Anda di halaman 1dari 9

TINJAUAN TEORITIS HIPOSPADIA

A. Konsep Dasar
1. Pengertian
Menurut refrensi lain definisi hipospadia, yaitu:
a. Hipospadia adalah suatu kelainan bawaan congenital dimana meatus
uretra externa terletak di permukaan ventral penis dan lebih ke proksimal
dari tempatnya yang normal (ujung glans penis). (Arif Mansjoer, 2000 :
374).
b. Hipospadia adalah suatu keadaan dimana terjadi hambatan penutupan
uretra penis pada kehamilan miggu ke 10 sampai ke 14 yang
mengakibatkan orifisium uretra tertinggal disuatu tempat dibagian ventral
penis antara skrotum dan glans penis. (A.H Markum, 1991 : 257).
c. Hipospadia adalah suatu kelainan bawaan berupa lubang uretra yang
terletak di bagian bawah dekat pangkal penis. (Ngastiyah, 2005 : 288).
d. Hipospadia adalah keadaan dimana uretra bermuara pada suatu tempat
lain pada bagian belakang batang penis atau bahkan pada perineum (
daerah antara kemaluan dan anus ). (Davis Hull, 1994 ).
e. Hipospadia adalah salah satu kelainan bawaan pada anak-anak yang
sering ditemukan dan mudah untuk mendiagnosanya, hanya
pengelolaannya harus dilakukan oleh mereka yang betul-betul ahli supaya
mendapatkan hasil yang memuaskan.

2. Etiologi
Penyebabnya sebenarnya sangat multifaktor dan sampai sekarang belum
diketahui penyebab pasti dari hipospadia. Namun, ada beberapa factor yang oleh
para ahli dianggap paling berpengaruh antara lain :

2.1 Gangguan dan ketidakseimbangan hormone


Hormone yang dimaksud di sini adalah hormone androgen yang mengatur
organogenesis kelamin (pria). Atau biasa juga karena reseptor hormone
androgennya sendiri di dalam tubuh yang kurang atau tidak ada. Sehingga
walaupun hormone androgen sendiri telah terbentuk cukup akan tetapi apabila
reseptornya tidak ada tetap saja tidak akan memberikan suatu efek yang
semestinya. Atau enzim yang berperan dalam sintesis hormone androgen tidak
mencukupi pun akan berdampak sama.

2.2 Genetika
Terjadi karena gagalnya sintesis androgen. Hal ini biasanya terjadi karena
mutasi pada gen yang mengode sintesis androgen tersebut sehingga ekspresi dari
gen tersebut tidak terjadi.

2.3 Lingkungan
Biasanya faktor lingkungan yang menjadi penyebab adalah polutan dan zat
yang bersifat teratogenik yang dapat mengakibatkan mutasi.

3. Patofisiologi
Fusi dari garis tengah dari lipatan uretra tidak lengkap terjadi sehingga
meatus uretra terbuka pada sisi ventral dari penis. Ada berbagai derajat kelainan
letak meatus ini, dari yang ringan yaitu sedikit pergeseran pada glans, kemudian
disepanjang batang penis, hingga akhirnya di perineum. Prepusium tidak ada pada
sisi ventral dan menyerupai topi yang menutup sisi dorsal dari glans. Pita jaringan
fibrosa yang dikenal sebagai chordee, pada sisi ventral menyebabkan kurvatura
(lengkungan) ventral dari penis.

4. Manifestasi Klinis
a. Glans penis bentuknya lebih datar dan ada lekukan yang dangkal di bagian
bawah penis yang menyerupai meatus uretra eksternus.
b. Preputium (kulup) tidak ada dibagian bawah penis, menumpuk di bagian
punggung penis.
c. Adanya chordee, yaitu jaringan fibrosa yang mengelilingi meatus dan
membentang hingga ke glans penis, teraba lebih keras dari jaringan
sekitar.
d. Kulit penis bagian bawah sangat tipis.
e. Tunika dartos, fasia Buch dan korpus spongiosum tidak ada.
f. Dapat timbul tanpa chordee, bila letak meatus pada dasar dari glans penis.
g. Chordee dapat timbul tanpa hipospadia sehingga penis menjadi bengkok.
h. Sering disertai undescended testis (testis tidak turun ke kantung skrotum).
i. Kadang disertai kelainan kongenital pada ginjal.

5. Klasifikasi
Tipe hipospadia berdasarkan letak orifisium uretra eksternum/ meatus :
5.1 Tipe sederhana/ Tipe anterior
Terletak di anterior yang terdiri dari tipe glandular dan coronal. Pada tipe
ini, meatus terletak pada pangkal glands penis. Secara klinis, kelainan ini bersifat
asimtomatik dan tidak memerlukan suatu tindakan. Bila meatus agak sempit dapat
dilakukan dilatasi atau meatotomi.

5.2 Tipe penil/ Tipe Middle


Middle yang terdiri dari distal penile, proksimal penile, dan pene-escrotal.
Pada tipe ini, meatus terletak antara glands penis dan skrotum. Biasanya disertai
dengan kelainan penyerta, yaitu tidak adanya kulit prepusium bagian ventral,
sehingga penis terlihat melengkung ke bawah atau glands penis menjadi pipih.
Pada kelainan tipe ini, diperlukan intervensi tindakan bedah secara bertahap,
mengingat kulit di bagian ventral prepusium tidak ada maka sebaiknya pada bayi
tidak dilakukan sirkumsisi karena sisa kulit yang ada dapat berguna untuk tindakan
bedah selanjutnya.

5.3 Tipe Posterior


Posterior yang terdiri dari tipe scrotal dan perineal. Pada tipe ini, umumnya
pertumbuhan penis akan terganggu, kadang disertai dengan skrotum bifida,
meatus uretra terbuka lebar dan umumnya testis tidak turun.

6. Pemeriksaan Diagnostik
Pemeriksaan diagnostik berupa pemeriksaan fisik. Jarang dilakukan
pemeriksaan tambahan untuk mendukung diagnosis hipospadi. Tetapi dapat
dilakukan pemeriksaan ginjal seperti USG mengingat hipospadi sering disertai
kelainan pada ginjal.
7. Tindakan Pembedahan
Tujuan pembedahan :
a. Membuat normal fungsi perkemihan dan fungsi sosial, serta
b. Perbaikan untuk kosmetik pada penis.

Ada banyak variasi teknik, yang populer adalah tunneling Sidiq-Chaula, Teknik
Horton dan Devine.
1. Teknik tunneling Sidiq-Chaula dilakukan operasi 2 tahap:
a. Tahap pertama eksisi dari chordee dan bisa sekaligus dibuatkan
terowongan yang berepitel pada glans penis. Dilakukan pada usia 1 ½ -2
tahun. Penis diharapkan lurus, tapi meatus masih pada tempat yang
abnormal. Penutupan luka operasi menggunakan preputium bagian dorsal
dan kulit penis
b. Tahap kedua dilakukan uretroplasti, 6 bulan pasca operasi, saat parut
sudah lunak. Dibuat insisi paralel pada tiap sisi uretra (saluran kemih)
sampai ke glans, lalu dibuat pipa dari kulit dibagian tengah. Setelah uretra
terbentuk, luka ditutup dengan flap dari kulit preputium dibagian sisi yang
ditarik ke bawah dan dipertemukan pada garis tengah. Dikerjakan 6 bulan
setelah tahap pertama dengan harapan bekas luka operasi pertama telah
matang.

2. Teknik Horton dan Devine, dilakukan 1 tahap, dilakukan pada anak lebih besar
dengan penis yang sudah cukup besar dan dengan kelainan hipospadi jenis distal
(yang letaknya lebih ke ujung penis). Uretra dibuat dari flap mukosa dan kulit
bagian punggung dan ujung penis dengan pedikel (kaki) kemudian dipindah ke
bawah.Mengingat pentingnya preputium untuk bahan dasar perbaikan hipospadia,
maka sebaiknya tindakan penyunatan ditunda dan dilakukan berbarengan dengan
operasi hipospadi.

8. Komplikasi
Komplikasi dari hypospadia yaitu :
1. Infertility
2. Resiko hernia inguinalis
3. Gangguan psikososial
9. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan hipospadia adalah dengan jalan pembedahan. Tujuan
prosedur pembedahan pada hipospadia adalah:
a. Membuat penis yang lurus dengan memperbaiki chordee
b. Membentuk uretra dan meatusnya yang bermuara pada ujung penis
(Uretroplasti)
c. Untuk mengembalikan aspek normal dari genitalia eksterna (kosmetik)
Pembedahan dilakukan berdasarkan keadaan malformasinya. Pada
hipospadia glanular uretra distal ada yang tidak terbentuk, biasanya tanpa
recurvatum, bentuk seperti ini dapat direkonstruksi dengan flap lokal (misalnya,
prosedur Santanelli, Flip flap, MAGPI [meatal advance and glanuloplasty],
termasuk preputium plasty).

10.Prognosis
Dengan perbaikan pada prosedur anastesi, alat jahitan, balutan, dan
antibiotik yang ada sekarang, operasi hipospadia telah menjadi operasi yang
cukup sukses dilakukan. Hasil yang fungsional dari koreksi hipospadia secara
keseluruhan sukses diperoleh, insidens fistula atau stenosis berkurang, dan lama
perawatan rumah sakit serta prognosis juga lebih baik untuk perbaikan hipospadia.
B. Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
1.1 Fisik
a. Pemeriksaan genetalia
b. Palpasi abdomen untuk melihat distensi vesika urinaria atau
pembesaran pada ginjal.
c. Kaji fungsi perkemihan
d. Adanya lekukan pada ujung penis
e. Melengkungnya penis ke bawah dengan atau tanpa ereksi
f. Terbukanya uretra pada ventral
g. Pengkajian setelah pembedahan : pembengkakan penis,
perdarahan, dysuria, drinage.

1.2 Mental
a. Sikap pasien sewaktu diperiksa
b. Sikap pasien dengan adanya rencana pembedahan
c. Tingkat kecemasan
d. Tingkat pengetahuan keluarga dan pasien

2. Diagnosa Keperawatan
1. Kurangnya pengetahuan orang tua berhubungan dengan diagnosa,
prosedur pembedahan dan perawatan setelah operasi.
2. Risiko infeksi berhubungan dengan pemasangan kateter.
3. Nyeri berhubungan dengan pembedahan
4. Kecemasan orang tua berhubungan dengan prosedur pembedahan
5. Risiko injuri berhubungan dengan pemasangan kateter atau pengangkatan
kateter.
3. Intervensi
3.1 Diagnosa 1 dan 4
Tujuan : memberikan pengajaran dan penjelasan pada orang tua sebelum
operasi tentang prosedur pembedahan, perawatan setelah operasi, pengukuran
tanda-tanda vital, dan pemasangan kateter.
a. Kaji tingkat pemahaman orang tua.
b. Gunakan gambar-gambar atau boneka untuk menjelaskan prosedur,
pemasangan kateter menetap, mempertahankan kateter, dan perawatan
kateter, pengosongan kantong urin, keamanan kateter, monitor urine,
warna dan kejernihan, dan perdarahan.
c. Jelaskan tentang pengobatan yang diberikan, efek samping dan dosis
serta waktu pemberian.
d. Ajarkan untuk ekspresi perasaan dan perhatian tentang kelainan pada
penis.
e. Ajarkan orang tua untuk berpartisipasi dalam perawatan sebelum dan
sesudah operasi (pre dan post)

3.2 Diagnosa 2
Tujuan : mencegah infeksi
a. Pemberian air minum yang adekuat
b. Monitor intake dan output (pemasukan dan pengeluaran)
c. Kaji gaya gravitasi urine atau berat jenis urine
d. Monitor tanda-tanda vital
e. Kaji urine, drainage, purulen, bau, warna
f. Gunakan teknik aseptik untuk perawatan kateter
g. Pemberian antibiotik sesuai program

3.3 Diagnosa 3
Tujuan : meningkatkan rasa nyaman
a. Pemberian analgetik sesuai program
b. Perhtikan setiap saat yaitu posisi kateter tetap atau tidak
c. Monitor adanya “kink-kink” (tekukan pada kateter) atau kemacetan
d. Pengaturan posisi tidur anak sesuai kebutuhannya
3.4 Diagnosa 5
Tujuan : mencegah injuri
a. Pastikan kateter pada anak terbalut dengan benar dan tidak lepas
b. Gunakan “restrain” atau pengaman yang tepat pada saat anak tidur
atau gelisah.
c. Hindari alat-alat tenun atau yang lainnya yang dapat mengkontaminasi
kateter dan penis.

3.5 Perencanaan pemulangan


a. Ajarkan tentang perawatan kateter dan pencegahan infeksi dengan
disimulasikan.
b. Jelaskan tanda dan gejala infeksi saluran kemih dan lapor segera ke
dokter atau perawat.
c. Jelaskan pemberian obat antibiotik dan tekankan untuk kontrol ulang
(follow up).
DAFTAR PUSTAKA

Johnson, Marion dkk. (2000). Nursing outcomes classification (NOC). Mosby


Suriadi SKp, dkk. (2001). Asuhan keperawatan pada anak. Jakarta : Fajar Interpratama
Mansjoer, Arif, dkk. (2000).Kapita Selekta Kedokteran. Jilid 2, Jakarta : Media Aesculapius.
McCloskey, Joanne C. (1996). Nursing interventions classification (NIC). Mosby
Price, Sylvia Anderson. (1995). Pathofisiologi. Jakarta: EGC
Purnomo, B Basuki. (2000). Dasar – dasar urologi. Jakarta : Infomedika
Santosa, Budi. (2005-2006). NANDA. Prima Medika
Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak FKUI. (1985). Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak.
Jakarta :EGC.

Anda mungkin juga menyukai