Anda di halaman 1dari 19

ABSES TUBA-OVARIUM

DEFINISI
Abses tuba-ovarium (tubo-ovarian abscess / TOA) adalah akumulasi suatu keadaan
penyakit inflamasi akut pelvis di mana kondisi tersebut dikarakteristikan dengan adanya massa
pada dinding pelvis yang mengalami inflamasi.2
TOA adalah salah satu penyebab massa di daerah pelvik yang terbanyak pada wanita usia
reproduksi dan juga merupakan sekuele yang cukup serius dari suatu penyakit radang panggul
akut maupun kronik yang meliputi beberapa klasifikasi penyakit seperti endometritis, salpingitis,
maupun salpingo-oophoritis. Diagnosa dan penatalaksanaan yang tepat dari penyakit ini sangat
penting karena memiliki komplikasi yang cukup berat terhadap fertilitas penderita, disamping itu
juga menyebabkan morbiditas yang cukup berat pada penderitanya.
Kematian akibat TOA sangat menurun dengan dratis selama 50 tahun ini. Namun, angka
morbiditas yang berhubungan dengan TOA meningkat secara signifikan dengan komplilasi
termasuk infertility, kehamilan ektopik, chronic pelvic pain, pelvic thrombophlebitis dan ovarian
vein thrombosis. PID dan TOA merupakan infeksi dari poly microbial bakteri aerobic dan
anaerobic.1,2
Kebanyakan TOA respon terhadap terapi antibiotika, sekitar 25% kasus memerlukan
tindakan pembedahan atau drainase. Terdapat beberapa bukti bahwa ukuran dari TOA
berhubungan dengan kebutuhan akan antibiotika sebagai intervensi. Reed dkk 1991, mengatakan
bahwa 35% abses dengan ukuran 7-9cm memerlukan tindakan pembedahan dan hampir 60%
abses dengan ukuran> 10cm dilakukan tindakan pembedahan.1,2

ETIOLOGI
TOA biasanya didahului PID, disebabkan oleh mikroorganisme penyebab penyakit
menular seksual seperti N. Gonorrhea dan C. Trachomatis. Mikroorganisme endogen yang
ditemukan di vagina juga sering ditemukan pada traktus genitalia wanita dengan PID.
Mikroorganisme tersebut termasuk bakteri anaerob seperti prevotella dan peptostreptokokus
seperti G. vaginalis. Bakteri tersebut bersama dengan flora vagina menyebar secara asenden dan
secara enzimatis merusak barier mukosa serviks.N. gonorrhea dan C. Trachomatis telah diduga
menjadi agen etiologi utama PID, baik secara tunggal maupun kombinasi. C. trachomatis adalah
bakteri intraseluler patogen. Secara klinis, infeksi akibat parasit intraseluler obligat ini
bermanifestasi dengan servisitis mukopurulen.1,2
Bakteri fakultatif anaerob dan flora endogen vagina dan perineum juga diduga menjadi
agen etiologi potensial untuk PID. Yang termasuk diantaranya adalah Gardnerella vaginalis,
Streptokokus agalactiae, Peptostreptokokus, Bakteroides, dan mycoplasma genital, serta
ureaplasma genital. Patogen nongenital lain yang dapat menyebabkan PID yaitu haemophilus
influenza dan Haemophilus parainfluenza.2
Sekitar 85% infeksi terjadi murni akibat infeksi pada wanita usia reproduksi yang aktif
secara seksual. Sekitar 15% infeksi lainnya terjadi akibat dilakukan tindakan yang dapat merusak
barrier mukosa serviks, sehingga memungkinkan flora normal vagina berkolonisasi di saluran
genital atas. Tindakan tersebut antara lain biopsi endometrium, kuretase, pemasangan IUD (intra
uterine device), histero-salpingografi, dan histeroskopi. Selain pada keadaan terbukanya
penghalang mukosa serviks, keadaan lain yang merupakan faktor resiko PID adalah usia muda
saat pertama kali coitus. Diduga lingkungan servikovaginal pada wanita muda yang baru
dipengaruhi kadar esrogen yang tinggi serta zona transformasi yang luas pada serviks,
mempermudah masuknya C. trachomatis dan N. gonoohoeae.7,9
Actinomices diduga menyebabkan PID yang dipicu oleh penggunaan AKDR. Pada negara
yang kurang berkembang, PID mungkin disebabkan juga oleh salpingitis granulomatosa yang
disebabkan Mycobakterium tuberkulosis dan Schistosoma.2
Radang panggul jarang dijumpai pada wanita yang amenorrhea atau tidak seksual aktif.
Apabila radang panggul dijumpai pada wanita postmenopause, biasanya dijumpai pula kondisi
terkait lainnya seperti keganasan pada genitalia, diabetes, atau penyakit intestinal seperti
divertikulitis, apendisitis atau karsinoma.

PATOFISIOLOGI
Penjelasan yang memuaskan tentang patofisiologi dari TOA hingga saat ini belum ada.
Meskipun TOA sering kali dianggap sebagai sekuele dari penyakit radang panggul baik yang
akut maupun yang kronis, namun banyak juga penderita TOA yang sama sekali tidak memiliki
riwayat penyakit radang panggul maupun penyakit menular seksual sebelumnya.
Abses tuba (pyosalping), abses tubo-ovarian (TOA) dan peritonitis merupakan
komplikasi dari penyakit radang panggul (Pelvic Inflammatory Disease / PID). PID merupakan
infeksi saluran genital atas, meliputi infeksi pada endometrium (endometritis), otot rahim
(myometritis), tuba (salpingitis), serosa uterus dan ligamentum latum (parametritis) serta
ovarium (oophoritis). Awal mula pembentukan TOA diduga berasal dari invasi dinding tuba
falopii oleh kuman-kuman patogen yang kemudian menyebabkan kerusakan jaringan dan
nekrosis, dan oleh karenanya pula akan terbentuk lingkungan yang ideal untuk pertumbuhan
kuman-kuman anaerob. Penyebab tersering adalah Chlamydia trachomatis dan Neisseria
gonorrhoeae yang menginfeksi serviks ataupun vagina kemudian menyebar ke endometrium,
tuba falopii, ovarium dan jaringan di sekitarnya. Penyebaran infeksi dari apendisitis atau
divertikulitis juga bisa terjadi, meskipun kondisi ini sangat jarang terjadi.1,2
Abses primer dapat timbul akibat gangguan kapsul ovariumseperi pada saat ovulasi atau
intervensi bedah (histerektomi, kistektomi, seksiosesaria, penggunaan alat kontrasepsi, aspirasi
endometrioma perkutan, aspirasi folikel pada IVF) yang memberikan akses bakteri ke stroma
ovarium.4
Abses sekunder berhubungan dengan infeksi saluran genitalia, komplikasi dari infeksi
saluran gastrointestinal apendisitis dan divertikulitis). Dengan adanya penyebaran
mikroorganisme dari vagina ke uterus lalu ke tuba dan atau parametrium, terjadilah salpingitis
dengan atau tanpa ooforitis, keadaan ini bisa terjadi pada pasca abortus, pasca persalinan atau
setelah tindakan ginekologik sebelumnya.4
Mekanisme pembentukan TOA yang pasti sukar ditentukan, tergantung sampai dimana
keterlibatan tuba terhadap infeksi. Pada permulaan proses penyakit, lumen tuba masih terbuka
mengeluarkan eksudat yang purulent dari fimbriae dan menyebabkan peritonitis, ovarium
sebagaimana struktur lain dalam pelvis mengalami peradangan, tempat ovulasi dapat sebagai
tempat masuk infeksi. Abses masih bisa terbatas mengenai tempat masuk infeksi. Abses masih
bisa terbatas mengenai tuba dan ovarium saja, dapat pula melibatkan struktur pelvis yang lain
seperti usus besar, buli-buli atau adneksa yang lain. 3,4
Proses peradangan dapat mereda spontan atau sebagai respon pengobatan, keadaan ini
biasanya memberi perubahan anatomi disertai perlekatan fibrin terhadap organ terdekatnya.
Apabila prosesnya menghebat dapat terjadi pecahnya abses. 3
DIAGNOSIS
Gejala Klinis
Diagnosa PID didasarkan pada trias tanda dan gejala yaitu, nyeri pelvik, nyeri pada
gerakan serviks, dan nyeri tekan adnexa, dan adanya demam. Namun, saat ini telah terdapat
beberapa variasi gejala dan tanda yang membuat diagnosis PID lebih sulit karena beberapa
wanita dengan PID bahkan tidak bergejala.3
Pasien dapat mengeluhkan gejala yang bervariasi. Nyeri abdomen bagian bawah dijumpai
pada 90% kasus dengan kriteria nyeri tumpul, bilateral, dan konstan.Nyeri diperburuk oleh
gerakan, olahraga, atau koitus.Nyeri dapat juga dirasakan seperti tertusuk, terbakar, atau kram.
1,2,3

Sekresi cairan vagina terjadi pada 75% kasus. Demam dengan suhu >38º, mual, dan
muntah. Gejala tambahan yang lain meliputi perdarahan per vaginam, nyeri punggung bawah,
dan disuria. Nyeri organ pelvis dijumpai pada PID. Adanya nyeri pada pergerakan serviks
menandakan adanya inflamasi peritoneal yang menyebabkan nyeri saat peritoneum teregang
pada pergerakan serviks dan menyebabkan tarikan pada adnexa. Terkadang dapat dijumpai
keluhan teraba benjolan di perut bawah.1,2,3

PemeriksaanFisik
Pada pemeriksaan fisik, biasanya didapati :1,2,3
 Nyeri tekan perut bagian bawah
 Pada pemeriksaan pelvis dijumpai: sekresi cairan muko purulen, nyeri pada pergerakan
serviks, nyeri tekan uteri, nyeri tekan adnexa yang bilateral
 Mungkin ditemukan adanya massa adnexa
 Demam

PemeriksaanLaboratorium1,2,3,4
 Pada pemeriksaan darah rutin dijumpai peningkatan jumlah leukosit, Hitung leukosit
mungkin normal, meningkat, atau menurun, dan tidak dapat digunakan untuk
menyingkirkan PID.
 Peningkatan erythrocyte sediment rate digunakan untuk membantu diagnose namun tetap
tidak spesifik.
 Peningkatan c-reaktif protein, tidak spesifik.
 Pemeriksaan DNA dan kultur gonorrhea dan chlamidya digunakan untuk
mengkonfirmasi PID.
 Urinalisis harus dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan infeksi salurankemih.

Pemeriksaan Radiologi6
 Transvaginal ultrasonografi, CT-scan abdomen, MRI: pemeriksaan ini memperlihatkan
adnexa, uterus, termasuk ovarium.
 Ultrasonografi kurang bermanfaat sebagai penunjang diagnostik pada radang panggul
ringan atau moderate karena sensitivitasnya yang rendah. Namun ultrasonografi menjadi
pemeriksaan penunjang diagnostik noninvasif yang sangat diperlukan pada pasien yang
tidak dapat mentoleransi pemeriksaan dengan palpasi karena nyeri, sehingga sulit
ditentukan ada tidaknya massa pelvik. Pada pemeriksaan transvaginal atau transrektal,
juga dapat dinilai adanya nyeri tekan pada daerah yang mengalami peradangan. 2,3,5
 Gambaran sonografi salfingitis tidak begitu khas, dapat ditemukan adanya gambaran
hipoekoik pada daerah serosa tuba, permukan yang irregular dan menebal, serta sedikit
cairan bebas disekitarnya. Meskipun ultrasonografi tidak spesifik maupun sensitif untuk
menentukan penyebab massa pelvik, temuan gambaran tuba yang berdilatasi dan terisi
cairan, cairan peritoneal bebas, dan massa adnexa dapat mengkonfirmasi gejala dan tanda
abses tuba atau tuboovarian yang ditemukan dari pemeriksaan fisik (gambar 1 dan 2). 2

Prosedur Lain
Laparoskopi adalah standar baku untuk diagnosis defenitif PID. Mengevaluasi cairan di
dalam abdomen dilakukan untuk menginterpretasi kerusakan. Pus menunjukkan adanya abses
tubaovarian, rupture apendiks, atau abses uterin. Darah ditemukan pada rupture kehamilan
ektopik, kistakorpus luteum, mestruasi retrograde, dll.4
Kriteria minimum pada laparoskopi untuk mendiagnosa PID adalah edema dinding tuba,
hyperemia permukaan tuba, dan adanya eksudat pada permukaan tuba dan fimbriae. Massa
pelvis akibat abses tubaovarian atau kehamilan ektopik dapat terlihat.1
Endometrial biopsy dapat dilakukan untuk mendiagnosa endometritis secara
histopatologis untuk mendukung suatu PID.4
Diagnosa Differensial
Beberapa diagnosa banding untuk TOA adalah :1
 Tumor adnexa
 Appendicitis
 Kista ovarium
 Torsio ovarium
 Infeksi saluran kemih
 Kehamilan ektopik
 Endometriosis

KOMPLIKASI
Infertilitas, kehamilan ektopik, ileus, peritonitis dan reinfeksi.sepsis/syok sepsis.
Keterlambatan diagnosis dan penatalaksanaan dapat menyebabkan sekuele seperti infertilitas.
Kehamilan ektopik 6 kali lebih sering terjadi pada wanita dengan PID.2

PENATALAKSANAAN
Manajemen penatalaksanaan TOA telah berubah secara dramatis setelah dijumpainya
perkembangan antibiotika spektrum luas. Oleh karena hampir sebagian besar wanita penderita
TOA berada pada usia reproduksi mereka, maka pendekatan yang biasanya dan paling banyak
dilakukan adalah secara konservatif baik medikal maupun surgikal ataupun kombinasi dari
keduanya, dengan tujuan untuk mempertahankan fertilitas dari penderita.
Regimen pengobatan yang digunakan harus meliputi antimikroba yang memiliki cakupan
yang cukup luas untuk organisme-organisme yang biasanya ditemukan pada kasus TOA. Terapi
medikamentosa juga digunakan untuk mengurangi morbiditas pada terapi surgikal. Landers dan
kawan-kawan, serta Sweet dan kawan-kawan mendapati bahwa pengobatan secara medikal
memberikan respon klinis yang baik mencakup 90-100% kasus. Sementara itu, Harold dan
kawan-kawan merekomendasikan penggunaan klindamisin ditambah aminoglikosida ataupun
cefoxitin ditamb ah doksisiklin sebagai terapi konservatif untuk TOA. Dan dari hasil beberapa
penelitian lainnya disimpulkan bahwa kombinasi klindamisin dan aminoglikosida masih
merupakan terapi medikamentosa yang efektif untuk kasus-kasus TOA baik yang terdiagnosa
secara ultrasonografi maupun laparoskopi.
CDC memperbaharui panduan untuk diagnosis dan manajemen PID. Panduan CDC
terbaru membagi criteria diagnostic menjadi 3 grup :
1. Grup 1 : minimum kriteria dimana terapi empiris diindikasikan bila tidak ada etiologi yang
dapat dijelaskan. Kriterianya yaitu adanya nyeri tekan uterin atau adnexa dan nyeri saat
pergerakan serviks.
2. Grup 2 : kriteria tambahan mengembangkan spesifisitas diagnostic termasuk kriteria berikut :
suhu oral >38,3ºC, adanya sekret mukopurulen dari servikal atau vaginal, peningkatan
erythrocyte sedimentation rate, peningkatan c-reactif protein, adanya bukti laboratorium
infeksi servikalis oleh N. gonorhea atau C. trachomatis. 4
3. Grup 3 : kriteria spesifik untuk PID didasarkan pada prosedur yang tepat untuk beberapa
pasien yaitu konfirmasi laparoskopik, ultrasonografi transvaginal yang memperlihatkan
penebalan, tuba yang terisi cairan dengan atau tanpa cairan bebas pada pelvis, atau kompleks
tuba-ovarian, dan endometrial biopsy yang memperlihatkan endometritis. 4

Terapi dimulai dengan terapi antibiotik empiris spectrum luas. Jika terdapat AKDR,
harus segera dilepas setelah pemberian antibiotic empiris pertama. Terapi terbagi menjadi 2 yaitu
terapi untuk pasien rawat inap dan rawat jalan.3,4

Terapi Pasien Rawatan Jalan


Regimen A: Levofloxacin 500 mg Per Oral 1 x 1 selama 14 hariatau Ofloxacin 400 mg Per Oral
1 x 1 selama 14 hari dengan atau tanpa Metronidazole 500 mg Per Oral 2 x 1 selama 14 hari.
Regimen B: Ceftriaxone 250 mg IM dosis tunggal atau Cefoxitin 2 gr IM dosis tunggal dan
probenecid 1 gr Per Oral dosis tunggal atau Sefalosporin generasi ketiga lainnya (mis.
ceftizoxime atau cefotaxime) ditambah Doxycycline 100 mg Per Oral 2 x 1 selama 14 hari
dengan atau tanpa Metronidazole 500 mg Per Oral 2 x 1 selama 14 hari

Terapi Pasien Rawatan Inap


Indikasi untuk dilakukan hospitalisasi yaitu :
 Diagnosis yang tidak jelas
 Abses pelvis pada ultrasonografi
 Kehamilan
 Gagal merespon dengan perawatan jalan
 Ketidakmampuan untuk bertoleransi terhadap regimen oral
 Sakit berat atau mual muntah
 Imunodefisiensi
 Gagal untuk membaik secara klinis setelah 72 jam terapi rawat jalan

Regimen A: Cefotetan 2 gr IV setiap 12 jam atau Cefoxitin 2 gr IV setiap 6 jam ditambah


Doxycycline 100 mg Per Oral atau IV setiap 12 jam
Regimen B: Clindamycin 900 mg IV setiap 8 jam ditambah Gentamicin IV atau IM dengan
dosis loading 2 mg/kg BB diikuti dosis pemeliharaan 1.5 mg/kg BB setiap 8 jam.
Regimen Alternatif :Levofloxacin 500 mg IV 1 x per hari atau Ofloxacin 400 mg IV setiap 12
jam dengan atau tanpa Metronidazole 500 mg IV setiap 8 jam atau Ampicillin/Sulbactam 3 gr IV
setiap 6 jam ditambah Doxycycline 100 mg Per Oral atau IV setiap 12 jam

Pasien dengan terapi intravena dapat digantikan dengan terapi per oral setelah 24 jam
perbaikan klinis, dan dilanjutkan hingga total 14 hari. Penanganan juga termasuk penanganan
simptomatik seperti antiemetic, analgesia, antipiretik, dan terapi cairan. 3
Keberhasilan pemberian antibiotika parenteral pada kasus abses tuboovarial ditentukan
dalam waktu 48-72 jam. Jika dengan antibiotika sistemik tidak membaik, atau terdapat tanda-
tanda peritonitis, ukuran abses bertambah besar maka harus segera dilakukan laparotomi.
Kriteria keberhasilan terapi antibiotika adalah nyeri abdomen berkurang, penurunan angka
leukosit, dan hilangnya demam selama minimal 36 jam. Jika terapi antibiotika sistemik berhasil,
segera diteruskan dengan antibiotika oral disertai pengawasan, jika abses tidak mengecil maka
harus tetap dilakukan laparotomi.

Terapi Pembedahan
Ada tiga indikasi utama untuk dilakukannya tindakan surgikal pada kasus-kasus TOA,
yaitu : (1) adanya ruptur intraabdominal, (2) adanya kondisi kegawatdaruratan bedah lainnya
seperti apendisitis akut, (3) kegagalan penggunaan antibiotika dalam jangka waktu 48-72 jam.
Pasien yang tidak mengalami perbaikan klinis setelah 72 jam terapi harus dievaluasi ulang bila
mungkin dengan laparoskopi dan intervensi pembedahan. Laparotomi digunakan untuk
kegawatdaruratan sepeti rupture abses, abses yang tidak respon terhadap pengobatan, drainase
laparoskopi. Penanganan dapat pula berupa salpingoooforektomi, histerektomi, dan bilateral
salpingooforektomi. Idealnya, pembedahan dilakukan bila infeksi dan inflamasi telah membaik.4

PROGNOSIS
Pada umumnya prognosa baik, apabila dengan pengobatan medis tidak ada perbaikan
keluhan dan gejalanya maupun pengecilan tumornya lebih baik dikerjakan laparatomi jangan
ditunggu abses menjadi pecah yang mungkin perlu tindakan lebih luas. Kemampuan fertilitas
jelas menurun kemungkinan reinfeksi harus diperhitungan apabila terapi pembedahan tak
dikerjakan. Pada TOA yang pecah kemungkinan septisemia besar oleh karenanya perlu
penanganan dini dan tindakan pembedahan untuk menurunkan angka mortalitasnya.5,6
Status Pasien

Tanggal 30 Maret 2018 (poliklinik ginekologi)

Ny. S, 34 tahun, P2A0, APK 2 tahun, menikah 1 kali, usia menikah 29 tahun, batak, kristen,
SMP, petani i/d Tn. S, 35 tahun, batak, kristen, SD, petani

Keluhan utama : Teraba benjolan di perut

Telaah : Hal ini dialami pasien sejak ± 3 minggu ini, semakin lama semakin membesar,
riwayat keluar darah dari kemaluan diluar siklus haid (-), riwayat keputihan (+)
bau (-) gatal (+), nyeri perut (+), riw. trauma perut (-), riwayat penurunan nafsu
makan (-), riwayat penurunan berat badan (-), riw. demam (+) dialami pasien ± 1
minggu ini, turun dengan obat penurun panas. BAB dan BAK (+) normal.

Riwayat penyakit terdahulu : (-)

Riwayat penggunaan obat : (-)

Riwayat haid : Menarche usia 12 tahun, siklus haid 28 hari. Lama haid 3-5 hari, vol 2 - 3x ganti
doek/hari. Nyeri haid (-). Haid terakhir: 25 Maret 2018

Riwayat operasi : (-)

Riwayat KB : (-)

Status presens :

Sensorium : compos mentis anemia (-)

Tekanan darah : 120/80 mmHg dispnu (-)

Frek. Nadi : 80 x/menit ikterik (-)

Frek. Nafas : 20 x/menit sianosis (-)


Temperatur : 37,5 oC udem (-)

Status Lokalisata :

Abdomen : soepel, peristaltik (+) normal, teraba massa padat, sebesar kepalan tangan
dewasa, mobile, permukaan rata, nyeri tekan (+).

Status Ginekologi :

Inspekulo : portio licin, lividae (-), darah (-), fluor albus (+), massa (-)

VT :

- uterus anteflexi besar biasa


- Parametrium kanan : tegang
- Parametrium kiri : lemas
- Adnexa kanan : teraba massa padat, sebesar kepalan tangan dewasa
- Adnexa kiri : tidak teraba massa
- Cavum douglas tidak menonjol

Hasil USG-TAS :
- KK terisi baik
- Uterus anteflexi, ukuran 7.17 x 4.09 cm
- Adnexa kanan : tampak gambaran hipo dan hiperekoik, ukuran 7.92 x 7.18 cm,
septa (-), papil (-)
- Adnexa kiri : dalam batas normal
- Cairan bebas (-)

Kesan : DD 1. Tumor adnexa semisolid

2. TOA

Hasil laboratorium (02-04-2018)

Darah rutin : Hb : 10,9 gr/dl

Ht : 32.06 %

Leu : 17.080 /mm3

T : 318.000 /mm3

KGD N / 2jam PP : 106 / 157 mg/dl

RFT : ureum : 19,1 mg/dl

Kreatinin : 0,83 mg/dl

LFT : SGOT : 26 U/l

SGPT : 28 U/l

HST : PT : 13,8” (C : 14,7”)

APT : 29,8” (C : 30”)


INR : 1,06

TT : 14,6” (C : 15,2”)

HbsAg : Non reaktif

HIV : Non reaktif

Elektrolit : Natrium : 137

Kalium : 4,2

Chlorida : 106

Albumin : 3,4

Ca125 : 32,08

Urinalisa rutin : dbn

Foto thorax : jantung dan paru dalam batas normal

EKG : sinus ritme

BNO-IVP : tidak tampak kelainan pada foto BNO, fungsi kedua ginjal baik, tidak tampak tanda-
tanda pembendungan

Papsmear : PAP grade II, inflammatory smear

Diagnosis Banding: 1. Tumor adnexa semosolid

2. TOA

Rencana : unilateral salfingoooforektomi dextra

Tanggal 3 April 2018, pukul 09.00 WIB


Laporan TAH-BSO

- Dengan general anestesi, Ibu dibaringkan di meja operasi dengan infus dan kateter
terpasang baik.
- Dilakukan tindakan aseptik dengan bethadine 10% dan alkohol 70% pada abdomen dan
sekitarnya sampai ke vagina, kemudian ditutup dengan doek steril kecuali lapangan
operasi.
- Dilakukan insisi midline ± 15 cm diatas simpisis, mulai dari kutis, subkutis dan fasia, fasia
digunting ke atas dan ke bawah, otot dikuakkan secara tumpul, peritoneum dijepit dengan 2
klem, dijinjing dan digunting kemudian dilebarkan ke atas dan ke bawah.
- Evaluasi : uterus besar biasa tampak perlengketan masif pada tuba dan ovarium kiri, pada
adnexa kanan tampak perlengketan masif hingga ke usus bagian posterior, tampak
perlengketan pada kandung kemih bagian anterior, diputuskan untuk dilakukan TAH-BSO.
- Kedua Lig. Rotundum diklem dan digunting kemudian diikat.
- Plika vesico uterina dibebaskan sejauh-jauhnya, didapat perlengketan hebat.
- Lig. Infundibulopelvikum diklem, digunting, kemudian diikat, tampak massa ruptur, keluar
cairan berupa pus ± 150 cc, bau (+).
- Kedua arteri uterina diklem, digunting, dan diikat.
- Lig. Cardinale diklem, diinsisi dan dijahit.
- Lig. Sacrouterina diklem, diinsisi dan diikat.
- Puncak vagina diklem dan diinsisi kemudian diklem, lalu dilakukan insisi, puncak vagia
dijahit dengan vicryl.
- Dilakukan pencucian abdomen dengan NaCl 0.9%, dilakukan pemasangan drain
intraperitoneal.
- Dilakukan penjahitan mulai dari peritoneum, otot, fascia, subkutis, kutis.
- KU ibu post op : stabil

Instruksi post operatif :

- Awasi tanda vital dan tanda perdarahan


- Cek Hb 2 jam post operatif
-
Terapi :

- IVFD RL 20gtt/i
- Inj. Meropenem 1gr /12 jam
- Drip. Metronidazole 500mg/8 jam
- Inj. Ketorolac 1 amp/8 jam
- Inj. Ranitidin 50 mg/12 jam

Darah rutin post operatif :

Hb : 10,4 gr/dl

Ht : 29 %

Leu : 23.200 /mm3

T : 447.000/mm3

Follow up pasien 3 hari rawatan (post op)

4 April 2018 5 April 2018 6 April 2018

Keluhan
Nyeri luka operasi Nyeri luka operasi Nyeri luka operasi
utama

Sens : CM Sens : CM Sens : CM


TD : 120/80 mmHg TD : 110/80 mmHg TD : 110/80 mmHg
Status
HR : 92 x/i HR : 88 x/i HR : 76 x/i
presens
RR : 20 x/i RR : 20 x/i RR : 20 x/i
T : 37,1oC T : 36,5oC T : 36,8oC

Abd : soepel, peristaltik (+) N


Abd : soepel, peristaltik Abd : soepel, peristaltik
Status
LO : tertutup verban, kering (+) N (+) N
lokalisata
Drain: 100 cc serous hemoragic LO : tertutup verban, LO : tertutup verban,
p/v (-), flatus (+), BAB (-) kering kering
BAK (+) UOP : 40cc/jam, kuning Drain: 0 cc Drain: aff
jernih
p/v (-), flatus (+), BAB
(-)
p/v (-), flatus (+), BAB
(-) BAK (+) N
BAK (+) N

Diagnosis Post TAH-BSO+H1 Post TAH-BSO+H2 Post TAH-BSO+H3

- Diet MB
- IVFD RL 20gtt/i
- Inj. Meropenem
- Diet M1
1gr /12 jam
- IVFD RL 20gtt/i
- Diet MB
- Drip.
- Inj. Meropenem 1gr /12 jam - Cefadroxil tab
Metronidazole 3x500mg
- Drip. Metronidazole
Terapi - Metronidazole tab 3x
500mg/8 jam
500mg/8 jam 500 mg
- Inj. Ketorolac 1 - Asam mefenamat tab
- Inj. Ketorolac 1 amp/8 jam
3x500 mg
amp/8 jam
- Inj. Ranitidin 50 mg/12 jam
- Inj. Ranitidin 50
mg/12 jam

GV  luka operasi
Mobilisasi Mobilisasi
kering

Pada tanggal 6 April 2018 : pasien pulang berobat jalan ke poli ginekologi dalam keadaan baik
DISKUSI

KASUS PEMBAHASAN

Pada kasus ini pasien  Benjolan diperut merupakan salah satu keluhan utama yang
datang dengan keluhan menyebabkan pasien datang ke poli rawat jalan ginekologi.
utama benjolan diperut
Keluhan utama yang lainnya dapat berupa perdarahan dari
kemaluan, rasa nyeri di perut, perut membesar dan
keputihan.
 Pada awalnya pasien didioagnosis dengan tumor adnexa
yang merupakan salah satu penyebab yang dapat
menimbulkan keluhan yang sama. Dari hasil anamnesis
selain didapati adanya keluhan perut membesar pasien juga
mengeluh menderita keputihan yang bersifat gatal meskipun
tidak berbau dan adanya rasa nyeri yang hilang timbul. Dari
hasil pemeriksaan fisik didapati adanya flour albus dan masa
semi solid sebesar kepala bayi, immobile dan tanpa rasa
nyeri yang kesannya berasal dari adnexa kanan. Dari hasil
pemeriksaan penunjang (USG) didapati massa dengan
gambaran hipo dan hiperekoik dengan ukuran 7.17 x 4.09 cm
yang berasal dari adneksa kanan dan kemudian pasien
didiagnosis sebagai suatu tumor adnexa semi solid.
 Pasien kemudian direncanakan untuk dilakukan unilateral
salpingooforektomi dan dilakukan persiapan operasi
sebelumnya.
 Selanjutnya pasien menjalani operasi pada tanggal 3 April
2018 dengan diagnosis masuk tumor adnexa semi solid
dengan diagnosis banding TOA, dan rencana awal
salpingooforektomi unilateral

Pada kasus durante  Durante operasi dijumpai perlengketan masif pada kedua
operasi dijumpai TOA adneksa, uterus, dan usus, kemudian terlihat pus yang
keluar dari kapsul yang robek pada adneksa kanan.

 Dilakukan pencucian cavum abdomen dari sisa pus dengan


cairan NACl hingga bersih lalu dialirkan melalui drain

Kesimpulan Pasien datang dengan sangkaan Tumor adnexa semisolid kanan


namun dijumpai TOA durasi operasi kemudian setelah
menjalani perawatan selama 3 hari pasca operasi pasien dapat
pulang berobat jalan dengan kondisi yang baik.
DAFTAR PUSTAKA

1. Shepherd, Suzanne M. Pelvic Inflammatory Disease. 2010. Diunduh dari :


http://emedicine.medscape.com/article/256448-print [diperbaharui tanggal 4 Februari
2010]
2. Reyes, Iris. Pelvic Inflammatory Disease. 2010. Diunduh dari :
http://emedicine.medscape.com/article/796092-print [diperbaharui tanggal 10 September
2010]
3. Berek, Jonathan S. 2007. Pelvic Inflammatory Disease dalam Berek & Novak’s
Gynekology 14th Edition. California : Lippincott William & Wilkins.
4. Pernoll, Martin L. 2001. Pelvic Inflammatory Disease dalam Benson & Pernoll’s
handbook of Obstetric and Gynecology 10th edition. USA : McGrawhill Companies.
5. Edmonds, Keith D. 2007. The Role of Ultrasound in Gynaecologydalam Dewhurst’s
Textbook of Obstetric and Gynaecology 7th edition. London : Blackwell Publishing.
6. Mudgil, Shikha. 2009. Pelvic Inflammatory Disease/Tubo-ovarian Abscess. Diunduhdari
:http://emedicine.medscape.com/article/404537-print [diperbaharui tanggal 10 Agustus
2009]

Anda mungkin juga menyukai