BAYI PRETERM
BAB I
PENDAHULUAN
Dahulu, imaturitas paru seringkali menjadi penyebab kematian bayi preterm yang
baru lahir. Dengan penatalaksanaan klinis intensif yang ada saat ini permasalahan
fungsi paru tidak lagi menjadi permasalahan perawatan pada sebagian besar bayi
preterm baru lahir. Penatalaksanaan tersebut meliputi pemberian kortikosteroid
antenatal untuk memicu percepatan maturasi paru janin, tehnik ventilator neonatal
yang terus berkembang, dan pemberian terapi surfaktan. Pemahaman mengenai
proses pematangan paru harus mencakup anatomi, fisiologi, biologi sel dan
molekuler. Meskipun secara anatomi dan fisiologi perkembangan paru telah amat
dipahami oleh ilmuwan, namun kemajuan di bidang genetika dan biologi telah
membuka suatu jendela pemahaman yang lebih luas mengenai proses yang mendasari
pematangan paru tersebut.
Membran hyalin sudah seringkali disebutkan dalam kaitannya dengan
penyebab kematian respiratorik pada abad keduapuluh. Namun sesungguhnya tidak
ada kemajuan bermakna dalam hal pemahaman mengenai maturitas paru hingga pada
tahun 1959 Avery dan Mead menemukan adanya kaitan antara kegagalan pernapasan
dengan berkurangnya kadar surfaktan pada ekstrak paru bayi yang meninggal akibat
1
penelitian yang bermanfaat secara klinis dipublikasikan oleh Gluck dan rekan pada
tahun 1971. Gluck dan rekan meneliti mengenai rasio lesitin sfingomyelin (L/S)
pada cairan amnion untuk memprediksi kejadian RDS pada bayi preterm. Menyusul
kemudian penemuan mengenai manfaat pengukuran fosfatidilgliserol (FG) sebagai
tes untuk menilai maturitas paru. Efek pematangan kortikosteroid terhadap sistem
yang sedang berkembang ditemukan pada akhir tahun 1960 dan baru pada tahun
1972 Liggins dan Howie mendemonstrasikan adanya penurunan insiden RDS setelah
pemberian kortikosteroid pada ibu hamil.
1, 2, 3
Surfaktan paru merupakan materi kompleks yang terdiri dari lipid dan
protein yang disekresi oleh pneumosit tipe II yang melapisi alveoli. Sel ini mulai
muncul pada sekitar usia kehamilan 21 minggu dan mulai memproduksi surfaktan
pertamakali antara minggu ke 28 dan 32 kehamilan. Surfaktan memegang peranan
penting dalam fisiologi paru. Komponen fosfolipid dalam surfaktan, dipalmitoyl
phosphatidylcholine (DPCC), menurunkan tegangan permukaan dari cairan yang
melapisi alveoli. Molekul DPCC mengandung bagian hidrofilik yang terdapat pada
lapisan cairan alveoli, dan bagian hidrofobik yang mengarah ke lumen alveoli. Sifat
molekul-molekul DPCC cenderung saling menolak satu sama lain, sehingga melawan
gaya tegangan permukaan yang memiliki arah gaya ke dalam lumen alveoli
menyebabkan alveoli cenderung untuk menjadi kolaps. Melalui mekanisme tersebut
surfaktan membantu mempertahankan stabilitas ukuran alveoli, menurunkan
tegangan permukaan dari alveoli. Efek netto dari mekanisme ini adalah konsistensi
diameter dan stabilitas alveoli. Fungsi lain surfaktan berkaitan dengan imunologi
yaitu melindungi paru dari cedera dan infeksi yang disebabkan oleh partikel atau
mikroorganisme yang terhirup saat bernafas.
4,5
Sebagai konsekuensi
pada
tahun
1990.
Pemahaman
mengenai
surfaktan
memungkinkan
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1, 6
Gambar 2.1 Perkembangan Morfologi Paru Manusia (dikutip dari Jobe, 2009).
dan esofagus akan semakin dalam, disertai dengan semakin memanjangnya bud dan
mesenkim dan semakin terpisah membentuk calon bronkhi.
2.1.2 Fase pseudoglanduler
Fase ini dicirikan dengan pembelahan yang cepat membentuk 15 hingga 20 saluran
udara. Saluran udara yang terbentuk dilapisi oleh selapis sel kuboid yang kaya akan
glikogen. Diferensiasi sel berlangsung secara sentrifugal dimana pada bagian distal
tubulus dilapisi oleh sel yang semakin tidak terdiferensiasi. Pembuluh darah arteri
dan paru juga berkembang seiring dengan perkembangan saluran udara. Di akhir fase
pseudoglanduler saluran udara, arteri dan vena telah berkembang menyerupai pola
yang ditemukan pada paru dewasa. Pada fase ini pula diafragma terbentuk dan
memisahkan rongga dada dan abdomen, kegagalan penutupan akan menyebabkan
hernia diafragma dan hipoplasia paru.
2.1.3 Fase kanalikuler
Fase kanalikuler, antara 17 hingga 26 minggu kehamilan, menunjukkan perubahan
dari paru yang praviabel menjadi paru yang berpotensi viabel dengan kemampuannya
untuk melakukan pertukaran gas. Perubahan utama yang terjadi pada fase ini adalah
terbentuknya asinus, diferensiasi epitel dengan pembentukan sawar udara-darah (airblood barrier) dan dimulainya sintesis surfaktan di sel tipe II. Asinus muncul sebagai
sebuah jonjot di bagian distal saluran udara yang berasal dari sebuah bronkiolus
terminalis. Perkembangan asinus merupakan tahapan penting dalam kemampuan
paru untuk melakukan pertukaran gas di masa berikutnya.
Lapisan mesenkim yang melapisi sekitar saluran udara awalnya miskin akan
vaskularisasi menjadi lebih kaya akan pembuluh darah. Pada fase ini juga terbentuk
daerah permukaan calon tempat terjadinya pertukaran gas. Diferensiasi epitel
dicirikan oleh penipisan dari proksimal ke distal dengan perubahan sel dari epitel
kuboid menjadi epitel tipis yang melapisi rongga saluran udara. Saluran udara ini
semakin bertambah dalam hal panjang dan diameter dengan perubahan mesenkim
yang menjadi semakin kaya akan vaskularisasi. Setelah usia kehamilan 20 minggu sel
kuboid yang kaya akan glikogen ini akan mulai membentuk badan lamellar dalam
sitoplasmanya menandakan dimulainya produksi surfaktan.
2.1.4 Fase sakuler
Fase ini merupakan fase perkembangan paru pada janin yang dianggap viabel yaitu
pada usia kehamilan 26 hingga 36 minggu. Sakulus merupakan struktur terminal dari
paru janin, yang terdiri dari tiga tahapan pembentukan, yaitu bronkiolus repiratorik,
duktus alveolaris, baru kemudian terjadi septasi sekunder dari sakulus yang
akanmembentuk alveoli. Pada fase ini ruang udara meningkat dari 65.000 pada usia
kehamilan 18 minggu menjadi hingga 4 juta pada usia kehamilan 32-36 minggu.
Mikrosvaskularitas juga meningkat, yang berarti terjadi peningkatan area tempat
pertukaran gas.
Gambar 2.2 Percabangan Saluran Udara, Usia Janin dan Jumlah Cabang Selama
7
Perkembangan Paru (dikutip dari Jobe, 2009).
.
1.5 Fase alveoler
Alveolarisasi dimulai pada usia kehamilan 32 hingga 36 minggu dari sakulus
terminalis dengan munculnya septa yang mengandung kapiler, serat elastin, dan
kolagen. Sakulus dan alveoli yang baru terbentuk secara cepat mengalami septaseptasi membentuk 100 juta aleveoli pada aterm dan sekitar 500 juta alveoli pada
orang
dewasa.
Kecepatan
pembentukan
alveoli
maksimal
terjadi
pada
antarausiakehamilan 36 minggu hingga beberapa bulan setelah lahir dan selesai pada
sekitar usia 2 tahun. Jika proses alveolarisasi terganggu kemungkinan terjadi efek
buruk jangka pendek dan jangka panjang pada fungsi paru bayi baru lahir. Sejumlah
tindakan intervensi klinis dan bahan kimia diketahui dapat mengganggu proses
alveolarisasi. Hiperoksia, hipoksia dan ventilasi mekanis dapat mempengaruhi
alveolarisasi. Glukokortikoid dapat menyebabkan terhentinya proses alveolarisasi.
Glukokortikoid menyebabkan abnormalitas permanen pada alveoli dan pembuluh
darah pada tikus percobaan. Glukokortikoid yang diberikan pada monyet percobaan
pada fase sakuler mengurangi mesenkim dan membuat paru tampak lebih matur,
namun pada saat mencapai aterm paru memiliki volume gas yang lebih rendah dan
jumlah alveoli yang lebih sedikit. Sedangkan pada domba pemberian glukokortikoid
dosis tunggal atau berulang menyebabkan penurunan jumlah alveoli dan peningkatan
ukuran alveoli setelah terjadi persalinan preterm. Namun pada saat aterm jumlah
alveoli
ditemukan
normal,
menunjukkan
bahwa
pemulihan
dari
inhibisi
1,7,8,9
Segera setelah lahir, pola pernapasan bergeser dari satu inspirasi episodik
dangkal, yang khas pada pernapasan janin, menjadi pola inhalasi lebih dalam dan
teratur. Sekarang jelas bahwa aerasi paru-paru neonatus bukan inflasi dari suatu
struktur yang kolaps, melainkan pergantian cepat cairan bronkhial dan alveoli dengan
udara. Percobaan pada domba, dan diperkirakan juga pada bayi manusia, cairan
alveoli yang tersisa setelah kelahiran dibersihkan melalui sirkulasi paru dan pada
tingkat yang lebih kecil, melalui sistem limfatik paru. Karena cairan digantikan
dengan udara, terdapat pengurangan cukup besar kompresi vaskuler paru dan
selanjut, menurunkan tahanan aliran darah. Dengan menurunnya aliran cairan darah
arteri pulmonalis, duktus arteiosus normalnya menutup. Penutupan foramen ovale
lebih variabel.
Tekanan negatif yang tinggi pada rongga dada diperlukan untuk
menghasilkan suplai udara pertama kali ke dalam alveoli yang terisi cairan.
Normalnya, dari pernapasan pertama setelah lahir ini, secara progesif lebih banyak
udara residual berkumpul di dalam paru-paru, dan setiap pernapasan berikutnya,
diperlukan tekanan pembukaan paru-paru, yang lebih rendah. Pada bayi aterm
normal, pada sekitar pernafasan kelima, perubahan tekanan-volume yang dicapai
pada setiap respirasi sangat serupa dengan orang dewasa normal. Surfaktan
menurunkan tegangan permukaan alveoli oleh karena itu mencegah terjadinya kolaps
paru pada setiap ekspirasi. Tidak adanya surfaktan yang cukup menyebabkan
timbulnyaRDS dengan cepat.
10
Gambar 2.3 Gaya Tarik Menarik Antar Molekul dan Tegangan Permukaan.
Molekul air di bagian dalam akan mengalami gaya tarik menarik dengan molekul
sekelilingnya, namun molekul air di permukaan akan mengalami netto gaya berupa
gaya tarik ke dalam ( Dikutip dari Possmayer, 2011 ).
11
Pada kondisi ini suatu usaha diperlukan untuk memindahkan molekul dari posisinya
yang lebih dalam ke arah permukaan. Pada air, besarnya usaha atau energi yang
diperlukan untuk memindahkan sejumlah molekul ke arah permukaan sejauh 1 cm
pada suhu
37 C adalah sebesar
70 mJ/cm
Dimana P adalah tekanan, satuannya adalah dalam milinewton per meter persegi (
2
mN/ m ), r adalah radius, satuannya dalam meter, dan adalah tegangan permukaan
satuannya dalam milinewton per meter (mN/ m). Karena adanya gaya
tarik terhadap molekul yang ada di permukaan, gaya yang lain pada lapisan
permukaan
bekerja
menolak
ekspansi
dari
gelembung
dan
karenanya
suhu 37 C.
Tegangan permukaan dapat berubah apabila ditambahkan substansi tertentu
pada zat cair. Karena adanya ikatan hidrogen, air memiliki nilai yang tinggi. Nilai
ethanol lebih rendah daripada air. Pada larutan air ethanol, molekul air
berinteraksi dengan ethanol dengan kekuatan yang lebih lemah dibandingkan dengan
sesama molekul air, dan ikatan hidrogen berkurang. Karenanya molekul ethanol pada
permukaan larutan ini akan mengalami gaya tarik ke dalam yang lebih lemah
dibandingkan molekul air. Penggantian sebagian area permukaan air dengan molekul
ethanol menyebabkan berkurangnya . Perbedaan besar gaya tarik menarik pada
permukaan antara molekul air dan ethanol juga menimbulkan efek lainnya. Karena
molekul ethanol pada permukaan mengalami gaya tarik ke dalam lebih kecil
sehingga akumulasi molekul ethanol akan naik ke area permukaan. Dengan
meningkatnya konsentrasi ethanol di permukaan akan menyebabkan semakin
menurunnya tegangan permukaan dari larutan. Sebaliknya penambahan natrium
klorida pada air akan menyebabkan sedikit peningkatan , kemungkinan akibat
molekul air memiliki gaya tarik menarik yang kuat dengan ion natrium dan klorida.
Sehingga molekul air membutuhkan energi potensial yang lebih besar untuk
mempertahankan permukaan.
Istilah tegangan permukaan biasanya digunakan pada antar-muka zat cairudara; sedangkan interfacial tension adalah istilah yang digunakan pada antar-muka
zat lainnya. Molekul-molekul di permukaan memiliki energi potensial yang relatif
lebih besar dibandingkan molekul di bawahnya. Semua molekul yang terdapat di
permukaan mengalami gaya tarik ke arah bawahnya. Arah gaya ini adalah tegak lurus
permukaan. Sehingga jelas kondisi paling stabil terjadi pada area permukaan yang
kecil. Beberapa ahli lain mendefinisikan adalah besarnya usaha yang dibutuhkan
untuk mengekspansi area permukaan. Pemahaman yang lain menggambrkan adalah
sebagai lapisan elastis yang terdiri dari molekul-molekul yang ada di permukaan,
dimana gaya tarik molekul-molekul tersebut ke arah bawah bersifat melawan
ekspansi dan bekerja mengecilkan area permukaan. Gaya kontraktil ini menimbulkan
perbedaan tekanan diantara gelembung atau alveoli, yang besarnya sama dengan dua
kali tegangan permukaan dibagi radius.
11
12
12
Pada alveoli berlaku hukum yang serupa. Menurut hukum Laplace gaya
yang ditimbukan oleh tegangan permukaan memiliki arah menarik ke dalam,
menimbulkan efek kolaps. Sehingga tegangan permukaan pada alveoli dengan radius
tertentu harus mendapat perlawanan gaya tekanan transmural yang sesuai. Tekanan
ini adalah tekanan transpulmoner. Jika alveoli hanya dilapisi oleh cairan interstisial,
maka jumlah tekanan transpulmoner yang dibutuhkan hanya untuk sekedar
mengembangkan paru akan sangat besar. Namun dengan adanya surfaktan tegangan
permukaan ini dapat diturunkan.
13
14
Gambar 2.5 Arah Aliran Gas Alveoli Pada Tegangan Permukaan yang
Sama ( Dikutip dari Lumb, 2011).
14
Pada gambar alveoli sebelah kiri menunjukkan tipikal alveoli dengan radius
0,1 mm. Dengan asumsi bahwa lapisan cairan alveoli yang normal memiliki
tegangan permukaan 20 mN/ m (= 20 dyn/ cm), tekanan dalam alveoli adalah sebesar
0,4 kPa ( 4 cmH2O ), sedikit lebih rendah daripada tekanan transmural yang normal
pada saat FRC. Jika lapisan cairan alveoli memiliki tegangan permukaan yang sama
dengan air (72 mN/ m), maka paru akan sangat kaku.
Pada gambar alveoli sebelah kanan, memiliki radius hanya 0,05 mm dan
persamaan Laplace menyatakan bahwa jika tegangan permukaan kedua alveoli
adalah sama besar maka besar tekanan yang dimiliki seharusnya dua kali dari tekanan
alveoli sebelah kiri. Maka gas akan cenderung mengalir dari alveoli yang lebih kecil
menuju ke alveoli yang lebih besar, dan ini akan menyebabkan paru menjadi tidak
stabil. Serupa dengan itu, gaya retraksi dari lapisan alveoli akan
meningkat pada volume paru yang rendah dan menurun pada volume paru yang
tinggi, dan ini bertentangan dengan hal yang sesungguhnya terjadi.
Mengutip dari Lumb (2011) , Von Neergaard telah mengamati paradoks ini
dan ia berkesimpulan bahwa tegangan permukaan dari lapisan cairan alveoli pasti
lebih rendah dari yang diduga selama ini dan nilainya bervariasi. Eksperimen 30
tahun kemudian membenarkan hal ini, ketika pada percobaan menunjukkan bahwa
ekstrak alveoli memiliki tegangan permukaan yang jauh lebih rendah daripada air
dan besarnya bervariasi sesuai proporsi area antar-muka yang dimiliki.
14
berubah yang ditunjukkan oleh alat pencatat seperti yang terdapat di sebelah kanan
gambar. Pada saat ekspansi, tegangan permukaan meningkat hingga 40 mN/ m, nilai
yang mendekati nilai tegangan permukaan plasma, dan pada saat kontraksi tegangan
permukaan turun hingga mencapai 19 mN/ m, nilai yang lebih rendah dari cairan
tubuh manapun. Hubungan antara tekanan dan luas area adalah berbeda pada saat
ekspansi dan kontraksi, dan menggambarkan sebuah loop.
Gambar 2.7 Arah Aliran Gas Alveoli Pada Tegangan Permukaan yang
Bervariasi ( Dikutip dari Lumb, 2011).
14
14
aterm
mengandung
cairan
dalam
jumlah
yang
cukup
untuk
dari interstisial ke dalam lumen menghasilkan kecepatan produksi cairan paru sebesar
4 hingga 5 ml/kg per jam. Dengan asumsi berat janin 3 hingga 4 kilogram, produksi
cairan paru janin adalah sekitar 400 ml perhari. Jumlah cairan paru yang memadai
dibutuhkan dalam perkembangan paru janin yang normal.
Cairan paru mengalir secara intermiten menuju trachea bersamaan dengan
gerakan nafas janin. Sejumlah cairan ini ditelan dikembali dan sisanya keluar dan
bercampur dengan cairan amnion. Tekanan dalam trachea janin melebihi dari tekanan
pada cairan amnion sekitar 2 mmHg, sehingga dapat mempertahankan aliran keluar
dan sekaligus volume cairan paru janin. Sekresi cairan paru nampaknya merupakan
suatu fungsi metabolisme intrinsik dari epitel paru janin yang sedang berkembang
karena perubahan tekanan hidrostatik vaskuler, tekanan trachea dan
gerakan napas janin tidak mempengaruhi produksi cairan paru janin secara
signifikan. Pembersihan dari cairan paru janin sangat penting pada adaptasi
pernapasan neonatus. Produksi cairan paru janin yang aterm dapat secara komplit
terhenti dengan pemberian infus epinefrin dalam jumlah yang sama dengan kadar
epinefrin yang ditemukan pada saat proses bersalin. Kondisi ini tidak muncul pada
paru janin preterm. Namun pembersihan yang diperantarai oleh epinefrin ini dapat
distimulasi dengan kombinasi pemberian kortikosteroid dan triiodotironin.
Pada janin domba produksi serta volume cairan paru janin dipertahankan
hingga onset persalinan. Selama fase aktif dan kala II persalinan jumlah cairan paru
janin berkurang, menyisakan sekitar 35% yang nantinya akan diserap dan
dikeluarkan dari paru dengan aktivitas bernafas. Sebagian besar dari cairan ini
bergerak secara cepat menuju ruang interstisial dan kemudian memasuki pembuluh
darah paru, dan kurang dari 20% dikeluarkan melalui jalur limfatik paru.
Pembersihan cairan dari ruang interstisial membutuhkan waktu hingga
beberapa jam. Pembersihan setelah persalinan terjadi dengan cara transport aktif
natrium melalui kanal natrium epitel (epithelial sodium channel / ENaC) yang dapat
diblok oleh amiloride. Ablasi genetik sub unit dari ENaC menyebabkan kematian
pada tikus yang baru lahir akibat paru janin yang masih mengandung cairan paru.
Permasalahan paru yang bersifat temporer pada bayi seringkali disebabkan oleh
penundaan pembersihan cairan paru janin.
kondisi
fisik,
kimia
dan
rangsangan
hormonal
dapat
mempengaruhi perkembangan paru serta sintesis dan sekresi fosfolipid. Insiden RDS
ditemukan lebih rendah pada bayi yang dilahirkan setelah melalui proses persalinan,
baik dilahirkan pervaginam maupun dengan seksio sesarea, dibandingkan dengan
bayi yang dilahirkan tanpa melalui proses bersalin pada usia kehamilan yang sama.
Jenis kelamin nampaknya juga berpengaruh pada maturasi paru, pada usia kehamilan
yang sama laki-laki lebih sering mengalami RDS daripada perempuan. Perbedaan
kadar fosfolipid dalam cairan ketuban menunjukkan bahwa maturitas biokimia paru
perempuan terjadi lebih awal, kurang lebih 1 minggu, dibandingkan dengan laki-laki.
Diabetes maternal juga mempengaruhi maturitas paru, ditemukan insiden RDS yang
lebih tinggi pada bayi preterm yang dilahirkan dari ibu dengan diabetes kelas A-C
dengan pengontrolan kadar gula yang buruk. Penundaan maturasi paru ini dapat
disebabkan oleh hiperglikemia, hiperinsulinemia, derivat asam butirat yang berlebih,
atau kombinasi dari ketiga faktor tersebut. Asfiksia akut dengan hipoksia dan asidosis
nampaknya juga menghambat produksi surfaktan. Insiden RDS ditemukan lebih
tinggi pada bayi kedua gemelli, mungkin hal ini berkaitan dengan asfiksia. Akhirnya
faktor familial dan juga riwayat RDS pada kehamilan sebelumnya menempatkan bayi
preterm yang dilahirkan berikutnya dengan resiko lebih besar untuk mengalami RDS.
Sebaliknya, beberapa kondisi klinis dapat mengakselerasi maturasi paru dan
menurunkan insiden RDS. Termasuk diantaranya stress maternal
15,16
peningkatan tajam terjadi pada usia kehamilan 35 minggu. Kadar lesitin dan
sfingomyelin hampir serupa hingga usia kehamilan 32 minggu, sementara setelah
usia kehamilan setelah itu kadar sfingomyelin terus meningkat sedangkan kadar
sfingomyelin justru menurun. Selanjutnya konsep rasio lesitin-sfingomyelin (L/S)
muncul dari temuan tersebut. Temuan ini kemudian diikuti oleh berbagai penelitian
lainnya mengenai kegunaan klinis dari rasio L/S dalam memprediksi maturitas paru
janin. Pada awal Hobbins dan rekan menggunakan kadar lesitin lebih besar dari
sfingomyelin sebagai definisi maturasi paru janin dan menemukan bahwa
berdasarkan definisi tersebut janin tidak akan mengalami RDS berapapun berat
lahirnya. Rasio L/S 2:1 muncul pada sekitar usia kehamilan 35 minggu dan
penelitian-penelitian berikutnya melaporkan bahwa kejadian RDS hanya ditemukan
pada 2-3% bayi dengan rasio L/S 2:1 atau lebih. Dalam usaha memperbaiki akurasi
fosfolipid dalam memprediksi kejadian RDS, fosfolipid lain seperti FG diteliti pada
kehamilan normal dan terkomplikasi. FG pertamakali terdeteksi pada usia kehamilan
34-35 minggu dan kadarnya meningkat seiring usia kehamilan. Ditemukannya FG
dengan kadar 3% (atau lebih) dari total fosfolipid merupakan prediktor maturasi
janin. Mengkombinasikan rasio L/S dengan pengukuran kadar FG meningkatkan
akurasi analisis fosfolipid amniotik.
Rasio L/S dan pengukuran kadar FG telah menjadi standar baku dalam
penentuan maturasi paru janin. Rasio L/S yang matur dan FG yang positif memiliki
nilai prediksi negatif mendekati 100%. Namun nilai prediksi positif hanya berkisar
70%. Tes L/S FG juga memiliki kekurangan lain. Tes ini dikerjakan dengan
10,16,17
12
zat cair menuju udara atau minyak, sementara bagian hidrofilik masih tetap berada
dalam zat cair. Keberadaan surfaktan pada permukaan suatu zat akan merubah sifat
dari permukaan air pada antarmukanya dengan udara atau minyak. Dalam industri
aplikasi surfaktan terdapat pada produk rumah tangga seperti : deterjen, cat, zat
perekat, tinta, wax, herbisida, insektisida, kosmetik (shampo, conditioner), alat
12
18
menghadap zat cair dan ekor hidrofobik menghadap udara, komponen lipid utama
sufaktan yaitu dipalmitoylphosphatidylcholine (DPPC) menurunkan tegangan
permukaan.
2.4.2 Komposisi surfaktan
Surfaktan adalah percampuran kompleks antara fosfolipid dan protein yang disintesis
di sel alveolar tipe 2. Fosfolipid utama penyusun surfaktan adalah fosfatidilkolin
(FK, disebut juga lesitin), yang menyusun sekitar 80-85% fosfolipid, dan
fosfatidilgliserol (FG) yang menyusun sekitar 8-11%. Sekitar separuh fosfatidilkolin
berada dalam bentuk tidak terdesaturasi.
17
bahwa
pada
tikus
defisiensi
SP-A
mengakibatkan
mudah
19,20,21
22
Surfaktan diproduksi oleh sel epitel alveoli tipe II. Lamellar body, organela
yang mengandung fosfolipid, dibentuk di dalam sel tipe II ini dan disekresikan ke
dalam lumen alveoli melalui mekanisme eksositosis. Tabung lemak yang disebut
tubuler myelin terbentuk dari bagian lamellar yang menjorok, yang pada prosesnya
kemudian membentuk lapisan fosfolipid.Setelah disekresikan, fosfolipid melapisi
alveoli dengan bagian ekor yang bersifat hidrofobik menghadap lumen alveoli.
Tegangan permukaan berubah secara berbanding terbalik dengan jumlah fosfolipid
per unit area, molekul surfaktan bergerak saling menjauh satu sama lain pada saat
alveoli meregang selama inspirasi dan hal ini mengakibatkan tegangan permukaan
meningkat dan sebaliknya tegangan permukaan menurun ketika molekul saling
mendekat yaitu pada saat terjadi ekspirasi. Sebagian dari kompleks lipid-protein dari
surfaktan diambil kembali oleh sel tipe II melalui proses endositosis untuk
dipergunakan kembali.
15
22
1, 4
kolaps maka alveoli di sekitarnya akan teregang oleh alveoli tersebut. Lebih lanjut
lagi sebagai respon terhadap regangan, maka alveoli di sekitarnya akan menarik
alveoli yang mengalami kolaps, gaya ekspansi yang ditimbulkan akan menjaga
alveoli yang kolaps agar kembali terbuka.
23
23
14
Surfaktan juga menjaga saluran pernapasan agar tidak terisi oleh cairan,
sehingga mengakibatkan obstruksi lumen. Jika alveoli kolaps atau terisi cairan,
bentuk alveoli yang berdekatan juga akan mengalami perubahan berupa distorsi,
overdistensi atau juga mengalami kolaps. Jika tekanan positif diberikan pada paru
yang mengalami defisiensi surfaktan maka alveoli yang lebih normal akan cenderung
mengalami overekspansi dan alveoli yang lebih kurang normal (yang lebih sedikit
mengandung surfaktan) akan mengalami kolaps, menciptakan paru yang
1, 4
1, 4, 13
Gambar 2.13 Hubungan Tekanan-Volume Saat Inflasi dan Deflasi pada Paru
Kelinci Preterm yang Mengalami Defisiensi Surfaktan dan yang Diberikan
Terapi Surfaktan ( Dikutip dari Grenache, 2006 )
17
terhadap paru yang mengalami defisiensi surfaktan adalah peningkatan 2.5 kali
volume maksimal pada tekanan 35 cm H2O. Pada penelitian, tekanan lebih dari 35
cm H2O akan menyebabkan ruptur pada paru dengan defisiensi surfaktan. Selain itu
peningkatan volume paru juga berarti peningkatan luas permukaan sehingga terjadi
pertukaran gas yang lebih baik.Sebagai tambahan surfaktan juga memberikan
stabilitas yang lebih baik pada keadaan paru deflasi. Paru yang kekurangan surfaktan
akan mengalami kolaps pada tekanan transpulmoner yang rendah. Sedangkan paru
yang diberikan terapi surfaktan dapat mempertahankan 36% volume paru pada saat
deflasi hingga tekanan serendah 5 cm H2O.
16
13
24
16
terapi kortikosteroid antenatal ini pada setiap wanita dengan risiko persalinan
preterm dengan usia kehamilan 24 minggu + 0 hari hingga 34 minggu + 6 hari.
25
surfaktan
terbukti
menurunkan
kejadian
luaran
buruk
berupa
bronchopulmonary dysplasia (BPD) dan kematian pada bayi preterm dengan RDS.
26
26,27
terdapat perbedaan yang bermakna secara klinis diantara beberapa jenis surfaktan
yang digunakan dalam terapi RDS. Surfaktan telah diujikan penggunaannya pada dua
situasi : pada bayi preterm dengan resiko terjadinya RDS segera setelah lahir, dan
pada bayi yang memang sudah mengalami RDS. Kedua strategi pemberian tersebut
sama-sama secara efektif menurunkan derajat severitas gejala pernapasan dan
kematian bayi.Strategi pengobatan ini mungkin tidak berpengaruh pada kejadian
komplikasi atau luaran bayi aterm dengan RDS namun pengobatan dini akan sangat
bermanfaat pada bayi imatur dengan berat kurang dari 1 kilogram. Pada praktik
klinis, perbedaaan kedua strategi pengobatan ini menjadi kurang jelas karena saat ini
terapi diberikan segera setelah lahir dan ketika tanda-tanda distres napas baru mulai
nampak.Pemberian terapi surfaktan tidak boleh mempengaruhi pemberian bantuan
resusitasi neonatus dan stabilisasi awal. Strategi perawatan di dalamnya juga harus
melibatkan penggunaan continuous positive end-expiratory pressure.
16
protein surfaktan rekombinan (misalnya : Surfaxin dan Venticute) and (4) Surfaktan
sintetik bebas protein yang hanya mengandung fosfolipid dan bahan aditif (misalnya
ALEC dan Exosurf).
28
Diantara preparat surfaktan tadi, cairan amnion manusia yang paling sedikit
dikomersialkan karena keterbatasan sumber bahan. Surfaktan sintetik bebas protein
menjadi kurang popular karena performa klinis yang kurang memuaskan. ALEC
yang dillisensi di Inggris, telah ditarik dari pasar. Exosurf tidak lagi tersedia untuk
pasar Amerika. Baik uji preklinik pada hewan coba maupun dalam praktik klinis
menunjukkan bahwa preparat surfaktan yang berasal dari hewan bersifat superior
dibanding preparat sintetik. Namun preparat modified natural surfactants ini juga
memiliki sejumlah keterbatasan. Keterbatasan utamanya diantaranya adalah adanya
variasi komposisi antar produk dan potensi resiko transmisi mikroba. Sebagai
tambahan, kandungan protein yang terdapat di dalam preparat ini dapat sangat rendah
dibandingkan dengan surfaktan endogen. Karena pertimbangan imunologis, maka
kandungan preotein hidrofilik, yaitu protein SP-A dan SP-D, telah dihilangkan
selama proses purifikasi pada saat diproduksi. Hal ini dikarenakan SP-A dan SP-D
merupakan glikoprotein multimerik, berbeda dengan protein hidrofobik SP-B dan
SP-C yang memiliki berat molekul rendah, memiliki potensi untuk menimbulkan
potensi bahaya reaksi imunologi. Kandungan protein hidrofobik pada berbagai
preparat surfaktan bervariasi namun jumlahnya jauh lebih rendah daripada surfaktan
endogen. Aktivitas in-vitro dari berbagai preparat yang berasal dari hewan dan juga
sensitifitasnya terhadap inhibisi sangat bervariasi secara signifikan, kemungkinan
berkaitan dengan perbedaan konten protein pada masing-masing produk. Yang perlu
dicatat adalah meskipun terdapat perbedaan biofisik yang nyata dan keunggulan
secara klinis preparat surfaktan yang berasal dari hewan dibandingkan preparat yang
lain namun tidak ditemukan perbedaan statistik dalam hal mortalitas atau hari
perawatan di NICU.
Keterbatasan lain dari preparat surfaktan yang berasal dari hewan adalah
harganya yang relatif mahal, yaitu sekitar US$500 per dosis untuk bayi prematur.
Mahalnya harga preparat ini berkaitan dengan mahalnya harga untuk menjamin
terjaganya mutu produk dan juga biaya uji klinik yang tinggi. Pada saat merawat
pasien dengan ARDS sangat dibutuhkan surfaktan dalam jumlah yang besar, dosis
multipel dengan suplai yang berkelanjutan. Hal ini membuat biaya untuk melakukan
28
BAB III
RINGKASAN
Pada mamalia seluruh permukaan alveolar parunya dilapisi oleh lapisan tipis
kontinyu yang disebut alveolar lining layer yang di dalamnya mengandung surfaktan
paru. Surfaktan paru merupakan materi kompleks yang terdiri dari lipid dan protein
yang disekresi oleh pneumosit tipe II yang melapisi alveoli. Sel ini mulai muncul
pada sekitar usia kehamilan 21 minggu dan mulai memproduksi surfaktan
pertamakali antara minggu ke 28 dan 32 kehamilan. Surfaktan memegang peranan
penting dalam fisiologi paru.. Fosfolipid utama penyusun surfaktan adalah
fosfatidilkolin (disebut juga lesitin) dan fosfatidilgliserol. Protein komponen
penyusun surfaktan terdiri dari empat surfactant-related proteins, yaitu dua protein
hidrofilik (SP-A dan SP-D) dan dua protein hidrofobik (SP-B dan SP-C).
Fungsi utama dari lapisan surfaktan ini adalah menurunkan tegangan
permukaan pada antar-muka air udara lapisan cairan alveoli, sehingga mekanisme
normal pernapasan dapat terus berlangsung. Kedua, adalah mempertahankan
stabilitas alveoli dan mencegah alveoli menjadi kolaps. Ketiga, surfaktan dapat
mencegah terjadinya udem paru. Fungsi tambahan lain adalah berkaitan dengan
imunologi yaitu melindungi paru dari cedera dan infeksi yang disebabkan oleh
partikel atau mikroorganisme yang terhirup saat bernafas
Defisiensi atau disfungsi surfaktan menyebabkan penyakit pernapasan yang
berat. Respiratory distress syndrome (RDS) pada neonatus merupakan bentuk
penyakit akibat defisiensi surfaktan yang sering ditemukan dan ini berkaitan erat
dengan prematuritas. RDS merupakan suatu kondisi pada bayi premature yang
memberi gambaran klinis berupa peningkatan usaha napas, penurunan komplians
paru, atelektasis yang nyata (kolaps alveoli) dengan gambaran penurunan FRC,
gangguan pertukaran gas dan udem interstisial yang luas.
Terapi surfaktan secara cepat meningkatkan jumlah baik alveoli maupun
jaringan interstisial sekitarnya. Surfaktan eksogen yang diberikan akan diambil oleh
sel tipe II dan kemudian diproses untuk kemudian diresekresi. Surfaktan eksogen
yang diberikan akan bertahan di paru dan tidak cepat mengalami degradasi. Dosis
terapi surfaktan eksogen yang diberikan tidak menyebabkan umpan balik negatif
berupa hambatan sintesis fosfatidilkolin ataupun protein surfaktan endogen.Hingga
saat ini tidak ditemukan adanya konsekuensi metabolik atau perubahan fungsi paru
dengan pemberian terapi surfaktan.
Kemajuan riset mengenai terapi surfaktan pada kasus RDS dan penyakit
paru neonatus lainnya telah memberikan manfaat yang besar terhadap luaran bayi
yang dilahirkan. Namun tingginya harga preparat surfaktan telah membatasi
penggunaannya secara luas di berbagai negara. Untuk itu di masa mendatang
diperlukan penelitian lanjutan untuk memenuhi kebutuhan yang mendesak akan
preparat surfaktan dengan harga yang lebih murah.
DAFTAR PUSTAKA
1.
th
edition,
2.
3.
4.
5.
6.
7.
Jobe, AH. Fetal Lung Development and Surfactant. In : (Creasy RK, Resnik R,
Iams JD, Lockwood CJ, Moore TR) Creasy & Resniks Maternal-Fetal
th
Medicine, 6 edition, Saunders Elsevier ; 2009: 193-205
8.
9.
th
21. Griese M. Pulmonary Surfactant in Health and Human Lung Disease : State of
the Art. Eur Respir J. 1999; 13: 1455-76
22. Barret K, Brooks H, Boitano S, Barman S. Respiratory Physiology. In :
Ganongs Review Medical Phisiology, 23
608
rd