Anda di halaman 1dari 69

PENYAKIT RADANG PANGGUL

DEFINISI

Penyakit radang panggul (PID) adalah gangguan infeksi dan inflamasi saluran reproduksi
wanita bagian atas termasuk uterus, tuba fallopii, dan struktur panggul yang berdekatan. Infeksi dan
peradangan dapat menyebar ke perut, termasuk struktur perihepatic (Fitz-Hugh−Curtis syndrome).
Pasien risiko tinggi ialah wanita yang menstruasi lebih muda dari 25 tahun yang memiliki banyak
pasangan seks, tidak menggunakan kontrasepsi, dan tinggal di daerah dengan prevalensi tinggi
penyakit menular seksual (PMS).

Patofisiologi

Terjadinya radang panggul dipengaruhi beberapa factor yang memegang peranan, yaitu :

1. Tergangunya barier fisiologik. Secara fisiologik penyebaran kuman ke atas ke dalam genetalia interna,
akan mengalami hambatan :

a) Di ostium uteri eksternum.

b) Di kornu tuba.

c) Pada waktu haid, akibat adanya deskuamasi endometrium maka kumankuman pada endometrium
turut terbuang. Pada ostium uteri eksternum, penyebaran asenden kuman-kuman dihambat secara :
mekanik, biokemik dan imunologik. 5 Pada keadaan tertentu barier fisiologik ini dapat terganggu,
misalnya pada saat persalinan, abortus, instrumentasi pada kanalis servikalis dan insersi alat kontrasepsi
dalam rahim (AKDR).

2. Adanya organisme yang berperan sebagai vektor. Trikomonas vaginalis dapat menembus barier
fisiologik dan bergerak sampai tuba falopii. Kuman-kuman sebagai penyebab infeksi dapat melekat pada
trikomonas vaginalis yang berfungsi sebagai vektor dan terbawa sampai tuba Falopii dan menimbulkan
peradangan ditempat tersebut. Sepermatozoa juga terbukti berperan sebagai vector untuk kuman-
kuman N.gonore, Ureaplasma ureoltik, C.trakomatis dan banyak kuman-kuman aerobik dan anaerobik
lainnya.

3. Aktivitas seksual. Pada waktu koitus, bila wanita orgasme, maka akan terjadi kontraksi uterus yang
dapat menarik spermatozoa dan kuman-kuman memasuki kanilis servikalis.

4. Peristiwa haid. Radang panggul akibat N. gonore mempunyai hubungan dengan siklus haid. Peristiwa
haid yang siklik, berperan penting dalam terjadinya radang panggul gonore. Periode yang paling rawan
terjadinya radang panggul adalah pada minggu pertama setelah haid. Cairan haid dan jaringan nekrotik
merupakan media yang sangat baik untuk tumbuhannya kuman-kuman N. gonore. Pada saat itu
penderita akan mengalami gejala-gejala salpingitis akut disertai panas badan. Oleh karena itu gejala ini
sering juga disebut sebagai “ Febrile Menses ”.
DIAGNOSIS
PID sulit untuk mendiagnosis karena gejalanya sering halus dan ringan. Banyak episode PID tidak
terdeteksi karena wanita atau penyedia layanan kesehatan dia gagal untuk mengenali implikasi dari
gejala-gejala ringan atau spesifik. Karena tidak ada tes yang tepat untuk PID, diagnosis biasanya
berdasarkan temuan klinis. Jika gejala seperti sakit perut bagian bawah hadir, penyedia layanan
kesehatan harus melakukan pemeriksaan fisik untuk menentukan sifat dan lokasi rasa sakit dan
memeriksa demam, cairan vagina atau leher rahim normal, dan untuk bukti infeksi gonorrheal atau
klamidia. Jika temuan menunjukkan PID, pengobatan diperlukan. Penyedia layanan kesehatan juga
dapat memerintahkan tes untuk mengidentifikasi organisme penyebab infeksi (misalnya, infeksi klamidia
atau gonorrheal) atau untuk membedakan antara PID dan masalah lain dengan gejala yang sama.
Sebuah USG panggul adalah prosedur membantu untuk mendiagnosa PID. USG dapat melihat daerah
panggul untuk melihat apakah saluran tuba yang diperbesar atau apakah abses hadir. Dalam beberapa
kasus, laparoskopi mungkin diperlukan untuk mengkonfirmasikan diagnosis. laparoskopi adalah
prosedur pembedahan di mana suatu tabung, tipis kaku dengan ujung menyala dan kamera (laparoskop)
dimasukkan melalui sayatan kecil di perut. Prosedur ini memungkinkan dokter untuk melihat organ
panggul internal dan untuk mengambil spesimen untuk penelitian laboratorium, jika diperlukan. 8
Diagnosis radang panggul berdasarkan kriteria dari “Infectious Disease Society for Obstetrics &
Gynecology”, USA. 1983, ialah :

a. Ketiga gejala klinik dibawah ini harus ada :

1) Nyeri tekan pada abdomen, dengan atau tanpa rebound.

2) Nyeri bila servik uteri digerakkan. 3) Nyeri pada adneksa.

b. Bersamaan dengan satu atau lebih tanda-tanda dibawah ini : 1) Negatif gram diplokok pada
secret endoserviks. 2) Suhu diatas 38º

C. 3) Lekositosis lebih dari 10.000 per mm³. 4) Adanya pus dalam kavum peritonei yang didapat
dengan kuldosentesis maupun laparaskopi. 5) Adanya abses pelvic dengan pemeriksaan bimanual
maupun USG. Berdasarkan rekomendasi “Infectious Disease Society for Obstetrics & Gynecology”, USA,
Hager membagi derajat radang panggul menjadi : Derajat I : Radang panggul tanpa penyulit (terbatas
pada tuba dan ovarium ), dengan atau tanpa pelvio – peritonitis. Derajat II : Radang panggul dengan
penyulit (didapatkan masa radang, atau abses pada kedua tuba ovarium) dengan atau tanpa pelvio –
peritonitis. Derajat III : Radang panggul dengan penyebaran diluar organ-organ pelvik, misal adanya
abses tubo ovarial.

Sejumlah prosedur dapat dilakukan untuk menegakkan diagnosis PID dan komplikasinya. Prosedur
yang mungkin sesuai untuk beberapa pasien, bersama dengan temuan klinis terkait PID ialah
sebagai berikut.

1. Konfirmasi Laparoskopi
Laparoskopi adalah standar kriteria untuk diagnosis PID. Secara signifikan lebih spesifik dan sensitif
daripada kriteria klinis saja. Kriteria minimum untuk mendiagnosis PID secara laparoskopi termasuk
edema dinding tuba, hiperemia terlihat dari permukaan tuba, dan keberadaan eksudat pada
permukaan tuba dan fimbriae. Massa pelvis yang konsisten dengan TOA atau kehamilan ektopik
dapat secara langsung divisualisasikan. Eksudat abses atau ekshesi hati dapat terlihat. Bahan dapat
diperoleh untuk studi kultur dan histologis definitif.

2. Pemindaian ultrasonografi transvaginal


Ultrasonografi transvaginal memiliki sensitivitas (81%) dan spesifisitas (78%) pada PID ringan atau
atipikal. Temuan yang bermanfaat termasuk tuba fallopii berisi cairan (> 5 mm), silia menebal, batas
endometrium tidak jelas, ovarium dengan beberapa kista kecil, dan jumlah cairan pelvis bebas
dalam jumlah sedang sampai besar pada PID akut dan berat.

3. MRI
Meskipun MRI memiliki spesifisitas yang relatif tinggi (95%) dan sensitivitas (95%) dalam diagnosis
PID, namun MRI mahal dan jarang diindikasikan dalam kasus PID akut. Hidrosalping
divisualisasikan pada MRI sebagai struktur tubular dengan intensitas sinyal rendah pada
pemindaian T1-weighted dan intensitas sinyal tinggi pada gambar T2-weighted. Jika dinding
menebal, pyosalpinx harus dipertimbangkan dalam diagnosis banding. Oofhoritis dapat dibuktikan
oleh ovarium polikistik yang muncul dengan margin yang tidak jelas dan cairan yang berdekatan.
TOAs sering muncul sebagai massa berdinding tebal dengan intensitas sinyal rendah pada gambar
T1-weighted dan intensitas sinyal tinggi pada gambar T2-weighted. Kadang-kadang, TOAs mungkin
isointense atau hyperintense pada gambar T1-weighted dan mungkin memiliki intensitas sinyal yang
heterogen pada gambar T2-weighted.

4. CT Scan
Dalam kasus PID di mana tidak ditemukan bukti abses, temuan CT scan tidak spesifik. Peradangan
mengaburkan bidang lemak panggul dengan penebalan fasia. Endometritis bermanifestasi sebagai
pembesaran rongga uterus. Jika hidrosalping ada struktur tubular yang berisi cairan dapat terlihat
pada adneksa. Biasanya, TOA divisualisasikan sebagai massa. Massa mungkin memiliki margin
teratur dan mengandung puing-puing mirip dengan yang terlihat pada endometrioma atau kista
hemoragik. Marginnya mungkin tebal dan tidak beraturan. Mungkin juga ada daerah atenuasi
rendah terkait yang mungkin mewakili tuba fallopi tuba yang berisi cairan yang berdekatan atau
berisi. Tubular berisi cairan, struktur nonvaskular di pelvis yang berhubungan dengan massa
adneksa merupakan sugesti dari tuba fallopi yang membesar yang berkorelasi dengan kasus PID.
Temuan massa kompleks yang berdekatan atau sekitarnya menegaskan diagnosis TOA.

5. Kuldosintesis
Culdocentesis dapat dilakukan dengan cepat di bagian gawat darurat. Dengan munculnya
pemindaian ultrasonografi transvaginal, culdocentesis jarang dilakukan hari ini, tetapi tetap
dilakukan ketika pemeriksaan lain tidak tersedia. Untuk prosedur ini, jarum spinal 18-gauge yang
dilekatkan pada jarum suntik 20 mL dimasukkan secara transvaginal ke dalam cul-de-sac. Biasanya,
terdapat 2-4 mL cairan panggul bebas berwarna merah, cairan purulen menunjukkan proses infeksi
atau inflamasi. Potensi temuan positif dari leukosit dan bakteri tidak spesifik menunjukkan PID atau
mungkin merupakan produk dari proses infeksi atau peradangan lain di pelvis (misalnya, apendisitis
atau diverticulitis), atau mungkin hasil dari kontaminasi dengan isi vagina. Hasil lebih dari 2 mL
darah nonclotting konsisten dengan kehamilan ektopik.

6. Biopsi endometrium
Biopsi endometrium dapat digunakan untuk menentukan diagnosis histopatologi endometritis, suatu
kondisi yang secara seragam dikaitkan dengan salpingitis. Biopsi endometrium memiliki sensitivitas
sekitar 90% spesifikasi sekitar 90%. Prosedur ini dilakukan dengan pipet hisap endometrium atau
kuret. Spesimen untuk kultur juga dapat diperoleh selama prosedur, tetapi sering terkontaminasi
dengan flora vagina. Pedoman CDC saat ini merekomendasikan biopsi endometrium pada wanita
yang menjalani laparoskopi yang tidak memiliki tanda-tanda salpingitis, dengan alasan bahwa
endometritis mungkin satu-satunya tanda PID. Temuan biopsi endometrium biasanya
mengkonfirmasi keberadaan infeksi tetapi jarang mengidentifikasi organisme penyebab.
Endometritis kronis lebih sering terlihat daripada endometritis akut.

7. Pemeriksaan laboratorium
Β-hCG: menyingkirkan diagnosis KET apabila pasien hamil

Darah lengkap: terjadi peningkatan leukosit

Rapid protein reagen (RPR): untuk pemeriksaan sifilis

Rapid tes HIV dan hepatitis

Urinalisis untuk menyingkirkan infeksi saluran kemih

PENATALAKSANAAN

PID dapat disembuhkan dengan beberapa jenis antibiotik. Penyedia perawatan kesehatan akan
menentukan dan resep terapi yang terbaik. Namun, pengobatan antibiotik tidak membalik setiap
kerusakan yang telah terjadi pada organ reproduksi. Jika seorang wanita memiliki rasa sakit panggul dan
gejala lain dari PID, sangat penting bahwa dia mencari pelayanan segera. Prompt pengobatan antibiotik
dapat mencegah kerusakan parah pada organ reproduksi. Semakin lama seorang wanita penundaan
pengobatan untuk PID, semakin besar kemungkinan dia adalah menjadi subur atau kehamilan ektopik
memiliki masa depan karena kerusakan pada saluran tuba. Karena kesulitan dalam mengidentifikasi
organisme menginfeksi organ reproduksi internal dan karena lebih dari satu organisme mungkin
bertanggung jawab untuk sebuah episode dari PID, PID biasanya dirawat dengan setidaknya dua
antibiotik yang efektif terhadap berbagai agen menular. Antibiotik ini dapat diberikan melalui mulut
atau injeksi. Gejala mungkin akan pergi sebelum infeksi sembuh. Bahkan jika gejala pergi, wanita itu
harus selesai mengambil semua obat yang diresepkan. Ini akan membantu mencegah infeksi dari
kembali. Wanita yang sedang dirawat untuk PID harus kembali dievaluasi oleh penyedia layanan
kesehatan mereka dua sampai tiga hari setelah memulai pengobatan untuk memastikan antibiotik
bekerja untuk mengobati infeksi. Selain itu, pasangan seks wanita (s) harus ditangani untuk mengurangi
risiko infeksi ulang, bahkan jika pasangan (s) tidak memiliki gejala. Meskipun pasangan seks mungkin 10
tidak memiliki gejala, mereka masih mungkin terinfeksi dengan organisme yang dapat menyebabkan PID
Berdasar derajat radang panggul, maka pengobatan dibagi menjadi :

1. Pengobatan rawat jalan. Pengobatan rawat inap dilakukan kepada penderita radang panggul derajat
I. Obat yang diberikan ialah :  Antibiotik : sesuai dengan Buku Pedoman Penggunaan Antibiotik. -
Ampisilin 3.5 g/sekali p.o/ sehari selama 1 hari dan Probenesid 1 g sekali p.o/sehari selama 1 hari.
Dilanjutkan Ampisilin 4 x 500 mg/hari selama 7-10 hari, atau - Amoksilin 3 g p.o sekali/hari selama 1 hari
dan Probenesid 1 g p.o sekali sehari selama 1 hari. Dilanjutkan Amoxilin 3 x 500 mg/hari p.o selama 7
hari, atau - Tiamfenikol 3,5 g/sekali sehari p.o selama 1 hari. Dilanjutkan 4 x 500 mg/hari p.o selama 7-10
hari, atau - Tetrasiklin 4 x 500 mg/hari p.o selam 7-10 hari, ata - Doksisiklin 2 x 100 mg/hari p.o selama 7-
10 hari, atau - Eritromisin 4 x 500 mg/hari p.o selama 7-10 hari.  Analgesik dan antipiretik. -
Parasetamol 3 x 500 mg/hari atau - Metampiron 3 x 500 mg/hari.

2. Pengobatan rawat inap. Pelvic Inflammatory Disesase dapat diobati dengan beberapa macam
antibiotika. Namun pemberian antibiotika ini tidak sepenuhnya mengembalikan kondisi pasien apabila
telah terjadi kerusakan pada organ reproduksi wanita ini. Jika seorang wanita memiliki nyeri pelvis dan
keluhan PID yang lain, sebaiknya segera berobat ke dokter. Pemberian antibiotika yang tepat akan dapat
mencegah kerusakan lebih lanjut pada saluran reproduksi wanita. Seorang wanita yang menunda
pengobatan PID, akan lebih besar kemungkinannya untuk menderita 11 infertilitas atau dapat terjadi
kehamilan ektopik oleh karena kerusakan tuba fallopii. Karena sulitnya untuk mengidentifikasi
organisme yang menyerang organ reproduksi internal dan juga kemungkinan lebih dari satu organisme
sebagai penyebab PID, maka PID biasanya diobati dengan sedikitnya dua macam antibiotika yang
memiliki efektivitas yang baik di dalam mematikan organisme penyebab tersebut. Antibiotika ini dapat
diberikan secara oral maupun secara injeksi. Antibiotika yang dapat digunakan antara lain: ofloxacin,
metronidazole, dan doxycycline. Di mana lamanya pengobatan biasanya ± 14 hari. Pengobatan yang
tepat dan sesuai dapat mencegah komplikasi PID. Tanpa pengobatan yang tepat PID dapat
menyebabkan kerusakan permanen dari organ reproduksi wanita. Organisme penyebab PID dapat
menginvasi tuba fallopii dan menyebabkan terbentuknya jaringan parut (scar tissue). Jaringan parut
yang terbentuk ini akan menghambat pergerakan sel telur ke uterus. Dan jika tuba fallopii diblok secara
total, sperma tidak akan dapat membuahi sel telur dan tidak akan terjadi kehamilan. Sekitar satu di
antara sepuluh wanita dengan PID dapat menjadi infertil dan kemungkinan ini akan bertambah besar
jika wanita tersebut telah sering menderita PID. Blok tuba fallopii yang disebabkan oleh jaringan parut
tersebut, dapat juga terjadi secara parsial atau mengalami kerusakan ringan saja, di mana menyebabkan
sel telur yang dibuahi oleh sel sperma akan tumbuh di daerah tuba, sehingga menyebabkan suatu
kehamilan ektopik. Dalam perkembangannya, sebuah kehamilan ektopik dapat menyebabkan ruptur
tuba fallopii sehingga mengakibatkan timbulnya nyeri berat, perdarahan, bahkan kematian. Jaringan
parut pada tuba fallopii dan struktur lainnya juga dapat menyebabkan rasa nyeri yang bersifat kronis.
Sehingga dapat dikatakan bahwa wanita dengan episode PID yang berulang akan lebih besar
kemungkinannya untuk menderita infertilitas, mengalami kehamilan ektopik, atau rasa nyeri yang
bersifat kronik. Pengobatan rawat inap dilakukan kepada penderita radang panggul derajat II dan III.
Obat yang diberikan ialah :  Antibiotik : sesuai dengan Buku Pedoman Penggunaan Antibiotik. 12 -
Ampisilin 1g im/iv 4 x sehari selama 5-7 hari dan Gentamisin 1,5 mg – 2,5 mg/kg BB im/iv, 2 x sehari
slama 5-7 hari dan Metronidazol 1 g rek. Sup, 2 x sehari selama 5-7 hari atau, - Sefalosporin generasi III 1
gr/iv, 2-3 x sehari selama 5-7 hari dan Metronidazol 1 g rek. Sup 2 x sehari selama 5-7 hari.  Analgesik
dan antipiretik.
PROGNOSIS

PID memiliki 4 komplikasi utama, sebagai berikut:

1. Nyeri panggul kronis


Nyeri panggul kronis terjadi pada sekitar 25% pasien dengan riwayat PID. Rasa sakit ini dianggap
terkait dengan perubahan menstruasi siklik, tetapi juga mungkin akibat dari adhesi atau hidrosalping.

2. Infertilitas
Kesuburan yang terganggu merupakan perhatian utama pada wanita dengan riwayat PID. Infeksi
dan peradangan dapat menyebabkan jaringan parut dan adhesi dalam lumens tuba. Pada wanita
dengan infertilitas tuba faktor, 50% tidak memiliki riwayat PID tetapi memiliki jaringan parut pada
tuba fallopi dan menunjukkan antibodi terhadap C trachomatis. Tingkat infertilitas meningkat dengan
jumlah episode infeksi.

3. Kehamilan ektopik
Risiko kehamilan ektopik meningkat 15-50% pada wanita dengan riwayat PID. Kehamilan ektopik
merupakan akibat langsung kerusakan pada tuba fallopii.

4. Tuba ovarial abses


PID dapat menghasilkan TOA dan peritonitis panggul dan Fitz-Hugh−Curtis syndrome
(perihepatitis). TOA dilaporkan pada sepertiga wanita yang dirawat di rumah sakit untuk PID. Ruptur
akut pada TOA dengan peritonitis difus adalah kejadian yang jarang tetapi mengancam jiwa yang
membutuhkan operasi abdomen yang darurat.
DAFTAR PUSTAKA

1. Suzanne MS. 2017. Pelvic Inflammatory Disease. New York: Medscape


2. Sarwono Prawirohardjo, Prof, dr, DSOG dan Hanifa Wiknjosastro, Prof, dr, DSOG; Ilmu
Kandungan, YBP-SP,Edisi ke dua, estacan ke tiga, FKUI, Yakarta; 1999, Hal 271 -27-2. 2. Robbins
L., M.D; Buku Ajar Patologi II, Edisi ke empat, cetakan pertama. Penerbit Buku Kedokteran
EGC,Jakarta; 1995, Hal. 372-377.3.
3. Djuanda Adhi, Prof. DR. Hamzah Mochtar, Dr. Aisah Siti,DR ; Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin,
Edisi ke tiga,cetakan pertama, FKUI, Jakarta ; 1987, Hal. 103-106, 358-364.4.
4. Winkosastro Hanifa, Prof, dr, DSOG ; Ilmu Kebidanan YBP-SP, Edisi ketiga, cetakan ke enam,
FKUI,Jakarta ; 2002. Hal:406-410.5.
5. Cuningham, Macdonald Gant : William Obstetri, Edisi 18, EGC, Jakarta; 1995, Hal: 1051-1057.
RETENSI PLASENTA

2.1 DEFINISI
Retensio plasenta adalah tertahannya atau belum lahirnya plasenta hingga atau lebih dari
30 menit setelah bayi lahir.Hampir sebagian besar gangguan pelepasan plasenta disebabkan oleh
gangguan kontraksi uterus.
Retensio plasenta adalah lepas plasenta tidak bersamaan sehingga sebagian masih melekat pada
tempat implantasi, menyebabkan terganggunya retraksi dan kontraksi otot uterus, sehingga
sebagian pembuluh darah tetap terbuka serta menimbulkan perdarahan. (Manuaba,2002).

Retensio plasenta yaitu plasenta dianggap retensi bila belum dilahirkan dalam batas waktu
tertentu setelah bayi lahir (dalam waktu 30 menit setelah penatalaksanaan aktif).
Retensio plasenta adalah tertahan atau belum lahirnya palsenta hingga melebihi 30 menit setelah
bayi lahir (Sarwanto, 2002).

2.2 JENIS RETENSIO PLASENTA


 Plasenta adhesiva : implantasi yang kuat dari jonjot korion plasenta sehingga
menyebabkan kegagalan mekanisme separasi fisiologis.
 Plasenta akreta : implantasi jonjot korion plasenta hingga memasuki sebagian lapisan
myometrium
 Plasenta inkreta : implantasi jonjot korion plasenta hingga mencapai /memasuki
myometrium
 Plasenta perkreta : implantasi jonjot korion plasenta menembus lapisan otot hingga
mencapai lapisan serosa dinding uterus.
 Plasenta inkarserata : tertahannya plasenta di cavum uteri disebabkan oleh konstriksi
ostium uteri.

2.3 ETIOLOGI/PENYEBAB RETENSIO PLASENTA

 SEBAB FUNGSIONIL
1. Kontraksi uterus/His kurang kuat untuk melepaskan plasenta (plasenta adhesiva )
2. Plasenta sukar terlepas karena
 Tempatnya : insersi di sudut tuba
 Bentuknya : plasenta membranacea , plasenta amularis
 Ukurannya plasenta sangat kecil

Plasenta yang sukar terlepas karna hal di atas disebut plasenta adhesive
 SEBAB PATOLOG-ANATOMIS
1. Plasenta accrete
2. Plasenta increta
3. Plasenta percreta

Plasenta melekat erat pada dinding uterus oleh sebab villi korialis menembus desidua
sampai myometrium sampai di bawah peritoneum ( plasenta akreta-percreta)
Jika plasenta yang sudah lepas dari dinding uterus akan tetapi belum keluar disebabkan oleh
tidak adanya usaha untuk melahirkan atau karena salah penanganan kala III ,akibatnya terjadi
lingkaran kontriksi pada bagian bawah uterus yang menghalangi keluarnya plasenta
( inkarserasio plasenta )
1. Plasenta belum terlepas dari dinding rahim karena melekat dan tumbuh lebih dalam. Menurut
tingkat perlekatannya :
 Plasenta adhesiva : plasenta yang melekat pada desidua endometrium (basalis) lebih
dalam dan Nitabuch layer.
 Plasenta inkreta : vili khorialis tumbuh lebih dalam dan menembus desidua endometrium
sampai ke miometrium.
 Plasenta akreta : vili khorialis tumbuh menembus miometrium sampai ke serosa.
 Plasenta perkreta : vili khorialis tumbuh menembus serosa atau peritoneum dinding rahim
atau perimetrium.
2. Plasenta sudah terlepas dari dinding rahim namun belum keluar karena atoni uteri atau
adanya lingkaran konstriksi pada bagian bawah rahim (akibat kesalahan penanganan kala III)
yang akan menghalangi plasenta keluar (plasenta inkarserata).
3. Faktor maternal
 Gravida berusia lanjut
 Multiparitas
4. Faktor uterus
 Bekas sectio caesaria, sering plasenta tertanam pada jaringan cicatrix uterus
 Bekas pembedahan uterus
 Anomali uterus
 Tidak efektif kontraksi uterus
 Pembentukan contraction ring
 Bekas curetage uterus, yang terutama dilakukan setelah abortus
 Bekas pengeluaran plasenta secara manual
 Bekas ondometritis
4. Faktor placenta
 Plasenta previa
 Implantasi cornual
 Plasenta akreta
 Kelainan bentuk plasenta

Bila plasenta belum lepas sama sekali tidak akan terjadi perdarahan tetapi bila sebagian
plasenta sudah lepas maka akan terjadi perdarahan. Ini merupakan indikasi untuk segera
mengeluarkannya.
Plasenta mungkin pula tidak keluar karena kandung kemih atau rektum penuh. Oleh karena
itu keduanya harus dikosongkan.
PENEGAKAN DIAGNOSIS

1.  Anamnesis, meliputi pertanyaan tentang periode prenatal, meminta informasi mengenai
episode perdarahan postpartum sebelumnya, paritas, serta riwayat multipel fetus dan
polihidramnion. Serta riwayat pospartum sekarang dimana plasenta tidak lepas secara
spontan atau timbul perdarahan aktif setelah bayi dilahirkan.
2.  Pada pemeriksaan pervaginam, plasenta tidak ditemukan di dalam kanalis servikalis
tetapi secara parsial atau lengkap menempel di dalam uterus
3. Pemeriksaan Penunjang
a.  Hitung darah lengkap: untuk menentukan tingkat hemoglobin (Hb) dan hematokrit
(Hct), melihat adanya trombositopenia, serta jumlah leukosit. Pada keadaan yang
disertai dengan infeksi, leukosit biasanya meningkat.
b.  Menentukan adanya gangguan koagulasi dengan hitung protrombin time (PT) dan
activated Partial Tromboplastin Time (aPTT) atau yang sederhana dengan Clotting
Time (CT) atau Bleeding Time (BT). Ini penting untuk menyingkirkan perdarahan
yang disebabkan oleh faktor lain

Faktor Risiko
1. Plasenta akreta : plasenta previa, bekas SC, pernah kuret berulang, dan multiparitas.
2. Kelainan dari uterus sendiri, yaitu anomali dari uterus atau serviks; kelemahan dan tidak
efektifnya kontraksi uterus; kontraksi yang tetanik dari uterus; serta pembentukan
constriction ring.
3. Kelainan dari plasenta, misalnya plasenta letak rendah atau plasenta previa; implantasi di
cornu; dan adanya plasenta akreta.
4. Kesalahan manajemen kala tiga persalinan , seperti manipulasi dari uterus yang
tidak perlu sebelum terjadinya pelepasan dari plasenta menyebabkan kontraksi yang tidak
ritmik; pemberian uterotonik yang tidak tepat waktunya yang juga dapat menyebabkan
serviks kontraksi dan menahan plasenta; serta pemberian anestesi terutama yang
melemahkan kontraksi uterus.

PENATALAKSANAAN
PENANGANAN RETENSIO PLASENTA
Penanganan retensio plasenta berupa pengeluaran plasenta dilakukan apabila plasenta belum
lahir dalam 1/2-1 jam setelah bayi lahir terlebih lagi apabila disertai perdarahan.
Tindakan penanganan retensio plasenta :
Bila placenta tidak lahir dalam 30 menit sesudah lahir, atau terjadi perdarahan sementara
placenta belum lahir, lakukan :
a. Resusitasi. Pemberian oksigen 100%. Pemasangan IV-line dengan kateter yang
berdiameter besar serta pemberian cairan kristaloid (sodium klorida isotonik atau larutan
ringer laktat yang hangat, apabila memungkinkan). Monitor jantung, nadi, tekanan darah
dan saturasi oksigen. Transfusi darah apabila diperlukan yang dikonfirmasi dengan hasil
pemeriksaan darah.
b. Drips oksitosin (oxytocin drips) 20 IU dalam 500 ml larutan Ringer laktat atau NaCl
0.9% (normal saline) sampai uterus berkontraksi.
c. Plasenta coba dilahirkan dengan Brandt Andrews, jika berhasil lanjutkan dengan drips
oksitosin untuk mempertahankan uterus. Pastikan bahwa kandung kencing kosong dan
tunggu terjadi kontraksi, kemudian coba melahirkan plasenta dengan menggunakan
peregangan tali pusat terkendali
d. Jika plasenta tidak lepas dicoba dengan tindakan manual plasenta.
Indikasi manual plasenta adalah: Perdarahan pada kala tiga persalinan kurang lebih 400
cc, retensio plasenta setelah 30 menit anak lahir, setelah persalinan buatan yang sulit
seperti forsep tinggi, versi ekstraksi, perforasi, dan dibutuhkan untuk eksplorasi jalan
lahir, tali pusat putus.
Manual plasenta :
1) Memasang infus cairan dekstrose 5%.
2) Ibu posisi litotomi dengan narkosa dengan segala sesuatunya dalam keadaan suci
hama.
3) Teknik : tangan kiri diletakkan di fundus uteri, tangan kanan dimasukkan dalam
rongga rahim dengan menyusuri tali pusat sebagai penuntun. Tepi plasenta dilepas -
disisihkan dengan tepi jari-jari tangan - bila sudah lepas ditarik keluar. Lakukan
eksplorasi apakah ada luka-luka atau sisa-sisa plasenta dan bersihkanlah. Manual
plasenta berbahaya karena dapat terjadi robekan jalan lahir (uterus) dan membawa
infeksi
e. Jika tindakan manual plasenta tidak memungkinkan, jaringan dapat dikeluarkan dengan
tang (cunam) abortus dilanjutkan kuret sisa plasenta. Pada umumnya pengeluaran sisa
plasenta dilakukan dengan kuretase. Kuretase harus dilakukan di rumah sakit dengan
hati-hati karena dinding rahim relatif tipis dibandingkan dengan kuretase pada abortus.
f. Setelah selesai tindakan pengeluaran sisa plasenta, dilanjutkan dengan pemberian obat
uterotonika melalui suntikan atau per oral.
g. Pemberian antibiotika apabila ada tanda-tanda infeksi dan untuk pencegahan infeksi
sekunder.

Atau :
1. Coba 1-2 kali dengan perasat Crede.
2. Mengeluarkan plasenta dengan tangan (manual plasenta).
3. Memberikan transfusi darah bila perdarahan banyak.
4. Memberikan obat-obatan misalnya uterotonika dan antibiotik.

RETENSIO PLASENTA DENGAN SEPARASI PARSIAL


1. Tentukan jenis retensio yang terjadi karena berkaitan dengan tindakan yang akan di ambil
2. Regangkan tali pusat dan minta pasien untuk mengedan. Bila ekspulsi tidak terjadi ,coba
traksi terkontrol tali pusat .
3. Pasang infus oksitosin 20 IU dalam 500 ML NS/RL dengan 40 tetes per menit. Bila
perlu,kombinasikan dengan misoprostol 400 mg per rektal ( sebaiknya tidak
menggunakan ergometrin karena kontraksi tonik yang timbul dapat menyebabkan
plasenta terperngkap dalam cavum uteri)
4. Bila traksi terkontrol gagal untuk melahirkan plasenta ,lakukan manual plasenta secara
hati-hati dan halus untuk menghindari terjadinya perforasi dan perdarahan
5. Lakukan transfuse darah apabila diperlukan
6. Beri antibiotika profilaksis ( ampisilin 2 g IV/oral + metronidazole 1 g supositoria/oral)
7. Segera atasi bila terjadi komplikasiperdarahan hebat ,infeksi, syok neurogenic.

PLASENTA INKARSERATA
1. Tentukan diagnosis kerja melalui anamnesis ,gejala klinik dan pemeriksaan
2. Siapkan peralatan dan bahan yang dibutuhkan untuk menghilangkan kontriksi serviks dan
melahirkan plasenta
3. Pilih fluethane atau eter untuk kontriksi serviks yang kuat ,siapkan infus oksitosin 20 IU
dalam 500 mL NS/RL dengan 40 tetes per menit untuk mengantisipasi gangguan
kontraksi yang di akibatkan bahan anastesi tersebut.
4. Bila prosedur anastesi tidak tersedia dan serviks dapat dilalui cunam ovum, lakukan
maneuver sekrup untuk melahirkan plasenta.untuk prosedur ini lakukan analgesic
(tramadol 100 mg IV atau pethidine 50 mg IV ) dan sedative ( diazepam 5 mg IV) pada
tabung suntik yang terpisah.
5. Maneuver sekrup
 Pasang speculum sims sehingga ostium dan sebagian plasenta tampak dengan jelas.
 Jepit porsio dengan klem ovarium pada jam 12,4 dan 8 kemudian lepaskan speculum
 Tarik ketiga klem ovarium agar ostium, tali pusat dan plasenta tampak jelas
 Tarik tali pusat ke lateral sehingga menampakkan plasenta di sisi berlawanan agar
dapatdijepit sebanyak mungkin, minta asisten untuk memegang klem tersebut
 Lakukan hal yang sama untuk plasenta pada sisi yang berlawanan
 Satukan kedua klem tersebut kemudian sambil di putar searah jarum jam ,taril
plasenta keluar perlahan-;ahan melalui pembukaan ostium
6. Pengamatan dan perawatan lanjutan meliputi pemantauan tanda vital ,kontraksi uterus
tinggi fundus uteri danperdarahan pasca tindakan tambahan pemantauan yang diperlukan
adalah pemantauan efek samping atau komplikasidari bahan-bahan sedative .analgentika
atau anastesi umum missal :mual.muntah ,hipo/atoniauteri ,pusing vertigo
,halusinasi,mengantuk.

PLASENTA AKRETA
1. Tanda penting untuk diagnosis pada pemeriksaan luar adalah ikutnya fundus atau korpus
bila tali pusat ditarik.Pada pemeriksaan dalam sulit ditentukan tepi plasenta karena
implantasi yang dalam.
2. Upaya yang dapat dilakukan pada fasilitas kesehatan dasar adalah menentukan
diagnosis ,stabilisasi pasien dan rujuk ke rumah sakit rujukan karena kasus ini
memerlukan tindakan operatif.

SISA PLASENTA
1. Penemuan secaradini ,hanya dimungkinkan dengan melakukan pemeriksaan kelengkapan
plasenta setelah dilahirkan.Pada kasus sisa plasenta dengan perdarahan pasca persalinan
lanjut,sebagian besar pasien akan kembali lagi ke tempat bersalin dengan keluhan
perdarahan setelah beberapa hari pulang ke rumah dan subinvolusi uterus
2. Berikan antibiotika karena perdarahan juga meruakan gejala metritis .antibiotika yang
dipilih adalah ampisilin dosis awal 1 g IV dilanjutkan 3 x 1 g oral dikombinasi dengan
metronidazole 1 g supositoria dilanjutkan 3 x 500 mg oral
3. Lakukan eksplorasi digital ( bila seviks terbuka ) dan mengeluarkan bekuan darah atau
jaringan .bila serviks hanya dapat dilalui oleh instrument ,lakukan evakuasi plasenta
dengan dilatasi dan kuratase.
4. Bila kadar HB <8 g/dL berikan transfuse darah .bila kadar Hb =8 g/dL berikan sulfas
ferosus 600 mg/hari selama10 hari.

2.8 PROGNOSIS
Prognosis tergantung dari lamanya, jumlah darah yang hilang, keadaan sebelumnya serta
efektifitas terapi. Diagnosa dan penatalaksanaan yang tepat sangat penting.

2.9 KOMPLIKASI
Komplikasi yang dapat terjadi meliputi:
1. Komplikasi yang berhubungan dengan transfusi darah yang dilakukan.
2. Multiple organ failure yang berhubungan dengan kolaps sirkulasi dan penurunan perfusi
organ.
3. Sepsis
4. Kebutuhan terhadap histerektomi dan hilangnya potensi untuk memiliki anak selanjutnya.
5. Perdarahan menyebabkan syok hemoragik yang berakibat pada kematian.
DAFTAR PUSTAKA

1. Marmi .2012. Intranatal Care.Yogyakarta: Pustaka Pelajar


2. Prawiharjo, Sarwono.2009.pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal..jakarta:PT.Bina
Pustaka
3. Sumarah,dkk.2009.perawatan ibu bersalin.Yogyakarta:fitramaya
INVERSIO UTERUS

Definisi
Inversio Uteri Inversio uteri adalah suatu kejadian terbaliknya uterus bagian dalam ke
arah luar, sehingga bagian fundus uteri dipaksa melalui serviks dan menonjol ke dalam atau
keluar dari vagina. 1

Klasifikasi

Inversio Uteri Inversio Uteri dapat diklasifikasikan menurut beberapa kriteria, seperti :
berdasarkan hubungan dengan kehamilan, durasi, dan derajat inversio.3 Pada tahun 1951, Jones
mengklasifikasikan inversio uteri menurut hubungan dengan kehamilan, menjadi :6,13

1. Inversio uteri paska persalinan atau inversio uteri obstetri Inversio uteri obstetri merupakan inversio
uteri yang terjadi setelah persalinan, keguguran, terminasi kehamilan, atau terjadi dalam 6 minggu
setelah persalinan maupun keguguran.14 Inversio uteri obstetri dapat terjadi paska persalinan
pervaginam maupun paska seksio sesaria. 6 Kejadian inversio uteri paska seksio sangat jarang, kurang
dari 10 kasus yang telah dilaporkan di literatur, walaupun mungkin banyak kasus yang tidak dilaporkan.
Dari sekian kasus yang dilaporkan, ada 2 kasus yang disertai henti jantung.15 Menurut durasi, inversio
uteri paska persalinan diklasifikasikan menjadi : 3,6,16,17 1. Inversio uteri akut Inversio uteri akut
merupakan inversio uteri yang terdiagnosa dalam 24 jam setelah persalinan, dapat dengan atau tanpa
penyempitan serviks. 4

2. Inversio uteri subakut Inversio uteri subakut merupakan inversio uteri yang terdiagnosa lebih dari 24
jam namun kurang dari 4 minggu setelah persalinan; selalu disertai dengan penyempitan serviks.

3. Inversio uteri kronis Inversio uteri kronis merupakan inversio uteri yang telah terjadi selama 4 minggu
atau lebih. 2. Inversio uteri bukan paska persalinan atau inversio uteri ginekologi Merupakan inversio
yang terjadi pada uterus non-gravid. Pada umumnya terjadi akibat proses primer di uterus, seperti
fibroid (sering akibat mioma submukosa)6,18, sarkoma6,19,20 dan kanker endometrium2,6,21 namun
bisa juga idiopatik.22 Seperti tampak pada Gambar 2.1, salah satu kejadian inversio uteri akibat nodul
fibroid. 23 Gambar 2.1 Inversio uteri komplit pada wanita 42 tahun, P4-5 tahun dengan diagnosis awal
kanker serviks, saat operasi ditemukan inversio uteri akibat nodul fibroid23 Menurut onset dan
evolusinya, inversio uteri ginekologi dibedakan menjadi : 23 5 1. Inversio uteri akut . Tanda dan gejala
klinis inversio uteri akut lebih jelas, yaitu berupa nyeri berat dan perdarahan 2. Inversio uteri kronis
Inversio uteri kronis ditandai dengan rasa tidak nyaman di pelvis, leukorea, perdarahan pervaginam,
anemia23 dan nekrosis pada jaringan uterus.5 Menurut derajat inversio, beberapa peneliti membagi
menjadi 3 kelompok12,14,24 , sementara peneliti yang lain membedakan menjadi 4 kelompok sebagai
berikut:3,5,11,25,26 1. Inversio uteri derajat I (inkomplit) Inversio uteri derajat I merupakan inversi
uterus dimana korpus terbalik ke arah serviks, namun belum mencapai cincin serviks 2. Inversio uteri
derajat II (inkomplit) Inversio uteri derajat II merupakan inversi uterus melewati cincin serviks, namun
belum mencapai perineum 3. Inversio uteri derajat III (komplit) Inversio uteri derajat III merupakan
inversio uterus komplit, dimana inversi fundus uteri mencapai perineum. 4. Inversio uteri derajat IV
(total) Inversio uteri derajat IV merupakan inversi uterus disertai dengan inversi vagina
Etiologi dan Faktor Risiko

Inversio Uteri Menejemen kala III yang salah (tarikan tali pusat yang terlalu dini dan penekanan
fundus sebelum plasenta terlepas) merupakan penyebab tersering inversio uteri.6,11,17,27-31 Hal ini
bisa terjadi bila persalinan dipimpin oleh petugas yang tidak terlatih. Situasi ini sering ditemukan di
negara berkembang.11,16 Selain itu, faktor risiko terjadinya inversio uteri antara lain : primipara,
implantasi plasenta di fundus3,11,32,33, plasenta adhesiva6,11, atonia uteri11, bayi 6 makrosomia,
penggunaan MgSO46 , Nitroglycerin34 , partus presipitatus6,11 , abnormalitas uterus5 , manual
plasenta, tali pusat pendek, plasenta previa, gangguan jaringan ikat (Marfan sindrom, Ehlers-Danlos
sindrom)11, keadaan yang meningkatkan tekanan intraabdominal secara tiba-tiba (seperti bersin, mual
muntah hebat). 14 Menurut Bentrand dkk, dari tahun 1887 hingga 2006, telah dilaporkan 150 kasus
inversio ginekologi, dimana penyebabnya adalah: leiomioma submukosa (71,6%), sarkoma (13,6%),
kanker endometrium (6,8%) dan penyebab tidak spesifik (8%). O Tarikan oleh massa intrauterin seperti
polip, mioma atau keganasan pada wanita yang lebih tua dapat menyebabkan terjadinya inversio uteri.
14 Namun lebih dari 50% kejadian inversio uteri, tidak ditemukan faktor risiko dan tidak ada kesalahan
dalam manajemen kala III. Sehingga inversio uteri merupakan kejadian yang tidak dapat diprediksi. 11

Patofisiologi

Inversio Uteri Ada 3 hal yang menjadi dasar terjadinya inversio uteri akut, yaitu :11 1. Suatu
bagian dinding uterus prolaps melalui serviks yang terbuka, atau melipat ke depan 2. Relaksasi sebagian
dinding uterus 3. Tarikan simultan ke arah bawah dari fundus uteri Secara klinis, faktor penting yang
mempermudah terjadinya inversio uteri adalah implantasi plasenta di fundus, kelemahan miometrium
di sekitar tempat implantasi dan adanya serviks postpartum yang terbuka.5,35 Pada kasus tertentu, tali
pusat yang pendek atau kesalahan penanganan kala III dengan penarikan tali pusat tidak terkendali
mempermudah terjadinya inversio uteri. Bahkan inversio uteri pada seksio sesarea dapat terjadi setelah
pemberian tokolitik kuat, seperti nitroglycerin.34 Pada sebagian besar kasus adanya kelemahan
miometrium bagian fundus uteri merupakan faktor penting. Jika uterus tetap lembek, segera setelah
persalinan ditambah dengan implantasi plasenta di fundus, terjadinya lekukan fundus mudah terjadi.
Dengan mekanisme yang unik, kelemahan miometrium ini 7 (ditambah dengan penarikan tali pusat tidak
terkendali) menyebabkan fundus melekuk dengan atau tanpa adanya plasenta yang masih melekat. Hal
ini menyebabkan terjadinya inversio uteri.5 Untuk terjadinya inversio uteri, uterus harus terus
berkontraksi pada saat yang sama untuk mendorong fudus yang terinversi sebelumnya atau massa
fundus-plasenta ke arah bawah, sehingga makin masuk ke arah segmen bawah uterus. Jika serviks
terbuka dan kontraksi cukup kuat, massa myometriumplasenta dapat terperas ke dalam serviks,
menyebabkan terjadinya inversio komplit (inversio uteri derajat III). Pada keadaan yang lebih ringan,
dinding fundus uteri yang melekuk kedalam terperangkap secara spontan ke dalam kavum uteri,
menyebabkan terjadinya inversio inkomplit.5 Pada inversio komplit, setelah fundus melewati serviks,
jaringan serviks berfungsi sebagai lingkaran konstriksi dan segera terjadi edema. Massa prolaps
kemudian membesar secara progresif dan menyumbat vena dan akhirnya aliran darah arteri,
menyebabkan terjadinya edema. Sehingga reposisi uterus menjadi lebih sulit bila inversio terjadi makin
lama. Pada kasus kronis, dapat terjadi nekrosis (Gambar 2.2 ) dan bahkan dapat meninggalkan jaringan
parut. 5 Gambar 2.2 Mioma dan inversio uterus dengan bagian nekrosis pada mioma dan sebagian
endometrium yang terinversi 36 Saat berpikir mengenai patofisiologi inversio uteri, peneliti harus kagum
mengapa kejadian ini sangat jarang terjadi, sementara kontraksi uterus postpartum 8 yang lembek,
implantasi plasenta di fundus dan tarikan tali pusat merupakan hal yang terjadi pada hampir setiap
persalinan. Harus ada suatu hal yang terjadi secara bersamaan, sehingga inversio uteri ini dapat terjadi.5
Pengalaman dari penerapan manajemen aktif kala III menekankan pentingnya tonus uteri segera setelah
kelahiran bayi sebagai penyebab inversio uteri. Hal ini ditunjang dengan adanya penurunan kejadian
inversio uteri setelah penerapan manajemen aktif kala III.5,7 Perbedaan penting manajemen aktif kala III
dibandingkan proses persalinan normal adalah pemberian oksitosin segera setelah kelahiran bayi,
sebelum tampak tanda-tanda pelepasan plasenta. Penggunaan oksitosin, sepertinya menjaga tonus
miometrium dan efek inilah yang mungkin menurunkan kejadian inversio uteri.5

Diagnosis

Inversio Uteri Diagnosis inversio uteri ditegakkan berdasarkan tanda dan gejala klinis, kecuali
pada kasus inversio kronis yang sangat jarang, mungkin diperlukan pemeriksaan penujang tambahan
seperti ultrasonografi, CT scan maupun MRI.11 Tanda utama inversio uteri akut adalah perdarahan (65-
94%)6,7,11 dan komplikasi yang tersering adalah syok (40%).3 Harus dipahami bahwa pada fase awal,
syok yang terjadi bersifat neurogenik yang ditandai dengan bradikardia dan hipotensi, namun sejalan
dengan berjalannya waktu, akan terjadi perdarahan postpartum yang menyebabkan syok hipovolemik.
11 Pada inversio uteri subakut, keluhan yang ditemukan berupa lochia yang banyak dan lama atau
leukorhea, retensio urin dan konstipasi. 37 Pada kasus kronis, biasanya tidak berkaitan dengan
kehamilan, gejala klinisnya tidak khas, berupa perdarahan uterus abnormal, disuria, nyeri pelvis,
leukorea6 dan perdarahan paska koitus yang berulang. 6,14 Dari pemeriksaan fisik tidak teraba fundus
uteri dari pemeriksaan abdominal, ditemukan massa di dalam vagina yang sebenarnya adalah fundus
uteri dan tidak teraba serviks uteri. 6 Pada 60-70% kasus, plasenta masih melekat pada uterus. 5 9
Literatur lama menuliskan bahwa derajat syok yang terjadi tidak sesuai dengan jumlah perdarahan38 ,
namun penelitian terkini tidak mendukung pernyataan ini.6,12 Syok neurogenik pada inversio uteri akut
terjadi akibat stimulasi vagal (reflek parasimpastis) akibat penarikan ligamentum penyangga uterus
maupun akibat penekanan ovarium yang masuk ke dalam uterus yang terinversi sehingga dapat disertai
bradikardia.5,6 Diagnosa banding inversio uteri akut adalah :5 1. Prolaps tumor uterus atau polip serviks
yang besar 2. Kelahiran bayi kembar kedua yang tidak diprediksi sebelumnya, lobus suksenturiata 3.
Penyakit trofoblas gestasional 4. Laserasi jalan lahir dengan atonia uteri 5. Atonia uteri 6. Ruptur Uteri
Untuk membedakan atonia uteri dengan inversio uteri partial, kadang sulit, terutama bila pasien datang
dalam keadaan syok hemoragik. Dalam hal ini, pemeriksaan penunjang seperti ultrasonografi, CT scan
bahkan MRI akan sangat membantu.39 (Gambar 2.3 hingga 2.6) Gambar 2.3 Gambaran CT scan pelvis
dengan kontras pada kasus inversio uteri obstetrik derajat I yang dialami wanita 26 tahun, P1-0 hari. 39
10 Gambar 2.4 MRI inversio uteri akibat leiomioma uteri submukosa.18 Gambar 2.5 Ultrasonogram
inversio uteri akut, ditemukan 8 jam setelah prosedur plasenta manual.40 11 Gambar 2.6 Inversio uteri
kronis yang terjadi pada kasus gambar 2.5. Pemeriksaan ultrasonografi dilakukan 8 minggu paska
persalinan.40

Komplikasi

Inversio Uteri Komplikasi jangka pendek inversio uteri adalah berupa perdarahan postpartum,
namun, endomiometritis sering menyertai inversio uteri. Usus dan jaringan sekitar uterus dapat terluka
akibat terperangkap dalam fundus yang terinversi. Bahkan dapat terjadi kematian akibat inversio uteri.
Namun dengan deteksi dini, terapi definitif dan resusitasi yang adekuat, angka kematian menjadi cukup
rendah.17 12 2.9 Risiko Inversio Uteri Pada Kehamilan Berikutnya Risiko inversio uteri berulang pada
kehamilan berikutnya belum dapat disimpulkan. Pada satu penelitian terhadap 40 kasus inversio uteri
akut, tidak terjadi inversio uteri ulangan pada 26 persalinan berikutnya.6,7 Pasien harus diinformasikan
bahwa kejadian ini mungkin berulang dan karena itu persalinan berikutnya harus dilakukan di rumah
sakit.11,41 Fertilitas dan bayi tidak terganggu setelah dilakukan prosedur pembedahan. 11

Tatalaksana

Prinsip Umum Penanganan Inversio Uteri Pada prinsipnya ada dua tujuan penanganan inversio
uteri akut, yaitu reposisi uterus dan penanganan syok yang terjadi. Kunci keberhasilan penanganan
adalah kerjasama team sebab keduanya harus dilakukan secara berkesinambungan. dan kadang syok
tidak akan teratasi sebelum reposisi uterus.6,11,24,42 Keberhasilan reposisi inversio uteri sangat
tergantung pada kecepatan deteksi dini. Semakin lama uterus terinversi akan semakin sulit melakukan
reposisi. Penanganan hipovolemia dilakukan dengan pemasangan jalur intravena dengan jarum besar
(ukuran 18 gauge atau yang lebih besar) dan penggantian cairan3 , sedangkan cara untuk menangani
syok neurogenik adalah dengan reposisi uterus 11 . Penggantian volume darah dilakukan dengan cairan
kristaloid sebanyak 3 kali jumlah perdarahan. Bila diperlukan dapat dipasang jalur intravena tambahan.
Personil yang kompeten juga diperlukan dalam penanganan inversio uteri, seperti dokter anesthesia,
personil ruang operasi dan asisten pembedahan. Lebih baik waspada untuk bertindak lebih awal
daripada terlambat bertindak. Pemeriksaan darah lengkap dan waktu pembekuan harus dilakukan dan
persediaan darah untuk transfusi harus ada. Tanda vital pasien harus dipantau secara ketat dan kateter
urin harus terpasang untuk memonitor produksi urin.3 Pemberian oksitosin ditunda dan usaha reposisi
uterus melalui vagina harus segera dilakukan. Para peneliti menganjurkan dilakukan dahulu reposisi
uterus secara manual, sebelum dilakukan usaha untuk melepaskan plasenta dan reposisi secara operatif.
Jika plasenta dilepaskan sebelum reposisi uterus, risiko penderita untuk kehilangan darah dan syok akan
sangat tinggi. Setelah reposisi, biasanya plasenta akan dengan mudah terlepas.3 Secara singkat, alur
penanganan inversio uteri akut digambarkan pada Gambar 3.1. 14 Gambar 3.1 Penanganan inversio
uteri akut11 Pada sepertiga kasus, reposisi berhasil dilakukan secara manual, tanpa memerlukan
tokolitik.3 Kurang dari 3 % kasus yang memerlukan tindakan pembedahan untuk reposisi uterus.11,43
Panggil Bantuan Segera Lakukan Reposisi Manual dan Resusitasi secara simultan Berhasil Tidak Berhasil
Tidak Berhasil Lepaskan plasenta, massase, berikan uterotonika, antibiotik Pasien Tidak Syok Pasien Syok
Penggunaan tokolitik General Anestesi Cara Manual atau dengan Tekanan Hidrostatik Tidak Berhasil Jika
semua usaha gagal, lakukan Laparotomi (

Masalah utama penerapan manuver Johnson adalah karena kasus inversio uteri akut sangat jarang, sulit
bagi penolong persalinan untuk mendapatkan kompetensi dalam melakukan prosedur ini. Oleh karena
itu, perlu diadakan pelatihan simulasi.3 3.2.2 Manuver Henderson dan Alles. Manuver ini dilakukan
dengan cara memegang cincin serviks dengan ring forseps, kemudian fundus uterus didorong ke arah
atas atau anterior. 10 Manuver ini dilakukan bila dengan cara manual, reposisi belum berhasil.3 17 3.2.3
Penggunaan tokolitik Dengan adanya cincin konstriksi, reposisi inversio uteri akan sangat sulit. Tokolitik
berperan untuk merelaksasikan uterus, sebelum reposisi manual maupun sebelum penggunaan tekanan
hidrostatik.11 Namun perlu diperhatikan bahwa efek samping penggunaan tokolitik adalah perdarahan
postpartum akan semakin banyak, yang tentu sangat tidak diharapkan terjadi pada pasien yang telah
syok sebelumnya. Dengan perkiraan perdarahan postpartum ditemukan pada 94% kasus inversio uteri,
maka peran tokolitik ini masih sangat kontrovesial.3,45 Beberapa tokolitik yang sering dipakai adalah : 1.
Nitroglycerin Dosis awal 150-200 mcg IV, selanjutnya bila relaksasi uterus belum cukup, dapat
ditambahkan 100-150mcg IV selang beberapa menit hingga tercapai efek yang diinginkan atau hingga
tercapai dosis maksimal 500mcg. C Onset relaksasi uterus dicapai dalam 90 detik setelah pemberian SL.
Keunggulan penggunaan nitroglycerin: menimbulkan relaksasi uterus sesaat.3 Efek samping utama
adalah hipotensi sesaat. Pemberiannya harus lebih hati-hati pada kasus perdarahan hebat, terutama
pada kasus yang disertai dengan preeklampsia atau hipertensi kronis.4 2. Terbutaline. Dosis yang
digunakan adalah 0,125-0,25mg terbutaline IV atau SC. Angka keberhasilan sebesar 88,9%. 3 Onset
timbul relaksasi uterus adalah 2 menit.11 Abouleish dkk merekomendasikan terbutaline sebagai lini
utama, karena onset cepat, waktu paruh pendek, mudah digunakan, tersedia di ruang pesalinan, dan
lebih dikenal di kalangan ahli kebidanan.46 3. Magnesium Sulfat (MgSO4) Dosis yang digunakan adalah
2-6 gram bolus MgSO4 IV dalam 5-20 menit. Onset timbulnya relaksasi 10 menit.11 Pada pasien yang
hipotensi dan syok, sebaiknya digunakan MgSO4 daripada vasodilator seperti βagonis dan nitroglycerin.
3,4,11

4. Amyl Nitrate Amyl nitrate diberikan dengan membuka ampul dan dihirup melalui pernapasan. 3
5. Ritrodine Dosis yang direkomendasikan adalah 0,15mg ritrodine IV. 3 6. General anesthesi.
Keunggulan penggunaan general anestesia adalah selain sebagai penghilang nyeri, juga
menimbulkan relaksasi uterus. Dahulu, penggunaan halothane dengan konsentrasi 2% atau
lebih direkomendasikan. H,N Namun dengan tersedianya obat-obat anestesi yang lebih aman
dan risiko terjadinya hipotensi berat akibat penggunaan halothane, kini penggunaannya sudah
tidak direkomendasikan lagi.11 3.2.4 Reposisi dengan tekanan hidrostatik Penggunaan tekanan
hidrostatik untuk reposisi uterus pertama kali diperkenalkan oleh O'Sullivan pada tahun 1945.
Kemudian, tehnik ini dimodifikasi oleh Ogueh dan Ayida dengan penggunaan mangkok silastik
alat vakum.6,47 World health Organization merekomendasikan bahwa bila dengan reposisi
manual tidak berhasil, metode hidrostatik harus dicoba.11,48 Sebelum mencoba metode ini,
harus dipastikan tidak terjadi ruptur uteri. Prosedur dilakukan di kamar operasi dalam posisi
litotomi11 maupun reverse trendelenburg. 49 Cairan saline hangat dialirkan ke dalam introitus
vagina (2 hingga 10 liter)50 , dari posisi yang 100-200cm lebih tinggi dari vagina51 kemudian
introitus vulva ditutup oleh tangan dokter (Gambar 3.3) atau dihubungkan dengan mangkuk
vakum silastik (Gambar 3.4) untuk menahan cairan di vagina dan menciptakan tekanan
hidrostatik. Tekanan ini akan mendorong fundus yang terinversi kembali ke posisi anatomis.6
Tekanan dipertahankan selama 30 menit.52 Dalam metode ini diperlukan cairan saline dalam
jumlah yang cukup banyak dan harus dihitung jumlah cairan yang dimasukkan dan yang keluar
dari introitus vagina.6 19 Kesulitan yang mungkin dialami dalam penerapan metode ini adalah
saat menjaga agar tidak terjadi kebocoran setelah cairan dialirkan ke vagina. Hal ini dapat diatasi
dengan penggunaan mangkok vakum silastik, walaupun tetap diperlukan tangan untuk
mencegah kebocoran. Mangkok harus diarahkan ke forniks posterior agar terjadi distensi
vagina.11 Bila menggunakan vakum dan masih keluar cairan dari vagina, mangkok vakum dapat
dikeluarkan sedikit, mendekati introitus vagina hingga cekungan mangkok vakum menempel
pada bagian dalam introitus vagina.51 Gambar 3.3 Metode O'Sullivan untuk reposisi inversio
uteri14 Komplikasi akibat metode hidrostatik ini antara lain : infeksi, kegagalan reposisi, dan
secara teori bisa terjadi emboli saline. Walaupun telah direkomendasikan penggunaan cairan
sebanyak 2-10 liter, namun belum pernah ada laporan kasus emboli saline maupun edema
paru.11
5. Penggunaan repositor Pada Abad ke 18, alat yang digunakan untuk mereposisi inversio uteri
disebut repositor. Ada berbagai bentuk repositor, seperti repositor sigmoid, repositor lurus dan
repositor kurva pelvis (Gambar 3.5) Diantara berbagai bentuk repositor tersebut, yang paling
terkenal adalah repositor sigmoid Aveling (1879). Alat ini digunakan selama 40 jam atau lebih.
53 Efek samping penggunaan repositor ini adalah nyeri dan keputihan.52 Cara penggunaannya :
pertama dilakukan pengukuran fundus yang terinversi, kemudian dipilih repositor dengan
ukuran mangkok yang sedikit lebih kecil dari ukuran fundus uteri. Kemudian gunakan sabuk
melingkari pinggang dan menyilang bahu, kemudian kencangkan ikat pinggang. Pasang mangkok
repositor pada fundus uteri dan fiksasi dengan 2 ring di depan dan 2 ring di belakang yang diikat
pada ikat pinggang tersebut. Tarikan dapat dikencangkan ataupun dilonggarkan. Bila pasien
kesakitan, dapat diberikan morfin. Bila pasien kesulitan buang air kecil, digunakan kateter untuk
mengeluarkan urin. Reposisi tercapai setelah penggunaan rata-rata 42 jam.53 21 Gambar 3.5.
Repositor uterus. A. Arah Tekanan yang ditimbulkan oleh Repositor Lurus, Kurva dan Sigmoid. B.
Repositor Sigmoid yang telah terpasang, dengan garis tekanan (A) dan garis tarikan dari elastic
band (B,C)53 . C. Repositor Avelings54 . D. Repositor Avelings yang terpasang pada ikat
pinggang55 . E. Repositor lurus.56 A B C E D 22 Kelemahan alat ini adalah setelah berhasil
reposisi uterus, kadang mangkok repositor terjebak dalam cavum uteri dengan serviks yang
sudah mengecil, sehingga operator mengalami kesulitan untuk mengeluarkan alat ini dari cavum
uteri.55 Kini penggunaan alat ini sudah ditinggalkan, karena keberhasilan untuk mereposisi
inversio uteri diragukan.52 3.3 Penanganan Inversio Uteri Melalui Pembedahan Prosedur
pembedahan untuk reposisi inversio uteri dapat dilakukan melalui vagina maupun abdominal,
dari cara laparotomi hingga penggunaan laparoskopi (Gambar 3.6). 6 Namun yang
direkomendasikan saat ini adalah prosedur pembedahan melalui abdominal, yaitu Prosedur
Huntington, dengan laparotomi-reposisi melalui abdominal dan Prosedur Haultain, dengan
laparotomiinsisi cincin servikalis-reposisi melalui abdominal. 5,26 Gambar 3.6 Gambaran
inversio uteri intraoperatif 20 Prosedur reposisi melalui vagina tidak direkomendasikan, karena
tingginya risiko perluasan insisi hingga ke vesika urinaria, ureter dan pembuluh darah besar di
sekitarnya. Selain itu, pasien ini berisiko mengalami inkompetensi serviks pada kehamilan
berikutnya.4 Dalam prosedur ini, cavum abdomen dibuka melalui kolpotomi anterior (Prosedur
Spinelli) maupun kolpotomi posterior (Prosedur Kustner), seperti tampak pada Gambar 3.7. 57
Gambar 3.7 Skema pendekatan pembedahan melalui vagina pada kasus inversio uteri. Kavum
abdomen dibuka melalui kolpotomi anterior maupun posterior.57 3.3.1 Prosedur pembedahan
B-Lynch. Prosedur ini dipublikasikan pertama kali pada tahun 2005 oleh B-Lynch. Laparotomi
dengan insisi midline, kemudian setelah menembus peritoneum, usus dilindungi dan dijauhkan
dari uterus. Operator meletakkan tangannya di bagian anterior dan posterior segmen bawah
uterus, dengan ujung jari berada diantara dan dibawah fundus uteri yang terinversi. Dengan
penekanan kuat pada ujung jari kedua tangan yang mendorong ke atas secara simultan, lekukan
interna akan bergeser secara progresif sejalan dengan kembalinya fundus uteri (Gambar 3.8).16
24 Gambar 3.8 Prosedur B-Lynch. A. Inversio uteri akut. B. Ujung jari operator diletakkan
dibawah fundus uteri untuk membatu reposisi. C. Reposisi berhasil secara progresif dengan
beberapa bagian iskemia. D. Vaskularisasi mulai kembali. E. Reposisi berhasil.16 A B C D E 25
3.3.2 Prosedur pembedahan Huntington Prosedur Huntington pertama kali diperkenalkan pada
tahun 1921. Pertama dilakukan general anestesia dalam dengan obat yang membuat uterus
rileks. Insisi kulit dilakukan secara midline5 atau pfanensteil.4 Pada inversio uteri, adneksa
(ovarium, tuba fallopii, ligamentum rotundum) pada umumnya tertarik ke dalam fundus uteri
yang terinversi. Dengan menggunakan klem Allis atau Babcock, kedua ligamentum rotundum
yang masuk ke dalam inversio uteri diklem sedalam 2 cm dari lekukan inversio.30 Kemudian
secara lembut dilakukan tarikan berlawanan arah dengan inversi fundus. Klem dan tarikan
dilakukan berulang-ulang hingga inversio terkoreksi (Gambar 3.9.). 6 Bila mengalami kesulitan
dalam reposisi, dapat dibuat jahitan figure of eight dengan benang vicryl atau chromic 1.0 pada
bagian tengah fundus, jika bagian ini masih terlihat.4 Bila memungkinkan, operator kedua
dengan tangan di vagina, memberikan dorongan ke atas pada fundus, sehingga membantu
prosedur reposisi.5,6 Varian dari prosedur ini adalah dengan memasang vakum pada fundus
yang terinversi. 6,47 Prosedur ini merupakan modifikasi oleh Antonelli dkk (2006). Mangkok
silastik vakum dipasang pada fundus uteri yang terinversi melalui abdomen, kemudian
sambungkan dengan selang suction sehingga terbentuk tekanan negatif. Tarikan dilakukan
secara perlahan dan lembut hingga reposisi uterus berhasil (Gambar 3.10.) Keuntungan dari
tehnik ini adalah menghindari perlu dilakukannya insisi uterus dan memudahkan tarikan pada
fundus, daripada menarik ligamentum rotundum yang memiliki tendensi robek. Mangkok silastik
bersifat lunak, sehingga mudah melewati cincin konstriksi, untuk dipasang pada fundus uteri
yang terinversi.47
6. Prosedur pembedahan Haultain Tehnik ini diperkenalkan pertama kali oleh Haultain pada tahun
1901. Pada tehnik operasi ini, dilakukan insisi cincin serviks secara longitudinal pada bagian
posterior uterus, sekitar 4-6 cm. 14,41 Langkah berikutnya sama dengan metode Huntington,
dilakukan tarikan ke atas pada ligamentum rotundum hingga uterus berhasil dilakukan reposisi
(Gambar 3.11.) Kemudian seluruh bekas insisi di serviks, uterus dan vagina dijahit dengan
jahitan interuptus, lapis demi lapis (2- 3 lapis). Kemudian diberikan uterotonik untuk membuat
uterus berkontraksi.11 Keuntungan Tehnik Haultain adalah insisi posterior mencegah trauma
terhadap kandung kencing yang mungkin ikut tertarik pada saat terjadi inversio uteri pada
bagian anterior. Kedua, insisi dapat dilihat dengan jelas dan bila terjadi perluasan lebih mudah
diperbaiki, karena tarikan pada fundus yang kongesti memudahkan terjadinya robekan.6 Jika
reposisi dilakukan dengan metode ini, pasien harus diberikan konseling mengenai risiko ruptur
uteri pada kehamilan berikutnya. Secara teori, insisi miometrium ada segmen bawah uterus
memiliki risiko ruptur yang sama dengan insisi histerotomi anterior vertikal pada seksio sesarea.
Risiko ruptur yang sebenarnya tidak diketahui karena belum ada data.5,41 28 Gambar 3.11
Prosedur pembedahan Haultain. A. Uterus mengalami inversio uteri komplit dengan kedua tuba
dan ligamentum rotundum tertarik ke bawah melalui lingkaran konstriksi. Retraktor fleksibel
diletakkan pada vagina posterior, dimana bagian ujungnya berada diantara bibir serviks
posterior dan dinding uterus yang terinversi, di tempat dimana pemotongan akan dilakukan. B.
Rektosigmoid terlindungi saat dilakukan insisi dinding uterus, pada titik dimana konstriksi paling
hebat. Panjang insisi bervariasi, namun harus cukup agar dapat dilalui fundus. Jika insisi
dilakukan di atas retraktor fleksibel yang telah dipasang sebelumnya, hanya uterus yang akan
terpotong dan struktur vagina tidak akan terluka. C. Reposisi fundus dilakukan dengan tarikan
kombinasi pada dinding uterus dari atas oleh operator dan dari bawah oleh asisten. Setelah
berhasil direposisi, bekas insisi dijahit dengan benang chromic secara interuptus.3 29 3.3.4
Prosedur pembedahan Spinelli Prosedur Spinelli merupakan prosedur pembedahan transvagina.
Diperkenalkan pertama kali pada tahun 1899. 25 Menurut prosedur ini, pertama dilakukan
kolpotomi dinding vagina anterior, kemudian dilakukan insisi serviks, diikuti dengan insisi
segmen bawah uterus. Uterus kemudian disisihkan dengan penekanan ke atas dan bekas insisi
dijahit lapis demi lapis. 4 Setelah puncak vagina anterior dibuka melalui insisi transversal dan
kemudian dengan diseksi secara tumpul untuk memisahkan jaringan hingga perbatasan
peritoneum, kemudian bibir serviks anterior dan segmen bawah uterus dipotong (Gambar 3.12).
Usaha untuk reposisi uterus harus dicoba, sebelum tindakan berikutnya. Hal ini dapat dilakukan
dengan mulai memberikan tekanan ke atas melawan korpus uteri yang terinversi, pada sudut
atas insisi serviks dan segmen bawah uterus. Jika usaha ini gagal setelah menggunakan tenaga
yang adekuat selama beberapa waktu, usaha berikutnya, cavum peritoneum harus dibuka dan
insisi diperpanjang hingga korpus uteri, dengan cara membalik arah gunting: namun setiap kali
dilakukan perpanjangan insisi, harus dilakukan usaha untuk mereposisi uterus. Kadang
diperlukan insisi sepanjang seluruh permukaan anterior uterus untuk mempermudah reposisi.
Setelah reposisi berhasil, bekas insisi dijahit 2 lapis dengan benang catgut pada miometrium,
kemudian jahitan jelujur pada perimetrium. cavum peritoneum yang terbuka kemudian ditutup
dan puncak vagina disatukan dengan jahitan interuptus. Tidak diperlukan pemasangan drain.58
Kerugian dari metode ini adalah kemungkinan trauma terhadap kandung kemih lebih besar
dibandingkan dengan prosedur Kustner.10 Untuk kasus inversio uteri ginekologi, tehnik ini dapat
dimodifikasi dengan prosedur histerektomi transvagina23, maupun dengan bilateral tubektomi
pada kasus yang tidak memerlukan fungsi reproduksi lagi.58
7. Prosedur pembedahan Kustner Prosedur Kustner menggunakan pendekatan melalui vagina,
sama seperti Prosedur Spinelli, hanya saja pada prosedur ini, kolpotomi posterior dilakukan
untuk menembus kavum abdomen. Dilakukan insisi posterior melalui serviks dan segmen bawah
uterus dan kemudian dilakukan reposisi uterus, dan diakhiri dengan penjahitan luka bekas
insisi.4 3.3.6 Histerektomi vagina cara Junizaf Prosedur histerektomi dikerjakan pada kasus
dimana uterus tidak dapat dipertahankan lagi, seperti pada inversio yang terinfeksi berat, atau
inversio akut dengan keadaan umum jelek, seperti kadar hemoglobin rendah dan tidak tersedia
darah, serta inversio uteri yang disebabkan oleh tumor uterus. Dengan histerektomi, fokus
infeksi dan sumber perdarahan dapat dihilangkan sehingga penderita dapat diselamatkan.10
Prosedur ini dilakukan dalam posisi litotomi. Setelah dilakukan pembiusan, dilakukan antiseptik
pada uterus yang telah keluar dari introitus vagina, termasuk tumor yang keluar bersamaan
dengan inversio uteri, serta alat genital di sekitarnya. Satu sentimeter di depan introitus vagina,
dibuat jahitan melingkar seperti rantai dengan mempergunakan jarum hepatis dan benang atau
vicryl No.2 atau lebih (Gambar 3.13.), kemudian uterus dipotong hati-hati dengan pisau sampai
lapisan serosa. Setelah kelihatan tuba, ligamentum rotundum dijepit, dipotong dan diikat.
Bagian uterus yang masih tertinggal, dijahit dan diikat sehingga tunggul uterus yang tertinggal
tidak berdarah dan uterus telah tertutup. Uterus yang tertinggal dimasukkan ke dalam vagina.
Setelah 40 hari, pada pemeriksaan ginekologi, puncak vagina yang rusak telah masuk ke dalam
uterus dan porsio. Pemeriksaan pada 3 bulan berikutnya, uterus dan serviks uteri teraba kecil
dan biasanya penderita tidak ada keluhan. Penderita kadang-kadang dapat haid setiap bulan
secara teratur. Pada pasien yang uterusnya lebih banyak terangkat, ada kemungkinan tidak haid
lagi.10 32 Gambar 3.13 Jahitan seperti rantai.10 3.3.7 Prosedur Laparoskopi. Pertimbangan
penggunaan laparoskopi untuk reposisi kasus akut adalah harus diperhatikan status
hemodinamik pasien dan kemungkinan bisa terjadi pneumoperitoneum.11 Namun untuk kasus
inversio ginekologi, prosedur ini dapat dipertimbangkan.59 3.4 Penanganan Plasenta Pada kasus
dimana plasenta masih melekat, inversi harus direposisi sebelum melepaskan plasenta, untuk
mengurangi jumlah darah yang hilang.60 Setelah reposisi berhasil, cara paling aman adalah
menunggu hingga plasenta terlepas sendiri. Selain itu, dapat dilakukan manual plasenta, namun
pastikan bahwa pasien mendapatkan analgetik yang cukup dan hemodinamik stabil. Manual
plasenta harus dilakukan di ruang operasi sehingga intervensi bedah dapat segera dilakukan bila
terjadi komplikasi. Tangan dimasukkan ke dalam vagina, melalui serviks kemudian masuk ke
dalam cavum uteri. Operator kemudian mencoba memisahkan plasenta dengan dinding uterus.
Jika hal ini tidak dapat dilakukan dengan mudah, atau perdarahan makin banyak, usaha
berikutnya adalah dengan kuretase (sponge-stick curettage) atau suction curettage. Jika
plasenta masih melekat, harus dipertimbangkan kemungkinan plasenta akreta. Eksplorasi kavum
uterus harus dilakukan untuk menilai perforasi uterus atau plasenta adhesiva. Kemudian,
evaluasi laserasi vagina. Setelah reposisi, berikan uterotonika secara optimal. 6
8. Penggunaan antibiotika profilaksis diharuskan oleh beberapa peneliti, sebelum prosedur reposisi
uterus.17,26,48 3.5 Pemberian Uterotonik Paska Reposisi Inversio Uteri Setelah reposisi uterus
berhasil, harus diberikan uterotonik selama minimal 24 jam setelah reposisi 17 , agar tidak
terjadi inversio uteri berulang. Uterotonik yang dapat dipergunakan antara lain :11 1. Methyl
ergonovine maleat (Methergine) 0,2 mg IM setiap 30 menit, dapat diulang 3 kali 2. Oksitosin 40-
60 IU/L dalam cairan isotonik (seperti Ringer Laktat) diberikan IV dalam tetes kontinyu. 3.
Prostaglandin 15-methyl F2 alpha (Carboprost tromethamine, Hemabate) 0,25mg IM, dapat
diulang setiap 30 menit sebanyak 3 kali 4. Misoprostol 0,4mg per oral atau SL setiap 2 jam , atau
0,8-1,0mg per rektal dosis tunggal. Jika dalam proses reposisi dengan MgSO4 dapat diberikan
kalsium parenteral untuk menetralisir efek tokolitik MgSO4.5 Untuk mencegah terjadinya
inversio uteri berulang setelah reposisi, dapat digunakan balon SOS Bakri yang dikembungkan
dengan 300 ml cairan saline, kemudian dikempiskan secara bertahap. 61 3.6 Penanganan
Inversio Uteri Ginekologi Inversio uteri jarang ditemukan pada wanita tidak hamil. Bila hal ini
terjadi, pada umumnya disebabkan oleh adanya leiomioma submukosa yang bertangkai,
maupun keganasan uterus lain yang terjadi di fundus uteri.5 Proses terjadinya inversio uteri,
diperkirakan sama dengan yang terjadi pada uterus paska persalinan, walaupun interval
terjadinya inversio dalam jangka waktu lama. Tumor atau massa turun ke dalam segmen bawah
uterus. Kemudian uterus berespon dengan kontraksi berulang. Hal ini makin mendorong massa
ke bawah dan kadang-kadang hingga melewati serviks.5 34 Terapi definitif inversio uteri
ginekologi sangat bervariasi, tergantung hasil biopsi tumor penyebab inversio.62 Jika
memungkinkan, dilakukan eksisi tumor dan uterus direposisi sambil menunggu hasil
pemeriksaan histologis tumor tersebut. Antibiotika diberikan untuk mengurangi proses inflamasi
dan prosedur definitif dilakukan kemudian. Bila ditemukan nekrosis, edema dan tanda-tanda
infeksi, tindakan definitif harus segera dilakukan, meliputi vaginal histerektomi5,64 dan
kombinasi prosedur abdomino-vaginal. 59 Karena diagnosis jaringan sangat bervariasi, maka
pada kasus ini diperlukan penanganan khusus secara individual. Emboli paru berhubungan
dengan kasus kronis, kemungkinan akibat edema dan infeksi sekunder. Jadi pada kasus tersebut
perlu dipertimbangkan pemberian obat profilaksis trombosis.6
DAFTAR PUSTAKA
1. Anderson DM, Dorland WAN. Dorland's Illustrated Medical Dictionary. 28th ed. USA: Elsevier
Health Sciences;1994.
2. Tuckett JD, Yeung A, Timmons G, Hughes T. Non-puerperal Uterine Inversion Secondary to
Uterine Sarcoma And Ascites Demonstrated on CT and MRI. European Journal Of Radiology
Extra 2010;75:e119-23.
3. Kochenour NK. Diagnosis and Management Of Uterine Inversion. In: Gilstrap LC, Cunningham
FG, Vandorsten JP, editors. Operative Obstetrics. 2nd ed. USA: McGraw-Hill Companies;2002.
4. Bayer-Zwirello LA. The Third Stage. In: Grady JP, Gimovsky ML, BayerZwirello LA, Giordano K,
editors. Operative Obstetrics. 2nd ed. USA: Cambridge University Press; 2008.
5. Grady JP. Malposition Of The Uterus. Medscape Reference. 2011. Available from:
http://www.emedicine.medscape.com/article/272497. Accessed : December 3, 2011.
6. Alias M. Management Of Acute Uterine Inversion. O&G Magazine 2011;13(1):56-7.
7. Baskett TF. Acute Uterine Inversion: A Review of 40 Cases. J Obstet Gynaecol Can. 2002
Dec;24(12):953-6.
8. Anonim. Register Persalinan Rumah Sakit Umum Sanglah Denpasar Periode 1 Agustus 2009
hingga 31 Juli 2010. Denpasar : 2010
9. Das P. Inversion if the Uterus. BJOG:An International Journal of Obstetrics & Gynaecology
1940;47:525-48.
10. Junizaf. Inversio Uteri. Dalam: Junizaf, Santoso BI, editors. Buku Ajar Uroginekologi
Indonesia. Jakarta: Himpunan Uroginekologi Indonesia; 2011.
11. Bhalla R, Wuntakal R, Odejinmi F, Khan RU. Review Acute Inversion Of The Uterus. The
Obstetrician & Gynaecologist 2009; 11:13-8.
12. Mirza FG, Gaddipati S. Obstetric Emergencies. Seminars In Perinatology 2009; 33:97-103. 37
13. Chen YL, Chen CA, Cheng WF, Huang CY, Chang CY, Lee CN, et all. Submucous Myoma
Induces Uterine Inversion. Taiwanese Journal Obstetrics and Gynecology 2006;45(2):159-61.
14. Irani S, Jordan J. Management Of Uterine Inversion Operative Techniques. Current Obstetrics
& Gynaecology 1997;7:232-5.
15. Marshall NB, Catling S. Cardiac Arrest Due To Uterine Inversion During Cesarean Section.
International Journal Of Obstetric Anesthesia 2009; 10:231-4.
16. Evans DG, Lynch CB. Obstetric Trauma. In : Lynch CB, Keynes M, Keith LG, Lalonde AB,
Karoshi M, editors. A Textbook of Postpartum Hemorrhage, A comprehensive guide to
evaluation, management and surgical intervention. UK: Sapiens Publishing; 2006.
17. DeCherney AH, Nathan L, Goodwin TM, Laufer N. Current Diagnosis and Treatments in
Obstetrics & Gynecology. 10th ed. USA: McGraw-Hill Companies; 2007.
18. Bertrand S, Randriamarolahy A, Cucchi JM, Brunner P, Bruneton JN. Uterine Inversion
Caused By A Submucous Leiomyoma. Clinical Imaging 2011;35:478-9.
19. Case AS, Kirby TO, Conner MG, Huh WK. A Case Report Of Rhabdomyosarcoma Of The
Uterus Associated With Uterine Inversion. Gynecologic Oncology 2005;96:850-3
. 20. Gemer O, Anteby E, Lavie O. Uterine Inversion Associated With Uterine Sarcoma. JIJGO
2007:195-6.
21. Gowri V. Uterine inversion and corpus malignancies: a historical review. Obstet Gynecol
Surv. 2000 Nov;55(11):703-7.
PERDARAHAN POST PARTUM

DEFINISI
Pendarahan post-partum didefinisikan oleh The World Health Organization (WHO)
sebagai keadaan kehilangan darah >500 ml pada 24 jam setelah melahirkan.3 Beberapa
pengertian lain menyebutkan >500 ml merupakan jumlah darah yang hilang melalui persalinan
normal, sedangkan >1000 ml untuk seksiocaesarean.3,4 Definisi populer lainnya mengatakan
penurunan 10%, baik hemoglobin maupun hematokrit. Namun, definisi tersebut sering tidak
merefleksikan keadaan hemodinamik pasien.3 Menurut penelitian tahun 2008, dikatakan setiap
wanita meninggal tiap menitnya saat melahirkan, dimana 24% disebabkan karena pendarahan
berat (Gambar 1). Sekitar 529.000 wanita meninggal saat hamil setiap tahunnya dan hampir
semuanya (99%) terjadi pada negara berkembang. Empat puluh persen kematian karena
pendarahan post-partum terjadi pada 24 jam pertama dan 66% terjadi saat minggu pertama.5

Faktor Resiko
Faktor resiko untuk terjadinya pendarahan post-partum umumnya karena atonia uteri,
plasentasi yang abnormal, trauma maupun koagulopati.3 Keadaan tersebut biasa disebut
dengan “Four Ts” (Tabel 1). Faktor resiko lainnya berupa kala 3 yang memanjang, multi-gravida,
episiotomy, makrosomia fetus dan riwayat pendarahan post-partum.7 Melahirkan bayi kembar
dengan persalinan normal juga merupakan faktor resiko.8 Tabel 1. “Four Ts” faktor resiko
pendarahan postpartum.7 Atonia uteri didefinisikan sebagai berkurang/tidak adanya kontraksi
uterus yang efisien setelah lepasnya plasenta, merupakan penyebab umum pendarahan post-
partum dan komplikasi pada 1 di setiap 20 proses melahirkan. Atonia uteri bisa disebabkan
karena uterus yang over-distensi (polihydramnions, bayi kembar, makrosomia), kelelahan
(proses melahirkan yang lama), atau tidak bisa kontraksi karena tokolitik atau anastesia
general.3 Trauma berupa laserasi dan hematum karena melahirkan dapat menyebabkan
kehilangan darah yang signifikan, yang berkurang seiring waktu dan hemostasis.7 Kebanyakan
kasusnya minor, tetapi beberapa kasus disertai dengan pendarahan yang signifikan, segera
maupun tertunda. Tempat terjadinya trauma umumnya pada perineum, vagina dan serviks.
Penyebabnya dapat karena nul-paritas, episiotomy, ibu yang lanjut usia, melahirkan dengan
operasi, bayi kembar, dan makrosomia.3 Abnormal plasentasi diartikan sebagai penempelan
abnormal plasenta pada dinding uterus. Penempelan yang abnormal dapat menyebabkan
pendarahan masif dan bersama dengan atonia uteri merupakan penyebab umum dilakukannya
histerektomi.3 Abnormal plasentasi bisa disebabkan karena umur ibu yang lanjut, paritas yang
tinggi, adanya riwayat invasive plasenta atau melahirkan secara seksio, dan plasenta previa
(terutama kombinasi dengan riwayat seksio-cesarean, meningkat 67% dengan 4 atau lebih).7
Gangguan koagulasi merupakan penyebab yang jarang. Kelainan ini meliputi idiopatik
trombositopenia purpura, trombotik trombositopenia purpura, penyakit von Willebrand’s dan
hemophilia. Dapat juga terjadi HELLP (hemolysis, elevated liver enzyme levels, and low platelet
levels) sindrom atau DIC (disseminated intravascular coagulation).7 Penyebab lainnya yang lebih
jarang, karena defisiensi protrombin, fibrinogen, dan faktor V, VII, X, XI.3 Melahirkan bayi
kembar juga merupakan faktor resiko yang bermakna. Pada penelitian di Jepang dari Januari
2002 hingga Agustus 2006, didapatkan 24% (41) pendarahan post-partum dari 171 persalinan
normal Pada pendarahan post-partum yang disebabkan oleh atonia uteri biasanya ditemukan
uterus yang lembut dan pendarahan pervagina.3 Hematum bisa timbul sebagai nyeri atau
perubahan tanda vital yang tidak sesuai dengan kehilangan darah.7 Kebanyakan retroperitoneal
hematum timbul 24 jam dari melahirkan dan bisa disertai dengan demam, ileus, nyeri paha, dan
udem ekstremitas bawah.3 Tanda klasik pada plasenta yang terpisah adalah adanya semburan
kecil darah saat penarikan tali pusar dan uterus yang sedikit muncul di pelvis. Gangguan
koagulasi harus dicurigai pada pasien yang tidak merespon terhadap penanganan yang biasa,
dan pada pasien yang tidak terbentuk pembekuan darah atau darah yang mengalir pada daerah
tusukan. Evaluasi koagulasi harus meliputi penghitungan platelet dan pengukuran waktu
protrombin, waktu parsial tromboplastin, level fibrinogen, dan fibrin split product. 7 Penentuan
sumber pendarahan merupakan hal sangat penting, sehingga hasil imaging merupakan hal yang
sangat diperlukan. Angiografi telah digunakan sejak lama untuk melihat pendarahan aktif pada
berbagai organ. Namun, angiografi memakan waktu dan invasive, resolusi kontrasnya buruk,
dan pergerakan peristaltik membuat intepretasinya sulit. Pada penelitian di Korea dari Januari
2004 hingga Februari 2008, dikatakan bayi kembar. Hal ini berdampak sangat signifikan, bila
dibandingkan dengan persalinan bayi tunggal pada periode tersebut (1,3% (89) pendarahan
post-partum dari 7.029 persalinan normal bayi tunggal).8

Diagnosis
Umumnya pendarahan post-partum didiagnosa apabila jumlah pendarahan dianggap
melebihi batas normal. Tanda dan gejala klinis dari kehilangan darah meliputi kelemahan,
berkeringat, dan takikardi yang biasanya timbul setelah kehilangan 15-25% kehilangan darah
dari volume total. Penurunan hemodinamik hanya terjadi pada kehilangan darah 35% dan 45%
bahwa MDCT (multi-detector computed tomography) lebih sensitif dari angiografi untuk
mendeteksi pendarahan aktif (Gambar 3). Terlebih lagi CT bisa melihat daerah pendarahan lain
karena menjangkau seluruh abdomen. Kelebihan lainnya, CT memiliki keunggulan di
ketersediaan, kecepatan, reproduksibilitas dan tidak invasif.9 Pemeriksaan ultrasonografi yang
sederhana juga dapat membantu menemukan penyebab pendarahan post-partum, misalnya
pada kasus plasenta yang tertinggal. Pada gambaran ultrasonografi ditemukan penebalan
endometrium karena heterogenus echogenic material dan area fokal dari hyperechogenicity
yang bisa menunjukkan hasil konsepsi yang tertinggal.10 Penentuan jumlah darah yang keluar
juga bukan merupakan hal yang mudah. Umumnya tenaga medis yang membantu persalinan
hanya menghitung jumlah darah yang keluar dengan melihat pada alas plastik (drapes) tanpa
penanda (non-kalibrasi). Berdasarkan penelitian pada tahun 2007, perkiraan darah yang hilang
hanya dengan melihat drapes nonkalibrasi membuat hasil yang lebih rendah dari hasil
sebenarnya (kesalahan 16-41%) (Gambar 4). Penggunaan drapes dengan kalibrasi membantu
penghitungan darah yang lebih akurat (kesalahan <15%).1 Uterotonik untuk penanganan
pendarahan post-partum akibat atonia uteri terdapat beberapa jenis dan kombinasi, yang
memiliki keunggulan dan kekurangan yang bervariasi. Pada penelitian tahun 2007- 2008 di India
yang membandingkan penggunaan dari misoprostol, oxytocin, methyl-ergometrine dan
ergometrine-oxytocin untuk mengurangi pendarahan, methyl-ergometrine merupakan yang
paling efektif.15 Namun, penggunaan ergometrine telah dibatasi karena efek sampingnya.
Sehingga, oxytocin menjadi uterotonik yang paling disarankan. Meskipun demikian, aplikasi
oxytocin tidaklah mudah karena memerlukan staff yang Namun, pernyataan tersebut tidak
selalu dapat digunakan sebagai acuan. Pada penelitian tahun 2010 pada 13 negara di Eropa,
didapatkan bahwa penggunaan kantong penghitung darah dibandingkan penilaian hanya secara
visual tidak menghasilkan perbedaan yang signifikan untuk penentuan pendarahan post-partum
berat. Terjadi pendarahan post-partum pada 189 (1,71%) dari 11.037 persalinan normal yang
dibantu kantong penghitung darah, dan 295 (2,06%) dari 14.344 persalinan normal hanya
dengan penghitungan secara visual.12

TATALAKSANA
Penanganan untuk pendarahan post-partum merupakan hal yang sangat menentukan
keselamatan ibu setelah persalinan. Namun, banyak keadaan dasar yang sering dilupakan oleh
tenaga medis sehingga membuat pasien dirujuk dalam keadaan kritis. Menurut data tahun
2009-2010 di India, dari 21 pasien pendarahan post-partum yang dirujuk, 10 diantaranya tidak
dilakukan pengukuran tekanan darah sebelumnya. Takikardi (100-154x/min) terjadi hampir di
semua pasien, hanya satu pasien yang mengalami brandikardi (54x/min). Dua belas pasien
memiliki tanda-tanda yang mengarah pada DIC.13 Pada tahun 2011, WHO mengeluarkan
“Priority Medicines for Maternal and Child Health” yang termasuk didalamnya obat uterotonik
untuk penanganan pendarahan post-partum karena atonia uteri (Tabel 3). Jumlah akan
keberadaan oxytocin disarankan lebih banyak dari misoprostol. berkompeten dan penyimpanan
yang sulit di beberapa tempat karena tidak tersedianya pendingin.16 Menyikapi masalah diatas,
oral misoprostol (prostaglandin E1 analog) digunakan sebagai alternatif penanganan
pendarahan post-partum akibat atonia uteri. Misoprostol diberikan secara oral, tidak
memerlukan pelatihan khusus untuk pemberiannya, dan tidak memerlukan pendingin.
Berdasarkan data tahun 2010 di Nigeria, tidak ada perbedaan yang signifikan antara pemberian
oral misoprostol dan intramuscular oxytocin. Keduanya dinyatakan memiliki efektifitas yang
sama untuk penanganan pendarahan post-partum. stol juga memiliki efek samping yang perlu
diperhitungkan. Penelitian tahun 2010 di Ekuador memperlihatkan pemberian 600mcg dan
800mcg misoprostol sublingual. Hampir semua pasien mengalami demam dan meriang. Dengan
pemberian 600mcg terdapat 16% (8/50) demam tinggi dan 36% (58/163) pada pemberian
800mcg. Tidak ada kematian ibu, histerektomi maupun tindakan bedah yang tercatat selama
pemberian misoprostol di penelitian tersebut.17 Memilih uterotonik yang sesuai dan melakukan
pemijatan uteri adalah langkah awal yang baik. Selanjutnya, cara pemberian dan dosis
pemberian juga harus diperhitungkan dengan tepat (Tabel 4). Tabel 4. Pilihan uterotonik dan
dosis.3 Bila upaya penanganan awal gagal, kompresi bimanual harus terus dilakukan, berikan
uterotonik kembali, panggil bantuan untuk penanganan selanjutnya. Kompresi uterine bimanual
dilakukan dengan meletakan satu tangan di vagina dan menekan badan uterus sementara
tangan lainnya menekan fundus dari dinding abdominal di atas. Bagian posterior uterus dipijat
oleh tangan di abdominal dan bagian anterior oleh tangan di vagina (Gambar 5).7 Gambar 5.
Kompresi bimanual.7 Semua praktisi medis yang membantu persalian sangat berharap tata
laksana awal terhadap pendarahan postpartum (Gambar 6) merupakan penanganan yang dapat
menghentikan pendarahan, karena bila tidak, penanganan selanjutnya berupa penanganan
secara invasif. Pilihan yang tersedia dan tingkat kesuksesannya meliputi ballon tamponade
(84%), jahitan kompresi uteri (92%), angiographic arterial embolization (91%), ligasi arteri (85%),
dan histerektomi.3 Untuk ballon tamponade, Sengstaken-Blakemore oesophageal catheter
merupakan yang paling sering digunakan. Alatnya dapat diaplikasikan dengan cepat,
memerlukan analgesik minimal untuk pasang dan melepasnya, dan menjaga fertilitas. Kateter
dimasukkan ke uterus dan balon diisi dengan air steril hangat atau larutan saline hingga uterus
padat hingga pendarahan berhenti. Bila sedikit atau tidak ada pendarahan yang diobservasi via
serviks atau melalui lumen kateter, tes tamponade dianggap positif dan laparotomi dihindari.3
Arterial embolisasi merupakan pilihan yang kini sering dimanfaatkan. Metode ini pertama kali
diperkenalkan oleh Brown dan Heaston et al pada tahun 1979. Sejak saat itu, alat dan
prosedurnya telah banyak mengalami modifikasi. Embolisasi dilakukan dengan bantuan
angiografi dan resusitasi aktif. Prosedur ini umunya dilakukan di daerah arteri femoralis kanan.
Kateter diletakkan di aorta setara dengan level arteri renalis untuk melihat adanya ektravasasi.
Ini harus diikuti dengan angiografi pada level anterior dari arteri iliaka internal, diikuti dengan
angiografi yang lebih selektif pada arteri uteri bila tidak ada ektravasasi yang diidentifikasi. Bila
ektravasasi terlihat, embolisasi bisa diarahkan lebih selektif, umumnya pada arteri uteri.
Embolisasi bilateral selalu direkomendasikan.18 Melihat prosedur yang dilakukan cukup invasif
untuk pasien, fertilitas setelah prosedur selalu menjadi pertanyaan untuk pasien. Berdasarkan
studi tahun 2007 di Perancis, dari 41 pasien yang melakukan embolisasi, semua memiliki
menstruasi normal setelahnya, dengan waktu berdasarkan keadaan menyusui dan penggunaan
kontrasepsi. Tidak ada tanda menopause lebih cepat. Seratus persen pasien yang ingin memiliki
anak kembali, memiliki 1 hingga 2 anak selanjutnya.19 Luka pada jaringan yang berkepanjangan
dapat mengganggu hemostatik dengan meningkatnya fibrolisis, yang mengarah ke koagulopati
dan pendarahan. Agen antifibrolitik, umumnya tranexamic acid (TA) dan aprotinin, telah
menunjukkan perannya untuk mengurangi darah yang hilang dan kebutuhan transfusi. Clinical
Randomisation of an Antifibrinolytic in Significant Hemorrhage (CRASH-2) melakukan study yang
hasilnya menunjukkan TA secara aman mengurangi resiko kematian pada pasien pendarahan.
Dalam penelitian tahun 2011 yang dilakukan di Perancis, disebutkan bahwa TA dosis tinggi bisa
mengurangi darah yang hilang (menghentikan pendarahan lebih cepat) dan angka kesakitan ibu
(berkurangnya penggunaan obat proagulant). 20 ISSN: 2089-9084 ISM, VOL. 3 NO.1, MEI-
AGUSTUS, HAL.9-18 14 http://intisarisainsmedis.weebly.com/ Gambar 6. Tata laksana
pendarahan post-partum.7 Untuk penanganan koagulopati, sebuah laporan menunjukkan
Recombinant activated factor VII (rFVIIa) memberikan hasil yang cukup baik dan sering
digunakan sebagai jalan terakhir. rFVIIa bekerja sebagai sistemik prokoagulan pada penanganan
pendarahan yang sulit diatasi dengan membuat tissue factor (TF, berperan untuk konversi
protrombin menjadi thrombin) dan platelet yang aktif hanya tersedia pada titik pendarahan aktif
dan membatasi akan terjadinya kejadian tromboemboli yang berbahaya. Pada penelitian di New
Zealand dan Australia, dengan dosis 58-108 ug/kg terdapat 64% respon positif terhadap dosis
pertama. Dikatakan bahwa pemberian lebih awal dapat mengurangi angka histerktomi.21 Ligasi
arteri merupakan salah satu cara yang efektif untuk mengontrol pendarahan post-partum. Ligasi
arteri uteri merupakan yang paling mudah dan efektif yang sering dilakukan, dibandingkan
dengan ligasi anastomosis arteri utero-ovarian dan hipogastric arteri. Arteri uteri mensuplai 90%
darah ke uterus, sehingga bila diligasi, pendarahan akan berkurang secara drastis (Gambar 7).
Teknik ini juga tidak mengganggu fertilitas.22 Gambar 7. Uterus beserta arteri-arteri yang
memungkinkan ligasi.22 Pilihan penanganan terakhir sebelum dilakukannya histeroktomi adalah
jahitan kompresi uterus. Tahun 1997, Christopher B-Lynch pertama kali melakukan teknik
innovatif untuk mengatasi atonia uteri, yang disebut jahitan B-Lynch. Jahitan B-Lynch
merupakan jahitan continous yang dimulai dari bagian bawah kanan anterior uterus,
menggunakan no. 2 chromic catgut suture. Satu insisi vertikal yang dilanjutkan ke bagian
posterior melewati bagian atas uterus. Pada ketinggian yang sama dengan insisi vertikal di
anterior, insisi horizontal dilakukan pada posterior uterus dari kanan ke kiri, lalu berlanjut
menyusuri uterus secara vertikal dari posterior ke anterior, dan berakhir dengan insisi vertikal di
bagian kiri bawah anterior uterus, sejajar dengan insisi di kanan anterior. Jahitan kemudian
dikencangkan dan diikat satu sama lain (Gambar 8).22,23 ISSN: 2089-9084 ISM, VOL. 3 NO.1,
MEI-AGUSTUS, HAL.9-18 15 http://intisarisainsmedis.weebly.com/ Gambar 8. Langkah jahitan B-
Lynch, dari kiri ke kanan.22 Berdasarkan data penelitian tahun 2004-2007, jahitan B-Lynch
efektif untuk menangani pendarahan post-partum. Lima dari tujuh pasien yang mendapat
jahitan ini terhindar dari histerektomi.23 Beberapa modifikasi dari jahitan B-Lynch juga telah
banyak digunakan. Salah satunya adalah jahitan safety pin. Prinsipnya hampir sama dengan
jahitan BLynch, yang berbeda adalah safety pin menjahit satu per satu sisi uterus. Dimulai dari
titik yang sama dengan BLynch, dilakukan insisi langsung ke bagian posterior uterus, dilanjutkan
menyusuri uterus secara vertikal dari posterior ke anterior dan berhenti di bagian 4-5 cm di
bawah fundus anterior. Lakukan insisi dari area fundus anterior ke fundus posterior. Setelah itu,
lakukan insisi kembali dari area fundus posterior ke fundus anterior, sehingga kedua ujung
jahitan dapat bertemu di anterior. Kencangkan kemudian ikat, lakukan jahitan yang sama pada
bagian kiri uterus (Gambar 9).24 Efektifitas jahitan safety pin telah diuji dengan penelitian tahun
2008-2010 di Mesir. Dari 13 pasien, 12 pasien (92,2%) berhasil menghindari histerektomi.
Jumlah darah yang hilang berkisar antara 2000 hingga 6000 ml. Lama rawat inap rata-rata 5 hari.
Tidak ada komplikasi yang berarti, kecuali satu ibu yang mengalami infeksi di lukanya dan
berhasil ditangani.24 Gambar 9. Langkah jahitan Safety pin, dari kiri – kanan – bawah.24
Histerektomi merupakan pilihan terakhir yang hanya diambil bila seluruh cara diatas gagal.
Histerektomi juga menghilangkan kesempatan pasien untuk memiliki anak kembali.
Histerektomi dilakukan dengan mengangkat/mengambil uterus, baik subtotal histerektomi
(sebagian) maupun total (menyeluruh).22 Dari segala teknik penanganan di atas, keseimbangan
hemodinamik juga merupakan permasalahan utama yang tidak boleh dilupakan. Apabila
pemberian cairan intravena telah mencapai batas dan tidak memberikan respon yang memadai,
transfusi darah merupakan pilihan. Pilihan terbaik adalah menggunakan darah autologus (darah
sendiri), baik secara preoperative maupun operatif, untuk mengurangi penggunaan darah
allogenik (orang lain) yang beresiko terhadap immunologi dan infeksi pada kehamilan.25 Pada
trimester ketiga, ibu hamil mampu untuk mendonorkan darah untuk persiapan proses
kehamilannya. Namun, data tersebut merupakan data pada negara maju, sehingga banyak hal
yang harus dipikirkan untuk dilakukan di negara lain seperti kasus malnutrisi, malaria dan HIV.
Perioperatif hemodilusi merupakan pilihan selanjutnya yang berdampak cukup baik. Pasien
menukarkan sejumlah darahnya dengan cairan kristaloid dengan jumlah yang sama,
menngencerkan darah, dan secara teknis mengurangi kehilangan darah di operasi. Pada akhir
operasi, darah yang didonorkan ditransfusikan kembali untuk mengembalikan hematokrit.25
Autologus transfusion merupakan pilihan yang sering digunakan pada kasus rupture kehamilan
ektopik dan sering serta aman dilakukan pada daerah terpencil. Cara ini mengurangi resiko
seperti ABO inkompatibel, infeksi dan masalah penyimpanan darah. Metodenya terfokus kepada
penampungan darah yang keluar, penyaringan kembali untuk menghilangkan clots dan debris,
dan penggunaan kembali darah tersebut.25 Melihat semua penatalaksanaan di atas, dapat
dikatakan bahwa penanganan pendarahan post-partum secara invasif memerlukan
perlengkapan yang memadai. Hal tersebut merupakan hal yang sangat sulit dipenuhi, terutama
untuk daerah terpencil, sehingga beberapa modifikasi teknik-pun dilakukan demi tetap menjaga
kestabilan pasien. Dari sebuah artikel oleh S Matsubara tahun 2012 di daerah terpencil di
Jepang, telah dikembangkan teknik modifikasi berupa tamponade uteri dengan menggunakan
kondom-balon kateter dan teknik memegang serviks.26 Teknik tamponade uteri dengan
menggunakan kondom-balon kateter dilakukan karena sulitnya mendapatkan Sengstaken-
Blakemore tube dan Bakri’s catheter yang biasanya digunakan. Dengan menggunakan foley
kaeter no 16 (merek apa saja) yang ujung proksimalnya diikatkan dengan kondom. Kateter Balon
biasanya dibiarkan tetap mengembang selama 8-48 jam hingga hemostasis dikonfirmasikan.26
Gambar 10. Teknik tamponade uteri dengan menggunakan kondom-balon kateter.26 Teknik
selanjutnya yaitu teknik memegang serviks. Dengan mengunakan pinset melingkar/bulat
dilakukan penutupan di serviks, di daerah anterior dan posterior bibir serviks untuk mencegah
aliran darah (Gambar 11). Manipulasi pada serviks juga meningkatkan kontraksi uterus dan
menjaga hemostasis. Dari sekitar 200 pasien pendarahan post-partum yang diberikan prosedur
ini, hanya 3 pasien yang gagal mencapai hemostasis.26
DAFTAR PUSTAKA

1. Patrick J Neligan, John G Laffey. Clinical review: Special populations – critical illness and
pregnancy. BioMed Central. 2011
2. Global reductions in newborn and maternal deaths remain low. CMAJ. 2011
3. M. Walfish, A Neuman, D. Wlody. Maternal hemorrhage. British Journal of Anaesthesia. 2009
4. Brian T. Bateman, MD et al. The Epidemiology of Postpartum Hemorrhage in a Large,
Nationwide Sample of Deliveries. Society for Obstetric Anesthesia and Perinatology. 2010. 110:
1368-1373
5. Nawal M. Nour, MD, MPH. An Introduction to Maternal Mortality. MedReviews, LLC. 2008.
6. Mehrabadi et al. Trends in postpartum hemorrhage from 2000 to 2009: a population-based
study. BMC Pregnancy and Childbirth. 2012
7. Janice M. Anderson, M.D. Duncan Etches, M.D., M.CL.SC. Prevention and Management of
Postpartum Hemorrhage. American Academy of Family Physicians. 2007
8. Shunji Suzuki et al. Risk Factor for Postpartum Hemorrhage after Vaginal Delivery of Twins. J
Nippon Med Sch. 2007
9. Nam Kyung Lee et al. Identification of Bleeding Sites in Patients With Postpartum
Hemorrhage: MDCT Compared With Angiography. AJR Women’s Imaging. 2010
10. Anjali R. Kadasne, Hisham M Mirghani. The role of ultrasound in life-threatening situations in
pregnancy. Journal of Emergencies, Trauma, and Shock. 2011
11. Paloma Toledo, MD et al. The Accuracy of Blood Loss Estimation After Simulated Vaginal
Delivery. International Anesthesia Research Society. 2007
ENDOMETRIOSIS

DEFINISI
Endometriosis merupakan kondisi medis pada wanita yang ditandai dengan tumbuhnya
sel-sel endometrium di luar kavum uteri. Sel-sel endometrium yang melapisi kavum uteri sangat
dipengaruhi hormon wanita. Dalam keadaan normal, sel-sel endometrium kavum uteri akan
menebal selama siklus menstruasi berlangsung agar nantinya siap menerima hasil pembuahan
sel telur oleh sperma. Bila sel telur tidak mengalami pembuahan, maka sel-sel endometrium
yang menebal akan meluruh dan keluar sebagai darah menstruasi.1,2 Pada endometriosis, sel
endometrium yang semula berada dalam kavum uteri berpindah dan tumbuh di luar kavum
uteri. Sel-sel dapat tumbuh dan berpindah ke ovarium, tuba Falopii, belakang kavum uteri,
ligamentum uterus, bahkan dapat sampai ke usus dan vesika urinaria. Pada saat menstruasi
berlangsung, sel-sel endometrium yang berpindah ini akan mengelupas dan menimbulkan
perasaan nyeri di sekitar panggul. 3-7 Endometriosis akan menyebabkan perubahan pada
lingkungan fisiologik dalam pelvis. Adanya jaringan endometrium di dalam pelvis akan
mempengaruhi respon sel-sel imun di daerah sekitar alat genitalia. Perubahan respon
imunologik dapat mempengaruhi nidasi intrauterin dan perkembangan awal dari fetus. Tubuh
akan merespon dengan terjadinya penolakan hasil konsepsi tersebut. Sebagai hasil akhir, nidasi
sering tidak berhasil dan terjadi penghambatan pertumbuhan fetus intrauterin; juga bisa terjadi
nidasi diluar intrauterin sehingga terjadi kehamilan ektopik. 8 Endometriosis pelvis akan
meningkatkan aktivitas makrofag baik dalam pelvis untuk memfagositosis debris dan jaringan
endometriosis. Aktivitas makrofag juga terjadi intrauterin dan pada tuba yang menyebabkan
peningkatan aktivitas fagositosis sperma. Perdarahan yang timbul dari lesi endometriosis akan
menyebabkan pertumbuhan jaringan di dalam pelvis, terjadi perlengketan dengan jaringan
sekitarnya yang berakibat perubahan motilitas tuba, dispareunea dan infertilitas. Umumnya
endometriosis muncul pada usia reproduktif. Angka kejadian endometriosis mencapai 5-10%
pada wanita umumnya, dan lebih dari 50% terjadi pada wanita perimenopause. Gejala
endometriosis sangat tergantung pada letak sel-sel endometrium. Keluhan yang paling menonjol
ialah nyeri pada panggul, sehingga hampir 71-87% kasus di diagnosis akibat keluhan nyeri kronis
hebat pada saat haid, dan hanya 38% yang muncul akibat keluhan infertil. Juga pernah
dilaporkan terjadinya endometriosis pada masa menopause, dan bahkan terjadi pada 40%
pasien histerektomi. Beberapa studi juga mengatakan bahwa wanita Jepang mempunyai
prevalensi yang lebih besar dibandingkan wanita Kaukasia. Selain itu juga 10% endometriosis ini
dapat muncul pada yang mempunyai riwayat endometriosis di keluarganya.

ETIOLOGI
Sampai saat ini etiologi endometriosis yang pasti belum jelas. Beberapa ahli mencoba
menerangkan kejadian endometriosis dengan berbagai teori, yakni teori implantasi dan
regurgitasi, metaplasia, hormonal, serta imunologik.1,8 Teori implantasi dan regurgitasi
mengemukakan adanya darah haid yang dapat mengalir dari kavum uteri melalui tuba Falopii,
tetapi tidak dapat menerangkan terjadinya endometriosis diluar pelvis. Teori metaplasia
menjelaskan terjadinya metaplasia pada sel-sel coelom yang berubah menjadi endometrium.
Menurut teori ini, perubahan tersebut terjadi akibat iritasi dan infeksi atau pengaruh hormonal
pada epitel coelom. Dari aspek endokrin, hal ini bisa diterima karena epitel germinativum
ovarium, endometrium, dan peritoneum berasal dari epitel coelom yang sama. 1,8,10 Yang
paling dapat diterima yakni teori hormonal, yang berawal dari kenyataan bahwa kehamilan
dapat menyembuhkan endometriosis. Rendahnya kadar FSH (folicle stimulating hormone), LH
(luteinizing hormone), dan estradiol (E2) dapat menghilangkan endometriosis. Pemberian
steroid seks juga dapat menekan sekresi FSH, LH, dan E2. Pendapat yang sudah lama dianut ini
mengemukakan bahwa pertumbuhan endometriosis sangat tergantung pada kadar estrogen
dalam tubuh, tetapi akhir-akhir ini mulai diperdebatkan. Menurut Kim et al, kadar E2 ditemukan
cukup tinggi pada kasus-kasus endometriosis. Olive (1990) menemukan kadar E2 serum pada
setiap kelompok derajat endometriosis terdapat dalam batas normal. Keadaan ini juga tidak
bergantung pada beratnya derajat endometriosis, dan makin menimbulkan keraguan mengenai
penyebab sebenarnya dari endometriosis. 4,5,7 Bila dianggap perkembangan endometriosis
bergantung pada kadar estrogen dalam tubuh, seharusnya terdapat hubungan bermakna antara
beratnya derajat endometriosis dengan kadar E2. Di lain pihak, bila kadar E2 tinggi dalam tubuh
maka senyawa ini akan diubah menjadi androgen melalui proses aromatisasi, yang berakibat
kadar testosteron (T) akan meningkat. Kenyataan pada penelitian tersebut, kadar T tidak
berubah secara bermakna menurut beratnya penyakit, bahkan dalam cairan peritoneal terlihat
kadarnya cenderung menurun seirama dengan E2. Berdasarkan hal tersebut maka dapat
dikatakan bahwa memberatnya endometriosis tidak murni tergantung estrogen saja. 7 Teori
endometriosis dapat dikaitkan dengan aktivitas sistem imun. Teori imunologik menerangkan
bahwa secara embriologik, sel epitel yang membungkus peritoneum parietal dan permukaan
ovarium memiliki asal yang sama; oleh karena itu selsel endometriosis akan sejenis dengan
mesotel. Telah diketahui bahwa CA-125 merupakan suatu antigen permukaan sel yang semula
diduga khas untuk ovarium. Endometriosis merupakan proses proliferasi sel yang bersifat
destruktif dan akan meningkatkan kadar CA-125. Oleh karena itu, antigen ini dipakai sebagai
penanda kimiawi.11-13 Banyak peneliti yang berpendapat bahwa endometriosis merupakan
penyakit autoimun karena memiliki kriteria yang cenderung bersifat familiar, menimbulkan
gejala klinik yang melibatkan banyak organ, dan menunjukkan aktivitas sel B poliklonal.13,14
Danazol yang semula dipakai untuk pengobatan endometriosis karena diduga bekerja secara
hormonal, juga telah dipakai untuk mengobati penyakit autoimun.Oleh karena itu selain oleh
efek hormonalnya, keberhasilan pengobatan danazol diduga juga oleh efek imunologik. Danazol
mengurangi tempat ikatan IgG (reseptor Fc) pada monosit, sehingga mempengaruhi aktivitas
fagositik sel-sel tersebut. Beberapa penelitian menemukan peningkatan IgM, IgG, serta Ig A
dalam serum pasien endometriosis.

GEJALA KLINIS
Endometriosis dapat ditemukan di berbagai tempat dan hal ini mempengaruhi gejala
yang ditimbulkan. Tempat yang paling sering ditemukan di belakang kavum uteri, pada jaringan
antara rektum dan vagina, dan permukaan rektum. Kadangkadang ditemukan juga di tuba
Falopii, ovarium, otot-otot pengikat rahim, kandung kencing, dan dinding samping panggul.1-7
Setiap bulan jaringan endometriosis di luar kavum uteri mengalami penebalan dan perdarahan
mengikuti siklus menstruasi. Perdarahan ini tidak mempunyai saluran keluar seperti darah
menstruasi yang normal, tetapi terkumpul dalam rongga panggul dan menimbulkan nyeri.
Jaringan endometriosis dalam ovarium menyebabkan terbentuknya kista coklat. Akibat inlamasi
kronis pada jaringan endometriosis, terbentuk jaringan parut dan perlengketan organ-organ
reproduksi. Sel telur sendiri terjerat dalam jaringan parut yang tebal sehingga tidak dapat
dilepaskan. Sepertiga dari pasien endometriosis tidak memperlihatkan gejala apapun selain
infertilitas.16 Gejala endometriosis bervariasi dan tidak bisa diprediksi. Nyeri haid (dismenorea),
nyeri pinggang kronis, nyeri pada saat berhubungan (dispareunea), dan infertilitas merupakan
gejala yang umum terjadi. Banyak pendapat yang dikemukakan berbagai peneliti mengenai nyeri
yang timbul. Pada dasarnya, nyeri pada endometriosis muncul sebagai akibat materi peradangan
yang dihasilkan oleh endometriosis yang aktif. Sel endometrium yang berpindah tadi akan
terkelupas dan terlokalisasi di suatu tempat, selanjutnya merangsang respon inflamasi dengan
melepaskan materi sitokin sehingga muncul perasaan nyeri. Selain itu, nyeri juga dapat
ditimbulkan akibat sel endometrium yang berpindah tersebut menyebabkan jaringan parut di
tempat perlekatannya dan menimbulkan perlengkatan organ seperti ovarium, ligamentum
ovarium, tuba Fallopi, usus, dan vesika urinaria. Perlengketan ini akan merusak organ-organ
tersebut dan menimbulkan nyeri yang hebat di sekitar panggul.16-19 Endometriosis ditemukan
pada 25% wanita infertil, dan diperkirakan 50%-60% dari kasus endometriosis akan infertil.
Endometriosis yang invasif akan mengakibatkan kemandulan akibat berkurangnya fungsi kavum
uteri dan adanya perlengketan pada tuba dan ovarium. Terdapat beberapa teori yang
mengemukakan bahwa endometriosis menghasilkan prostaglandin dan materi proinflamasi
lainnya, yang dapat mengganggu fungsi organ reproduksi dengan menimbulkan kontraksi atau
spasme. Juga dikemukakan bahwa pada endometriosis fungsi tuba Fallopi menjadi terganggu
dalam hal pengambilan sel telur dari ovarium, bahkan dapat merusak epitel dinding kavum uteri
dan menyebabkan kegagalan implantasi hasil pembuahan. Sebagai akibat, pasien dengan
endometriosis memiliki riwayat abortus tiga kali lebih sering dari pada wanita normal.20,21
Gejala yang sering ditemukan ialah nyeri, pendarahan, serta keluhan pada saat buang air besar
dan kecil. Hebatnya nyeri tergantung pada lokasi endometriosis, dapat berupa nyeri pada saat
menstruasi, serta nyeri selama dan sesudah hubungan intim. Pendarahan bisa banyak dan lama
pada saat menstruasi, berupa spotting sebelum menstruasi, menstruasi yang tidak teratur, dan
darah menstruasi berwarna gelap yang keluar sebelum menstruasi atau di akhir menstruasi.
Keluhan buang air besar dan kecil bisa berupa nyeri pada saat buang air besar, adanya darah
pada feses, diare, konstipasi dan kolik, serta nyeri sebelum, pada saat, dan sesudah buang air
kecil.

DIAGNOSIS
Jaringan endometriosis tetap memiliki aktivitas sama dengan endometrium
sesungguhnya sehingga akan terus aktif selama masih terdapat hormon di dalam tubuh. Setelah
menopause, keluhan endometriosis akan menghilang, Gejala yang sering dijumpai ialah nyeri
haid (dismenorea) yang terjadi 1-3 hari sebelum haid, dan dengan makin banyaknya darah haid
yang keluar keluhan dismenorea akan mereda.6 Endometriosis pada ovarium akan
menyebabkan terjadinya kista endometriosis. Bila ukuran kista endometriosis tersebut sudah >5
cm, sering menimbulkan gejala penekanan. Gejala-gejala lain yang mengarah pada
endometriosis ialah infertilitas, nyeri pelvis, nyeri senggama, nyeri perut merata, nyeri
suprapubik, disuria, hematuria, benjolan pada perut bawah, serta gangguan miksi dan defekasi.
20,21 Pada pemeriksaan dalam kadang didapatkan benjolan-bejolan di kavum Douglasi, dan
daerah ligamentum sakrouterina yang sangat nyeri pada penekanan. Uterus biasanya sulit
digerakkan. Jika terdapat kista, di parametrium dapat teraba adanya massa kistik yang terasa
nyeri bila disentuh. Bila terdapat kecurigaan endometriosis pelvis, dapat dilakukan laparoskopi
atau juga dengan USG (Gambar 1) untuk menemukan massa kistik di daerah parametrium yang
pada lapang pandang laparoskopi tampak pulau-pulau endometriosis berwarna kebiruan dan
biasanya berkapsul. Pemeriksaan USG dapat dilakukan dengan mengikuti jalur algoritma
(Gambar 1).22-25 Pemeriksaan laparoskopi sangat diperlukan untuk diagnosis pasti
endometriosis agar dapat menyingkirkan diagnosis banding antara radang pelvis dan keganasan
di daerah pelvis. USG transvaginal yang telah dikenal akurasinya, hanya sedikit membantu dalam
menemukan massa kistik di daerah parametrium dengan gambara sonolusen (hipoekhoik)
dengan ekho dasar kuat tanpa gambaran yang spesifik untuk endometriosis

TERAPI
Berdasar prinsip umpan balik negatif, pengobatan endometriosis awalnya masih
menggunakan estrogen. Dewasa ini, estrogen tidak terlalu disukai lagi dan mulai ditinggalkan.
Efek samping yang ditimbulkan kadang-kadang dapat berakibat lanjut kematian. Salah satu efek
samping yang sangat dikhawatirkan ialah terjadinya hiperplasia endometrium yang dapat
berkembang menjadi kanker endometrium.26 Dari berbagai jenis hormon yang telah dipakai
untuk pengobatan endometriosis dalam dua dasawarsa terakhir ini, ternyata danazol termasuk
golongan hormon sintetik pria turunan androgen dengan substitusi gugus alkil pada atom C-17
ol. Efek antigonadotropin Danazol ini terjadi dengan cara menekan FSH dan LH, sehingga teriadi
penghambatan steroidogenesis ovarium. Pemberian danazol mengakibatkan jaringan
endometriosis menjadi atrofi dan diikuti dengan aktivasi mekanisme penyembuhan dan resorpsi
penyakit. 27,28 Androgen dapat membebani fungsi hati; oleh karena itu danazol tidak
dianjurkan pada pasien endometriosis dengan penyakit hati, ginjal, dan jantung. Selain itu,
hormon ini juga termasuk hormon pria sehingga efeknya tidak terlalu nyaman bagi wanita.
Danazol juga kadangkadang menyebabkan perdarahan bercak (spotting) yang tidak
menyenangkan. Dewasa ini dipakai preparat medroksi progesteron asetat (MPA) dan
didrogesteron. Kedua senyawa ini merupakan progesteron alamiah dengan efek samping yang
tidak separah danazol. Bentuk yang tersedia berupa paket komposit, jadi satu tablet dapat
terdiri dari beberapa jenis obat.15,29 Mengingat endometriosis dapat menyebabkan infertilitas,
pengobatan endometriosis pada pasien dengan infertilitas harus mendapatkan perhatian.
Pilihan pengobatan endometriosis pada kasus infertilitas belum seragam dan bergantung pada
beberapa faktor, yaitu usia, luasnya endometriosis, luas dan lokasi perlekatan pelvik, dan faktor-
faktor infertilitas secara bersamaan. Kepastian diagnosis endometriosis
harus dibuat pada saat laparoskopi atau laparotomi; oleh karena itu rencana pengobatan juga
harus dirancang dan dimulai di meja operasi. Dengan adanya perkembangan pesat berbagai
tehnik pengobatan, termasuk elektrokauter, laser, dan laparoskopi operatif, maka semua
susunan endometriosis yang tampak pada saat laparoskopi awal kini telah mampu diablasi.
22,27 Pada endometriosis derajat berat dan luas, pembedahan atraumatik merupakan pilihan
utama karena sudah diketahui bahwa endometrioma yang lebih besar dari 1 cm tidak menyusut
selama pengobatan medikamentosa. Pengangkatan endometrioma saat operasi dilakukan
karena faktorfaktor mekanik antara lain perlekatan yang mengganggu mekanisme penangkapan
ovum hanya dapat ditanggulangi dengan pembedahan; oleh karena itu, sekuele endometriosis
merupakan indikasi primer untuk pembedahan.30 Pada endometriosis derajat minimal,
pengamatan dan sikap menunggu sering menghasilkan kehamilan. Pada derajat ringan,
pengobatan medikamentosa merupakan pilihan. Bila endometriosis ringan terjadi bersamaan
dengan faktor-faktor infertilitas lainnya, hasil yang baik akan diperoleh dengan memperbaiki
faktorfaktor infertilitas tersebut. Pada endometriosis ringan, bila disertai anovulasi, luteinized
unruptured follicle (LUF), defek fase luteal, serta hiperprolaktinemia hendaknya hal-hal tersebut
diperbaiki terlebih dahulu. Bila pendekatan demikian tidak menghasilkan kehamilan dalam
waktu dekat, maka endometriosisnya harus diobati terlebih dahulu.30-32 Dengan mikroskop
elektron akan terlihat bahwa lesi endometriosis yang sederhana biasanya terpencar pada
permukaan peritoneum sebagai polip-polip kecil atau bongkah-bongkah berdiameter dilakukan
mencakup ablasi lesi endometriosis, lisis dari pelekatan, dan neurektomi nervus uterosakral.17
Infertilitas Endometriosis sedang dan berat, khususnya bila telah terdapat pelekatan pada
ovarium dan tuba Falopii, akan menurunkan angka kejadian fertilisasi. Hal ini terjadi karena
adanya obstrusi mekanik dari ovarium dan tuba Falopii yang menyebabkan gagalnya transpor
gamet ke pars ampularis tuba Falopii. Walaupun belum ada penelitian yang memperlihatkan
perbedaan kejadian fertilitas antara yang telah dilakukan tindakan dan tanpa tindakan, banyak
publikasi yang menunjukkan angka kejadian fertilitas nol untuk yang mengalami endometriosis
berat. Ternyata tindakan pembedahan dapat meningkatkan kejadian kehamilan pada pasien
endometriosis sedang dan berat.20,21 Pada kasus endometriosis minimal dan ringan ternyata
tetap terdapat hubungan antara kejadian endometriosis dengan gangguan reproduksi,
walaupun hubungan ini belum terlalu jelas. Teori mengenai patofisiologi gangguan tersebut
mencakup gangguan ovulasi, gangguan pematangan oosit, gangguan terhadap sperma di rahim,
toksisitas embrio, abnormalitas sistem imun, dan gangguan penerimaan endometrium terhadap
implantasi embrio.33-36 Induksi ovulasi pada kasus endometriosis ternyata memberikan hasil
yang cukup memuaskan. Penelitian randomized trials memperlihatkan pemberian agonis GnRH
dengan hormon FSH dan LH, klomifen sitrat, serta inseminasi intrauterin, atau FSH dengan
inseminasi intrauterin memperlihatkan peningkatan angka kehamilan dibandingkan pada yang
tanpa terapi. Tindakan assited reproductive technology (ART) masih dapat dilakukan pada kasus
endometriosis berat.37,38 Kehamilan setelah pengobatan endometriosis Endometriosis
mengakibatkan intertilitas melalui berbagai mekanisme, yaitu gangguan ovulasi, perlengketan
jaringan, penyumbatan tuba Falopii, kehamilan ektopik, dan penyebab lain yang tidak diketahui.
Keberhasilan kehamilan setelah pengobatan dengan pembedahan dan terapi hormon berkisar
40-70%, tergantung pada beratnya endometriosis.37 Untuk mengupayakan kehamilan setelah
pengobatan endometriosis dapat dilakukan dengan menunggu, induksi ovulasi, inseminasi intra
uterin, atau in vitro fertilization. Cairan peritoneal Pada keadaan tanpa perlekatan atau kelainan
anatomi dan endometriosis yang ada hanya berupa lesi sangat kecil di kavum Douglasi,
kemungkinan terjadinya kehamilan spontan sangat besar. Infertilitas akibat endometriosis murni
disebabkan faktor mekanis yang membuat ovum atau sperma rnengalami hambatan pasase. 35
Pada endometriosis ringan yang tidak melibatkan ovarium dan terbatas pada peritoneum pelvis,
lebih diutamakan pengobatan hormonal selama enam bulan. Bila terjadi fibrosis dan perlekatan
yang mengakibatkan fiksasi ovarium ke ligamentum latum posterior, maka keadaan ini dapat
menyebabkan kerusakan arsitektur tuba yang tidak dapat dikembalikan hanya dengan
pengobatan hormonal. Bila pasien tidak tahan terhadap pengobatan hormonal atau gejalanya
kambuh kembali, tentu diperlukan pembedahan konservatif. Bila pasien belum hamil dalam
selang waktu yang diperkirakan, pembedahan konservatif diharapkan dapat memberikan
harapan yang lebih besar untuk terjadinya kehamilan. Bila endometriosis tidak dapat
dikeluarkan secara baik, terapi medikamentosa dapat diberikan penuh selama satu tahun
pascabedah.39 Tennik pendekatan yang lebih baik dan rasional yaitu dengan memperhatikan
interaksi faktor lokal yaitu cairan peritoneal dan faktor sistemik secara imunoendokrinologik dan
selular, berhubung telah ditemukan bentuk baru endometriosis yang tak terdeteksi dengan
laparoskopi. Bentuk ini dikenal sebagai endometriosis biokimia- wi. Perlu dipikirkan pengobatan
terhadap cairan peritoneum karena lesi peritoneum dari endometriosis berhubungan langsung
secara bebas dengan rongga peritoneum dan menyekresikan produknya secara langsung pula ke
dalam cairan peritoneum. 4
DAFTAR PUSTAKA
1. Speroff L, Fritz M. Clinical Gynecologic Endocrinology and Infertility. Philadelphia: Lippincott
Williams & Wilkins, 2005.
2. Bulun SE. Endometriosis. N Engl JMed 2009;360:268-79.
3. Kennedy S. The patient's essential guide to endometriosis [homepage on the Internet].
Nodate [Cited 2012 Aug 9]. Available from: http://www.endo metriosiszone.org/display.asp?
page =Endometriosis_essential_guide
4. Germaine BL, Hediger M, Peterson M, Croughan M, Sundaram R, Stanford J, et al. Incidence of
endometriosis by study population and diagnostic method: The ENDO study [homepage on the
Internet]. Nodate [Cited 2012 Aug 9]. Available from: http://www.ncbi.
nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3143 230/.2012
5. Kim AH, Adamson GD. Endometriosis. In: Edlich RF, editor. Advances in Medicine. Arlington:
ABI Professional Publications, 2000; p. 611-22.
6. American Society for Reproductive Medicine. Revised American Society for Reproductive
Medicine classification of endometriosis 1996. Fertil Steril. 1997;67:817-21.
7. Witz CA, Schenken RS. Pathogenesis of endometriosis. In: Speroff L, Adamson GD, editors.
Seminars in reproductive endocrinology. New York: Thieme; 1997;15(3):199-208.
SUBINVOLUSIO UTERUS

1.1 Pengertian Involusi Uterus

Segera setelah pengeluaran plasenta, fundus uteri yang berkontraksi tersebut terletak
sedikit dibawah umbilicus . bagian tersebut sebagian besar terdiri dari miometrium yang ditutupi
oleh serosa dan dilapisi oleh desidua basalis. Dinding posterior dan anterior, dalam jarak yang
terdekat, masing-masing tebalnya 4 sampai 5 cm (Buhimschi dkk, 2003). Segera setelah
pascapartum, berat uterus menjadi kira-kira 1.000 g. karena pembuluh darah ditekan oleh
miometrium yang berkontraksi, maka uteruspada bagian tersebut tampak iskemik dibandingkan
dengan uterus hamil yang hiperemis berwarna ungu-kemerahan.
Selama nifas, tour de force destruksi dan sekonstruksi yang sungguh luar biasa dimulai.
Dua hari setelah pelahiran, uterus mulai berinvolusi, dan pada minggu pertama, beratnya sekitar
500 g. pada minggu kedua, beratnya sekitar 300 g dan telah turun masuk ke pelvis sejati. Sekitar
4 minggu setelah pelahiran, uterus kembali ke ukura sebelum hamil yaitu 100 g atau kurang.
Jumlah sel otot mungkin tidak berkurang cukup besar. Akan tetapi, ukuran masing-masing sel
menurun secara bermakna dari 500-800 µm kali 5-10 µm saat aterm menjadi 50-90 µm kali 2,5-
5µm pascapartum. Involusi kerangka jaringan penyambung terjadi sama cepatnya.
Karena pemisahan plasenta dan membaran meliputi lapisan yang seperti spons, maka
desidua basalis tidak meluruh. Desidua tetap mempunyai variasi ketebalan yang jelas,
mempunyai tampilan ireguler berupa penonjolan yang kasar, dan diinfiltrasi oleh darah ,
terutama pada perlekatan plasenta. Temuan USG rongga uterus memerlukan waktu 5 minggu
untuk kembali ke ukuran rongga potensial sebelum hamil, Tekay dan Jouppila (1993) meneliti 42
wanita pascapartum normal dan menemukan cairan dirongga endometrium pada 78% wanita
pada minggu kedua, 52 % pada minggu ketiga, 30% pada minggu ke empat , dan 10% pada
minggu kelima. Wachsberg dan Kurtz (1992) meneliti 72 wanita dan menemukan gas di rongga
endometrium pada 19% wanita dalam 3 hari setelah pelahiran. Pada 7% wanita, ini terlihat pada
minggu ketiga. Yang terakhir, dengan menggunakan ultrasonografi , Sohn dkk (1988)
menemukan terdapatnya peningkatan resistensi vascular arteri uterine selama 5 hari pertama
pascapartum.
( Tabel 2.2 Perubahan normal pada uterus selama postpartum )

1.2 Pengertian subinvolusio

Subinvolusi adalah kegagalan uterus untuk mengikuti pola normal involusi/proses


involusi rahim tidak berjalan sebagaimana mestinya,sehingga proses pengecilan uterus
terhambat.
Subinvolusi merupakan istilah yang digunakan untuk menunjukkan kemunduran
yang terjadi pada setiap organ dan saluran reproduktif,kadang lebih banyak mengarah
secara spesifik pada kemunduran uterus yang mengarah ke ukurannya.(Varney’s
Midwivery).
Subinvolusiadalah kegagalan perubahan fisiologis pada sisitem reproduksi pada
masa nifas yang terjadi pada setiap organ dan saluran  yang reproduktif.
Subinvolusi adalah kegagalan rahim untuk kembali ke keadaan tidak hamil. Penyebab
paling umum adalah infeksi plasenta. (Lowdermilk, perry. 2006).
Subinvolusi uteri adalah proses kembalinya uterus ke ukuran dan bentuk seperti sebelum
hamil yang tidak sempurna (Adelle Pillitteri, 2002) Subinvolusi adalah kegagalan uterus
untuk mengikuti pola normal involusi, dan keadaan ini merupakan salah satu dari
penyebab umum perdarahan pascapartum. (Barbara, 2004)
Istilah ini menunjukkan keadaan terhentinyaatau retardasi dalam proses involusi.
Ini diikuti oleh memanjangnya pengeluaran lokia dan perdarahn uterus yang ireguler atau
berlebihan, yang terkadang sangat banyak jumlahnya. Pada pemeriksaan bimanual, uterus
menjadi lebih besar dan lebih lunak daripada seharusnya. Baik retensi sisa plasenta
maupun infeksi pelvis dapat menyebabkan subinvolusi. Ergonovine atau
methylergonovine (methergine), 0,2 mg setiap 3 sampai 4 jam selama 48 jam,
direkomendasikan oleh beberapa kalangan untuk subinvolusi, namun mamfaatnya masih
dipertanyakan. Disisi lain metritis bacterial berespons terhadap terapi antibiotic oral.
Wager dkk (1980) melaporkan bahwa hamper sepertiga kasus infeksi uterus pascapartum
lanjut disebabkan oleh Chlamydia trachomatis. Jadi, terapi azithromycin atau
doxycycline merupakan terapi empiris yang sesuai.
Andrew dkk (1989) meneliti 25 kasus perdarahan antara ke-7 dan ke-40
pascapartum yang disebabkan oleh arteri uteroplasenta yang tidak berinvolusi. Arteri
abnormal ini diisi oleh thrombus dan tidak memiliki lapisan endothelial. Trofoblas
perivaskular juga ditemukan di dinding pembuluh darah ini. Mereka menyatakan bahwa
subinvolusi, setidaknya pada pembuluh plasenta, dapat menunjukkan interaksi yang
menyimpang antara sel uterus dan trofoblas.

1.3 Faktor predisposisi

a. Status gizi ibu nifas buruk ( kurang gizi)


b. Ibu tidak menyusui bayinya
c. Kurang mobilisasi
d. Usia
e. Parietas
f. Terdapat bekuan darah yang tidak keluar
g. Terdapat sisa plasenta dan selaputnya dalam uterus sehingga proses involusi
uterus tidak berjalan dengan normal atau terlambat
h. Terjadi infeksi pada endometrium
i. Inflamasi
j. Mioma uteri
1.4 Patofisiologi Subinvolusio Uterus

Kekurangan darah pada uterus. Kekurangan darah bukan hanya karena kontraksi dan
retraksi yang cukup lama, tetapi disebabkan oleh pengurangan aliran darah yang pergi ke
uterus di dalam perut ibu hamil, karena uterus harus membesar menyesuaikan diri dengan
pertumbuhan janin. Untuk memenuhi kebutuhannya, darah banyak dialirkan ke uterus dapat
mengadakan hipertropi dan hiperplasi setelah bayi dilahirkan tidak diperlukan lagi, maka
pengaliran darah berkurang , kembali seperti biasa. Demikian dengan adanya hal-hal tersebut
uterus akan mengalami kekurangan darah sehingga jaringan otot –otot uterus mengalami
atrofi kembali ke ukuran semula.

Subinvolusi uterus menyebabkan kontraksi uterus menurun sehingga pembuluh darah


yang lebar tidak menutup sempurna, sehingga perdarahan terjadi terus menerus,
menyebabkan permasalahan lainnya baik itu infeksi maupun inflamasi pada bagian rahim
terkhususnya endromatrium. Sehingga proses involusi yang mestinya terjadi setelah nifas
terganggu karena akibat dari permasalahan di atas.

1.5 Manifestasi klinis dari Subinvolusio Uterus

Biasanya tanda dan gejala subinvolusi tidak tampak, sampai kira-kira 4-6 minggu
pasca nifas.
a. Fundus uteri letaknya tetap tinggi di dalam abdomen atau pelvis dari yang
diperkirakan atau penurunan fundus uteri lambat dan tonus uterus lembek.
b. Keluaran kochia seringkali gagal berubah dari bentuk rubra ke bentuk serosa,
lalu kebentuk kochia alba.
c. Lochia bisa tetap dalam bentuk rubra dalam waktu beberapa hari postpartum
atau lebih dari 2 minggu pasca nifas
d. Lochia bisa lebih banyak daripada yang diperkirakan
e. Leukore dan lochia berbau menyengat, bisa terjadi jika ada infeksi
f. Pucat,pusing, dan tekanan darah rendah
g. Bisa terjadi perdarahan postpartum dalam jumlah yang banyak (>500 ml)
h. Nadi lemah, gelisah, letih, ektrimitas dingin

1.6 Pemeriksaan yang dilakukan untuk mendiagnosis Subinvolusio Uterus

a. Anamnesa
1. Identitas pasien
Data diri klien meliputi nama, umur, pekerjaan, pendidikan, alamat,
medical record, dll.
2. Riwayat kesehatan
1) Riwayat kesehatan sekarang
Keluhan yang dirasakan ibu saat ini : pengeluaran lochia yang
tetap berwarna merah ( dalam bentuk rubra dalam beberapa hari
postpartum atau lebih dari 2 minggu postpartum adanya leukore an lochia
berbau menyengat )
2) Riwayat kesehatan dahulu
Riwayat penyakit jantung, hipertensi, penyakit ginjal kronik
hemofilia, mioma uteri, riwayat preeklamsia, trauma jalan lahir
kegagalan kompresi pembuluh darah, tempat implantasi plasenta retensi
sisa plasenta.
3) Riwayat penyakit keluarga
Adanya riwayat keluarga yang pernah/sedang menderita hiertensi,
penyakpit jantung dan preeklamsia, penyakit keturunan hemofilia dan
penyakit menular.
4) Riwayat obstetric
Riwayat menstruasi meliputi : menarche, lama siklusnya,
banyaknya, baunya, keluhan waktu haid.
Riwayat perkawinan meliputi : usia kawin, kawin yang keberapa,
usia mulai hamil.
5) Riwayat hamil, persalinan dan nifas yang lalu
 Riwayat hamil meliputi: waktu hamil muda, hamil tua, apakah ada
abortus
 Riwayat persalinan meliputi: Tuanya kehamilan, cara persalinan,
penolong, tempat bersalin, adakah kesulitan dalam persalinan,
anak lahir hidup / mati, BB & panjang anak waktu lahir.
 Riwayat nifas meliputi : keadaan lochia, apakah ada perdarahan,
ASI cukup/tidak,kondisi ibu saat nifas, tinggi fundus uteri dan
kontraksi.
 Riwayat kehamilan sekarang
o Hamil muda: keluhan selama hamil muda
o Hamil tua: keluhan selama hamil tua, peningkatan BB,
suhu nadi, pernafasan, peningkatan tekanan darah, keadaan
gizi akibat mual atau keluhan lain.
o Riwayat ANC meliuti: dimana tempat pelayanan. berapa
kali perawatan serta pengobatannya yang di dapat.
 Riwayat persalinan sekarang meliputi : tuanya kehamilan, cara
persalinan, penolong tempat bersalin, apakah ada penyulit dalam
persalinan (missal: retensio plasenta, perdarahan yang berlebihan
setelah persalinan ,dll), anak lahir hidup/mati, BB dan panjang anak
waktu lahir.

b. Pemeriksaan umum
 Keadaan ibu
 Tanda – tanda vital meliputi: suhu, nadi, tekanan darah, pernapasan
 Kulit dingin, berkeringat, pucat, kering, hangat, kemerahan
 Kandung kemih : distensi, produksi urin menurun / berkurang
c. Pemeriksaaan khusus
 Uterus
Meliputi: fundus uteri dan posisinya serta konsistensinya
 Lochia
Meliputi: warna, banyaknya dan baunya
 Perineum
Diobservasi untuk melihat apakah ada tanda infeksi dan luka
jahitan
 Vulva
Dilihat apakah ada edema atau tidak
 Payudara
Dilihat kondisi aerola, konsistensi dan kolostrum
d. Pemeriksaan penunjang
 USG
 Radiologi
 Laboratorium ( Hb.golongan darah,eritrosit, leukosit, trombosit,
hematokrit, CT, Blooding time )
 Pemeriksaan patologi jaringan endometrium

1.7 Penatalaksanaan Subinvolusi Uterus

 Pemberian antibiotik
 Pemberian uterotonika
a. Oksitosin
b. Metilergonovin maleat
 Pemberian tansfusi
 Dilakukan kerokan bila disebabkan karena tertinggalnya sisa-sisa plasenta

1.8 Komplikasi Subinvolusi Uterus


Subinvolusi uterus menyebabkan kontraksi uterus menurun sehingga pembuluh darah
yang lebar tidak menutup sempurna, sehingga perdarahan terjadi terus menerus. Perdarahan
postpartum (PPH) merupakan perdarahan vagina yang lebih dari 24 jam setelah melahirkan. Penyebab
utama adalah subinvolusi uterus. Yakni kondisi dimana uterus tidak dapat berkontraksi dan kembali
kebentuk awal. Ketika miometrium kehilangan kemampuan untuk berkontraksi, pembuluh rahim
mungkin berdarah secara luas dan menyajikan situasi yang mengancam jiwa mengharuskan
histerektomi.

1.9 Prognosis Subinvolusi Uterus


Prognosis baik apabila tindakan segera dilakukan serta perdarahan akibat subinvolusi uteri
segera dihentikan.
DAFTAR PUSTAKA

1. Cunningham, F. Gary . 2012. Obstetri Williams volume 1 edisi 23. Jakarta : EGC
2. Manuaba, Ida bagus gede. 2007. Pengantar Kuliah Obstetri. Jakarta : EGC
3. Mansjoer,Arif dkk. 2001. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta: Media Aesculapius
4. Mescher, L. Anthony. 2011. Histologi Dasar Junqueira Teks dan Atlas edisi 12. Jakarta :
EGC
5. Mochtar,Rustam. 1998.Sinopsis Obstetri. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC
6. Prawirohardjo, Sarwono. Ilmu kebidanan.2005. Yayasan Bina Pustaka Sarwono Pillitteri,
TORSI DAN RUPTUR KISTA

KISTA OVARIUM
Kista ovarium disebut juga kistoma ovarii, yaitu suatu kantong abnormal berisi cairan
atau setengah cair yang tumbuh dalam indung telur (ovarium). Dengan istilah lain kista ovarium
adalah tumor neoplastik jinak ovarium yang bersifat kistik. Gambaran klinis : a) Benjolan perut
bagian bawah b) Nyeri perut bagian bawah (karena peregangan kapsula, torsi, atau ruptur) c)
Gangguan penekanan (ureter, vesika urinaria, rektum) d) Gejala endokrin (maskulinisasi atau
feminimisasi) ANATOMI Gambar 1 Genitalia interna wanita Ovarium merupakan sepasang organ
pada sistem reproduksi wanita. Ovarium terletak pada rongga pelvis, masing-masing terletak di
samping uterus dan berukuran kira-kira sebesar biji almond. Ovarium memproduksi 1 sel telur
dan hormon-hormon yang akan mengatur fungsi organ reproduksi. Setiap bulan, selama siklus
menstruasi, sel telur dilepaskan dari salah satu ovarium dalam suatu proses yang disebut
sebagai ovulasi. Telur tersebut melakukan perjalanan sepanjang tuba fallopi menuju uterus.
Ovarium juga merupakan sumber utama penghasil hormone estrogen dan progesterone.
Hormon-hormon juga berperan dalam berkembangnya organ seks sekunder wanita, seperti
payudara, bentuk tubuh, dan rambut dibeberapa lokasi tubuh, dan juga dapat mengontrol siklus
menstruasi dan kehamilan. Salah satu bagian ovarium yang penting adalah yang berada di dalam
cavum peritonei dilapisi oleh epitel kubik silindrik, disebut epitelium germinativum. Dibawah
epitel ini terdapat tunika albuginea dan dibawahnya lagi baru ditemukan lapisan tempat folikel
primordial. Pada wanita diperkirakan terdapat banyak folikel. Tiap bulan satu folikel, kadang-
kadang dua folikel, berkembang menjadi folikel de graaf. Folikelfolikel ini merupakan bagian
ovarium yang terpenting, dan dapat ditemukan di korteks ovarii dalam letak yang beraneka
ragam, dan pula dalam tingkat-tingkat perkembangan dari satu sel telur yang dikelilingi oleh
suatu lapisan sel-sel saja sampai folikel de graaf yang matang. Folikel yang matang ini terisi
likuor folikuli yang mengandung estrogen, dan siap untuk berovulasi. 2 Gambar 2. Ovarium dan
folikel-folikel dalam berbagai tingkat perkembangan. Klasifikasi A. Tumor non-neoplastik 1.
Tumor akibat radang 2. Tumor lain a) Kista folikel b) Kista korpus luteum c) Kista lutein d) Kista
inklusi germinal e) Kista endometrium f) Kista Stein-Leventhal B. Tumor neoplastik jinak 1. Kistik
3 a) Kistoma ovarii simpleks b) Kistoma ovarii serosum c) Kistoma ovarii epidermoid d) Kista
dermoid 2. Solid a) Fibroma, Leiomioma, Fibriadenoma, Papiloma, Angioma b) Tumor Brenner c)
Tumor sisa adrenal Jenis Kistoma Ovarii 1. Berdasarkan letak a. Intraligamenter - gerak terbatas -
gambaran pembuluh darah (+) - terdapat diantara ligamentum latum b. Bertangakai - batas
jelas, gerak bebas - perlengketan (-) - dapat berubah mengakibatkan torsi - dapat tumbuh
intraligamenter sebagai kistoma ovarii intraligamenter c. Pseudo Intraligamenter - gerak
terbatas - terletak diluar ligamentum latum 2. Berdasarkan histopatologi a. Kistoma Ovarii
Simpleks Kista ini mempunyai permukaan rata dan halus, biasanya bertangkai, seringkali
bilateral, dan dapat menjadi besar. Dinding kista tipis dan cairan di dalam kista jernih, serous,
dan berwarna kuning. Pada dinding kista tampak lapisan epitel 4 kubik.
Berhubungan dengan adanya tangkai, dapat terjadi torsi (putaran tangkai) dengan
gejala-gejala mendadak. Diduga bahwa kista ini suatu jenis kistadenoma serosum, yang
kehilangan epitel kelenjarnya berhubungan dengan reseksi ovarium, akan tetapi jaringan yang
dikeluarkan harus segera diperiksa secara histologik untuk mengetahui apakah ada keganasan.
b. Kistadenoma Ovarii Musinosum Asal tumor ini belum diketahui dengan pasti. Menurut
Meyer, kista ini berasal dari suatu teratoma di mana dalam pertumbuhannya satu elemen
mengalahkan elemen-elemen lain. Ada penulis yang berpendapat bahwa tumor berasal dari
epitel germinativum, sedang penulis lain menduga tumor ini mempunyai asal yang sama dengan
tumor Brenner. Tumor lazimnya berbentuk multilokuler, oleh karena itu, permukaan berlobus
(lobulated). Kira-kira 10% dapat mencapai ukuran yang amat besar, lebih-lebih pada penderita
yang datang dari pedesaan. Pada tumor yang besar tidak lagi dapat ditemukan jaringan ovarium
yang normal. Tumor biasanya unilateral, akan tetapi dapat juga dijumpai yang bilateral. Dinding
kista agak tebal dan berwarna putih keabu-abuan, yang terakhir ini khususnya bila terjadi
perdarahan atau perubahan degeneratif di dalam kista. Pada pemeriksaan makroskopis
(Intraoperatif) dapat ditemukan cairan lendir yang khas, kental seperti gelatin, melekat, dan
berwarna kuning sampai coklat, tergantung dari percampurannya dengan darah. Pada
pemeriksaan mikroskopis tampak dinding kista dilapisi oleh epitel torak tinggi pada dasar sel,
terdapat di antaranya selsel yang membundar karena terisi lendir (sel goblet). 5 Sel-sel epitel
yang terdapat dalam satu lapisan mempunyai potensi untuk tumbuh seperti struktur kelenjar.
Kelenjar-kelenjar menjadi kista-kista baru, yang menyebabkan kista menjadi
multilokuler. Jika terjadi robekan atau ruptur pada dinding kista, maka sel-sel epitel dapat
tersebar pada permukaan peritoneum rongga perut, dan dengan sifatnya yang menghasilkan
sekresi maka dapat menyebabkan pseudomiksoma peritonei. Akibat pseudomiksoma peritonei
ialah timbulnya penyakit menahun dengan musin terus bertambah dan menyebabkan banyak
perlekatan. Akhirnya, penderita meninggal karena ileus. Pada kista kadang-kadang dapat
ditemukan daerah padat, dan pertumbuhan papiler. Tempat-tempat tersebut perlu diteliti
dengan seksama oleh karena disitu dapat ditemukan tandatanda ganas. Keganasan ini, terdapat
dalam kira-kira 5-10% dari kistadenoma musinosum. c. Kistadenoma Ovarii Serosum Pada
umumnya para penulis berpendapat bahwa kista ini berasal dari epitel permukaan ovarium
(germinal epithelium). Pada umumnya kista jenis ini tidak mencapai ukuran yang amat besar
dibandingkan dengan kistadenoma musinosum. Permukaan tumor biasanya licin, akan tetapi
kista serosum pun dapat berbentuk multilokuler, meskipun lazimnya berongga satu. Warna kista
putih keabu-abuan, ciri khas kista ini ialah potensi pertumbuhan papiler ke dalam rongga kista
sebesar 50%, dan keluar pada permukaan kista sebesar 5%. Isi kista cair, kuning, dan kadang-
kadang coklat karena campuran darah. Tidak jarang kistanya sendiri kecil, tetapi permukaannya
penuh dengan pertumbuhan papiler (solid papilloma) 6 Pada umumnya dapat dikatakan bahwa
tidak mungkin membedakan gambaran makroskopis kistadenoma serosum papiliferum yang
ganas dari yang jinak, bahkan pemeriksaan mikroskopis pun tidak selalu memberi kepastian.
Pada pemeriksaan mikroskopis terdapat dinding kista yang dilapisi oleh epitel kubik atau
epitel torak yang rendah, dengan sitoplasma eosinofil dan inti sel yang besar dan gelap
warnanya. Karena tumor ini berasal dari epitel permukaan ovarium (germinal epithelium), maka
bentuk epitel pada papil dapat beraneka ragam, tetapi sebagian besar epitelnya terdiri atas
epitel bulu getar, seperti epitel tuba. Pada jaringan papiler dapat ditemukan pengendapan
kalsium dalam stromanya yang dinamakan psamoma. Adanya psamoma biasanya menunjukkan
bahwa kista adalah kistadenoma ovarii serosum papiliferum, tetapi tidak berarti bahwa tumor
itu ganas. Perubahan kearah ganas apabila ditemukan pertumbuhan papilifer, proliferasi dan
stratifikasi epitel, serta anaplasia dan mitosis pada sel-sel, kistadenoma serosum secara
mikroskopis digolongkan kedalam kelompok tumor ganas. Akan tetapi, garis pemisah antara
kistadenoma ovarii papiliferum yang jelas ganas kadang-kadang sukar ditentukan. Oleh karena
itu, tidaklah mengherankan bahwa potensi keganasan yang dilaporkan sangat berbeda-beda.
Walaupun demikian, dapat dikatakan bahwa 30%-35% dari kistadenoma serosum mengalami
perubahan keganasan. Bila pada suatu kasus terdapat implantasi peritoneum disertai dengan
asites, maka prognosis penyakit itu kurang baik, meskipun diagnosis histopatologis
pertumbuhan itu mungkin jinak (histopatologically benign). Klinik kasus tersebut menurut
pengalaman harus dianggap sebagai neoplasma ovarium yang ganas (clinically malignant). 7 d.
Kista endometrioid Kista ini biasanya unilateral dengan permukaan licin, pada dinding dalam
terdapat satu lapisan sel-sel, yang menyerupai lapisan epitel endometrium. Kista ini, yang
ditemukan oleh Sartesson dalam tahun 1969, tidak ada hubungannya dengan endometriosis
ovarii. e. Kista dermoid Sebenarnya kista dermoid ialah suatu teratoma kistik yang jinak dimana
struktur-struktur ektodermal dengan diferensiasi sempurna, seperti epitel kulit, rambut, gigi,
dan produk glandula sebasea berwarna putih kuning menyerupai lemak nampak lebih menonjol
daripada elemen-elemen dan mesoderm.
Tentang histogenesis kista dermoid, teori yang paling banyak dianut ialah bahwa tumor
berasal dari sel telur melalui proses parthenogenesis. Tidak ada ciri-ciri yang khas pada kista
dermoid. Dinding kista terlihat putih keabuan, dan agak tipis. Konsistensi tumor sebagian kenyal,
dibagian lain padat, sekilas terlihat seperti kista berongga satu, akan tetapi jika dibelah akan
tampak suatu kista besar dengan ruangan kecil-kecil di dalam dindingnya. Pada umumnya
terdapat satu daerah pada dinding bagian dalam, yang menonjol dan padat. Kista dermoid
terdiri atas elemen ektodermal, mesodermal dan entodermal, maka dapat ditemukan kulit,
rambut, kelenjar sebasea, gigi (ektodermal), tulang rawan, otot dan jaringan ikat (mesodermal),
mukosa traktus gastrointestinal, epitel saluran pernafasan, dan jaringan tiroid (entodermal).
Bahan yang terdapat dalam rongga kista ialah produk dari kelenjar sebasea berupa massa
lembek seperti lemak, bercampur dengan rambut. Rambut ini terdapat beberapa serat, 8 tetapi
dapat pula merupakan gelondongan seperti konde/kumparan. Pada kista dermoid dapat terjadi
torsi tangkai dengan gejala nyeri mendadak diperut bagian bawah. Ada kemungkinan pula
terjadinya sobekan dinding kista dengan akibat pengeluaran isi kista kedalam rongga
peritoneum. Perubahan ke arah ganas agak jarang, kira-kira dalam 1,5 % dari semua kista
dermoid, dan biasanya terjadi pada wanita lewat menopause. Yang tersering adalah karsinoma
epidermoid yang tumbuh dari salah satu elemen ektodermal. Ada kemungkinan pula bahwa satu
elemen tumbuh lebih cepat dan menyebabkan terjadinya tumor yang khas, termasuk disini
adalah :  Stroma ovarium Tumor ini terutama terdiri atas jaringan tiroid, dan terkadang dapat
menyebabkan hipertiroid.  Kistadenoma ovarii musinosum dan kistadenoma ovarii serosum
Kista dapat dianggap sebagai adenoma yang berasal dari satu elemen dari epithelium
germinativum.  Koriokarsinoma Tumor ganas ini jarang ditemukan dan untuk diagnosis harus
dibuktikan adanya hormon koriogonadotropin.

Diagnosis
a. Berdasarkan gambaran klinis
b. Pemeriksaan fisik Pada palpasi teraba massa kistik, permukaan halus, mobile, pada
perut bagian bawah (biasanya di lateral tetapi bila besar sulit dibedakan karena memenuhi
seluruh abdomen), pada pemeriksaan bimanual serviks tidak ikut bergerak bila massa tersebut
digerakkan. 9
c. Pemeriksaan penunjang - Sondase Pada kistoma ovarii sondase normal karena tidak
ada pembesaran uterus. - Ultrasonografi Tampak gambaran uterus normal, namun tampak
massa pada adneksa, sering bersekat-sekat, atau multilokuler dan pada kecurigaan keganasan
dapat dijumpai gambaran papiler dan neovaskularisasi. - BNO-IVP Pada kistoma ovarii yang
besar atau dengan perlekatan dapat merubah topografi ureter.
Diagnosa Banding
1. Kista mesenterial Merupakan neoplasma jinak yang bersifat kistik, yang terdapat pada
mesenterium.
2. Mioma uteri degenerasi kistik Mioma uteri degenerasi kistik dapat meliputi daerah kecil
maupun luas, sebagian dari mioma manjadi cair, terbentuk ruanganruangan yang tidak teratur
berisi cairan yang kental seperti agaragar, dapat terjadi pembengkakan luas dan bendungan
limfe sehingga menyerupai limfangioma. Dengan konsistensi yang lunak ini tumor sukar
dibedakan dari kista ovarium.
3. Tuba ovarial abses - Biasanya terjadi bersama dengan salpingitis - Besarnya dapat sampai 15-
20 cm - Sering bilateral 10 - Konsistensi bisa kistik atau padat - Dapat menyebabkan
menometrorhargia, demam - Pada pemeriksaan lab terdapat leukositosis Komplikasi a. Torsi -
Terjadi warna biru karena tekanan vena - Menimbulkan akut abdomen b. Ruptur - Menimbulkan
perdarahan intra abdominal (dari arteri Ovarica) sehingga menimbulkan akut abdomen. -
Peritoneum dan rongga abdomen terisi cairan gelatinosa (Pseudomiksoma Peritonei) d. Infeksi -
Panas, nyeri, leukositosis, peritonitis - Defans muscular e. Keganasan - 25 % regresi ganas
sebagai Cystadenocarsinoma (terjadi ascites) Keganasan Kistoma ovarii dicurigai ganas apabila :
a. Terdapat bagian yang padat b. Permukaan berbenjol-benjol c. Pertumbuhannya cepat d.
Perlekatan (sulit digerakkan) e. Disertai ascites f. Disertai penurunan berat badan (kakesia) 11
Penanganan a. Kistektomi + potong beku (Frozen Section) b. Ooforektomi unilateral + potong
beku c. Panhisterektomi + Omentektomi pada keganasan Potong beku (frozen section) adalah
pemeriksaan histopatologi hasil operasi yang dilakukan durante operasi yang berfungsi untuk
menentukan ganas atau tidaknya sediaan tersebut sehingga dapat dipergunakan sebagai
pedoman untuk menentukan jenis tindakan atau operasi yang dilakukan serta tindakan lanjut
pesca operasi (radioterapi / kemoterapi).

TORSIO KISTA OVARIUM


Sebagian besar massa ovarium, baik jinak maupun ganas, terbentuk dari kista. Insidensi
kista ovarium di berbagai tempat sedikit bervariasi tergantung pada faktor demografi penduduk,
yaitu sekitar 5-15 persen. (Hoffman, 2008) Secara histologi, kista di ovarium terbagi atas dua
bagian besar yaitu; (1) kista neoplasma ovarium yang berasal dari pertumbuhan neoplastik, dan
(2) kista ovarium fungsional yang diakibatkan oleh gangguan proses ovulasi normal. Pembedaan
kedua jenis kista ini, baik dengan pencitraan maupun penanda tumor, pada umumnya tidak
begitu penting secara klinis. Kedua jenis kista ovarium tersebut seringkali ditangani sebagai satu
kesatuan klinis. (Hoffman, 2008) Pada kasus torsio, umumnya ovarium dan tuba falopii berputar
mengelilingi ligamen latum sebagai sebuah unit tunggal. Namun terkadang, hanya ovarium yang
berputar mengeliling mesovarium ataupun tuba falopii mengeliling mesosalfing. Torsio bisa
terjadi pada jaringan adneksa normal, namun dalam 50-80% kasus ditemukan massa ovarium
unilateral. (Hoffman, 2008) Insiden torsio adneksa paling sering terjadi pada usia reproduksi.
Hibbard et al (1985) menemukan bahwa 70% kasus torsio terjadi pada wanita usia 20-39 tahun.
Sebagian kasus torsio juga terjadi pada masa kehamilan dan kasus ini merupakan 20-25% dari
seluruh kasus torsio. (Hoffman, 2008) I.

MANIFESTASI KLINIS
Pada umumnya, wanita yang mengalami torsio kista ovarium akan datang dengan
keluhan utama nyeri akut abdomen. Oleh karena itu, keterangan-keterangan mengenai
karakteristik nyeri (lokasi, onset, migrasi, radiasi, kualitas, tingkat keparahan, serta
faktor yang memperberat atau memperingan nyeri) harus dapat digali melalui proses
anamnesa. (Close & Tintinalli, 2004) Pasien torsio kista ovarium biasanya merasakan
nyeri yang tajam di daerah abdomen bagian bawah. Nyeri tersebut terlokalisir pada
lokasi ovarium yang mengalami gangguan dan terkadang dapat menjalar ke daerah
pinggang dan paha (nyeri referal/referred pain) (Hoffman, 2008). Hal ini disebabkan
karena serabut saraf viseral dari ovarium memasuki tulang belakang di tingkatan yang
sama dengan serabut saraf somatik yang mempersarafi daerah pinggang dan paha, yaitu
setingkat T9-T10. (Close & Tintinalli, 2004; Rapkin & Howe, 2007) Onset nyeri terjadi
mendadak dan mengalami perburukan secara intermitten dalam beberapa jam
(Hoffman, 2008). Onset nyeri biasanya muncul pada saat pasien mengangkat beban
berat, melakukan latihan fisik, maupun ketika berhubungan intim (Rapkin & Howe,
2007). Nyeri yang ditimbulkan cukup berat sehingga terkadang digambarkan sebagai
nyeri yang dapat membangunkan pasien dari tidurnya. Nyeri dengan tingkat keparahan
seperti ini biasanya berhubungan dengan kasus torsio yang telah mengalami iskemia.
(Close & Tintinalli, 2004; Hoffman, 2008) Suatu torsio yang menyebabkan obstruksi tuba
falopii juga dapat menghasilkan nyeri kolik. Nyeri kolik pada dasarnya adalah suatu nyeri
viseral dan berhubungan dengan peregangan organ berongga (hollow organ) dalam
rongga abdomen. Nyeri kolik ini menghadirkan suatu gambaran awitan nyeri yang
timbul secara bergelombang. (Close & Tintinalli, 2004) 14 Selain nyeri, keluhan penyerta
yang sering didapatkan pada pasien torsio kista ovarium adalah gejala-gejala refleks
autonom seperti mual dan muntah (Rapkin & Howe, 2007). Di samping itu, kadang
terdapat keluhan demam yang tidak begitu tinggi yang menandakan sudah terjadinya
proses nekrosis. (Hoffman, 2008)

Diagnosa Banding

Keluhan Utama Nyeri Akut Abdomen (Sumber: Close & Tintinalli, 2004) B. Pemeriksaan
Fisik Pada pemeriksaan fisik kasus torsio, dari status generalis dapat ditemukan tanda-tanda
demam jika sudah terjadi proses nekrosis (Hoffman, 2008). Selain itu, bila nyeri yang
ditimbulkan sangat hebat, dapat timbul syok neurogenik yang bisa terlihat dari perubahan
tandatanda vital, seperti takikardia dan hipotensi. 15 Pada pemeriksaan status lokalis, dari
pemeriksaan abdomen akan ditemukan abdomen terasa sangat lembut, khususnya di
daerah kista ovarium. Tanda paling penting adalah ditemukannya massa intra abdomen.
Namun, pemeriksaan di daerah ini harus dilakukan dengan lembut dan hati-hati agar
kenyamanan pasien dapat terjaga. Jika kista ovarium telah menyebabkan peradangan
peritonuem, terkadang bisa ditemukan tanda-tanda rangsang peritoneal, seperti nyeri tekan
dan nyeri lepas. (Close & Tintinalli, 2004; Rapkin & Howe, 2007) Pada pemeriksaan
ginekologis, dari pemeriksaan panggul biasanya akan dapat ditemukan adanya massa dan
rasa nyeri di daerah ovarium yang mengalami torsio. Namun demikian, menurut beberapa
hasil penelitian, pemeriksaan panggul pada pasien dengan keluhan nyeri akut abdomen
memiliki tingkat spesifisitas dan sensitifitas yang rendah. Oleh karena itu, masih dibutuhkan
beberapa pemeriksaan penunjang lainnya agar diagnosa torsio kista ovarium dapat
ditegakkan. (Close & Tintinalli, 2004) C. Pemeriksaan Penunjang Keluhan nyeri yang dialami
oleh pasien pada kasus torsio kista ovarium, khususnya pada kasus yang telah mengalami
iskemia, memiliki persamaan dengan keluhan yang terjadi pada kasus-kasus kehamilan
ektopik. Oleh karena itu, pada pasien yang datang dengan keluhan tersebut dianjurkan
untuk dilakukan tes kehamilan agar dugaan kehamilan ektopik dapat disingkirkan. (Close &
Tintinalli, 2004) Pemeriksaan ultrasonografi juga memiliki peranan penting dalam evaluasi
pasien dengan persangkaan torsio. Namun demikian, tanda yang ditemukan pada
pemeriksaan sonografi dapat sangat bervariasi tergantung pada derajat gangguan vaskuler,
karakterisitik massa, serta ada atau tidaknya perdarahan adneksa. Pada pemeriksaan
sonografi, suatu kasus torsio dapat menyerupai gambaran kehamilan ektopik, abses 16
tubo-ovarium, kista ovarium hemoragik, dan endometrioma. Menurut kepustakaan, tingkat
keakuratan dignosa dengan pemeriksaan sonografi sekitar 50-75 persen. (Hoffman, 2008)
Beberapa gambaran spesifik kasus torsio ovarium yang dapat ditemukan pada pemeriksaan
adalah ditemukannya gambaran folikel multipel mengelilingi sebuah ovarium yang
mengalami pembesaran memiliki tingkat keakuratan diagnosa sampai 64 persen. Tanda ini
menggambarkan proses kongesti dan edema yang terjadi di ovarium. Pedikulum yang
terpelintir kemungkinan juga akan memberikan gambaran yang dikenal dengan sebutan
bull’s-eye target, whirlpool, maupun snail shell. Gambaran tersebut berupa sebuah struktur
bulat hiperekhoik dengan cincin hipoekhoik multipel yang tersusun secara konsentrik ke
bagian dalam. (Hoffman, 2008) Selain itu, pemeriksaan Transvaginal Color Doppler
Sonography (TVCDS) bisa menambahkan informasi penting dalam evaluasi klinis kasus
torsio. Umumnya, melalui pemeriksaan ini akan dapat ditemukan gangguan pada aliran
darah normal adneksa. Pada sebagian besar kasus tidak ditemukan gambaran aliran darah
vena intraovarium. Seiring dengan perjalanan kasus torsio, maka aliran darah arteri
selanjutnya juga akan mengalami penurunan. Namun demikian, meski memiliki angka
keakuratan yang tinggi bagi sebagian besar kasus, kasus torsio adneksa inkomplit atau
intermitten dapat memberikan gambaran masih adanya aliran vena maupun arteri. Oleh
karena itu, torsio tidak dapat disingkirkan bila hanya berdasarkan gambaran normal dari
pemeriksaan Doppler. (Hoffman, 2008) Pemeriksaan CT-Scan atau MRI kemungkinan juga
dapat membantu untuk kasus-kasus torsio inkomplit dan kronik serta pada kasus-kasus yang
memiliki presentasi klinis yang ambigu. (Close & Tintinalli, 2004) II. MANAJEMEN 17 Tujuan
tindakan manajemen pada kasus torsio adalah untuk menyelamatkan jaringan adneksa,
reseksi terhadap jaringan kista, dan kemungkinan ooporeksi. Namun demikian, pada
penemuan keadaan nekrosis adneksa maupun perdarahan, harus dilakukan pengangkatan
struktur yang mengalami torsio. (Hoffman, 2008) Torsio dapat dievaluasi dengan teknik
laparoskopi maupun laparotomi. Pada awalnya, saat dilakukan tindakan bedah eksplorasi,
biasanya dilakukan adneksektomi guna menghindari terjadinya trombus ketika dilakukan
detorsi dan emboli. Bukti ilmiah ternyata tidak mendukung tindakan ini. Kepustakaan
menyatakan bahwa pada hampir 1000 kasus torsio hanya terdapat 0,2% kasus emboli paru.
Sebagai catatan, kasus emboli paru tersebut berhubungan dengan tindakan eksisi adneksa
dan bukan dengan tindakan pelepasan pelintiran secara konservatif. Pada sebuah studi
dengan 94 orang subjek penelitian, Zweizig et al (1993) melaporkan bahwa tidak terdapat
peningkatan morbiditas pada pasien yang dilakukan tindakan pelepasan pelintiran adneksa
jika dibandingkan dengan pasien yang dilakukan adneksektomi. (Hoffman, 2008) Gambar 3.
Torsio adneksa (Sumber; Rapkin & Howe, 2007) 18 Dengan alasan ini, maka tindakan detorsi
pada umumnya direkomendasikan. Dalam beberapa menit setelah tindakan detorsi,
biasanya kongesti menjadi berkurang, begitu juga dengan sianosis dan volume ovarium.
Pada beberapa kasus, tidak adanya tanda-tanda ini merupakan patokan untuk dilakukannya
pengangkatan adneksa. Ovarium yang berwarna hitam kebiruan menetap bukanlah suatu
tanda patognomonik nekrosis sehingga masih ada kemungkinan ovarium untuk kembali
berfungsi. Cohen et al (1999) melakukan tinjauan ulang terhadap 54 kasus dimana adneksa
tetap dipertahankan tanpa memperhatikan keadaannya pada saat dilakukan detorsi.
Mereka melaporkan bahwa integritas fungsional dan kehamilan berikutnya dapat terjadi
pada 95 kasus. Bidar et al (1991) melaporkan bahwa tidak terdapat peningkatan kejadian
infeksi post-operatif pada tindakan yang sama. Namun demikian, karena nekrosis masih
memiliki kemungkinan untuk terjadi, maka setelah tindakan masih diperlukan pengawasan
terhadap demam, leukositosis, dan tanda-tanda peritoneal. (Hoffman, 2008) Lesi ovarium
yang spesifik seharusnya dilakukan eksisi. Namun demikian, tindakan sistektomi pada
sebuah ovarium yang telah mengalami iskemik dan edematous kemungkinan merupakan
suatu tindakan yang sulit. Oleh karena itu, beberapa penulis menyarankan untuk melakukan
penundaan sistektomi hingga 6-8 minggu setelah tindakan penanganan pertama. (Hoffman,
2008) Setelah detorsi, belum terdapat konsensus mengenai manajemen lanjutan adneksa.
Setelah perkembangan tindakan konservatif, resiko terjadinya torsio berulang mengalami
peningkatan. Ooporopeksi unilateral maupun bilateral telah dinyatakan mampu
meminimalisir resiko terjadinya torsio ipslateral dan kontralateral yang berulang. (Hoffman,
2008) Penanganan torsio pada kehamilan tidak berbeda dengan diluar kehamilan. Jika
korpus luteum diangkat sebelum usia kehamilan 10 19 minggu, maka direkomendasikan
untuk diberikan 17-hidroksiprogesteron kaproat dengan dosis 150 mg secara intramuskular
guna mempertahankan kehamilan. Jika terjadi antara 8-10 minggu, maka hanya dibutuhkan
satu kali dosis pemberian segera setelah operasi. Namun jika korpus luteum dieksisi antara
6-8 minggu, maka dibutuhkan tambahan 2 dosis yang harus diberikan pada 1 dan 2 minggu
setelah dosis pertama diberikan. (Hoffman, 2008)

KISTA PECAH
DEFINISI
Kista pecah termasuk dalam salah satu komplikasi dari kista ovarium, yakni terjadinya
peristiwa pecahnya kantung kista yang berisi cairan atau darah. Gambar 4 salah satu kista
ovarium (kiri) dan gambaran normal (kanan)

MANIFESTASI KLINIS
(A). Anamnesa 1. Nyeri abdomen dapat timbul mendadak ataupun berkembang
perlahan-lahan, tergantung pada jenis kelainan, perdarahan bertahap atau perdarahan akut,
ruptur meendadak Nyeri dapat terlokalisir pada salah satu kuadran atau menyeluruh pada
abdomen bagian bawah. Rasa iritasi peritoneum dengan cairan 21 atau darah, rasa nyeri
cenderung konstan dan diperhebat oleh pergerakkan. Nyeri yang berkaitan dengan rupturnya
kista folikel biasanya membaik dalam beberapa jam. 2. Mual dan muntah dapat terjadi segera
atau beberapa jam setelah timbulnya nyeri mendadak. 3. Riwayat menstruasi. Pada umumnya
tumor ovarium tidak mengubah pola haid, kecuali jika tumor itu sendiri mengeluarkan hormon.
Kelainan dapat terjadi pada wanita hamil maupun tidak hamil. Perdarahan dari korpus luteum
yang ruptur terjadi kapan saja setelah ovulasi, termasuk pada awal kehamilan. Kemungkinan
ruptur endometrioma harus dipertimbangkan bila pasien mempunyai riwayat dismenorhea
sekunder yang terjadi selama siklus menstruai sebelumnya. 4. Gejala akibat pertumbuhan
tumor. Dapat terjadi gangguan miksi pada tumor yang tidak seberapa besar tetapi yang terletak
didepan uterus dan menekan kandung kencing. Selain gangguan miksi, tekanan tumor dapat
mengakibatkan obstipasi dan edema pada tungkai. Pada tumor yang besar dapat terjadi tidak
nafsu makan, rasa sesak dan lain-lain. 5. Gejala lainya berupa sinkope atau syok atau kedua-
duanya yang memberi kesan perdarahan intraperitoneum yang hebat ataupun suatu torsi akut.
Sering miksi dan defekasi menunjukkan iritasi peritoneum. Nyeri pundak memberi kesan iritasi
diafragma dari perdarahan yang hebat atau isi kista yang ruptur. Perdarahan ke dalam kista
Biasanya terjadi sedikit-sedikit, sehingga berangsur-angsur menyebabkan pembesaran kista, dan
hanya menimbulkan gejala klinis yang minimal. Jika perdarahannya banyak, akan terjadi distensi
cepat dari kista yang menimbulkan nyeri perut mendadak. Robekan dinding kista 22 Terjadi
akibat trauma seperti jatuh, atau pukulan pada perut, dan lebih sering pada persetubuhan. Jika
kista mengandung cairan serus, rasa nyeri akibat robekan dan iritasi peritoneum segera
mengurang. Tetapi apabila disertai oleh perdarahan hemorhagi yang timbul akut, maka
perdarahan dalam rongga peritoneum menimbulkan rasa nyeri terus-menerus disertai tanda-
tanda abdomen akut. Robekan kistadenoma musinosum perlengketan dalam rongga perut. (B).
Pemeriksaan Fisik 1. Tanda Vital Suhu biasanya normal atau sedikit meningkat, denyut nadi
biasanya cepat, tekanan darah dan pernafasan dalam batas normal, kecuali apabila terdapat
perdarahan intraperitoneum yang hebat sehingga menyebabkan gejala-gejala syok hipovolemik.
2. Pemeriksaan abdomen Nyeri tekan unilateral pada kuadran bagian bawah dengan atau tanpa
nyeri lepas, rigiditas dan pergeseran memberi kesan adanya proses terlokalisasi. Bising usus
biasanya normal. Perdarahan yang lebih ekstensif atau rupturnya isi kista menyebabkan
peritonitis abdominalis bagian bawah yang biasanya diserta oleh rigiditas, nyeri lepas, bising
usus menurun atau negatif, dan distensi abdomen. Jarang teraba massa lunak pada palpasi
abdomen. 3. Pemeriksaan pelvis Ukuran uterus biasanya normal kecuali bila pasien hamil.
Apabila serviks digerakkan terdapat rasa nyeri. Daerah adneksa yang terkena cenderung
menjadi sangat lunak, dan pada perdarahan intraperitoneum suatu massa diskret tidak dapat
diidentifikasi. Apabila ditemukan suatu massa atau tumor, diteliti sifatsifatnya( besarnya,
lokalisasi, permukaaan, konsistensi, dan apakah dapat digerakkan atau tidak). Sering pasien
mengalami nyeri tekan yang sangat hebat sehingga pemeriksaan bimanual 23 yang adekuat
tidak mungkin dilakukan kecuali pasien sudah diberikan analgesia sistemik atau bahkan
anestesia. Penonjolan dalam kavum Douglasi memberi kesan perdarahan intraperitoneum yang
ekstensif. Pemeriksaan Penunjang 1. Ultrasonografi Dengan pemeriksaan ini dapat ditentukan
letak dan batas tumor, apakah tumor berasal dari uterus, ovarium atau kandung kencing,
apakah tumor solid atau kistik, dapat dibedakan pula antara cairan dalam rongga perut yang
bebas dan yang tidak. 2. Foto Roentgen Pemeriksaan ini berguna untuk menentukan adanya
hidrotoraks. Selanjutnya, pada kista dermoid kadang-kadang dapat dilihat adanya gigi dalam
tumor. Foto abdomen tegak, terlentang, atau dekubitus lateral dapat menunjukkan adanya
cairan bebas intraperitoneum. 3. Parasintesis Pungsi pada ascites berguna untuk menentukan
sebab ascites. Perlu diingat bahwa tindakan tersebut mencemarkan kavum peritonei dengan isi
kista bila dinding kista tertusuk (bila kista belum pecah). MANAJEMEN TINGKAT RUJUKAN
Perhatikan tanda – tanda vital. Sirkulasi, pernafasan, suhu. Cegah pasien jangan sampai jatuh
dalam keadaan syok. Waspada bila pasien tampak pucat, dingin, nafas sesak atau perut kem
bung. 1. Bebaskan Jalan Nafas, dengan tujuan untuk menjaga agar tidak terjadi hipoksia. 24 2.
Pantau pernafasan. Bila pasien sesak berikan O2 4-8 liter 3. Periksa sirkulasi. Apakah nadi cepat,
lemah dan tidak teratur ? Apakah tensi rendah ? jika iya maka segera pasang Infus untuk
mengembalikan volume sirkulasi. Jika pasien nampak kondisinya agak berat cairan koloid lebih
dipilih dibandingkan kristaloid. 4. Berikan obat – obatan simptomatik. Jika pasien nyeri berikan
analgetik, bila kembung bisa diberikan ranitidin dan bila mual muntah dapat diberikan
metoclopramide atau domperidone. 5. Siapkan alur transportasi rujukan. Dampingi dengan
petugas. Bila perjalanan jauh maka siapkan peralatan untuk intubasi dan obat – obat emergensi.
Pantau secara berkala airway, breathing, sirkulasi. 6. Sebelum berangkat hubungi pusat rujukan
terlebih dahulu agar dapat mempersiapkan peralatan, petugas dan obat – obatan.
DAFTAR PUSTAKA

1. Close, R & Tintinalli, JE. 2004. Acute Abdominal Pain in Women of Childbearing Age.
2. Pearlman, MD et al (Editors). Obstetric & Gynecologic Emergencies: Diagnosis and Management.
1st Edition. Section VII. Chapter 28. New York: The McGraw-Hill Companies. 25
3. Hoffman, BL. 2008. Pelvic Mass. In: Schorge, JO et al (Editors). Williams Gynecology. Section 1.
Chapter 9. New York: The McGraw-Hill Companies.
4. Rapkin, AJ & Howe, CN. 2007. Pelvic Pain and Dysmenorrhea. In: Berek, JS et al (Editors). Berek
& Novak’s Gynecology. 14th Edition. Section IV. Chapter 15. Massachusetts: Lippincott Williams
& Wilkins
MASTITIS

Definisi

Mastitis merupakan peradangan payudara yang terjadi pada laktasi. Manisfestasi klinik mastitis
antara lain kemerahan, pembengkakan payudara, demam atau infeksi sistemik. Mastitis klinis
didefinisikan sebagai mastitis yang menyebabkan perubahan yang terlihat pada payudara. Mastitis
dibagi menjadi parah, sedang atau ringan . (Østerås,2009). Angka kejadian mastitis terjadi pada satu dari
lima ibu menyusui , biasanya pada 6-8 minggu pertama setelah melahirkan. Mastitis didefinisikan
sebagai proses inflamasi yang memengaruhi kelenjar susu.

Etiologi

Mastitis dapat terjadi sebagai akibat dari faktor ibu maupun faktor bayi. Penyebab mastitis pada
ibu meliputi praktik menyusui yang buruk seperti kesalahan dalam posisi menyusu karena kurangnya
pengetahuan atau pendidikan tentang menyusui, saluran yang tersumbat, puting pecah atau sistem
kekebalan tubuh ibu yang terganggu, yang dapat menyebabkan mastitis melalui mekanisme sistemik
yang meningkatkan kerentanan terhadap infeksi atau mengurangi suplai susu sebagai respons terhadap
nutrisi yang buruk, stres dan kelelahan ibu. Mastitis dapat diperburuk oleh kesehatan bayi yang buruk.
Beberapa penyebab mastitis, termasuk drainase payudara yang tidak memadai, perubahan frekuensi
menyusui dan pemberian makanan campuran. Mastitis adalah peradangan kelenjar susu. Secara
anatomi, payudara memiliki ambang tertentu untuk pertahanan terhadap patogen yang menyerang.
Makrofag susu, leukosit dan sel epitel adalah sel pertama yang menemukan dan mengenali patogen
bakteri yang memasuki kelenjar susu. Neutrofil kemudian direkrut dari darah ke dalam kelenjar susu
yang terinfeksi, di mana mereka mengenali, memfagositisasi, dan membunuh patogen yang menyerang
di tahap awal infeksi . Kekebalan adaptif memainkan peran penting dalam pembersihan kekebalan
tubuh ketika pertahanan bawaan gagal untuk sepenuhnya menghilangkan patogen penyebab mastitis.
Sejumlah besar limfosit T helper (Th) bermigrasi ke bagian yang terinfeksi dan mengatur respons imun
adaptif yang efektif . Himpunan bagian sel ini dapat melepaskan chemokine dan sitokin inflamasi, seperti
CXCL10, CCL2, CCL20, IL-17, IL12, IFN-γ, IL-1β, IL-6, TGF-β dan IL-10, yang secara signifikan meningkat .
Sitokin ini tidak hanya penting untuk pemeliharaan peradangan lokal lingkungan tetapi juga
berkontribusi pada diferensiasi sel T helper yang berbeda. Namun, subset sel pembantu T tertentu,
termasuk sel Th1, Th2, Th17 dan sel T regulator (Treg), yang dimobilisasi dalam mastitis tidak
didefinisikan dengan baik. Imunisasi merupakan salah satu strategi untuk meningkatkan sistem
kekebalan untuk memicu perlindungan respons imun terhadap mastitis.( Yanqing Zhao,2015). Etiologi
mastitis infeksius dan abses payudara biasanya adalah bakteri yang mengkolonisasi kulit. Bakteri yang
paling umum ditemukan adalah Staphylococcus aureus dan Coagulase negative staphylococcus (CNS).
Methicillin-resistant S. aureus (MRSA) juga semakin sering dilaporkan dan merupakan penyebab umum
terapi antibiotik yang gagal. Pasien dengan mastitis memiliki manifestasi nyeri payudara, dengan suhu
kulit yang tinggi payudara dan kelenjar susu induratif . Mastitis mempengaruhi kesehatan ibu dan bayi-
bayi mereka. Manifestasi klinis mastitis akut termasuk merah, payudara yang bengkak, panas, dan nyeri
tekan, dengan nyeri payudara lebih jelas, dan ibu mungkin menggigil dengan demam tinggi, sakit kepala,
dan kelemahan . Pembengkakan kelenjar getah bening bisa diamati di ketiak, dengan peningkatan
jumlah sel inflamasi, yang dapat berkembang menjadi sepsis pada kasus yang parah.. Pembentukan
abses pada pasien dengan mastitis akut adalah karena pengobatan yang tidak memadai atau lebih lanjut
memperburuk penyakit, nekrosis jaringan, likuifaksi, dan infeksi . Abses bisa tunggal atau multilokular.
Dangkal abses mudah ditemukan, tetapi abses yang dalam kurang terlihat. ( Wan-Ting Yang ,2019)
Faktor penyebab mastitis: 1. Daya tahan tubuh yang lemah dan kurangnya menjaga kebersihan puting
payudara saat menyusui. 2. Infeksi bakteri staphylococcus auereus yang masuk melalui celah atau
retakan putting payudara. 3. Saluran ASI tersumbat tidaksegera diatasi sehingga menjadi mastitis. 4.
Puting pada payudara retak/lecet. Hal ini dapat terjadi akibat posisi menyusui yang tidak benar.
Akibatnya puting robek dan retak. Bakteri menjadi lebih mudah untuk memasuki payudara . Bakteri
akan berkembang biak di dalam payudara dan hal inilah yang menyebabkan infeksi. 5. Payudara
tersentuh oleh kulit yang memang mengandung bakteri atau dari mulut bayi . Bakteri tersebut dapat
masuk ke dalam payudara melalui lubang saluran susu. 6. Selain itu, ada beberapa hal lain yang turut
meningkatkan risiko dari penyakit ini, seperti: a. Pernah mengalami penyakit mastitis sebelumnya.

b.Memiliki penyakit anemia di mana penyakit ini dapat menurunkan daya tahan tubuh terhadap
serangan infeksi, salah satunya penyakit mastitis. c. Tidak dapat mengeluarkan semua susu ketika
menyusui. Hal ini dapat membuat payudara terisi penuh oleh susu dan menyebabkan saluran susu
dalam payudara tersumbat. Hal ini akan membuat ukuran dari payudara membesar dan lebih rentan
terinfeksi oleh bakteri. d. Terdapat riwayat mastitis pada anak sebelumnya. e. Frekuensi menyusui yang
jarang atau waktu menyusui yang pendek. Biasanya mulai terjadi pada malam hari saat ibu tidak
memberikan bayinya minum sepanjang malam atau pada ibu yang menyusui dengan tergesa-
gesa.Pengosongan payudara yang tidak sempurna f. Pelekatan bayi pada payudara yang kurang baik.
Bayi yang hanya mengisap puting (tidak termasuk areola) menyebabkan puting terhimpit diantara gusi
atau bibir sehingga aliran ASI tidak sempurna. g. Ibu atau bayi sakit. h. Frenulum pendek. i. Produksi ASI
yang terlalu banyak. j. Berhenti menyusu secara cepat/ mendadak, misalnya saat bepergian. k.
Penekanan payudara misalnya oleh bra yang terlalu ketat atau sabuk pengaman pada mobil. l. Sumbatan
pada saluran atau muara saluran oleh gumpalan ASI, jamur,serpihan kulit, dan lain-lain. m. Penggunaan
krim pada puting. n. Ibu stres atau kelelahan. o. Ibu malnutrisi. Hal ini berhubungan dengan daya tahan
tubuh yang rendah Selain itu, cracked nipple, penggunaan antibiotik oral selama menyusui, penggunaan
pompa payudara, penggunaan antifungal topikal selama menyusui, riwayat mastitis sebelumnya, ASI
yang keluar >24 jam setelah persalinan, riwayat mastitis di keluarga, pemisahan ibu dan bayi > 24 jam,
dan infeksi tenggorokan merupakan factor risiko signifikan dari mastitis. Studi lain menunjukkan bahwa
teknik laktasi, kebiasaan menyusui, dan higienitas menyusui yang buruk adalah faktor risiko mastitis.
Menurut American Family Physician, hal-hal lain yang meningkatkan risiko mastitis adalah
labiopalatoschizis, cracked nipple, teknik menyusui yang kurang baik, stasis ASI lokal, tindikan payudara,
nutrisi ibu yang kurang, primiparitas, bra yang terlalu ketat, penggunaan pompa payudara manual, dan
infeksi jamur

Patofisiologi

Terjadinya mastitis diawali dengan peningkatan tekanan di dalam duktus (saluran ASI) akibat
stasis ASI. Bila ASI tidak segera dikeluarkan maka terjadi tegangan alveoli yang berlebihan dan
mengakibatkan sel epitel yang memproduksi ASI menjadi datar dan tertekan, sehingga permeabilitas
jaringan ikat meningkat. Beberapa komponen (terutama protein kekebalan tubuh dan natrium) dari
plasma masuk ke dalam ASI dan selanjutnya ke jaringan sekitar sel sehingga memicu respons imun.
Stasis ASI, adanya respons inflamasi, dan kerusakan jaringan memudahkan terjadinya infeksi. .( Pilar
Mediano,2014). Terdapat beberapa cara masuknya kuman yaitu melalui duktus laktiferus ke lobus
sekresi, melalui puting yang retak ke kelenjar limfe sekitar duktus (periduktal) atau melalui penyebaran
hematogen (pembuluh darah). Organisme yang paling sering adalah Staphylococcus aureus, Escherecia
coli dan Streptococcus. Kadang-kadang ditemukan pula mastitis tuberkulosis yang menyebabkan bayi
dapat menderita tuberkulosa tonsil. Pada daerah endemis tuberkulosa kejadian mastitis tuberkulosis
mencapai 1%..( Zadrozny et al,2018)

Pemeriksaan penunjang

Deteksi mastitis umumnya didasarkan pada indicator peradangan, seperti jumlah sel somatik ,
sitokin inflamasi, aktivitas enzim (mis., LDH atau NAGase), dan konduktivitas listrik ( Wan-Ting Yang ,
2019) Pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan lain untuk menunjang diagnosis tidak selalu
diperlukan. World Health Organization (WHO) menganjurkan pemeriksaan kultur dan uji sensitivitas
pada beberapa keadaan yaitu bila: 1. pengobatan dengan antibiotik tidak — memperlihatkan respons
yang baik dalam 2 hari 2. terjadi mastitis berulang 3. mastitis terjadi di rumah sakit 4. penderita alergi
terhadap antibiotik atau pada kasus yang berat. .( Pilar Mediano,2014). Bahan kultur diambil dari ASI
pancar tengah hasil dari perahan tangan yang langsung ditampung menggunakan penampung urin steril.
Puting harus dibersihkan terlebih dulu dan bibir penampung diusahakan tidak menyentuh puting untuk
mengurangi kontaminasi dari kuman yang terdapat di kulit yang dapat memberikan hasil positif palsu
dari kultur. Beberapa penelitian memperlihatkan beratnya gejala yang muncul berhubungan erat
dengan tingginya jumlah bakteri atau patogenitas bakteri. Investigasi rutin tidak diperlukan. Investigasi
harus dimulai jika: 1. Mastitis parah 2. Tidak ada respon yang memadai terhadap antibiotik lini pertama
atauInvestigasi untuk mastitis berat, tidak menanggapi antibiotik lini pertama atau perlu masuk harus
meliputi: a. Kultur dan sensitivitas ASI: sampel tangkapan tengah-tengah yang diekspresikan dengan
tangan ke dalam wadah steril (mis. Sejumlah kecil susu yang diekspresikan secara internal dibuang untuk
menghindari kontaminasi dengan flora kulit) 8 b. Hitung darah lengkap (FBC) c. Protein C-reaktif (CRP) d.
Investigasi lain yang perlu dipertimbangkan:Kultur darah harus dipertimbangkan jika suhu> 38.5C,
Ultrasonografi diagnostik jika diduga ada abses (Jurnal Mastitis,2012)

Diagnosis

1. Demam dengan suhu lebih dari 38,5oC


2. Menggigil
3. Nyeri atau ngilu seluruh tubuh
4. Payudara menjadi kemerahan, tegang, panas, bengkak, dan terasa sangat nyeri.
5. 5. Peningkatan kadar natrium dalam ASI yang membuat bayi menolak menyusu karena ASI
terasa asin
6. 6. Timbul garis-garis merah ke arah ketiak.
7. 7. Berdasarkan jumlah lekosit (sel darah putih), Thomsen dkk. membagi peradangan payudara
dalam 3 kondisi klinis
8. 8. Daerah merah, bengkak, dan nyeri pada payudara yang terkena 9
9. . Kulit mungkin tampak mengkilap dan kencang dengan garis-garis merah Umum
10. 10. Gejala mirip flu: lesu, sakit kepala, mialgia, mual, dan kecemasan
11. 11. Demam (suhu> 38оC) (Jane A Scott, 2008)

Pencegahan dan Pengobatan

Pencegahan terhadap kejadian mastitis dapat dilakukan dengan memperhatikan faktor risiko di
atas. Bila payudara penuh dan bengkak (engorgement), bayi biasanya menjadi sulit melekat dengan
baik, karena permukaan payudara menjadi sangat tegang. Ibu dibantu untuk mengeluarkan sebagian ASI
setiap 3 – 4 jam dengan cara memerah dengan tangan atau pompa ASI yang direkomendasikan.
Sebelum memerah ASI pijatan di leher dan punggung dapat merangsang pengeluaran hormon oksitosin
yang menyebabkan ASI mengalir dan rasa nyeri berkurang. Teknik memerah dengan tangan yang benar
perlu diperlihatkan dan diajarkan kepada ibu agar perahan tersebut efektif. ASI hasil perahan dapat
diminumkan ke bayi dengan menggunakan cangkir atau sendok. Pembengkakan payudara ini perlu
segera ditangani untuk mencegah terjadinya feedback inhibitor of lactin (FIL) yang menghambat
penyaluran ASI. ( Yu Z. et al, ,2018) Pengosongan yang tidak sempurna atau tertekannya duktus akibat
pakaian yang ketat dapat menyebabkan ASI terbendung. Ibu dianjurkan untuk segera memeriksa
payudaranya bila teraba benjolan, terasa nyeri dan kemerahan. Selain itu ibu juga perlu beristirahat,
meningkatkan frekuensi menyusui terutama pada sisi payudara yang bermasalah serta melakukan
pijatan dan kompres hangat di daerah benjolan.( Jessica Franzén,2012). Pada kasus puting lecet, bayi
yang tidak tenang saat menetek, dan ibu-ibu yang merasa ASInya kurang, perlu dibantu untuk mengatasi
masalahnya. Pada peradangan puting dapat diterapi dengan suatu bahan penyembuh luka seperti atau
lanolin, yang segera meresap ke jaringan sebelum bayi menyusu. Pada tahap awal pengobatan dapat
dilakukan dengan mengoleskan ASI akhir (hind milk) setelah menyusui pada puting dan areola dan
dibiarkan mengering. Tidak ada bukti dari literatur yang mendukung penggunaan bahan topikal lainnya.
Kelelahan sering menjadi pencetus terjadinya mastitis. Seorang tenaga kesehatan harus selalu
menganjurkan ibu menyusui cukup beristirahat dan juga mengingatkan anggota keluarga lainnya bahwa
seorang ibu menyusui membutuhkan lebih banyak bantuan. Ibu harus senantiasa memperhatikan
kebersihan tangannya karena Staphylococcus aureus adalah kuman komensal yang paling banyak
terdapat di rumah sakit maupun masyarakat. Penting sekali untuk tenaga kesehatan rumah sakit, ibu
yang baru pertama kali menyusui dan keluarganya untuk mengetahui teknik mencuci tangan yang baik.
Alat pompa ASI juga biasanya menjadi sumber kontaminasi sehingga perlu dicuci dengan sabun dan air
panas setelah digunakan. Untuk pencegahan mastitis bisa juga dilakukan dengan ibu melahirkan cukup
istrirahat dan secara teratur menyusui bayinya agar payudara tidak menjadi bengkak. Gunakan BH yang
sesuai dengan ukuran payudara.Usahakan selalu menjaga kebersihan payudara dengan cara
membersihkan dengan kapas dan air hangat sebelum dan sesudah menyusui. Pengobatan mastitis
biasanya menggunakan antibiotic. World Health Organisation mengemukaan kekhawatiran penggunaan
antibiotik secara berlebihan dapat menimbulkan resistensi terhadapnya. Tetapi penggunaan jenis
antibiotic yang tepat sesuai dengan tanda gejala dan diagnosis nya merupakan pilihan yang bijak.
Pendekatan pengobatan lainnya meliputi mempromosikan pengeluaran ASI untuk mengurangi
pembengkakan payudara; kompres panas pada payudara untuk membantu meringankan pembengkakan
payudara dan rasa sakit ; dan mengendalikan peradangan dengan antibiotik ( Yu Z. et al, ,2018) Pasien
mastitis yang parah dapat dirawat dengan konservatif terapi, berupa hisap tekanan negatif untuk
meningkatkan produksi air susu , kompres hangat (32-36 ° C air hangat) 15 mnt setiap 2 jam; suhu kamar
dipertahankan pada ~ 20 ° C; minum air), intravena penisilin untuk memerangi infeksi (4 juta unit dua
kali sehari). Perawatan utama mastitis biasanya diberikan dengan salep atau intramuscular atau injeksi
antibiotik intravena, seperti streptomisin, ampisilin, cloxacillin, penicillin, dan tetrasiklin . Namun,
perawatannya diantisipasi menjadi bermasalah dalam waktu dekat karena peningkatan pesat patogen
resisten antibiotik . Oleh karena itu, pengobatan alternatif untuk terapi antibiotik diperlukan, antara lain
Tradisional Chinesemedicine (TCM) untuk pengobatan mastitis, berdasarkan pembersihan panas,
detoksifikasi, anti-inflamasi, dan tindakan antibakteri, yang diberikan secara oral . Banyak herbal TCM
lainnya memiliki efek farmakologis yang dapat membersihkan panas internal dan umumnya digunakan
sebagai agen antibiotik dan antipiretik. Selain itu dianggap memiliki antiinflamasi dan antimikroba efek
dan efektif dalam mengobati penyakit radang dan infeksi mikroba . ( Wan-Ting Yang ,2019) Manajemen
mastitis saat ini umumnya berpusat pada manajemen gejala (misal. menerapkan kompres panas /
dingin, analgesik), dorongan kelanjutan menyusui (termasuk mengosongkan payudara yang terkena,
menyusui lebih sering, dan mengubah posisi makan sering), dan terapi antibiotik memeriksa efektivitas
terapi antibiotik dalam mengobati gejala mastitis pada wanita (Lina Zhang,2017) Intervensi lain yang bisa
dilakukan antara lain pendidikan cara menyusui yang benar, perubahan kebiasaan menyusui, kompres
panas / dingin pada payudara, teknik relaksasi, dan penggunaan antibiotik profilaksis untuk mencegah
terulangnya mastitis. (Diana M. Bond, 2017). Mastitis menyebabkan strain, terutama staphylococcus
aureus dan streptocococcus epidermidis biasanya menampilkan dua properti umum; resistensi terhadap
antibiotik dan tinggi kemampuan untuk membentuk biofilm, yang dapat menjelaskan resistensi
terhadap berbagai terapi antibiotik dan kekambuhan yang dihasilkan penyakit . (Jane A Scott ,2008).
Laporan WHO terbaru menguraikan kekhawatiran masyarakat terhadap resistensi antimikroba. Penting
untuk aktif mencari alternatif yang aman dan efektif untuk antibiotik. Probiotik, dapat menjadi salah
satu alternatif tersebut. Probiotik adalah mikroorganisme hidup yang bila diberikan dalam jumlah yang
memadai dianggap memberi manfaat . Penelitian menunjukkan bahwa Bakteri probiotik memiliki
antiinflamasi yang signifikan sifat-sifat yang sebanding dengan obat-obatan terapeutik agen dan
mendukung potensi penggunaannya sebagai imunomodulator agen . Mengingat mikrobiota usus sangat
penting stimulus untuk pematangan dan fungsi yang memadai sistem kekebalan , pemberian probiotik
oral kepada wanita selama periode awal pascakelahiran untuk memodulasi komposisi mikrobiota diduga
menyediakan strategi diet yang efektif untuk mengurangi risiko infeksi dan penyakit . ( Wan-Ting Yang ,
2019) Perawatan non-farmakologis yang bisa dilakukan untuk kasus mastitis antara lain : Drainase ASI
yang efektif dengan menyusui dan / atau mengungkapkan sangat penting untuk menjaga pasokan ASI
yang memadai dan untuk mengurangi risiko pembentukan abses payudara. Jika gejalanya ringan dan
terlokalisir, wanita tersebut dapat mempertimbangkan untuk meningkatkan drainase ASI: 1. Metode
fisiologis (mis. Mengekspresikan, memijat, dan menyusui) untuk mengatasi mastitis tanpa menggunakan
antibiotik 2. Pastikan pemosisian dan pemasangan yang benar serta pengeluaran ASI yang sering dan
efektif

2. Berikan kehangatan untuk membantu refleks let-down dan karena itu aliran ASI dan drainase
payudara 4. Oleskan kompres dingin setelah menyusui untuk mengurangi rasa sakit dan edema
5. Hindari pakaian / bra yang ketat
3. DAFTAR PUSTAKA

1. Diana M. Bond, Jonathan M. Morris, and Natasha Nassar Study protocol: evaluation of
the probiotic. Lactobacillus Fermentum CECT5716 for the prevention of mastitis in
breastfeeding women: a randomised controlled trial.,
2. Bond et al. BMC Pregnancy and Childbirth (2017) 17:148.
3. Jane A Scott, Michele Robertson, Julie Fitzpatrick, Christopher Knight and Sally
Mulholland. 25 August 2008. Occurrence of lactational mastitis and medical
management: A prospective cohort study in Glasgow, International Breastfeeding
Journal 2008.
4. Jessica Franzén, Daniel Thorburn, Jorge Urioste1, and Erling Strandberg Genetic
evaluation of mastitis liability and recovery through longitudinal analysis of transition
probabilities.
5. Franzén et al. Genetics Selection Evolution 2012, 44:10. Jurnal Mastitis and Breast
Abscess, (12/07/2012). (Google Scholar)
6. Lina Zhang & Jiani Hu & Nicholas Guys & Jinli Meng & Jianguo Chu1 & Weisheng Zhang
& Ailian Liu & Shaowu Wang & Qingwei Song., 16 February 2017., Diffusion-weighted
imaging in relation tomorphology on dynamic contrast enhancementMRI: the diagnostic
value of characterizing non-puerperal mastitis, Eur Radiol (2018) 28:992–999.
7. Østerås, Sølverød., 26-33 2009. Norwegian Mastitis Control Programme. Norwegian
School of Veterinary Science, Department of Production Animal Clinical Science.
CRACKED NIPPLE

Definisi
Cracked Nipple (Putingsusulecet)merupakan perlukaan pada puting susu yang
disebabkan karena trauma pada puting susu saat menyusui, kadang kulitnya sampai terkelupas
atau luka berdarah (sehingga ASI menjadi berwarna pink)(Ambarwati, 2008). Insidensi Masalah-
masalah menyusui yang sering terjadi adalah puting susu lecet atau nyeri. Sekitar 57% dari ibu-
ibu menyusui dilaporkan pernah menderita kelecetan pzada putingnya dan payudara bengkak.
Payudara bengkak sering terjadi pada hari ketiga dan keempat sesudah ibu melahirkan, karena
terdapat sumbatan pada satu atau lebih duktus laktiferus dan mastitis serta abses payudara
yang merupakan kelanjutan atau komplikasi dari mastitis yang disebabkan karena meluasnya
peradangan payudara. Sehingga dapat menyebabkan tidak terlaksananya Air Susu Ibu (ASI)
eksklusif (Soetjiningsih, 1997). ETIOLOGI · Kesalahan dalam teknik menyusui, bayi tidak
menyusui sampai areola tertutup oleh mulut bayi.Bila bayi hanya menyusui pada putting susu,
maka bayi akan mendapatkan ASI sedikit, karena gusi bayi tidak menekan pada sinus latiferus,
sedangkan pada ibunya akan menjadi nyeri/kelecetan pada putting susu. · Monoliasis pada
mulut bayi yang menular pada putting susu ibu. · Akibat dari pemakaian sabun, alcohol, krim,
atau zat iritan lainnya untuk mencuci puting susu. · Bayi dengan tali lidah yang pendek (frenulum
lingual), sehingga menyebabkan bayi sulit menghisap sampai ke kalang payudara dan isapan
hanya pada putting susu saja. · Rasa nyeri juga dapat timbul apabila ibu menghentikan menyusui
dengan kurang berhati – hati(Saleha, 2009).

PATOFISIOLOGI
Terjadinya puting lecet di awal menyusui pada umumnya disebabkan oleh salah satu
atau kedua hal berikut: posisi dan pelekatan bayi yang tidak tepat saat menyusu, atau bayi tidak
mengisap dengan baik. Meskipun demikian, bayi dapat belajar untuk mengisap payudara
dengan baik ketika ia melekat dengan tepat saat menyusu (mereka akan belajar dengan
sendirinya). Jadi, proses mengisap yang bermasalah seringkali disebabkan oleh pelekatan yang
kurang baik. Infeksi jamur yang terjadi di puting (disebabkan oleh Candida Albicans) dapat pula
menyebabkan puting lecet. Vasospasma yang disebabkan oleh iritasi pada saluran darah di
puting akibat pelekatan yang kurang baik dan/atau infeksi jamur, juga dapat menyebabkan
puting lecet. Rasa sakit yang disebakan oleh pelekatan yang kurang baik dan proses mengisap
yang tidak efektif akan terasa paling sakit saat bayi melekat ke payudara dan biasanya akan
berkurang seiring bayi menyusu. Namun jika lecetnya cukup parah, rasa sakit dapat berlangsung
terus selama proses menyusu akibat pelekatan kurang baik/mengisap tidak efektif. Rasa sakit
akibat infeksi jamur biasanya akan berlangsung terus selama proses menyusui dan bahkan
setelahnya. Banyak ibu mendeskripsikan rasa sakit seperti teriris sebagai akibat pelekatan yang
kurang baik atau proses mengisap yang kurang efektif. Rasa sakit akibat infeksi jamur seringkali
digambarkan seperti rasa terbakar. Jika rasa sakit pada puting terjadi padahal sebelumnya tidak
pernah merasakannya, maka rasa sakit tersebut mungkin disebabkan oleh infeksi Candida,
meskipun infeksi tersebut dapat pula merupakan lanjutan dari penyebab lain sakit pada puting,
sehingga periode tanpa sakit hampir tidak pernah terjadi. Retak pada puting dapat terjadi
karena infeksi jamur. Kondisi dermatologis (kulit) dapat pula menyebabkan sakit pada puting
(Saleha,2009). GAMBARAN KLINIS · Luka lecet kekuningan · Kulit tampak terkelupas/luka
berdarah sampai mengakibatkan rasa sakit pada saat menyusui · Tampak lebih merah · Terlihat
retak · Mengalami pembentukan celah-celah (Varney, 2008)

PEMERIKSAAN PENUNJANG ·
Mammografi · USG payudara (Varney, 2008)

PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan payudara bisa dilakukan dengan teknik SADARI. SADARI sebaiknya
dilakukan sebulan sekali, kira-kira satu minggu setelah masa menstruasi karena disaat inilah
payudara lebih lunak karena pengaruh hormon. Wanita usia 20-an awal bisa memulai
memeriksa payudara sendiri (Suherni, 2007). DIAGNOSA · Mastitis · Abses payudara · Ca
mammae PENANGANAN 1) Bayi harus disusuikan terlebih dahulu pada puting yang normal yang
lecetnya lebih sedikit. Untuk menmghindari tekanan local pad puting maka posisi menyusu
harus sering diubah, untuk puting yang sakit dianjurkan mengurangi frekuensi dan lamanya
menyusui. Di samping itu, kita harus yakin bahwa teknik menyusui yang diguanakan bayi benar,
yaitu harus menyusu sampai ke kalang payudara. Untuk menghindari payudara yang bengkak,
ASI dikeluarkan dengan tangan pompa, kemudian diberikan dengan sendok, gelas, dan pipet. 2)
Setiap kali selesai menyusui bekas ASI tidak perlu dibersihkan, tetapi diangin-anginkan sebentar
agar melembutkan puting sekaligus sebagai anti-infeksi. 3) Jangan menggunakan sabun, alkohol,
atau zat iritan lainnya untuk membersihkan payudara. 4) Pada puting susubisa dibubuhkan
minyak lanolin atau minyak kelapa yang telah dimasak terlebih dahulu. 5) Menyusui lebih sering
(8-12 kali dalam 24 jam), sehingga payudara tidak sampai terlalu penuh dan bayi tidak begitu
lapar juga tidak menyusu terlalu rakus. 6) Periksakanlah apakah bayi tidak menderita moniliasis
yang dapat menyebabkan lecet pada puting susu ibu. Jika ditemukan gejala moniliasis dapat
diberikan nistatin(Suherni, 2007). KOMPLIKASI · Mastitis · Abses payudara (Saleha, 2009)
PROGNOSIS Puting susu lecet/luka harus segera ditangani dengan baik, karena jika dibiarkan
saja akan memudahkan terjadinya infeksi pada payudara (mastitis) (Heidi Murkoff, 2006).
DAFTAR PUSTAKA

1. Ambarwati, 2008. Asuhan Kebidanan Nifas. Yogyakarta: Mitra Cendikia (hlm: 46-47)
2. Brinch, J. 1986. Menyusui bayi dengan baik dan berhasil. Jakarta: PT. Gaya Favorit Press
3. Ebrahim Heidi Murkoff, dkk. 2006. Buku “Kehamilan Apa Yang Anda Hadapi Bulan Per Bulan”.
Jakarta: Arcan Roberte,
INVERTED NIPPLE

DEFINISI
Inverted Nipple (Puting payudara datar) merupakan puting susu yang tidak menonjol
dari areola dan bentuknya datar (Ambarwati, 2008).

INSIDENSI
Penelitian menunjukkan, sekitar 28%-35% dari wanita yang hamil untuk pertama kalinya
memiliki puting yang tidak menonjol sempurna. Namun seiring usia kandungan dimana kulit
menjadi lebih elastis, hanya 10% diantaranya yang tetap mempunyai inverted nipple (Saleha,
2009).

ETIOLOGI ·
Ada perlekatan yang menyebabkan saluran susu lebih pendek dari biasanya, sehingga
menarik putting susu kedalam (tied nipples) (Saleha, 2009).

PATOFISIOLOGI
Puting datar terjadi akibat pelekatan yang menyebabkan saluran susu lebih pendek
ketimbang biasanya. Sebagai tambahan, ia pun menarik puting susu ke dalam (tied nipples).
Kondisi ini biasanya merupakan bawaan lahir tapi bisa pula terjadi saat pubertas. Bila dibiarkan
tanpa penanganan, puting susu datar memang akan menyulitkan proses menyusui kelak.
Terutama bila mulut bayi gagal "menangkap" puting susu ibu dengan baik dan benar (Varney,
2008)

GAMBARAN KLINIS ·
Puting terbalik/puting tenggelam kedalam payudara · Iritasi kulit (Varney, 2008)

PEMERIKSAAN PENUNJANG ·

Mammografi · USG payudara (Suherni, 2007)

PEMERIKSAAN FISIK

Pemeriksaan payudara bisa dilakukan dengan teknik SADARI. SADARI sebaiknya


dilakukan sebulan sekali, kira-kira satu minggu setelah masa menstruasi karena disaat inilah
payudara lebih lunak karena pengaruh hormon. Wanita usia 20-an awal bisa memulai
memeriksa payudara sendiri (Suherni, 2007).
DIAGNOSA ·

Mastitis · Abses payudara PENANGANAN * Tekan bagian belakang daerah aerola dengan
ibu jari dan telunjuk, sehingga kedua jari membentuk bulatan. Tekan hingga puting susu keluar
dan tahan keadaan ini selama beberapa menit. Anda bisa melakukan hal ini 2 kali sehari * Setiap
kali akan menyusui, Anda bisa merendam dulu puting susu Anda ke dalam air hangat yang
berada di dalam suatu wadah sambil secara perlahan-lahan menarik-narik puting ke arah luar. *
Gunakan breast shields. Alat ini mampu membantu menyiapkan puting ibu untuk menyusui.
Tekanan yang konstan pada aerola menyebabkan alat bantu menyusui ini akan membantu
puting susu menonjol keluar. Lama kelamaan, puting susu akan "terlatih" untuk tetap menonjol
ke luar. Breast shields dapat dipakai dari bulan ke 4 sampai ke 7 kehamilan. Sebaiknya Anda
memakai BH dengan cup (mangkuk) yang nyaman dan cukup besar, sehingga mampu
menyangga breast shields yang digunakan. Awalnya, gunakan breast shields selama beberapa
jam setiap harinya. Selanjutnya, secara bertahap tambahkan waktu pemakaiannya (Brinch,
1986).

KOMPLIKASI ·
Saluran susu tersumbat (Obstructive duct) · Mastitis (Saleha, 2009) PROGNOSIS
Prognosis
baik bila diatasi dengan pengobatan yang sesuai (Roberte et al., 1985).
DAFTAR PUSTAKA

1. W., Vermeersch, Williams (Editor). 1985. Nutrition and Lactation. Third Edition. Times Mirror
Mosby College Publishing,
2. Toronto Soetjiningsih, 1997. ASI Petunjuk Untuk Tenaga Kesehatan. Jakarta: EGC Suherni, 2007.
Perawatan Masa Nifas. Yogyakarta: Fitramaya (hlm: 53-54)
3. Saleha, 2009. Asuhan Kebidanan Pada Masa Nifas. Jakarta: Salemba Medika (hlm: 102-105)
4. Varney, Helen dkk. 2008. Buku Ajar Asuhan Kebidanan Volume 2. Jakarta: EGC

Anda mungkin juga menyukai