Anda di halaman 1dari 13

PELVIC INFLAMMATORY DISEASE

PENDAHULUAN
Pelvic inflammatory disease (PID) atau penyakit radang panggul merupakan
peradangan yang mengenai uterus, tuba fallopii dan daerah yang berbatasan dengan
pelvis.
Angka kejadian PID tidak diketahui secara tepat, karena penyakit ini tidak
dapat didiagnosis hanya dengan melihat gejala klinis saja. PID sering kali bersifat
asimptomatik ataupun menampilkan gejala klinis yang kurang jelas sehingga
mengakibatkan keterlambatan diagnosis.
Faktor resiko terjadinya PID diantaranya adalah berganti ganti pasangan, IUD,
cervisitis chlamydia dan gonorrhoe, dan vaginitis. Penyebab utama PID adalah
infeksi menular seksual yang tidak diobati.
DEFINISI
Pelvic inflammatory disease (PID) merupakan istilah umum dari suatu infeksi
yang akut, subakut, berulang, ataupun kronis dari oviduct dan ovarium, serta sering
mengenai pula jaringan di sekitarnya. Namun istilah ini masih samar sehingga perlu
untuk memakai nama yang lebih spesifik, termasuk didalamnya organ mana yang
terlibat, stadium infeksinya, dan jika memungkinkan agen penyebabnya.
EPIDEMIOLOGI
Di Us PID diderita oleh 11% wanita usia reproduktif. Kira-kira 1 juta wanita
mengalami episode PID setiap tahunnya, dan 20% harus dirawat di rumah sakit untuk
terapi. PID terjadi lebih sering pada wanita usia remaja (15-19 tahun), tetapi pada
dasarnya penyakit ini dapat terjadi pada setiap wanita yang masih aktiv berhubungan
seksual. Faktor usia ini juga dipengaruhi oleh geografi wilayah dan etiologi.
Hubungan sex pada usia muda meningkatkan resiko PID.

FAKTOR RESIKO
Penyakit ini sering terjadi pada wanita muda (remaja / dewasa muda, usia
20an) yang aktif seksual, riwayat hubungan seks di usia yang sangat muda. Juga lebih
sering terjadi pada wanita dengan kondisi sosial ekonomi yang rendah, pasangan seks
yang multipel atau berganti-ganti, juga ada penelitian yang mengatakan penggunaan
douche akan meningkatkan peluang terjadinya PID. Riwayat operasi pada panggul,
postpartum dan post aborsi juga merupakan faktor resiko penting terjadinya PID.
MORBIDITAS/MORTALITAS
Diagnosis atau penanganan yang terlambat dapat menyebabkan sekuele
reproduksi yang panjang seperti infertilitas tuba. Setiap pengulangan terjadinya
episode PID akan meningkatkan peluang terjadinya infertilitas tuba menjadi dua kali
lipat. Wanita dengan riwayat PID memiliki peluang untuk mengalami kehamilan
ektopik 7-10 kali lipat dibandingkan wanita tanpa riwayat PID. PID juga bisa
menyebabkan nyeri kronis pada pelvis pada 25-75% wanita.
ETIOLOGI
Kebanyakan PID merupakan sekuele dari infeksi cerviks karena penyakit
menular seksual yang terutama disebabkan oleh Neisseria gonorrhoeae dan
Chlamidia trachomatis dan bakteri-bakteri yang berhubungan dengan vaginitis. Pada
bakterial vaginitis terjadi perubahan flora vaginal yang memfasilitasi penyebaran
secara ascending dengan merubah barier cervikal mukus.
Selain organisme-organisme ini, mikroorganisme lain yang dapat menyebabkan
terjadinya PID adalah:

a. Citomegalovirus (CMV): CMV ditemukan di saluran genital bagian


atas pada wanita yang mengalami PID, diduga merupakan
penyebab yang penting untuk terjadinya PID.
b. Mikroflora endogen
c. Gardnerella vaginalis
d. Haemophilus inflluenza
e. Organisme enteric gram negative (E.coli)
f. Spesies peptococcus
g. Streptococcus agalactiae
h. Bacteroides fragilis, yang dapat menyebabkan dekstruksi tuba dan
epitel
PATOGENESIS
Pada PID, traktus genitalia bagian atas pada wanita terinfeksi melalui
penyebaran mikroorganisme pathogen secara langsung dari vagina dan cervix.
Sebenarnya secara alamiah servix telah memproduksi lendir yang berfungsi untuk
mencegah penyebaran mikroorganisme secara langsung dari bawah, tetapi bakteri
berhasil menembus masuk lendir tersebut dan akhirnya menyebabkan infeksi yang
luas. Walaupun jarang, terkadang penggunaan instrumentasi pada cerviks dan uterus
saat operasi (seperti aborsi, dilatasi dan kuretase, hysteroskopi, biopsi endometrial
dan cerviks, pemasangan IUD dan inseminasi intrauterine) dapat menyebabkan
autoinokulasi dari endometrium dengan bakteri endogen yang akan menyebabkan
PID.
Ada tiga jenis jalur penyebaran yang diajukan untuk terjadinya PID ini:
a.

Penyebaran melalui jalur limphatik, biasanya terjadi pada postpartum,


postabortal, dan beberapa infeksi yang terjadi pasca insersi IUD,
menyebabkan sellulitis ekstraperitoneal parametrial.

Lymphatic spread of bacterial infection


b.

Penyebaran dari endometrial ke endosalpingeal dan kemudian ke peritoneal,


kondisi ini biasanya lebih sering terjadi pada PID nonpuerperal, dimana
bakteria patogen mendapatkan jalur ke garis tuba uterine, sehingga akan
menyebabkan inflammasi yang purulen dan akhirnya pus akan masuk ke
rongga abdomen melalui ostium tuba.

Intra-abdominal spread of gonorrhea and other pathogenic bacteria


c.

Penyebaran melalui aliran darah, merupakan keadaan yang jarang, biasanya


terjadi pada penyakit tertentu seperti TBC.

Hematogenous spread of bacterial infection (eg, tuberculosis).

MANIFESTASI KLINIK
Manifestasi PID bervariasi dari asimtomatik hingga simtomatik. Silent PID
menyebabkan resiko kerusakan tuba sebagai akibat jangka panjang yang akhirnya
dapat menyebabkan infertilitas tuba. Pada PID yang simtomatik, nyeri perut bawah
biasanya menjadi gejala yang paling sering. Gejala lainnya adalah duh vagina yang
abnormal, metrorrhagia, perdarahan post coitus, disuri, demam. Variasi gejala klinis
ini sering membuat diagnosis PID menjadi sulit.
Nyeri organ pelvis seperti nyeri tekan uterus ataupun nyeri tekan adneksa
dapat timbul pada PID. Nyeri goyang servik menandakan adanya peradangan
peritoneum yang menyebabkan

nyeri saat peritoneum teregang oleh pergerakan

servik dan menyebabkan traksi terhadap adneksa di pelvis peritoneum. Nyeri tekan
dan nyeri lepas abdomen dapat timbul.
DIAGNOSIS
Tidak ada pemeriksaan spesifik untuk mendiagnosis PID. Diagnosis
ditegakkan berdasarkan anamnesis, Pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang
(tes darah, kultur, USG, laparoskopi).
Sensitivitas dari pemeriksaan pelvis hanya 60%.Centers for Disease Control
and Prevention (CDC) merekomendasikan beberapa kriteria klinis minimal untuk
mendiagnosis PID pada wanita sexual aktif :

Kriteria minimum :
-

Nyeri perut bawah

Nyeri adneksa

Nyeri goyang servik

Kriteria tambahan :
-

Suhu oral > 38,30C

Duh servikal ataupun vaginal yang abnormal

Peningkatan LED

Peningkatan C-reaktif protein

Hasil laboratorium menunjukan infeksi servik dengan N. gonorrhoeae


atau C. trachomatis.

Sekret mukopurulen dari serviks atau vagina.

Terdapat sel darah putih pada sediaan sekret dengan saline.

Kriteria tambahan digunakan untuk meningkatkan spesifitas diagnosis yang


didapat dari kriteria minimum.
Sensitifitas diagnosis berdasarkan hasil anamnesis dan pemeriksaan pelvis
rendah bila dibandingkan dengan laparoskopi. Laparoskopi menjadi gold standar
untuk mengkonfirmasi diagnosis PID karena tidak hanya melihat secara langsung
tuba fallopi dan anatomi pelvis sekitarnya tapi juga mampu untuk mengambil sampel
dari traktus genitalia atas ( tuba fallopi, ovarium dan cairan peritoneum). Namun
pemeriksaan laparoskopi ini mahal.

TERAPI
Seperti infeksi panggul wanita pada umumnya, mikroba penyebab dari infeksi
ini tidak didapatkan lagi pada saat munculnya manifestasi klinis, sehingga terapi
empiris harus diberikan ketika diagnosis ditegakkan. Mayoritas dari para wanita yang
datang dengan salpingitis-peritonitis akut ringan samapi sedang biasanya berespon
baik terhadap antibiotik yang diberikan untuk rawat jalan. Rawat inap biasanya
dilakukan pada wanita yang menampakkan gejala klinis yang berat atau pada pasien
dengan diagnosis yang masih belum jelas, selain itu dengan indikasi tertentu seperti
kemungkinan apendiksitis yang emergensi, ataupun kehamilan ektopic masih belum
dapat disingkirkan, pasien hamil, kegagalan terapi rawat jalan, pasien yang tidak
toleran terhadap regimen pengobatan, wanita dengan immunodefisiensi perlu untuk
rawat inap
1.

Terapi antimikroba secara objektif, yaitu :

Jangka pendek : eliminasi gejala infeksi dan eradikasi kuman pathogen


Jangka panjang : reduksi kerusakan tuba.
2.

Regimen terapi untuk rawat jalan :


ceftriaxone 250 mg im dosis tunggal + doxycycline 100 mg orally 12 jam
selama 14 hari + metronidazole 400 mg orally 12 jam selama 14 hari

3.

Indikasi untuk rawat di rumah sakit


Terapi dengan intravena dianjurkan bagi pasien dengan gejala klinis penyakit
yang lebih parah seperti demam , tuboovarian abses atau peritonitis. Regimen
terapi untuk rawat inap:
Doksisiklin, 100 mg iv atau oral 2 kali per hari + Cefoksitin, 2 gr iv 4 kali per
hari / cefotetan, 2 gr iv. 2 kali per hari, sedikitnya 24 jam setelah pasien
memperlihatkan perbaikan gejala klinis.
Diikuti dengan doksisiklin 100 mg per oral 2 kali per hari sampai 14 hari dari
hari awal terapi.

4.

Melepaskan IUD
WHO menyatakan bahwa IUD tidak perlu dilepaskan apabila pasien tretap
ingin menggunakan kontrasepsi ini. Tapi jika ingin dilepaskan, dilakukan
setelah terapi antibiotik dimulai. Jika infeksi memburuk dan meluas maka
IUD sebaiknya dilepaskan.

INFEKSI PANGGUL BERULANG / KRONIS


Kriteria Diagnosis

Riwayat salfingitis akut, infeksi pelvis atau infeksi pasca persalinan atau pasca
abortus.

Episode ulangan dari reinfeksi akut atau gejala dan temuan fisik ulangan pada
kurang dari 6 minggu setelah terapi salfingitis akut.

Infeksi kronik bisa tanpa gejala atau dapat menmunculkan keluhan nyeri
pelvis kronik atau dyspareunia.

Pada pemeriksaan fisik ditemukan nyeri tekan pelvis generalized pelvic


tenderness, biasanya lebih ringan dibandingkan infeksi akut.

Penebalan jariangan adnexa, dengan atau tanpa hydrosalpinx.

Infertilitas (sering terjadi)

Gambaran Umum
Penyakit peradangan pelvis berulang (recurrent pelvic inflammatory disease)
bermula sebagai penyakit primer, namun adanya kerusakan jaringan tuba dapat terjadi
pada infeksi yang berat. Infeksi pelvis kronis secara tidak langsung akan
menyebabkan perubahan jaringan pada parametrium, tuba dan ovarium. Biasanya
ditemukan penempelan permukaan peritoneum pada adnexa dan perubahan fibrotik
pada tuba. Selain itu, dapat ditemukan hydrosalpinx atau kompleks tubo-ovarian. Lesi
peradangan kronik biasanya akibat salpingitis akut sebelumnya tapi bisa juga
menunjukkan reinfeksi akut.
Diagnosis infeksi pelvis kronis biasanya sulit ditegakkan secara klinis. Hanya sekitar
kurang dari 50% wanita dengan penyakit ini, ditemukan keluhan nyeri.

Temuan Klinis
Gejala dan Tanda
Infeksi ulangan biasanya manifestasinya sama dengan salpingitis akut, dan
biasanya ditemukan riwayat infelsi pelvis. Nyeri bisa unilateral ataupun bilateral dan
seringkali dilaporkan adanya dyspareunia dan infertilitas. Bisa ditemukan demam,
takikardi namun pada reinfeksi akut biasanya demamnya minimal. Selain itu,
ditemukan nyeri tekan pada ergerakan servix, uterus atau adnexa. Sering kali
ditemukan massa adnexa dan penebalan perametrium.
Temuan Laboratorium
Kultur dari cervix biasanya tidak ditemukan gonokokus kecuali pada reinfeksi. Dapat
ditemukan lekositosis bila perubahan kronis terjadi superinfeksi akut.
Diagnosis Banding
Setiap pasien yang dicurigai adanya infeksi pelvis kronis dengan adanya nyeri tekan
pelvis namun tidak disertai dengan demam, harus dicurigai adanya kehamilan
ektopik. Selain itu, pertimbangkan adanya endometriosis, relaksasi uterus bergejala,
apendisitis, diverkulitis, enteritis regional, kolitis ulseratif, kista atau tumor ovarium
dan sistouretritis akut atau kronis.
Komplikasi
Komplikasinya antara lain hydrosalpinx, pyosalpinx dan abses tubo ovarium;
infertilitas atau kehamilan ektopik; dannyeri pelvis kronis.
Pencegahan

Cera pencegahan utamanya adalah tindakan terapi pada infeksi pelvis kronis yang
tepat dan adekuat. Selian itu, penting juga memberikan penyuluhan tentang upaya
mencegah penyakit menular seksual.
Penatalaksanaan
a.

Kasus Ulangan
Obati untuk salpingitis akut. Bila terdapat IUD, terapi dapat dimulai dan IUD
harus dilepas.

b.

Kasus Kronis
Pemberian antibiotik jangka panjang masih dipertanyakan manfaatnya
namun bermanfaat bagi wanita muda dengan paritas rendah. Terapi dengan
tetrasiklin, ampisilin atau sefalosporin dapat bermanfaat namun berkurangnya
gejala tidak berkaitan langsung dengan infeksi akut. Untuk mengurangi
keluhan, dapat diberikan analgesik seperti ibuprofen atau asetaminofen
dengan atau tanpa kodein. Tindak lanjut sebaiknya dilakukan dengan cermat
untuk mendeteksi adanya gejala penyerta yang serius seperti abses tuboovarium.
Bila gejala masih ditemukan setelah pemberian antibiotik 3 minggu,
maka pertimbangkan penyebab lainnya. Pertimbangkan untuk melakukan
laparoskopi atau laparotomi eksplorasi untuk menyingkirkan penyebab
lainnya misalnya endometriosis.
Bila infertilitas menjadi masalah, periksa tubal patency dengan
hysterosalpingography atau laparoscopy adan injeksi larutan metilen biru
secara retrograd. Namun sebelum dan saat melalukan tindakan ini, harus
diberikan antibiotik karena sering terjadi reinfeksi retrograd akut.
Hysterectomy abdominal total dengan adnexectomy bilateral mungkin
diindikasikan bila penyakitnya telah lanjut dan bergejala, atau bila ditemukan
massa adnexa. Histerektomi total dan adneksektomy terindikasi jika penyakit
telah jauh menyebar dan menimbulkan gejala pada pasien, atau ditemukan

10

adanya massa di adneksa. Pertimbangan untuk dilakukan resksi atau drainase


abses dilakukan jika ingin mempertahankan kesuburan. Dalam beberapa
keadaan CT atau USG langsung perkutaneus dapat menghindari dilakukannya
laparotomi.
Prognosis
Dengan adanya episode infeksi pelvis yang berturut-turut atau berulang,
menyebabkan prognosis untuk mempertahankan kesuburan menjadi berkurang seperti
infertilitas tuba . Demikian juga, peluang untuk terjadinya kehamilan ektopik menjadi
meningkat dengan terjadinya episode infeksi akut. Sekuele ini tidak diragukan lagi
akan menyebabkan terjadinya infeksi kronis, sebagai hasil akhir infeksi tunggal
ataupun berulang. Superimpose infeksi akut pada infeksi kronis juga berhubungan
dengan insidensi abses tubo-ovarian dan abses pelvis lainnya.

11

DAFTAR PUSTAKA
1. Berek, S.J, Novaks Gynaecology 12th ed., Pennsylvania : William
and Wilkins, 1996.
2. Bagian Obstetri dan Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas
Padjadjaran, Ginekologi, Bandung : Bagian Obstetri dan Ginekologi
Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran, 1997.
3. DeCherney,M.D,. Nathan, M.D. Current Obstetric and Gynaecologyc
Diagnosis and Treatment, 9th ed, California : Mc Graw Hill., 2003.
4. Shaw, Robert M.D.FRCOG FRCS FRANZCOG FANCOG,.
Soutter,M.D.MSc.FRCOG. Gynaecology 3rd ed., Philadelphia :
Churchill Livingstone.,2003
5. Pelvic Inflammatory Disease. http://www.nlm.nih.gov/medlineplus.
6. Pelvic Inflammatory Disease. http://www.cdc.gov/std/PID/STDfactPID.htm.
7. Pelvic

Inflammatory Disease. http: // www.emedicine.com/ med/

topic1774. htm.

12

13

Anda mungkin juga menyukai