Anda di halaman 1dari 26

PROGRAM INTERNSHIP DOKTER INDONESIA

LAPORAN KASUS

SKABIES DENGAN INFEKSI SEKUNDER

Laporan Kasus ini Dibuat Sebagai Laporan Hasil Kegiatan Program Internship Dokter
Indonesia di RS

Disusun Oleh:
dr.

Pembimbing:
dr.

PROGRAM INTERNSHIP DOKTER INDONESIA


DKI JAKARTA
PERIODE 12 Mei 2022 – 11 NOVEMBER 2022

1
BAB 1
Tinjauan Pustaka
1.1 Definisi
Hipospadia dapat didefinisikan sebagai adanya muara uretra yang terletak di ventral atau
proksimal dari lokasi yang seharusnya. Kelainan terbentuk pada masa embrional karena
adanya gangguan pada masa perkembangan alat kelamin dan sering dikaitkan dengan
gangguan pembentukan seks primer maupun gangguan aktivitas seksual saat dewasa
(Snodgrass & Bush, 2016).

Hipospadia merupakan salah satu kelainan kongenital saluran kemih. Pada hipospadia
terdapat gangguan perkembangan uretra yang mana meatus uretra eksternus terletak di
permukaan ventral penis dan lebih ke proksimal dari tempatnya yang normal pada ujung
penis. Pada hipospadia didapatkan tiga kelainan anatomi dari penis yaitu meatus uretra
terletak di ventral, terdapat korde, dan distribusi kulit penis di ventral lebih sedikit dibanding
di distal. (Hapsari, 2012)

Prevalensi hipospadia sekitar 0,3%-0,8%,6 menempati frekuensi paling banyak di antara


kelainan kongenital malformasi genitalia eksternal pria.6,7 Terjadi pada 3,2 dari 1000
kelahiran bayi laki-laki. Hipospadia terjadi kira-kira 1 dari 250 anak laki-laki yang lahir di
Amerika Serikat. Di beberapa negara insidensi hipospadia mungkin meningkat tetapi terlihat
agak menetap, 0,26 dari 1000 kelahiran hidup di Meksiko dan Skandinavia serta 2,11 tiap
1000 kelahiran hidup di Hungaria. (Sastrasupena et al, 2012)

Menurut studi yang dilakukan di Amerika Serikat hipospadia sebagian besar pada anak kulit
putih.9 Terdapat banyak klasifikasi pada hipospadia. Hipospadia dibagi menurut posisi
meatus dan derajat kelengkungan penis. Meatus uretra eksternal bisa berlokasi dari glans
penis hingga perineum. Makin proksimal letak meatus, makin berat kelainannya dan makin
jarang frekuensinya. (Hapsari, 2012)

Penyebab hipospadia sangat bervariasi dan dipengaruhi banyak faktor, namun belum
ditemukan penyebab pasti dari kelainan ini. Beberapa kemungkinan dikemukakan oleh para

1
peneliti mengenai etiologi hipospadia. Faktor risiko yang mempengaruhi terjadinya hipospadia
yaitu :

a. Faktor genetik dan embrional


Genetik merupakan faktor risiko yang diduga kuat mempengaruhi proses terjadinya hipospadia.
Penelitian menyebutkan bahwa anak laki-laki yang memiliki saudara yang mengalami hipospadia
beresiko 13,4 kali lebih besar mengalami hipospadia, sedangkan anak yang memiliki ayah
dengan riwayat hipospadia beresiko 10,4 kali mengalami hal yang sama (Van der Zaden et al.,
2012). Selama masa embrional, kegagalan dalam pembentukan genital folds dan penyatuanya
diatas sinus urogenital juga dapat menyebabkan terjadinya hipospadia. Biasanya semakin berat
derajat hipospadia ini, semakin besar terdapat kelainan yang mendasari. Kelainan kromosom
dan ambigu genitalia seperti hermafrodit maupun pseudohermafrodit merupakan kelainan yang
kerap kali ditemukan bersamaan dengan hipospadia (Krisna & Maulana, 2017).

b. Faktor hormonal
Perkembangan genitalia pada laki laki merupakan proses yang kompleks dan melibatkan
berbagai gen serta interaksi hormon yang ada pada ibu hamil. Proses pembentukan saluran
uretra ini terjadi pada minggu ke-6 trimester pertama dan bersifat androgendependent,
sehingga ketidak normalan metabolisme androgen seperti defisiensi reseptor androgen di penis,
kegagalan konversi dari testosteron ke dihidrotestoteron, serta penurunan ikatan antara
dihidrostestoteron dengan reseptor androgen mungkin dapat menyebabkan terjadinya
hipospadia (Noegroho et al., 2018).

3. Faktor Lingkungan
Faktor lingkungan dicurigai sebagai salah satu faktor penyebab hipospadia seperti terdapat
paparan estrogen atau progestin pada ibu hamil di awal kehamilan, paparan estrogen tersebut
biasanya terdapat pada pestisida yang menempel pada buah, sayuran, tanaman, dan obat
obatan yang dikonsumsi oleh ibu hamil. Pada ibu hamil yang mengkonsumsi obat-obatan anti
epilepsi seperti asam valporat juga diduga meningkatkan resiko hipospadia tetapi untuk pil
kontrasepsi yang mengandung hormon estrogen dan progestin diketahui tidak menyebabkan
hipospadia (Krisna & Maulana, 2017).

2
4. Lain-lain
Pada anak laki-laki yang lahir dengan program Intra-cystolasmic sperm Injection (ICSI) atau In
Vitro Fertilization (IVF) memiliki insiden yang tinggi pada hipospadia (Krisna & Maulana, 2017).
Selain itu faktor ibu yang hamil dengan usia terlalu muda atau terlalu tua juga sangat
berpengaruh, diketahui bayi yang lahir dari ibu yang berusia >35 tahun beresiko mengalami
hipospadia berat. Kelahiran prematur serta berat bayi lahir rendah, bayi kembar juga sering
dikaitkan dengan kejadian hipospadia (Widjajana, 2017).

1.2 Manifestasi klinis


Manifestasi klinis menurut Nurrarif & Kusuma (2015) yang sering muncul pada
penyakit hipospadia sebagai berikut :
a. Tidak terdapat preposium ventral sehingga prepesium dorsal menjadi berlebihan
(dorsal hood).
b. Sering disertai dengan korde atau penis melengkung ke arah bawah.
c. Lubang kencing terletak dibagian bawah dari penis.

Gejala yang timbul bervariasi sesuai dengan derajat kalainan. Secara umum jarang ditemukan
adanya gangguan fungsi, namun cenderung berkaitan dengan masalah kosmetik karena letak
muara uretra pada bagian ventral penis. Biasanya juga ditemukan kulit luar bagian ventral lebih
tipis atau bahkan tidak ada, dimana kulit luar di bagian dorsal menebal. Pada hipospadia sering
ditemukan adanya chorda (Sigumonrong, 2016).
Chorda adalah adanya pembengkokan menuju arah ventral dari penis. Hal ini
disebabkan oleh karena adanya atrofi dari corpus spongiosum, fibrosis dari tunica
albuginea dan facia di atas tunica, pengencangan kulit ventral dan fasia buck,
perlengketan antara uretra plate ke corpus cavernosa. Keluhan yang mungkin
ditimbulkan adalah adanya pancaran urin yang lemah ketika berkemih, nyeri Ketika
ereksi, dan gangguan dalam berhubungan seksual. Hipospadia sangat sering ditemukan
bersamaan dengan cryptorchismus dan hernia inguinalis sehingga pemeriksaan adanya
testis tidak boleh terlewatkan (Krisna & Maulana, 2017).

3
1.3 Klasifikasi

Menurut Orkiszewski (2012) terdapat beberapa tipe hipospadia berdasarkan letak orifisium
uretra eksternum atau meatus diantaranya sebagai berikut :

a. Tipe sederhana/ Tipe anterior


Tipe ini terdapat di anterior, pada tipe ini meatus terletak pada pangkal glands penis. Sebenarnya
kelainan ini bersifat asimtomatik dan tidak tidak memerlukan suatu tindakan. Bila meatus agak
sempit dapat dilakukan dilatasi atau meatotomi. Yang termasuk golongan hipospadia tipe ini
adalah hipospadia sub coronal atau lubang kencing berada pada sulcus coronarius penis
(cekungan kepala penis), dan hipospadia tipe granular yaitu lubang kencing sudah terdapat di
kepala penis namun posisinya berada di bawah kepala penisnya.
b. Tipe Penil/ Tipe Middle

Pada tipe ini, meatus terletak antara glands penis dan skrotum. Biasanya disertai dengan kelainan
penyerta, yaitu tidak adanya kulit prepusium bagian ventral, sehingga penis terlihat melengkung
ke bawah atau glands penis menjadi pipih. Pada kelainan tipe ini, diperlukan intervensi tindakan
bedah secara bertahap, mengingat kulit di bagian ventral prepusium tidak ada maka sebaiknya
pada bayi tidak dilakukan sirkumsisi karena sisa kulit yang ada dapat berguna untuk tindakan
bedah selanjutnya. Terdapat beberapa tipe hipospadia yang termasuk dalam tipe middle
diantaranya yaitu hipospadia tipe penoscrotal atau lubang kencing terletak di antara skrotum dan
batang penis, hipospadia tipe peneana proksimal yaitu lubang kencing berada di bawah pangkal
penis, hipospadia tipe mediana yaitu lubang kencing berada di bawah bagian tengah dari batang
penis, serta hipospadia tipe distal peneana yaitu lubang kencing berada di bawah bagian ujung
batang penis.
c. Tipe Posterior

Pada tipe posterior, biasanya akan mengakibatkan terganggunya pertumbuhan


penis, seringkali disertai dengan skrotum bifida, meatus uretra terbuka lebar dan umumnya
testis tidak turun. Yang termasuk hipospadia posterior dianataranya yaitu hipospadia tipe
perenial, lubang kencing berada di antara anus dan skrotum, dan hipospadia tipe scrotal,
lubang kencing berada tepat di bagian depan skrotum.

4
Gambar 2. 1 Klasifikasi Hipospadia (Krisna & Maulana, 2017)

1.4 Patofisiologi

Penyakit skabies dapat ditularkan melalui kontak langsung maupun kontak tak langsung.
Yang paling sering adalah kontak langsung yang saling bersentuhan atau dapat pula
melalui alat-alat seperti tempat tidur, handuk, dan pakaian. Bahkan penyakit ini dapat pula
ditularkan melalui hubungan seksual antara penderita dengan orang yang sehat. Di
Amerika Serikat dilaporkan, bahwa skabies dapat ditularkan melalui hubungan seksual
meskipun bukan merupakan akibat utama.

Penyakit ini sangat erat kaitannya dengan kebersihan perseorangan dan lingkungan, atau
apabila banyak orang yang tinggal secara bersama-sama disatu tempat yang relative
sempit. Apabila tingkat kesadaran yang dimiliki oleh banyak kalangan masyarakat masih

5
cukup rendah, derajat keterlibatan penduduk dalam melayani kebutuhan akan kesehatan
yang masih kurang, kurangnya pemantauan kesehatan oleh pemerintah, faktor lingkungan
terutama masalah penyediaan air bersih, serta kegagalan pelaksanaan program kesehatan
yang masih sering kita jumpai, akan menambah panjang permasalahan kesehatan
lingkungan yang telah ada. (Gudjonsson et al, 2018)

Penularan skabies terjadi ketika orang-orang tidur bersama di satu tempat tidur yang sama
di lingkungan rumah tangga, sekolah-sekolah yang menyediakan fasilitas asrama dan
pemondokan, serta fasiltas-fasilitas kesehatan yang dipakai oleh masyarakat luas. Di
Jerman terjadi peningkatan insidensi, sebagai akibat kontak langsung maupun tak
langsung seperti tidur bersama. Faktor lainnya fasilitas umum yang dipakai secara
bersama-sama di lingkungan padat penduduk.

Telur 0,1-0,15 mm menetas pada hari ke 3 dan ke 4,


larva yang keluar bermigrasi ke bagian permukaan Saat dewasa ukuran terbasar
kulit dan menggali terowongan atau “molting pada betina 0,3-0,4 mm
pouch”
sedangkan jantan hanya
setengahnya.

Betina akan berpindah-pindah dan menempati 3 sampai 4 hari larvae berubah menjadi nimfa
terowongan yang sesuai baginya. Pejantan akan yang mirip dengan dewasa hanya ukurannya
memasuki terowongan sarang betina untuk lebih kecil. Dapat ditemukan pada folikel rambut
kopulasi

Pada kulit betina akan menempel


menggunakan pulvili dan kaki anteriornya.
Tungau betina dapat berpindah ke bagian
Setelah kopulasi betina membuat terowongan
kulit lain atau berpindah ke orang lain
“serpentine burrow” untuk menaruh 2-50
telur.
(Infective Stage). Dengan masa inkubasi 4-6 6
minggu
Gambar 4. Siklus Hidup dan Patofisiologi Skabies

1.5 Tanda dan Gejala


Ketika seseorang terinfestasi oleh skabies untuk yang pertama kalinya, gejala biasanya
tidak nampak hingga mencapai 2 bulan kemudian (2-6 minggu) setelah terinfestasi. Namun
bagaimanapun, seseorang yang terinfestasi masih bisa menyebarkan skabies ini kepada
orang lain. Jika seseorang telah pernah menderita skabies sebelumnya, gejala akan muncul
dengan segera (1-4 hari) setelah terpapar. Seseorang yang terinfestasi skabies juga dapat
menularkan penyakitnya, walaupun mereka tidak memiliki gejala lagi. Hal ini berlaku
sampai skabies pada penderita tersebut diberantas beserta tungau dan telur-telurnya.

Diagnosis skabies dapat ditegakkan dengan menemukan 2 dari 4 tanda cardinal sebagai
berikut:

1. Pruritus nokturnal

Gatal pada malam hari yang disebabkan karena aktivitas tungau lebih tinggi  pada
suhu yang lebih lembab. Gejala ini adalah yang sangat menonjol. Sensasi gatal yang
hebat seringkali mengganggu tidur dan penderita menjadi gelisah.

2. Sekelompok Orang

Penyakit ini menyerang manusia secara kelompok, misalnya dalam sebuah keluarga
biasanya seluruh anggota keluarga terkena infeksi. Begitu juga dalam sebuah
perkampungan yang padat penduduknya, sebagian besar tetangga yang berdekatan

7
akan diserang oleh tungau tersebut. Dikenal keadaan hiposensitisasi, yang seluruh
anggota keluarganya terkena. Walaupun mengalami infestasi tungau, tetapi tidak
memberikan gejala. Penderita ini bersifat sebagai pembawa (carrier) bagi individu
lain.

3. Terowongan (kanalikulus)

Adanya terowongan (kanalikulus) pada tempat-tempat predileksi yang berwarna


putih atau keabu-abuan, berbentuk garis lurus atau berkelok, rata-rata panjang 1 cm,
pada ujung terowongan itu ditemukan papul atau vesikel. Jika timbul infeksi
sekunder, ruam kulitnya menjadi polimorf (pustul, ekskoriasi dan lain-lain).
Umumnya tempat predileksi tungau adalah lapisan kulit yang tipis, seperti di sela-
sela jari tangan, pergelangan tangan, siku bagian luar, lipatan ketiak depan,
pinggang, punggung, pusar, dada termasuk daerah sekitar alat kelamin pada pria dan
daerah periareolar pada wanita. Telapak tangan, telapak kaki, wajah, leher dan kulit
kepala adalah daerah yang sering terserang tungau pada bayi dan anak-anak. (Marsha
K, 2020)

4. Menemukan tungau, merupakan hal yang paling diagnostik

Apabila kita dapat menemuan terwongan yang masih utuh kemungkinan besar kita
dapat menemukan tungau dewasa, larva, nimfa dan ini merupakan hal yang paling
diagnostik. Akan tetapi kriteria yang keempat ini agak susah ditemukan karena
hampir sebagian besar pendeita pada umumnya datang dengan lesi variatif dan tidak
spesifik.

8
Gambar 5. Kelainan kulit pada skabies

Gambar 6. Tampak kelainan yang ditimbulkan oleh scabies pada daerah axilla (sekitar
ketiak), genitalia (penis dan scrotum) danglutea ( sekitar bokong)

Gambar 7. Predileksi (area) infestasi tungau Sarcoptes scabiei pada tubuh manusia (area
pada gambar yang berwarna merah muda)

Sarcoptes scabiei memerlukan waktu kurang dari tiga puluh menit untuk masuk ke dalam
lapisan kulit. Gejala klinis akibat infestasi tungau Sarcoptes scabiei adalah timbulnya ruam
pada kulit dan rasa gatal (pruritus) terutama pada malam hari. Ruam pada kulit berawal
dengan terjadinya papulae eritrema (penonjolan kulit tanpa berisi cairan, berbentuk bulat,
berbatas tegas, berwarna merah, ukuran <1 cm yang terus berkembang menjadi vesikel
kemudian pustul. Adanya terowongan di bawah lapisan kulit merupakan ciri khas dari
infestasi tungau ini.

9
Gejala gatal (pruritus) akan timbul lebih dari 3 minggu setelah infestasi tungau ke dalam
kulit. Rasa gatal terjadi menyeluruh baik pada kulit tempat infestasi tungau maupun tidak.
Keparahan gejala gatal-gatal dan ruam yang timbul tidak berhubungan dengan jumlah tungau
yang menginfestasi kulit. Hal ini diduga akibat sensitifitas kulit terhadap tubuh tungau dan
hasil ekskresi dan sekresi tungau (saliva, telur dan skibala). Sarcoptes scabiei mampu
memproduksi substansi proteolitik (sekresi saliva) yang berperan dalam pembuatan
terowongan, aktivitas makan, dan melekatkan telurnya pada terowongan tersebut.

Reaksi hipersensitifitas tipe IV dapat menimbulkan nodul (bentuk papule dengan ukuran
yang lebih besar) dan bulla (bentuk vesicle dengan ukuran yang lebih besar) pada area di
mana tidak ditemukan tungau pada kulit. Nodul biasanya ditemukan di daerah selangkangan,
bokong, dan pusar. Pada beberapa kasus, ruam, dan rasa gatal pada penderita scabies dapat
menetap sampai beberapa minggu setelah pengobatan. (Sri L, 2016)

Hal ini dimungkinkan karena tubuh tungau yang mati masih berada di bawah permukaan
kulit. Nodul pada kulit juga dapat menetap sampai beberapa bulan setelah pengobatan. Akibat
terbukanya lapisan stratum korneum menyebabkan bakteri mudah menginfeksi kulit.
Keadaan ini disebut scabies dengan infeksi sekunder. Bakteri yang biasanya menyebabkan
infeksi sekunder adalah Streptococcus pyogenes dan Staphylococcus aureus.

1.6 Diagnosis
Diagnosis detigakkan berdasakan gejala (gatal – gatal hebat), dan hasil pemeriksaan fisik
(adanya trowongan tungau). Untuk memastikan diagnosis, dilakukan pemeriksaan langsung
atau terhadap kerokan kulit dan akan ditemukan adanya tungau ini. Untuk menemukan
tungau ini dilakukan pemeriksaan lebih lanjut oleh tenaga medis dengan biopsi esksisional. 3

1.7 Penularan
Penularan skabies pada manusia sama seperti cara penularan skabies pada hewan, yaitu
secara kontak langsung dengan penderita. Disamping itu kontak secara tidak langsung seperti
melalui pakaian, handuk, seprai, dan barang-barang lain yang pernah dipakai oleh penderita,
juga merupakan sumber penularan yang harus dihindari. Tungau S.scabiei hidup dari sampel
debu penderita, lantai, furniture dan tempat tidur . Masa inkubasi skabies pada manusia yang

10
belum pernah terinfestasi tungau adalah dua sampai enam minggu, tetapi penderita yang
pernah terserang skabies sekitar satu hingga empat hari. Satu bulan pasca infestasi, jumlah
tungau di dalam lapisan kulit mengalami peningkatan. Sebanyak dua puluh lima ekor tungau
betina dewasa ditemukan pada lima puluh hari pascainfestasi dan menjadi lima ratus ekor
setelah seratus hari kemudian. . (Wiederkehr, 2006)

1.8 Pencegahan
Penyakit skabies sangat erat kaitannya dengan kebersihan dan lingkungan yang kurang baik
dan personal hygiene yang kurang oleh sebab itu untuk mencegah penyebaran penyakit ini
dapat dilakukan dengan cara :
1. Mandi secara teratur dengan menggunakan sabun.
2. Mencuci pakaian, sprei, sarung bantal, selimut dan lainnya secara teratur minimal 2
kali dalam seminggu.
3. Tidak saling bertukar pakaian, handuk dengan orang lain.
4. Hindari kontak dengan orang serta pakaian yang dicurigai terinfeksi tungau
skabies.
5. Menjaga kebersihan rumah dan ventilasi yang cukup. (Stone, 2003)

11
BAB 2
Data Klinis
2.1 Identitas Pasien
Nama : An. R
Jenis kelamin : Laki-laki
Usia : 14 tahun
Pekerjaan : Pelajar
Status Pernikahan : Belum menikah
Alamat : Jl. Kalibaru Barat RT 12, RW 12, Kelurahan Kalibaru,
Kecamatan Cilincing
Agama : Islam

2.2 Anamnesis
Dilakukan alo anamnesa dan autoanamnesa pada tanggal 2 Juli 2022 di poli Umum
Puskesmas Kelurahan Kalibaru pukul 13.30 WIB.
2.2.1 Keluhan Utama
Gatal-gatal di badan sejak 1 bulan yang lalu.
2.2.2 Keluhan Tambahan
Sulit tidur akibat gatal, perih dibagian tangan
2.2.3 Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien An. R (14 tahun), mengeluhkan gatal di di bagian sela jari tangannya kurang lebih
sejak 1 bulan yang lalu. Gatal ini diawali munculnya bintil kemerahan seperti digigit semut
yang muncul pada 1 jari tangan kanan kemudian diikuti menyebar keseluruh sela-sela jari dan
kedua tangan. Bintil kemerahan tersebut digaruk sehingga terdapat bekas-bekas luka dan
keropeng. Pasien mengaku semakin digaruk bintil semakin banyak dan bertambah setiap hari
nya dan terus menyebar di sela jari bagian tangan dan sampai ke punggung kedua tangan.
Pasien lebih sering menggaruk pada malam hari dikarenakan terasa lebih gatal. Pasien
mengaku kesulitan untuk tidur dan cenderung menggaruk tangannya sampai mengelupas dan
terluka pada kulit bagian sela jari tangannya sehingga terasa perih. Pasien mengaku sudah
memberikan obat salep dan bedak yang dibelinya sendiri tetapi gatal tidak kunjung hilang.

12
Ibu An.R mengaku bahwa awalnya pasien terkena gatal setelah pulang dari santren saat libur
sekolah, Ibu pasien juga tidak rutin menjemur kasur, bantal atau mengganti seprai pun juga
jarang. Ibu pasien juga mengaku sering memandikan pasien dengan handuk yang sama.
Selama 1 bulan mengeluhkan gatal, An.R belum pernah sama sekali berobat ke dokter. Pasien
berpikir keluhan dapat sembuh sendiri atau dengan bantuan obat-obatan warung.

1 minggu lalu An.R merasakan gatal yang semakin sering dimalam hari sehingga pasien
sangat sulit tidur, pasien menjadi lebih sering menggaruk tangan pasien sehingga tampak ada
banyak luka. Sejak 3 hari lalu ibu An. R mulai menyadari bahwa tangannya banyak terdapat
nanah dan bentolan semakin besar-besar

Keluhan Alergi disangkal seperti riwayat bentol-bentol paska memakan makanan disangkal,
riwayat asma atau radang kulit pada daerah lipatan disangkal, riwayat batuk pilek atau mata
berair akibat debu atau bulu hewan disangkal. Riwayat kulit kering atau kulit terlalu lembab
disangkal. Riwayat bermain tanah disangkal. Riwayat tergigit serangga disangkal. Riwayat
kontak dengan suatu zat disangkal.

2.2.4 Riwayat Penyakit Dahulu


- Riwayat keluhan seperti ini sebelumnya : disangkal
- Riwayat alergi : disangkal
- Riwayat penyakit autoimun : disangkal

2.2.5 Riwayat Pribadi

Ibu An.R mengaku rajin untuk menjaga kebersihan diri, mandi 2 hari sekali dan tidak
bertukar pakaian dengan anggota keluarga di rumah. Tetapi ibu pasien mengaku An.R jarang
mengganti Kasur dan lebih sering berkegiatan dalam kamar. Pasien juga mengaku sering
bermain dengan kucing di area rumah.

Ibu An. R juga mengaku sulit menjaga kebersihan tempat tidur anaknya sehingga jarang
menjemur kasur dan mengganti seprai. Selain itu ibu pasien mengaku rumah dan kamar tidur
keluarga terasa cukup lembab dan memiliki sirkulasi udara yang kurang dikarenakan ventilasi
tidak banyak.

13
Pasien mengaku nafsu makannya masih baik. Rutin berolahraga dan bermain. Sleep Hygiene
pasien baik, tetapi pasien mengatakan tidurnya tidak senyaman dulu dikarenakan sering gatal
malam hari

2.2.6 Riwayat Penyakit Keluarga


- Riwayat keluhan serupa pada keluarga : disangkal
- Riwayat keluhan serupa pada teman/ tetangga : (+) pada saudara
- Riwayat alergi : disangkal
- Riwayat penyakit autoimun : disangkal

2.3 Status Generalis


● Keadaan umum : Tampak sakit ringan
● Kesadaran : Compos mentis (E4M6V5)
● Status Gizi :
a. Berat Badan : 47 kg
b. Tinggi badan : 159 cm
c. IMT : 18.87 kg/m2
● TTV :
a. Tekanan Darah : 103/63 mmHg
b. Nadi : 89x/menit
c. Pernafasan : 18x/menit
d. Suhu : 36.9 ⁰C
● Kepala
Normochepal, rambut warna hitam, distribusi merata, wajah simetris
● Mata
Mata tidak cekung, konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), kornea jernih, pupil
bulat, isokor dengan diameter 3 mm/3mm, reflex cahaya langsung (+/+), reflex cahaya
tidak langsung (+/+)
● Hidung
Simetris, deviasi septum (-), sekret (-/-), mimisan (-/-), lesi (-)
● Telinga
Bentuk normal, liang telinga lapang, sekret (-/-), hiperemis (-/-), lesi (-)

14
● Mulut
Bibir tidak sianotik, lidah kotor (-), gusi berdarah (-), tonsil T1-T1 tidak hiperemis,
faring tidak hiperemis
● Leher
KGB tidak teraba pembesaran, trakea ditengah
● Thoraks
1. Paru
❖ Inspeksi : Tidak ada retraksi, simetris kanan kiri, nampak lesi papul
eritema multiple tersebar diskret di region dada, ukuran milier
❖ Palpasi : Stem fremitus simetris kanan kiri
❖ Perkusi : Sonor dikedua lapang paru
❖ Auskultasi : Vesikuler (+/+), wheezing (-/-), ronkhi (-/-)
2. Jantung
❖ Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak
❖ Palpasi : Ictus cordis teraba di ICS V linea midclavicularis sinistra
❖ Perkusi : batas jantung dalam batas normal
❖ Auskultasi : Bunyi Jantung 1 dan II regular, murmur (-), gallop (-)
● Abdomen
❖ Inspeksi : Supel, lesi (-)
❖ Auskultasi : Bising usus (+) normal
❖ Perkusi : Timpani
❖ Palpasi : Tidak ada nyeri tekan
● Ekstremitas
Akral dingin(-/-), edema (-/-), CRT < 2”, pada regio interdigiti manus dextra et sinistra
terdapat lesi papulovesikel eritematosa berbatas tegas multiple bentuk bulat irregular
ukuran miliar tersebar diskret. Terdapat eksoriasi, pus dan krusta

2.4 Status Dermatologi


❖ Regio : thorakal, articulatio cubiti anterior sinistra, dan interdigitalis
palmaris dextra et sinistra
❖ Distribusi : lokalisata
❖ Efloresensi primer : papul, kanalikulus
❖ Warna : eritematosa
❖ Ukuran : milier-numular
15
❖ Jumlah : multipel
❖ Efloresensi sekunder : erosi
❖ Konfigurasi : linier

Gamar 8. Kondisi Tangan Pasien Awal Kali Berobat

2.5 Pemeriksaan Penunjang


Tidak dilakukan.

2.6 Resume
Anak R, laki-laki, usia 14 tahun, datang ke poli PKPR dengan keluhan gatal. Gatal
dirasakan di seluruh tubuh terutama di bagian lipat siku dalam dan di sela-sela jari
tangan. Keluhan dirasa semakin memberat, gatal terasa setiap saat namun terasa
memburuk saat malam. Gatal diiringi dengan timbul luka kemerahan kecil-kecil di
daerah dada, lipat siku dalam tangan kiri, dan kedua sela-sela jari tangan.

Hasil pemeriksaan fisik didapatkan terdapat lesi papul eritema multiple tersebar
diskret di region manus, ukuran milier-numular. Selain itu juga terdapat lesi papul
eritema multiple ukuran milier. Selain itu terdapat papul multiple eritema ukuran milier,
erosi (+) di kedua sela-sela jari tangan. Terdapat eksoriasi, pus dan krusta. Pemeriksaan
penunjang tidak dilakukan.

2.7 Diagnosis Kerja


Skabies dengan infeksi sekunder

16
2.8 Diagnosis Banding
a. Insect Bite
Lesi papul dengan punctum di tengahnya, atau dapat berupa vesikel atau pustul.
Gatal dirasa sepanjang hari, tidak ada waktu dominan. Lokasi lesi hanya dilokasi
tertentu saja yang tidak tertutup pakaian
b. Dermatitis
Lesi dapat berupa papul, vesikel, atau pustule eritema. Pada dermatitis, jarang
menimbulkan gatal, dan biasanya pasien akan mengeluhkan demam.

2.9 Pemeriksaan Penunjang Anjuran


● Kerokan kulit
● Ink Burrow Test
● Pemeriksaan tungau dengan jarum
● Swab Kulit

2.10 Tatalaksana
Farmakologi
Tatalaksana medika mentosa yang diberikan pada pasien berupa:

 Amoxicilin 500mg tab 3 x 1 tab selama 5 hari


 Gentamisin salep 2x1 pemakaian luar sampai pus hilang
 Permetrin 5% selama 8 jam digunakan 1 kali pada malam hari diaplikasikan ke
seluruh tubuh, dapat diulang 7 hari kemudian jika masih ada sisa lesi/ lesi baru,
 Cetirizine 10 mg tab 1 x 1 tab untuk mengurangi gejala gatal yang dirasakan
oleh pasien
Nonfarmakologi

a. Edukasi agar seluruh anggota keluarga yang tinggal 1 rumah diobati


b. Edukasi agar mengganti dan mencuci sprei dengan air panas kemudian jemur di
bawah matahari
c. Edukasi untuk membersihkan kasur dan dijemur
d. Edukasi untuk mencuci pakaian yang digunakan dengan air panas

2.11 Prognosis
17
Ad vitam : bonam
Ad functionam : bonam
Ad sanationam : dubia ad bonam

18
BAB III
Pembahasan
3.1 Pembahasan
Anak R, Laki-laki, usia 14 tahun, datang ke poli PKPR dengan keluhan gatal. Gatal
dirasakan di seluruh tubuh terutama di bagian lipat siku dalam dan di sela-sela jari
tangan. Keluhan dirasa semakin memberat, gatal terasa setiap saat namun terasa
memburuk saat malam. Gatal diiringi dengan timbul luka kemerahan kecil-kecil di
daerah dada, lipat siku dalam tangan kiri, dan kedua sela-sela jari tangan.

Hasil pemeriksaan fisik didapatkan terdapat lesi papul eritema multiple tersebar diskret
di region manus, ukuran milier-numular. Selain itu juga terdapat lesi papul eritema
multiple ukuran milier. Selain itu terdapat papul multiple eritema ukuran milier, erosi
(+) di kedua sela-sela jari tangan. Pemeriksaan penunjang tidak dilakukan.

Dari status dermatologinya kita dapatkan bahwa terdapat lesi didaerah sela-sela jari
tangan, telapak tangan, pergelangan tangan dan didapatkan pustul serta papul eritem,
disertai dengan skuama halus, krusta, dan ekskoriasi karena sering menggaruk. Hal ini
sesuai untuk diagnosis skabies, berdasarkan teori dikatakan bahwa predileksi terjadinya
pada daerah dengan stratum korneum yang tipis, namun karena pada anak-anak lapisan
stratum korneum tubuhnya sebagian besar masih tipis maka penyebarannya dapat
bersifat atipikal.

Pada pasien ini penatalaksanaan yang dilakukan adalah dengan memberikan obat
secara topikal dan sistemik. Obat yang diberikan pada pasien terlebih dahulu adalah
obat yang berkaitan dengan infeksi sekunder, dikarenakan jika terdapat infeksi
sekunder pada pasien dengan skabies, maka harus dilakukan pengobatan terlebih
dahulu mengenai infeksi sekundernya dikarenakan seringnya terjadi gagal terapi
disebabkan oleh penumpukan pus dan krusta dari produksi bakteri yang menghalangi
masuknya skabisida Pengobatan yang telah diberikan. Tata laksana yang diberikan
pada pasien berupa amoxicilin 500mg tab 3 x 1tab, gentamisin salep 3x1 pemakaian
luar, prmetrin 5% selama 8 jam digunakan 1 kali pada malam hari diaplikasikan ke
seluruh tubuh, dapat diulang 7 hari kemudian jika masih ada sisa lesi/ lesi baru, serta

19
cetirizine 10 mg tab 1 x 1 tablet untuk mengurangi gejala gatal yang dirasakan oleh
pasien (Sungkar, 2016)

Gambar 9. Perkembangan Kondisi Pasien Setelah Pengobatan

Prognosis dari skabies yang diderita pasien pada umumnya baik bila diobati dengan
benar dan juga menghindari faktor pencetus dan predisposisi, demikian juga
sebaliknya. Selain itu perlu juga dilakukan pengobatan kepada keluarga pasien yang
mengalami keluhan yang sama. Bila dalam perjalanannya skabies tidak diobati dengan
baik dan adekuat maka Sarcoptes scabiei akan tetap hidup dalam tubuh manusia karena
manusia merupakan host definitive dari Sarcoptes scabiei. (Gudjonson, 2014)

Gejala klinis pada infeksi kulit akibat skabies disebabkan oleh respons tubuh terhadap
tungau. Setelah tungau melakukan kopulasi di atas kulit, tungau jantan akan mati dan
tungau betina akan menggali terowongan dalam stratum korneum sambil meletakkan
sebanyak 2 hingga 50 telur. Ketika menggali terowongan, tungau mengeluarkan
sekret yang dapat melisiskan stratum korneum. Sekret dan eksret tersebut
menyebabkan sensitisasi dan menimbulkan rasa gatal yang umumnya mulai timbul 4-
6 minggu setelah infestasi pertama. Rasa gatal biasa memburuk pada malam hari
disebabkan aktivitas tungau lebih tinggi pada suhu lebih lembap dan panas. (Sungkar,
2016)

Lesi primer infeksi skabies berupa terowongan yang berisi tungau, telur, dan hasil
metabolisme. Di ujung terowongan dapat ditemukan vesikel atau papul kecil.

20
Terowongan dapat ditemukan bila belum terdapat infeksi sekunder. Akibat rasa gatal
hebat, penderita sering menggaruk sehingga dapat timbul luka lecet yang diikuti
dengan infeksi sekunder oleh bakteri Group A Streptococci (GAS) dan S.aureus. Lesi
sekunder dapat berupa papul, vesikel, pustul, krusta, ekskoriasi, hiperpigmentasi
pascainflamasi, dan terkadang bula. (Julie SP, 2000)

Predileksi: sela-sela jari tangan, pergelangan tangan, penis, areola mammae, peri-
umbilikalis, lipat payudara, pinggang, bokong bagian bawah intergluteal, paha serta
lipatan aksila anterior dan posterior. Pada bayi, lesi dapat ditemukan di seluruh
tubuh. Lesi ini diakibatkan oleh garukan dan infeksi sekunder. Temuan karakteristik
dapat berupa papul, vesikel, pustul, krusta, ekskoriasi, hiperpigmentasi
pascainflamasi, dan terkadang bula. Infeksi sekunder skabies disebabkann oleh
bakteri staphylococcus aureus dan streptococcus pyogenes yang merupakan bakteri
pioderma yang sering ditemukan pada skabies. Insiden tahunan bakteremia yang
disebabkan oleh S. aureus 6 kali lebih tinggi penderita skabies. Pada daerah tropis,
infeksi pioderma bakterial dan komplikasi disebabkan oleh S. Aures dan S. Pyogene
berhubungan dengan skabies karena bakteri mudah memasuki kulit yang dirusak
oleh tungau. (Hanna M, 2016)

Pada penelitian yang dilakukan pada salah satu Sekolah Dasar di Kota Palembang,
dengan penggunaan uji Chi Square menunjukkan terdapat hubungan yang bermakna
antara skabies dengan pioderma dimana diperoleh p value = 0,000 (p< 0,05). Nilai
OR skabies terhadap pioderma adalah 13,844 yang berarti pada anak SD dengan
skabies 13,844 kali mempunyai risiko secara signifikan terhadap frekuensi terjadinya
pioderma ( p = 0,000)

Sabies dapat memiliki gejala sisa setelah pengobatan, dimana menggaruk kulit
merupakan penyebab impetigo yang paling sering terjadi. Gangguan skin barrier
pada kulit yang rusak karena digaruk dapat menyebabkan infeksi sekunder yang
paling sering karena Streptococcus pyogenes (Streptokokus grup A, GAS) dan
Staphylococcus aureus. (Yahya YF, 2018)

21
1.

22
BAB IV
Kesimpulan

1. Skabies merupakan suatu infeksi kulit yang disebabkan oleh tungau Sarcoptes scabiei
var. hominis di epidermis. Infeksi ini sangat menular melalui kontak langsung dari
manusia-manusia.
2. Pada pasien An.R, pasien didiagnosis scabies dengan infeksi sekunder berdasarkan
keluhan dan tanda gejala yang dialami oleh pasien seperti gatal yang memberat saat
malam, mengenai sekelompok orang, dan terdapat lesi multiple dengan infeksi sekunder
3. Terapi scabies di puskesmas diberikan angtiitik, antipruritus dan antiskabies
4. Penggunaan antibiotic digunakan terlebih dahulu untuk menhindari terjadinya gagal
terapi

23
DAFTAR PUSTAKA

Djuanda Adhi . 2007. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Ed. 5. Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. Jakarta

Sularsito Sri Adi , Soebaryo Retno Widowati, Kuswadji . Dermatologi Praktis . Ed. 1.
PERDOSKI: 2016

Wiederkehr, M., Schwart, R. A. 2006. Scabies. Available at:


http://www.emedicine.com/DERM/topic471.htm.

Stone, S.P. 2003. Scabies and pedikulosis, in: Freedberg, et al. Fitzpatrick’s Dermatology In
General Medicine 6th edition. Volume 1. McGraw-Hill Professional.

Gudjonsson JE, Elder JT. Psoriasis. 2018. Dalam: Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest
BA, Paller AS, Leffell DJ, editor. Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine. Edisi ke-7.
New York. McGraw-Hill

Hanna M, et al. 2016. Skabies. Bandar Lampung. Jurnal Majority Vol. 5:2.
Koning S, et al: Interventions for impetigo (Review). Cochrane Collaboration. John Wiley &
Sons, Ltd

Julie SP. 2000. Scabies and lice. In: Harper J, OA, Pediatric Dematology, London, Blawell
Science Ltd

Marsha K, et al. 2020. Diagnosis dan Terapi Skabies. Jakarta. CDK. vol. 47:2.
Sri Linuwih SW Menaldi. 2016. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Edisi Ketujuh. Jakarta:
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

24
Sungkar S. 2016. Skabies : etiologi, patogenesis, pengobatan pemberantasan dan
pencegahan. Jakarta: Badan Penerbit FK UI

Yahya YF, et al. 2018. Jurnal Kedokteran Kesehatan Universitas Sriwijaya, Volume 5 No. 1.
hal 33-42

25

Anda mungkin juga menyukai