Anda di halaman 1dari 11

LEARNING OBJECTIVE

SKENARIO V
PENYAKIT KONGENITAL
“Ini Kenapa ?”

NAMA : PUTRI ASWARIYAH RAMLI


STAMBUK : N 101 20 045
KELOMPOK :4

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS TADULAKO
2021/2022
Modul 5 : Penyakit Kongenital

“Ini Kenapa?”

Seorang anak laki-laki berusia 1 tahun 8 bulan dibawa ibunya ke rumah sakit
dengan keluhan pancaran urin saat mikturisi lemah. Keluhan ini sudah sejak lama
namun si ibu baru berani membawa ke rumah sakit saat ini karena takut pandemi
covid-19. Pada pemeriksaan fisik didapatkan penile curvature terlihat hanya pada
saat ereksi, terdapat sedikit smegma, gambaran penis, glans penis, serta skrotum
adalah sebagai berikut:

Learning Objective

1. Definisi hipospadia
2. Patofisiologi hipospadia
3. Faktor resiko hipospadia
4. Tatalaksana hipospadia
5. Derajat dari hipospadia
1. Definisi hipospadia
Jawab :
Hipospadia termasuk salah satu kelainan kongenital yang paling
sering dijumpai pada anak laki-laki. Kata hipospadia sendiri berasal dari
bahasa Yunani yaitu Hypo, yang berarti dibawah, dan Spadon, yang berarti
lubang. Hipospadia dapat didefinisikan sebagai adanya muara urethra yang
terletak di ventral atau proximal dari lokasi yang seharusnya. Kelainan ini
terbentuk pada masa embrional, karena adanya defek pada masa perkembangan
alat kelamin dan sering dikaitkan dengan gangguan pembentukan seks primer
ataupun gangguan aktivitas seksual saat dewasa (Krisna, 2017).
Hipospadia pada anak laki-laki dikaitkan dengan ketiga anomali di
penis, yaitu sebagai berikut (Danarto, 2021).
a) Abnormalitas pembukaan meatus uretra di ventral yang bisa berlokasi di
mana saja pada aspek ventral, mulai dari glans penis sampai perineum.
b) Abnormalitas kurvatura pada penis (chordee).
c) Abnormalitas distribusi preputium penis dengan hood yang terjadi di dorsal
dan defisiensi di ventral penis.
Hipospadia adalah kelainan pembukaan orifisium uretra eksterna pada
ventral yang dapat terjadi pada corona penis, penis, skrotum, dan perineum.
Biasanya hipospadia terjadi pada 1 hari dari 300 bayi yang baru lahir (Danarto,
2021).
Sumber :
Danarto, H. R. 2021. Buku Ajar Urologi. Yogyakarta : Gadjah Mada University
Press.
Krisna, D. M., Maulana, A. 2017. Hipospadia : Bagaimana Karakteristiknya
di Indonesia. Berkala Ilmiah Kedokteran Duta Wacana. Vol 2 (2) :
325-334. Viewed on 01 Maret 2022. From : bikdw.ukdw.ac.id.

2. Patofisiologi hipospadia
Jawab :
Peristiwa patofisiologis utama untuk pengembangan hipospadia
adalah penutupan uretra anomali atau parsial pada minggu-minggu pertama
perkembangan embrional. Perkembangan alat kelamin eksternal terjadi dalam
dua fase. Fase pertama, dimulai antara minggu kelima dan kedelapan
kehamilan, ditandai dengan pembentukan alat kelamin primordial tanpa adanya
stimulasi hormon. Pada fase ini, lipatan kloaka terbentuk dari sel mesodermal
yang selaras secara lateral ke membran kloaka. Lipatan ini menyatu secara
anterior dan membentuk struktur yang disebut tuberkel genital (GT). Secara
posterior mereka terbagi menjadi lipatan urogenital yang mengelilingi sinus
urogenital dan lipatan anal. Tuberkel genital memiliki tiga lapisan sel yaitu
mesoderm (pelat lateral), ektoderm (permukaan), dan endodermal (epitel
uretra). Yang terakhir adalah pusat pensinyalan utama untuk pengembangan,
diferensiasi, dan pertumbuhan GT (Donaire, 2021).
Fase kedua merupakan tahap yang berhubungan dengan hormon,
dimulai dengan diferensiasi gonad menjadi testis pada pria dengan kromosom
XY. Testosteron yang disintesis dalam testis memiliki dua fungsi yang sangat
penting:, yaitu perpanjangan GT dan penampilan alur uretra. Bagian distal dari
alur uretra, yang disebut pelat uretra, didefinisikan secara lateral oleh lipatan
uretra dan diluar ke glans penis. Uretra akhirnya terbentuk setelah lipatan uretra
menyatu, dan kulit penis terbentuk dari lapisan terluar sel ektodermal, yang
menyatu ke dalam aspek ventral lingga dan membentuk raphe median
(Donaire, 2021).
Setiap gangguan genetik atau perubahan dalam jalur pensinyalan
dalam perkembangan genital eksternal laki-laki dan pertumbuhan uretra dapat
mengembangkan malformasi yang berbeda yang meliputi hipospadia, chordee
(kelengkungan abnormal penis), atau pembentukan kulup penis abnormal
(Donaire, 2021).
Sumber :
Donaire, A. E., Mendez, M. D. 2021. Hypospadias. Treasure Island : StatPearls
Publishing.
3. Faktor resiko hipospadia
Jawab :
Adapun faktor resiko pada pasien dengan kasus hipospadia, yaitu sebagai
berikut (Danarto, 2021 ; Krisna, 2017).
a) Adanya paparan estrogen atau progestin pada ibu hamil di awal kehamilan
dicurigai dapat meningkatkan resiko terjadinya hipospadia. Lingkungan
yang tinggi terhadap aktivitas estrogen sering ditemukan pada pestisida di
sayuran dan buah, susu sapi, beberapa tanamana, dan obat-obatan.
b) Ibu hamil yang terpapar diethylstilbestrol meningkatkan resiko terjadinya
hipospadia.
c) Pada ibu hamil yang melakukan diet vegetarian diperkirakan terjadi
peningkatan resiko terjadinya hipospadia. Hal ini dapat diakibatkan
adanya kandungan yang tinggi dari fitoestrogen pada sayuran.
d) Respon activating transcription factor (ATF3) terhadap aktivitas anti-
androgen terbukti berperan penting terhadap kelainan hipospadia.
e) Pada ibu hamil yang mengkonsumsi obat-obatan anti epilepsy seperti asam
valproate juga diduga meningkatkan resiko hipospadia.
f) Pada anak laki-laki yang lahir dengan program intra-cystolasmic sperm
injection atau In Vitro Fertilization memiliki insidensi yang tinggi pada
hipospadia
g) Penggunaan kontrasepsi
h) Intra uterine growth retardation
i) Berat bayi lahir rendah
j) Bayi kembar
k) Turunan hipospadia
l) Kelainan kromosom dan ambigu genitalia seperti hermafrodit maupun
pseudohermafrodit
Sumber :
Danarto, H. R. 2021. Buku Ajar Urologi. Yogyakarta : Gadjah Mada University
Press.
Krisna, D. M., Maulana, A. 2017. Hipospadia : Bagaimana Karakteristiknya
di Indonesia. Berkala Ilmiah Kedokteran Duta Wacana. Vol 2 (2) :
325-334. Viewed on 01 Maret 2022. From : bikdw.ukdw.ac.id.

4. Tatalaksana hipospadia
Jawab :
Tujuan dari tatalaksana hipospadia, yaitu sebagai berikut (Krisna,
2017) :
a) Membuat penis tegak lurus kembali sehingga dapat digunakan untuk
berhubungan seksual
b) Reposisi muara urethra ke ujung penis agar memungkinkan pasien
berkemih sambil berdiri
c) Membuat neourethra yang adekuat dan lurus
d) Merekonstruksi penis menjadi terlihat normal
e) Menurunkan resiko terjadinya komplikasi seminimal mungkin
Indikasi untuk dilakukannya operasi adalah adanya hipospadia.
Waktu dilakukannya operasi perbaikan biasanya dilakukan sedini mungkin.
Manley dan epsterin melaporkan bahwa minimnya tingkat kecemasan jika
operasi dilakukan sebelum usia 18 bulan. Sementara itu, Belman dan Kass
melaporkan tidak ada peningkatan insiden komplikasi operasi jika dilakukan
antara usia 2-11 bulan (Danarto, 2021). Usia yang idela untuk dilakukan
operasi adalah pada usia 6-12 bulan. Indikasi pemilihan teknik operasi yang
tepat dapat dilakukan berdasarkan lokasi serta derajat kurvatura penis. Di
Indonesia, teknik yang paling sering digunakan adalah TIP. Hal ini disebabkan
karena teknik TIP fleksibel, angka komplikasi renda, dan menghasilkan muara
urethra vertical, dan jenis hipospadia yang ditemukan adalah hipospadia distal
(Krisna, 2017).
Beberapa teknik operasi ditemukan dan semakin mengalami banyak
perkembangan. Teknik operasi yang paling sering adalah urethroplasty seperti
Meatal Advancement-Glanulopasty (MAGPI), Glans Approximation
Procedure (GAP), dan Tubularization Incision of the Urethral Plate (TIP)
(Krisna, 2017).
a) Chordee
Koreksi chordee merupakan bagian yang menyatu dengan perbaikan
hipospadia dan biasanya dilakukan pada saat uretroplasti. Biasanya,
prosedur dua tahap dikerjakan dengan koreksi chordee sebagai langkah
pertama. Metode paling populer dalam mengoreksi chordee adalah dengan
plasasi dorsal, tepi fasia diaproksimasi dengan jahitan yang terkubur.
Modifikasi dari teknik ini, plikasi tunika albuginea, tidak memerlukan eksisi
fasie, tetapi dilakukan insisi transversa parerel dan diaproksimasi dengan
benang prolen 5-0 yang tidak diserap di atas fasia yang terkubur. Jahitan
yang diserap secara lambat, seperti PDS, dapat digunakan sebagai pilihan
untuk mencegah fokus persisten iritasi (Danarto, 2021).
b) Ortoplasti (Penegakan Penis)
Insisi sirkumsisi dibuat pada jaringan mukosa sekitar 8-10 mm dari
korona granular. Secara ventral, jaringan ini dibawa secara baik ke
proksimal uretra atau melalui pelat uretra. Pendekatan yang lebih dulu lebih
disukai karena uretroplasti menggunakan pelat uretra yang diawetkan
menghasilkan angka komplikasi yang lebih rendah secara signifkan. Pelat
uretra juga jarang terlibat dalam chordee ventral. Pada kasus hipospadia
berat dengan pelat uretra yang menambat, insisi dapat dilakukan secara
meyilang. Bila akan dilakukan flap dasar meatal, insisi dibawa ke proksimal
dari flap (Danarto, 2021).
Kemudian, kulit ditarik, mengangkat kulit dari badan korporal serta
melepaskan semua jaringan chordee dari batang penis. Pada kebanyakan
kasus hipospadia distal, manuver ini sudah cukup untuk membuat penis
tegak lurus, dikonfirmasi dengan melakukan ereksi buatan. Untuk
melakukan ereksi buatan, diperlukan jarum kupu-kupu dengan ukuran
gauge yang kecil dimasukkan ke dalam badan korpus, kemudian diberikan
injeksi salin yang diinfuskan dengan menggunakan syring 10 cc
menggunakan tekanan jari yang diberikan pada dasar dari badan korpus
melalu tulang pubis. Cara lain yang dapat dilakukan ialah sebuah tourniquet
yang dapat dipasang melingkari dasar penis. Jika penis masih melengkung
setelah dilakukan degloving, diperlukan prosedur penagakan tambahan
(Danarto, 2021).
Pada kasus ringan hingga sedang, chordee dapat dikoreksi dengan
plikasi dorsal. Fascia buck diinsisi pada garis tengah dan dipisah dari tunika
badan korpus. Sebuah insisi longitudinal dibuat di garis tengah dorsal dari
badan erektil setinggi kurvatura terbesar. Insisi ini harus dilakukan dengan
ketebalan penuh melalui tunika sehingga mengekspos jaringan erektil. Insisi
dapat dibuat sedikit menjauhi garis tengah untuk mencegah diseksi yang
terlalu dalam ke septum tanpa memasuki badan korpus. Sebuah kaitan
dipasang di kedua sisi insisi dan ditarik ke lateral. Kemudian, insisi ditutup
yang terbenam dan jahitan yang diserap 5-0 dibuat di kedua sisinya. Ereksi
buatan kembali diulang untuk mengonfirmasi hasil yang baik. Pada kasus
chordee yang lebih berat, bagian ventrum dari badan korporal harus
diperpanjang (berkebalikan dengan pemendekan dorsum dengan plikasi)
(Danarto, 2021).
Pada kasus yang berat ini, pelat uretra biasanya dibelah. Untuk
mendapatkan pemanjangan korporal, insisi transversal dibaut di badan
korporal setinggi kurvatura terbesar sehingga penis bebas. Insisi ini harus
dengan kedalam penuh melalui tunika dan meluas ke garis tengah lateral
dari kedua sisi batang penis. Pada garis tengah ventral, septum harus
dibebaskan dari tunika pada kedua sisi insisi untuk mendapatkan
pembebasan penis yang lengkap. Insisi ini akan menghasilkan defek
eliptikal yang ditutupi dengan graft eliptik dari dermis atau tunika vaginalis.
Untuk memanen graft tunika vaginalis, satu dari testis dibawah ke tempat
insisi dengan tunika vaginalis yang intak. Untuk hal itu, mungkin dipelrukan
pemanjangan insisi kulit ke proksimal di kemudian dieksisi dan ditaruh di
atas defek eliptik. Graft ini harus diletakka dengan epitel tunika bagian
dalam ke jaringan erektil. Jahitan yang dapat diserap 6-0 dibaut di dua sudut
dan di tengah insisi, superior, dan inferior. Keeempat jahitan ini berjalan di
tiap kuadran sehingga mengamankan graft berada dalam psisi tetap di
tempatnya. Ereksi buatan dilakukan dan jika perlu, sebuah plikasi dorsal
dapat dilakukan untuk memperkuat efek (Danarto, 2021).
c) Uretroplasti
Setelah dilakukan penegakan penis, hal selanjutnya yang dilakukan
ialah uretroplasti. Jenis perbaikan bergantung pada derajat hipospadia,
karakteristik meatus, dan glans, serta apakah pelat uretra terbagi pada saat
dilakukan koreksi chordee. Pada hipospadia glanular minor, jembatan
jaringan antara meatus hipospadik dengan lubang glans dieksisi dan ditutup
secara melintang, memajukan dinding dorsal dari uretra, dan mencegah
defleksi ke bawah pancaran urine. Ketika meatus terletak proksimal dari
glans, diperlukan perbaikan yang lebih banyak (Danarto, 2021).
d) Meatal Advancement and Glansplasty (MAGPI)
Prosedur MAGPI sesuai untuk pasien dengan hipospadia koronal,
meatus yang berukuran kecil, serta uretra yang mobile. Ketika dilakukan
tanpa adanya kriteria tersebut, hasilnya akan mengecewakan. Jembatan
jaringan antara meatus dengan lesung glans diinsisi atau dibuang. Dinding
belakang dari meatus uretra kemudian ditarik sampai ke glans dengan
jahitan interuptus kromik 6-0. Bibir ventral dari meatus uretra ditarik ke
distal dengan jahitan traksi dan jaringan nonglans dieksisi dari batas V
terbaik yang telah dibuat. Tepi glans disatukan ke ventral meatus uretra
dengan jahitan interuptus kromik 0-6 dan sirkumsisi ditutup (Danarto,
2021).
e) Perbaikan Tubularized Incised Plate (TIP)
Menggunakan aplikasi dari tubularisasi sederhana pada pasien
dengan ukuran lebar pelat uretra tidak cukup untuk dibuat diameter uretra.
Batasa ini dapat diatasi dengan melakukan insisi pelat uretra longitudinal
relaxing. Studi telah menunjukkan bahwa dengan menariknya ke bawah,
maka jaringan dalam yang terpapar akan mengalami epitelisasi dan akan
menghasilkan penambahan pad aukuran lingkar dari uretra. Karena pelat
uretra sering kali tipis dan hasil perbaikan akan meninggalkan garis jahitan
maka penting untuk meletakkan selapis jaringan subkutan antara
uretroplasti dan kulit penutup (Danarto, 2021).
f) Rolled Midline Tube
Insisi dibuat di garis tengah dari pelat uretra. Hal ini menyebabkan
kedua bagian dapat menempel satu sama lain pada saat dilakukan penutupan
secara vertikal (Danarto, 2021).
Perawatan paska operasinya, termasuk dalam masalah higienitas,
pemakaian kateter, kebutuhan analgesic, dan perubahan emosi paska operasi.
Beberapa teknik operasi ditemukan dan semakin mengalami banyak
perkembangan (Krisna, 2017).
Sumber :
Danarto, H. R. 2021. Buku Ajar Urologi. Yogyakarta : Gadjah Mada University
Press.
Krisna, D. M., Maulana, A. 2017. Hipospadia : Bagaimana Karakteristiknya
di Indonesia. Berkala Ilmiah Kedokteran Duta Wacana. Vol 2 (2) :
325-334. Viewed on 01 Maret 2022. From : bikdw.ukdw.ac.id.

5. Derajat dari hipospadia


Jawab :
Klasifikasi hipospadia terbagi berdasarkan lokasinya. Klasifikasi yang
paling sering digunakan adalah klasifikasi Duckett yang membagi hipospadia
menjadi 3 lokasi, yaitu sebagai berikut (Krisna, 2017).
a) Anterior (glandular, coronal, dan distal penile
b) Middle (midshaft dan proximal penile)
c) Posterior (penoscrotal, scrotalm dan perineal)
d) Lokasi yang paling sering adalah subcronal
Klasifikasi hipospadia berdasarkan derajat sangat subyektif
tergantung dari ahli beda masing-masing. Beberapa ahli membagi menjadi
beberapa derajat sebagai berikut (Krisna, 2017).
a) Mild hypospadia/grade 1, yaitu muara urethra dekat dengan lokasi normal
dan berada pada ujung tengah glans (glanular, coronal, subcoronal)
b) Moderate hypospadia/grade 2, yaitu muara urethra berada ditengah-tengah
lokasi normal dan scrotal (Distal penile, Midshaft)
c) Severe hypospadia/Grade 3 dan 4, yaitu muara urethra berada jauh dari
lokasi yang seharusnya (Perineal, Scrotal, dan Penoscrotal)
Sumber :
Krisna, D. M., Maulana, A. 2017. Hipospadia : Bagaimana Karakteristiknya
di Indonesia. Berkala Ilmiah Kedokteran Duta Wacana. Vol 2 (2) :
325-334. Viewed on 01 Maret 2022. From : bikdw.ukdw.ac.id.

Anda mungkin juga menyukai