Anda di halaman 1dari 32

REFRAT

POSTERIOR REVERSIBLE ECEPHALOPATHY SYNDROME

Oleh:
Osi Davianus SP
Sales Pousror
Achmad Syarif Hidayatullah
Alfian Noor HK
Jinan Fairuz AR

G99141168
G99141169
G99141170
G99141171
G99141172

Pembimbing
Rachmi Fauziah Rahayu,dr.,Sp.Rad
KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN RADIOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNS/RSUD DR. MOEWARDI
SURAKARTA
2015

BAB I
PENDAHULUAN
Posterior reversible encephalopathy syndrome (PRES) merupakan
kesatuan clinical-neuroradiological1, yang dideskripsikan pertama kali pada
tahun

1996

oleh

Hinchey

et

al.,

sebagai

reversible

posterior

leukoencephalopathy syndrome2. Gejala ini ditandai dengan sakit kepala,


gangguan visual, kejang, perubahan status mental, dan temuan radiologis
berupa edema pada substansia alba yang divaskularisasi oleh sirkulasi otak
posterior3. meskipun kebanyakan kasus PRES dikaitkan dengan hipertensi
sistemik, namun ternyata tidak semua pasien PRES memiliki riwayat
hipertensi sistemik. saat ini telah diidentifikasi etiologi dan faktor resiko lain
selain hipertensi sistemik, seperti penggunaan obat imunosuppresant,
gangguan ginjal, sepsis, dan systemic lupus erythematosus (SLE)2,3-6
Saat ini mekanisme patogenesis PRES masih belum

dapat

diidentifikasi secara tepat. Namun, tanpa memperhatikan faktor pemicu,


PRES memperlihatkan perkembangan edema pada daerah otak yang terkena 79

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. DEFINISI

Posterior reversible encephalaopathy syndrome (PRES) adalah


kumpulan gejala nyeri kepala, kebingungan, kejang dan gangguan visus, yang
dapat didiagnosis dengan pemeriksaan MRI berupa hiperintensistas T2
dibagian posterior hemisfer serebri bilateral10.
B. EPIDEMIOLOGI
Kejadian Posterior reversible encephalaopathy syndrome (PRES)
secara keseluruhan masih belum diketahui. Satu-satunya data epidemiologi
adalah data yang berasal dari penelitian retrospektif pada pasien diantara
tahun 1988 dan 200811,12-14, 15-18. PRES telah dilaporkan pada pasien berusia 490 tahun, meskipun sebagian besar kasus terjadi pada anak muda hingga
orang dewasa tengah, namun usia rata-rata kejadian PRES tertinggi terjadi
pada usia diantara 39 dan 47 tahun. Penyakit ini lebih dominasi pada
perampuan dibanding laki-laki, dominasi perempuan mungkin dipengaruhi
dari beberapa penyebab. Banyak pasien dengan PRES memiliki penyakit
penyerta, yang mungkin menyebabkan kondisi parah, seperti transplantasi
sumsum tulang atau organ padat, gagal ginjal kronis, dan hipertensi kronis.
Ventilasi mekanikdiperlukanpada35-40% pasien denganPRES, selama
3 sampai7 hari13,14. Pada pasien PRES dengan status epileptikusmungkin
memerlukanperawatan di ICU15. Tidak adadata epidemiologiyang tersedia
untuk jumlah pasien denganPRES yangmembutuhkanmasuk ICU. Rata-rata
pasien PRES memerlukan perawatan di rumah sakit sekitar 20 hari13-14.
C. ANATOMI ENCEPHALON
Otak menempati rongga kranial dan dibungkus oleh membran, cairan, serta
tulang tengkorak. Meskipun berbagai macam daerah otak saling berhubungan
dan berfungsi bersama, otak dapat dibagi ke dalam daerah-daerah yang
berbeda-beda untuk memudahkan kajian yaitu:
1. Hemispherium Cerebralis

Hemispherium Cerebralis merupakan bagian otak yang paling besar,


dibagi menjadi hemispherium cerebralis kiri dan kanan oleh suatu lekukan
dalam yang dikenal sebagai fissura longitudinalis. Daerah antara
hemisferium cerebralis dan batang otak adalah diencephalon.
Jaringan saraf sebelah luar hemisferium cerebralis adalah bahan abu-abu
(substansia grisea) yang disebut dengan cortex cerebralis. Cortex yang
abu-abu ini tersusun sebagai lipatan yang membentuk bagian yang
menonjol dan dikenal sebagai gyrus, yang dipisahkan oleh celah dangkal
yang dinamakan sulcus. Di bagian dalam, sebagian besar hemisfer otak
terbuat dari bahan putih (substansia alba) dan beberapa kumpulan bahan
abu-abu. Di dalam hemsifer ada dua ruang yang inembentang dan
bentuknya agak tidak beraturan, yaitu ventriculus lateralis yang berisi
cairan encer dan dinamakan liquor cerebrospinal. Cairan ini terdapat baik
di otak maupun sumsum tulang belakang.
Meskipun terdapat banyak sulcus, beberapa di antaranya merupakan
patokan yang sangat penting, seperti:
a. Sulcus centralis yang terletak di antara lobus (belahan) parietal dan
frontal setiap hemisfer membentuk sudut langsung ke fissura
longitudinalis (celah yang dalam).
b. Sulcus lateralis yang melengkung di sepanjang setiap sisi hemisfer
serta yang memisahkan lobus temporal dari lobus frontal dan perietal.

Cortex cerebralis ialah lapisan bahan abu-abu yang membentuk


permukaan setiap hemisfer otak. Di dalam cortex cerebralis inilah semua
impuls diterima dan dianalisa. Semua itu menyusun dasar pengetahuani:
otak "menyimpan" informasi, banyak di antaranya yang dapat
ditampilkan. kembali sesuai permintaan melalui suatu fenomena yang
dinamakan memory (ingatan). Di dalam cortex cerebralis inilah proses
berpikir seperti asosiasi, pertimbangan, dan diskriminasi terjadi. Dari
cortex cerebralis pula pengendalian kesadaran dan kegiatan yang
disengaja berasal.
Setiap hemisfer otak dibagi ke dalam empat belahan yang dapat terlihat,
diberi nama sesuai dengan tulang kranial yang melingkupinya. Meskipun
berbagai daerah otak bekerjasama dalam kcordinasi untuk dapat
menghasilkan perilaku, bagian cortex tertentu meinpengaruhi kategori
fungsi tertentu. Berikut ini adalah empat belahan (lobus) yang dimaksud:
a. Lobus Frontalis

Lobus frontalis relatif lebih besar pada diri manusia ketimbang


organisme lainnya, terletak di depan sulkus sentralis. Lobus ini berisi
cortex motorik yang mengarahkan tindakan. Sisi kiri otak mengatur
sisi kanan tubuh, sedangkan sisi kanan otak mengatur sisi tubuh
sebelah kiri. Lobus frontalis juga berisi dua daerah yang penting untuk
bicara.
b. Lobus Parietalis
Lobus parietalis menempati bagian atas setiap hemisfer dan terletak di
belakang lukus sentralis. Lobus ini berisi area sensorik di many impuls
dari kulit seperti rabaan, rasa sakit, dan suhu diinterpretasikan.
Determinasi jarak, ruang, dan bentuk juga terjadi di sini.
c. Lobus Temporalis
Lobus temporalis terletak di bawah sulkus lateralis dan melipat di
bawah hemisfer pada setiap sisinya. Lobus ini berisi area pendengaran
(auditorik) yang menerima dan menginterpreiasikan impuls yang
berasal dari telinga. Area pembauan (olfactorik) terletak di bagian
medial lobus temporalis dan distimulasi oleh impuls yang berasal dari
reseptor di dalam hidung.
d. Lobus Occipitalis
Lobus occipitalis terletak di belakang lobus parietal dan melampaui
cerebellum. Lobus ini berisi area visual yang menginterpretasikan
impuls yang muncul dari retina mata.
Sebagai tambahan, sebetulnya ada lobus kelima yang kecil dalam setiap
hemisfer yang tak dapat dilihat dari permukaan karena letakiiya ada di
sebelah dalam sulkus lateralis. Lobus ini dinamakan insula. Di bawah
bahan abu-abu cortex cerebralis terdapat bahan putih berisi serat saraf
bermyelin yang saling menghubungkan satu daerah cortical dengan
lainnya dan bagianbagian lain dari sistem saraf. Kumpulan bahan putih

yang cukup penting ialah corpus callosum, terletak di bawah fissura


longitudinalis. Kumpulan ini bertindak sebagai jembatan antara hemisfer
kanan dan kiri untuk mempermudah impuls menyeberang dari satu sisi
otak ke sisi lainnya. Capsula interna ialah jalur bahan putih yang sangat
rapat, tersusun dari cukup banyak serat saraf yang bermyelin (dengan
membentuk tractus). Nucleus basalis ialah massa bahan abu-abu di bagian
dalam setiap hemisfer otak. Kelompok neuron ini membantu meregulasi
gerakan tubuh dan ekspresi wajah yang di hubungkan dari cortex.
Neurotransmitter dopamine disekresikan oleh neuron-neuron nucleus
basalis.

2. Batang otak / Truncus Encephali / Brain stem

Batang otak terdiri dari midbrain, pons, dan medulla oblongata. Bangunan
tersebut menghubungkan cerebrum dengan sumsum tulang belakang.
Midbrain yang terletak tepat di bawah pusat cerebrum membentuk bagian
depan batang otak. Empat bulatan massa bahan abu-abu yang dilingkupi
oleh hemisfer otak rnembentuk bagian midbrain sebelah atas; keempat
bodi (corpora quadrigemina) ini berperan sebagai pusat pemancar bagi
gerakan refleks telinga dan mata tertentu. Bahan putih di depan midbrain
mengkonduksi impuls antara pusat cerebrum di sebelah atas dan pusatpusat di pons, medulla, cerebellum, dan sumsum tulang belakang yang
lebih bawah. Saraf cranial III dan IV berasal dari midbrain. Pons terletak
di antara midbrain dan medulla, di depan cerebellum. Sebagian besar pons
terdiri dari serat saraf bermyelin yang berperan menghubungkan kedua
belah cerebellum dengan batang otak, serta dengan cerebrum di sebelah
atas dan dengan sumsum tulang belakang di bawah. Pons yang berisi serat
saraf yang membawa impuls dari dan ke pusat merupakan penghubung
yang sangat penting antara cerebellum dan bagian sistem saraf sisanya.
Beberapa gerakan refleks tertentu seperti bernafas secara teratur
terintegrasi di dalam pons. Saraf cranial berasal dari pons. Medulla
oblongata otak terletak di antara pons dan sumsum tulang belakang.
Medulla ini dari luar terlihat putih karena banyak berisi serat saraf yang
bermyelin seperti halnya pons. Di bagian dalam, berisi sejumlah badan sel
(bahan abu-abu) yang dinamakan nuclei atau pusat-pusat. Di antara
ketiganya adalah pusat-pusat yang sangat vital seperti berikut ini
a. Pusat respiratori mengontrol otot-otot respirasi dalam merespon
stimulus kimiawi dan yang lainnya.
b. Pusat kardiak membantu mengatur irama dan kekuatan denyut
jantung.
c. Pusat vasomotor mengatur kontraksi otot-otot polos di dalam dinding
pembuluh darah dan karenanya ikut menentukan tekanan darah.

3. Cerebellum terdiri dari tiga bagian: bagian tengah dan dua hemisfer
lateral. Seperti halnya hemisfer otak, cerebellum (otak kecil) mempunyai
bahan abu-abu di bagian luar dan sebagian besar bahan putih di bagian
dalamnya. Adapun fungsi cerebellum adalah sebagai berikut:
a. Membantu pengkoordinasian otot voluntar sehingga dapat berfungsi
secara lembut dan dalam pola yang teratur. Penyakit cerebellum
menyebabkan kejang-kejang otot dan tremors.
b. Membantu dalam menjaga keseimbangan pada waktu berdiri, berjalan,
dan duduk maupun waktu rnelakukan aktivitas yang lebih giat. Pesanpesan dari telinga bagian internal dan dari reseptor sensorik di tendo
serta otot membantu cerebellum.
c. Membantu di dalam memlihara tonus otot sehingga seluruh serat otot
cukup kencang dan siap menghasilkan perubahan-perubahan posisi
yang penting secepatnya bila diperlukan.
D. ETIOLOGI
Berikut beberapa etiologi Posterior reversible encephalopathy syndrome
(PRES)19:
1. Hipertensi berat
a. post partum
b. eklamsia/preeklamsia
c. glomerulonefritis akut
2. haemolytic uraemic syndrome (HUS)
3. thrombocytopaenic thromboic purpura (TTP)
4. systemic lupus erythematosus (SLE)
5. toksisitas obat

a. cisplatin
b. interferon
c. erythropoietin
d. tacrolimus
e. siklosporin
f. azathioprine
6. transplantasi sumsum tulang atau stem sel
7. sepsis
E. PATOFISIOLOGI
Sindrom ini dapat dipicu oleh berbagai kondisi klinis. Mekanisme ini
tidak dimengerti dengan baik, tetapi diduga berkaitan dengan perubahan
integritas dari sawar darah otak. Dua teori utama telah diusulkan: Pertama,
tekanan darah tinggi: menyebabkan hilangnya autoregulasi, hiperperfusi
dengan kerusakan endotel dan edema vasogenik; kedua, disfungsi endotel:
menyebabkan vasokonstriksi dan hipoperfusi mengakibatkan iskemia serebral
dan edema vasogenik berikutnya19,20
Hipertensi tidak ditemukan atau tidak mencapai batas atas dari
autoregulasi (150-160 mmHg) pada 25% pasien19. Juga, beberapa studi
terbaru telah mencatat kurangnya edema vasogenik pada pasien hipertensi
berat bila dibandingkan dengan pasien normotensi, bertentangan dengan hasil
yang diharapkan jika hipertensi berat dengan gagal autoregulasi adalah
mekanisme di balik PRES20.
F. MANIFESTASI KLINIS
Gejala klinis pada toksisitas yaitu sakit kepala, perubahan penglihatan,
paresis, hemianopsia, mual, dan perubahan status mental. Gejala dapat

berkembang selama beberapa hari atau mungkin hanya dalam kondisi akut.
Umumnya kejang general dan dapat menjadi koma. Pada sekitar 70%-80%
dari pasien, didapatkan hipertensi sedang hingga berat. Tekanan darah
toksisitas adalah normal atau hanya sedikit meningkat pada 20%-30% dari
pasien di eklamsia, allo-BMT, dan sebagian besar dari yang dilaporkan.Studi
dalam preeklamsia / eklamsia dan hasil laboratorium dari cedera endotel
sering didapatkan trombositopenia dan fragmentasi sel darah merah
(pembentukan schistosit, peningkatan laktat dehidrogenase (LDH). Hipertensi
pada preeklamsia berhubungan dengan vasokonstriksi sistemik disertai
pengurangan volume intravaskular dan hemokonsentrasi. Disfungsi ginjal
dengan proteinuria dan hipomagnesemia menyebabkan terjadinya edema
sistemik karena kombinasi dari perubahan fungsi endotel dan berkurangnya
tekanan onkotik. Iskemia hati dapat menyebabkan disfungsi hati dan, ketika
berat, terjadi HELLPsindrom.
Pada infeksi / sepsis / syok akibatPRES, terdapat pola klinis yang konsisten
dengan sindrom respon inflamasi sistemik menyebabkan sindrom disfungsi
beberapa organ (MODS), termasuk perubahan koagulasi(trombositopenia),
fungsi hati (bilirubin meningkat), fungsi ginjal (kreatinin meningkat), fungsi
paru, dan ketidakstabilan kardiovaskular.
Pada pasien post allo-BMT, muncul efek dari penyakit graft-versushost (GVHD) yang diatur oleh supresiimun dengan siklosporin atau
tacrolimus (FK-506). Siklosporin bisa melukai endotel. Pada toksisitas,
disfungsi endotel difus sering didapatkan, disebut " mikroangiopati trombotik
transplantasi sumsum tulang," dengan peningkatan jumlah schistocit
signifikan (melebihi 10% ketika kondisi berat) dan elevasi dari LDH. Suatu
pola MODS dapat terjadi dengan edema sistemik atau edema paru dan
disfungsi hati iskemik, mirip dengan preeklamsia20.
G. DIAGNOSIS

Kombinasi temuan manifestasi klinis dan gambaran radiologi yang


mendukung merupakan kriteria penegakkan diagnosis PRES. Pada studi lain
yang tidak cukup kuat, perbaikan klinis dan gambaran radiologis yang terjadi
setelah pemberian terapi merupakan konfirmasi dan penegakkan diagnosis
PRES. namun demikian, tidak ada pedoman yang valid untuk menegakkan
diagnosis PRES.
1. Manifestasi Klinis13-16,21
manifestasi klinis tipikal pada PRES meliputi gangguan kesadaran,
kejang, sakit kepala, gangguan visual, mual, muntah, dan kelainan
neurologis fokal. gangguan kesadaran pada PRES dapat berupa binggung,
somnolen, letargi, hingga ensepalopati atau koma. gangguan kesadaran
dilaporkan terjadi 13-90% pasien PRES. kejang terjadi hingga mencapai
92% pada pasien PRES. gangguan visual terjadi 26-67% pada pasien
PRES yang terdiri dari 7-18% berupa penglihatan kabur 7-18%, 4-27%
berupa visual neglect, 4-20% berupa hemianopsia homonim, 3-5% berupa
halusinasi visual, dan 3-17% berupa kebutaan akibat kerusakan korteks.
sakit kepala, mual, dan muntah dilaporkan sebesar 26-53% pada pasien
PRES. defisit neurologis fokal tidak banyak dilaporkan, atau hanya
dilaporkan mencapai sebesar 3%.

2. Gambaran Radiologis3
PRES memiliki empat pola gambaran khas radiologis. Hingga saat ini,
PRES dipercaya menunjukkan secara konsisten gambaran radiologis
bilateral dan simetris edema yang berada di sustansia alba dan kebanyakan
terdapat pada lobus parietalis posterior dan ocipitalis. kadang-kadang,
edema terdeskripsikan di lobus frontal, temporal, ganglia basalis atau
serebelum, batang otak, dan di substansia grisea. pada studi yang
melibatkan 136 pasien, bagaimanapun, pola gambaran ini ditemukan
hanya pada 26% dari semua kasus. tiga pola gambaran radiologis
ditemukan pada 99 pasien, dan bentuk inkomplet dari ketiga pola tersebut
terjadi pada 37 pasien sisanya.
a. Holohemispheric watershed pattern (23 %)
sebuah petak konfluen edema vasogenik yang meluas melalui lobus
frontal, parietal, dan oksipital. Keterlibatan lobus temporal kurang
terlihat.
b. Superior frontal sulcus pattern (27 %)

Edema mendominasi di lobus frontal sepanjang sulcus frontalis


superior. Keterlibatan lobus parietal dan oksipital sangat bervariasi.
c. Dominant parietal-occipital pattern (22 %)
Pola ini sebelumnya dianggap khas pada PRES, bagian lobus parietal
posterior dan oksipital terlibat secara dominan dalam gambaran
radiologis. Edema bervariasi sesuai dengan tingkat keparan penyakit.
d. Partial or asymmetric expression of the primary patterns (28 %)
bentuk partial didefinisikan sebagai tidak adanya gambaran edema
yang simetris baik di dalam parietal maupun occipital. lobus frontal
justru sering terlibat. bentuk asimetris ditandai dengan tidak adanya
edema di salah satu hemisfer baik itu di lobus parietal maupun di lobus
occipitalis. intinya, gambaran partial atau asimetris, pada keduanya
tidak ditemukan keterlibatan lobus parietal dan occipital dan keainan
asimetris biasanya melibatkan salah satu lobus parietal atau occipital
di salah satu hemisfer.

3. Gambaran radiologis penyakit-penyakit yang dengan PRES


a. Hipertensi 20, 22

b. Kanker22

c. Gagal Ginjal22

d. Perdarahan Intracranial22

e. Penyakit Autoimun22

f. Kemoterapi Kanker22

g. Transplantasi22

h. Infeksi/Sepsis/Syok20

i. Drug Abuse22

H. PENATALAKSANAAN

Penatalaksanaan umum
Pasien dengan PRES memerlukan tindakan simtomatik biasanya di
ICU. Meskipun kebanyakan pasien memiliki hemodinamik stabil, kadangkadang katekolamin masih diperlukan. Perlunya proteksi saluran napas bagian
atas harus dievaluasi terus menerus pada pasien dengan gangguan kesadaran
atau kejang. Jika intubasi endotrakeal dilakukan, induksi rapid dengan

etomidate dan succinylcholine dapat digunakan, asalkan tidak ada tanda-tanda


hiperkalemia. Propofol atau thiopental juga pilihan yang baik, karena
memiliki efek antikonvulsan. Obat yang menghambat neuromuskular bisa
mengaburkan adanya kejang.
Hipoglikemia harus dicari secara rutin dan dikoreksi. Jika glukosa
diberikan, harus diberikan bersamaan dengan 100 mg tiamin, terutama bila
ada tanda-tanda kekurangan vitamin B1. Pasien harus rutin dievaluasi untuk
hipertermia dan metabolik gangguan, pada hipomagnesemia tertentu, yang
memerlukan koreksi cepat. Pneumonia aspirasi dapat mempersulit gangguan
kesadaran awal.
Pengobatan antiepilepsi, sesuai untuk pola listrik dan klinis pada
pasien, harus dimulai secara darurat dan berdasarkan guideline. Pasien dengan
kejang persisten harus diberi benzodiazepin intravena (clonazepam 1 mg atau
diazepam 10 mg) baik sebelum masuk ICU atau saat di ICU. Dosis dapat
diulang sampai tiga kali. Pasien dengan kejang terus menerus harus menerima
obat antikonvulsan intravena komplementer(fenobarbital 10 sampai 15 mg /
kg, fenitoin 18 mg / kg, atau dosis setara fosphenytoin). Pasien dengan status
epileptikus refrakter perlu midazolam, propofol, atau thiopental dalam dosis
dititrasi sampai remisi dari aktivitas kejang. Ketika EEG memperlihatkan
adanya status epileptikus, obat-obatan anestesi diberikan dalam dosis dititrasi
untuk menginduksi supresi EEG yang kemudian bisa sebagai infus kontinyu
untuk setidaknya 12 jam.
Pengendalian darurat hipertensi, jika ada, merupakan bagian penting
dari manajemen gejala. Tujuannya bukan untuk menormalkan tekanan darah
melainkan untuk menurunkan MAP dengan 20-25% dalam 2 jam pertama dan
untuk menurunkan tekanan darah sampai 160/100 mmHg dalam 6 jam
pertama. Penurunan tekanan darah yang cepat tidak dianjurkan karena dapat
memperburuk perubahan tekanan perfusi cerebral dan memicu iskemia. Obat
antihipertensi intravena sangat diperlukan. Pilihan yang tepat termasuk

labetolol, nicardipine, atau fenoldopam jika tersedia. Urapidil telah disarankan


sebagai obat lini kedua, mungkin jika dikombinasi dengan obat lain.

BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
1. Posterior reversible encephalaopathy syndrome (PRES) adalah kumpulan
gejala nyeri kepala, kebingungan, kejang dan gangguan visus, yang dapat
didiagnosis dengan pemeriksaan MRI berupa hiperintensistas T2 di bagian
posterior hemisfer serebri bilateral
2. Pemeriksaan penunjang yaitu pemeriksaan radiologis berupa Magnetic
Resonance Imaging (MRI) diperlukan untuk membantu menegakkan

diagnosis Posterior reversible encephalaopathy syndrome (PRES)


B. Saran
1. Perlunya studi lebih lanjut untuk menetapkan standarisasi diagnosis
Posterior reversible encephalaopathy syndrome (PRES) yang didasarkan
dari perolehan anamnesis, pemeriksaan fisik maupun pemeriksaan
penunjang seperti pemeriksaan radiologis.
2. Perlunya studi lebih lanjut untuk mendeskripsikan Posterior reversible
encephalaopathy syndrome (PRES) secara mendalam sehingga PRES
memiliki batasan-batasan yang lebih jelas.

DAFTAR PUSTAKA

1. Lim MH, Kim DW, Cho HS, Lee HJ, Kim HJ, Park KJ, et al. Isolated cerebellar
reversible leukoencephalopathy syndrome in a patient with end stage renal
disease. Intern Med 2008;47:43-5.
2. Hinchey J, Chaves C, Appignani B, Breen J, Pao L, Wang A, et al. A reversible
posterior leukoencephalopathy syndrome. N Engl J Med 1996;334:494-500.
3. Kozak OS, Wijdicks EF, Manno EM, Miley JT, Rabinstein AA. Status epilepticus
as initial manifestation of posterior reversible encephalopathy syndrome.
Neurology 2007;69:894-7.
4. Ishikura K, Ikeda M, Hamasaki Y, Hataya H, Nishimura G, Hiramoto R, et al.
Nephrotic state as a risk factor for developing posterior reversible encephalopathy
syndrome in paediatric patients with nephrotic syndrome. Nephrol Dial
Transplant 2008;23:2531-6.
5. Bartynski WS, Boardman JF, Zeigler ZR, Shadduck RK, Lister J. Posterior
reversible encephalopathy syndrome in infection, sepsis, and shock. AJNR Am J
Neuroradiol 2006;27:2179-90.
6. El Karoui K, Le Quintrec M, Dekeyser E, Servais A, Hummel A, Fadel F, et al.
Posterior reversible encephalopathy syndrome in systemic lupus erythematosus.
Nephrol Dial Transplant 2008;23:757-63.
7. Doi Y, Kimura F, Fujiyama T, Fujimura C, Nishina T, Sato T, et al. Hypertensive
brainstem encephalopathy without parietooccipital lesion--two case reports.
Neurol Med Chir (Tokyo) 2006;46:75-9.
8. Alehan F, Erol I, Agildere AM, Ozcay F, Baskin E, Cengiz N, et al. Posterior
leukoencephalopathy syndrome in children and adolescents. J Child Neurol
2007;22:40613.

9. McKinney AM, Short J, Truwit CL, McKinney ZJ, Kozak OS, SantaCruz KS, et al.
Posterior reversible encephalopathy syndrome: incidence of atypical regions of
involvement and imaging ndings. AJR Am J Roentgenol 2007;189:904-12.
10. Bartynski WS (2008) Posterior reversible encephalopathy syndrome, part 1:
fundamental imaging and clinical features. AJNR Am J Neuroradiol 29: 1036
1042
11. Hinchey J, Chaves C, Appignani B, et al (1996) A reversible posterior
leukoencephalopathy syndrome. N Engl J Med 334: 494500
12. Casey SO, Sampaio RC, Michel E, Truwit CL (2000) Posterior reversible
encephalopathy syndrome: utility of fluid-attenuated inversion recovery MR
imaging in the detection of cortical and subcortical lesions. AJNR Am J
Neuroradiol 21: 11991206
13. Lee VH, Wijdicks EF, Manno EM, Rabinstein AA (2008) Clinical spectrum of
reversible posterior leukoencephalopathy syndrome. Arch Neurol 65: 205210
14. Burnett MM, Hess CP, Roberts JP, Bass NM, Douglas VC, Josephson SA (2010)
Presentation of reversible posterior leukoencephalopathy syndrome in patients on
calcineurin inhibitors. Clin Neurol Neurosurg 112: 886889
15. Kozak OS, Wijdicks EF, Manno EM, Miley JT, Rabinstein AA (2007) Status
epilepticus as initial manifestation of posterior reversible encephalopathy
syndrome. Neurology 69: 894897
16. Bartynski WS, Boardman JF (2007) Distinct imaging patterns and lesion
distribution in posterior reversible encephalopathy syndrome. AJNR Am J
Neuroradiol 28: 13201327

17. Bartynski WS, Boardman JF, Zeigler ZR, Shadduck RK, Lister J (2006) Posterior
reversible encephalopathy syndrome in infection, sepsis, and shock. AJNR Am J
Neuroradiol 27: 21792190
18. Covarrubias DJ, Luetmer PH, Campeau NG (2002) Posterior reversible
encephalopathy syndrome: prognostic utility of quantitative diffusion-weighted
MR images. AJNR Am J Neuroradiol 23: 10381048
19. Knipe H, Gaillard F. 2015. Posterior reversible encephalopathy syndrome diakses
dari http://radiopaedia.org/articles/posterior-reversible-encephalopathy-syndrome1 (25 Oktober 2015)
20. Bartynski WS. 2008. Posterior Reversible Encephalopathy Syndrome, Part 1:
Fundamental Imaging and Clinical Features. Pittsburgh: AJNR Am J Neuroradiol
29:103642
21. McKinney AM, Short J, Truwit CL, et al (2007) Posterior reversible
encephalopathy syndrome: incidence of atypical regions of involvement and
imaging findings. AJR Am J Roentgenol 189: 90491
22. Steven CJ, Heran MKS (2012) The many faces of Posterior reversible
encephalopathy syndrome. The British Journal of Radiology 85; 1566-1575

Anda mungkin juga menyukai