Anda di halaman 1dari 18

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN MASALAH PSIKOSOSIAL

DISUSUN OLEH:

ROYYAN RAHMAN RAMADHAN

18.1.164

INSTITUT TEKNOLOGI, SAINS, DAN KESEHATAN RS. DR. SOEPRAOPEN

PROGRAM STUDI DIII KEPERAWATAN

TAHUN 2020/2021
LEMBAR PENGESAHAN

JUDUL: LAPORAN PENDAHULUAN DAN ASUHAN KEPERAWATAN MASALAH


PSIKOSOSIAL

NAMA : ROYYAN RAHMAN RAMADHAN

NIM : 181164

PRODI : DIII KEPERAWATAN

TELAH DISETUJUI

PEMBIMBING INSTITUSI

Ns. Riki Ristanto, M.Kep


LAPORAN PENDAHULUAN

1. EPIDEMIOLOGI MASALAH PSIKOSOSIAL

Menurut Videbeck (2008) menjelaskan kesehatan jiwa suatu kondisi sehat


emosional, psikososial, psikologis dan sosial yang terlihat dari hubungan
interpersonal yang memuaskan,perilaku dan koping yang efektif, konsep diri yang
positif dan stabilan emosional. Masalah psikososial merupakan masalah yang
banyak terjadi dimasyarakat. Gangguan jiwa merupakan psikologik atau pola
perilaku yang ditunjukkan pada individu yang menyebabkan distress, menurunkan
kualitas kehidupan dan disfungsi. Hal tersebut mencerminkan disfungsi psikologis,
bukan sebagai akibat dari penyimpangan sosial maupun konflik dengan
masyarakat (Stuart, 2013)

Gangguan jiwa menurut Depkes RI (2000) adalah suatu perubahan pada


fungsi jiwa yang menyebabkan adanya gangguan pada fungsi jiwa, yang
menimbulkan penderitaan pada individu dan atau hambatan dalam melaksanakan
peran social.

Menurut Townsend (1996) mental illness adalah respon maladaptive terhadap


stressor dari lingkungan dalam/luar ditunjukkan dengan pikiran, perasaan, dan
tingkah laku yang tidak sesuai dengan norma lokal dan kultural dan mengganggu
fungsi sosial, kerja, dan fisik individu.

Psikososial adalah suatu kondisi yang terjadi pada individu yang mencakup
aspek psikis dan sosial atau sebaliknya. Psikososial menunjuk pada hubungan
yang dinamis antara faktor psikis dan sosial, yang saling berinteraksi dan
memengaruhi satu sama lain. Psikososial sendiri berasal dari kata psiko dan
sosial. Kata psiko mengacu pada aspek psikologis dari individu (pikiran, perasaan
dan perilaku) sedangkan sosial mengacu pada hubungan eksternal individu
dengan orang-orang di sekitarnya (Pusat Krisis Fakultas Psikologi UI). Istilah
psikososial berarti menyinggung relasi sosial yang mencakup faktor-faktor
psikologis (Chaplin, 2011). Masalah-masalah psikososial menurut (Nanda, 2012)
yaitu :
a. Berduka
b. Keputusasaan
c. Ansietas
d. Ketidakberdayaan
e. Risiko penyimpangan perilaku sehat
f. Gangguan citra tubuh
g. Koping tidak efektif
h. Koping keluarga tidak efektif
i. Sindroma post trauma
j. Penampilan peran tidak efektif
k. HDR situasional

2. KONSEP MASALAH PSIKOSOSIAL


2.1 Definisi Orang Dengan Masalah Kejiwaan

Gangguan jiwa merupakan psikologik atau pola perilaku yang ditunjukkan


pada individu yang menyebabkan distress, menurunkan kualitas kehidupan dan
disfungsi. Hal tersebut mencerminkan disfungsi psikologis, bukan sebagai akibat
dari penyimpangan sosial maupun konflik dengan masyarakat (Stuart, 2013).
Sedangkan menurut Keliat, (2011) gangguan jiwa merupakan pola perilaku,
sindrom yang secara klinis bermakna berhubungan dengan penderitaan, distress
dan menimbulkan hendaya pada lebih atau satu fungsi kehidupan manusia.

Gangguan jiwa adalah bentuk dari manifestasi penyimpangan perilaku akibat


distorsi emosi sehingga ditemukan tingkah laku dalam ketidak wajaran. Hal
tersebut dapat terjadi karena semua fungsi kejiwaan menurun (Nasir, Abdul &
Muhith, 2011). Menurut Videbeck dalam Nasir, (2011) mengatakan bahwa kriteria
umum gangguan adalah sebagai berikut :
a. Tidak puas hidup di dunia.
b. Ketidak puasan dengan karakteristik, kemampuan dan prestasi diri.
c. Koping yang tidak afektif dengan peristiwa kehidupan.
d. Tidak terjadi pertumbuhan personal.

2.2 Definisi Keluarga Resiko Masalah Kesehatan Jiwa


Keluarga adalah merupakan unit terkecil dari masyarakat. Oleh karena itu,
kesehatan jiwa masyarakat ditentukan pula oleh kondisi keluarga. Menurut
Townsend (2015), kesehatan jiwa masyarakat dapat terjadi apabila keluarga dan
masyarakat dalam keadaan sejahtera. Dengan demikian, untuk mendapatkan
kondisi masyarakat yang sehat jiwa, harus dilakukan upaya bersama dalam
meningkatkan kesejahteraan keluarga dan masyarakat. Peningkatan
kesejahteraan keluarga menjadi tanggung jawab keluarga, serta peningkatan
kesejahteraan masyarakat menjadi tanggung jawab keluarga, tokoh masyarakat,
dan pimpinan masyarakat (Marchira, 2014).

Merawat penderita penyakit mental psikotik di rumahnya sendiri dapat


menyebabkan keluarga berhadapan dengan stigma sosial yang ada dalam
masyarakat yang berkaitan erat dengan penyakit mental. Justru itu, semua faktor
internal dan eksternal yang dimanifestasikan oleh keluarga perlu diberi perhatian
serius oleh semua pihak yang terlibat dalam menyediakan pelayanan kesehatan
mental kepada penderita penyakit mental. Tidak hanya memfokuskan intervensi
pada penderita tetapi juga pada keluarga yang merawatnya. Masih menurut
Torrey (1988) dalam Arif (2006), beberapa studi tentang masalah-masalah yang
paling sering ditimbulkan pasien psikotik pada keluarganya antara lain:
a. Ketidakmampuan untuk merawat diri
b. Ketidakmampuan menangani masalah keuangan
c. Penarikan diri secara sosial (social withdrawal)
d. Kebiasaan-kebiasaan pribadi yang aneh.
e. Ancaman bunuh diri
f. Gangguan pada kehidupan keluarga, misalnya pekerjaan, sekolah, jadwal
sosial, dan lain-lain.
g. Ketakutan akan keselamatan diri, baik anggota keluarga yang psikotik
maupun anggota yang normal lainnya di dalam keluarga
h. Blame and shame (menyalahkan dan merasa malu).

Cukup jelas dari uraian Torrey di atas bahwa kehadiran penderita psikotik
dalam keluarga merupakan stressor yang sangat berat yang harus ditanggung
keluarga. Keluarga sebagai suatu matriks relasi, yang di dalamnya seluruh
anggotanya terhubung satu sama lain, akan terkena dampak yang besar.
Keluarga akan semakin meningkatkan hubungan emosional satu sama lain,
kompak dan bersatu untuk bersama merawat anggota keluarganya yang
mengalami gangguan jiwa. Sebaliknya, keluarga yang kurang sehat atau tangguh
biasanya akan merespons kehadiran penderita psikotik dalam sistem atau
keluarga mereka dengan cara-cara yang lebih rigid atau kaku, dan ada penolakan
(defensif). Pemusatan energi pada upaya defensif justru akan semakin
melemahkan sistem. Secara jangka panjang, akan menguras energi yang dimiliki
serta pada gilirannya mengancam integrasi sistem itu sendiri. Pada titik inilah
biasanya keluarga berusaha mencari bantuan dari luar.

2.3 Faktor Predisposisi Masalah Psikososial

Faktor predisposisi adalah faktor yang melatarbelakangi seseorang


mengalami gangguan jiwa, sedangkan faktor presipitasi adalah faktor yang
mencetuskan terjadinya gangguan jiwa pada seseorang untuk kali yang pertama.

1. Genetik Sebagian besar gangguan jiwa disebabkan karena faktor keturunan.


Dimana sifat-sifat gangguan jiwa yang akan dialami oleh individu diturunkan oleh
orang tua maupun nenek moyang mereka melalui gen dan kromosom dalam sel
reproduksi.

2. Faktor personaliti Telah diketahui sejak lama bahwa kepribadian individu juga
berperan dalam menyumbang terjadinya gangguan jiwa pada seseorang. Individu
yang memiliki kepribadian yang kuat akan cenderung dapat mengatasi masalah
yang dihadapi, namun individu yang mengalami ketergantungan terhadap orang
lain cenderung mudah mengalami gangguan jiwa karena kepribadiannya rapuh.

3. Periode perkembangan kritis Keadaan ini juga dapat menyumbang sebagai


faktor penyebab seseorang mengalami gangguan jiwa. Selama individu menjalani
proses ini, seseorang akan belajar untuk mengenali dan mencari solusi terbaik
dalam menghadapi setiap masalah yang datang untuk dapat diadaptasikan sesuai
dengan keadaan yang sehat. Sehingga apabila seseorang tidak mampu
mengatasi beberapa stresor yang ada pada periode perkembangan kritis ini akan
dapat menimbulkan berbagai masalah kesehatan jiwa.
2.3 Faktor Presipitasi Masalah Psikososial

Menurut Stuart (2009) faktor presipitasi adalah stimulus yang mempengaruhi,


menyerang atau merusak individu. Termasuk dalam stressor pencetus yaitu:

1. Nature, yaitu faktor biologis, faktor psikologis dan sosial budaya


2. Origine, terbagi menjadi internal berupa persepsi individu terhadap dirinya
orang lain, dan lingkungan dan eksternal berupa dukungan keluarga,
masyarakat, kelompok
3. Timing, yaitu stress terjadinya dalam waktu dekat, lama atau terjadi
berulang ulang
4. number adalah jumlah stress lebih dari satu atau tidak

2.5 Tanda Gejala Orang Dengan Masalah Psikososial

Menurut Keliat (2011), tanda gejala orang dengan masalah psikososial adalah
sebagai berikut:
a. Cemas, khawatir berlebihan, takut
b. Mudah tersinggung
c. Sulit konsentrasi
d. Bersifat ragu-ragu
e. Merasa kecewa
f. Pemarah dan agresif
g. Reaksi fisik seperti jantung berdebar, otot tegang, sakit kepala.

2.6 Sumber Koping

Menurut Stuart & Sundeen (1998), sumber koping adalah suatu

evaluasi terhadap pilihan koping dan strategi seseremaja. Macam-macam

sumber koping yang dapat digunakan adalah kemampuan personal,

dukungan sosial, asset materi, keyakinan positif.

Sedangkan menurut Susilo (2009) sumber koping adalah suatu evaluasi

terhadap pilihan koping dan strategi seseremaja. Individu dapat mengatasi

stres dan ansietas dengan menggunakan sumber koping di lingkungan.


2.7 Mekanisme Koping

Mekanisme koping adalah berbagai usaha yang dilakukan individu


untuk menanggulangi stress yang dihadapi (Stuart & Sundeen, 1998).
Selain itu, Nursalam (2009) juga mengatakan bahwa mekanisme koping
adalah mekanisme yang digunakan individu untuk menghadapi perubahan
yang diterima. Apabila mekanisme koping berhasil, maka remaja tersebut
akan dapat beradaptasi terhadap perubahan tersebut. Mekanisme koping
dapat dipelajari sejak awal timbulnya stresor dan remaja menyadari
dampak dari stresor tersebut. Kemampuan koping dari individu tergantung
dari temperamen, persepsi, dan kognisi serta latar belakang budaya atau
norma dimana dia dibesarkan.

Dari beberapa pengertian diatas maka dapat disimpulkan bahwa


mekanisme koping adalah suatu mekanisme pertahanan diri dari setiap
individu dalam menghadapi suatu masalah untuk melindungi diri.
Macam-macam mekanisme koping menurut Stuart & Sundeen (1998)
ada dua yaitu:

1. Mekanisme koping yang berpusat pada masalah (Problem Focused


Coping Mechanism).
Mekanisme koping yang berpusat pada masalah ini diarahkan untuk
mengurangi tuntutan-tuntutan situasi yang mengurangi stress atau
mengembangkan sumber daya untuk mengatasinya. Mekanisme koping
ini bertujuan untuk menghadapi tuntutan secara sadar, realistis, objektif,
dan rasional.

Menurut Stuart & Sundeen (1998) hal-hal yang berhubungan dengan


mekanisme koping yang berpusat pada masalah adalah:
a. Konfrontasi Koping (Confrontative Coping)
Menggambarkan usaha-usaha untuk mengubah keadaan atau
masalah secara agresif, menggambarkan tingkat kemarahan serta
pengambilan resiko. Mekanisme koping ini dapat konstruktif jika mengarah
pada pemecahan masalah tetapi juga dapat destruktif jika perasaan stress
diekspresikan secara negatif dan agresif.
b. Isolasi (Withdrawl behavior)

Individu berusaha untuk menarik diri baik fisik maupun psikologis dari
lingkungan atau tidak mau tahu masalah yang sedang dihadapi. Menarik
diri secara fisik yaitu seseremaja menjauhkan diri dari sumber masalah,
seseremaja juga dapat menarik diri secara psikologis seperti menjadi
apatis, bersikap mengalah dan kurang keinginan.
c. Kompromi (Compromise)
Menggambarkan usaha untuk mengubah keadaan dengan hati- hati,
meminta bantuan dan kerjasama dengan keluarga dan teman kerja atau
mengurangi keinginan lalu memilih jalan tengah dengan cara mengubah
cara yang tidak efektif dalam bertindak, mengganti tujuan dan
mengorbankan aspek kepentingan pribadi.

2. Mekanisme Koping yang Berpusat pada Emosi (Emotion Focused


Coping Mechanism)

Mekanisme koping yang berpusat pada emosi ini, seseremaja


dipusatkan untuk mengurangi stress emosional, misalnya dengan yang
digunakan sebagai mekanisme koping yang berpusat pada emosi menurut
Stuart & Sundeen (1998) antara lain:
a. Denial
Denial adalah upaya yang dilakukan untuk menghindari realitas
ketidaksetujuan dengan cara mengabaikan atau menolak untuk
mengenalinya. Penggunaan mekanisme pertahanan denial ini tidak akan
merubah masalah, tidak memecahkan masalah, dan tidak akan merubah
realitas.
b. Rasional
Memberikan penjelasan yang diterima secara sosial atau tampaknya
masuk akal untuk menyesuaikan implus, perasaan, perilaku dan motif
yang tidak dapat diterima.
c. Regresi
Menghindari stress terhadap karakteristik perilaku dari tahap
perkembangan yang lebih awal. Seseremaja berperilaku seperti pada saat
situasi stress belum dirasakan.
d. Identifikasi
Proses individu mencoba untuk menjadi seperti remaja lain atau
seseremaja yang dikagumi oleh individu tersebut dengan menirukan
pikiran, perilaku atau kesukaannya.
e. Sublimasi
Penerimaan tujuan pengganti yang diterima secara sosial karena
dorongan yang merupakan saluran normal ekspresi terhambat.
f. Represi
Dorong impolunter dari pikiran yang menyakitkan atau konflik, atau
ingatan dari kesadaran pertahanan ego yang primer yang lebih cenderung
memperkuatkan mekanisme ego yang lain.
g. Proyeksi
Tidak dapat ditoleransi perasaan emosional atau motivasi kepada
remaja lain.
h. Kompensasi
Proses dimana seseremaja dengan citra diri yang kurang berupaya
menggantikan dengan menekankan pada kelebihan lain yang
dianggapnya sebagai asset.
i. Mengalihkan
Mengalihkan emosi yang seharusnya diarahkan pada remaja atau
benda tertentu ke benda atau remaja yang netral atau tidak
membahayakan.
j. Reaksi Formasi
Pembentukan sikap kesadaran dan pola perilaku yang berlawanan
dengan apa yang benar-benar dirasakan atau dilakukan oleh remaja lain.
k. Disosiasi
Pemisahan dari setiap kelompok mental atau perilaku dari seluruh
kesadaran atau identitas.
l. Intelektualisasi
Alasan atau logika yang berlebihan yang digunakan untuk menghindari
perasaan-perasaan mengganggu yang dialami.
m.Introyeksi
Tipe identifikasi yang hebat dimana individu menyatukan kualitas atau
nilai-nilai remaja remaja lain atau kelompok kedalam struktur egonya
sendiri.
n. Isolasi
Memisahkan komponen emosional dari pikiran yang dapat temporer
atau jangka panjang.
o. Splitting
Memandang remaja dan situasi sebagai semuanya baik atau semuanya
buruk, gagal untuk mengintegrasikan kualitas negatif dan positif
seseremaja.
p. Supresi
Suatu proses yang sering disebut sebagai mekanisme pertahanan diri,
tetapi benar-benar merupakan analogi represi (mengarah pada represi).
q. Undoing
Bertindak atau berkomunikasi yang secara sebagian meniadakan yang sudah
ada sebelumnya. (Mekanisme pertahanan diri primitif).

3. DIAGNOSIS KEPERAWATAN MASALAH PSIKOSOSIAL ANSIETAS

3.1 Pengertian
Menurut Stuart dan Sundeen (2016) kecemasan adalah keadaan emosi tanpa
objek tertentu. Kecemasan dipicu oleh hal yang tidak diketahui dan menyertai
semua pengalaman baru, seperti masuk sekolah, memulai pekerjaan baru atau
melahirkan anak. Karakteristik kecemasan ini yang membedakan dari rasa takut.
Menurut Kaplan, Saddock, dan Grebb (2010) kecemasan adalah respon terhadap
situasi tertentu yang mengancam dan merupakan hal normal yang terjadi yang
disertai perkembangan, perubahan, pengalaman baru, serta dalam menemukan
identitas diri dan hidup. Kecemasan merupakan suatu perasaan subjektif
mengenai ketegangan mental yang menggelisahkan sebagai reaksi umum dari
ketidakmampuan mengatasi suatu masalah atau tidak adanya rasa aman.
Perasaan yang tidak menentu tersebut pada umumnya tidak menyenangkan yang
nantinya akan menimbulkan perubahan fisiologis dan psikologis. Kecemasan
dalam pandangan kesehatan juga merupakan suatu keadaan yang menggoncang
karena adanya ancaman terhadap kesehatan.
3.2 Tingkat kecemasan
Menurut Stuart (2009) ada 4 tingkat kecemasan yaitu:

1) Kecemasan ringan Kecemasan ringan berhubungan dengan ketegangan


dalam kehidupan sehari – hari dan menyebabkan seseorang menjadi waspada.
Kecemasan ringan dapat memotivasi belajar dan menghasilkan pertumbuhan dan
kreativitas.
2) Kecemasan sedang Kecemasan sedang memungkinkan seseorang untuk
memusatkan pada masalah yang penting dan mengesampingkan yang lain 18
Poltekkes Kemenkes Yogyakarta sehingga seseorang mengalami perhatian yang
selektif, namun dapat melakukan sesuatu yang terarah.
3) Kecemasan berat Seseorang dengan kecemasan berat cenderung untuk
memusatkan pada sesuatu yang terinci dan spesifik, serta tidak dapat berpikir
tentang hal lain. Orang tersebut memerlukan banyak pengarahan untuk dapat
memusatkan pada suatu area yang lain.
4) Panik (kecemasan sangat berat) Berhubungan dengan ketakutan dan teror
karena mengalami kehilangan kendali. Orang yang sedang panik tidak mampu
melakukan sesuatu walaupun dengan pengarahan. Kecemasan yang dialami
akan memberikan berbagai respon yang dapat dimanifestasikan pada respon
fisiologis, respon kognitif dan respon perilaku.

3.3 Faktor – faktor yang mempengaruhi kecemasan

Menurut Muttaqin dan Sari (2009) faktor – faktor yang dapat menyebabkan
kecemasan pasien pre operasi adalah takut terhadap nyeri, kematian,
ketidaktahuan, takut tentang deformitas dan ancaman lain terhadap citra tubuh.
Sedangkan faktor – faktor yang mempengaruhi kecemasan menurut Kaplan dan
Sadock (2010) adalah :

1) Faktor – faktor intrinsik antara lain :


a) Usia pasien Gangguan kecemasan dapat terjadi pada semua usia, lebih
sering pada usia dewasa dan lebih banyak pada wanita. Sebagian besar
kecemasan terjadi pada usia 21 – 45 tahun. Feist (2009) mengungkapkan bahwa
semakin bertambahnya usia, kematangan psikologi individu semakin baik, artinya
semakin matang psikologi seseorang maka akan semakin baik pula adaptasi
terhadap kecemasan.
b) Pengalaman pasien menjalani pengobatan (operasi) Pengalaman awal
pasien dalam pengobatan merupakan pengalaman – pengalaman yang sangat
berharga yang terjadi pada individu terutama untuk masa – masa yang akan
datang. Pengalaman awal ini sebagai bagian penting dan bahkan sangat
menentukan bagi kondisi mental individu di kemudian hari. Apabila pengalaman
individu tentang anestesi kurang, maka 20 Poltekkes Kemenkes Yogyakarta
cenderung mempengaruhi peningkatan kecemasan saat menghadapi tindakan
anestesi.
c) Konsep diri dan peran Konsep diri adalah semua ide, pikiran, kepercayaan
dan pendirian yang diketahui individu terhadap dirinya dan mempengaruhi
individu berhubungan dengan orang lain.

2) Faktor – faktor ekstrinsik antara lain :


a) Kondisi medis (diagnosis penyakit) Terjadinya gejala kecemasan yang
berhubungan dengan kondisi medis sering ditemukan walaupun insidensi
gangguan bervariasi untuk masing – masing kondisi medis, misalnya : pada
pasien sesuai hasil pemeriksaan akan mendapatkan diagnosa pembedahan, hal
ini akan mempengaruhi tingkat kecemasan pasien. Sebaliknya pada pasien
dengan diagnosa baik tidak terlalu mempengaruhi tingkat kecemasan.
b) Tingkat pendidikan Pendidikan bagi setiap orang memiliki arti masing –
masing. Pendidikan pada umumnya berguna dalam merubah pola pikir, pola
bertingkah laku dan pola pengambilan keputusan. Tingkat pendidikan yang cukup
akan lebih mudah dalam mengidentifikasi stresor dalam diri sendiri maupun dari
luar dirinya. Tingkat pendidikan juga mempengaruhi kesadaran dan pemahaman
terhadap stimulus. 21
c) Akses informasi Akses informasi adalah pemberitahuan tentang sesuatu
agar orang membentuk pendapatnya berdasarkan sesuatu yang diketahuinya.
Informasi adalah segala penjelasan yang didapatkan pasien sebelum
pelaksanaan tindakan anestesi terdiri dari tujuan anestesi, proses anestesi, resiko
dan komplikasi serta alternatif tindakan yang tersedia, serta proses administrasi.
d) Proses adaptasi Tingkat adaptasi manusia dipengaruhi oleh stimulus
internal dan eksternal yang dihadapi individu dan membutuhkan respon perilaku
yang terus menerus. Proses adaptasi sering menstimulasi individu untuk
mendapatkan bantuan dari sumber – sumber di lingkungan dimana dia berada.
Perawat merupakan sumber daya yang tersedia di lingkungan rumah sakit yang
mempunyai pengetahuan dan keterampilan untuk membantu pasien
mengembalikan atau mencapai keseimbangan diri dalam menghadapi lingkungan
yang baru.
e) Tingkat sosial ekonomi Status sosial ekonomi juga berkaitan dengan pola
gangguan psikiatrik.
f) Jenis tindakan anestesi Klasifikasi suatu tindakan medis yang dapat
mendatangkan kecemasan karena terdapat ancaman pada integritas tubuh dan
jiwa seseorang. Semakin mengetahui tentang tindakan anestesi, akan
mempengaruhi tingkat kecemasan pasien.
g) Komunikasi terapeutik Komunikasi sangat dibutuhkan baik bagi perawat
maupun pasien. Terlebih bagi pasien yang akan menjalani proses anestesi.
Hampir sebagian besar pasien yang menjalani anestesi mengalami kecemasan.
Pasien sangat membutuhkan penjelasan yang baik dari perawat. Komunikasi
yang baik diantara mereka akan menentukan tahap anestesi selanjutnya. Pasien
yang cemas saat akan menjalani tindakan anestesi kemungkinan mengalami efek
yang tidak menyenangkan bahkan akan membahayakan.

3.4 Rentang respon kecemasan


1) Respon adaptif Hasil yang positif akan didapatkan jika individu dapat
menerima dan mengatur kecemasan. Kecemasan dapat menjadi suatu tantangan,
motivasi yang kuat untuk menyelesaikan masalah dan merupakan sarana untuk
mendapatkan penghargaan yang tinggi. Strategi adaptif biasanya digunakan
seseorang untuk mengatur kecemasan antara lain dengan bekerja kepada orang
lain, menangis, tidur, latihan, dan menggunakan teknik relaksasi.
2) Respon maladaptif Ketika kecemasan tidak dapat diatur, individu
menggunakan mekanisme koping ulang disfungsi dan tidak berkesinambungan
dengan yang lainnya. Koping maladaptif mempunyai banyak jenis termasuk
perilaku agresif, bicara tidak jelas, isolasi diri, banyak makan, konsumsi alkohol,
berjudi dan penyalahgunaan obat terlarang.
3.5 Alat ukur kecemasan

Untuk mengetahui sejauh mana derajat kecemasan seseorang apakah ringan,


sedang, berat atau berat sekali menggunakan alat ukur (instrument) yang dikenal
dengan :
1) Hamilton Rating Scale for Anxiety (HRS – A).
Alat ukur ini terdiri dari 14 kelompok, dengan gejala masing masing kelompok
dirinci lagi dengan gejala – gejala yang lebih spesifik. Petunjuk penggunaan alat
ukur HRS – A adalah : penilaian 0 = tidak ada (tidak ada gejala sama sekali); 1 =
ringan (satu gejala dari pilihan yang ada); 2 = sedang (separuh dari gejala yang
ada); 3 = berat (lebih dari separuh dari gejala yang ada); 4 = sangat berat (semua
gejala yang ada). Penilaian kecemasan skor < 6 = tidak ada kecemasan, skor 7 –
14 = kecemasan ringan, skor 15 – 27 = kecemasan sedang, skor > 27 =
kecemasan berat (Hawari, 2008).
2) The Amsterdam Preoperative Anxiety and Information Scale (APAIS).
Menurut Firdaus (2014) The Amsterdam Preoperative Anxiety and Information
Scale (APAIS) merupakan salah satu instrument yang digunakan untuk mengukur
kecemasan pre operatif yang telah divalidasi, diterima dan diterjemahkan ke
dalam berbagai bahasa di dunia. Instrument APAIS dibuat pertama kali oleh
Moerman pada tahun 1995 di Belanda. Uji validitas dan reliabilitas instrument
APAIS versi Indonesia didapatkan hasil yang valid dan reliabel untuk mengukur
kecemasan pre operatif pada populasi Indonesia dengan hasil 70,79% dan nilai
Cronbach Alpha komponen kecemasan adalah 0,825 dan 0,863. Isi pertanyaan
dari Skala APAIS tersebut terdiri dari enam item pertanyaan, yaitu :
1) Saya cemas di bius (1, 2, 3, 4, 5)
2) Saya terus menerus memikirkan tentang pembiusan (1, 2, 3, 4, 5)
3) Saya ingin tahu sebanyak mungkin tentang pembiusan (1, 2, 3, 4, 5)
4) Saya cemas di operasi (1, 2, 3, 4, 5)
5) Saya terus menerus memikirkan tentang operasi (1, 2, 3, 4, 5)
6) Saya ingin tahu sebanyak mungkin tentang operasi (1, 2, 3, 4, 5)
Dari kuesioner tersebut, untuk setiap item mempunyai nilai 1 – 5 dari setiap
jawaban yaitu : 1 = sama sekali tidak; 2 = tidak terlalu; 3 = sedikit; 4 = agak; 5 =
sangat. Jadi dapat diklasifikasikan sebagai berikut :
a) 6 : tidak ada kecemasan
b) 7 – 12 : kecemasan ringan
c) 13 – 18 : kecemasan sedang
d) 19 – 24 : kecemasan berat
e) 25 – 30 : kecemasan berat sekali/panik Pada penelitian ini peneliti lebih
memilih menggunakan alat ukur APAIS karena alat ukur APAIS dirancang khusus
untuk mengukur kecemasan pasien pre anestesi dan pre operasi.

4. TINDAKAN KEPERAWATAN MASALAH PSIKOSOSIAL ANSIETAS


4.1 Intervensi :
a. Pantau perubahan tanda-tanda vital dan kondisi yang menunjukan
peningkatan kecemasan klien.
Rasional : Perubahan tanda-tanda vital dapat digunakan sebagai indikator
terjadinya ansietas pada klien.
b. Berikan informasi serta bimbingan antisipasi tentang segala bentuk
kemungkinan yang akan terjadi di masa yang akan datang.
Rasional : Mempersiapkan klien menghadapi segala kemungkinan, krisi
perkembangan dan /atau situasional.
c. Ajarkan teknik relaksasi diri dan pengendalian perasaan engatif atas segala
hal yang dirasakan klien.
Rasional : Teknik menenangkan diri dapat digunakan untuk meredakan
kecemasan pada klien yang mengalami distress akut.

4.2 SP Ansietas
SP 1
a.  Membina hubungan saling percaya perlu dipertimbangkan agar pasien
merasa aman dan nyaman saat berinteraksi
 Mengucapkan salam terapeutik
 Berjabat tangan
 Menjelaskan tujuan interaksi
b.  Evaluasi/validasi
c.  Membuat kontrak (topik, waktu, tempat, tujuan)
d.  Membantu pasien mengenal ansietas :
 Bantu pasien untuk mengidentifikasi dan menguraikan perasaannya
 Bantu pasien menjelaskan situasi yang menimbulkan ansietas
 Bantu pasien mengenal penyebab ansietas
 Bantu pasien menyadari perilaku akibat ansietas
e.  Mengajarkan pasien teknik relaksasi nafas dalam untuk meningkatkan
kontrol dan rasa percaya diri : pengalihan situasi
f. Evaluasi kemampuan klien
g. Beri reinforcement positif
h. Menganjurkan pasien memasukkan dalam jadwal kegiatan harian

SP 2
a. Membina hubungan saling percaya perlu dipertimbangkan agar pasien
merasa aman dan nyaman saat berinteraksi
 Mengucapkan salam terapeutik
 Berjabat tangan
 Menjelaskan tujuan interaksi
b. Evaluasi/validasi
c.  Membuat kontrak (topik, waktu, tempat, tujuan)
d.  Mengajarkan pasien teknik distraksi untuk meningkatkan kontrol diri dan
mengurangi ansietas :
 Melakukan hal yang disukai
 Menonton TV
 Mendengarkan music yang disukai
 Membaca koran, buku atau majalah
 Motivasi pasien untuk melakukan teknik distraksi setiap kali ansietas muncul
e. Evaluasi kemampuan klien
f.  Beri reinforcement positif
g. Menganjurkan pasien memasukkan dalam jadwal kegiatan harian

SP 3
a. Membina hubungan saling percaya perlu dipertimbangkan agar pasien
merasa aman dan nyaman saat berinteraksi
 Mengucapkan salam terapeutik
 Berjabat tangan
 Menjelaskan tujuan interaksi
b. Evaluasi/validasi
c. Membuat kontrak (topik, waktu, tempat, tujuan).
d. Menjelaskan cara teknik relaksasi hipnotis 5 jari
e. Membantu pasien mempraktikkan teknik relaksasi hipnotis 5 jari
f.  Evaluasi kemampuan klien
g. Memberi reinforcement positif
h. Menganjurkan pasien memasukkan dalam jadwal kegiatan harian

5. ASPEK MEDIS MASALAH PSIKOSOSIAL ANSIETAS

5.1 Diagnosis Medis : Ansietas


5.2 Penatalaksanaan Ansietas
1) Penatalaksanaan farmakologi
Pengobatan untuk anti kecemasan terutama benzodiazepine, obat ini
digunakan untuk jangka pendek, dan tidak dianjurkan untuk jangka panjang
karena pengobatan ini memiliki efek samping menyebabkan toleransi
ketergantungan. Obat anti kecemasan nonbenzodiazepine, seperti buspiron
(Busppar) dan berbagai antidepresan juga digunakan (Isaacs, 2005).
2) Penatalaksanaan non farmakologi
Banyak pilihan terapi non farmakologi yang merupakan tindakan mandiri
perawat dengan berbagai keuntungan diantaranya tidak menimbulkan efek
samping, simple dan tidak berbiaya mahal (Roasdalh & Kawalski, 2015). Perawat
dapat melakukan terapi – terapi seperti terapi relaksasi, distraksi, meditasi,
imajinasi. Terapi relaksasi adalah tehnik yang didasarkan kepada keyakinan
bahwa tubuh berespon pada ansietas yang merangsang pikiran karena nyeri atau
kondisi penyakitnya. Teknik relaksasi dapat menurunkan ketegangan fisiologis
(Asmadi, 2009). Terapi relaksasi memiliki berbagai macam yaitu latihan nafas
dalam, masase, relaksasi progresif, imajinasi, biofeedback, yoga, meditasi,
sentuhan terapeutik, terapi musik, serta humor dan tawa (Kozier, Erb, Berman, &
Snyder, 2010)

Anda mungkin juga menyukai