Anda di halaman 1dari 21

LAPORAN PENDAHULUAN STRUMA

A. PENGERTIAN
Struma adalah pembesaran pada kenlenjar tiroid yang biasanya terjadi
karena folikel folikel terisi koloid secara berlebihan. Setelah bertahuna tahun
folikel tumbuh semkin membesar dengan membentuk kista dan kelenjar
tersebut menjadi noduler. Struma nodosa non toksik adalah pembesaran
kelenjar tyroid yang secara klinik teraba nodul satu atau lebih tanpa disertai
tanda-tanda hypertiroidisme

B. ETIOLOGI
Adanya gangguan fungsional dalam pembentukan hormon tyroid
merupakan faktor penyebab pembesaran kelenjar tyroid antara lain :
1. Defisiensi iodium
Pada umumnya, penderita penyakit struma sering terdapat di daerah yang
kondisi air minum dan tanahnya kurang mengandung iodium, misalnya
daerah pegunungan.
2. Kelainan metabolik kongenital yang menghambat sintesa hormon tyroid.
a. Penghambatan sintesa hormon oleh zat kimia (seperti substansi dalam
kol, lobak, kacang kedelai).
b. Penghambatan sintesa hormon oleh obat-obatan (misalnya:
thiocarbamide, sulfonylurea dan litium).
3. Hiperplasi dan involusi kelenjar tiroid.
Pada umumnya ditemui pada masa pertumbuan, puberitas, menstruasi,
kehamilan, laktasi, menopause, infeksi dan stress lainnya. Dimana
menimbulkan nodularitas kelenjar tiroid serta kelainan arseitektur yang
dapat bekelanjutan dengan berkurangnya aliran darah didaerah tersebut.

C. PATOFISIOLOGI
Iodium merupakan semua bahan utama yang dibutuhkan tubuh untuk
pembentukan hormon tyroid. Bahan yang mengandung iodium diserap usus,
masuk ke dalam sirkulasi darah dan ditangkap paling banyak oleh kelenjar
tyroid. Dalam kelenjar, iodium dioksida menjadi bentuk yang aktif yang
distimuler oleh Tiroid Stimulating Hormon kemudian disatukan menjadi
molekul tiroksin yang terjadi pada fase sel koloid. Senyawa yang terbentuk
dalam molekul diyodotironin membentuk tiroksin (T4) dan molekul
yoditironin (T3).
Tiroksin (T4) menunjukkan pengaturan umpan balik negatif dari sekresi
Tiroid Stimulating Hormon dan bekerja langsung pada tirotropihypofisis,
sedang tyrodotironin (T3) merupakan hormon metabolik tidak aktif. Beberapa
obat dan keadaan dapat mempengaruhi sintesis, pelepasan dan metabolisme
tyroid sekaligus menghambat sintesis tiroksin (T4) dan melalui rangsangan
umpan balik negatif meningkatkan pelepasan TSH oleh kelenjar hypofisis.
Keadaan ini menyebabkan pembesaran kelenjar tyroid

D. MANIFESTASI KLINIS
Pada penyakit struma nodosa nontoksik tyroid membesar dengan
lambat. Awalnya kelenjar ini membesar secara difus dan permukaan licin.
Jika struma cukup besar, akan menekan area trakea yang dapat
mengakibatkan gangguan pada respirasi dan juga esofhagus tertekan sehingga
terjadi gangguan menelan. Klien tidak mempunyai keluhan karena tidak ada
hipo atau hipertirodisme. Benjolan di leher. Peningkatan metabolism karena
klien hiperaktif dengan meningkatnya denyut nadi. Peningkatan simpatis
seperti ; jantung menjadi berdebar-debar, gelisah, berkeringat, tidak tahan
cuaca dingin, diare, gemetar, dan kelelahan. Pada pemeriksaan status lokalis
struma nodosa, dibedakan dalam hal :
1. Jumlah nodul; satu (soliter) atau lebih dari satu (multipel)
2. Konsistensi; lunak, kistik, keras atau sangat keras.
3. Nyeri pada penekanan; ada atau tidak ada
4. Perlekatan dengan sekitarnya; ada atau tidak ada.
5. Pembesaran kelenjar getah bening di sekitar tiroid : ada atau tidak ada.
E. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pada palpasi teraba batas yang jelas, bernodul satu atau lebih,
konsistensinya kenyal.
2. Human thyrologlobulin( untuk keganasan thyroid)
3. Pada pemeriksaan laboratorium, ditemukan serum T4 (troksin) dan T3
(triyodotironin) dalam batas normal. Nilai normal T3=0,6-2,0 , T4= 4,6-11
4. Pada pemeriksaan USG (ultrasonografi) dapat dibedakan padat atau
tidaknya nodul.
5. Kepastian histologi dapat ditegakkan melalui biopsy aspirasi jarum halus
yang hanya dapat dilakukan oleh seorang tenaga ahli yang berpengalaman
6. Pemeriksaan sidik tiroid. Hasil dapat dibedakan 3 bentuk yaitu :
a. Nodul dingin bila penangkapan yodium nihil atau kurang
dibandingkan sekitarnya. Hal ini menunjukkan fungsi yang rendah.
b. Nodul panas bila penangkapan yodium lebih banyak dari pada
sekitarnya. Keadaan ini memperlihatkan aktivitas yang berlebih.
c. Nodul hangat bila penangkapan yodium sama dengan sekitarnya. Ini
berarti fungsi nodul sama dengan bagian tiroid yang lain.

F. PENATALAKSANAAN
1. Dengan pemberian kapsul minyak beriodium terutama bagi penduduk di
daerah endemik sedang dan berat.
2. Edukasi
Program ini bertujuan merubah prilaku masyarakat, dalam hal pola makan
dan memasyarakatkan pemakaian garam beriodium.
3. Penyuntikan lipidol
Sasaran penyuntikan lipidol adalah penduduk yang tinggal di daerah
endemik diberi suntikan 40 % tiga tahun sekali dengan dosis untuk orang
dewasa dan anak di atas enam tahun 1 cc, sedang kurang dari enam tahun
diberi 0,2 cc – 0,8 cc.
4. Tindakan operasi (strumektomi)
Pada struma nodosa non toksik yang besar dapat dilakukan tindakan
operasi bila pengobatan tidak berhasil, terjadi gangguan misalnya :
penekanan pada organ sekitarnya, indikasi, kosmetik, indikasi keganasan
yang pasti akan dicurigai.
5. L-tiroksin selama 4-5 bulan
Preparat ini diberikan apabila terdapat nodul hangat, lalu dilakukan
pemeriksaan sidik tiroid ulng. Apabila nodul mengecil, terapi dianjutkan
apabila tidak mengecil bahkan membesar dilakukan biopsy atau operasi.
6. Biopsy aspirasi jarum halus
Dilakukan pada kista tiroid hingga nodul kurang dari 10mm

G. KOMPLIKASI
1. Gangguan menelan atau bernafas
2. Gangguan jantung baik berupa gangguan irama hingga pnyakit jantung
kongestif (jantung tidak mampu memompa darah keseluruh tubuh)
3. Osteoporosis, terjadi peningkatan proses penyerapan tulang sehingga
tulang menjadi rapuh, keropos dan mudah patah.
H. PATHWAY
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN

A. PENGKAJIAN
1. Identifikasi klien.
2. Keluhan utama klien.
3. Riwayat penyakit sekarang
4. Riwayat penyakit dahulu
5. Riwayat kesehatan keluarga
6. Pemeriksaan Fisik

B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Pola nafas tidak efektif b/d obstruksi jalan nafas, pembengkakan,
perdarahan dan spasme laryngeal.
2. Gangguan komunikasi verbal berhubungan dengan cedera pita
suara/kerusakan laring, edema jaringan, nyeri, ketidaknyamanan.
3. Resiko tinggi terhadap cedera/tetani berhubungan dengan proses
pembedahan, rangsangan pada sistem saraf pusat.
4. Nyeri berhubungan dengan dengan tindakan bedah terhadap jaringan/otot
dan edema pasca operasi.
5. Ansietas b/d kurang pengetahuan klien tentang penyakit dan
pengobatannya atau persepsi yang salah tentang penyakit yang diderita.

C. RENCANA KEPERAWATAN
1. Pola nafas tidak efektif b/d obstruksi jalan nafas, pembengkakan,
perdarahan dan spasme laryngeal.
Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam di
harapkan ; klien tidak mengeluhkan sulit bernafas, klien menunjukan pola
nafas efektif
INTERVENSI RASIONAL
1) Berikan pasien posisi semi 1) Untuk memudahkan pasien dalam
fowler bernafas
2) Untuk mengetahui kedalaman
2) Kaji frekuensi dan kedalaman pernafasan klien
pernafasan 3) Untuk membantu pasien mudah
3) Bantu pasien latihan pernafasan bernafas
4) Memaksimalkan bernafas dan
4) Berikan oksigen sesuai program menurunkan kerja nafas

2. Gangguan komunikasi verbal berhubungan dengan cedera pita


suara/kerusakan laring, edema jaringan, nyeri, ketidaknyamanan.
Tujuan : Klien dapat komunikasi secara verbal
Kriteria hasil: Klien dapat mengungkapkan keluhan dengan kata-kata.
INTERVENSI RASIONAL
1) Kaji pembicaraan klien secara 1) Suara parau dan sakit pada
periodik tenggorokan merupakan faktor
kedua dari odema jaringan /
sebagai efek pembedahan.
2) Lakukan komunikasi dengan 2) Mengurangi respon bicara yang
singkat dengan jawaban ya/tidak. terlalu banyak.
3) Kunjungi klien sesering mungkin 3) Mengurangi kecemasan klien
4) Ciptakan lingkungan yang 4) Klien dapat mendengar dengan
tenang. jelas komunikasi antara perawat
dan klien.

3. Resiko tinggi terhadap cedera/tetani berhubungan dengan proses


pembedahan, rangsangan pada sistem saraf pusat.
Tujuan : Menunjukkan tidak ada cedera dengan komplikasi
terpenuhi/terkontrol.
Kriteria : Tidak terdapat cedera
INTERVENSI RASIONAL
1) Pantau tanda-tanda vital dan catat 1) Manipulasi kelenjar selama
adanya peningkatan suhu tubuh, pembedahan dapat
takikardi (140 – 200/menit), mengakibatkan peningkatan
disrtrimia, syanosis, sakit waktu pengeluaran hormon yang
bernafas (pembengkakan paru). menyebabkan krisis tyroid.
2) Evaluasi reflesi secara periodik. 2) Hypolkasemia dengan tetani
Observasi adanya peka rangsang, (biasanya sementara) dapat
misalnya gerakan tersentak, terjadi 1 – 7 hari pasca operasi
adanya kejang, prestesia. dan merupakan indikasi
hypoparatiroid yang dapat terjadi
sebagai akibat dari trauma yang
tidak disengaja pada
pengangkatan parsial atau total
kelenjar paratiroid selama
pembedahan.
3) Pertahankan penghalang tempat 3) Menurunkan kemungkinan
tidur/diberi bantalan, tmpat tidur adanya trauma jika terjadi
pada posisi yang rendah. kejang.
4) Memantau kadar kalsium dalam
serum. 4) Kalsium kurang dari 7,5/100 ml
secara umum membutuhkan
5) Kolaborasi: Berikan pengobatan terapi pengganti.
sesuai indikasi 5) Memperbaiki kekurangan
(kalsium/glukonat, laktat) kalsium yang biasanya sementara
tetapi mungkin juga menjadi
permanen

4. Nyeri berhubungan dengan dengan tindakan bedah terhadap jaringan/otot


dan edema pasca operasi.
Tujuan: Rasa nyeri berkurang
Kriteria hasil: Dapat menyatakan nyeri berkurang, tidak adanya perilaku
uyg menunjukkan adanya nyeri.
INTERVENSI RASIONAL
1) Atur posisi semi fowler, ganjal 1) Mencegah hyperekstensi leher
kepala /leher dengan bantal keci. dan melindungi integritas pada
2) Kaji respon verbal /non verbal jahitan pada luka.
lokasi, intensitas dan lamanya 2) Mengevaluasi nyeri, menentukan
nyeri. rencana tindakan keefektifan
3) Intruksikan pada klien agar terapi.
menggunakan tangan untuk 3) Mengurangi ketegangan otot.
menahan leher pada saat alih
posisi .
4) Beri makanan /cairan yang halus
seperti es krim. 4) Makanan yang halus lebih baik
5) bagi klien yang menjalani
6) Lakukan kolaborasi dengan kesulitan menelan.
dokter untuk pemberian 5) Memutuskan transfusi SSP pada
analgesik. rasa nyeri.

5. Ansietas b/d kurang pengetahuan klien tentang penyakit dan


pengobatannya atau persepsi yang salah tentang penyakit yang diderita.
Tujuan : setelah diberikan penkes sebanyak 2 kali, ansietas berkurang
dengan kriteria hasil:
1) Ekspresi wajah tampak rileks
2) Klien dapat melakukan aktivitas sehari-hari dengan baik
3) Klien mengetahui penyakit dan upaya pengobatan
INTERVENSI RASIONAL
1) Kaji pengetahuan klien tentang 1) Untuk mengetahui pengetahuan
penyakit dan pengobatannya klien tentang penyakitnya
2) Identifikasi harapan-harapan 2) Untuk mengetahui keinginan
klien terhadap pelayanan yang klien sebagai dasar intervensi
diberikan selanjutnya
3) Buat rancangan pembelajaran 3) Untuk menambah wawasan klien
yang mencakup jenis penyakit tentang penyakitnya
dan penyebabnya, upaya
penanggulangan, prognosa dan
prevalensi penyakit serta
komplikasi.
4) Laksanakan pembelajaran
bersama dengan anggota 4) Agar klien lebih nyaman dan
keluarga, perhatikan kondisi mudah paham terkait
klien dan lingkungan. pembelajaran
LAPORAN PENDAHULUAN GENERAL ANESTESI

A. PENGERTIAN
Anestesi merupakan suatu tindakan untuk menghilangkan rasa sakit
ketika dilakukan pembedahan dan berbagai prosedur lain yang menimbulkan
rasa sakit, dalam hal ini rasa takut perlu ikut dihilangkan untuk menciptakan
kondisi optimal bagi pelaksanaan pembedahan (Sabiston, 2011).

B. MACAM-MACAM ANESTESI
Menurut Potter & Perry tahun 2006, pasien yang mengalami
pembedahan akan menerima anestesi dengan salah satu dari tiga cara sebagai
berikut:
1. Anestesi Umum
Klien yang mendapat anestesi umum akan kehilangan seluruh
sensasi dan kesadarannya. Relaksasi otot mempermudah manipulasi
anggota tubuh. Pembedahan yang menggunakan anestesi umum
melibatkan prosedur mayor, yang membutuhkan manipulasi jaringan
yang luas.
2. Anestesi Regional
Induksi anestesi regional menyebabkan hilangnya sensasi pada
daerah tubuh tertentu. Anestesi regional terdiri dari spinal anestesi,
epidural anestesi, kaudal anestesi. Metode induksi mempengaruhi bagian
alur sensorik yang diberi anestesi. Ahli anestesi memberi regional secara
infiltrasi dan lokal. Pada bedah mayor, seperti perbaikan hernia,
histerektomi vagina, atau perbaikan pembuluh darah kaki, anestesi
regional atau spinal anestesi hanya dilakukan dengan induksi infiltrasi.
Blok anestesi pada saraf vasomotorik simpatis dan serat saraf nyeri dan
motoric menimbulkan vasodilatasi yang luas sehingga klien dapat
mengalami penurunan tekanan darah yang tiba – tiba.
3. Anestesi Lokal
Anestesi lokal menyebabkan hilangnya sensasi pada tempat yang
diinginkan. Obat anestesi menghambat konduksi saraf sampai obat
terdifusi ke dalam sirkulasi. Anestesi lokal umumnya digunakan dalam
prosedur minor pada tempat bedah sehari.

C. GENERAL ANESTESI
General anestesi merupakan tindakan menghilangkan rasa sakit secara
sentral disertai hilangnya kesadaran (reversible). Tindakan general anestesi
terdapat beberapa teknik yang dapat dilakukan adalah general anestesi
denggan teknik intravena anestesi dan general anestesi dengan inhalasi yaitu
dengan face mask (sungkup muka) dan dengan teknik intubasi yaitu
pemasangan endotrecheal tube atau gabungan keduanya inhalasi dan
intravena (Latief, 2007).

a. Teknik General Anestesi


General anestesi menurut Mangku dan Senapathi (2010), dapat dilakukan
dengan 3 teknik, yaitu:
1. General Anestesi Intravena
Teknik general anestesi yang dilakukan dengan jalan menyuntikkan
obat anestesi parenteral langsung ke dalam 11 pembuluh darah vena.
2. General Anestesi Inhalasi
Teknik general anestesi yang dilakukan dengan jalan memberikan
kombinasi obat anestesi inhalasi yang berupa gas dan atau cairan yang
mudah menguap melalui alat atau mesin anestesi langsung ke udara
inspirasi.
3. Anestesi Imbang
Merupakan teknik anestesi dengan mempergunakan kombinasi obat-
obatan baik obat anestesi intravena maupun obat anestesi inhalasi atau
kombinasi teknik general anestesi dengan analgesia regional untuk
mencapai trias anestesi secara optimal dan berimbang, yaitu:
1) Efek hipnosis, diperoleh dengan mempergunakan obat
hipnotikum atau obat anestesi umum yang lain.
2) Efek analgesia, diperoleh dengan mempergunakan obat
analgetik opiat atau obat general anestesi atau dengan cara
analgesia regional.
3) Efek relaksasi, diperoleh dengan mempergunakan obat
pelumpuh otot atau general anestesi, atau dengan cara analgesia
regional.

D. OBAT-OBAT GENERAL ANESTESI


Pada tindakan general anestesi terdapat beberapa teknik 12 yang dapat
dilakukan adalah general anestesi dengan teknik intravena anestesi dan
general anestesi dengan inhalasi, berikut obat-obat yang dapat digunakan
pada kedua teknik tersebut.
Tabel 1. Obat–obat General Anestesi
Obat-obat Anestesi Intravena Obat-obat Anestesi Inhalasi
1)Atropine Sulfat 1) Nitrous Oxide
2)Pethidin 2) Halotan
3)Atrakurium 3) Enfluren
4)Ketamine HCL 4) Isofluran
5)Midazolam 5) Sevofluran
6)Fentanyl
7)Rokuronium bromide
8)Prostigmin
Sumber: Omoigui, 2009

E. GANGGUAN PASCA ANESTESI


1. Pernapasan
Gangguan pernapasan cepat menyebabkan kematian karena
hipoksia sehingga harus diketahui sedini mungkin dan segera di atasi.
Penyebab yang sering dijumpai sebagai penyulit pernapasan adalah sisa
anastesi (penderita tidak sadar kembali) dan sisa pelemas otot yang
belum dimetabolisme dengan sempurna, selain itu lidah jatuh kebelakang
menyebabkan obstruksi hipofaring. Kedua hal ini menyebabkan
hipoventilasi, dan dalam derajat yang lebih beratmenyebabkan apnea.
2. Sirkulasi
Penyulit yang sering di jumpai adalah hipotensi syok dan aritmia,
hal ini disebabkan oleh kekurangan cairan karena perdarahan yang tidak
cukup diganti. Sebab lain adalah sisa anastesi yang masih tertinggal
dalam sirkulasi, terutama jika tahapan anastesi masih dalam akhir
pembedahan.
3. Regurgitasi dan Muntah
Regurgitasi dan muntah disebabkan oleh hipoksia selama anastesi.
Pencegahan muntah penting karena dapat menyebabkan aspirasi.
4. Hipotermi
Gangguan metabolisme mempengaruhi kejadian hipotermi, selain
itu juga karena efek obat-obatan yang dipakai. General anestesi juga
memengaruhi ketiga elemen termoregulasi yang terdiri atas elemen input
aferen, pengaturan sinyal di daerah pusat dan juga respons eferen, selain
itu dapat juga menghilangkan proses adaptasi serta mengganggu
mekanisme fisiologi pada fungsi termoregulasi yaitu menggeser batas
ambang untuk respons proses vasokonstriksi, menggigil, vasodilatasi,
dan juga berkeringat.
5. Gangguan Faal Lain
Diantaranya gangguan pemulihan kesadaran yang disebabkan oleh
kerja anestesi yang memanjang karena 14 dosis berlebih relatif karena
penderita syok, hipotermi, usia lanjut dan malnutrisi sehingga sediaan
anestesi lambat dikeluarkan dari dalam darah.

F. WAKTU PULIH SADAR


1. Pengertian
Pulih sadar merupakan bangun dari efek obat anestesi setelah
proses pembedahan dilakukan. Lamanya waktu yang dihabiskan pasien
di recovery room tergantung kepada berbagai faktor termasuk durasi dan
jenis pembedahan, teknik anestesi, jenis obat dan dosis yang diberikan
dan kondisi umum pasien.
Menurut Gwinnutt (2012) dalam bukunya mengatakan sekitar 30
menit berada dalam ruang pemulihan dan itu pun memenuhi kriteria
pengeluaran. Pasca operasi, pulih dari anestesi general secara rutin pasien
dikelola di recovery room atau disebut juga Post Anesthesia Care Unit
(PACU), idealnya adalah bangun dari anestesi secara bertahap, tanpa
keluhan dan mulus dengan pengawasan dan pengelolaan secara ketat
sampai dengan keadaan stabil menurut penilaian Score Aldrete.
2. Penilaian Waktu Pulih Sadar
Penilaian dilakukan saat masuk recovery room, selanjutnya dinilai
dan dicatat setiap 5 menit sampai tercapai nilai minimal 8. Pasien bisa
dipindahkan ke ruang perawatan jika nilai pengkajian pasca anestesi
adalah 8-10. Lama tinggal di ruang pemulihan tergantung dari teknik
anestesi yang digunakan (Larson, 2009).
Tingkat pulih sadar seseorang pasca anestesi dilakukan perhitungan
menggunakan Score Aldrete (Nurzallah,2015).

3. Faktor-Faktor Pemindahan Pasien


Faktor-faktor yang perlu diperhatikan sebelum memindahkan pasien ke
ruangan adalah:
1) Observasi minimal 30 menit setelah pemberian narkotik atau
penawarnya (nalokson) secara intavena.
2) Observasi minimal 60 menit setelah pemberian antibiotik,
antiemetik atau narkotik secara intramuskuler.
3) Observasi minimal 30 menit setelah oksigen dihentikan.
4) Observasi 60 menit setelah esktubasi (pencabutan ETT).
5) Tindakan lain akan ditentukan kemudian oleh dokter spesialis
anestesiologi dan dokter spesialis bedah (Mangku dan Senapathi,
2010).
Kembalinya kesadaran pasien dari general anestesi secara ideal
harus mulus dan juga bertahap dalam keadaan yang terkontrol hingga
kembali sadar penuh, waktu pulih sadar tindakan general anestesi sebagai
berikut:
1) General Anestesi Intravena Waktu pulih sadar pasien dengan
general anestesi dengan TIVA propofol TCI (Target Controlled
Infusion) adalah 10 menit (Simanjuntak, 2013).
2) General Anestesi Inhalasi Waktu pasien akan kembali sadar penuh
dalam waktu 15 menit dan tidak sadar yang berlangsung diatas 15
menit dianggap prolonged (Mecca, 2013).
3) Anestesi Imbang Observasi minimal 30 menit setelah pemberian
narkotik atau penawarnya (nalokson) secara intavena dan observasi
60 menit setelah esktubasi (pencabutan ETT) (Mangku dan
Senapathi, 2010).
4. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Waktu Pulih Sadar
1) Efek Obat Anestesi (premedikasi anestesi, induksi anestesi)
Penyebab tersering tertundanya pulih sadar (belum sadar penuh
30-60 menit pasca general anestesi adalah pengaruh dari 24 sisa-sisa
obat anestesi sedasi dan analgesik (midazolam dan fentanyl) baik
absolut maupun relative dan juga potensasi dari obat atau agen
anestesi dengan obat sebelum (alkohol) (Andista, 2014).
Induksi anestesi juga berpengaruh terhadap waktu pulih sadar
pasien. Pengguna obat induksi ketamine jika dibandingkan dengan
propofol, waktu pulih sadar akan lebih cepat dengan penggunaan
obat induksi propofol. Propofol memiliki lama aksi yang singkat (5-
10 menit), distribusi yang luas dan eliminasi yang cepat. Sifat obat
atau agen anestesi yang umumnya bisa menyebabkan blok sistem
saraf, pernafasan dan kardiovaskuler maka selama durasi anestesi ini
bisa terjadi komlikasi-komplikasi dari tindakan anestesi yang ringan
sampai yang berat. Komplikasi pada saat tindakan anestesi bisa
terjadi selama induksi anestesi dari saat rumatan (pemeliharaan)
anestesi. Peningkatan kelarutan anestesi inhalasi serta pemanjangan
durasi kerja pelemas otot diduga merupakan penyebab lambatnya
pasien bangun pada saat akhir anestesi. Waktu pulih sadar saat di
ruang pemulihan menjadi lebih lama pada pasien hipotermi (Mecca,
2013).
Cara mencegah agar tidak terjadi komplikasi-komplikasi
selama tindakan anestesi maka diperlukan monitoring secara ketat
sebagai bentuk tanggung jawab kita sebagai petugas 25 anestesi.
Monitoring pasien selama tindakan anestesi bisa menggunakan
panca indera kita maupun dengan menggunakan alat monitor pasien
yang bisa digunakan sekarang.
2) Durasi Tindakan Anestesi
Durasi (lama) tindakan anestesi merupan waktu dimana pasien
dalam keadaan teranestesi, dalam hal ini general anestesi. Lama
tindakan anestesi dimulai sejak dilakukan induksi anestesi dengan
obat atau agen anestesi yang umumnya menggunakan obat atau agen
anestesi intravena dan inhalasi sampai obat atau pembedahan yang
dilakukan. Jenis operasi adalah pembagian atau klasifikasi tindakan
medis bedah berdasarkan waktu, jenis anestesi dan resiko yang
dialami, meliputi operasi kecil, sedang, besar dan khusus dilihat dari
durasi operasi.
Pembedahan yang lama secara otomatis menyebabkan durasi
anestesi semakin lama. Hal ini akan menimbulkan efek akumulasi
obat dan agen anestesi di dalam tubuh semakin banyak sebagai hasil
pemanjangan penggunaan obat atau agen anestesi tesebut dimana
obat diekskresikan lebih lambat 26 dibandingkan absorbsinya yang
akhirnya dapat menyebabkan pulih sadar berlangsung lama (Latief,
2007).
3) Usia
Umur atau usia adalah satuan waktu yang mengukur waktu
keberadaan suatu benda atau makhluk, baik yang hidup maupun
yang mati. Lansia bukan merupakan kontra indikasi untuk tindakan
anestesi. Suatu kenyataan bahwa tindakan anestesi sering
memerlukan ventilasi mekanik, toilet tracheobronchial, sirkulasi
yang memanjang pada orang tua dan pengawasan fungsi faal yang
lebih teliti, kurangnya kemampuan sirkulasi untuk mengkompensasi
vasodilatasi karena anestesi menyebabkna hipotensi dan berpengaruh
pada stabilitas keadaan umum pasca bedah (Andista, 2014).
4) Berat Badan dan Indeks Masa Tubuh (Body Mass Index)
Indeks Masa Tubuh (IMT) merupakan alat atau cara yang
sederhana untuk memantau status gizi orang dewasa, khususnya
yang berkaitan dengan kekurangan dan kelebihan berat badan
(Depkes RI, 2009). Indeks Massa Tubuh (IMT) adalah cara untuk
memperkirakan obesitas dan berkolerasi tinggi dengan massa lemak
tubuh, selain itu juga penting untuk mengidentifikasi pasien obesitas
yang mempunyai resiko mendapat komplikasi medis.
5) Jenis Operasi
Beberapa jenis operasi yang dilakukan akan memberikan efek
yang berbeda terhadap kondisi pasien pasca bedah. Operasi dengan
perdarahan yang lebih dari 15 sampai 20 persen dari total volume
darah normal memberikan pengaruh terhadap perfusi organ,
pengangkutan oksigen dan sirkulasi. Pasien dengan perdarahan yang
banyak memerlukan bantuan yang lebih lanjut, pemberian tranfusi
pasca bedah dinilai lebih efektif untuk menggantikan cairan darah
hilang. Cairan koloid dapat membantu bila darah donor belum
tersedia.
6) Status Fisik Pra Anestesi
Status ASA, sistem klasifikasi fisik adalah suatu sistem untuk
menilai kesehatan pasien sebelum operasi. American Society of
Anesthesiologis (ASA) mengadopsi sistem klasifikasi status lima
kategori fisik yaitu:
(a) ASA 1, seorang pasien yang normal dan sehat.
(b) ASA 2, seorang pasien dengan penyakit sistemik ringan.
(c) ASA 3, seorang pasien dengan penyakit sistemik berat.
(d) ASA 4, seorang pasien dengan penyakit sistemik berat yang
merupakan ancaman bahi kehidupan.
(e) ASA 5, seorang pasien yang hamper mati tidak ada harapan
hidup dalam 24 jam untu berthan hidup tanpa operasi.
Jika pembedahan darurat, klasifikasi status fisik diikuti dengan
“E” (untuk darurat) misalnya “3E”. Semakin tinggi status ASA
pasien maka gangguan sistemik pasien tersebut akan semakin berat.
Hal ini menyebabkan respon organ-organ tubuh terhadap obat atau
agen anestesi tersebut semakin lambat, sehingga berdampak pada
semakin lama pulih sadar pasien (Setiawan, 2010).
7) Gangguan Asam Basa dan Elektrolit
Tubuh memiliki mekanisme untuk mengatur keseimbangan
asam, basa, cairan, maupun elektrolit yang mendukung fungsi tubuh
yang optimal. Mekanisme regulasi dilakukan terutama oleh ginjal
yang manpu mengonservasi ataupun meningkatkan pengeluaran
cairan, konstribusi pengaturan asam basa maupun elektrolit apabila
terjadi ketidakseimbangan.
Mekanisme pengaturan keseimbangan asam basa didalam
tubuh terutana oleh tiga komponen yaitu sistem buffer kimiawi, pari-
paru dan ginjal. Gangguan keseimbangan asam basa tubuh terbagi
menjadi empat macam yaitu asidosis respiratorik, asidosis metabolik,
alkalosis respiratorik dan alkalosis metabolik. Istilah respiratorik
merujuk pada kelainan system pernafasan, sedangkan istilah
metabolik merujuk pada kelainan yang disebabkan sistem
pernafasan.
Pasien yang mengalami gangguan asam basa menyebabkan
terganggunya fungsi pernafasan, fungsi ginjal maupun fungsi tubuh
yang lain. Hal ini berdampak pada terganggunya proses ambilan
maupun pengeluaran obat-obatan dan agen anestesi. Begitu juga
dengan gangguan keseimbangan elektrolit di dalam tubuh, baik
hipokalemia, hiperkalemia, hiponatremia, hipokalsemia, ataupun
ketidakseimbangan elektrolit yang lain. Kondisi-kondisi ini bisa
menyebabkan gangguan irama jantung, kelemahan otot, maupun
terganggunya perfusi otak. Sehingga ambilan obat-obatan dan agen
inhalasi anestesi menjadi terhalang dan proses eliminasi zat-zat
anestesi menjadi lambat yang berakibat waktu pulih sadar menjadi
lebih lama.
G. FV
H. FV
DAFTAR RUJUKAN

Carpenito L Y, 2001, Hand Book of Nursing Diagnosis, Edisi 8, EGC : Jakarta


Doengoes, dkk, 2000, Nursing Care Plans : Guideline For Planning And
Dokumentating Care. EGC : Jakarta.
Hidayat, Syamat, dkk, 1997. Edisi Revisi Buku Ilmu Ajar Bedah,EGC : Jakarta.
Manjoer, Arief, dkk, 2000.Kapita Selekta Kedokteran, Jilid I, Media Aesculapius

Anda mungkin juga menyukai