Anda di halaman 1dari 18

Makalah Keperawatan Anak

Asuhan Keperawatan Pasien Dengan Hipospadia

Dosen Pengampu : Ns.Monalisa, S.Kep, M.Kep

Disusun oleh Kelompok 5 :

1. Annisa Mappario (PO71202220053)


2. Diah Ayu Anjani (PO71202220013)
3. Pita Ayu Lestari (PO71202220035)
4. Rinda Agustina (PO71202220037)
5. Nelly Herawati (PO71202220069)
6. Ermawati (PO71202220073)
7. Desy Anmi Putri (PO71202220009)
8. Siti Kholillah (PO71202220029)
9. Umaya Oktavia (PO71202220016)
10.Dewi Diah Aqtiani (PO71202220036)

Politeknik Kesehatan Kemenkes Jambi Jurusan Keperawatan

Program Studi Pendidikan Profesi Ners

Tahun Akademik 2022/2023


KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat dan penyertaan-Nya
sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah tentang “Asuhan Keperawatan Pasien
Dengan Hipospadia” dengan baik. Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas Mata
Kuliah Keperawatan Anak.

Melalui penulisan makalah ini, penyusun berterima kasih kepada semua pihak yang
telah membantu selama proses penyusunan makalah ini. Penyusun menyadari masih
banyak kekurangan dalam penulisan makalah ini, karena itu kritik dan saran untuk
perbaikan dan penyempurnaan makalah ini sangat diperlukan. Semoga makalah ini dapat
bermanfaat.

Jambi, 1 Agustus 2022

Penulis
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL……………………………………………………………...
KATA PENGANTAR..............................................................................................
DAFTAR ISI ............................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN.........................................................................................
1.1 Latar Belakang.....................................................................................................
1.2 Rumusan Masalah................................................................................................
1.3 Tujuan Makalah...................................................................................................
BAB II TINJAUAN TEORI....................................................................................
2.1 Konsep Dasar Hipospadia ...................................................................................
2.2 Etiologi Hipospadia .............................................................................................
2.3 Klasifikasi ...........................................................................................................
2.4 Manifestasi Klinis ...............................................................................................
2.5 Gejala Klinis.............................................………………………………………
2.6 Pemeriksaan Penunjang.......................................................................................
2.7 Penatalaksanaan Medis .......................................................................................
BAB III KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN HIPOSPADIA ......................
3.1 Pengkajian............................................................................................................
3.2 Diagnosa Keperawatan.........................................................................................
3.3 Intervensi Keperawatan .......................................................................................
3.4 Implementasi Keperawatan .................................................................................
BAB IV PENUTUP..................................................................................................
4.1 Kesimpulan..........................................................................................................
4.2 Saran.....................................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA...............................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Istilah hipospadia berasal dari bahasa Yunani, yaitu Hypo (below) dan spaden
(opening). Hipospadia menyebabkan terjadinya berbagai tingkatan defisiensi uretra.
Jaringan fibrosis yang menyebabkan chordee menggantikan fascia Bucks dan tunika
dartos. Kulit dan preputium pada bagian ventral menjadi tipis, tidak sempurna dan
membentuk kerudung dorsal di atas glans (Duckett, 1986, Mc Aninch,1992).
Selain berpengaruh terhadap fungsi reproduksi yang paling utama adalah pengaruh
terhadap psikologis dan sosial anak. Penyebab dari hiposapadia ini sangat
multifaktorial antara lain disebabkan oleh gangguan dan ketidakseimbangan
hormone, genetika dan lingkungan. Ganguan keseimbangan hormon yang dimaksud
adalah hormone androgen yang mengatur organogenesis kelamin (pria). Sedangkan
dari faktor genetika , dapat terjadi karena gagalnya sintesis androgen sehingga
ekspresi dari gen tersebut tidak terjadi. Dan untuk faktor lingkungan adalah polutan
dan zat yang bersifat teratogenik yang dapat mengakibatkan mutasi.

Belakangan ini di beberapa negara terjadi peningkatan angka kejadian hipospadia


seperti di daerah Atlantameningkat 3 sampai 5 kali lipat dari 1,1 per 1000 kelahiran
pada tahun 1990 sampai tahun1993. Banyak penulis melaporkan angka kejadian
hipospadia yang bervariasi berkisar antara 1 : 350 per kelahiran laki-laki. Bila ini
kita asumsikan ke negara Indonesia karenaIndonesia belum mempunyai data pasti
berapa jumlah penderita hipospadia dan berapaangka kejadian hipospadia. Maka
berdasarkan data dari Biro Pusat Statistik tahun 2000 menurut kelompok umur dan
jenis kelamin usia 0 – 4 tahun yaitu 10.295.701 anak yangmenderita hipospadia
sekitar 29 ribu anak yang memerlukan penanganan repair hipospadia.

Penatalaksanaan hipospadia pada bayi dan anak dilakukan dengan prosedur


pembedahan. Tujuan utama pembedahan ini adalah untuk merekontruksi penis
menjadi lurus dengan meatus uretra ditempat yang normal atau dekat normal
sehingga pancaran kencing arahnya kedepan. Umumnya di Indonesia banyak terjadi
kasus hipospadia dan epispadia karena kurangnya pengetahuan para bidan saat
menangani kelahiran karena seharusnya anak yang lahir itu laki-laki namun karena
melihat lubang kencingnya di bawah maka di bilang anak itu perempuan. Oleh
karena itu kita sebagai seorang tenanga medis harus menberikan informasi yang
adekuat kepada para orang tua tentang penyakit ini. Para orang tua hendaknya
menghindari faktor- faktor yang dapat menyebabkan hipospadia dan mendeteksi
secara dini kelainan pada anak mereka sehingga dapat dilakukan penanganan yang
tepat.
1.2 Tujuan
Untuk mengetahui asuhan keperawatan paliatif pada pasien Hipospadia

1.3 Rumusan Masalah


1. Apa pengertian Konsep Dasar Hipospadia ?
2. Apa saja Etiologi Hipospadia ?
3. Apa saja Klasifikasi ?
4. Apa saja Manifestasi Klinis ?
5. Apa saja Gejala Klinis ?
6. Apa saja Pemeriksaan Penunjang ?
7. Apa saja Penatalaksanaan Medis ?
8. Bagaimana Asuhan keperawatan pada pasien Hipospadia
BAB II

TINJAUAN TEORI

2.1. Konsep Hipospadia

a. Definisi hipospadia

Hypospadia dapat didefinisikan sebagai adanya muara uretra yang terletak di


ventral atau proximal dari lokasi yang seharusnya. Kelainan ini terbentuk pada masa
embryonal karena adanya defek pada masa perkembangan alat kelamin dan sering dikaitkan
dengan gangguan pembentukan seks primer ataupun gangguan aktivitas seksual saat dewasa
(Snodgrass & Bush, 2016).

Hypospadia adalah kelainan letak uretra dan merupakan kelainan bawaan pada
laki-laki, ditandai dengan posisi anatomi pembukaan saluran kemih di bagian ventral atau
bagian arterior penis, biasanya disertai lengkung penis yang tidak normal dan ukurannya lebih
pendek daripada laki-laki normal. Letaknya bervariasi sepanjang bagian ventral dari penis
atau di perineum sebagai akibat gagalnya penyatuan dari lempeng uretra, Hypospadia berat
didefinisikan sebagai suatu kondisi Hypospadia yang disertai dengan letak muara uretra
eksternal diantara proximal penis sampai dengan di perbatasan penis dan skrotum dan
mempunyai chrodee (Keays & Sunit, 2017).

Gambar Hypospadia (Kyle & Carman, 2014)


2.1 Etiologi hipospadia

Etiologi Hipospadia sangat bervariasi dan multifactorial, namun belum ditemukan


penyebab pasti dari kelainan ini. Adanya defek pada produksi testosterone oleh testis dan
kelenjar adrenal, kegagalan konversi dari testosterone ke dihidrotestosteron, defisiensi
reseptor androgen di penis, maupun penurunan ikatan antara dihidrostestosteron dengan
reseptor andogren dapat menyebabkan Hypospadia (Krisna & Maulana, 2017).
Adanya paparan estrogen atau progestin pada ibu hamil di awal kehamilan dicurigai
dapat meningkatkan resiko terjadinya Hypospadia. Lingkungan yang tinggi terhadap
aktivitas estrogen sering ditemukan pada pestisida di sayuran dan buah, dan obat-obatan,
namun pada pil kontrasepsi tidak menimbulkan Hypospadia. Bahwa ibu hamil yang
terpapar diethylstilbestrol meningkatlan resiko terjadinya Hypospadia (Krisna &
Maulana, 2017).

Pada ibu hamil yang melakukan diet vegetarian diperkirakan terjadi peningkatan
resiko terjadinya Hypospadia. Hal ini dapat disebabkan adanya kandungan yang tinggi
dari fitoestrogen pada sayuran. Respon Activiting Transcription Factor (ATF3) terhadap
aktivitas anti androgen terbukti berperan penting terhadap kelainan Hypospadia. Pada ibu
hamil yang mengkonsumsi obat-obatan anti epilepsy seperti asam valporat juga diduga
meningkatkan resiko Hypospadia (Mahendra & Maulana, 2017).
Pada anak laki-laki yang lahir dengan program Intra-cystolasmic sperm Injection
(ICSI) atau In Vitro Fertilization (IVF) memiliki insiden yang tinggi pada Hypospadia.
Intra uterin growth retardation, berat bayi lahir rendah, bayi kembar, turunan
Hypospadia juga merupakan faktor resiko Hypospadia yang dapat dikendalikan selama
kehamilan (Krisna & Maulana, 2017).

Beberapa kelainan yang sering ditemukan bersamaan dengan Hypospadia adalah


kelainan kromosom dan ambigu genetalia seperti hermafrodit maupun pseudohermafrodit
(Krisna & Maulana, 2017)

2.3. Klasifikasi

Hypospadia terbagi berdasarkan lokasinya. Klasifikasi yang paling sering digunakan


adalah klasifikasi Duckett yang membagi Hypospadia menjadi 3 lokasi, yaitu anterior
(Glandular, coronal, dan distal penile), middle (midshaft dan proximal penile), dan
posterior (Penoscrotal, scrotal, dan perineal). Lokasi yang peling sering ditemukan
adalah di subcoronal. Klasifikasi Hypospadia berdasarkan derajat sangat subyektif
tergantung dari ahli bedah masing-masing Klasifikasi Hypospadia terbagi berdasarkan
lokasinya. Klasifikasi yang paling sering digunakan adalah klasifikasi Duckett yang
membagi Hypospadia menjadi 3 lokasi, yaitu anterior (Glandural, coronal, dan distal
penile), middle (midsaft proximal penile), dan posterior (penoscrotal, scrotal dan
perineal).

Lokasi yang peling sering ditemukan adalah di subcoronal. Klasifikasi Hypospadia


berdasarkan derajat sangat subyektif tergantung dari ahli bedah masing-masing. Dibagi
menjadi: Mild Hypospadia atau Grade 1, yaitu muara uretra dekat dengan lokasi normal
dan berada pada ujung tengah glans (glanular, coronal, subcoronal). Moderate
Hypospadia atau grade 2, muara uretra berada di tengah-tengah lokasi normal dan scrotal
(Distal penile, Midshaft). Devere Hypospadia atau grade 3 dan 4, yaitu muara uretra
berada jauh dari lokasi yang seharusnya (Perineal, Scrotal, Penoscrotal) (Krisna &
Maulana, 2017).

Gambar Klasifikasi Hypospadia (Krisna & Maulana, 2017)

2.4. Manifestasi klinis


Manifestasi klinis menurut Nurrarif & Kusuma (2015) yang sering muncul pada
penyakit Hypospadia sebagai berikut :
1. Tidak terdapat preposium ventral sehingga prepesium dorsal menjadi
berlebihan (dorsal hood).
2. Sering disertai dengan korde (penis angulasi ke ventral) atau penis
melengkung ke arah bawah.
3. Lubang kencing terletak dibagian bawah dari penis.
2.5. Gejala klinis
Gejala yang timbul bervariasi sesuai dengan derajat kalainan. Secara umum jarang
ditemukan adanya gangguan fungsi, namun cenderung berkaitan dengan masalah
kosmetik pada pemeriksaan fisik ditemukan muara uretra pada bagian ventral penis.
Biasanya kulit luar bagian ventral lebih tipis atau bahkan tidak ada, dimana kulit luar di
bagian dorsal menebal bahkan terkadang membentuk seperti sebuah tudung. Pada
Hypospadia sering ditemukan adanya chorda (Krisna & Maulana, 2017).
Chorda adalah adanya pembengkokan menuju arah ventral dari penis. Hal ini
disebabkan oleh karena adanya atrofi dari corpus spongiosum, fibrosis dari tunica
albuginea dan fasia di atas tunica, pengencangan kulit ventral dan fasia Buck,
perlengketan antara uretra plate ke corpus cavernosa. Keluhan yang mungkin
ditimbulkan adalah adanya pancaran urine yang lemah ketika berkemih, nyeri ketika
ereksi, dan gangguan dalam berhubungan seksual. Hypospadia sangat sering ditemukan
bersamaan dengan Cryptorchismus dan hernia inguinalis sehingga pemeriksaan adanya
testis tidak boleh terlewatkan (Krisna & Maulana, 2017).

2.6. Pemeriksaan penunjang


Tidak ada pemeriksaan laboratorium yang disarankan untuk penegakkan pasti
diagnosis Hypospadia. USG Ginjal disarankan untuk mengetahui adanya anomaly lainnya
pada saluran kemih pada pasien Hypospadia. Karyotyping disarankan pada pasien dengan
ambigu genetalia ataupun cryptochirdism. Beberapa test seperti elektrolit,
hydroxyprogesterone, testosterone, luteinizing hormone, follicle-stimulating hormone, sex
hormone binding globulin, dan beberapa tes genetic dipertimbangkan apabila
memungkinkan (Krisna & Maulana, 2017).

2.7. Penatalaksanaan medis

Penatalaksanaan hipospadia adalah dengan jalan pembedahan. Tujuan prosedur


pembedahan pada Hypospadia adalah:

1. Membuat penis yang lurus dengan memperbaiki chordee.


2. Membentuk uretra dan meatusnya yang bermuara pada ujung penis
(Uretroplasti).
3. Untuk mengembalikan aspek normal dari genetalia eskternal (kosmetik).
Pembedahan dilakukan berdasarkan keadaan malformasinya. Pada
Hypospadiaglanular uretra distal ada yang tidak terbentuk, biasanya tanpa
recurvatum, bentuk seperti ini dapat direkotruksi dengan flap local, misalnya:
prosedur Santanelli, Flip flap, MAGPI (Meatal Advanve and Glanuloplasty),
termasuk preputium plasty (Nurarif & Kusuma, 2015).
Tabel Komplikasi Paska Pembedahan

Komplikasi Awal Komplikasi Lanjutan


 Perdarahahan  Fistula
 Hematoma Urethrokutaneus
 Infeksi pada luka  Stenosis Meatal
operasi  Rekuren atau persistens
 Wound chordee Striktur Urethra
Dehiscence  Balanitis Xerptica
 Nekrosis kulit Obliterans
 Infeksi saluran  Urethrocele
kemih  Diverticula urethra
 Retensi urin
Krisna & Maulana, 2017
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN
3.1. Pengkajian
Pengkajian merupakan tahapan pertama dari proses keperawatan. Sebelum memulai
seluruh proses, tenaga keperawatan akan melakukan pengkajian awal terhadap kondisi
klien. Klien akan diberikan pertanyaan serta diberikan sejumlah tes baik fisik maupun
psikis. Pengkajian ini merupakan titik yang paling penting untuk menghasilkan diagnosa
keperawatan yang tepat (Prabowo, 2017). Pada klien dengan hipospadia setelah tindakan
post operasi pengkajian yang penting dilakukan yaitu mengkaji adanya pembengkakan
atau tidak, adanya perdarahan, dan disuria (Mendri & Prayogi, 2017).

3.2. Diagnosa Keperawatan


Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul pada klien dengan hipospadia post
operasi uretroplasty yaitu :
1) Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisik (prosedur operasi) dengan
tanda dan gejala yang mungkin muncul yaitu tampak meringis, bersikap protektif
(mis. waspada, posisi menghindari nyeri), gelisah, frekuensi nadi meningkat, sulit
tidur, tekanan darah meningkat, pola napas berubah, nafsu makan 15 berubah,
proses berpikir terganggu, menarik diri, berfokus pada diri sendiri, diaforesis.
2) Gangguan pola tidur berhubungan dengan hambatan lingkungan dengan tanda dan
gejala yang mungkin muncul yaitu mengeluh sulit tidur, engeluh sering terjaga,
mengeluh tidak puas tidur, mengeluh pola tidur berubah, mengeluh istirahat tidak
cukup
3) Resiko infeksi berhubungan dengan efek prosedur invasif

3.3. Intervensi keperawatan


1. Diagnosa 1 : Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisik
 Tujuan dan kriteria hasil : Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 3x24
jam, diharapkan nyeri akut teratasi dengan kriteria hasil:
 Nyeri berkurang dari 4 menjadi 2
 Meringis berkurang dari 4 menjadi 2
 Sikap protektif berkurang dari 4 menjadi 2
 Gelisah berkurang dari 5 menjadi 2 5. Frekuensi nadi normal 70-
120x/menit
 Rencana tindakan :
Observasi
 Identifikasi lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas dan
intensitas nyeri (PQRST)
 Identifikasi respon nyeri non verbal
Teraupetik
 Ajarkan teknik nonfarmakologi untuk mengurangi nyeri (teknik
relaksasi nafas dalam Edukasi
Edukasi
 Berikan pengetahuan pada klien dan keluarga terkait penyebab,
periode dan pemicu nyeri
 Kolaborasi dengan dokter terkait pemberian analgetik

 Rasional :
 Diketahui tingkat nyeri klien membantu dalam menentukan tindakan
keperawatan yang akan dilakukan
 Untuk mengetahui tingkat ketidaknyamanan yang dirasakan klien
 Nafas dalam dapat melancarkan sirkulasi oksigen di dalam tubuh,
membuat sirkulasi darah lancar, dan vena melebar sehingga bisa
mengurangi nyeri
 Dapat meningkatkan pengetahuan klien dan keluarga terkait penyebab,
periodedan pemicu nyeri.
 Terapi farmakologi yang tepat dapat mengurangi keluhan nyeri

2. Diagnosa 2 : Gangguan pola tidur berhubungan dengan hambatan lingkungan


 Tujuan dan kriteria hasil : Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 3x24
jam diharapkan gangguan pola tidur dapat teratasi, dengan kriteria hasil:
 Keluhan sulit tidur membaik dari 2 menjadi 5
 Keluhan pola tidur membaik dari 2 menjadi 5
 Istirahat cukup meningkat dari 2 menjadi 5
 Rencana tindakan :
Observasi
 Identifikasi pola aktivitas dan tidur
 Identifikasi faktor penganggu
Teraupetik
 Modifikasi lingkungan (misal: pencahayaan, kebisingan, suhu, matras
dan tempat tidur)
 Lakukan prosedur untuk meningkatkan kenyamanan
Edukasi
 Jelaskan pentingnya tidur cukup selama sakit
 Rasional :
 Diketahuinya kondisi pola aktivitas dan tidur klien
 Diketehuinya faktor penganggu tidur klien dapat membantu dalam
menentukan tindakan keperawatan yang akan dilakukan
 Lingkungan yang nyaman dapat meningkatkan kualitas tidur klien
 Mempercepat mengawali tidur dan memperbaiki siklus tidur
 Meningkatkan pengetahuan klien terkait tidur yang cukup selama sakit

3. Diagnosa 3 : Resiko infeksi berhubungan dengan efek prosedur invasif


 Tujuan dan kriteria hasil : Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 3x24
jam diharapkan resiko infeksi dapat teratasi , dengan kriteria hasil:
 Demam menurun dari 3 menjadi 5
 Kemerahan menurun dari 3 menjadi 5
 Bengkak menurun dari 3 menjadi 5
 Rencana tindakan :
 Monitor tanda dan gejala infeksilokal dan sistemik
 Cuci tangan sebelum dan sesudah kontak dengan klien dan lingkungan
klien
 Pertahankan teknik aseptik pada klien
 Jelaskan tanda dan gejala infeksi kepada klien dan keluarga
 Ajarkan cara mencuci tangan denganbenar kepada klien dan keluarga
 Kolaborasi pemberian antibiotik
 Rasional :
 Tanda gejala infeksi menjadi acuan dalam menentukan tindakan
keperawatan yang akan dilakukan.
 Cuci tangan dapat mencegah kontaminasi kuman
 Teknik aseptik menurunkan resiko terserang infeksi
 Pengetahuan penting untuk proses penyembuhan luka klien
 Cuci tangan meminimalisir risiko infeksi.
 Terapi antibiotik yang tepat dapat menurunkan risiko infeksi

3.4. Implementasi
Menurut Mufidaturrohmah (2017) implementasi merupakan pelaksanaan tindakan
yang sudah direncanakan dalam rencana perawatan. Tindakan tersebut mencakup
tindakan mandiri keperawatan dan tindakan kolaborasi.
Dx 1 : Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisik (prosedur operasi)
 Mengidentifikasi lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas dan intensitas
nyeri (PQRST)
 Mengidentifikasi respon nyeri non verbal
 Mengajarkan teknik nonfarmakologi untuk mengurangi nyeri (teknik relaksasi
nafas dalam Edukasi
 Memberikan pengetahuan pada klien dan keluarga terkait penyebab, periode dan
pemicu nyeri
 Kolaborasi dengan dokter terkait pemberian analgetik
Dx 2 : Gangguan pola tidur berhubungan dengan hambatan lingkungan
 Mengidentifikasi pola aktivitas dan tidur
 Mengidentifikasi faktor penganggu
 Memodifikasi lingkungan (misal: pencahayaan, kebisingan, suhu, matras dan
tempat tidur)
 Melakukan prosedur untuk meningkatkan kenyamanan
 Menjelaskan pentingnya tidur cukup selama sakit
Dx 3 : Resiko infeksi berhubungan dengan efek prosedur invasif
 Monitor tanda dan gejala infeksilokal dan sistemik
 Cuci tangan sebelum dan sesudah kontak dengan klien dan lingkungan klien
 Pertahankan teknik aseptik pada klien
 Jelaskan tanda dan gejala infeksi kepada klien dan keluarga
 Ajarkan cara mencuci tangan denganbenar kepada klien dan keluarga
 Kolaborasi pemberian antibiotik
4. Evaluasi
Menurut Mufidaturrohmah (2017) tujuan dan evaluasi adalah untuk mengetahui
sejauh mana perawatan dapat dicapai dan memberikan umpan balik terhadap asuhan
keperawatan yang berikat.
1. Evaluasi Proses
Merupakan aktivitas dari proses keperawatan dan hasil kualitas pelayanan
asuhan keperawatan. Evaluasi ini harus dilaksanakan segera setelah
perencanaan keparawatan diimplementasikan agar dapat mengetahui
efektifitas intervensi tersebut. Evaluasi proses harus terus menerus
dilaksanakan hingga tujuan yang telah ditentukan tercapai.
2. Evaluasi hasil
Fokus evaluasi hasil adalah perubahan perilaku atau status kesehatan klien
pada akhir asuhan keperawatan. Evaluasi keperawatan disusun berdasarkan
S.O.A.P yang operasional: S (Subyektif): merupakan ungkapan perasaan dan
keluhan yang dirasakan secara subjektif oleh klien setelah diberikan tindakan
keperawatan. O (Obyektif) : merupakan keadaan objektif yang dapat dilihat
dan identifikasi oleh perawat menggunakan pengamatan yang objektif setelah
tindakan keperawatan dilakukan. A (Assesment): merupakan analisa perawat
setelah mengetahui respons subjektif dan objektif klien dengan
membandingkan dengan kriteria dan standar serta mengacu pada tujuan
keperawatan P (Plan) : perencanaan tindak lanjut setelah perawat melakukan
analisis

Evidance Based Nursing Practice of Hipospadia


Judul artikel Teknologi Virtual Reality Untuk Penanganan Nyeri Pada Anak
Post Operasi
Penulis Rahmawati Dewi Handayani dan La Ode Abdul Rahman
Tahun terbit November 2021
metode penelitian Desain ini menggunakan literature review yang diambil dari
beberapa artikel yang didapat dari database Scopus,Proquest dan
Google Scholar
Hasil penelitian Penggunaan Virtual Reality efektif dalam penanganan nyeri post
operasi pada anak, dan diharapkan Virtual Reality ini dapat
digunakan oleh seluruh pelayanan kesehatan di Indonesia
terutama pelayanan keperawatan anak sebagai prosedur
penanganan nyeri khususnya nyeri post operasi
BAB IV
PENUTUP
4.1. Kesimpulan
Hipospadia adalah suatu keadaan dengan lubang uretra terdapat pada penis bagian
bawah, bukan diujung penis. Beratnya hipospadia bervariasi, kebanyakan lubang uretra
terletak didekat ujung penis yaitu pada glans penis. Bentuk hipospadia yang lebih berat
terjadi jika luubang uretra terdapat ditengah batang penis atau pada pangkal penis, dan
kadang pada skrotum atau dibawah skrotum. Kelainan ini sering berhubungan kordi, yaitu
suatu jaringan vibrosa yang kencang yang menyebabkan penis melengkung kebawah saat
ereksi. (Muslihatum, 2010:163)

4.2. Saran
Materi tentang asuhan keperawatan pada pasien anak dengan gangguan hipospadia
memiliki pembahasan yang luas. Oleh sebab itu maka perlu di pelajari dan di mengerti,
sebagai dasar untuk melakukan asuhan keperawatan yang benar dan baik pada pasien anak
dengan gangguan hipospadia.
DAFTAR PUSTAKA

file:///C:/Users/USER/Downloads/14.+Literatur+Review_ira-sudah+bayar-
rahma+ira.pdf
http://repository.akperykyjogja.ac.id/299/

Anda mungkin juga menyukai