 2015-2018.
https://jurnal.unpad.ac.id/pkm/article/view/20231
21
Sastrasupena H. Hipospadia. Dalam: Reksoprodjo S, Pusponegoro AD, Kartono D,
Hutagalung EU, Sumardi R, Luthfia C, editors. 2012. Kumpulan kuliah ilmu bedah. Edisi
pertama. Tangerang: Binarupa Aksara: hal. 399-403.
Widjajana, D. P. 2017. Hubungan Tipe Hipospadia, Usia, dan Teknik Operasi Terhadap
Komplikasi Fistula Uretrokutaneus Pada Kasus Hipospadia Anak. Skripsi. Jember: Fakultas
Kedokteran Universitas Jember.
Yassin, Tamer, Bahaaeldin, Husein K, Husein, Ayman, et.al. 2011. Assessment and
management of urethrocutaneous fistula developing after hypospadias repair. JOM FK. 1
(2):1-12.
Wendy DP, Tubagus O, Laode B. 2015. Hubungan Insiden Fistula Uretrokutaneus Dengan
Tipe Hipospadia Pasca Operasi Uretroplasti. JOM FK Volume 1(2 )
22