Anda di halaman 1dari 32

BAB II

LANDASAN TEORI
A. Tinjauan Pustaka
1. Pengertian Metakognisi
Metakognisi merupakan suatu istilah yang diperkenalkan oleh Flavell pada
tahun 1976. Secara literal istilah metakognisi yaitu thinking about thinking yang
berarti Berpikir mengenai pemikiran. Flavell (zsoy & Ataman, 2009:68)
menyatakan bahwa Metacognition means an individuals awareness of his own
thinking processes and his ability to control these processes. Metakognisi berarti
kesadaran seseorang tentang proses berpikirnya dan kemampuannya untuk
mengontrol

proses

berpikirnya. Ormrod (2009:369)

menyatakan bahwa

metakognisi merupakan pengetahuan dan keyakinan mengenai proses proses


kognitif seseorang serta usaha usaha sadarnya untuk terlibat dalam proses
berperilaku dan berpikir sehingga meningkatkan proses belajar dan memori.
Louca (2003:12) menyatakan bahwa metakognisi all processes about cognition,
such as sensing something about ones own thinking, thinking about ones thinking
and responding to ones own thinking by monitoring and regulating it.
Semua proses tentang kognisi, seperti merasakan sesuatu tentang pemikiran
sendiri, berpikir tentang proses berpikir seseorang dan menanggapi pemikiran
sendiri dengan memantau dan mengatur itu. Oleh karena itu, Vygotsky (Louca,
2003:13) menyatakan bahwa metakognisi tidak bisa disamakan dengan belajar
atau pengembangan tetapi mengenai kesadaran dan pengontrolan mengenai
belajar dan pengembangan tersebut.
Dari beberapa definisi tersebut maka dapat disimpulkan bahwa metakognisi
merupakan pengetahuan dan kesadaran seseorang tentang proses berpikir serta
kemampuannya dalam mengontrol proses itu. Jadi metakognisi bukan saja
merupakan pengetahuan dan kesadaran tentang proses kognitifnya tapi juga
mengenai pengontrolan proses berpikir.

2. Komponen Metakognisi
Flavell (1979: 907 909) membagi metakognisi menjadi dua bagian yaitu
pengetahuan metakognitif dan pengalaman metakognitif.
8

a. Pengetahuan metakognitif.
Pengetahuan metakognitif merupakan pengetahuan individu dan kesadaran
tentang masalah-masalah kognitif yang diperoleh dari pengalaman dan disimpan
dalam memori jangka panjang. Flavell membagi metakognitif menjadi 3 bagian
yaitu pengetahuan diri (person), pengetahuan tugas (task) dan pengetahuan
strategi (strategy). Pengetahuan diri meliputi apa yang diketahui mengenai diri
sendiri dan orang lain sebagai bagian dari kognitif. Pengetahuan diri dibagi
menjadi 3 subbagian yaitu pengetahuan intraindividual (pengetahuan tentang diri
sendiri),

pengetahuan interindividual (pengetahuan tentang orang lain) dan

pengetahuan umum. Pengetahuan tugas merupakan pengetahuan mengenai


informasi yang dipakai selama aktivitas kognitif. Pengetahuan strategi merupakan
pengetahuan mengenai strategi yang dipakai dalam mengerjakan tugas untuk
mencapai suatu tujuan.
b. Pengalaman metakognitif
Pengalaman metakognitif merupakan kesadaran selama melakukan aktivitas
kognitif yang dihubungkan dengan sebuah proses. Pendapat yang sama juga
dikatakan oleh Brown (Mokos & Kafoussi, 2013: 244) yang membagi
metakognisi menjadi dua bagian yaitu pengetahuan metakognitif dan pengalaman
metakognitif.
Anderson et al. (2001: 55 - 91) membagi metakognisi menjadi 2 bagian
yaitu pengetahuan metakognitif dan pengalaman metakognitif. Teori Anderson
et al merujuk pada teori Flavell (1979). Teori Anderson et al. mengenai
metakognisi antara lain sebagai berikut:
a. Pengetahuan metakognitif.
Pengetahuan metakognitif adalah pengetahuan dan kesadaran mengenai
kognisi kita sendiri. Pengetahuan metakognitif dibagi menjadi 3 bagian yaitu :
pengetahuan

strategi,

pengetahuan

tentang

tugas

kognitif

(pengetahuan

kontekstual dan pengetahuan kondisional) dan pengetahuan tentang diri sendiri.


1) Pengetahuan strategi
Pengetahuan strategi adalah pengetahuan tentang strategi secara umum
dalam belajar, berpikir dan memecahkan masalah. Strategi yang dimaksud disini
adalah strategi yang dapat digunakan dalam menyelesaikan tugas dan bahan
pelajaran yang berbeda. Pengetahuan strategi meliputi pengetahuan mengenai
bermacam macam strategi yang digunakan siswa untuk mengingat suatu bahan,

10

memisahkan (mencari) pengertian dari suatu teks, atau memahami apa yang
didengar dalam pembelajaran dikelas atau buku yang dibaca dan cara lainnya.
Strategi metakognitif dibagi menjadi 3 bagian yaitu latihan, penguraian (elaborasi)
dan pengaturan ( organisasi).
a) Strategi latihan meliputi mengulang kata - kata atau ucapan secara terus
menerus. Secara umum bukan strategi yang efektif untuk sampai pada
pemahaman tertinggi dalam suatu pembelajaran.
b) Strategi elaborasi meliputi penggunaan mnemonics untuk mengingat tugas
seperti teknik yang terdiri dari meringkas, menguraikan dengan kata kata
sendiri, dan memilih ide dari sebuah teks. Strategi elaborasi lebih baik
dalam membantu siswa untuk

memahami suatu proses dibandingkan

dengan strategi latihan.


c) Strategi organisasi meliputi bentuk dari sketsa atau garis besar dari peta
kognitif. Siswa dapat mengetahui variasi strategi metakognitif yang
digunakan dalam perencanaan, pengaturan dan peraturan - peraturan dari
kognisi mereka. Siswa dapat menggunakan strategi mereka untuk
merencanakan kognisi mereka, mengatur kognisi

mereka,

meregulasi

kognisi mereka (membaca berkali kali apa yang tidak mereka mengerti,
kembali dan memperbaiki, memperhitungkan kesalahan yang dibuat oleh
mereka).
2) Pengetahuan tugas kognitif (pengetahuan kontekstual dan pengetahuan
kondisional)
Setiap siswa menghasilkan pengetahuan dari pembelajaran yang berbeda,
strategi berpikir yang berbeda. Pengetahuan ini menggambarkan secara umum apa
strategi yang digunakan dan bagaimana menggunanakannya dengan pengetahuan
prosedural.

Siswa juga membutuhkan pengetahuan kondisional

untuk

menerapkan suatu strategi kognitif. Dengan kata lain mereka membutuhkan


pengetahuan tentang kapan dan mengapa menggunakan suatu strategi secara tepat.
Semua strategi yang berbeda mungkin tidak tepat untuk semua situasi. Siswa
harus mempunyai pengetahuan tentang kondisi dan tugas yang berbeda dan juga
mempunyai strategi yang berbeda dalam menyelesaikannya. Pengetahuan
prosedural merujuk pada pengetahuan mengenai situasi yang mana siswa boleh
menggunakan keterampilan khusus, algoritma, teknik dan metode.
3) Pengetahuan tentang diri sendiri.

11

Seperti pengetahuan mengenai strategi yang bebeda dan pengetahuan tugas,


Flavell (1979) juga mengungkapkan bahwa pengetahuan tentang diri juga
merupakan hal yang penting dalam metakognisi. Dalam teorinya, Flavell
membagi pengetahuan diri sendiri menjadi pengetahuan tentang kekuatan dan
kelemahan dalam hubungannya dengan kognisi dan pembelajaran. Siswa yang
biasanya bekerja lebih baik pada tes pilihan ganda dibandingkan pada tes uraian
memiliki pengetahuan diri tentang keterampilan tes mereka. Pengetahuan ini bisa
digunakan oleh siswa pada pembelajaran mereka untuk 2 tipe tes yang berbeda.
Satu tanda kemajuan adalah ketika mereka tahu apa yang mereka tidak tahu
tentang sesuatu dan mereka kemudian menggunakan beberapa strategi untuk
menemukan yang dibutuhkan dan ketepatan informasi. Kesadaran diri mengenai
keluasan dan kedalaman dari pengetahuan seseorang adalah sebuah aspek yang
penting dalam pengetahuan diri. Akhirnya siswa perlu untuk sadar dari tipe
strategi yang berbeda yang menjadi sandaran yang mereka pilih ketika
menghadapi situasi yang berbeda. Ketika harus menyesuaikan dengan strategi
yang cocok, maka dapat mengarahkan siswa untuk mengubah ke strategi tersebut.
Teori metakognisi mengalami perkembangan dari waktu ke waktu sampai
pada teori yang dikeluarkan oleh Schraw (1994). Schraw membagi keterampilan
metakognisi menjadi lebih terperinci namun tidak mengubah konsep awal
metakognisi yang dikeluarkan oleh Flavell (1979). Schraw (1998:114) membagi
metakognisi menjadi dua bagian yaitu pengetahuan metakognitif dan pengalaman
metakognitif.
a) Pengetahuan metakognitif.
Pengetahuan metakognitif adalah bagian dari akumulasi dunia seseorang
yang ada hubungannya dengan orang lain sebagai agen kognitif dan tugas tugas
kognitif mereka, tujuan, tindakan dan pengalaman. Misalnya ketika seseorang
mampu menggambarkan pemahaman tentang apa yang diketahui atau
menjelaskan kepada orang lain mengenai kebingungannya. Pengetahuan
metakognitif dibagi menjadi 3 bagian yaitu pengetahuan deklaratif (declarative
knowledge) yaitu pengetahuan tentang dirinya dan strategi yang digunakan.
Pengetahuan deklaratif merupakan gabungan dari pengetahuan diri dan
pengetahuan strategi menurut teori Flavell (1979). Pengetahuan prosedural

12

(procedural knowledge) yaitu pengetahuan tentang bagaimana menggunakan


strategi yang ada dan pengetahuan kondisional (conditional knowledge) yaitu
pengetahuan tentang kapan dan mengapa menggunakan suatu strategi atau dengan
kata lain pengetahuan tentang kapan dan mengapa menggunakan pengetahuan
deklaratif dan prosedural. Menurut teori Flavell (1979) dan Anderson et al. (2001)
pengetahuan kondisional disebut dengan istilah pengetahuan tentang tugas dimana
dibagi menjadi 2 bagian yaitu pengetahuan prosedural dan kondisional.
b) Pengalaman metakognitif
Pengalaman metakognitif adalah perasaan sadar selama melakukan aktivitas
kognitif yang berhubungan dengan proses. Pengalaman metakognitif merupakan
serangkaian aktivitas yang membantu siswa dalam mengontrol pembelajaran.
Pengalaman metakognitif dibagi menjadi 5 bagian yaitu perencanaan, strategi
manajemen informasi, pemahaman monitoring, strategi debugging, dan evaluasi.
Pengalaman metakognitif adalah pengalaman baik kognitif atau afektif yang
berhubungan dengan kegiatan kognitif.
Meskipun pengalaman metakognitif telah dibagi menjadi beberapa
komponen yang lebih rinci, namun menurut Jacob, et al (Schraw & Moshman,
1995:354) terdapat tiga inti dalam pengalaman metakognitif yaitu perencanaan
(planning), memantau (monitoring) dan evaluasi (evaluation). Perencanaan
melibatkan pemilihan strategi yang tepat dan alokasi sumber daya (waktu,
perhatian) yang mempengaruhi kinerja. Monitoring mengacu pada pemahaman
kesadaran dan kinerja tugas. Penelitian menunjukan bahwa kemampuan
pemantauan membaik dengan adanya pelatihan dan praktek. Evaluasi mengacu
pada penilaian produk dan proses belajar, termasuk didalamnya mengevaluasi
tujuan dan kesimpulan. Senada dengan teori tersebut Brown (Woolbolk, 2009:36)
juga membagi pengalaman metakognitif menjadi 3 keterampilan mendasar yaitu
planning (merencanakan), monitoring (memantau) dan evaluating (evaluasi).
Merencanakan melibatkan memutuskan berapa banyak waktu yang diberikan
untuk mengerjakan sebuah tugas, strategi mana yang akan digunakan, bagaimana
memulainya, sumber daya apa yang akan digunakan, urutan apa yang akan diikuti,
bagian mana yang harus diperhatikan secara teliti dan bagian mana yang tidak.
Memantau adalah kesadaran tentang bagaimana saya bekerja? Memantau adalah
menanyakan apakah ini masuk akal? Apakah saya sedang berusaha bekerja terlalu

13

cepat? apakah saya cukup belajar? Sedangkan mengevaluasi melibatkan membuat


penilaian tentang proses dan hasil berpikir dan belajar. Apakah saya harus
mengubah strategi? Mencari bantuan? Menyerah untuk saat ini? Apakah tugas ini
sudah selesai?.
Dalam penelitian ini penulis mendefinisikan pengetahuan metakognitif yaitu
pengetahuan dan kesadaran tentang kognitif dan pengalaman metakognitif yaitu
kesadaran dalam penggunaan strategi strategi metakognitif. Penulis membagi
aspek

untuk

pengetahuan

metakognitif

dan

pengalaman

metakognitif

menggunakan teori Schraw & Denison (1994) dimana pengetahuan metakognitif


meliputi pengetahuan deklaratif, pengetahuan prosedural dan pengetahuan
kondisional dan pengalaman metakognitif meliputi perencanaan, strategi
manajemen informasi, pemahaman monitoring, strategi debugging, dan evaluasi
(Schraw & Denison, 1994: 474-475). Definisi aspek metakognisi dari dua
komponen tersebut dapat dilihat dalam tabel berikut ini :
Tabel 2.1 Definisi Aspek Metakognisi
No
1.

2.

Aspek
Pengetahuan

Definisi
Pengetahuan siswa mengenai strategi dan kemampuan

deklaratif

intelektual yang dimiliki.


Pengetahuan
siswa
tentang

Pengetahuan
prosedural

No
3.

mengimplementasikan strategi pembelajaran.


Definisi
Pengetahuan siswa mengenai kapan dan mengapa

kondisional

menggunakan strategi pembelajaran.


Merencanakan dan menentukan atau menetapkan

Perencanaan

terlebih dahulu suatu tujuan pembelajaran.


Memiliki

6.

Strategi

manajemen

keterampilan

mengorganisasikan,

atau

menguraikan

strategi
dan

dalam

meringkas

informasi

pengetahuan untuk memproses suatu informasi yang

Pemahaman

lebih baik dan efisien.


Memiliki kemampuan untuk menilai atau menduga

monitoring
7.

cara

Aspek
Pengetahuan

4.

5.

bagaimana

Strategi debugging

strategi pembelajaran yang digunakan.


Strategi yang digunakan untuk
pemahaman dan pengetahuan yang salah.

memperbaiki

14

8.

Menganalisis pengetahuan dan strategi yang lebih

Evaluasi

efektif setelah pembelajaran.

3. Perkembangan Metakognisi Siswa.


Eigsti, et al. (Ormrod, 2009:370) mengatakan bahwa anak anak dan
remaja secara bertahap menjadi lebih mampu mengontrol dan mengarahkan
proses proses kognitifnya sebagai usaha untuk belajar sesuatu. Ketika anak
anak bertambah dewasa mereka semakin menemukan manfaat dari proses
proses ini dan menggunakannya lebih sering lagi. Anak anak juga secara
bertahap memperoleh strategi srategi tambahan. Jadi dengan mengetahui
pengetahuan kognitifnya, maka akan semakin mudah di kontrol melalui
penggunaan strategi. Hal ini juga dikatakan oleh Lovett & Flavell (Ormrod,
2009:370), bahwa seiring bertambahnya usia dan pengalaman, anak anak juga
menjadi lebih tahu strategi mana yang lebih efektif dalam situasi yang berbeda.
Hal ini akan berdampak baik pada proses belajar dan prestasinya seperti yang
dikatakan oleh Hofer & Pintrich (Ormrod, 2009:370) menyatakan bahwa semakin
pembelajar tahu tentang proses berpikir dan belajar yaitu semakin besar kesadaran
metakognisi mereka maka semakin baik proses belajar dan prestasi yang mungkin
mereka capai dan lebih jauh lagi pada pengetahuan konseptualnya seperti
pendapat Sinatra & Pintrich (Ormrod,2009:370) bahwa siswa siswa yang
memiliki pehamaman yang lebih canggih mengenai proses belajar dan berpikir
lebih mungkin mengalami perubahan konseptual ketika diperlukan.
Berikut ini adalah karakteristik perkembangan metakognisi setiap jenjang
a. Pada umur 2 tahun
1) Kesadaran adanya pikiran dalam diri sendiri atau orang lain, walaupun
dalam

bentuk

yang

sederhana,

kemampuan

yang

terbatas

untuk

menggambarkan hakikat yang spesifik dari pemikiran seseorang


2) Estimasi yang berlebihan terhadap apa yang telah dipelajari dan seberapa
banyak yang dapat diingat pada masa yang akan datang
3) Keyakinan bahwa belajar itu merupakan kegiatan yang cukup pasif
4) Keyakinan bahwa kebenaran yang mutlak mengenai suatu topik itu terletak
disuatu tempat di luar sana mungkin dalam pikiran seorang figur yang
berkuasa.
b. Pada umur 3-5 tahun

15

1) Meningkatkan kemampuan untuk merefleksikan hakikat proses pemikiran


diri sendiri.
2) Estimasi yang berlebihan terhadap kemampuan memori
3) Munculnya kesadaran bahwa belajar itu suatu proses aktif, kostruktif dan
orang orang bisa saja salah menafsirkan apa yang mereka amati.
4) Berlanjutnya keyakinan bahwa kebenaran itu ada di luar sana, entah itu
dalam diri para ahli atau belum ditemukan sama sekali.
c. Pada umur 6 8 Tahun
1) Meningkatnya stabilitas dalam penggunaan strategi strategi belajar
(misalnya melalui latihan dan organisasi).
2) Strategi belajar (kalau ada) yang tidak efektif (seperti kemampuan mencatat
yang buruk, sedikit atau tidak ada sama sekali pematauan pemahaman/
comprehension monitoring).
3) Keyakinan bahwa pengetahuan mengenai suatu topik itu sebagian besar
terdiri dari sekumpulan fakta yang terpisah pisah.
4) Meningkatnya kesadaran bahwa pengetahuan bisa jadi subjektif dan
pandangan pandangan yang berlawanan boleh jadi memiliki validitasnya
masing masing (contohnya mengatakan orang orang berhak memiliki
opini masing - masing)
d. Pada umur 9 -12 tahun
1) Berkembangnya (walaupun belum lengkap) pengetahuan tentang strategi
kognitif mana yang efektif untuk situasi situasi yang berbeda
2) Penggunaan latihan yang terus menerus oleh beberapa siswa.
3) Pengakuan yang semakin meningkat bahwa menguasai suatu topik atau
keterampilan itu membutuhkan waktu dan latihan (alih secara cepat sebagai
akibat dari kemampuan bawaan)
4) Munculnya pengertian bahwa perspektif yang berlawanan harus dinilai
berdasarkan bukti dan logika (ciri yang dimiliki sekelompok siswa SMA).
Keating (Kartika, 2015:25) mengatakan bahwa karakteristik kemampuan
metakognisi remaja yang diklasifikasikan mulai usia 11 18 tahun (tahap
perkembangan kognisi tergolong dalam stadium operasional formal) adalah
mereka mampu mengukur kemampuan diri, pengetahuan, tujuan, serta langkahlangkah untuk mencapainya, dengan kata lain mereka mampu merencanakan,
membuat suatu keputusan dan mengambil strategi atau alternatif pemecahan
masalah. Siswa yang pada tahap operasional formal telah memasuki usia remaja
memiliki kapasitas yang lebih tinggi untuk memantau dan mengatur sumber
kognisi agar secara efektif memenuhi tuntutan tugas pembelajaran dibandingkan

16

dengan anak-anak. Kemampuan metakognisi yang semakin baik ini menghasilkan


fungsi dan pembelajaran kognisi yang lebih efektif.
Lebih lanjut, menurut Piaget (Kartika, 2015:25) pada periode ini idealnya
para remaja juga sudah memiliki pola pikir sendiri dalam usaha memecahkan
masalah-masalah yang kompleks dan abstrak. Kemampuan berpikir para remaja
berkembang

sedemikian

rupa

sehingga

mereka

dengan

mudah

dapat

membayangkan banyak alternatif pemecahan masalah beserta kemungkinan akibat


atau hasilnya. Berkaitan dengan penelitian ini, siswa yang menjadi subjek
penelitian ini adalah siswa kelas XI berusia sekitar 15 17 tahun yang tergolong
dalam stadium operasional formal.
4. Pemecahan Masalah dalam Pembelajaran Matematika
a. Masalah Matematika
Russefendi (Saija, 2010:29) menyatakan suatu persoalan sebagai suatu
masalah bagi seseorang jika (1) persoalan itu tidak dikenalnya maksudnya
ialah siswa belum memiliki prosedur atau algoritma tertentu untuk
menyelesaikannya. (2) siswa harus mampu menyelesaikannya, baik
kesiapan mentalnya maupun pengetahuan siapnya, terlepas dari apakah pada
akhirnya ia sampai atau tidak pada jawabannya. (3) ia memiliki niat untuk
menyelesaikannya. Sedangkan Lester (Pomalato, 2005:32) menyatakan
bahwa masalah merupakan suatu situasi dimana seseoranng atau kelompok
ingin melakukan suatu tugas akan tetapi tidak ada algoritma yang siap dan
dapat diterima sebagai suatu metode pemecahannya.
Definisi masalah dalam penelitian ini adalah suatu persoalan dimana
siswa

belum

memiliki

prosedur

atau

algoritma

tertentu

untuk

menyelesaikannya khususnya pada materi peluang.


Polya (Iswahyudi, 2012:11) meyatakan masalah terbagi menjadi dua,
yaitu masalah menemukan (problem to find), dan masalah membuktikan
(problem to prove). Masalah untuk menemukan merupakan suatu masalah
teoretis atau praktis, abstrak atau konkrit. Bagian utama dari masalah
menemukan antara lain: apa yang dicari? apa saja data yang diketahui?
bagaimana syaratnya? sedangkan masalah membuktikan merupakan
masalah untuk menunjukkan apakah suatu pernyataan benar atau salah, atau
tidak keduanya. Hal ini dapat dilakukan dengan cara menjawab pertanyaan

17

apakah pernyataan itu benar atau salah?. Dalam penelitian ini disajikan jenis
masalah menemukan (problem to find).
b. Pemecahan Masalah Matematika
Memecahkan masalah tidak hanya menjadi tujuan yang harus dicapai
dalam suatu pembelajaran tetapi juga merupakan alat yang dipakai untuk
menghadapi masalah yang dihadapi (Iswahyudi, 2012:10). Pemecahan
masalah sendiri merupakan bagian dari matematika dan tidak bisa
dipisahkan dari matematika. Pemecahan masalah dalam matematika akan
membantu pencapaian tujuan pembelajaran dalam matematika.
Pemecahan masalah adalah menggunakan (mentransfer) pengetahuan
dan keterampilan yang sudah ada untuk menjawab pertanyaan atau situasi
yang belum terjawab (Ormrod, 2009:392). Sedangkan menurut Woolbolk
(2009:74) pemecahan masalah didefenisikan sebagai memformulasikan
jawaban baru, yang lebih dari sekedar penerapan sederhana dari aturan
aturan yang sudah dipelajari sebelumnya untuk mencapai tujuan tertentu.
Dalam penelitian ini penulis menggunakan empat tahapan Polya
dalam pemecahan masalah. Polya (Polamato, 2005:36) membagi pemecahan
masalah

menjadi

empat

bagian

antara

lain

memahami

masalah

(understanding the problem), memikirkan rencana (devising a plan),


melaksanakan rencana (carrying out the plan) dan memeriksa kembali
jawaban (looking back).
5. Metakognisi dan Kesulitan Metakognisi Siswa dalam Pemecahan Masalah
Matematika.
Metakognisi siswa melibatkan pengetahuan dan kesadaran siswa tentang
pengalaman akan aktivitas kognitifnya sendiri atau segala sesuatu yang
berhubungan dengan pengalaman kognitifnya. Pengetahuan metakognitif meliputi
pengetahuan deklaratif, prosedural dan kondisional. Pengalaman metakognitif
meliputi perencanaan, strategi manajemen informasi, pemahaman monitoring,
strategi debugging, dan evaluasi.
Kesulitan metakognisi dalam memecahkan masalah matematika yang
dimaksud

adalah ketidakmampuan siswa dalam menggunakan pengetahuan,

kesadaran, dan kontrol terhadap proses dan hasil berpikirnya dalam memecahkan

18

masalah matematika. Masalah matematika yang digunakan dalam penelitian ini


adalah masalah matematika yang berkaitan dengan materi peluang. Oleh karena
itu, metakognisi siswa memiliki peranan penting dalam menyelesaikan masalah,
khususnya dalam mengatur dan mengontrol aktivitas kognitif siswa dalam
menyelesaikan masalah, sehingga belajar dan berpikir yang dilakukan oleh siswa
dalam menyelesaikan masalah matematika menjadi lebih efektif dan efisien
(Mulbar, tanpa tahun).Untuk dapat mengetahui metakognisi dan kesulitan
metakognisi siswa dalam memecahkan masalah matematika, maka dibuat
indikatornya sebagai berikut :
Tabel 2.2
Indikator Metakognisi Dalam Memecahkan Masalah Matematika
Langkah
Aspek Definisi
Indikator
Pemecahan
Aspek
Masalah Polya Metakognisi
1. Memahami
Perencanaan. Merencanakan dan
Subjek sadar tentang :
1. Pengetahuan
Masalah
menentukan atau
sebelumnya yang
(Understandi
menetapkan terlebih
berkaitan dengan
ng the
dahulu hal hal yang
masalah tersebut.
Problem).
berkaitan dalam
memecahkan masalah.
Strategi
Memiliki keterampilan Subjek sadar tentang :
1. Ketelitian dalam
Manajemen
atau strategi dalam
mencari Informasi
Informasi.
mengorganisasikan,
penting dalam soal
menguraikan dan
(yang diketahui
meringkas pengetahuan
dan ditanyakan
untuk memproses suatu
dari soal)
informasi yang lebih
2. Menerjemahkan
baik dan efisien.
informasi yang
didapatkan dengan
kata kata sendiri.
Pengetahuan
Pengetahuan siswa
Subjek sadar bahwa :
Deklaratif
mengenai strategi dan
1. Dirinya dapat
kemampuan intelektual
dengan baik
yang dimiliki.
mengetahui
informasi yang
penting dalam
memecahkan
masalah.
2. Dirinya mudah

19

2. Memikirkan
Rencana
(Devising A
Plan).

Pemahaman
Monitoring.

3. Melaksanaka Pengetahuan
n Rencana
Prosedural
(Carrying
Out the Plan).

Strategi
Debugging

dalam mengingat
atau tidak dapat
informasi yang
didapatkan pada
soal.
3. Dirinya adalah
seorang yang
mampu untuk
mengerti atau tidak
mengerti sesuatu
dengan baik.
Memiliki kemampuan
Subjek sadar tentang :
1. Pertimbangan
untuk menilai atau
berbagai strategi
menduga strategi
sebelum
pembelajaran yang
memecahkan
digunakan.
suatu masalah.
2. Kegunaan strategi
strategi saat
memecahkan
suatu masalah.
Pengetahuan siswa
Subjek sadar tentang :
tentang bagaimana cara 1. Strategi
mengimplementasikan
sebelumnya yang
strategi pembelajaran.
telah dipelajari dan
dapat membantu
dalam
memecahkan
masalah.
2. Penggunaan
strategi secara
otomatis.
Strategi yang
Subjek sadar tentang :
1. Perubahan yang
digunakan untuk
harus dilakukan
memperbaiki
saat menggunakan
pemahaman dan
strategi yang salah.
pengetahuan yang
2. Evaluasi mengenai
salah.
kebingungan dalam
berasumsi.
3. Pengulangan
kembali informasi
yang tidak jelas.

20

Pengetahuan
Kondisional

4. Memeriksa
Kembali
Jawaban
(Looking
Back).

6.

Evaluasi.

Pengetahuan siswa
Subjek sadar tentang :
mengenai kapan dan
1. Kapan suatu
mengapa menggunakan
strategi akan
strategi pembelajaran
menjadi efektif.
2. Alasan
penggunaan
strategi pada
berbagai situasi.
Menganalisis
Subjek sadar tentang :
1. Strategi lain dalam
pengetahuan dan
memecahkan
strategi yang lebih
suatu masalah.
efektif setelah
2. Seberapa baik
pembelajaran.
kerja yang
dilakukan dalam
memecahkan
suatu masalah.
3. Pertimbangan
semua pilihan
dalam
memecahkan
suatu masalah.

Faktor Faktor Penyebab Kesulitan Metakognisi


Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya kesulitan
metakognisi antara lain :
a. Kurangnya motivasi
Motivasi adalah proses yang memberi semangat, arah dan kegigihan
perilaku. Motivasi bisa muncul karena adanya keinginan yang kuat dalam diri,
bisa juga karena adanya dorongan dari orang tua, guru, teman teman dan orang
lain yang sangat berpengaruh dalam kehidupan seseorang. Dalam menyelesaikan
suatu masalah diperlukan motivasi dalam diri seseorang. Menurut Pressley
(Santrock, 2010 : 343) bahwa dalam menyelesaikan suatu masalah, maka siswa
harus termotivasi untuk menggunakan strategi yang telah diajarkan. Perry, et al.
(Santrock, 2011:29) menyatakan bahwa meskipun siswa telah mempunyai
kemampuan pemecahan masalah yang hebat, hampir tidak ada gunanya jika
mereka tidak termotivasi untuk menggunakannya.

21

Hal yang penting bagi para siswa adalah untuk termotivasi secara internal,
guna menangani masalah dan gigih dalam menemukan suatu pemecahan.
Beberapa siswa menghindari masalah atau terlalu mudah menyerah. Suatu tugas
penting bagi guru adalah untuk memikirkan atau mengarahkan siswanya menuju
permasalahan yang berarti bagi mereka dan mendorong serta mendukung mereka
dalam menemukan pemecahan. Siswa jauh lebih termotivasi untuk memecahkan
masalah yang dapat mereka hubungkan kedalam kehidupan personal mereka
dibandingkan masalah masalah buku pelajaran yang tidak mempunyai arti
personal bagi mereka. Pendekatan berbasis masalah mengambil pendekatan dunia
nyata dan personal.
b. Kurangnya kontrol emosi
Emosi dapat memfasilitasi atau membatasi seseorang dalam menggunakan
kemampuan metakognisinya untuk memecahkan masalah. Barron & Harackwicz
(Santrock, 2010 : 374) menyatakan bahwa pada saat orang sangat termotivasi,
pemecah masalah yang baik selalu mampu mengontrol emosinya dan
berkonsentrasi pada solusi suatu masalah. Terlalu banyak kegelisahan atau
ketakutan dapat membatasi kemampuan murid untuk memecahkan masalah.
Individu yang kompeten dapat memecahkan masalah biasanya tidak takut
membuat kesalahan. Brown (Louca, 2003 : 11) juga menyatakan bahwa
pengalaman metakognisi seseorang sangat dipengaruhi oleh kecemasan,
ketakutan, ketertarikan. Anxiety (kecemasan) adalah perasaan takut dan
kegundahan yang tidak jelas dan tidak menyenangkan. Kecemasan akan terjadi
ketika seseorang telah terjebak dalam kosnstruknya yang buruk. Normal jika
murid kadang merasa khawatir atau cemas saat menghadapi kesulitan di sekolah
seperti saat akan mengerjakan ujian. Menurut Bandura (Santrock, 2010:529)
bahwa para periset telah menemukan banyak murid sukses punya kecemasan pada
level moderat. Menurut Wigfield & Eccles (Santrock, 2010:529) menyatakan
bahwa beberapa murid yang punya tingkat kecemasan tinggi dan konstan bisa
mengganggu kemampuan mereka untuk meraih prestasi. Misalnya kecemasan
menghadapi ujian diperkirakan akan menurunkan prestasi sekitar 10 juta anak dan
remaja. Kaitannya dengan kesulitan metakognisi maka siswa yang sulit untuk
mengontrol emosinya baik kecemasan, ketakutan maupun ketertarikannya
terhadap sesuatu maka akan membuatnya sulit untuk menggunakan kemampuan

22

metakognisinya dengan baik. seseorang merasakan ketakutan (fear) ketika


konstruk baru muncul yang tampaknya akan memasuki sistem kostruk. Bahkan
pada tingkatan pengalaman yang lebih signifikan orang akan merasakan ancaman.
Ancaman (threat) didefinisikan sebagai kesadaran terhadap perubahan meyeluruh
yang segera terjadi pada struktur inti seseorang.
c. Fiksasi (keterpakuan).
Fiksasi melibatkan penggunaan sebuah strategi terdahulu serta kegagalan
untuk memandang suatu masalah dari perspektif yang baru dan segar. Fiksasi
fungsional adalah jenis fiksasi dimana seseorang gagal memecahkan suatu
masalah karena ia memandang elemen elemen yang terlibat hanya terbatas pada
fungsi mereka yang biasa. Hal ini akan berpengaruh pada kemampuan
metakognisi dalam memecahkan masalah karena ketika seseorang dihadapkan
dengan suatu strategi dalam menghadapi suatu masalah, ia hanya memandang
bahwa strategi tersebut hanya bisa diselesaikan untuk satu jenis masalah saja.
d. Mental set
Mental set adalah jenis fiksasi dimana individu berusaha memecahkan suatu
masalah dengan cara tertentu yang telah berhasil di masa lalu. Hal ini akan
berpengaruh pada kemampuan metakognisi dalam memecahkan masalah, karena
ketika dihadapkan dengan masalah yang membutuhkan strategi yang baru maka
siswa akan sulit karena siswa cenderung terpaku dengan strategi yang lama.
e. Kurangnya self afficacy (keyakinan pada diri sendiri)
Brown (Louca, 2003 : 11) juga menyatakan bahwa pengalaman metakognisi
seseorang sangat dipengaruhi oleh konsep diri. Konsep diri yang dimaksud adalah
Self afficacy (keyakinan pada diri sendiri). Menurut Bandura (Santrock, 2010:523)
Self afficacy adalah keyakinan bahwa seseorang dapat menguasai situasi dan
memproduksi hasil positif. Self afficacy adalah keyakinan bahwa aku bisa
sedangkan ketidakberdayaan adalah keyakinan bahwa aku tidak bisa. Siswa
dengan Self afficacy tinggi setuju dengan pernyataan seperti saya tahu bahwa
saya akan mampu menguasai materi ini dan akan mengerjakan tugas ini. siswa
dengan Self afficacy rendah akan mungkin untuk menghindari tugas belajar
khususnya yang menantang dan sulit.

Self afficacy akan mempengaruhi

kemampuan metakognisi, dengan kurangnya Self afficacy akan membuat siswa


sulit untuk menggunakan kemampuan metakognisi, terutama dalam mengambil
keputusan untuk menggunakan suatu strategi dalam memecahkan masalah.

23

f. Kurangnya latihan
Santrock (2010 : 343) menyatakan bahwa dibutuhkan waktu, pedoman dan
bimbingan dari guru untuk belajar menggunakan kemampuan metakognisi sebagai
strategi dalam memecahkan masalah. Dengan latihan, siswa dapat menggunakan
strategi lebih cepat dan kompeten. Latihan berarti siswa menggunakan strategi
efektif berkali kali sehingga mereka mampu melakukannya secara otomatis.
Untuk menjalankan strategi secara efektif, mereka perlu menyimpan strategi itu
dalam memori jangka panjang dan latihan intensif akan memungkinkan hal
tersebut. Sebaliknya jika siswa tidak melakukan latihan berkali kali maka akan
sulit untuk menemukan strategi yang tepat ketika memecahkan masalah.
g. Pembelajaran yang kurang mengarahkan siswa pada penggunaan strategi
metakognisi.
Menurut Pressley (Santrock, 2010:342) kunci pendidikan adalah membantu
murid mempelajari serangkaian strategi yang dapat menghasilkan solusi dari suatu
masalah. Pemikir yang baik menggunakan strategi secara rutin untuk
memecahkan masalah. Pemikir yang baik juga tahu kapan dan dimana harus
menggunakan suatu strategi (pengetahuan kondisional). Memahami kapan dan
dimana harus menggunakan strategi kerap muncul dari aktivitas monitoring yang
dilakukan siswa terhadap situasi pembelajarannya.
Ketika siswa diberikan instruksi tentang strategi yang efektif mereka
seringkali dapat mengaplikasikan strategi tersebut. Siswa sangat terbantu jika guru
mencontohkan strategi yang tepat dan menerangkannya secara lisan. Kemudian
siswa berlatih menggunakan strategi tersebut dengan dibimbing oleh guru sampai
siswa

dapat

melakukannya

dengan

lancar.

Agar

bisa

efektif

dalam

mempertahankan dan mentransfer strategi, guru harus mendorong siswa untuk


memonitor efektivitas strategi baru mereka dibandingkan dengan penggunaan
strategi lama dengan cara membandingkan kinerja pada ujian dan penilaian
lainnya. Jadi pembelajaran tidak hanya sebatas mencoba tapi lebih kepada
mencoba dan membandingkan. Jika hal ini kurang ditekankan pada

24

pembelajaran maka akan terasa sulit bagi siswa untuk dapat menggunakan strategi
secara efektif dalam memecahkan masalah.
a.

7. Tipe Kepribadian
Pengertian Kepribadian
Kepribadian merupakan salah satu kajian psikologi yang lahir berdasarkan
pemikiran, kajian atau temuan temuan (hasil praktik penanganan kasus) para
ahli. Dalam kehidupan sehari hari kata kepribadian digunakan untuk
menggambarkan: (1) identitas diri, jati diri seseorang, seperti saya seorang yang
terbuka atau saya seorang yang pendiam, (2) kesan umum seseorang tentang
diri anda atau orang lain, seperti dia agresif atau dia jujur, (3) fungsi-fungsi
kepribadian yang sehat atau bermasalah, seperti : dia baikatau dia pendendam
(Hasanah, 2013 : 15)
Menurut Sujanto (Agustina, 2013), kata kepribadian berasal dari kata
personality (bahasa inggris) yang berasal dari kata persona (bahasa latin) yang
berarti kedok atau topeng. Santrock (2011:177) menyatakan kepribadian merujuk
pada pemikiran, emosi dan perilaku tersendiri yang menggambarkan cara individu
menyesuaikan diri dengan lingkungan. Menurut Koentjaraningrat (Agustina,
2013; 13) Kepribadian sebagai susunan unsur unsur akal dan jiwa yang
menentukan perbedaan tingkah laku atau tindakan dari tiap tiap individu
manusia. Hal yang sama juga dikatakan oleh Kamenskaya & Kukharev
(Agustina, 2013 : 14) yang menyatakan bahwa :
Personality is a dynamic organization, inside the person of phsychophysical
systems that create a persons characteristic patterns of behavior, thoughts
and feeling. In other words, personality is a complex combination of traits
and characteristics that determines our expectations, self perceptions,
values and attitudes, and predicts our reaction to people, subjects and even.
Makna kalimat diatas adalah kepribadian adalah organisasi dinamis,
didalam orang itu, sistem psikofisik yang menciptakan pola karakteristik
seseorang dari perilaku, pikiran dan perasaan. Dengan kata lain, kepribadian
adalah kombinasi kompleks dari sifat sifat dan karaketristik yang menentukan
harapan, persepsi diri, nilai dan sikap serta memprediksi reaksi kita terhadap
orang, subjek dan peristiwa.

25

Dari beberapa pengertian tersebut, yang dimaksud dengan kepribadian


dalam penelitian ini adalah sifat dan karakteristik yang dapat membedakan
tingkah laku dan cara berpikir seseorang. Kepribadian menjadi ciri khas dan
karakter pada masing masing siswa.
b.

Penggolongan Tipe Kepribadian


Terdapat beberapa macam teori kepribadian yang sering digunakan oleh
para psikolog dalam menggolongkan tipe kepribadian seseorang. Dalam penelitian
ini digunakan penggolongan tipe kepribadian tipologi Hippocrates-Galenus. Teori
ini dikembangkan oleh Hippocrates yang diperkuat oleh Galenus. Mereka
mengembangkan suatu teori kepribadian berdasarkan cairan tubuh yang
menentukan temperamen seseorang. Menurut kedua ahli tersebut ada empat cairan
tubuh yang menentukan temperamen seseorang, yaitu empedu hitam, empedu
kuning, lympha dan darah. Berdasarkan dominasi/ kekuatan cairan pada seseorang
maka ada empat tipe kepribadian, yaitu:
1) Seseorang yang memiliki banyak chole (empedu kuning) dalam tubuhnya
sehingga disebut cholerisi dan sifatnya disebut choleris.
2) Seseorang yang memiliki banyak sangui (darah) dalam tubuhnya sehingga
disebut sanguinisi dan sifatnya disebut sanguinis.
3) Seseorang yang memiliki banyak melanchole (empedu hitam) dalam
tubuhnya sehingga disebut melancholerisi dan sifatnya disebut melancholis.
4) Seseorang yang memiliki banyak flegma (lhympa) dalam tubuhnya sehingga
disebut fhlegmatisi dan sifatnya disebut fhlegmatis.
Menurut Kart (Agustina, 2013:16) uraian kepribadian kepribadian
tersebut sebagai berikut :
1) Temperamen Choleris (orang dengan darah panas)
Sifat sifat khas temperamen ini antara lain:
a) Lekas terbakar tetapi juga lekas padam atau tenang, tanpa membenci.
b) Tindakan tindakannya cepat tetapi tidak konstan.
c) Selalu sibuk, tetapi dalam kesibukannya itu dia lebih suka memerintah
daripada mengerjakannya sendiri.
d) Nafsunya yang pertama ialah mengejar kehormatan, suka sibuk
dimata orang banyak dan suka dipuji secara terang terangan.

26

e) Suka pada sikap semu dan formal


f) Suka bermurah hati dan melindungi, tetapi hal ini dilakukannya bukan
karena ia sayang kepada orang lain, melainkan karena ia sayang
kepada diri sendiri, sebab dengan berbuat demikian itu dia akan
mendapat penghargaan.
g) Dalam berpakaian selalu cermat dan rapi, karena dengan demikian itu
dia nampak lebih cendekia daripada yang sebenarnya.
2) Temperamen sanguinis (orang dengan darah ringan)
Sifat sifat khas temperamen ini antara lain:
a) Suasana perasaan selalu penuh harapan, segala sesuatu pada suatu
waktu dipandangnya penting, tetapi sebentar kemudian tidak
dipikirkannya lagi, dia sering menjanjikan sesuatu tetapi jarang
menepatinya, karena apa yang dijanjikan itu tak dipikirkan secara
mendalam apakah dia dapat memenuhinya atau tidak.
b) Dengan senang menolong orang lain, tetapi tidak dapat dipakai
sebagai sandaran.
c) Dalam pergaulan peramah dan periang.
d) Umumnya bukan penakut, tetapi kalau bersalah sukar bertobat, dia
menyesal, tetapi sesal itu lekas lenyap.
3) Temperamen melancholis (orang dengan darah berat)
Sifat sifat khas temperamen ini antara lain:
a) Semua hal yang bersangkutan dengan dirinya dipandangnya penting
dan selalu disertai dengan kembimbangan.
b) Perhatiannya terutama tertuju kepada segi kesukaran kesukarannya.
c) Tidak mudah membuat janji, karena dia berusaha akan selalu menepati
janji yang telah dibuatnya. Tetapi hal ini dilakukan tidak atas dasar
pertimbangan moral melainkan karena kalau tidak menepati janjinya
maka akan merisaukan jiwanya. Hal ini juga menyebabkan dia kurang
percaya diri dan tidak mudah menerima keramahtamahan orang lain.
4) Temperamen phlegmatis (orang dengan darah dingin)
Sifat khas temperamen ini antara lain:
a) Lambat menjadi panas, tetapi panasnya itu tahan lama.

27

b) Tidak mudah marah.


c) Darah yang dingin itu tak pernah dirisaukannya.
d) Cocok untuk tugas-tugas ilmiah.
Menurut Littauer (Agustina, 2013:18), uraian karakteristik yang dimiliki
oleh masing masing tipe kepribadian, yaitu sebagai berikut:
1) Kepribadian Choleris: secara umum ekstrovert, pelaku dan optimis.
a) Emosi Choleris : berbakat pemimpin, dinamis dan aktif, sangat
memerlukan perubahan, harus memperbaiki kesalahan. berkemauan
kuat dan keras, tidak emosional dalam bertindak, tidak mudah patah
semangat, bebas, mandiri dan bisa menjalankan apa saja.
b) Choleris di pekerjaan : berorientasi target, melihat seluruh gambaran,
terorganisasi dengan baik, mencari pemecahan praktis, bergerak cepat
untuk bertindak, mendelegasikan pekerjaan, menekankan pada hasil
dan berkembang karena saingan.
c) Choleris sebagai teman : tidak terlalu perlu teman, mau bekerja untuk
kegiatan, mau memimpin dan mengorganisasi, biasanya selalu benar
dan unggul dalam keadaan darurat.
2) Kepribadian sanguinis: secara umum ekstrovert, membicara dan optimis.
a) Emosi sanguinis: kepribadian yang menarik, suka berbicara, rasa
humor yang hebat, ingatan kuat untuk warna, emosional dan
demonstratif, antusias dan ekspresif, periang dan penuh semangat,
penuh rasa ingin tahu, polos, mudah diubah, berhati tulus dan selalu
kekanak-kanakan.
b) Sanguinis di pekerjaan : sukarelawan untuk tugas, memikirkan
kegiatan baru, kreatif dan inovatif, punya energi dan antusiasme,
mulai dengan cara cemerlang, tidak teliti dan tidak cermat,
mengilhami orang lain untuk ikut bekerja.
c) Sanguinis sebagai teman : Mudah berteman, dicintai banyak orang,
tampak menyenangkan, suka dipuji, bukan pendendam, cepat minta
maaf, mencegah saat membosankan, dan suka kegiatan spontan.

28

3) Kepribadian melancholis : secara umum introvert, pemikir dan pesimis.


a) Emosi melancholis : mendalam dan penuh pikiran, analitis, serius dan
tekun, cenderung jenius, berbakat dan kreatif, artistik atau musikal,
filosofis dan puitis, menghargai keindahan, perasa terhadap orang lain,
suka berkorban, penuh kesadaran dan idealis.
b) Melancholis di pekerjaan : berorientasi jadwal, perfeksionis, standar
tinggi, sadar perincian,, gigih dan cermat, tertib dan teroganisasi,
teratur dan rapi, ekonomis, melihat masalah, mendapat pemecahan
kreatif, perlu menyelesaikan apa yang dimulai, suka diagram, bagan,
grafik dan datar.
c) Melancholis sebagai teman : hati hati dalam berteman, menghindari
perhatian, setia dan berbakti, mau mendengarkan keluhan, bisa
memecahkan masalah orang lain dan sangat memperhatikan orang
lain.
4) Kepribadian phlegmatis : secara umum introvert, pengamat dan pesimis.
a) Emosi phlegmatis : kepribadian rendah hati, mudah bergaul dan
santai, diam, tenang, sabar, baik keseimbangannya, hidup konsisten,
tenang tetapi cerdas, simpatik dan baik hati, menyembunyikan emosi
dan bahagia menerima kehidupan.
b) Phlegmatis di pekerjaan : cakap dan mantap, damai dan mudah
sepakat, punya kemampuan administratif, menjadi penengah masalah,
menghindari konflik dan menemukan cara yang mudah.
c) Phlegmatis sebagai teman : mudah diajak bergaul, menyenangkan,
tidak suka menyinggung, pendengar yang baik, suka mengawasi
orang, punya banyak teman, serta punya belas kasihan dan perhatian.
B. Penelitian Yang Relevan
Adapun beberapa penelitian terkait dengan penelitian ini yang menunjukan
bahwa strategi metakognisi sangat membantu dalam meningkatkan prestasi
belajar matematika khususnya dalam hal pemecahan masalah diantaranya
penelitian yang dilakukan oleh zsoya & Ataman (2009). Penelitian ini bertujuan
untuk melihat efek penggunaan strategi metakognisi pada pemecahan masalah
matematika di Ankara, Turkey. Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif

29

dimana subyek penelitian ini terdiri dari siswa kelas 5 SD dengan rata rata umur
adalah 11.2 tahun. Untuk mengukur kemampuan pemecahan masalah siswa
digunakan soal untuk tes prestasi yang diadaptasi dari Mathematical Problem
Solving Achievement Test (MPSAT). Kemudian pengukuran keterampilan dan
pengetahuan metakognisi menggunakan angket Mathematical Problem Solving
Achievement Test and Turkish version of Metacognitive Skills and Knowledge
Assessment (MSA-TR) yang diambil dari Metacognitive Skills and Knowledge
Assessment. Angket tersebut terdiri dari 160 item dengan skor minimum adalah 0
dan skor maksimum adalah 360. Angket metakognisi terdiri dari dua komponen
metakognisi yaitu pengetahuan dan keterampilan dan terdiri dari tujuh indikator
metakognisi yaitu pengetahuan deklaratif, pengetahuan prosedural, pengetahuan
kondisional, prediksi, perencanaan, pengontrolan dan evaluasi. Adapun hasil dari
penelitian ini yang didapat dari tabel ANOVA yaitu [F (1,45) = 23.389, p < 0.05].
Hasil ini menunjukan bahwa penggunaan strategi metakognisi dalam kelompok
eksperimen menyebabkan perbedaan yang signifikan antara kelompok eksperimen
dan kelompok kontrol dalam pengetahuan dan keterampilan metakognisi. Hasil
yang diperoleh menunjukan skor mengenai MSA-TR untuk analisis metakognisi
pada kegiatan pemecahan masalah meningkat bila dibandingkan sebelum
perlakuan dan terbukti lebih efektif dibandingkan kelompok yang tidak terkena
perlakuan terutama dalam hal pengembangan keterampilan metakognisi. Efek
perhitungan hasil juga menunjukan perlakuan memiliki efek besar (F = 0.446).
Dari hasil diatas dapat disimpulkan bahwa pemberian perlakuan dalam hal strategi
metakognisi dalam pembelajaran matematika akan meningkatkan pembelajaran
matematika. Dalam hubungannya dengan analisis metakognisi terhadap
kemampuan pemecahan masalah, pemberian perlakuan (strategi metakognisi)
pada kelompok eksperimen memberikan perbedaan hasil kemampuan pemecahan
masalah dengan kelompok kontrol yang tidak diberi perlakuan (strategi
metakognisi). Pemberian srategi metakognisi terhadap kelas eksperimen ternyata
dapat

meningkatkan

kemampuan

pemecahan

masalah.

Sehingga

dapat

disimpulkan bahwa strategi metakognisi dapat meningkatkan keterampilan


pemecahan masalah dan dapat digunakan dalam penerapan pembelajaran
matematika (khususnya pemecahan masalah) pada tingkat sekolah dasar. Hasil

30

sejenis juga didapatkan oleh Kaune, et al (2011). Penelitian ini merupakan


penelitian desain Jerman - Indonesia yang dilakukan oleh Universitas Sanata
Dharma (Yogyakarta) dan Universitas Osnabrck, dimulai dari oktober 2009
sampai desember 2010. Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan kemampuan
matematika siswa di sekolah menengah secara signifikan dengan menerapkan
strategi metakognisi. Karena hasil dari studi banding internasional menunjukkan
bahwa ada hubungan antara metakognisi dan keberhasilan proses belajar, maka
dirancang sebuah lingkungan belajar untuk siswa kelas 7, yang bertujuan untuk
meningkatkan kegiatan metakognitif dan diskurs bagi siswa dan guru. Efektivitas
pendekatan ini diuji beberapa kali di sekolah menengah. Dalam artikel ini
disajikan latar belakang teoritis yang digunakan untuk pengembangan lingkungan
pembelajaran, beberapa contoh tugas yang diberikan kepada siswa dan analisis
hasil kerja siswa. Dengan adanya penerapan strategi metakognisi lewat sistem
metafora maka hasil belajar siswa meningkat bahkan strategi ini dapat dipakai
untuk studi pilot. Penelitian yang sejenis juga dilakukan oleh Jbeili (2012).
Dimana penelitian ini melihat efek dari penggunaan strategi metakognisi dalam
pembelajaran kooperatif pada siswa kelas 5 SD, dalam menerapkan pemahaman
konseptual dan prosedural matematika, khususnya dalam belajar dan memecahkan
masalah yang berhubungan dengan penjumlahan dan pengurangan pecahan.
Subyek dalam penelitian ini adalah 240 siswa laki laki dari sekolah khusus laki
laki di Irbid, Jordan. 6 kelas dipilih secara acak dari dari 3 sekolah dasar khusus
laki laki yang berbeda, sehingga masing masing sekolah terdiri dari dua kelas.
Penelitian ini menggunakan kuasi eksperimental dimana dari masing masing
sekolah diajarkan model yang berbeda yaitu pembelajaran kooperatif dengan
strategi metakognisi, pembelajaran kooperatif tanpa strategi metakognisi dan
pembelajaran tradisional. Hasil penelitian menunjukan bahwa siswa yang
diajarkan dengan model pembelajaran kooperatif dengan strategi metakognisi
lebih unggul dibandingkan siswa yang menggunakan pembelajaran kooperatif
tanpa strategi metakognisi dan pembelajaran tradisional. Begitu pula siswa yang
diajarkan pembelajaran kooperatif tanpa strategi metakognisi lebih unggul
dibandingkan siswa yang hanya diajarkan dengan pembelajaran tradisional. Hal
yang sama pun didapatkan oleh

Anggo, et al (2014) yang meneliti tentang

31

penggunaan strategi metakognisi untuk meningkatkan hasil belajar matematika


siswa kelas VIII SMPN 5 kendari, Hasil dari penelitian ini antara lain : (1) proses
pembelajaran yang menerapkan strategi metakognisi berjalan dengan baik dan
melibatkan siswa secara aktif dalam semua rangkaian proses pembelajaran, (2)
Hasil belajar yang berhasil dicapai siswa menunjukan keadaan lebih baik
pada kelas yang menerapkan strategi metakognisi bila dibandingkan dengan
kelas yang menerapkan strategi konvensional. Penelitian penelitian diatas
menunjukan

bahwa

pembelajaran

dengan

strategi

metakognisi

dapat

meningkatkan hasil belajar matematika. Berbeda dengan penelitian yang


dilakukan oleh penulis, dimana penelitian sebelumnya merupakan penelitian
pengembangan dan kuantitatif untuk melihat apakah dengan menerapkan strategi
metakognisi dapat meningkatkan keterampilan pemecahan masalah dan prestasi
matematika sedangkan penelitian ini merupakan penelitian kualitatif untuk
menganalisis kemampuan metakognisi dalam pemecahan masalah. Dalam
hubungannya dengan penelitian diatas, penulis menggunakan penelitian tersebut
untuk mendapatkan informasi yang menunjukan hubungan antara kemampuan
metakognisi dan pemecahan masalah yaitu dengan adanya penerapan strategi
metakognisi maka akan dapat meningkatkan keterampilan pemecahan masalah.
Walaupun terdapat hubungan antara strategi metakognisi dan kemampuan
pemecahan masalah, namun dalam pelaksanaannya tentu terdapat berbagai
kesulitan. Hal ini sesuai dengan beberapa penelitian yang menunjukan bahwa
adanya kesulitan dalam menerapkan strategi metakognisi untuk meningkatkan
kemampuan pemecahan masalah diantaranya adalah penelitian yang dilakukan
oleh Al-khayat (2012). Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis level berpikir
kreatif dan metakognisi ditinjau dari perbedaan gender di propinsi Al-Balqa di
Jordan. Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dimana menggunakan
metode stratified sampling. Adapun sampel diambil dari siswa yang memiliki
peringkat kedelapan, kesembilan, dan kesepuluh dengan jumlah perempuan yaitu
186 dari 14.820 populasi. Jumlah sampel laki laki adalah 186 dari 16.380
populasi. Adapun instrumen yang digunakan untuk mengukur kemampuan
metakognisi siswa adalah metacognitive awareness inventory yang diadaptasi dari
buku Schraw & Denison . Dari hasil penelitian menunjukan bahwa kemampuan

32

metakognisi pada laki laki lebih tinggi dari perempuan dimana rata ratanya
yaitu 3.391 lebih tinggi dibanding perempuan yang rata ratanya adalah 2.963.

0.05
Hasil yang sama juga ditunjukan dari nilai T yaitu 5.03 (

). Hal ini berarti

terdapat perbedaan yang signifikan antara kemampuan metakognitif laki laki


dan perempuan. Berdasarkan hasil diatas dapat disimpulkan keterampilan
metakognisi dari siswa laki laki lebih baik dibanding perempuan. Selanjutnya
menurut Majed hal diatas disebabkan karena tradisi di Jordan mengenai
pendidikan Islam dimana siswa laki laki lebih sering berinteraksi dengan
lingkungan luar dibandingkan siswa perempuan yang mempunyai interaksi yang
sempit dengan dunia luar. Penelitian diatas sangat menarik karena menunjukan hal
baru dimana kesulitan dalam menerapkan metakognisi dalam pembelajaran
dipengaruhi juga oleh budaya, dan ternyata berbeda antara siswa laki laki dan
perempuan. Penelitian sejenis juga pernah dilakukan oleh Iswahyudi (2012)
berjudul analisis metakognisi dalam memecahkan masalah pembuktian langsung
ditinjau dari gender dan kemampuan matematika. Penelitian ini merupakan
penelitian kualitatif eksploratif tentang aktivitas metakognisi terhadap empat
subjek penelitian yaitu mahasiswa laki-laki dengan kemampuan matematika
tinggi, mahasiswa perempuan dengan kemampuan matematika tinggi, mahasiswa
laki-laki

dengan

kemampuan

matematika

rendah.

Hasil

penelitian

ini

menunjukkan setiap tahap pemecahan masalah Polya, mahasiswa berkemampuan


tinggi baik laki laki maupun perempuan memiliki keterlaksanaan metakognisi
yang sangat lengkap. Namun,

tingkat kelengkapan aktivitas metakognisi

mahasiswa laki-laki lebih tinggi. Di pihak lain keterlaksanaan metakognisi


mahasiswa berkemampuan matematika rendah, baik laki-laki maupun perempuan
berada pada tingkat yang rendah, variasi keterlaksanaan aktivitas metakognisinya
jauh lebih rendah dibandingkan mahasiswa dengan kemampuan matematika
tinggi. Namun pada mahasiswa perempuan maupun laki-laki dengan kemampuan
matematika rendah memiliki variasi aktivitas metakognisi yang sama. Bisa dilihat
jika hasil penelitian ini berbeda dengan penelitian sebelumnya. Hal yang sama
juga ditemukan oleh Sudia (2014) bahwa subjek laki-laki dan subjek perempuan
memiliki profil metakognisi yang sama pada tahap memahami masalah, tahap

33

membuat

rencana

pemecahan masalah serta tahap

melaksanakan rencana

pemecahan masalah dan berbeda profil metakognisinya pada tahap memeriksa


kembali hasil pemecahan masalah. Jika penelitian yang dilakukan oleh Iswahyudi
dan Majed di Indonesia menunjukan bahwa kemampuan metakognisi terhadap
pemecahan masalah pada siswa perempuan berbeda dengan laki laki maka
penelitian yang dilakukan oleh Al Khayat (2012) di Jordan menunjukan hasil
sebaliknya. Hal ini menunjukan bahwa kemampuan metakognisi juga ditentukan
oleh budaya dan gender. Penelitian lainnya juga menunjukan adanya kesulitan
kesulitan dalam penggunaan strategi metakognisi, beberapa penelitian juga
menunjukan hal tersebut diantaranya penelitian oleh Du Toit & Kotze (2009,
dimana penelitian ini untuk mengetahui penggunaan strategi metakognisi dari
siswa kelas XI dan guru matematika di Motheo. Penelitian ini merupakan
penelitian kuantitatif. Subyek penelitian diambil dari 10 sekolah yang mendapat
nilai tertinggi di bidang matematika dengan rata-rata nilai yang didapatkan yaitu
69.75% dan 60.13%. dari setiap sekolah diambil 20 siswa yang memiliki
kemampuan matematika yang baik, sehingga pelajar yang terpilih sekitar 394
orang dengan dalam 16 kelas beserta masing masing guru matematika.
Penelitian yang dilakukan dengan membagi kuesioner yang terdiri dari 13 strategi
metakognif yang akan diukur. Adapun hasil yang didapatkan adalah strategi
metakognisi yang paling banyak dilakukan oleh guru dan siswa adalah sebagai
berikut : rata-rata nilai strategi metakognitif perencanaan, evaluasi dan
menetapkan tujuan berturut turut adalah 4.00, 3.55 dan 3.41 sedangkan untuk
siswa rata rata nilai strategi metakognisi evaluasi, perencanaan, memilih
strategi, mengidentifikasi kesulitan berturut turut adalah 3.15, 3.07, 2.83, 2,83.
Jika dilihat perencanaan dan evaluasi mendapatkan nilai yang paling tinggi. Hal
ini mengindikasikan bahwa guru dan siswa mengatur dengan baik kekurangan dan
kelebihan dalam pembelajaran matematika sedangkan strategi metakognisi yang
sedikit dilakukan oleh guru dan siswa adalah sebagai berikut : rata rata nilai
strategi metakognisi berpikir kritis, menggali jurnal dan menjelaskan terminologi
berturut turut adalah sebagai berikut 2.73, 2.78 dan 2.91 sedangkan siswa rata
rata nilai strategi metakognisi belajar kelompok, berpikir kritis dan menggali
jurnal berturut turut adalah sebagai berikut 2.24, 2.28 dan 2.38. Jika dilihat

34

berpikir kritis dan menggali jurnal paling sedikit dilakukan. Hal ini
mengindikasikan bahwa penggalian jurnal tidak mendorong siswa untuk
membantu mereka dalam tulisan tulisan dan menambah wawasan mereka
sehingga cenderung melakukan kesalahan. Ketika mempertimbangkan bahwa
siswa dapat mengevaluasi cara berpikir dan bertindak secara maksimal,
tampaknya peserta didik dapat mengevaluasi kekuatan, kelemahan, kesalahan dan
keberhasilan dalam pembelajaran matematika tetapi mereka tidak terus menerus
mengembangkan

pengetahuan

mereka.

Kenyataan

bahwa

peserta

didik

menggunakan kerja kelompok bisa menjelaskan bahwa berpikir kritis digunakan


dalam mengungkapkan pemikirannya secara lisan antara orang yang satu dengan
yang lainnya dalam kelompok. Hasil selanjutnya untuk menentukan perbandingan
pelaksanaan strategi metakognisi antara guru dan siswa. Nilai rata rata dari guru
adalah 3.28 dengan katergori Biasanya sampai hampir selalu. Sedangkan pada
siswa 2.72 dengan kategori kadang sampai biasanya. Hal ini mengindikasikan
bahwa guru lebih banyak menggunakan strategi metakognisi dibandingkan
dengan siswa. jika dilihat dari hasil penelitian ini ternyata tidak semua siswa dan
guru dapat menggunakan strategi metakognitif dengan baik, hal ini menunjukan
adanya kesulitan penerapan strategi metakognisi dalam pembelajaran matematika.
Berbeda dengan penelitian ini, penelitian yang dilakukan penulis merupakan
penelitian kualitatif untuk menganalisis kesulitan metakognisi dalam pemecahan
masalah khususnya pada siswa. Penelitian lain yang sejenis dilakukan oleh
Alfiyah & Siswono (2014) yang menunjukkan bahwa pada pengetahuan
metakognisi, siswa yang memecahkan masalah dengan benar tidak menyadari
kelebihan dirinya, sedangkan pada pengalaman metakognisi, siswa tidak bertanya
pada diri sendiri mengenai langkah yang harus dilakukan dan tidak
memperkirakan berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk melaksanakan rencana
penyelesaian. Selanjutnya pada pengetahuan metakognisi, siswa yang melakukan
kesalahan dalam memecahkan masalah matematika tidak menyadari kelebihan
dan kekurangan dirinya, tidak menyadari pengetahuan yang dapat digunakan, dan
tidak mengetahui alasan menggunakan suatu strategi, sedangkan pada pengalaman
metakognisi, siswa tidak bertanya pada diri sendiri mengenai langkah yang harus
dilakukan, tidak menyadari adanya kesalahan dalam memahami masalah, tidak

35

menyadari seberapa baik hasil kerjanya dalam memahami masalah, tidak


mengetahui bagaimana strategi yang benar, tidak menyadari adanya kesalahan
dalam menyusun strategi, tidak menyadari seberapa baik strategi yang digunakan,
tidak memperkirakan berapa lama waktu yang dibutuhkan, tidak menyadari
adanya kesalahan dalam melaksanakan rencana penyelesaian, tidak menyadari
seberapa baik hasil kerjanya dalam melaksanakan rencana penyelesaian, tidak
menyadari adanya kesalahan yang dilakukan dalam memecahkan masalah
matematika, dan tidak menyadari seberapa baik hasil kerjanya dalam
memecahkan masalah matematika. Selanjutnya penelitian oleh Antonius, et al.
(tanpa tahun) menunjukan bahwa secara keseluruhan perilaku metakognisi siswa
dalam pemecahan masalah matematika yang berkaitan dengan tingkat berpikir
kreatif siswa kelas VII SMP negeri 2 nanga taman adalah termasuk kriteria
aktivitas sedang, atau sebesar 55,57% dari item yang tersedia dan tingkat berpikir
kreatif secara keseluruhan termasuk dalam kategori cukup kreatif atau sebesar
50%. Penelitian oleh Widadah, et al. (2013) yang

menunjukkan bahwa siswa

bergaya kognitif reflektif melakukan aktivitas metakognisi

sesuai dengan

indikator pada masing-masing aktivitas metakognisi, yaitu mengembangkan


perencanaan, memonitor pelaksanaan, dan mengevaluasi tindakan. Siswa bergaya
kognitif impulsif belum melakukan aktivitas yang sesuai dengan indikator pada
masing-masing aktivitas metakognisi. Dalam hubungannya dengan penelitian ini,
hasil penelitian diatas dijadikan sebagai bahan informasi bagi penulis bahwa tidak
semua siswa dapat menerapkan kemampuan metakognisinya dengan baik,
terutama jika dilihat dari perbedaan gender, kemampuan akademis, gaya belajar
dan tingkat berpikir kreatif. Oleh karena itu, penulis tertarik untuk melakukan
penelitian untuk menganalis kesulitan metakognisi dalam pemecahan masalah
ditinjau dari tipe kepribadian.
C. Kerangka Berpikir
Pemecahan masalah adalah mentransfer pengetahuan atau pengalaman yang
ada untuk menjawab situasi yang belum terjawab, dalam kaitannya dengan
matematika,

pemecahan masalah matematika berguna untuk menyelesaikan

persoalan matematika yang diberikan. Hal ini merupakan tujuan pembelajaran


matematika yang menyatakan bahwa pembelajaran matematika pada siswa
mempunyai tujuan agar siswa memiliki kemampuan berpikir logis, analitis,

36

sistematis, kritis, kreatif dan inovatif serta mampu menyelesaikan soal


matematika. Untuk memecahkan masalah matematika dengan baik dibutuhkan
beberapa keterampilan. Salah satu diantaranya adalah keterampilan untuk
mengetahui proses berpikir dan mengatur proses berpikir tersebut. Hal Inilah yang
dinamakan metakognisi.
Semua orang mempunyai kemampuan pemecahan masalah, walaupun
derajat kemampuannya berbeda beda. Hal ini bergantung pada proses
berpikirnya karena proses berpikir merupakan bagian yang penting dalam
pemecahan masalah. Seseorang akan sukses dalam memecahkan masalah
bergantung pada apa yang ia ketahui dan bagaimana ia melakukannya. Oleh
karena itu, dengan menggunakan kemampuan metakognitif maka akan membantu
siswa dalam memecahkan masalah dengan baik dan berdampak pada
peningkatkan prestasi dan pengetahuannya. Hal ini didukung oleh penelitian
penelitian yang menunjukan bahwa adanya hubungan antara kemampuan
metakognisi dan pemecahan masalah matematika. Siswa yang diajarkan dengan
strategi metakognisi akan mendapatkan hasil belajar lebih baik jika dibandingkan
dengan siswa yang tidak diajarkan dengan strategi metakognisi. Penelitian
tersebut menunjukan bahwa semakin baik tingkat kemampuan metakognisi maka
semakin baik pula prestasi dan kemampuan pemecahan masalah matematika.
Kemampuan metakognisi juga berkaitan dengan gender, kemampuan
akademis, gaya belajar dan tingkat berpikir kreatif. Berdasarkan penelitian
sebelumnya, adanya perbedaan diatas menghasilkan pula perbedaan kemampuan
dalam pemecahan masalah matematika. Kemampuan metakognisi antara laki
laki dan perempuan berbeda, seseorang dengan kemampuan akademis yang baik
akan mempunyai kemampuan metakognisi yang lebih baik jika dibandingkan
dengan seseorang dengan kemampuan akademis yang kurang baik. Hal ini juga
berlaku pada siswa yang memiliki gaya belajar dan tingkat berpikir kreatif yang
berbeda.
Tinjauan yang digunakan dalam penelitian ini adalah berdasarkan tipe
kepribadian. Salah satu teori yang digunakan adalah teori kepribadian Tipologi
Hippocrates-Galenus.

Menurut

tipologi

Hippocrates-Galenus

kepribadian

37

digolongkan menjadi empat yaitu choleris, sanguinis, melancholis dan


phlegmatis. Penggolongan tipe ini berdasarkan cairan tubuh yang dominan.
Tipe kepribadian choleris dalam menyelesaikan sebuah pekerjaan memiliki
sifat, yaitu berorientasi target, melihat seluruh gambaran, terorganisasi dengan
baik, mencari pemecahan praktis, bergerak cepat untuk bertindak, mendelegasikan
pekerjaan, menekankan pada hasil, membuat target dan berkembang karena
saingan. Selain itu siswa dengan tipe choleris memiliki sifat berbakat pemimpin,
dinamis, aktif, sangat memerlukan perubahan, harus memperbaiki kesalahan,
berkemauan kuat dan keras, tidak emosional dalam bertindak, tidak mudah patah
semangat, bebas dan mandiri dan bisa menjalankan apa saja.
Tipe kepribadian sanguinis dalam menyelesaikan sebuah pekerjaan
memiliki sifat sukarelawan untuk tugas, memikirkan kegiatan baru, kreatif dan
inovatif, punya energi dan antusiasme, mulai dengan cara cemerlang, tidak teliti
dan tidak cermat, mengilhami orang lain untuk ikut bekerja. Selain itu siswa
dengan tipe ini memiliki sifat kepribadian yang menarik, suka berbicara, ras
humor yang hebat, ingatan kuat untuk warna, emosional dan demonstratif,
antusias dan ekspresif, periang dan penuh semangat, penuh rasa ingin tahu, lugu
dan polos, mudah diubah, berhati tulus, dan selalu kekanak-kanakan.
Tipe kepribadian melancholis dalam menyelesaikan sebuah pekerjaan
memiliki sifat, yaitu berorientasi jadwal, perfeksionis, standar tinggi, sadar
perincian,, gigih dan cermat, tertib dan teroganisasi, teratur dan rapi, ekonomis,
melihat masalah, mendapat pemecahan kreatif, perlu menyelesaikan apa yang
dimulai, suka diagram, bagan, grafik dan datar. Selain itu, siswa dengan tipe
kepribadian melancholis memiliki sifat mendalam dan penuh pikiran, analitis,
serius dan tekun, cenderung jenius, berbakat dan kreatif, artistik atau musikal,
filosofis dan puitis, menghargai keindahan, perasa terhadap orang lain, suka
berkorban, penuh kesadaran dan idealis.
Tipe kepribadian phlegmatis dalam menyelesaikan sebuah pekerjaan
memiliki sifat, yaitu cakap dan mantap, damai dan mudah sepakat, punya
kemampuan administratif, menjadi penengah masalah, menghindari konflik dan
menemukan cara yang mudah. Selain itu siswa dengan tipe kepribadian
phlegmatis mempunyai sifat rendah hati, mudah bergaul dan santai, diam, tenang,

38

sabar, baik keseimbangannya, hidup konsisten, tenang tetapi cerdas, simpatik dan
baik hati, menyembunyikan emosi dan bahagia menerima kehidupan.
Kaitannya dengan kemampuan metakognisi dalam memecahkan masalah,
adanya perbedaan tipe kepribadian juga menimbulkan perbedaan kemampuan
metakognisi dan adanya perbebedaan pula dalam menggunakan strategi
metakognisi.
Tipe kepribadian choleris. Jika dilihat dari caranya dalam bekerja, tipe
orang ini tidak akan mengalami kesulitan dalam memahami masalah, menyadari
langkah langkah yang digunakan, menyadari kesalahan yang dilakukan
menyadari seberapa baik hasil kerjanya hal ini dikarenakan karena sifatnya bisa
mengorganisir sesuatu dengan baik dan melihat seluruh gambaran dengan baik.
Tipe ini juga tidak mengalami kesulitan dalam membuat rencana pemecahan
masalah karena dia terbiasa dalam membuat target. Dalam menyelesaikan
masalah pun tipe ini sering lebih unggul, karena dia sering mencari pemecahan
masalah praktis, apalagi dalam keadaan darurat, karena sifatnya yang aktif dan
tidak emosional dalam bertindak, dia dapat menyelesaikan masalah dengan baik.
Tipe kepribadian sanguinis. Tipe orang ini akan mengalami kesulitan dalam
memahami masalah karena sifatnya yang tidak teliti dan tidak cermat dalam
memahami sesuatu. Dalam membuat rencana pemecahan masalah tipe orang ini
tidak akan mengalami kesulitan karena sifatnya yang inovatif, punya energi dan
selalu memulai sesuatu dengan cara yang cemerlang. Sedangkan dalam
melaksanakan rencana pemecahan masalah, tipe orang ini akan mengalami
kesulitan karena sifatnya yang tidak teliti dan tidak cermat.
Tipe kepribadian melancholis. Tipe ini tidak akan mengalami kesulitan
dalam memahami masalah, membuat rencana penyelesaian karena sifatnya yang
teratur, perfeksionis, selalu melihat masalah. Siswa tidak akan mengalami masalah
dalam melaksanakan rencana pemecahan masalah dan evaluasi karena tipenya
yang serius dan tekun, cenderung jenius penuh kesadaran dan idealis. Namun jika
rasa bimbang dalam dirinya besar maka akan membuat tipe orang ini sulit dalam
menyelesaikan masalah.
Tipe kepribadian phlegmatis. tidak akan mengalami kesulitan dalam
memahami masalah, membuat rencana penyelesaian, menjalankan penyelesaian

39

karena tipenya yang mantap dan cakap, punya kemampuan administratif, dan
selalu menemukan cara yang mudah dalam menyelesaikan masalah. Namun jika
tipe ini tidak tertarik dengan masalah yang dihadapi maka ia akan mengalami
kesulitan dalam memahami masalah sampai mengevaluasi masalah.
Dari penjelasan tersebut, dapat terlihat bahwa masing masing tipe
kepribadian memiliki kesulitan yang berbeda dalam menggunakan kemampuan
metakognisinya. Dengan mengetahui kesulitan metakognisi yang dialami oleh
masing masing siswa dengan tipe kepribadian yang berbeda maka akan
membantu mereka juga untuk meminimalkan semua itu sehingga berdampak pada
perkembangan yang baik dalam menyelesaikan masalah.

Anda mungkin juga menyukai