Anda di halaman 1dari 13

I.

SINONIM
Shingles, dompo, cacar ular 1-5
II. DEFINISI
Herpes zoster adalah radang kulit akut, mempunyai sifat khas yaitu
vesikel-vesikel yang tersusun berkelompok sepanjang persarafan sensorik kulit
sesuai dermatom.5 Infeksi ini merupakan reaktivasi virus varisela-zoster dari
infeksi endogen yang telah menetap dalam bentuk laten setelah infeksi primer
oleh virus.6
Setelah infeksi primer oleh virus varisela zoster atau setelah
mendapatkan vaksinasi dengan virus varisela zoster yang dilemahkan, virus ini
akan berdiam di sel ganglion posterior susunan saraf tepi dan ganglion kranialis.
Virus dalam keadaan dormansi atau laten. Pada suatu ketika, virus dapat
bereplikasi dan berjalan turun menyusuri saraf sensoris menuju ke kulit dan
menimbulkan manifestasi berupa herpes zoster. 7
III.EPIDEMIOLOGI
Penyebaran penyakit herpes zoster sama seperti varicella. Penyakit
ini, merupakan reaktivasi virus yang terjadi setelah penderita mengalami
varicella. Kadang-kadang aricella ini bersifat subklinis. Insiden terjadinya
herpes zoster meningkat sesuai dengan pertambahan usia dan biasanya jarang
mengenai anak-anak. Insiden herpes zoster berdasarkan usia yaitu sejak lahir- 9
tahun : 0,74/1000 ; usia 10-19 tahun: 1,38/ 1000 ; usia 20-29 tahun 2,58/ 1000.
Lebih dari 66% kasus herpes zoster terjadi pada usia lebih dari 50 tahun, dan
hanya 5% kasus terjadi pada usia kurang dari 15 tahun. Di antara pasien-pasien
yang telah terpapar chickenpox, kejadian herpes zoster pada ras kulit hitam
lebih rendah daripada ras kulit putih. Insiden pada pria dan wanita sama
banyaknya. Hampir 50 % penduduk berusia 80 tahun mengalami herpes zoster.
Zoster jarang terjadi pada anak-anak dan dewasa muda, kecuali pada penderita
AIDS, limfoma, keganasan, defisiensi imun dan orang yang menerima
0

transplantasi ginjal dan sumsum tulang belakang. Pasien-pasien tersebut


mempunyai risiko lebih tinggi untuk mengalami zoster, terlepas dari faktor
usia.6-12
Lebih dari satu juta kasus herpes zoster ditemukan di Amerika
Serikat setiap tahunnya, dengan rata-rata 3-4 kasus per 1000 orang. Beberapa
penelitian menunjukan bahwa insidensi penyakit herpes zoster terus meningkat.
Pasien dengan usia hingga 85 tahun yang tidak divaksin memiliki risiko 50%
terkena herpes zoster. Kurang lebih 3% pasien memerlukan tindakan
hospitalisasi.13
IV. ETIOLOGI
Herpes Zoster disebabkan oleh virus yang sama yang menyebabkan
chickenpox atau varisela dan disebut varicella zoster virus (VZV). Varicella
zoster virus merupakan kelompok virus herpes yang berukuran 140-200 nm
dan berinti DNA. Varicella zoster virus ini termasuk kelompok human
alphaherpesvirus yang termasuk golongan genus Varicellovirus. Varicella
zoster virus dapat menjadi laten di ganglion posterior susunan saraf tepi dan
ganglion kranialis tanpa menimbulkan gejala. Beberapa tahun atau dekade
setelah infeksi primer jika terjadi reaktivasi dari virus ini akan menyebabkan
erupsi yang terlokalisir pada kulit yaitu herpes zoster.6,7,9,11
VZV mempunyai kapsid yang tersusun dari 162 subunit protein dan
berbentuk simetri ikosehedral dengan diameter 100 nm. Virion lengkapnya
berdiameter 150-200 nm dan hanya virion yang berselubung yang bersifat
infeksius.2
V. PATOGENESIS
Herpes Zoster disebabkan oleh VZV, virus yang juga dapat
menyebabkan varicella (chickenpox). VZV masuk ke dalam tubuh manusia
melalui mukosa saluran pernafasan bagian atas, orofaring ataupun konjungtiva.

Virus kemudian mengalami replikasi hingga menyebabkan viremia primer


hingga sekunder yang akhirnya menunjukan manifestasi dari penyakit varicella.
Setelah infeksi varicella, virus ini berpindah tempat dari lesi kulit dan
permukaan mukosa ke ujung syaraf sensoris dan ditransportasikan secara
centripetal melalui serabut syaraf sensoris ke ganglion sensoris. Pada ganglion
tersebut terjadi infeksi laten (dorman), dimana virus tidak lagi menular dan
tidak dapat bermultiplikasi, tetapi tetap mempunyai kemampuan untuk berubah
menjadi infeksius apabila terjadi reaktivasi virus5. Virus dalam keadaan dorman
di cabang ganglion dorsal sampai reaktivasi fokal sepanjang distribusi ganglion
menyebabkan herpes zoster (shingles). Badan sel saraf pada cabang dorsal,
saraf kranialis atau ganglion otonom dapat mengandung virus VZV laten. 7
Terjadinya reaktivasi biasanya tidak diketahui, namun kemungkinan dapat
dihubungkan dengan penuaan, stres, dan sistem imun yang rusak. Bila terjadi
penurunan imunokompeten, bertahun-tahun kemudian, virus dapat keluar dari
badan sel saraf

kemudian berjalan sepanjang akson saraf

sehingga dapat

menyebabkan infeksi viral pada kulit sepanjang saraf yang terkena. Virus ini
dapat menyebar dari satu atau lebih ganglion sepanjang saraf yang terkena dan
menginfeksi dermatom yang berhubungan dengan saraf tersebut kemudian
menyebabkan kelainan pada kulit. Walaupun biasanya kelainan kulit ini dapat
sembuh dalam 2 sampai 4 minggu, beberapa pasien mengalami nyeri saraf
dalam waktu berbulan-bulan sampai bertahun-tahun, kondisi seperti ini disebut
neuralgia posherpetika.5-7
Kelainan kulit yang timbul memberikan lokasi yang setingkat dengan
daerah persarafan ganglion tersebut. Kadang-kadang virus ini juga menyerang
ganglion anterior, bagian motorik kranialis sehingga memberikan gejala-gejala
gangguan motorik. 2
VI. GEJALA KLINIS

Sebelum timbul gejala kulit terdapat, gejala prodromal baik sistemik


(demam, pusing, malaise), maupun gejala prodromal lokal (nyeri otot-tulang,
gatal, pegal, dan sebagainya).12 Gejala prodromal herpes zoster biasanya berupa
rasa sakit dan parestesi pada dermatom yang terkena. Gejala prodormal
biasanya terjadi 1-3 minggu sebelum timbul ruam kulit. Pada fase prodormal,
keluhan nyeri dan paraestesi berlangsung 2-3 minggu (pada 84% dari kasus)7.
Gambaran yang paling khas pada herpes zoster adalah erupsi yang lokalisata
dan hampir selalu unilateral. Jarang erupsi tersebut melewati garis tengah tubuh.
Umumnya lesi terbatas pada daerah kulit yang dipersarafi oleh salah satu
ganglion saraf sensorik.1
Erupsi mulai dengan makulopapula eritematous (24 jam pertama). Dua
belas hingga 48 jam kemudian terbentuk vesikula berisi cairan yang jernih,
kemudian menjadi keruh (berwarna abu-abu) yang dapat berubah menjadi
pustula pada hari ke-4. Kadang-kadang vesikel mengandung darah dan disebut
sebagai herpes zoster hemoragik. Dapat pula timbul infeksi sekunder sehingga
menimbulkan ulkus dengan penyembuhan berupa sikatriks. Seminggu sampai
10 hari kemudian, lesi mengering menjadi krusta. Krusta ini dapat menetap
selama 2-3 minggu.6-7
Masa tunasnya 7-12 hari. Masa aktif penyakit ini berupa lesi-lesi baru
yang tetap timbul belangsung kira-kira seminggu, sedangkan masa resolusi
berlangsung kira-kira 1-2 minggu. Di samping gejala kulit dapat juga dijumpai
pembesaran kelenjar getah bening regional. Pada susunan saraf tepi jarang
timbul kelainan motorik, tetapi pada susunan saraf pusat kelainan ini lebih
sering karena struktur ganglion kranialis memungkinkan hal tersebut.
Hiperestesi pada daerah yang terkena memberi gejala yang khas. Kelainan pada
muka sering disebabkan oleh karena gangguan pada nervus trigeminus (dengan
ganglion gaseri) atau nervus fasialis dan otikus (dari ganglion genikulatum).2
Keluhan yang berat biasanya terjadi pada penderita usia tua. Pada
anak-anak (jarang), hanya timbul keluhan ringan dan erupsinya cepat
3

menyembuh. Rasa sakit segmental pada penderita lanjut usia dapat menetap,
walaupun krustanya sudah menghilang.1
Daerah yang paling sering terkena infeksi adalah daerah torakal yaitu
lebih dari 50% kasus, daerah trigeminal 10-20% kasus, dan daerah lumbosakral
dan servikal 10-20% kasus, walaupun daerah-daerah lain tidak jarang.1,7
Menurut daerah penyerangannya dikenal :
1. Herpes zoster oftalmika : menyerang dahi dan sekitar mata.
2. Herpes zoster servikalis : menyerang pundak dan lengan.
3. Herpes zoster torakalis

: menyerang dada dan perut.

4. Herpes zoster lumbalis

: menyerang bokong dan paha.

5. Hepes zoster sakralis

: menyerang sekitar anus dan genitalis

6. Herpes zoster otikum

: menyerang telinga.

Jika

fasialis

menyerang

nervus

dan

nervus

auditoris

dapat

menimbulkan Sindrom Ramsay-Hunt dengan gejala paralysis fasialis (Bell`s


Palsy), tinnitus, vertigo, gangguan lakrimasi, gangguan pendengaran, nistagmus,
dan nausea.1
Bentuk-bentuk lain herpes zoster :
1. Herpes zoster hemoragika : vesikula-vesikulanya tampak berwarna merah
kehitaman karena berisi darah.
2. Herpes zoster abortivum : penyakit berlangsung ringan dalam waktu yang
singkat dan erupsinya hanya berupa eritema dan papula kecil.
3. Herpes zoster generalisata : kelainan kulit yang unilateral dan segmental
disertai kelainan kulit yang menyebar secara generalisata berupa vesikula
dengan umbilikasi. Kasus ini tertutama terjadi pada orang tua atau pada orang
yang kondisi fisiknya sangat lemah, misalnya pada penderita limfoma
maligna.1
VII. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Kebanyakan kasus dari herpes zoster dapat didiagnosis hanya dengan


pemeriksaan klinis, namun beberapa lesi menunjukan gambaran yang tidak khas
sehingga membutuhkan adanya meneriksaan penunjang lain. Pemeriksaan
penunjang dilakukan jika terdapat gambaran klinis yang meragukan.
1.

Tzanck Smear atau tes Tzanck


Dengan menemukan sel datia berinti banyak (multinucleated giant
cell).1,2

2.

Histopatologis
Tampak gambaran vesikula yang bersifat unilokuler, biasanya pada
stratum granulosum, kadang-kadang subepidermal. Terdapat temuan sel
balon yaitu stratum spinosum yang mengalami degenerasi dan membesar,
juga ada badan inklusi (lipscutz) yang tersebar pada inti sel epidermis,
dalam jaringan ikat dan endotel pembuluh darah.11
Pada dermis terdapat dilatasi pembuluh darah dan sebukan limfosit.2
Ditemukan juga nekrosis sel dan serabut saraf, proliferasi endotel pembuluh
darah kecil, hemoragi fokal dan inflamasi bungkus ganglion.9, 11

3.

PCR
pemeriksaan ini digunakan untuk menilai adanya VZV DNA pada sel
yang berasal dari dasar lesi. Pemeriksaan dengan menggunakan PCR ini
memiliki sensitifitas dan spesifisitas sebesar 95% dan 100%.13

4.

Biopsi kulit
Tampak vesikel intraepidermal dengan degenerasi sel epidermal dan
achantolysis. Pada dermis bagian atas dijumpai adanya lymphocitic
infiltrate.12

5.

Direct Fluorescent Assay


Pemeriksaan ini dilakukan untuk membedakan antara VZV dengan
herpes simplex virus

6. Pemeriksaan antibodi spesifik (immunoglobulin) menunjukkan peningkatan


antibodi varicella. 5,10
VIII.

DIAGNOSIS
Diagnosis didasarkan atas gejala dan temuan klinis yang khas, yaitu
lesi kulit berupa gerombolan vesikula di atas kulit yang eritematosa,
terlokalisir sesuai dermatom yang diinervasi oleh satu ganglion sensoris.
Kulit di antara gerombolan normal. Pada lesi yang agak lama, vesikel dapat
telah berubah menjadi pustula, atau bula, atau telah mengalami ulserasi
meninggalkan krusta. Usia lesi dalam satu gerombolan adalah sama dan
berbeda dengan gerombolan yang lain. Lesi ini biasanya didahului dengan
rasa nyeri atau panas yang terbatas pada dermatom ganglion sensoris yang
terkena. Dari anamnesa mengenai riwayat penyakit dahulu didapatkan bahwa
penderita pernah mengalami infeksi varisela sebelumnya. Namun terkadang
infeksi varisela ini sifatnya subklinis sehingga tidak disadari oleh pasien.2,5,7
Secara laboratorik diagnosis dapat ditunjang dengan test Tzanck,
pemeriksaan cairan vesikula atau material biopsi dengan mikroskop electron,
serta tes serologik.1

IX. DIAGNOSIS BANDING


1. Herpes simpleks dan herpes zoster sulit dibedakan bila lesi yang terjadi
linear, atau bila lesi zoster kecil dan terlokalisasi pada 1 tempat saja (tidak
sesuai dengan dermatom).2,4,10
2. Varisela (chickenpox)10
3. Impetigo vesikobulosa, lebih sering pada anak-anak, dengan gambaran
vesikel dan bula yang lebih cepat pecah.10
4. Pada nyeri yang merupakan gejala prodromal lokal sering salah diagnosis
dengan penyakit reumatik maupun dengan angina pektoris, jika terdapat di
daerah setinggi jantung.2 Selain itu, rasa nyeri dalam stadium pra-erupsi ini
6

juga seringkali dirancukan dengan penyebab rasa nyeri lainnya seperti


pleuritis, kolesistitis, apendisitis, kolik renal, dan sebagainya. 1
X. KOMPLIKASI
Penyakit herpes zoster dapat menyebabkan beberapa komplikasi
berupa infeksi sekunder yang disebabkan oleh bakteri. Komplikasi dari herpes
zoster yang bersifat cutaneus antara lain superinfeksi bacterial, skar, zoster
gangrenosum.

Komplikasi neurologis yang paling seriang adalah neuralgia

pascaherpetik yaitu rasa nyeri yang timbul pada daerah bekas penyembuhan
lebih dari sebulan setelah penyakitnya sembuh.2 Bila daya tahan tubuh penderita
mengalami penurunan, akan terjadi reaktivasi virus. Virus mengalami
multiplikasi dan menyebar di dalam ganglion. Ini menyebabkan nekrosis pada
saraf serta terjadi inflamasi yang berat, dan biasanya disertai neuralgia yang
hebat.1 Nyeri ini dapat berlangsung sampai beberapa bulan bahkan bertahuntahun dengan gradasi nyeri yang bervariasi dalam kehidupan sehari-hari.
Kecenderungan ini dijumpai pada orang yang mendapat herpes zoster di atas
usia 40 tahun.2
Sindrom ramsay hunt diakibatkan oleh gangguan nervus fasialis dan
otikus, sehingga memberikan gejala paralisis otot muka (paralisis Bell),
kelainan kulit yang sesuai dengan tingkat persarafan, tinitus, vertigo, gangguan
pendengaran, nistagmus dan nausea, juga terdapat gangguan pengecapan.2
Pada penderita tanpa disertai defisiensi imunitas biasanya tanpa
komplikasi. Sebaliknya pada yang disertai defisiensi imunitas, infeksi HIV,
keganasan, atau berusia lanjut dapat disertai komplikasi. Vesikel sering menjadi
ulkus dengan jaringan nekrotik.2
Pada herpes zoster oftalmikus dapat terjadi berbagai komplikasi, di
antaranya ptosis paralitik, keratitis, skleritis, uveitis, korioretinitis, dan neuritis
optik.2

Paralisis motorik terdapat pada 1-5 % kasus, yang terjadi akibat


penjalaran virus secara per kontinuitatum dari ganglion sensorik ke sistem saraf
yang berdekatan. Paralisis biasanya timbul dalam 2 minggu sejak awitan
munculnya lesi.2 Melalui cabang-cabang intrakranial nervus trigeminus, VZV
dapat masuk ke sistem susunan saraf pusat dan menginfeksi arteri cerebal,
sehingga pasien dapat mengalami sakit kepala dan hemiplegia. Dengan adanya
invasi viral melalui pembuluh darah, maka terapi antiviral sistemik dapat
berguna.7
XI. PENCEGAHAN
Pencegahan penyakit herpes zoster seharusnya mencakup pencegahan
infeksi laten dan pencegahan reaktivasi virus yang laten tersebut. Tetapi sampai
sekarang belum ditemukan cara untuk pencegahan tersebut.1
Hindari kontak lesi pada kulit penderita yang terinfeksi herpes zoster bila
belum pernah menderita varisela atau vaksin varisela. Walaupun penyebaran
melalui kontak dari penyakit herpes zoster memiliki kemungkinan lebih kecil
dibandingkan dengan varicella namun dapat dihindari kontak dengan pasien
suspek herpes zoster. Vaksin varisela adalah vaksin yang direkomendasikan untuk
anak-anak. Vaksin juga dapat direkomendasikan untuk remaja atatu dewasa yang
belum pernah terkena varisela.Vaksinasi pada usia lebih dari 55 tahun terbukti
menurunkan kejadian herpes zoster dan post herpetic neuralgia.sehingga vaksin
herpes zoster disarankan pada dewasa usia lebih dari 60 tahun, serta pada individu
tertentu seperti wanita hamil, orang dengan kelainan imun, dan bayi kurang dari 12
bulan.

4,6

Hasil dari vaksin VZV ini juga dapat mencegah kejadian post-herpetic

neuralgia hingga 66% pada pasien udia 60-69 tahun dan 67% pada pasien yang
berusia 70 tahun atau lebih. Selain itu, beberapa penelitian juga menyebutkan
bahwa pemberian vaksin dapat mempersingkat durasi timbulnya maifestasi klinis
dari herpes zoster dibandingkan tanpa diberikan vaksin.13

XII. TERAPI
Terapi padap penyakit herpes zoster diutamakan pada pemberian antiviral.
Terapi antiviral direkomendasikan untuk penyakit herpes zoster baik dengan
kelainan imunitas maupun tanpa kelainan imunitas. Terapi antiviral merupakan
dasar penatalaksanaan herpes zoster. Obat antiviral menginhibisi replikasi VZV dan
mengurangi berat dan durasi herpes zoster dengan efek samping minimal tetapi
tidak dapat mencegah neuralgia posherpetika.4 Pengobatan dengan menggunakan
antiviral direkomendasikan pada pasien yang berusia lebih dari 50 tahun,
mengalami nyeri yang sedang hingga berat, terdapat lesi yang luas, mengenai wajah
atau mata, dengan komplikasi lain, dan pasien dngan imunocompromised. 13 Obat
yang biasa digunakan adalah asiklovir dan modifikasinya, misalnya valasiklovir dan
famciclovir. Sebaiknya diberikan dalam 3 hari pertama sejak lesi muncul.2
Pemberian asiklofir dimulai 72 jam semenjak onset awal munculnya lesi.
Penggunaan antiviral ini lebih direkomendasikan untuk dimulai lebih awal sejak
timbulnya lesi. Dosis asiklovir yang dianjurkan adalah 5 x 800 mg sehari dan
biasanya diberikan 7 hari, sedangkan valasiklovir cukup 3 x 1000 mg sehari karena
konsentrasi dalam plasma lebih tinggi. Jika lesi baru masih tetap timbul obat
tersebut masih dapat diteruskan dan dihentikan sesudah 2 hari sejak lesi baru tidak
timbul lagi.2 Pemberian acycovir intravena juga dianjurkan pada pasien yang
mengalami imunocompromised yang membutuhkan hospitalisasi dan disertai
komplikasi berat neurologik. Foscarnet juga dapat digunakan pada pasien dengan
imunocompromised dan resisren terhadap acyclovir VZV.13
Penggunaan glukokortikoid dengan kombinasi antivirus masih kontroversial
untuk digunakan pada herpes zoster. Namun beberapa studi menjelaskan bahwa
pemberian prednison atau prednisolon dapat mengurangi nyeri akut pada herpes
zoster. Penambahan glukokortikoid dengan antiviral pada terapi herpes zoster belum
dapat dijelaskan bisa mengurangi insidensi postherpetic neuralgia.13
Penatalaksanaan post-herpetic neuralgia bersifat kompleks, seringkali
membutuhkan pendekatan multidisiplin. Penelitian-penelitian klinik menunjukkan
9

bahwa opioid, antidepresan trisiklik, dan gabapentin dapat mengurangi beratnya


nyeri dan mempercepat penyembuhan post-herpetic neuralgia, baik digunakan
sebagai obat tunggal maupun dalam kombinasi dengan obat lain. Penggunaan
lidokain topikal atau capsaicin krim trebukti bermanfaat pada beberapa pasien. 4,7
Amitriptyline adalah obat terpilih untuk post-herpetic neuralgia. Jika obatobatan golongan antidepresan trisiklik seperti amitriptyline digunakan untuk tujuan
analgesik, dosis yang digunakan lebih kecil dari dosis yang diperlukan untuk efek
antidepresan. Oleh karena itu, pada penatalaksanaan post-herpetic neuralgia,
amitriptyline digunakan dalam dosis 25-75mg, diberikan malam hari sebelum tidur.
Penggunaan obat ini harus hati-hati karena dapat menimbulkan sedasi dan efek
antikolinergik dan -adrenergik yang kurang baik pada jantung, termasuk dapat
menimbulkan hipotensi ortostatik, yang biasanya terjadi pada pasien dengan usia
lanjut. Efek samping yang kurang baik ini dapat dikurangi dengan penggunaan dosis
yang minimal. Penggunaan kortikosteroid sistemik dan capsaicin krim dapat
dipertimbangkan.3,7
Indikasi pemberian kortikosteroid adalah untuk Sindrom Ramsay Hunt.
Pemberian harus sedini-dininya untuk mencegah terjadinya paralisis. Yang biasa
kami berikan adalah prednison dengan dosis 3x20 mg sehari, setelah seminggu
dosis diturunkan secara bertahap. Dengan dosis prednison setinggi itu imunitas akan
tertekan sehingga lebih baik digabung dengan obat antiviral. Dikatakan
kegunaannya untuk mencegah fibrosis ganglion.2
Pengobatan topikal bergantung pada stadiumnya. Jika masih stadium vesikel
diberikan bedak dengan tujuan protektif untuk mencegah pecahnya vesikel agar
tidak terjadi infeksi sekunder. Bila erosif diberikan kompres terbuka, Kalau terjadi
ulserasi diberikan salep antibiotik.2
XIII. PROGNOSIS
Prognosis herpes zoster secara umum adalah baik.11 Kelainan pada kulit
sembuh dalam waktu 14-21 hari. Neuralgia posherpetika dapat menetap selama
10

bertahun-tahun pada 50 % pasien herpes zoster di atas usia 60 tahun, bila nervus
trigeminus terkena.4 Pada herpes zoster oftalmikus prognosis bergantung pada
tindakan perawatan secara dini.2
DAFTAR PUSTAKA
1. Hartadi, Sumaryo S. 2000. Infeksi Virus. Dalam:

Ilmu Penyakit Kulit.

Editor: Marwali Harahap. Cet 1. Hipokrates:Jakarta.Pp:92-94.


2. Handoko, R. P. 2007. Penyakit Virus. Dalam: Ilmu Penyakit Kulit dan
Kelamin. Editor: Adhi wijaya. Edisi 5. cetakan 2. Balai Penerbit FK
UI:Jakarta.Pp:110-112.
3. Wehrhahn, MC. 2012. Herpes Zoster: epidemiology, clinical features,
treatment and prevention. Aust Prescr; 35: 143-147
4. Jessie McCary, MD. Herpes Zoster (Shingles)
5. Siregar RS. Penyakit Virus. Atlas Berwarna Saripati Penyakit Kulit. Edisi ke2. Jakarta: ECG, 2005; 84-7
6. Deshmukh et all. 2012. Herpes Zoster (HZ): A Fatal Viral Disease: A
Comprahensive Review. Pp: 138-145
7. Straus, S. E., Schmader, K. E., Oxman, M. N. 2008 . Varicella and Herpes
Zoster. In: Fitzpatricks Dermatology in General Medicine Seventh Edition.
Eisen AZ, Wolff K, Freedberg IM, Austen KF . United States: The McGrawHill Companies. pp: 1885-1898.
8.

Klaus Wolff and Ricard allen Johnson. 2009. Viral infections of skin and
mucosa. In:F I Tzpatricks Color Atlas And Synopsis Of Clinical Dermatology
Sixth Edition. United States: The McGraw-Hill Companies. pp :837-849.

9. Vineet, D et all. 2013. Oro-Facial Herpes Zoster: A Case Report with a


Detailed Review of Literature
10. Hiroshi Shimizu. 2007. Shimizus Textbook of Dermatology. Japan. :
Nakayama Shoten Publisers pp: 122-125
11

11. Cuningharn, Anthonio L et all. 2008. The Prevention and Management Of


Herpes Zoster. Pp : 171 176
12. Eastern, Joseph. 2009. Herpes Zoster.
http://emedicine.medscape.com/article/788310
13. Cohen J. 2013. Herpes Zoster
14. Schmader, K. 2008. The Epidemiological, Clinical, and Pathological
Rationale for the Herpes Zoster Vaccine .

12

Anda mungkin juga menyukai