Anda di halaman 1dari 29

BAB I

PENDAHULUAN

Rinitis alergi merupakan salah satu penyakit yang menjadi masalah


kesehatan global karena berdampak pada penurunan kualitas hidup, berkurangnya
produktivitas kerja dan prestasi sekolah, serta dapat mengganggu aktivitas sosial
penderita.1 Rinitis alergi merupakan suatu kumpulan gejala pada hidung yang
disebabkan proses inflamasi akibat paparan alegen pada mukosa hidung yang
diperantarai oleh imunoglobulin E (Ig E).1-4
Rinitis Alergi merupakan penyakit alergi terbanyak dan menempati posisi
ke-6 penyakit yang bersifat menahun (kronis). Angka kejadian rinitis alergi di
Amerika serikat mencapai 20%. Menurut International Study of Asthma and
Allergies in Children (ISAAC, 2006), Indonesia bersama-sama dengan negara
Albania, Rumania, Georgia dan Yunani memiliki prevalensi rinitis alergi yang
rendah yaitu kurang dari 5%. Begitu juga dengan prevalensi asma bronkial juga
kurang dari 5%. Prevalensi rinitis tertinggi di Nigeria (lebih dari 35%), Paraguay
(30-35%) dan Hongkong (25-30%).2 Prevalensi rinitis alergi di Indonesia
mencapai 1,5-12,4% dan cenderung mengalami peningkatan setiap tahunnya.1
Rinitis alergi terjadi karena adanya reaksi alergen dengan sistem imun
tubuh. Alergen penyebab rinitis alergi terdiri dari alergen inhalan, alergen
ingestan, alergen injektan, dan alergen kontaktan, namun alergen tersering
penyebab rinitis alergi adalah alergen inhalan seperti debu rumah dan tungau
rumah.5
Gejala rinitis alergi meliputi hidung gatal, bersin berulang >5 kali, cairan
hidung yang jernih dan hidung tersumbat yang bersifat hilang timbul atau
reversibel, secara spontan atau dengan pengobatan. 6 Adapun tanda dan gejala yang
khas pada pasien dengan rhinitis alergi adalah adanya allergic schiner, allergic
salute, allergic crease, fasies adenoid.5
Terapi utama untuk rinintis alergi adalah menghindari kontak dengan
alergen penyebab, namun terdapat terapi tambahan yaitu terapi medikamentosa,
operatif dan imunoterapi.6

1
Komplikasi tersering rinitis alergi adalah polip hidung oleh karena proses
inflamasi yang terjadi dalam jangka waktu lama, selain polip hidung, komplikasi
rinitis alergi adalah otitis media efusi dan sinus paranasal.5

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Rinitis Alergi


Rinitis alergi adalah inflamasi yang mengenai membran mukosa nasal
yang disebabkan oleh reaksi alergi.6 Definisi menurut WHO ARIA 2001
adalah kelainan pada hidung dengan gejala bersin-bersin, rinore, rasa gatal
dan tersumbat setelah mukosa hidung terpapar alergen yang diperantai oleh
Ig E.5

2.2 Anatomi dan Fisiologi Hidung


Rongga hidung merupakan suatu ruangan yang kaku yang letaknya
memanjang dari nares anterior (nostril) ke arah koana bergabung dengan
nasofaring. Bagian dalam hidung panjangnya 10-12 cm. Rongga hidung
dibagi 2 oleh septum nasi. Katup hidung (nasal valve) berada lebih kurang
1,3 cm dari nares anterior dan merupakan segmen tersempit serta tahanan
terbesar dari jalan nafas hidung. Dengan memasuki daerah yang sempit ini
akan terjadi peningkatan aliran dan mengakibatkan penurunan tekanan
intralumen (fenomena Bernoulli).4

2
Dinding lateral hidung terdapat konka superior, konka media, dan
konka inferior serta meatus superior, meatus media dan meatus inferior.
Konka dapat berubah ukuran membesar dan mengecil sehingga dapat
mempertahankan lebar rongga udara yang optimum.4
Tiga fungsi utama hidung adalah sebagai organ pembau (olfactory),
respirasi dan proteksi. Turbulensi aliran udara saat inspirasi dengan mukosa
rongga hidung merupakan dasar dari fungsi fisiologi hidung.4
Obstruksi saluran nafas dapat terjadi karena vasodilatasi, edema
mukosa, sumbatan bronkus dan kontraksi otot polos. Pada rinitis peranan
vasodilatasi ini sangat menonjol. Hal ini terbukti bila diberikan obat
golongan alfa adrenergik, obstruksi atau sumbatan hidung akan segera
berkurang atau hilang dan hal ini tidak terjadi pada asma. Sebaliknya pada
asma, bronkus mengandung otot polos yang mempunyai respons sangat baik
terhadap ß2-agonis.4

Gambar 01. Anatomi Hidung

2.3 Epidemiologi Rinitis Alergi

3
Rinitis alergi di Amerika serikat merupakan penyakit alergi terbanyak
dan menempati posisi ke-6 penyakit yang bersifat menahun (kronis). Rinitis
alergi juga merupakan alasan ke-2 terbanyak kunjungan masyarakat ke ahli
kesehatan profesional setelah pemeliharaan gigi. Angka kejadian rinitis
alergi mencapai 20%.4
Berdasarkan penelitian Valvovirta dkk., di AS telah ditemukan sekitar
20-40% pasien rinitis alergi menderita asma bronkial. Sebaliknya 30-90%
pasien asma bronkial memiliki gejala rinitis alergi sebelumnya. Menurut
International Study of Asthma and Allergies in Children (ISAAC, 2006),
Indonesia bersama-sama dengan negara Albania, Rumania, Georgia dan
Yunani memiliki prevalensi rinitis alergi yang rendah yaitu kurang dari 5%.
Begitu juga dengan prevalensi asma bronkial juga kurang dari 5%.
Prevalensi rinitis tertinggi di Nigeria (lebih dari 35%), Paraguay (30-35%)
dan Hongkong (25-30%).4 Rinitis alergi yang menyertai asma atopi
sebanyak 55% kasus dan menyertai asma atopi dan non atopi pada 30,3%
kasus ditemukan di Indonesia.1

2.4 Etiologi Rinitis Alergi


Berdasarkan cara masuknya etiologi alergen dibagi menjadi:5
a. Alergen inhalan
Alergen yang masuk bersama dengan udara pernapasan seperti tungau
debu rumah (D. pteronyssinus, D. farinae, B. tropicalis), kecoa,
serpihan epitel kulit binatang (kucing, anjing), rerumputan (Bermuda
grass), serta jamur (Aspergillus, Alternaria).
b. Alergen ingestan
Alergen yang masuk ke saluran cerna seperti susu, sapi, telor, coklat,
ikan laut, udang, kepiting, dan kacang-kacangan.
c. Alergen injektan
Alergen yang masuk melalui suntikan atau gigitan seperti penicillin,
gigitan lebah.
d. Alergen kontaktan
Alergen yang masuk melalui kontak kulit atau jaringan mukosa seperti
kosmetik, perhiasan.

4
2.5 Patogenesis Rinitis Alergi
Alergen yang terlibat dalam rinitis alergi sebagian besar protein yang
berasal dari partikel udara termasuk serbuk sari, debu tungau rumah, residu
kecoa, ketombe. Setelah alergen terhirup, alergen akan dielusi di mucus
nasal dan kemudian menyebar ke seluruh jaringan nasal.7
Proses sensitisasi dimulai di jaringan nasal ketika munculnya APC
(Antigen-presenting cells), terutama sel dendritik, yang akan memakan
alergen kemudian memecahnya menjadi alergenik peptide dan bermigrasi ke
kelenjar getah bening kemudian peptide tersebut akan menjadi naïve.
Aktivasi CD4+ memerlukan interaksi spesifik reseptor sel T pada
permukaan sel T dengan membentuk komplek peptide-MHC II pada APC. T
helper yang naïve dikenal dengan sel T0, karena memproduksi pola sitokin
yang mencakup fenotifpTh1 dan Th2. Pada kasus alergi, Th2 memegang
perana penting. Dalam pengembangan sel Th2, memerlukan stimulus IL-4.7
Sel dendritik membentuk jaringan yang berlokasi di epitel dan
submukosa, mukosa saluran napas. Jumlah sel dendritik dan sel T pada
permukaan epitel nasal meningkat pada pasien dengan rinitis, sebagai contoh
peningkatan CD1a+ dan CD11c+ sel dendritik pada epitel dan lamina propria
mukosa nasal bergabung dengan CD4+ Limfosit T dan eusinofil sering
ditemukan pada penyakit ini. Salah satu sub tipe sel T yaitu sel T regulator
(Tregs), yang mensupresi respon imun (Th1 dan Th2) melalui inhibit sekresi
sitokin dan molekul permukaan sel termasuk IL-10 dan transforming growth
factor-B, cytotoxic T-lymphocyte antigen-4 (CTLA-4), dan programmed
death-1 (PD-1). Treg juga menghambat efektor sel T melalui mekanisme
apoptosis.7
IgE disintesis oleh limfosit B dibawah regulasi sitokin bagian dari
limfosit Th2. IL 4 atau IL13 merupakan sinyal pertama yang mengatur sel B
untuk memproduksi IgE dan diinduksi oleh e-germline gene transcription.
Sinyal kedua merupakan interaksi antara ligan CD40 pada permukaan sel T
dan CD40 pada permukaan sel B.7

5
Gambar 02. Patogenesis Rinitis Alergi

Rinitis alergi merupakan suatu penyakit inflamasi yang diawali dengan


tahap sensitisasi dan diikuti dengan tahap provokasi/ tahap reaksi alergi.
Reaksi alergi terdiri dari 2 fase yaitu Immediate Phase Allergic Reaction
atau Reaksi Alergi Fase Cepat (RAFC) yang berlangsung sejak kontak
dengan alergen sampai 1 jam setelahnya dan Late Phase Allergic Reaction
atau Reaksi Alergi Fase Lambat yang berlangsung 2-4 jam dengan puncak

6
6-8 jam (fase hiper-reaktifitas) setelah pemaparan dan berlangsung sampai
24-48 jam.5
Pada kontak pertama dengan alergen atau tahap sensitisasi, makrofag
atau monosit yang berperan sebagai sel penyaji (Antigen Presenting
Cell/APC) akan menangkap alergen yang menempel di permukaan mukosa
hidung. Setelah proses, antigen akan membentuk fragmen pendek peptida
dan bergabung dengan molekul HLA kelas II membentuk komplek MHC
kelas II (Major Histocompatibility Complex) yang kemudian dipresentasikan
pada sel Th 0. Kemudian sel penyaji akan melepaskan sitokin seperti IL 1
yang akan mengaktifkan Th0 untuk berproliferasi menjadi Th1 dan Th2.
Th2 akan menghasillkan sitokin IL3, IL4, IL5 dan IL 13. IL4 dan IL 13
dapat diikat oleh reseptornya dipermukaan sel limfosit B, sehingga sel
limfosit B menjadi aktif dan akan memproduksi IgE. IgE di sirkulasi darah
akan masuk ke jaringan dan diikat oleh reseptor IgE di permukaan sel
mastosit atau basofil sehingga kedua sel ini menjadi aktif. Proses ini disebut
dengan sensitisasi yang menghasilkan mediator yang tersensitisasi. Bila
mukosa yang sudah tersensitisasi terpapar dengan alergen yang sama, maka
kedua rantai IgE akan mengikat alergen spesifik dan terjadi degranulasi
mastosit dan basofil sehingga terlepaslah mediator kimia terutama histamin,
selain histamine juga terlepas mediator lain seperti prostaglandin D2
(PGD2), Leukotrin D4 (LT D4), Leukotrin C4 (LTC 4, LTD4, LTE4),
bradikinin, Platelet Activating Factor (PAF) dan berbagai sitokin (IL3, IL4,
IL5, IL6, GM-CSF (Granulocyte Macrophage Colony Stimulating Factor)).
Reaksi ini disebut Reaksi Alergi Fase Cepat (RAFC). Pada fase cepat akan
terjadi hipersekresi mukus, peningkatan permeabilitas vaskular sehingga
terjadi edema, dan stimulasi saraf sensoris.5
Histamin akan merangsang reseptor H1 pada ujung saraf vidianus
sehingga menimbulkan rasa gatal pada hidung dan bersin-bersin. Histamin
juga menyebabkan kelenjar mukosa dan sel goblet mengalami hipersekresi
dan permeabilitas kapiler meningkat sehingga menjadi rinore. Gejala lain
adalah hidung tersumbat akibat vasodilatasi sinusoid. Selain histamine
merangsang ujung saraf vidianus, juga menyebabkan rangsangan pada

7
mukosa hidung sehingga terjadi pengeluaran Inter Cellular Adhesion
Molecule 1 (ICAM-1).5
Pada RAFC, sel mastosit juga akan melepaskan molekul kemotaktik
yang menyebabkan akumulasi sel eusinofil dan neutrophil di jaringan target.
Respon ini akan berlanjut dan mencapai puncak 6-8 jam setelah pemaparan.
Pada RAFL ditandai dengan penambahan jenis dan jumlah dan sel inflamasi
seperti eusinofil, limfosit, neutrofil, basofil, dan mastosit dimukosa hidung
serta peningkatan sitokin IL3, IL4, IL5, GM-CSF, triptase, TNFα dan
ICAM-1 pada sekret hidung. Timbulnya gejala hiperaktif atau hiperresponsif
hidung adalah akibat peranan eusinofil dengan mediator inflamasi dari
granulnya Eosinophilic Cationic Protein (ECP), Eosinophilic Derived
Protein (EDP), Major Basic Protein (MBP), dan Eosinophilic Peroxidase
(EPO). Pada fase ini, selain faktor spesifik (alergen), iritasi oleh faktor non
spesifik dapat memperberat gejala seperti asap rokok, bau yang merangsang,
perubahan cuaca, dan kelembaban udara yang tinggi.5

2.6 Klasifikasi Rinitis Alergi


Menurut WHO ARIA, berdasarkan sifat berlangsungnya, rinitis alergi dibagi
menjadi:2,3,5,6
1. Intermitten: bila gejala kurang dari 4 hari/minggu atau kurang dari 4
minggu.
2. Persisten: bila gejala lebih dari 4 hari/minggu dan lebih dari 4 minggu.
Berdasarkan tingkat berat ringannya penyakit, rinitis alergi dibagi
menjadi:2,3,5,6
1. Ringan: bila tidak ditemukan gangguan tidur, gangguan aktivitas harian,
bersantai, berolahraga, belajar, bekerja dan hal-hal lain yang
mengganggu.
2. Sedang-Berat: bila terdapat satu atau lebih dari gangguan tersebut
diatas.

Berdasarkan sifat berlangsungnya, rinitis alergi dibagi menjadi:5

8
1. Rinitis alergi musiman (Seasonal): hanya terdapat dinegara dengan 4
musim. Alergen penyebabnya spesifik yaitu serbuk sari, dan spora
jamur.
2. Rinitis alergi sepanjang tahun (Perennial): gejala ini muncul tanpa
dipengaruhi oleh musim, jadi dapat ditemukan sepanjang tahun.
Penyebab paling sering adalah: Alergen inhalan lebih sering pada dewas
seperti debu rumah. Alergen ingestan seperti susu, udang, telur, kacang-
kacangan. Alergen ingestan lebih sering pada anak-anak dan sering
disertai dengan gejala alergi lain seperti urtikaria, gangguan pencernaan.
Gangguan fisiologik pada tipe perennial lebih ringan disbanding dengan
tipe seasonal tetapi karena lebih persisten maka komplikasinya lebih
sering ditemukan.

2.7 Diagnosis Rinitis Alergi


Diagnosis rinitis alergi ditegakkan berdasarkan:
1. Anamnesis
Anamnesis sangat penting, karena sebagian besar serangan tidak terjadi
di hadapan pemeriksa. Berdasarkan anamnesis, gejala khas rinitis alergi
adalah adanya bersin-bersin berulang. Bersin ini merupakan gejala pada
RAFC (Reaksi Alergi Fase Cepat) dan kadang-kadang pada RAFL
(Reaksi Alergi Fase Lambat) sebagai akibat dilepaskannya histamin.
Gejala lain ialah keluar ingus (rinore) yang encer dan banyak, hidung
tersumbat, hidung dan mata gatal, yang kadang disertai banyak air mata
keluar (lakrimasi). Sering kali gejala yang timbul tidak lengkap,
terutama pada anak. Kadang-kadang keluhan hidung tersumbat
merupakan keluhan utama atau satu-satunya gejala yang diutarakan oleh
pasien.5

2. Pemeriksaan Fisik
Rinoskopi anterior tampak mukosa edema, basah, berwarna pucat atau
livid disertai adanya sekret encer yang banyak. Bila gejala persisten,
mukosa inferior tampak hipertropi. Gejala spesifik pada rinitis alergi
yaitu sebagai berikut:5

9
a. Allergic shiner
Bayangan gelap di daerah bawah mata yang terjadi karena stasis
vena sekunder akibat obstruksi hidung.

Gambar 03. Allergic shiner

b. Allergic salute
Menggosok-gosok hidung karena gatal, dengan punggung tangan.

Gambar 04. Allergic salute

c. Allergic crease
Keadaan yang menggosok-gosok hidung tersebut akan menimbulkan
garis melintang di sepertiga bawah dorsum nasi.

10
Gambar 05. Allergic crease

d. Facies adenoid
Mulut sering terbuka dengan lengkung langit-langit yang tinggi,
sehingga akan menyebabkan gangguan pertumbuhan gigi-geligi.

Gambar 06. Facies adenoid

e. Cobblestone appearance
Dinding posterior faring tampak granuler dan edema, serta dinding
faring menebal.

11
f. Geographic tongue
Lidah tampak seperti gambaran peta.

Tabel 01. Perbedaan Karakteristik Klinis Rinitis Alergi dan Non Alergi9

Karakteristik Klinis Rinitis Alergi Rinitis Non Alergi


Ancillary Studies Positive Skin Test Negative Skin Test
Faktor yang memperburuk Terpapar Antigen Terpapar iritan, perubahan
cuaca
Riwayat alergi keluarga Ada Tidak ada
Eusinofil nasal Ada Terlihat pada pasien rinitis
non alergi dengan sindrom
eusinofil
Kongesti Sering Sering
Postnasal Drip Tidak terlalu muncul Muncul
Rinore Sering Tidak terlalu sering
Bersin Muncul Biasanya tidak muncul
Gambaran fisik mukosa Variasi, pucat, dan Variasi, eritema
nasal bengkak
Dipengaruhi musiman Musiman Biasanya tahunan, tetapi
gejalanya diperburuk dengan
perubahan cuaca.

Gambar 07. Anatomi Hidung Normal

12
Gambar 08. Anatomi Hidung Rinitis Alergi

Gambar 09. Anatomi Hidung Rinitis Non-Alergi


3. Pemeriksaan Penunjang
a. In vitro
Hasil pemeriksaan darah tepi biasanya menunjukkan hitung eusinofil
yang normal ataupun dapat meningkat. Pemeriksaan Ig E total (prist-
paper radio immunosorbent test) seringkali normal kecuali bila tanda
alergi pada pasien lebih dari satu macam penyakit, misalnya selain
menderita rinitis alergi juga menderita asma bronkial atau urtikaria.
Kadar IgE meningkat hanya didapati pada 60% penderita rinitis
alergi dan 75% penderita asma. Kadar IgE normal tidak
menyingkirkan rinitis alergi. Kadar dapat meningkat pada infeksi
parasit, penyakit kulit dan menurun pada imunodefisiensi.5
Pemeriksaan ini berguna pada bayi atau anak kecil dari keluarga
dengan derajat alergi yang tinggi. Lebih bermakna adalah

13
pemeriksaan Ig E spesifik dengan RAST (Radio Immuno Sorbent
Test) atau ELISA (Enzyme Linked Immuno Sorbent Assay Test).
Pemeriksaan sitologi hidung, walaupun tidak dapat memastikan
diagnosis, tetap berguna sebagai pemeriksaan pelengkap. DItemukan
eusinofil dalam jumlah banyak menunjukkan kemungkinan alergi
inhalan. Jika basofil (>5 sel/lp) menunjukkan alergi makanan,
sedangkan jika ditemukan sel PMN menunjukkan adanya infeksi
bakteri.5

b. In vivo
Alergen penyebab dapat dicari dengan cara pemeriksaan cukit kulit,
uji intrakutan atau intradermal yang tunggal atau berseri (Skin End-
point Titration/SET), SET dilakukan untuk alergen inhalan dengan
menyuntikkan alergen dalam berbagai konsentrasi. Keuntungan SET,
selain alergen penyebab juga derajat alergi serta dosis inisial untuk
desensitisasi dapat diketahui.5
Pada alergi makanan, uji kulit yang banyak dilakukan adalah
Intracutaneus Provocative Dilutional Food Test/ IPDFT, namun
baku emasnya dilakukan diet eliminasi dan provokasi (Challenge
Test).5

2.8 Diagnosis Banding


Rinitis alergi memilki gejala yang sama dengan beberapa penyakit yang lain.
Penyakit-penyakit yang perlu dibedakan dengan rinitis alergi diantaranya
adalah:
1. Rinitis Vasomotor
Salah satu jenis rinitis yang tidak disebabkan oleh alergi. Rinitis
vasomotor adalah gangguan yang terjadi karena kondisi pembuluh darah
di hidung sangat sensitif. Saraf neuron yang abnormal dari pembuluh
darah dalam hidung dapat menyebabkan terjadinya peradangan pada
hidung. Rinitis vasomotor memiliki gejala yang sama dengan rinitis
alergi, namun penyebabnya berbeda. Gejala umum rinitis vasomotor
adalah pilek/ingusan tidak sembuh-sembuh, hidung tersumbat dan sering
bersin-bersin.1

14
2. Rinitis Virus
Penyebabnya beberapa jenis virus dan yang paling penting ialah
Rhinovirus. Penyakit ini sangat menular dan gejala dapat timbul sebagai
akibat tidak adanya kekebalan atau menurunnya daya tahan tubuh.1
3. Rinitis Atrofi (ozaena)
Rinitis atrofi adalah infeksi hidung yang kronik, yang ditandai oleh
adanya atrofi progresif pada mukosa dan tulang konka. Salah satu gejala
yang timbul adalah mukosa hidung menghasilkan sekret yang kental dan
cepat mengering sehingga terbentuk krusta yang berbau busuk. Orang di
sekitar penderita yang biasanya tidak tahan dengan bau tersebut, tetapi
pasien sendiri tidak merasakannya karena hiposmia atau anosmia.1

2.9 Penatalaksanaan Rinitis Alergi


Penyakit alergi disebabkan oleh mediator kimia seperti histamin yang
dilepaskan oleh sel mast yang dipicu oleh adanya ikatan alergen dengan IgE
spesifik yang melekat pada reseptornya di permukaan sel tersebut. Tujuan
pengobatan rinitis alergi adalah:4
1. Mengurangi gejala akibat paparan alergen, hiperreaktifitas nonspesifik
dan inflamasi.
2. Perbaikan kualitas hidup penderita sehingga dapat menjalankan aktifitas
sehari-hari.
3. Mengurangi efek samping pengobatan.
4. Edukasi penderita untuk meningkatkan ketaatan berobat dan
kewaspadaan terhadap penyakitnya. Termasuk dalam mengubah gaya
hidup seperti pola makanan yang bergizi, olahraga dan menghindari
stres.
5. Mengubah jalannya penyakit atau pengobatan kausal.

Untuk mencapai tujuan pengobatan rinitis alergi, dapat diberikan obat-


obatan sebagai berikut:
1. Antihistamin
Antihistamin merupakan pilihan pertama untuk pengobatan rinitis
alergi. Secara garis besar dibedakan atas antihistamin H1 klasik dan

15
antihistamin H1 golongan baru. Antihistamin H1 klasik seperti
Dipenhidramin, Tripolidin, Klorfeniramin. Sedangkan antihistamine
generasi baru seperti Terfenadin, Loratadin, Desloratadin. Desloratadin
memiliki efektifitas yang sama dengan montelukast dalam mengurangi
gejala rinitis yang disertai dengan asma. Levocetirizine yang diberikan
selama 6 bulan terbukti mengurangi gejala rinitis alergi persisten dan
meningkatkan kualitas hidup pasien rinitis alergi dengan asma.4,8
2. Dekongestan hidung
Obat-obatan dekongestan hidung menyebabkan vasokonstriksi karena
efeknya pada reseptor-reseptor α-adrenergik. Efek vasokonstriksi terjadi
dalam 10 menit, berlangsung selama 1 sampai 12 jam. Pemakaian
topikal sangat efektif menghilangkan sumbatan hidung, tetapi tidak
efektif untuk keluhan bersin dan rinore. Pemakaiannya terbatas selama
10 hari. Kombinasi antihistamin dan dekongestan oral dimaksud untuk
mengatasi obstruksi hidung yang tidak dipengaruhi oleh antihistamin.4,8
3. Kortikosteroid
Pemakaian sistemik kadang diberikan peroral atau suntikan sebagai
depo steroid intramuskuler. Data ilmiah yang mendukung relatif sedikit
dan tidak ada penelitian komparatif mengenai cara mana yang lebih
baik dan hubungannya dengan dose response. Kortikosteroid oral
sangat efektif dalam mengurangi gejala rinitis alergi terutama dalam
episode akut. Efek samping sistemik dari pemakaian jangka panjang
kortikosteroid sistemik baik peroral atau parenteral dapat berupa
osteoporosis, hipertensi, memperberat diabetes, supresi dari
hypothalamic-pituitary-adrenal axis, obesitas, katarak, glukoma,
cutaneous striae. Efek samping lain yang jarang terjadi diantaranya
sindrom Churg-Strauss. Pemberian kortikosteroid sistemik dengan
pengawasan diberikan pada kasus asma yang disertai tuberkulosis,
infeksi parasit, depresi yang berat dan ulkus peptikus.4,8
Pemakaian kortikosteroid topikal (intranasal) untuk rinitis alergi seperti
Beclomethason dipropionat, Budesonide, Flunisonide acetate
fluticasone dan Triamcinolone acetonide dinilai lebih baik karena

16
mempunyai efek antiinflamasi yang kuat dan mempunyai afinitas yang
tinggi pada reseptornya, serta memiliki efek samping sitemik yang lebih
kecil. Tapi pemakaian dalam jangka waktu yang lama dapat
menyebabkan mukosa hidung menjadi atropi dan dapat memicu
tumbuhnya jamur.4
4. Antikolinergik
Perangsangan saraf parasimpatis menyebabkan vasodilatasi dan sekresi
kelenjar. Antikolinergik menghambat aksi asetilkolin pada reseptor
muskarinik sehingga mengurangi volume sekresi kelenjar dan
vasodilatasi. Ipratropium bromida, yang merupakan turunan atropin
secara topikal dapat mengurangi hidung tersumbat atau bersin.4,8

5. Natrium Kromolin
Digolongkan pada obat-obatan anti alergi yang baru. Mekanisme kerja
belum diketahui secara pasti. Mungkin dengan cara menghambat
penglepasan mediator dari sel mastosit, atau mungkin melalui efek
terhadap saluran ion kalsium dan klorida.4
6. Imunoterapi
Imunoterapi dengan alergen spesifik digunakan bila upaya
penghindaran alergen dan terapi medikamentosa gagal dalam mengatasi
gejala klinis rinitis alergi. Terdapat beberapa cara pemberian
imunoterapi seperti injeksi subkutan, pernasal, sub lingual, oral dan
lokal. Pemberian imunoterapi dengan menggunakan ekstrak alergen
standar selama 3 tahun, terbukti memiliki efek preventif pada anak
penderita asma yang disertai seasonal rhinoconjunctivitis mencapai 7
tahun setelah imunoterapi dihentikan.4,8

17
Gambar 10. Algoritma Penatalaksanaan Rinitis Alergi Menurut WHO ARIA
2001 (dewasa)5

18
Gambar 11. Algoritma Penatalaksanaan Rinitis Alergi Menurut WHO ARIA
2008.8

19
Gambar 12. Terapi Farmakologi untuk Rinitis Alergi10

2.10 Komplikasi Rinitis Alergi


Komplikasi rinitis alergi yang sering adalah:5
1. Polip Hidung
Faktor alergi atau radang berulang dan lama akan mengakibatkan
degenerasi mukosa, pembulu darah vena, dan pembuluh limfe
sehingga aliran kembali cairan interstitial terhambat dan menimbulkan
kongesti pasif. Edema yang berlangsung lama akan mengakibatkan
timbulnya penonjolan mukosa yang makin lama makin panjang dan
bertangkai sehingga membentuk polip.
2. Otitis Media Efusi yang sering residif terutama pada anak-anak.
3. Sinusitis Paranasal

2.11 Prognosis Rinitis Alergi


Secara umum prognosis rinitis alergi umumnya baik, bila alergen penyebab
dapat dihindari.4
BAB III

20
LAPORAN KASUS

3.1Identitas Pasien
Nama : IATA
Umur : 18 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Pendidikan : SMA
Pekerjaan : Mahasiswa
Suku Bangsa : Bali
Agama : Hindu
Alamat : Br. Griya Desa Kamasan Klungkung
Tgl Pemeriksaan : 27 Juli 2017

3.2Anamnesis
Keluhan Utama : Hidung tersumbat
Perjalanan Penyakit :
Pasien datang ke poliklinik THT RSUD Klungkung diantar oleh ayahnya
dengan keluhan hidung tersumbat sejak 6 hari sebelum ke Poliklinik THT. Selama
6 hari tersebut keluhan hidung tersumbat tersebut hilang timbul. Biasanya hidung
tersumbat bergantian kanan dan kiri atau keduanya secara bersamaan, sehingga
mengganggu pernapasan pasien. Hidung tersumbat yang dirasakan pasien
membaik secara spontan, kemudian muncul lagi secara tiba-tiba.
Keluhan hidung tersumbat ini disertai dengan pilek dan bersin-bersin.
Keluhan pilek mulai dirasakan bersamaan dengan hidung tersumbat, dan pilek
dirasakan hilang timbul. Cairan yang keluar dari hidung pasien saat pilek
berwarna bening dan encer. Pasien tidak mengkonsumsi obat apapun untuk
mengurangi keluhan pileknya tersebut.
Keluhan lainnya yaitu bersin-bersin. Keluhan ini muncul terutama pagi
hari dan bila kontak dengan debu pada saat membersihkan rumah, bersin-bersin
dirasakan bisa sampai lebih dari 5 kali tiap terjadi serangan. Ketika bersin keluar
ingus dari hidung berwarna bening dan encer. Selain keluhan tersebut, pasien juga
mengeluh gatal pada hidungnya yang dirasakan setiap sebelum pasien bersin-

21
bersin. Keluhan yang dirasakan pasien ini sangat mengganggu aktivitas sehari-
hari pasien seperti saat belajar dan aktivitas diluar sekolah. Tidak ada keluhan
panas badan, nyeri kepala, nyeri pada sekitar wajah, maupun nyeri pada telinga
dan keluhan nyeri menelan.

Riwayat Penyakit Dahulu


Penderita mengatakan memiliki riwayat alergi debu dimana bila penderita kontak
dengan debu maka penderita akan bersin-bersin dan keluar ingus yang encer,
namun akan membaik dengan sendirinya bila penderita tidak kontak lagi dengan
debu. Pasien tidak pernah melakukan pemeruksaan skin prick test sebelumnya.

Riwayat Pengobatan
Penderita belum memeriksakan diri ke dokter dan belum meminum obat untuk
mengurangi keluhan saat ini.

Riwayat Penyakit Keluarga


Riwayat penyakit yang sama pada anggota keluarga yang lain disangkal oleh
pasien. Ayah pasien dikatakan memiliki riwayat penyakit asma sejak kecil.

Riwayat Pribadi/Sosial
Penderita adalah seorang mahasiswa sekolah pariwisata. Penderita tinggal
bersama keluarga dimana sehari-hari pasienlah yang bertugas membersihkan
rumah setiap paginya. Penderita tidak memiliki kebiasaan merokok dan minum
minuman beralkohol. Keadaan lingkungan sekitar rumah penderita kering dan
berdebu.

3.3Pemeriksaan Fisik
Tanda-tanda Vital
Keadaan umum : Baik
Kesadaran : Compos Mentis
Tekanan darah : 110/80 mmHg
Nadi : 84 x/menit

22
Respirasi : 20 x/menit
Temperatur : 36,3 °C
Tinggi Badan : 163 cm
Berat badan : 42 kg

Status General :
Kepala : Normocephali
Muka : Simetris
Mata : Anemis (-/-), ikterus (-/-), reflek pupil (+/+) isokor
THT : Sesuai status lokalis
Leher : Pembesaran kelenjar limfe (-/-)
Pembesaran kelenjar parotis (-/-)
Kelenjar tiroid (-)
Thorak : Cor : S1S2 tunggal, reguler, murmur (–)
Pulmo : Ves (+/+), Rh (-/-), Wh (-/-)
Abdomen : Distensi (-), BU (+) N, hepar/lien tidak teraba
Ekstremitas : dalam batas normal

Status lokalis THT :


1. Telinga
Telinga Kanan Kiri
Daun telinga N N
Nyeri Tekan Tragus Tidak ada Tidak ada
Nyeri Tarik Aurikuler Tidak ada Tidak ada
Liang Telinga Lapang Lapang
Sekret Tidak ada Tidak ada
Membran Timpani Intak Intak
Tumor Tidak ada Tidak ada
Mastoid N N

Tes Pendengaran
Kanan Kiri
Weber Tidak dievaluasi Tidak dievaluasi
Rinne Tidak dievaluasi Tidak dievaluasi

23
Schwabach Tidak dievaluasi Tidak dievaluasi

2. Hidung
Hidung Kanan Kiri
Hidung luar N N
Cavum nasi Lapang Lapang
Septum Tidak ada deviasi Tidak ada deviasi
Discharge Serous Serous
Mukosa Pucat Pucat
Tumor - -
Konka Kongesti Kongesti

3. Tenggorokan :
Dispneu :-
Sianosis :-
Mukosa : merah muda
Dinding belakang faring : normal
Suara : normal

Tonsil Kanan Kiri


Pembesaran T1 T1
Hiperemis - -
Permukaan mukosa Rata Rata

3.4Resume
Pasien datang ke poliklinik THT RSUD Klungkung dengan keluhan hidung
tersumbat sejak 6 hari sebelum ke Poliklinik THT. Selama 6 hari tersebut keluhan
hidung tersumbat tersebut hilang timbul. Biasanya hidung tersumbat bergantian
kanan dan kiri atau keduanya secara bersamaan, sehingga mengganggu pernapasan
pasien. Keluhan hidung tersumbat ini disertai dengan pilek dan bersin-bersin yang
muncul bersamaan dengan hidung tersumbat. Serangan bersin terjadi terutama bila
kontak dengan debu pada saat membersihkan rumah, bersin-bersin dirasakan lebih
dari 5 kali tiap terjadi serangan. Selain keluhan tersebut, pasien juga mengeluh
gatal pada hidungnya yang dirasakan sebelum pasien bersin-bersin. Keluhan yang
dialami pasien sangat mengganggu aktivitas harian pasien. Tidak ada keluhan

24
panas badan, nyeri kepala ataupun nyeri pada sekitar wajah dan keluhan nyeri
menelan.
Dari pemeriksaan fisik didapatkan telinga kesan tenang, hidung kanan dan
kiri mengalami mukosa pucat dan konka kongesti, terdapat sekret pada hidung
kanan dan kiri, tenggorokan tenang.

3.5Diagnosis Kerja
Rinitis Alergi Persisten Derajat Sedang-Berat

3.6Penatalaksanaan
Medikamentosa:
1. Setirizin 10 mg tiap 24 jam (Malam)
2. Nasacort spray tiap 12 jam spray 1 kali

KIE:
1. menjelaskan tentang penyakit, terapi, efek samping pengobatan, dan
prognosis pasien.
2. kontrol ke Poliklinik THT bila gejala yang dirasakan tidak membaik atau
bertambah parah.

3.7 Prognosis
Ad Vitam : Dubia ad Bonam
Ad Functionam : Dubia ad Bonam
Ad Sanationam : Dubia ad Malam
BAB IV
PEMBAHASAN

Diagnosis rinitis alergi dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis,


pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Berdasarkan anamnesis, pasien
IATA, perempuan berusia 18 tahun asal Klungkung, mengeluhkan hidung
tersumbat sudah sejak 6 hari sebelum ke Poliklinik THT. Keluhan hidung
tersumbat disertai dengan keluhan bersin, pilek sejak 6 hari yang lalu. Serangan

25
bersin terjadi terutama bila kontak dengan debu pada saat membersihkan rumah,
bersin-bersin dirasakan lebih dari 5 kali tiap terjadi serangan. Keluhan hidung
gatal juga dirasakan sebelum keluhan bersin muncul. Hal ini sesuai dengan
definisi dan gejala Rinitis Alergi adalah kelainan pada hidung dengan gejala
bersin-bersin, rinore, rasa gatal dan tersumbat setelah mukosa hidung terpapar
alergen yang diperantai oleh Ig E. Gejala yang dirasakan pasien adalah hidung
tersumbat, bersin-bersin jika menghirup debu, pilek, dan gatal pada hidung yang
dirasakan sebelum pasien bersin. Pada pemeriksaan fisik ditemukan tanda-tanda
vital dan status generalis dalam batas normal. Pemeriksaan THT ditemukan pada
hidung terdapat sekret pada kedua cavum nasi, mukosa pucat dan konkanya
kongesti pada hidung kanan, dan kiri.
Keluhan yang dirasakan pasien sudah dialami sejak 6 hari, sehingga
keluhan pasien diklasifikasikan menurut WHO ARIA ke dalam rinitis alergi
persisten. Keluhan yang dialami pasien ini juga menganggu aktivitas harian pasien
seperti saat belajar dan saat melakukan aktivitas lainnya di luar sekolah, sehingga
jika diklasifikasikan tergolong ke dalam gejala sedang-berat.
Berdasarkan teori, pemeriksaan penunjang untuk menegakkan penyebab
rinitis alergi adalah menggunakan skin prick test untuk mengetahui alergen utama
penyebab rinitis alergi. Pada pasien ini tidak dilakukan pemeriksaan skin prick
test, tetapi pasien mengatakan setiap kontak dengan debu rumah, reaksi alergi
seperti bersin-bersin > 5 kali sering muncul.
Terapi utama rinitis alergi adalah menghindari kontak dengan alergen
penyebab. Pemberian antihistamin dan kostikosteroid juga direkomendasikan
untuk meringankan gejala rinitis alergi. Pada pasien ini terapi yang diberikan
adalah antihistamin setirizine 10 mg tiap 24 jam untuk pengobatan reaksi alergi,
kortikosteroid Nasacort spray tiap 12 jam, 1 kali spray pada hidung kanan dan kiri
sebagai anti inflamasi.

26
BAB V
PENUTUP

Rinitis alergi adalah inflamasi yang mengenai membran mukosa nasal


yang disebabkan oleh reaksi alergi. Alergen yang terlibat dalam rhinitis alergi
sebagian besar protein yang berasal dari partikel udara termasuk serbuk sari,
debu tungau rumah, residu kecoa, ketombe. Penyakit alergi disebabkan oleh
mediator kimia seperti histamin yang dilepaskan oleh sel mast yang dipicu

27
oleh adanya ikatan alergen dengan IgE spesifik yang melekat pada reseptornya
di permukaan sel tersebut. Rinitis alergi dibagi menjadi 2 macam yaitu
intermitten dan resisten. Menegakan diagnosis rhinitis alergi dapat dengan
melakukan in vitro, in vivo, skin prick test dan IgE serum total. Terapi yang
digunakan untuk rhinitis alergi dapat diberikan antihistamin, antikolinergik,
kortikosteroid dan dekongestan hidung.

DAFTAR PUSTAKA

1. Yunita A, Rambe M, Munir D, Siti T, Haryuna H, Kedokteran F, et al.


Laporan Penelitian Hubungan rinitis alergi dan disfungsi tuba Eustachius
dengan menggunakan timpanometri. ORLI. 2013;43(1).
2. Bousquet J, Khaltaev N, Cruz AA, Denburg J, Fokkens WJ, Togias A, et al.
Review article Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma (ARIA) 2008
Review Group : 2008;63:8–160.

28
3. Poincare R, Health C. Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma (ARIA)
guidelines : 2010 Revision. Am Acad Allergy, Asthma Immunol.
2010;126:466–76.
4. Huriyati E, Hafiz A. Diagnosis dan Penatalaksanaan Rinitis Alergi yang
Disertai Asma Bronkial. Bagian Ilmu Kesehat Telinga Hidung Tenggorok
Bedah Kepala dan Leher Fak Kedokt Univ Andalas. 2011;1–14. 
5. Arsyad S, Nurbaiti I, Jenny B, Restuti RD. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga
Hidung tenggorok Kepala & Leher. Edisi 6. Jakarta: FKUI; 2007. 128-134.
6. Friedman R, Hockman M. Allergic Rhinitis and the ENT Practice. Curr
Allergy Clin Immunol. 2015;28(1):28–31.
7. Sin B, Togias A. Pathophysiology of Allergic and Non-allergic Rhinitis. Proc
Am Thorac Soc. 2011;8:106–14.
8. Akdis CA, Hellings PW, Agache I. Global Atlas of Allergic Rhinitis and
Chronic Rhinosinusitis. European: European Academy of Allergy and Clinical
Immunology; 2015.
9. Seidman MD, Gurgel RK, Lin SY, Schwartz SR, Baroody FM, Bonner JR, et
al. Clinical Practice Guideline : Allergic Rhinitis. Am Acad Otolaryngol Head
Neck Surg. 2014;152:1–43.
10. Small P, Kim H. Immunology Allergic rhinitis. Allergy, Asthma Clin
Immunol. 2011;7(1):1–8.

29

Anda mungkin juga menyukai