Anda di halaman 1dari 32

FAKULTAS KEDOKTERAN UKRIDA

(UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA)


Jl. Arjuna Utara No.6 Kebon Jeruk - Jakarta Barat
KEPANITERAAN KLINIK
STATUS ILMU BEDAH
Hari / Tanggal Ujian / Presentasi Kasus :
RUMAH SAKIT : RSUD Koja, Jakarta Utara
Nama
NIM
Tangan

: Gita Puspitasari
: 11.2014. 147

Tanda

Pembimbing / Penguji : dr. Yusak Kristianto, Sp. B


I.

.........................

IDENTITAS PASIEN

Nama lengkap : Ny. M

Jenis kelamin : Perempuan

Tempat/tanggal lahir : Jakarta, 09/08/83 32 thn

Suku Bangsa : Betawi

Status Perkawinan : Menikah

Agama : Islam

Pekerjaan : ibu rumah tangga

Pendidikan : SMP

Alamat : Jl. H. Ung /44 RT 011/01\4, Utan


panjang, Kemayoran

Tanggal Masuk RS : 03 januari 2016

II. ANAMNESIS
Diambil dari : Autoanamnesis, tanggal: 06 Januari 2016, pukul 11.30 WIB
Keluhan utama :
Nyeri pada perut kanan atas sejak 7 hari SMRS
Riwayat Penyakit Sekarang :
Tujuh hari SMRS, pasien mengeluh nyeri perut kanan atas yang menjalar ke arah
punggung kanan atas. Nyeri yang berpindah di sangkal oleh pasien. Pasien mengatakan
nyeri hilang timbul dan sering terjadi sejak 2 bulan belakangan ini. Nyeri di rasakan
seperti di tusuk-tusuk dengan durasi 5-15 menit setiap kali serangan. Keluhan mual juga
dirasakan sering muncul tanpa di sertai dengan muntah karena masien memiliki riwayat
gastritis sehingga pasien hanya menghiraukannya. Keluhan nyeri yang bertambah sakit
jika batuk atau perubahan posisi, demam, sesak nafas, batu lama, mata kuning, badan

gatal, BAK berwarna kecoklatan atau BAB yang berwarna pucat atau BAB berdarah di
sangkal oleh pasien.
Tiga hari SMRS, pasien mengatakan keluhan nyeri di perut kanan atas semakin hebat
yang menjalar ke punggung kanan atas. Keluhan juga di sertai dengan mual dan muntah.
Frekuensi muntah 5 kali setiap kali muntah, dengan konsistensi cair tidak ada ampas
makanan, warna putih, darah dan lendir tidak ada. Keluhan demam

dan mencret di

sangkal oleh pasien, pasien mengatakan nafsu makannya menurun, namun tidak ada
penurunan berat badan drastis. Pasien di bawa berobat ke puskesmas dan di berikan obat
untuk nyeri dan rasa mual. Setelah pengobatan pasien mengatakan ada perbaikan.
Satu hari SMRS, pasein masih merasa nyeri di perut kanan atas yang semakin hebat dan
di sertai dengan rasa mual dan muntah. Muntah 3 kali setiap kali muntah dengan
konsistensi cair, darah dan lendir tidak ada. Keluahan juga di sertai dengan mata kuning,
air seni yang berwarna seperti teh. Keluhan demam, mencret, BAB yang pucat, gatal di
badan, di sangakal oleh pasien.
Riwayat penyakit dahulu
Os mengakui mempunyai penyakit gastritis sejak 5 tahun yang lalu. Os menyangkal adanya
penyakit terdahulu seperti kencing manis dan hipertensi. Riwayat penyakit hati, alergi obat
dan makanan disangkal.
Riwayat Hidup
Riwayat Kelahiran
Tempat lahir : (-) Di rumah (+) Rumah Bersalin (-) R.S. Bersalin
Ditolong oleh : (-) Dokter (+) Bidan
(-) Dukun

(-) Lain-lain

Kehidupan Berkeluarga dan Perkawinan


Adakah kesulitan :
- Pekerjaan : - Keuangan : - Keluarga :- Lain-lain : Riwayat Imunisasi
(-) Hepatitis (+) BCG
(+) Campak (+) DPT
Kesimpulan: riwayat imunisasi tidak lengkap

Riwayat makanan
Frekuensi/hari : 3x/hari
Jumlah/hari : Porsi cukup (1 piring)

(+) Polio

(-) Tetanus

Variasi/hari : Bervariasi, khususnya makanan berlemak menjadi makanan favorit


Nafsu makan : baik
Penyakit Dahulu (diisi bila ya ( + ), bila tidak ( - ))
(-) Wasir/hemorroid
(-) Appendisitis
(-) Batu ginjal / Saluran kemih
(-) Tumor
(-) Burut (Hernia)
(-) Penyakit prostat
(-) Typhoid
(-) Diare Kronis
(-) Batu empedu
(-) Diabetes mellitus
(-) Tifus abdominalis
(-) Kelainan bawaan
(-) Ulkus Ventrikuli
(-) Colitis
(-) Tuberkulosis
(-) Tetanus
(-) Invaginasi
(-) Hepatitis
(-) Penyakit degeneratif
(-) Fistel
(-) Luka bakar
(-) Struma, tiroid
Lain Lain:
(-) Operasi
(-) Kecelakaan

(-) Penyakit jantung bawaan


(-) Perdarahan Otak
(+) Gastritis
(-) Hipertensi
(-) Penyakit pembuluh darah
(-) ISK
(-) Volvulus
(-) Abses Hati
(-) Patah tulang

Riwayat Keluarga

Kakek (Ayah)
Nenek (Ayah)
Kakek (Ibu)
Nenek (Ibu)
Ayah

Umur
(Tahun )
55 tahun

Ibu

60 tahun

Perempuan

Sehat

Saudara

40 tahun
35 tahun
30 tahun
25 tahun

Laki-laki
Laki-laki
Perempuan
Permpuan

Sehat
Sehat
Sehat

Hubungan

Jenis Kelamin

Keadaan Kesehatan

Laki-laki
Perempuan
Laki-laki
Perempuan
Laki-laki

Meninggal
Meninggal
Meninggal
Meninggal
Sehat

Adakah kerabat yang menderita :


Penyakit
Alergi
Asma
Tuberkulosis
Artritis
Rematisme
Hipertensi
Jantung
Ginjal
Lambung

Ya

Tidak
-

Hubungan

Penyebab
Meninggal
-

II. ANAMNESIS SISTEM


Catat keluhan tambahan positif disamping judul - judul yang bersangkutan
Harap diisi: Bila ya (+), bila tidak (-)
Kulit
(-) Bisul
(-) Kuku

(-) Rambut
(-) Kuning / Ikterus

(-) Keringat malam


(-) Sianosis

Kepala
(-) Trauma

(-) Sakit Kepala

(-) Nyeri pada sinus

(-) Merah

(-) Trauma

(+) Kuning/ikterus

(-) Sekret

(-) Nyeri

(-) Ketajaman penglihatan

Mata

Telinga
(-) Nyeri

(-) Gangguan pendengaran

(-) Sekret

(-) Tinitus

Hidung
(-) Rhinnorhea

(-) Trauma

(-) Epistaksis

(-) Nyeri

(-) Tersumbat

(-) Benda asing/foreign body

(-) Sekret

(-) Gangguan penciuman

Mulut
(-) Bibir

(-) Lidah

(-) Gusi

(-) Mukosa

Tenggorokan
(-) Nyeri tenggorokan

(-) Perubahan suara

Leher
(-) Benjolan

(-) Nyeri leher

Thorax (Cord dan Pulmo)


(-) Sesak napas

(-) Nyeri dada

(-) Batuk darah

(-) Batuk

(-) Mengi

(-) Berdebar-debar

Abdomen (Lambung/Usus)
(+) Mual

(-) Tinja berdarah

(-) Konstipasi

(-) Nyeri epigastrium


(-) Diare
(-) Tinja berwarna dempul (+) Muntah
(+) Nyeri kolik, di hipkondrium kanan

(-) Benjolan

Saluran kemih/Alat kelamin


(-) Disuria

(-) Hematuria

(-) Kolik

(-) Hesistancy

(-) Nokturia

(-) Retensio urin

(-) Kencing batu

(-) Urgency

Katamenia
(-) Leukore

(-) Perdarahan

(-) Lain lain

Haid
Kapan haid terakhir (sudah tidak menstruasi)
(-) Nyeri

(-) Gejala klimakterium

(-) Gangguan haid

(-) Pasca menopause

Saraf dan otot


(-) Riwayat Trauma

(-) Nyeri

(-) Bengkak

Ekstremitas
(-) Bengkak
(-) Nyeri

(-) Deformitas
(-) Sianosis

BERAT BADAN
Berat badan rata-rata (Kg) : 55 kg
Berat badan tertinggi (Kg) : 58 kg
Berat badan sekarang: (-) Tetap
(+) Turun

(-) Naik

III. STATUS GENERALIS


Keadaan umum : tampak sakit berat
Kesadaran : compos mentis
Tanda-tanda vital :
TD : 110/70 mmHg HR : 80x/menit

RR : 18x/menit

Kepala
Mata
Telinga
Hidung
Tenggorokan

Suhu : 36,5C

: tidak ada deformitas


: pupil isokor, konjungtiva anemis negatif, sklera ikterik +/+
: meatus aurikula eksterna lapang, sekret -/: sekret -/: T1 T1 tenang, faring tidak hiperemis

Leher

: kelenjar getah bening dan kelenjar tiroid tidak teraba membesar

Thoraks
Paru-paru :
Inspeksi : kedua paru simetris pada keadaan statis dan dinamis
Palpasi : tidak ada nyeri tekan di seluruh lapang paru
Perkusi : sonor di kedua lapang paru
Auskultasi : suara nafas vesikuler, ronkhi negatif, wheezing negatif
Jantung
Inspeksi : iktus kordis tidak terlihat
Palpasi : tidak ada nyeri tekan
Perkusi : jantung dalam batas normal
Auskultasi : BJ I dan II reguler, gallop negatif, murmur negatif
Abdomen
Inspeksi : datar
Palpasi : terdapat nyeri tekan pada hipokondrium kanan. Murphy sign (+)
Hati : tidak ada pembesaran
Limpa : tidak ada pembesaran
Ginjal : ballotemen negatif, nyeri ketok CVA negatif
Perkusi : timpani pada seluruh lapang perut
Auskultasi : bising usus positif , normoperistaltik
Alat Kelamin (atas indikasi)
Wanita
Fluor albus/darah

: tidak dilakukan

Colok Dubur(atas indikasi)


Tidak dilakukan
Ekstremitas (lengan & tungkai)
Tonus : normotonus
Massa : normal
Sendi : normal
Kekuatan
+5
+5
Edema

+5

+5

sianosis

Refleks
Refleks Tendon
Bisep
Trisep
Patella
Achiles
Kremaster
Kulit
Refleks Patologis

Kanan
Tidak diperiksa
Tidak diperiksa
Tidak diperiksa
Tidak diperiksa
Tidak diperiksa
Tidak diperiksa
Tidak diperiksa
Tidak diperiksa

Kiri
Tidak diperiksa
Tidak diperiksa
Tidak diperiksa
Tidak diperiksa
Tidak diperiksa
Tidak diperiksa
Tidak diperiksa
Tidak diperiksa

IV. STATUS LOKALIS

Inspeksi

: tidak terdapat hiperemis di bagian perut ataupun benjolan, supel.

Palpasi

: nyeri tekan positif pada epigastrium, hipokokndrium kanan. Murphy sign (+).

Perkusi

: timpani di seluruh lapang perut

Auskultasi

: bising usus positif, normoperistaltik

V. PEMERIKSAAN PENUNJANG
LABORATORIUM

Pemeriksaan ini di lakukan pada tanggal 03 januri 2016 , pukul 17.05 WIB
HEMATOLOGI
Darah Lengkap
Hemoglobin

12,8 g/dl

12.5-16.0

Leukosit

701 X 1000/L

4.00-10.50

Hematokrit

37,5%

37.0-47.0

Trombosit

309 X 1000/L

182-369

PT

10,4 detik*

9.9-11.8

APTT

27,7 detik

31.0-47.0

Natrium (Na)

140 mEq/L*

135-147

Kalium (K)

3,18 mEq/L

3.5-5.0

Klorida (Cl)
SGOT (AST)
SGPT (ALT)

102 mEq/L
18 u/L
49 u/L

96-108
< 32
< 33

Ureum

16,2 mg/dl

16.6-48.5

HEMOSTASIS

KIMIA KLINIK
Elektrolit

Kreatinin

1,08 mg/dl*

0.51-0.95

Pemeriksaan USG abdomen dilakukan tanggal 14 Desember 2015


Hati
: ukuran normal, sudut tajam, tepi rata, intensitas echo parenkim normal, tak
tapak pelebalan IHBD/EHBD, vena porta dan vena hepatika normal, tidak
tampak massa/ nodul/ kista
GB
: ukuran normal, tak tampak massa atau penebalan dinding, tampak batu
multipel ukuran terbesar 1,61 cm, tampak sludge
Pankreas
: ukuran normal, intensitas echo parenkim normal, tak tampak pelebaran
ductus pancreaticus, tak tampak massa/ kista/ kaslifikasi
Lien
: ukuran normal, intensitas echo parenkim normal, tak tampak massa/ kista/
kaslifikasi
Renal ka-ki : ukuran normal, intensitas echo parenkim normal, batas sinus cortex normal,
tak tampak ekstasi system pelviocaliceal, tak tampak massa/ kista/ kaslifikasi
Vesica urinaria : buli cukup, tak tamapk penebalan dinding, tak tampak batu atu massa, tak
tampak intensitas eho cairan bebas ekstraluminal di cavum abdomen
Tak tampak tanda-tanda cairan bebas intraabdominal dan pembesaran kelenjar getah bening
paraaorta.
Kesan : kolelithiasis dan sludge GB

Saat ini hepar/ pankreas/lien/renal dextra dan sisnistra/vesika urinaria tak tampak kelainan
VI. RINGKASAN (RESUME)
Wanita, 32 tahun datang dengan nyeri perut kanan atas yang menjalar ke arah punggung
kanan atas sejak 7 hari SMRS. Nyeri dirasakan hilang timbul dan sering terjadi
sebelumnya selama 2 bulan belakangan ini. Keluhan mual dan muntah juga sering
muncul, muntah terjadi 5 kali setiap kali muntah dengan konsistensi cair tidak ada ampas
maakanan. Keluhan demam di sangkal oleh pasien. Pasien juga mengatakan mata menjadi
kunign serta BAK menjadi berwarna seperti teh pekat, tetapi keluhan BAB dempul atau
BAB berdarah disangkal. Pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum; tampak sakit
sedang, kesadaran compos mentis, nyeri tekan hipokondrika kanan (+), murphy sign
(+),bising usus (+) normoperistaltik. Pada pemeriksaan penunjang, didapatkan SGPT (ALT)
: 49 U/L Kesan USG abdomen : kolelithiasis mutipel dengan sludge GB, hepar/pankreas/lien
normal, renal/vesica urinaria normal.
VII. DIAGNOSIS KERJA
Kolesistolithiasis
Dasar Diagnosis :
Dalam kasus ini, Ny. M 32 tahun dengan diagnosis kerja kolesistolithiasis. Diagnosis di
tegakan berdasarkan anamnesis, pemerikisaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Pada
anamnesis di temukan pasien datang dengan keluhan utama nyeri perut kanan atas sejak 7
hari SMRS. Keluhan nyeri telah timbul sejak 2 bulan SMRS. Pertama kali pasien datang
dengan keluhan nyeri perut kanan atas kita dapat menduga beberapa kondisi yaitu adanya
gangguan pada hepar, kandung empedu. Pasien juga mengeluh adanya BAK yang berwarna
seperti teh. Keluhan ini khas ditemukan pada gangguan sistem bilier. Namun gangguan yang
sifatnya intra atau ekstrahepatik belum dapat diketahui. Untuk gangguan prehepatik dapat
disingkirkan karena pada gangguan prehepatik tidak dapat menyebabkan keluhan ini yang
mana unconjugated bilirubin tidak memberikan warna pada urin. Umumnya pada kondisi
ikterus obstruktif, dapat ditemukan BAB berwarna seperti dempul. Obstruksi saluran empedu
dapat menghambat bilirubin yang memberi warna pada feses sehingga bila terhambat
menyebabkan warna dempul pada feses. Warna BAB yang normal pada pasien bisa jadi
disebabkan obstruksi yang ditimbulkan oleh batu tidak cukup besar dan tidak terfiksasi
sehingga empedu masih bisa mengalir. Pada pasien tidak ada gejala prodromal seperti demam

yang biasanya dialami oleh penderita hepatitis, tidak ada gejala muntah darah, BAB warna
hitam, sehingga adanya gangguan pada hepar dari anamnesis dapat disingkirkan.
Pada pemeriksaan fisik di dapatkan status gizi lebih yang secara epidemiologis merupakan
faktor resiko dari batu empedu. Pada pemeriksaan mata di dapatkan skelra ikterik pada kedua
mata , kemungkinan hal ini terjadi oelh karena peningkatan kadar bilirubin meskipun pada
pemeriksaan penunjang belum di lakukan. Selain itu di temukan nyeri tekan pada kuadran
hipokondrium kanan. Pada kolesistilithiasis didaptkan nyeri tekan dengan ounktum maksimal
di daerah letah anatomis kandung empedu. Murphy sign di temukan positif pada pasi ini.
Tanda murphy sign positif apabila nyeri tekan bertambah sewaktu pasien menarik nafas
karena kandung empedu yang meradang akan teresentuk ujung jari tangan pemeriksa dan
pasien akan berhenti menarik nafas. Namun pada pemeriksaan fisik hepar dan lien tidak
teraba.
Pada pemeriksaan laboratorium di temukan peningkatan kadar SGPT 49 U/L, dan pada USG
abdomen di dapatksn kesan kolelithiasis.
Berdasrkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang pada pasien ini dapat
di tegakan diagfnosis kelosistolithiasis. Pada pasien ini di lakukan tatalaksana berupa
laparasakopo kolesistektomi. Prognosis pasien in ada vitam bonam, ad functionam dubia ad
bonam, dan ad sanatoinam ad bonam.

VIII. PENATALAKSANAAN
Periapan pre operasi
Surat izin operasi
Puasa 6-8 jam
Siapkan PRC 300 cc
Medikamentosa :
a) IVFD Futrolit 500 ml 1 kolf, 20 tetes per menit
b) Omperazol 2 x 1 amp (IV)
c) Ranitidin 2 x 1 amp (IV)
d) Dipyrone 3 x 1 amp (IV)
Non Medikamentosa
a) Tirah baring atau bed rest
b) Diet biasa rendah lemak

c) Rencana operasi
Laporan pembedahan tanggal 05 januari 2016 ( lama 1,5 jam)

Posisi pasien supine dalam general anestesi


Insisi subcostal 2 jari di bawah arcus costa
Menembus cutis subcutis- fasia otot peritoneum
Identifikasi tampak hydrops gall bladder
Dilakukan pmebedahan gall bladder dan bed liver (Top-Down)
Identifikasi ductus dan a sistika, ligasi dan di potong
Cuci luka atau cavum abdomen , pasang spongastan 2 buah dari bed liver
Luka operasi di tutup lapis demi lapis, pasang drain 1 buah pada subhepatik
Operasi selesai

Instruksi post operasi

Awasi T,N,R,S
IVFD RL 1500 cc/ 24 jam, 20 tpm
Ampicilin + sulbactam 4x 1,5gr (IV)
Dipyrone 3 x 1 amp (IV)
Ranitidin 2 x 1 amp. (IV)
Omeprazole 3 x 1 amp (IV)

Diet biasa rendah lemak bila sadar penuh


Awasi produksi drain/hari
Jaringan periksa di PA

Edukasi
a) Menjelaskan kepada pasien tentang nyeri yang terdiagnosis kolesistolithiasis tentang
penyakit tersebut, dan tatalaksana kedepannya untuk dirujuk.
b) Menjelaskan kepada pasien untuk istirahat
c) Menjelaskan kepada pasien untuk mengkonsumsi gizi yang rendah lemak,
dikarenakan adanya peradangan kandung empedu
IX. PROGNOSIS
Ad vitam

: bonam

Ad fungsionam

: bonam

Ad sanationam

: bonam

Tinjauan Pustaka
DEFINISI
Kolelitiasis disebut juga sinonimnya adalah batu empedu, gallstones, billary
calculus. Istilah kolelitiasis dimaksudkan untuk pembentukan batu di dalam kandung
empedu. Batu kandung empedu merupakan gabungan beberapa unsur yang membentuk suatu
material mirip batu yang terbentuk di dalam kandung empedu. Kolelitiasis atau batu empedu

merupakan gabungan dari beberapa unsur yang membentuk suatu material yang menyerupai
batu yang dapat ditemukan dalam kandung empedu (kolesistolitiasis) atau di dalam saluran
empedu (koledokolitiasis) atau pada kedua-duanya. Oleh karena itu gambaran klinis penderita
batu kandung empedu bervariasi dari yang berat atau jelas sampai yang ringan atau samar
bahkan seringkali tanpa gejala (silent stone). 1

Gambar 1. Lokasi Batu empedu


EPIDEMIOLOGI
Insiden kolelitiasis di negara barat adalah 20% sedangkan angka kejadian di Indonesia
tidak berbeda jauh dengan negara lain di Asia Tenggara. Peningkatan insiden batu empedu
dapat dilihat dalam kelompok resiko tinggi yang disebut 5 Fs : female (wanita), fertile
(subur)-khususnya selama kehamilan, fat (gemuk), fair, dan forty (empat puluh tahun). 1
Tiap tahun 500.000 kasus baru dari batu empedu ditemukan di Amerika Serikat.
Kasus tersebut sebagian besar didapatkan di atas usia pubertas, sedangkan pada anak-anak
jarang. Orang gemuk ternyata mempunyai resiko tiga kali lipat untuk menderita batu empedu.
Insiden pada laki-laki dan wanita pada batu pigmen tidak terlalu banyak. Avni Sali
membuktikan bahwa diet tidak berpengaruh terhadap pembentukan batu, tetapi secara tidak
langsung mempengaruhi jenis batu yang terbentuk. Hal ini didukung oleh peneliti dari Jepang
yang menemukan bukti bahwa orang dengan diet berat biasanya menderita batu jenis
kolesterol, sedangkan yang dietnya tetap biasanya menderita batu jenis pigmen. Faktor
keluarga juga berperan dimana apabila keluarga menderita batu empedu kemungkinan resiko
untuk menderita penyakit tersebut dua kali lipat dari orang normal.2

ANATOMI KANDUNG EMPEDU


Kandung empedu merupakan kantong berbentuk bulat lonjong seperti buah
alpukat dengan panjang sekitar 4-6 cm dan berisi 30-60 ml empedu. Kandung empedu
terletak tepat dibawah lobus kanan hati. Kandung empedu terdiri atas fundus, korpus,
infundibulum, dan kolum. Fundus berbentuk bulat dan biasanya menonjol dibawah pinggir
inferior hepar, dimana fundus berhubungan dengan dinding anterior abdomen setinggi ujung
tulang rawan costa IX kanan. 3
Empedu dibentuk oleh sel-sel hati dan ditampung di dalam kanalikuli. Kemudian
disalurkan ke duktus biliaris terminalis yang terletak di dalam septum inter lobaris. Saluran
ini kemudian keluar dari hati sebagai duktus hepatikus kanan dan kiri. Kemudian keduanya
membentuk duktus biliaris komunis. Pada saluran ini sebelum mencapai duodenum terdapat
cabang ke kandung empedu yaitu duktus sistikus yang berfungsi sebagai tempat
penyimpanan empedu sebelum disalurkan ke duodenum. Duktus hepatikus bergabung dengan
duktus sistikus membentuk duktus koledokus. 3

Gambar 2. Anatomi sistem hepatobilier


Pembuluh arteri kandung empedu adalah a. cystica, cabang a. hepatica kanan. V.
cystica mengalirkan darah langsung kedalam vena porta. Sejumlah arteri yang sangat kecil
dan vena vena juga berjalan antara hati dan kandung empedu. Pembuluh limfe berjalan
menuju ke nodi lymphatici cysticae yang terletak dekat collum vesica fellea. Dari sini,
pembuluh limfe berjalan melalui nodi lymphatici hepaticum sepanjang perjalanan a. hepatica
menuju ke nodi lymphatici coeliacus. Saraf yang menuju kekandung empedu berasal dari
plexus coeliacus. 3

FISIOLOGI KANDUNG EMPEDU


a. Pembentukan dan Komposisi Empedu
Hati memproduksi empedu dan mengekskresikannya ke kanalikuli empedu. Pada
dewasa normal, saat mengkonsumsi makanan menyebabkan produksi empedu di hati
sekitar 500 1000 mL empedu per harinya. Sekresi dari empedu merupakan respon
terhadap rangsangan neurogenik, humoral, dan kimia. Stimulasi vagal meningkatkan
sekresi empedu, yang mana rangasangan terhadap n. splanknikus menyebabkan
penurunan aliran empedu. HCL yang ikut berperan dalam proses pencernaan protein, dan
asam lemak, di duodenum menstimulasi pelepasan sekretin dari duodenum yang
kemudian meningkatkan produksi dan aliran empedu. Aliran empedu dari hati melalui
duktus hepatikus, yang kemudian memasuki duktus hepatikus komunis, melalui duktus
koledokus, yang berakhir di duodenum. Dengan sfingter Oddi yang intak, aliran empedu
akan langsung ke kandung empedu. 3
Empedu terdiri atas air, elektrolit, garam empedu, protein, lipid, dan pigmen
empedu. Konsentrasi natrium, kalium, kalsium, dan klorin di empedu sama dengan di
plasma atau cairan ekstraselular. pH empedu hepatic biasanya netral atau sedikit lebih
basa, tetapi dengan diet yang bevariasi menyebabkan peningkatan protein di empedu
sehingga

pH

menjadi

lebih

asam.

Garam

empedu

primer,

cholate,

dan

chenodeoxycholate,disintesis dari kolesterol pada hati, kemudian dikonjugasikan dengan


taurin dan glisin, yang pada empedu bertindak sebagai anion (asam empedu) yang
diseimbangkan oleh natrium. Garam empedu diekskresikan ke empedu oleh hepatosit dan
turut dalam proses pencernaan dan absorbsi lemak di usus. Di usus, sekitar 80 % dari
asam empedu yang terkonjugasi diabsorbsi di ileum terminal, sisanya kemudian
didehidrooksilasi (dekonjugasi) oleh bakteri usus, membentuk asam empedu sekunder
deoxycholate dan lithocholate yang diabsorbsi di kolon, kemudian dibawa kembali ke
hati, dikonjugasikan, dan disekresikan ke empedu. Sekitar 95 % dari asam empedu
direabsorbsi dan kembali ke hepar melalui sistem vena portal, sehingga disebut sebagai
sirkulasi enterohepatik. Lima persen diekskresikan ke feses. 3
Sintesis kolesterol dan fosfolipid di hepar merupakan prinsip sehingga lipid dapat
ditemukan pada empedu. Warna dari empedu berhubungan dengan pigmen bilirubin
diglukuronida, yang merupakan produk metabolik dari hemoglobin, dengan konsentrasi

pada empedu 100 kali lebih tinggi dibanding pada plasma. Di usus, bakteri kemudian
mengkoversinya ke dalam urobilinogen. 3
b. Fungsi Kandung Empedu
Kandung empedu, duktus bilier, dan sfingter Oddi bersama sama bekerja untuk
menyimpan dan mengatur aliran empedu. Fungsi utama dari kandung empedu adalah
untuk mengatur kadar dan menyimpan empedu hepar dan dan membawa empedu ke
duodenum sebagai respon terhadap makanan. 3
-

Absorbsi dan Sekresi


Pada kondisi puasa, sekitar 80 % dari empedu disekresikan oleh hati yang
disimpan di kandung empedu. Proses penyimpanan tersebut dapat terjadi karena
adanya kapasitas absortif dari kandung empedu, yang mana mukosa kandung empedu
memiliki kekuatan absorbsi per unit area dari tiap struktur. Kandung empedu dengan
cepat mengabsorbsi natrium, klorida, dan air yang menyebabkan perubahan
komposisi empedu. Absorbsi yang cepat ini merupakan salah satu mekanisme dalam
mencegah peningkatan tekanan pada sistem bilier pada kondisi di bawah normal.
Relaksasi yang bertahap pengosongan empedu selama keadaan puasa juga berperan
penting dalam memelihara tekanan intraluminal agar relative rendah pada saluran
bilier. 3
Sel sel epitel dari kandung empedu mensekresikan 2 produk yang penting ke
lumen kandung empedu yaitu glikoprotein dan hydrogen. Kelenjar kelenjar pada
mukosa infundibulum dan leher dari kandung empedu mensekresikan mucus
glikoprotein yang diyakini melindungi mukosa dari efek litik empedu dan
memfasilitasi aliran empedu melewati duktus sistikus. Mucus ini memberikan warna
putih pada empedu yang dapat ditemukan pada kondisi hidrop kandung empedu
akibat dari obstruksi duktus sistikus. Transport ion hydrogen olehh epitel kandung
empedu menyebabkan penurunan pH dari empedu. Kondisi asam menyebabkan
pemadatan kalsium sehingga kondisi pH yang turun mencegah terbentuknya
presipitasi garam kalsium. 3

Aktivitas Motorik

Pengisian kandung empedu difasilitasi oleh kontraksi tonik dari sfingter Oddi,
yang menciptakan gradient tekanan antara duktus bilier dan kandung empedu. Selama
fase puasa kandung empedu tidak terisi secara pasif. Sehubungan dengan fase II dari
proses pencernaan berupa pergerakan dari kompleks motorikk myenterik pada usus,
kandung empedu secara berulang mengeluarkan sejumlah empedu ke duodenum.
Proses ini dimediasi oleh hormone motilin. Sebagai respon terhadap makanan,
pengosongan kandung empedu merupakan koordinasi respon motorik dari kontraksi
kandung empedu dan relaksasi sfingter Oddi. Salah satu stimulus yang paling
berperan dalam pengosongan kandung empedu adalah hormone kolesistokinin (CCK)
yang dilepaskan oleh mukosa duodenum sebagai respon terhadap makanan. Ketika
terdapat rangsang makanan, kandung empedu mengeluarkan 50 70 % isinya dalam
waktu 30 40 menit. Dalam 60 90 menit kandung empedu kemudian terisi kembali
secara bertahap. Hal ini berhubungan dengan berkurangnya kadar CCK. Hormone dan
jalur neural lain juga berperan dalam koordinasi kandung empedu dan sfingter Oddii.
Defek pada aktivitas motorik kandung empedu berperan dalam nukleasi kolesterol
dan pembentukan batu kandung empedu. 3
-

Regulasi Neurohormonal
Saraf vagus menstimulasi kontraksi dari kandung empedu, dan saraf simpatis
splanikus menghambat aktivitas tersebut. Obat obat parasimpatomimetik
menyebabkan kontraksi kanduung empedu, sedangkan atropine menyebabkan
relaksasi. Secara neural, lengkung refleks pada sfingter Oddi dengan kandung
empedu, lambung, dan duodenum mengkoordinasikan aliran empedu ke duodenum.
Distensi antrum pada lambung menyebabkan kontraksi kandung empedu dan relaksasi
sfingter Oddi. 3
Reseptor reseptor hormonal terletak pada otot polos, pembuluh darah, saraf,
dan epitel kandung empedu. CCK merupakan hormone peptide yang berasal dari sel
epitel saluran cerna bagian atas dan ditemukan dalam konsentrasi yang sangat tinggi
pada duodenum. CCK dilepaskan ke pembuluh darah oleh asam, lemak, asam amino
pada duodenum. Waktu paruh CCK dalam plasma 2 3 menit dan dimetabolisme
oleh hati dan ginjal. CCK secara langsung bekerja pada reseptornya di otot polos
kandung empedu dan menstimulasi kontraksi kandung empedu. CCK juga
menyebabkan relaksasi dari bagian terminal duktus bilier, sfingter Oddi, dan

duodenum, stimulasi CCK pada kandung empedu dan saluran bilier juga dimediasi
oleh saraf vagus kolinergik. Pada pasien yang telah melakukan vagotomi, respon
terhadap CCK berkurang dan ukuran serta volume kandung empedu meningkat. 3
VIP menghambat kontraksi dan menyebabkan relaksasi kandung empedu.
Somatostatin dan analognya merupakan inhibitor yang poten terhadap kontraksi
kaandung empedu. Pasien yang mendapat terapi analog somatostatin dan dengan
somatostatinoma memiliki insidensi yang tinggi terhadap batu kandung empedu,
sehubungan dengan inhibisi kontraksi kandung empedu. Hormone lain seperti
substansi P dan enkefalin berpengaruh terhadap kontraksi kandung empedu namun
mekanismenya belum jelas. 3
c. Sfingter Oddi
Sfingter Oddi mengatur aliran empedu (dan produk pankreas) ke duodenum,
mencegah regurgitasi isi duodenum ke saluran bilier, dan empedu ke kandung empedu.
Sfingter Oddi memiliki struktur yang kompleks yang berfungsi independen dari otot
duodenum dan meciptakan tekanan yang tinggi antara duktus bilier dan duodenum.
Sfingter Oddi memiliki panjang 4 6 mm dan memiliki tekanan basal sekitar 13 mmHg
di atas tekanan duodenum. Pada manometri, sfingter menunjukkan kontraksi fasik dengan
frekuensi 4 kali per menit dan amplitudo 12 140 mmHg. Sfingter secara primer
mengontrol pengaturan aliran empedu. Relakksasi terjadi bila terdapat peningkatan CCK,
yang menyebabkan berkurangnya amplitude kontraksi fasik dan mengurangi tekanan
basal, sehingga terjadi peningkatan aliran empedu ke duodenum (Gambar 4). Selama
kondisi puasa, aktivitas sfingter Oddi dikoordinasikan dengan pengosongan kandung
empedu parsial periodic dan peningkatan aliran empedu yang terjadi selama fase III
kompleks mioelektrik. 3

Gambar 3. Efek CCK pada kandung empedu dan sfingter Oddi. A. Kondisi puasa, kontraksi sfingter Oddi dan
pengisian kandung empedu. B. Respon terhadap makanan, sfingter Oddi relaksasi dan pengosongan kandung
empedu.

FAKTOR RISIKO
Kolelitiasis paling sering terjadi pada wanita, terutama pada wanita dengan
multiparitas, konsumsi pil KB, obesitas, berat badan kurang, dan peningkatan trigliserida
serum. Diet memegang peran yang penting terhadap supersaturasi kolesterol. Batu kolesterol
tidak terjadi pada vegetarian. Batu kolesterol paling sering terjadi pada populasi yang
mengikuti diet Barat yang mengandung lemak hewani yang tinggi. Insidensi kolelitiasis juga
meningkat pada pasien DM yang kemungkinan disebabkaan oleh perubahan pada fungsi
motorik ataupun absorbsi pada kandung empedu. Kolelitiasis juga dapat terjadi pada keluarga
tertentu, namun faktor gentik yang mendasarinya belum dapat dijelaskan. Beberapa data
menunjukkan bahwa faktor genetik sekitar 30 % berpengaruh terhadap kolelitiasis,
sedangkan faktor lingkungan memiliki persentase 70 %, yang mana diet merupakan faktor
lingkungan yang utama.4
Kondisi puasa yang lama, reseksi ileum, vagotoomi, kondisi hemolitik, dan sirosis
merupakan faktor risiko tambahan, dan mayoritas menyebabkan pembentukan battu oigmen
hitam. Stasis duktus bilier, kista CBD, pancreatitis kronik, kolangitis sklerosis, dan
divertikkel perivaterian duodenal merupakan faktor risiko primer terhadap pembentukan batu
pigmen coklat.4

Tabel 1. Faktor Risiko Kolelitiasis


Faktor Risiko Kolelitiasis
Obesitas *
Kehamilan
Multiparitas
Wanita
Obat obatan : ceftriaxone, estrogen postmenopause
Diet
Penyakit ileum, reseksi atau by pass
Peningkatan usia
*
Obesitas didefinisikan sebagai IMT > 30 kg/m2
PATOFISIOLOGI
Pembentukan batu empedu dibagi menjadi tiga tahap: (1) pembentukan empedu yang
supersaturasi, (2) nukleasi atau pembentukan inti batu, dan (3) berkembang karena
bertambahnya pengendapan. Kelarutan kolesterol merupakan masalah yang terpenting dalam
pembentukan semua batu, kecuali batu pigmen. Supersaturasi empedu dengan kolesterol
terjadi bila perbandingan asam empedu dan fosfolipid (terutama lesitin) dengan kolesterol
turun di bawah harga tertentu. Secara normal kolesterol tidak larut dalam media yang
mengandung air. Empedu dipertahankan dalam bentuk cair oleh pembentukan koloid yang
mempunyai inti sentral kolesterol, dikelilingi oleh mantel yang hidrofilik dari garam empedu
dan lesitin. Jadi sekresi kolesterol yang berlebihan, atau kadar asam empedu rendah, atau
terjadi sekresi lesitin, merupakan keadaan yang litogenik. 1,2,4
Pembentukan batu dimulai hanya bila terdapat suatu nidus atau inti pengendapan
kolesterol. Pada tingkat supersaturasi kolesterol, kristal kolesterol keluar dari larutan
membentuk suatu nidus, dan membentuk suatu pengendapan. Pada tingkat saturasi yang lebih
rendah, mungkin bakteri, fragmen parasit, epitel sel yang lepas, atau partikel debris yang lain
diperlukan untuk dipakai sebagai benih pengkristalan. 1,2,4
MANIFESTASI KLINIS
Batu empedu mungkin tidak menimbulkan gejala selama berpuluh tahun, 70% hingga
80% pasien tetap asimtomatik seumur hidupnya. Penderita batu empedu sering mempunyai
gejala-gejala kolestitis akut atau kronik. Bentuk akut ditandai dengan nyeri hebat mendadak
pada abdomen bagian atas, terutama ditengah epigastrium. Lalu nyeri menjalar ke punggung
dan bahu kanan (Murphy sign). Pasien dapat berkeringat banyak dan berguling ke kanan-kiri
saat tidur. Nausea dan muntah sering terjadi. Nyeri dapat berlangsung selama berjam-jam
atau dapat kembali terulang. 1,2,4

Gejala-gejala kolesistitis kronik mirip dengan fase akut, tetapi beratnya nyeri dan
tanda-tanda fisik kurang nyata. Sering kali terdapat riwayat dispepsia, intoleransi lemak,
nyeri ulu hati atau flatulen yang berlangsung lama. Setelah terbentuk, batu empedu dapat
berdiam dengan tenang dalam kandung empedu dan tidak menimbulkan masalah, atau dapat
menimbulkan komplikasi. Komplikasi yang paling sering adalah infeksi kandung empedu
(kolesistitis) dan obstruksi pada duktus sistikus atau duktus koledokus. Obstruksi ini dapat
bersifat sementara, intermitten dan permanent. Kadang-kadang batu dapat menembus dinding
kandung empedu dan menyebabkan peradangan hebat, sering menimbulkan peritonitis, atau
menyebakan ruptur dinding kandung empedu. 1,2,4

DIAGNOSIS

Anamnesis
Setengah sampai duapertiga penderita kolelitiasis adalah asimtomatis. Keluhan yang
mungkin timbul adalah dispepsia yang kadang disertai intoleran terhadap makanan berlemak.
Pada yang simtomatis, keluhan utama berupa nyeri di daerah epigastrium, kuadran kanan atas
atau perikomdrium. Rasa nyeri lainnya adalah kolik bilier yang mungkin berlangsung lebih
dari 15 menit, dan kadang baru menghilang beberapa jam kemudian. Timbulnya nyeri
kebanyakan perlahan-lahan tetapi pada 30% kasus timbul tiba-tiba. 1,2,4
Penyebaran nyeri pada punggung bagian tengah, skapula, atau ke puncak bahu,
disertai mual dan muntah. Lebih kurang seperempat penderita melaporkan bahwa nyeri
berkurang setelah menggunakan antasida. Kalau terjadi kolelitiasis, keluhan nyeri menetap
dan bertambah pada waktu menarik nafas dalam. 1,2,4
Pemeriksaan Fisik
1. Batu kandung empedu
Apabila ditemukan kelainan, biasanya berhubungan dengan komplikasi, seperti
kolesistitis akut dengan peritonitis lokal atau umum, hidrop kandung empedu, empiema
kandung empedu, atau pankretitis. Pada pemeriksaan ditemukan nyeri tekan dengan punktum
maksimum didaerah letak anatomis kandung empedu. Tanda Murphy positif apabila nyeri
tekan bertambah sewaktu penderita menarik nafas panjang karena kandung empedu yang
meradang tersentuh ujung jari tangan pemeriksa dan pasien berhenti menarik nafas. 1,2,4
2. Batu saluran empedu
Baru saluran empedu tidak menimbulkan gejala dalam fase tenang. Kadang teraba
hati dan sklera ikterik. Perlu diketahui bahwa bila kadar bilirubin darah kurang dari 3 mg/dl,
gejala ikterik tidak jelas. Apabila sumbatan saluran empedu bertambah berat, akan timbul
ikterus klinis. 1,2,4
Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan laboratorium
Batu kandung empedu yang asimtomatik umumnya tidak menunjukkan kelainan pada
pemeriksaan laboratorium. Apabila terjadi peradangan akut, dapat terjadi leukositosis.
Apabila terjadi sindroma mirizzi, akan ditemukan kenaikan ringan bilirubin serum akibat
penekanan duktus koledukus oleh batu. Kadar bilirubin serum yang tinggi mungkin
disebabkan oleh batu di dalam duktus koledukus. Kadar fosfatase alkali serum dan mungkin
juga kadar amilase serum biasanya meningkat sedang setiap setiap kali terjadi serangan akut.
1,2,4

Penyaringan bagi penyakit saluran empedu melibatkan penggunaan banyak tes


biokimia yang menunjukkan disfungsi sel hati yaitu yang dinamai tes fungsi hati. Bilirubin
serum yang difraksionasi sebagai komponen tak langsung dan langsung dari reaksi Van den
bergh, dengan sendirinya sangat tak spesifik. Walaupun sering peningkatan bilirubin serum
menunjukkan kelainan hepatobiliaris, bilirubin serum bisa meningkat tanpa penyakit
hepatobiliaris pada banyak jenis kelainan yang mencakup episode bermakna hemolisis
intravaskular dan sepsis sistemik. Tetapi lebih lazim peningkatan bilirubin serum timbul
sekunder terhadap kolestatis intrahepatik, yang menunjukkan disfungsi parenkim hati atau
kolestatis ekstrahepatik sekunder terhadap obstruksi saluran empedu akibat batu empedu,
keganasan, atau pankreas jinak. 1,2,4
Bila obstruksi saluran empedu lengkap, maka bilirubin serum memuncak 25 sampai
30 mg per 100 ml, yang pada waktu itu eksresi bilirubin sama dengan produksi harian. Nilai
>30 mg per 100 ml berarti terjadi bersamaan dengan hemolisis atau disfungsi ginjal atau sel
hati. Keganasan ekstrahepatik paling sering menyebabkan obstruksi lengkap (bilirubin serum
20 mg per 100 ml), sedangkan batu empedu biasanya menyebabkan obstruksi sebagian,
dengan bilirubin serum jarang melebihi 10 sampai 15 mg per 100 ml. 1,2,4
Alanin aminotransferase (dulu dinamai SGOT, serum glutamat-oksalat transaminase)
danAspartat aminotransferase (dulu SGPT, serum glutamat-piruvat transaminase) merupakan
enzim yang disintesisi dalam konstelasi tinggi di dalam hepatosit. Peningkatan dalam
aktivitas serum sering menunjukkan kelainan sel hati, tetapi peningkatan enzim ini ( 1-3 kali
normal atau kadang-kadang cukup tinggi tetapi sepintas) bisa timbul bersamaan dengan
penyakit saluran empedu, terutama obstruksi saluran empedu. 1,2,4
Fosfatase alkali merupakan enzim yang disintesisi dalam sel epitel saluran empedu.
Pada obstruksi saluran empedu, aktivitas serum meningkat karena sel duktus meningkatkan
sintesis enzim ini. Kadar yang sangat tinggi, sangat menggambarkan obstruksi saluran
empedu. Tetapi fosfatasi alkali juga ditemukan di dalam tulang dan dapat meningkat pada
kerusakan tulang. Juga meningkat selama kehamilan karena sintesis plasenta. 1,2,4
2. Pemeriksaan Radiologis
Foto polos abdomen biasanya tidak memberikan gambaran yang khas karena hanya
sekitar 10-15% batu kandung empedu yang bersifat radioopak. Kadang kandung empedu
yang mengandung cairan empedu berkadar kalsium tinggi dapat dilihat dengan foto polos.
Pada peradangan akut dengan kandung empedu yang membesar atau hidrops, kandung
empedu kadang terlihat sebagai massa jaringan lunak di kuadran kanan atas yang menekan
gambaran udara dalam usus besar, di fleksura hepatika. 5

3. Pemeriksaan Ultrosonografi (USG)


Ultrasonografi mempunyai derajat spesifisitas dan sensitifitas yang tinggi untuk
mendeteksi batu kandung empedu dan pelebaran saluran empedu intrahepatik maupun ekstra
hepatik. Dengan USG juga dapat dilihat dinding kandung empedu yang menebal karena
fibrosis atau udem yang diakibatkan oleh peradangan maupun sebab lain. Batu yang terdapat
pada duktus koledukus distal kadang sulit dideteksi karena terhalang oleh udara di dalam
usus. Dengan USG punktum maksimum rasa nyeri pada batu kandung empedu yang
ganggren lebih jelas daripada dengan palpasi biasa. 5
Ultrasonografi sangat bermanfaat pada pasien ikterus. Sebagai teknik penyaring, tidak
hanya dilatasi duktus biliaris ekstra dan intra hepatik yang bisa diketahui secara meyakinkan,
tetapi kelainan lain dalam parenkim hati atau pankreas (seperti massa atau kista) juga bisa
terbukti. Pada tahun belakangan ini, ultrasonografi jelas telah ditetapkan sebagai tes
penyaring awal untuk memulai evaluasi diagnostik bagi ikterus. Bila telah diketahui duktus
intrahepatik berdilatasi, maka bisa ditegakkan diagnosis kolestatis ekstrahepatik. Jika tidak
didapatkan dilatasi duktus, maka ini menggambarkan kolestatis intrahepatik. Ketepatan
ultrasonografi dalam membedakan antara kolestatis intra dan ekstrahepatik tergantung pada
derajat dan lama obstruksi saluran empedu, tetapi jelas melebihi 90% .Distensi usus oleh gas
mengganggu pemeriksaan ini.5

4. Kolesistografi
Untuk penderita tertentu, kolesistografi dengan kontras cukup baik karena relatif
murah, sederhana, dan cukup akurat untuk melihat batu radiolusen sehingga dapat dihitung

jumlah dan ukuran batu. Kolesistografi oral akan gagal pada keadaan ileus paralitik, muntah,
kadar bilirubun serum diatas 2 mg/dl, okstruksi pilorus, dan hepatitis karena pada keadaankeadaan tersebut kontras tidak dapat mencapai hati. Pemeriksaan kolesistografi oral lebih
bermakna pada penilaian fungsi kandung empedu. 5,6
5.

HIDA Scan (Biliary Radionuclide Scanning)


Merupakan pemeriksaan non invasive terhadap hati, kandung empedu, duktus bilier,

dan duodenum dengan informasi anatomic dan fisiologis. Technetium-labeled derivatives of


dimethyl iminodiacetic acid (HIDA) diinjeksikan secara intravena, yang kemudian akan
dibersihkan oleh sel Kupffer pada hati, dan diekskresikan ke kandung empedu. Ambilan oleh
hati akan dideteksi dalam waktu 10 menit, kandung empedu, duktus bilier, dan duodenum
akan tampak dalam waktu 60 menit pada kondisi puasa. Pemeriksaan ini dapat digunakan
untuk diagnosis kolesistitis akut, yang akan menunjukkan gambaran non visual dari kandung
empedu, yang dengan cepat mengisi duktus koledokus dan duodenum. Hasil false positive
pada pemeriksaan ini meningkat pada pasien dengan stasis bilier dan pada pasien yang
mendapatkan nutrisi parenteral. Pengisian kandung empedu dan CBD dengan pengisian
duodenum yang lambat atau tidak ada mengindikasikan adanya obstruksi pada ampula.
Kebocoran saluran bilier akibat pembedahan pada kandung emppedu atau saluran bilier dapat
dikonfirmasi dengan pemeriksaan ini. 5,6
6. CT Scan
CT Scan abdomen berada di bawah USG dalam mendiagnosis batu kandung
empedu. CT Scan digunakan untuk menentukan kondisi dari saluran bilier ekstrahepatik
dan struktur sekitarnya. Pemeriksaan ini dilakukan paada pasien yang dicurigai keganasan
pada kandung empedu, sitem bilier ekstrahepatik, dan kaput pankrea. Penggunaan CT Scan
sebagai prosedur untuk menyingkirkan diagnosis banding pada ikterus obstruktif (Gambar 5).
CT Scan dapat memberikan informasi menngenai stadium, termasuk gambaran vascular
pada pasien dengan tumor periampula. 5,6

Gambar 5. CT Scan pada abdomen kuadran atas terhadap pasien dengan kanker pada distal CBD. Kanker
mengobstruksi CBD dan duktus pankreatikus. 1. Vena porta. 2. Duktus intrahepatik yang berdilatasi. 3. Dilatasi
duktus sistikus dan leher kandung empedu. 4. Dilatasi duktus hepatikus komunis. 5. Bifurkasi aarteri hepatic
komunis ke dalam arteri gastroduodenal dan. 6. Dilatasi duktus pankreatikus. 7. Vena spllenikus.12

7. Percutaneous Transhepatic Cholangiography (PTC)


Duktus bilier intrahepatik dapat dijangkau secara perkutaneus dengan menggunakan
jarum kecil dengan panduan fluoroskopik. Bila posisi dari duktus bilier telah dipastikan,
kateter dapat dimasukkan (Gambar 6). Melalui kateter, kolangiogram dapat dilakukan dan
terapi dapat dilakukan, seperti drainase dan pemasangan sten. PTC dapat berperan dalam
penatalaksanaan bbatu kandung empedu tanpa komplikasi, tetapi paling bermanfaat dalam
memberi tatalaksana pada striktur dan tumor duktus bilier. PTC dapat menyebabkan
kolangitis akibat perdarahan, kebocoran bilier, dan masalah lainnya akibat penggunaan
kateter. 5,6

Gambar 6. Diagram skematik PTC dan drainase untuk obstruksi proksimal kolangiokarsinoma. A. Dilatasi
duktus bilier intrahepatik dimasuki oleh jarum secara perkutan. B. Kawat kecil dimasukkan melalui jarum ke
duktus. C. Kateter yang masukkan bersama kawat, kawat lalu dilepaskan. Kolangiogram dilakukan melalui
kateter. D. kateter drainaase eksternal dipasang. E. kawat panjang dipasang melalui kateter dan melewati tumor
ke duodenum. F. sten internal dipasang.10

8. Magnetic Resonance Imaging (MRI)


Sejak pertengahan tahun 1990, MRI dapat memberikan gambaran jelas hepar,
kandung empedu, dan pancreas. Penggunaan MRI dengan teknik dan kontras yang lebih baru,
gambaran anatomik dapat lebih jelas. MRI memiliki sensitivitas dan spesifitas 95 % dan 89
%

dalam

mendeteksi

koledokolelitiasis.

MRCP

(magnetic

resonance

cholangiopancreatography) dapat menjadi pemeriksaan non invasive dalam mendiagnosis


penyakit pada salurana bilier dan pankreas (Gambar 7).10

Gambar 7. MRCP., menunjukkan penebalan pada duktus bilier ekstrahepatik (garis) dan duktus pankreatikus
(garis berkepala).

9. ERCP (Endoscopic Retrograde Cholangiopancreatography)


ERCP mapu memberikan informasi mengenai kondisi saluran bilier dan duktus
pankreatikus serta melihat ampuula dari papilla Vateri. Tidak hanya sebagai diagnostik
(Gambar 8), ERCP juga mampu menjadi salah satu teknik terapetik. Pemeriksaan ERCP
membutuhkan keterampilan dan gambar yang memuaskan, serta tidak begitu dalam seperti
pada pemeriksaan PTC. Jalur endoskopi cenderung aman karena tidak kontak dengan
peritoneum. 5,6

Gambar 7. A. ERCP, endoskop masuk ke duodenum dan kateter pada duktus koledokus.10 B. endoscopic
retrograde cholangiogram, menunjukkan batu pada duktus koledokus. Pasien ini telah menjalani gastrektomi
partial Polya sehingga endoskop mencapai ampula melalui fleksura duodenojejunal. 12

Endoscopic ultrasound membutuhkan endoskop yang khusus. Hasilnya sangat


tergantung pada operator, tetapi menawarkan gambaran non invasive dari duktus bilier dan
struktur sekitarnya. Ia memiliki bagian untuk biopsy, sehingga dapat digunakan pada kasus
dengan tumor. Ia juga dapat digunakan untuk mengidentifikasi batu pada duktus bilier,
namun kurang sensitive bila dibandingkan dengan ERCP. 5,6
TATALAKSANA
Jika tidak ditemukan gejala, maka tidak perlu dilakukan pengobatan. Nyeri yang
hilang-timbul bisa dihindari atau dikurangi dengan menghindari atau mengurangi makanan
berlemak. 7
Jika batu kandung empedu menyebabkan serangan nyeri berulang meskipun telah
dilakukan perubahan pola makan, maka dianjurkan untuk menjalani pengangkatan kandung
empedu (kolesistektomi). Pengangkatan kandung empedu tidak menyebabkan kekurangan zat
gizi dan setelah pembedahan tidak perlu dilakukan pembatasan makanan. 7
Pilihan penatalaksanaan antara lain :

Terapi Non Bedah


Terapi non bedah merupakan pilihan terapi untuk batu empedu berupa terapi disolusi

oral dengan asam empedu, asam ursodeoxycholic dan chenodeoxycholic; contact dissolution
dengan bahan pelarut organic (metil tert butyl eter), dan extracorporeal shock wave biliary
lithotripsy. Terapi ini jarang digunakan saat ini. Terapi disolusi oral diindikasikan batu
kolesterol simtomatik dan kandung empedu yang berfungsi dengan normal. Terapi ini hanya
efektif pada batu kolesterol, oleh karena itu tidak diindikasikan pada batu dengan gambaran
radioopak atau bila terdapat kalsifikasi pada gambaran CT Scan. Disolusi batu tersebut
berhasil pada 40 % pasien, namun angka kekambuhannya 50 % dalam 5 tahun bila terapi
dihentikan. Contact dissolution dengan pelarut organic membutuhkan kanulasi ke kandung
empedu dengan infuse pelarut ke kandung empedu. Terapi ini juga hanya efektiif pada batu
kolesterol dengan angka kekambuhan yang hampir sama dengan disolusi oral.1,2
Extracorporeal shock wave lithotripsy merupakan terapi yang cukup menjanjikan
untuk pilihan terapi non bedah sebagai tatalaksana batu simtomatik. Terapi ini dilakukan

pada pasien dengan batu tunggal dengan diameter 0,5 2 cm, dengan angka kekambuhan
yang lebih rendah yaitu sekitar 20 %. Sekali lagi, hanya sebagian kecil pasien yang mampu
memenuhi criteria tindakan ini. Terapi ini tidak pernah dianjurkan oleh FDA Amerika sebagai
terapi disolusi batu empedu.1,2
Terapi bedah
1. Kolesistektomi terbuka
Operasi ini merupakan standar terbaik untuk penanganan pasien denga kolelitiasis
simtomatik. Komplikasi yang paling bermakna yang dapat terjadi adalah cedera duktus
biliaris yang terjadi pada 0,2% pasien. Angka mortalitas yang dilaporkan untuk prosedur ini
kurang dari 0,5%. Indikasi yang paling umum untuk kolesistektomi adalah kolik biliaris
rekuren, diikuti oleh kolesistitis akut. 1,2,7
2. Kolesistektomi laparaskopi
Kolesistektomi laparoskopik mulai diperkenalkan pada tahun 1990 dan sekarang ini
sekitar 90% kolesistektomi dilakukan secara laparoskopi. 80-90% batu empedu di Inggris
dibuang dengan cara ini karena memperkecil resiko kematian dibanding operasi normal (0,10,5% untuk operasi normal) dengan mengurangi komplikasi pada jantung dan paru.7 Kandung
empedu diangkat melalui selang yang dimasukkan lewat sayatan kecil di dinding perut. 12
Indikasi awal hanya pasien dengan kolelitiasis simtomatik tanpa adanya kolesistitis
akut. Karena semakin bertambahnya pengalaman, banyak ahli bedah mulai melakukan
prosedur ini pada pasien dengan kolesistitis akut dan pasien dengan batu duktus koledokus.
Secara teoritis keuntungan tindakan ini dibandingkan prosedur konvensional adalah dapat
mengurangi perawatan di rumah sakit dan biaya yang dikeluarkan, pasien dapat cepat
kembali bekerja, nyeri menurun dan perbaikan kosmetik. Masalah yang belum terpecahkan
adalah kemanan dari prosedur ini, berhubungan dengan insiden komplikasi seperti cedera
duktus biliaris yang mungkin dapat terjadi lebih sering selama kolesistektomi laparaskopi. 1,2,7

Gambar 9. Peletakkan trokar pada laparoskopi kolesistektomi. Laparoskopi melalui port 10 mm di atas
umbilicus. Port tambahan lainnya pada epigastrium, subkostae sejajar garis midklavikula dan aksilaris
anterior kanan.

Gambar 10. Metode yang salah (A) dan benar (B) dalam penarikan kandung empedu sehingga duktus
sistikus dan duktus koledokus terlihat segaris

Gambar 11. Diseksi triangle of Calot

Gambar 12. Laparoskopi Kolesistektomi

DAFTAR PUSTAKA

1. Sjamsuhidajat R, de Jong W. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 2. Jakarta : Penerbit Buku
Kedokteran EGC. 2005.h. 570-9.
2. Brunicardi, F. Charles, Andersen, Dana K., et al. Gallbladder and the Extrahepatic
Biliary System. In : Schwartzs Principles of Surgery. 8 th Edition. The McGraw Hill
Companies. 2007. 821-44.
3. Guyton AC, Hall JE. Sistem Saluran Empedu dalam: Buku Ajar Fisiologi Kedokteran.
Sistem empedu dalam : Buku Ajar Bedah. Esentials of Surgery, edisis ke-2. Jakarta:
EGC, 1996.h. 121-5.
4. Lesmana L. Batu Empedu dalam Buku Ajar Penyakit Dalam Jilid 1. Edisi 3.
Jakarta:Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.2000.h. 380-4.
5. Nakeeb, Attila, Ahrendt, Steven A., et al. Calculous Biliary Disease. In : Greenfield's
Surgery: Scientific Principles and Practice. 4th Edition. Lippincott Williams &
Wilkins. 2006.h. 482-97.
6. Beckingham, IJ. ABC Of Diseases Of Liver, Pancreas, And Biliary System Gallstone
Disease. Dalam: British Medical Journal Vol 13, Januari 2001: 322(7278): h. 9194.
Avaliable at : http://www.pubmedcentral.nih.gov/articlerender.fcgi?artid=1119388.
7. Britton, Julian, Bickerstaff, Kenneth I., et al. Benign Diseases of The Biliary Tract.
Oxford Textbook of Surgery. Oxford University Press. 2002.

Anda mungkin juga menyukai