Anda di halaman 1dari 32

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Skizofrenia merupakan gangguan kesehatan jiwa kronis yang menyerang

psikis seseorang secara serius sehingga dapat menyebabkan penurunan perilaku dalam

melaksanakan aktivitas sehari-hari, gejala fundamental lainnya adalah gangguan

afektif, autisme, dan ambivalensi, sedangkan gejala sekundernya adalah waham dan

halusinasi (Zainuddin & Hashari, 2019).

Di seluruh dunia, skizofrenia dikaitkan dengan disabilitas yang cukup besar

yang mempengaruhi 20 juta orang (WHO, 2019). Data Riset Kesehatan Dasar tahun

2018 menunjukan prevelensi skizofrenia di Indonesia mencapai 400.000 orang atau

sebanyak 1,7 per 1000 penduduk (Kemenkes, 2019). Provinsi Jawa Tengah berada

pada peringkat keempat dari beberapa daerah di Indonesia dengan jumlah penderita

skizofrenia terbanyak. Angka prevalensi kejadian skizofrenia di Provinsi Jawa Tengah

sebesar 0,33% yakni berkisar angka 110.000 jiwa (Riskesdas, 2018). Prevalensi

skizofrenia berdasarkan jumlah pasien yang dirawat di RSJD Dr.Amino

Gondohutomo Semarang periode Januari 2017 hingga Februari 2018 yaitu sebanyak

3.342 jiwa. Dapat disimpulkan bahwa masalah dengan gangguan jiwa masih belum

terselesaikan oleh Pemerintah Indonesia (Riskesdas, 2018).

Data survei yang didapat dari RSJD Dr.Amino Gondohutomo Semarang

didapatkan hasil yaitu sebanyak 5.339 jiwa mengalami gangguan jiwa pada bulan

Januari sampai April tahun 2021. Jumlah pasien terbanyak yaitu, pasien mengalami

halusinasi sejumlah 2.398 jiwa, resiko perilaku kekerasan sejumlah 2.258, isolasi

sosial sejumlah 454 jiwa, defisit perawatan diri sejumlah 90 jiwa, waham 78 jiwa, dan

52 jiwa mengalami harga diri rendah. Data tersebut, menunjukan bahwa halusinasi
merupakan permasalahan paling banyak yang terjadi di RSJD Dr.Amino

Gondohutomo Semarang. Halusinasi merupakan hilangnya kemampuan seseorang

untuk dapat membedakan rangsangan yang muncul dari dalam pikiran maupun luar

pikiran. Halusinasi merupakan salah satu dari gangguan jiwa dimana seseorang tidak

mampu membedakan antara kehidupan nyata dengan kehidupan palsu (Meylani &

Pardede, 2022).

Dampak fungsional yang terjadi akibat halusinasi diantaranya mengakibatkan

terbatasnya pemprosesan informasi pendengaran dan sensori, dapat meningkatkan

gangguan kognitif pada penderita halusinasi (Zhuo, 2019). Dampak lain yang timbul

karena halusianasi adalah pasien menjadi sulit mengontrol diri, merusak lingkungan,

selain itu pasien akan menarik diri dari ligkungannya (Maulana et al., 2021). Apabila

keadaan tersebut dibiarkan secara terus menerus pasien cenderung akan mengikuti

perintah dari halusinasi itu sendiri sehingga dapat terjadi menciderai diri sendiri,

bahkan orang lain apabila mengikuti isi dari halusinasinya (Nugroho arief, 2016).

Upaya yang dapat dilakukan guna memperkecil dampak yang ditimbulkan

halusinasi, dibutuhkan proses keperawatan yang tepat untuk membantu pasien dalam

mengontrol halusinasinya dengan menerapkan SOP yang digunakan tentang strategi

pelaksanaan (SP) serta memberikan terapi aktivitas khusus yaitu terapi musik klasik

(Maulana et al., 2021).

Terapi musik merupakan terapi non farmakologi yang sudah diteliti dan diuji

keberhasilannya di dunia, dengan mendengarkan musik dapat mempengaruhi

sistem saraf otonom sehingga menghasilkan respon relaksasi yang memberikan rasa

tenang, membantu mengendalikan emosi serta menyembuhkan gangguan psikologis

(Safitri et al., 2022). Terapi musik juga digunakan oleh psikolog maupun psikiater

dalam mengatasi berbagai macam gangguan kejiawaan dan gangguan psikologis


(Simanjuntak et al., 2022). Menurut Wijayanti dalam Napitupulu (2019)

mengemukakan bahwa musik klasik dapat membuat pendengarnya menjadi

lebih bahagia dan tenang karena musik klasik memiliki alunan irama yang lembut dan

tempo yang lamban. Pendapat tersebut sejalan Lidyansyah (2017) mengemukakan

bahwa mendengarkan musik dengan tempo yang lambat merupakan teknik

relaksasi yang efektif untuk mengurangi rasa cemas atau curiga. Berdsarkan

penelitian yang dilakukan oleh Safitri et al., (2022) menyatakan bahwa ada pengaruh

sebelum dan sesudah dilakukan tindakan terapi musik klasik terhadap penurunan

tingkat halusinasi pendengaran dengan hasil rata rata yaitu 22,5%. Penelitian lain

yang dilakukan oleh Damayanti et al. (2014) bahwa pasien yang sudah diberikan

terapi musik klasik tampak fokus saat diajak berbicara, menjawab pertanyaan dengan

benar, berinteraksi dengan orang lain, dengan perbedaan hasil antara kelompok

eksperimen dan kelompok control dengan nilai P value = 0,000 (α <0,05).

B. Tujuan

1. Tujuan umum

Tujuan umum karya ilmiah akhir ini adalah untuk memberikan asuhan

keperawatan secara menyeluruh pada pasien halusinasi di RSJD DR.Amino

Gondohutomo Provinsi Jawa Tengah

2. Tujuan Khusus

a. Mampu melakukan pengkajian terhadap pasien dengan halusinasi di RSJD

Dr.Amino Godhohutomo Provinsi Jawa Tengah

b. Mampu menegakkan diagnosa keperawatan terhadap pasien halusinasi di

RSJD Dr.Amino Godhohutomo Provinsi Jawa Tengah

c. Mampu menyusun rencana tindakan keperawatan terhadap pasien halusinasi di

RSJD Dr.Amino Godhohutomo Provinsi Jawa Tengah


d. Mampu melaksana tindakan keperawatan terhadap pasien halusinasi dengan

mengaplikasikan terapiusik klasik pada strategi pelaksanaan di RSJD

Dr.Amino Godhohutomo Provinsi Jawa Tengah

e. Mampu mengevaluasi pasien dengan halusinasi di RSJD Dr.Amino

Godhoutomo Provinsi Jawa Tengah.

C. Manfaat

1. Manfaat bagi institusi pendidikan

Dapat digunakan sebagai bahan rujukan bagi pengemban keilmuan, khusunya

pada program studi ilmu keperawatan.

2. Manfaat bagi profesi keperawatan

Memberikan informasi bermanfaat untuk menambah ilmu pengetahuan dalam

mengembangkan asuhan keperawatan pasien halusinasi.

3. Manfaat bagi lahan praktik

Dapat memberikan motivasi dan inovasi dalam pemberian asuhan keperawatan

dengan terapi musik pasien halusinasi.

4. Manfaat bagi masyarakat

Memberikan infromasi kepada masyarakat mengenai strategi pelaksanaan dalam

mengontrol halusinasi.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Dasar Halusinasi

1. Definisi Halusinasi

Halusinasi merupakan hilangnya kemampuan seseorang untuk dapat

membedakan rangsangan yang muncul dari dalam pikiran maupun luar pikiran

(Sutinah et al., 2020). Halusinasi merupakan keadaan dimana seseorang

mengalami gangguan pada persepsi sensori, kondisi dimana tidak ada stimulus

(Oktaviani et al., 2022). Halusinasi adalah salah satu gejala gangguan sensori

persepsi yang dialami oleh pasien gangguan jiwa, dialaminyaPasien merasakan

sensasi berupa suara, penglihatan, pengecapan, perabaan, atau penghiduan tanpa

stimulus yang nyata (Sirait, 2015). Halusinasi pendengaran paling sering terjadi

ketika klien mendengar suara -suara, halusinasi ini sudah melebur dan pasien

merasa sangat ketakutan, panik dan tidak bisa membedakan antara khayalan dan

kenyataan yang dialaminya (Mislika, 2020).

2. Etiologi Halusinasi

a. Faktor predisposisi

Faktor predisposi yaitu faktor yang dapat melatar belakangi seseorang

mengalami gangguan jiwa. Faktor predisposisi menurut (Oktiviani, 2020)

adalah:

1) Faktor Perkembangan

Tugas perkembangan klien terganggu misalnya rendahnya kontrol dan

kehangatan keluarga menyebabkan klien tidak mampu mandiri sejak

kecil,mudah frustasi,hilang percaya diri.


2) Faktor Sosial Budaya

Seseorang ketika bayi merasa tidak diterima dilingkungannya akan

merasa dikucilkan, tidak dihargai, merasa kesepian, dan tidak dipercaya

dilingkungannya sendiri.

3) Faktor Biologis

Faktor biologis mempunyai pengaruh terhadap terjadinya gangguan

jiwa. Adanya stress yang berlebihan dialami seseorang maka didalam

tubuh akan dihasilkan suatu zat yang dapat bersifat halusinogen

neurokimia. Akibat stress berkepanjangan menyebabkan teraktivasinya

neurotransmitter otak.

4) Faktor Psikologis

Tipe kepribadian lemah dan tidak bertanngung jawab mudah

terjerumus pada penyalahgunaan zat adiktif hal ini berpengaruh pada

ketidakmampuan klien dalam mengambil keputusan yang tepat demi masa

depannya,klien lebih memilih kesenangan sesaat dan lari dari alam nyata

menuju alam khayal

5) Faktor Genetik

Gangguan orientasi realita umumnya dijumpai pada penderita

skizofrenia. Angka Skizofrenia lebih banyak ditemukan pada keluarga

dimana salah satu anggotanya mengalami skizofrenia, akan lebih tinggi

jika dialami oleh kedua orang tua (Yusuf et al., 2015).

b. Faktor Presipitasi

Faktor presipitasi merupakan faktor yang menjadi pencetus terjadinya

gangguan jiwa pada seseorang untuk pertama kalinya. Faktor presispitasi

antara lain adalah:


1) Stressor

Peningkatan stress serta kecemasan akan terjadi saat stabilitas keluarga

menurun, berpisah dengan individu yang dianggap penting, dikucilkan dari

kelompok memicu halusinasi.

2) Perilaku

Perilaku yang perlu dikaji pada pasien dengan gangguan orientasi

realitas berkaitan dengan perubahan proses pikir, afektif persepsi, motorik,

dan sosial.

3) Psikologis

Frekuensi kecemasan yang tingggi dan lama disertai terbatasnya

kemampuan mengatasi masalah memungkinkan berkembangnya gangguan

orientasi realitas. Pasien mengembangkan koping untuk menghindari

kenyataan yang tidak menyenangkan (Yusuf et al., 2015).

3. Rentan Respon Neurobiologi

Tabel 2.2

Rentang respons neurologis

Sumber : (Dalami, Ermawati dkk 2019)


Keterangan :

a. Respon adaptif adalah respon yang dapat diterima oleh norma-norma social

budaya yang berlaku.Dengan kata lain individu tersebut dalam batas normal jika

menghadapi suatu akan dapat memecahkan masalah tersebut.

1) Respon adaptif meliputi :

a) Pikiran logis adalah pandangan yang mengarah pada kenyataan

b) Persepsi akurat adalah pandangan yang tepat pada kenyataan

c) Emosi konsisten dengan pengalaman yaitu perasaan yang timbul dari

pengalaman ahli.

d) Perilaku sesuai adalah sikap dan tingkah laku yang masih dalam batas

kewajaran.

e) Hubungan social adalah proses suatu interkasi dengan orang lain dan

lingkungan.

2) Respon psikososial meliputi :

a) Proses piker terganggu yang menimbulkan gangguan

b) Ilusi adalah miss intrerprestasi atau penilaian yang salah tentang yang

benar-benar terjadi (objek nyata) karena gangguan panca indra

c) Emosi berlebihan atau kurang

d) Perilaku tidak biasa adalah sikap dan tingkah laku yang melebihi batas

untuk menghindari Interaksi dengan orang lain

e) Menarik diri adalah percobaan untuk menghindari hubungan dengan

orang lain.
b. Respon maladaptive adalah respon indikasi dalam menyelesaikan masalah yang

menyimpang dari norma-norma social dan budaya dan lingkungan, adapun respon

maladaptive ini meliputi :

1) Kelainan pikiran adalah keyakinan yang secara kokoh dipertahankan

walaupun tidak diyakini oleh orang lain dan bertentangan dengan kenyataan

sosial

2) Halusinasi merupakan persepsi sensori yang salah satu atau persepsi eksternal

yang tidak realita atau tidak ada.

3) Kerusakan proses emosi adalah perubahan sesuatu yang timbul dari hati

4) Perilaku tak terorganisir merupakan perilaku yang tidak teratur

5) Isolasi social adalah kondisi kesendirian yang dialami oleh individu dan

diterima sebagai ketentuan oleh orang lain dan sebagai suatu kecelakaan yang

negatif mengancam.

4. Klasifikasi Halusinasi

Menurut Yusuf (2015) klasifikasi halusinasi dibagi menjadi 5 yaitu:

No Jenis Halusinasi Data Objektif Data Subjektif

1. Halusinasi 1. Bicara atau tertawa 1. Mendengar suara atau


pendengaran sendiri tanpa kegaduhan
lawan bicara 2. Mendengar suara
2. Marah-marah yang mengajak
tanpa sebab bercakap-cakap
mencondongkan 3. Mendengar suara
telinga kea rah yang menyuruh
tertentu melakukan sesuatu
3. Menutup Telinga yang berbahaya
2. Halusinasi 1. Menunjuk- 3. Melihat
Penglihatan nunjuk ke arah bayangan,sinar,bentuk
tertentu geometris,bentuk
2. Ketakutan pada kartun,melihat hantu
objek yang tindak atau monster
jelas
3. Halusinasi 1. Menghidu seperti 1. Membaui bau-bauan
Penghidu sedang membaui seperti bau
bau-bauan darah,urine,feses,
tertentu 2. Kadang-kadang bau
2. Menutup hidung itu menyengkan
4. Halusinasi 1. Sering meludah 1. Merasakan rasa
Pengecapan 2. Muntah seperti
darah,uirine,feses

5. Halusinasi Menggaruk-garuk 1. Mengatakan ada


Perabaan permukaan kulit serangga di
permukaan kulit
2. Merasa seperti
tersengat listrik

5. Manifestasi Klinis Halusinasi

Menurut Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia (SDKI, 2017) Terdapat

dua tanda dan gejala yaitu:

a. Mayor

1) Subjektif : Mendengar suara bisikan atau melihat bayangan, merasakan

sesuatu melalui indra perbaan, penciuman, ataua pengecapan

2) Objektif : Distorsi sensori, respons tidak sesuai, bersikap seolah melihat,

mendengar, mengecap, meraba, atau mencium sesuatu.

b. Minor

1) Subjektif : menyatakan kesal

2) Objektif : menyendiri, melamun, konsentrasi buruk, disorientasi waktu,

tempat, orang atau situasi, curiga, melihat ke satu arah, mondar-mandir,

bicara sendiri.

Menurut (Azizah, 2016) tanda dan gejala perlu diketahui agar dapat

menetapkan masalah halusinasi, antara lain:

a) Berbicara, tertawa, dan tersenyum sendiri

b) Bersikap seperti mendengarkan sesuatu


c) Berhenti berbicara sesaat ditengah-tengah kalimat untuk mendengarkan

sesuatu

d) Disorientasi

e) Tidak mampu atau kurang konsentrasi

f) Cepat berubah pikiran

g) Alur pikiran kacau

h) Respon yang tidak sesuai

i) Menarik diri

j) Sering melamun

6. Tahapan Proses Halusinasi

Terjadinya halusinasi dimulai dari beberapa fase, hal ini dipengaruhi oleh

intensitas keparahan dan respon individu dalam menanggapi adanya rangsangan

dari luar. Menurut Oktaviani, 2020 dalam (Meylani, 2022), halusinasi terjadi

melalui beberapa tahap antara lain:

a. Stage I: Sleep disorder

Merupakan fase awal individu sebelum muncul halusinasi. Individu

merasa banyak masalah, ingin menghindar dari orang dan lingkungan, takut

diketahui orang lain bahwa dirinya banyak masalah (misalnya: putus cinta,

dikhianati kekasih, di PHK, bercerai, masalah dikampus dan lain-lain).

Masalah makin terasa sulit karena berbagai stressor terakumulasi sedangkan

support sistem kurang dan persepsi terhadap masalah sangat buruk. Hal ini

akan menyebabkan individu tersebut sulit tidur terus menerus sehingga

terbiasa menghayal.

b. Stage II: (Comforting Moderate Level of Anxiety)

Pada tahap ini halusinasi bersifat menyenangkan dan secara umum


individu menerima sebagai sesuatu yang alami. Individu mengalami emosi

yang berlanjut, seperti adanya perasaan cemas, kesepian, perasaan berdosa

dan ketakutan sehingga individu mencoba untuk memusatkan pemikiran pada

timbulnya kecemasan dan pada penanganan pikiran untuk mengurangi

kecemasan tersebut.

Individu beranggapan bahwa pengalaman pikiran dan sensori yang

dialaminya dapat dikontrol atau dikendalikan jika kecemasannya bisa diatasi.

Dalam tahap ini ada kecenderungan individu merasa nyaman dengan

halusinasinya dan halusinasi bersifat sementara.

c. Stage III: (Condemning Severe Level of Anxiety)

Pada tahap ini halusinasi bersifat menyalahkan dan sering mendatangi

individu. Pengalaman sensori individu menjadi sering datang dan mengalami

bias sehingga pengalaman sensori tersebut mulai bersifat menjijikan dan

menakutkan. Individu mulai merasa kehilangan kendali, merasa tidak mampu

lagi mengontrolnya dan berusaha untuk menjaga jarak antara dirinya dengan

objek yang dipersepsikan individu. Individu akan merasa malu karena

pengalaman sensorinya tersebut dan akhirnya menarik diri dari orang lain

dengan intensitas waktu yang lama.

d. Stage IV: (Controling Severe Level of Anxiety)

Pada tahap ini halusinasi bersifat mengendalikan, fungsi sensori

menjadi tidak relevan dengan kenyataan dan pengalaman sensori tersebut

menjadi penguasa. Halusinasi menjadi lebih menonjol, menguasai dan

mengontrol individu sehingga individu tersebut mencoba melawan suara-

suara atau sensori abnormal yang datang. Hingga akhirnya individu tersebut

menjadi tidak berdaya dan menyerah untuk melawan halusinasi dan


membiarkan halusinasi menguasai dirinya. Individu mungkin akan mengalami

kesepian jika pengalaman sensori atau halusinasinya tersebut berakhir. Dari

sinilah dimulai fase gangguan psikotik.

e. Stage V: (Concuering Panic Level of Anxiety)

Tahap ini adalah tahap terahir dimana halusinasi bersifat menaklukan,

halusinasi menjadi lebih rumit dan individu mengalami gangguan dalam

menilai lingkungannya. Pengalaman sensorinya menjadi terganggu dan

halusinasi tersebut berubah mengancam, memerintah, dan menakutkan apabila

tidak mengikuti perintahnya sehingga klien mulai terasa mengancam. Klien

merasa terpaku dan tidak berdaya melepaskan diri, klien tidak dapat

berhubungan dengan orang lain dan menjadi menarik diri. Klien merasa

berada dalam dunia menakutkan dalam waktu yang singkat atau bisa juga

beberapa jam atau beberapa hari atau selamanya/kronis (terjadi gangguan

psikotik berat).

7. RUFA Halusinasi

RUFA (Respons Umum Fungsi Adaptatif) atau GARF (General Adaptative

Funtion Response) merupakan modifikasi dari skor GARF karena keperawatan

menggunakan pendekatan respon manusia dalam memberikan asuhan

keperawatan sesuai dengan fungsi respon manusia dalam memberikan asuhan

keperawatan sesuai dengan fungsi respons yang adaptif. skor RUFA halusinasi

sebagai berikut:

Tabel 2.2
Klasifikasi skor RUFA Halusinasi

Domain Inatensif I Intensif II Intensif III


1-10 11-20 21-30
Penilaian o Penilaian realitas o Mulai dapat o Pasien sudah
Realiats terganggu, pasien membedakan mengenal
tidak bisa yang nyata dan halusinasinya
memberdakan yang yang tidak nyata. o Berfikir logis
nyata dan yang o Kadang-kadang o Persepsi
tidak nyata, mengalami adekuat
o Halusinasi dianggap gangguan pikiran.
nyata
Perasaan o Panik o Cemas berat o Cemas sedang
o Reaksi emosional o Emosi sesuai
berlebihan atau dengan
berkurang, mudah kenyataan
tersinggung
Perilaku o Pasien kehilangan o PK secara verbal o Perilkau sesuai
control diri, o Bicara, senyum o Ekspresi
melukai diri, dan tertawa tenang
sendiri, orang lain sendiri o Frekuensi
dan lingkungan o Mengatakan munculnya
akibat mengikuti mendengar suara, halusinasi
isi halusinasinya melihat, jarang
o PK secara Verbal mengecap,
o Kegiatan fisik yang mencium dan
mereflesikan isi merasa sesuatu
halusinasi seperti yang tidak nyata
mengamuk, agitasi, o Sikap curiga dan
memukul, atau permusuhan
melukai orang o Frekuensi
seacara fisik, serta munculnya
perusakan secara halusinasi sering
lingkungan
o Gejala diatas
ditemukan secara
terus-menerus pada
pasien.

Tabel 2.2
Tindakan Keperawatan
Intensif I Inatensif II Intensif III

o Dengarkan ungkapan o Dengarkan keluhan o Dengarkan keluhan


klien tanpa pasien pasien
membantah atau o Latih cara o Latih cara
mendukungnya mengontrol mengontrol dengan
o Yakinkan pasien halusinasi dengan bercakap-cakap
dalam kondisi aman menghardik dengan orang lain,
o Kolaborasi o Kolaborasi melakukan aktivitas
psikofarmaka : anti pemberian terjadwal
psikotik psikofarmaka o Kolaborasi
antipsikotik oral pertahankan
pemberian
psikofarmaka : oral,
anti psikotik

8. Mekanisme Koping Halusinasi

Mekanisme koping merupakan perilaku yang mewakili upaya untuk

melindungi diri sendiri, mekanisme koping halusinasi menurut Yosep (2016),

diantaranya:

a. Regresi

Proses untuk menghindari stress, kecemasan dan menampilkan perilaku

kembali pada perilaku perkembangan anak atau berhubungan dengan masalah

proses informasi dan upaya untuk menanggulangi ansietas.

b. Proyeksi

Keinginan yang tidak dapat di toleransi, mencurahkan emosi pada orang lain

karena kesalahan yang dilakukan diri sendiri (sebagai upaya untuk

menjelaskan kerancuan identitas).

c. Menarik diri

Reaksi yang ditampilkan dapat berupa reaksi fisik maupun psikologis. Reaksi

fisik yaitu individu pergi atau lari menghindar sumber stressor, sedangkan

reaksi psikologis yaitu menunjukkan perilaku apatis, mengisolasi diri, tidak

berminat, sering disertai rasa takut dan bermusuhan.

9. Penatalaksanaan Halusinasi

Halusinasi merupakan salah satu gejala yang paling sering terjadi pada

gangguan Skizofrenia. Dimana Skizofrenia merupakan jenis psikosis, adapun

tindakan penatalaksanaan dilakukan dengan berbagai terapi (Oktiviani, 2020).

a. Farmakologi

Pasien halusinasi biasanya diberikan obay anti psikotik, obat ini juga
disebut dengan penenang mayor, atau neuroleptic.pengobatan psikotik dapat

membantu mengendalikan perilaku halusinasi. Prinsip pemberian farmakologi

pada skizofrenia adalah “star low, go low” dimulai dengan dosis rendah

ditingkatkan sampai dosis optimal, kemudian diturunkan perlahan untuk

pemeliharaan.

b. Elektric Convulsive Therapi (ECT)

Elektric Convulsive Therapi (ECT) adalah terapi fisik ynag sering

digunakan oleh psikiater dengan menggunakan suatu alat yang menghantarkan

arus listrik pada elektroda yang dipasang pada kepala sehingga menyebabkan

konvulsi atau kejang. ECT terbukti dapat memperbaiki gejala halusinasi,

namun ECT juga memiliki efek samping terutama pada daya ingat

(Nandinanti et al., 2015).

c. Terapi kelompok

Terapi kelompok merupakan salah satu terapi yang dapat dilakukan

secara berkelompok dengan jalan berdiskusi satu dengan yang lain dan

dipimpin oleh seorang petugas kesehatan atau terapis. Terapi ini bertujuan

untuk memberi stimulus bagi pasien agar mampu berinteraksi dengan orang

lain (Maulana et al., 2021).

B. Asuhan Keperawatan Halusinasi

1. Pengkajian

Pengumpulan data dan perumusan masalah klien, dengan evaluasi sebagai


strategi untuk tahap awal, merupakan landasan dasar dari proses keperawatan.
Data biologi, psikologi, masyarakat, dan agama dikumpulkan. Agregasi data dari
penilaian kesehatan mental dapat berbentuk penilaian stresor, mekanisme koping,
dan bakat (Afnuhazi, 2015):

a. Identifikasi klien
Terdiri dari: nama klien, umur, jenis kelamin, alamat, agama, pekerjaan,

tanggal masuk, alasan masuk, nomor rekam medis, keluarga yang dapat

dihubungi.

b. Alasan Masuk

Merupakan penyebab klien masuk atau keluarga datang, atau dirawat dirumah

sakit. Biasaanya masalah yang dialami klien yaitu senang menyendiri, tidak

mau banyak berbicara kepada orang lain, terlihat murung, penampilan acak-

acakan, tidak peduli dengan diri sendiri, dan mulai mengganggu orang lain.

c. Faktor predisposisi

1) Pada umumnya klien pernah mengalami gangguan jiwa di masa lalu

2) Penyakit kronis yang menyebabkan klien tidak mampu melakukan

perawatan sendiri

3) Pengobatan sebelumnya kurang berhasil

4) Harga diri rendah, klien tidak mempunyai motivasi untuk merawat diri

5) Pengalaman masa lalu yang tidak menyenangkan,yaitu perasaan ditolak,

dihina, dianiaya dan saksi penganiayaan.

6) Ada anggota keluarga yang pernah mengalami gangguan jiwa

7) Pengalaman masa lalu yang tidak menyenangkan yaitu kegagalan yang

dapat menimbulkan frustasi

d. Pemeriksaan fisik

Pemeriksaan TTV, pemeriksaan head to toe yang merupakan penampilan klien

yang kotor dan acak-acakan

e. Psikososial

1) Genogram
Menggambarkan klien dan anggota keluarga klien yang mengalami

gangguan jiwa, dilihat dari pola komunikasi, pengambilan keputusan dan

pola asuh.

2) Konsep Diri

a) Citra Tubuh

Persepsi klien mengenai tubuhnya, bagian tubuh yang disukai, reaksi

klien mengenai tubuh yang disukai maupun tidak disukai.

b) Identitas Diri

Kaji status dan posisi pasien sebelum klien dirawat, kepuasan pasien

terhadap status dan posisinya, kepuasan klien sebagian laki-laki atau

perempuan.

c) Peran Diri

Meliputi tugas atau peran klien didalan keluarga/pekerjaaan/kelompok

maupun masyarakat, kemampuan klien didalam melaksanakan fungsi

ataupun perannya, perubahan yang terjadi disaat klien sakit maupun

dirawat, apa yang dirasakan klien akibat perubahan yang terjadi.

d) Harga Diri

Kaji klien tentang hubungan dengan orang lain sesuai dengan kondisi,

dampak pada klien yang berhubungan dengan orang lain, fungsi peran

yang tidak sesuai harapan, penilaian klien tentang pandangan atau

penghargaan orang lain

e) Hubungan Sosial

Hubungan klien dengan orang lain akan sangat terganggu karena

penampilan klien yang kotor yang mengakibatkan orang sekitar


menjauh dan menghindari klien. Terdapat hambatan dalam

berhubungan dengan orang lain

f) Spiritual

Nilai dan keyakinan serta kegiatan ibadah klien terganggu dikarenakan

klien mengalami gangguan jiwa

j. Mekanisme koping

I. Adaptif

Klien tidak mau berbicara dengan orang lain, tidak bisa

menyelesaikan masalah yang ada, klien tidak mampu

berolahraga karena klien selalu malas

II. Maladaptif

Klien beraksi sangat lambat terkadang berlebihan, klien

tidak mau bekerja sama sekali, selalu menghindari orang

lain

III. Masalah Psikososial dan Lingkungan

Klien mengalami masalah psikososial seperti

berinteraksi dengan orang lain dan lingkungan. Hal ini

disebabkan oleh kurangnya dukungan dari keluarga,

pendidikan yang kurang, masalah dengan sosial ekonomi

dan pelayanan kesehatan

IV. Sumber Koping

Merupakan evaluasi terhadap pilihan koping dan

strategi seseorang. Individu dapat mengatasi stress dan

ansietas dengan menggunakan sumber koping yang terdapat


di lingkungannya. Sumber koping ini dijadikan modal

untuk menyelesaikan masalah.

k. Pohon masalah

Risiko mencederai diri sendiri, orang Effect


lain, dan lingkungan.

Core problem
Perubahan persepsi sensori:
halusinasi.

Isolasi sosial: menarik diri. Cause

2. Diagnosa Keperawatan

Adapun diagnosa yang muncul pada pasien dengan perilaku sering berbicara

sendiri sehingga menggangu aktivitas sehari-hari yaitu Gangguan presepsi sensori

halusinasi.

3. Pelaksanaan

Tabel 2.3
Strategi Pelaksanaan Tindakan Keperawatan

Pasien Keluarga
SP I P SP I K
1. Mendiskusikan jenis halusinasi pasien 1. Identifikasi permasalahan
2. Mendiskusikan isi halusinasi pasien yang dialami keluarga saat
3. Mendiskusikan waktu halusinasi merawat pasien halusinasi
4. Mendiskusikan frekuensi halusinasi 2. Jelaskan hal terkait
5. Mendiskusikan situasi yang menimbulkan halusinasi (definisi, sebab,
frekuensi dan akibat yang
6. Mendiskusikan respons pasien terhadap ditimbulkan serta jenis)
halusinasi 3. Jelaskan bagaimana
7. Melatih pasien mengontrol halusinasi: merawat pasien halusinasi
menghardik halusinasi
8. Memotivasi pasien memasukkan cara
mengontrol dengan menghardik pada jadwal
harian
SP II P SP II K
1. Latih keluarga praktek
1. Mengevalusi kemampuan pasien mengontrol merawat pasien
halusinasi yaitu dengan cara menghardik
2. Melatih pasien mengendalikan halusinasi
dengan cara bercakap-cakap dengan orang
lain
3. Menganjurkan pasien memasukkan dalam
jadwal kegiatan harian SP III K
SP III P 1. Latih secara langsung
1. Mengevalusi kemampuan pasien mengontrol keluarga mempraktekkan
halusinasi yaitu dengan cara menghardik, dan cara merawat pasien
mengobrol
2. Melatih pasien mengendalikan halusinasi
dengan melakukan aktivitas terjadwal.
3. Memotivasi pasien memasukkan dalam SP IV K
jadwal harian 1. Fasilitasi keluarga
SP IV P menyusun jadwal kegiatan
1. Mengevalusi kemampuan pasien mengontrol dirumah untuk klien dan
halusinasi yaitu dengan cara menghardik, dan obat (discharge planning)
mengobrol serta kegiatan teratur 2. Jelaskan tindak lanjut
2. Memberikan pendkes tentang minum obat setelah pasien pulang
secara teratur
3. Memotivasi pasien memasukkan dalam
jadwal harian
(Buku Skill of Laboratory Keperawatan Jiwa 1, 2018-2019)

4. Evaluasi

Untuk menentukan bagaimana intervensi keperawatan berdampak pada klien,

evaluasi adalah proses yang berkesinambungan. Evaluasi dilakukan sesuai dengan

intervensi keperawatan yang telah dilakukan. Setiap kali tugas penilaian sumatif

atau hasil selesai, ada dua kategori evaluasi: evaluasi proses dan evaluasi formatif.

Evaluasi formatif membandingkan jawaban klien dengan tujuan yang telah

ditetapkan (Afnuhazi, 2015). Teknik SOAP dapat digunakan sebagai kerangka

evaluasi, dengan karakteristik masing-masing huruf sebagai berikut (Dalami et al.,

2014):

S : Reaksi subjektif klien terhadap intervensi keperawatan yang telah dilakukan

O : Reaksi Objektif klien terhadap intervensi keperawatan yang dilakukan.


A : menganalisis kembali data subjektif untuk melihat apakah masih ada isu,
apakah isu baru yang diangkat, atau ada inkonsistensi antara isu yang ada dengan
isu lainnya.
P : perencanaan atau tindak lanjut berdasarkan temuan analisis respon pelanggan
C. Terapi Musik

1. Pengertian terapi musik

Terapi musik merupakan salah satu bentuk dari teknik relaksasi untuk

memberikan rasa tenang, membantu mengendalikan emosi serta menyembuhkan

gangguan psikologi. Terapi musik merupakan intervensi alami non invasif yang

dapat diterapkan secara sederhana tidak selalu membutuhkan kehadiran ahli

terapi, harga terjangkau dan tidak menimbulkan efek samping (Samuel, 2017

dalam Pratiwi 2021).

Terapi musik terdiri dari dua kata yaitu terapi dan musik. Kata terapi

berkaitan dengan serangkaian upaya yang dirancang untuk membantu atau

menolong orang. Biasanya kata tersebut digunakan dalam konteks masalah

fisik dan mental. Terapi musik adalah sebuah terapi kesehatan yang menggunakan

musik di mana tujuannya adalah untuk meningkatkan atau memperbaiki kondisi

fisik, emosi, kognitif dan sosial bagi individu dari berbagai kalangan usia. Tujuan

dari terapi musik adalah memberikan relaksasi pada tubuh dan pikiran penderita,

sehingga berpengaruh terhadap perkembangan diri dan menyembuhkan gang guan

psikososial (Safitri et al., 2022).

Menurut Utomo dalam (E. Yuhana, 2019) musik klasik adalah jenis musik

yang menggunakan tangga nada diatonis, yakni sebuah tangga nada yang

menggunakan aturan dasar teori perbandingan serta music klasik telah mengenal

harmoni yaitu hubungan nada-nada dibunyikan serempak dalam akord-akord serta


menciptakan struktur musik yang tidak hanya berdasar pada pola-pola ritme dan

melodi (Apriliani et al., 2021).

2. Manfaat terapi musik

a) Emosional: Musik mampu memberi pengaruh secara emosional terhadap

mahluk hidup.

b) Musik membentuk sikap seseorang: Meningkatkan mood. Karakter mahluk

hidup dapat terbentuk melalui musik.

c) Musik mengembangkan kemampuan berkomunikasi dan social: Bermusik

akan menciptakan sosialisasi karena dalam bermusik di butihkan komunikasi.

d) Meningkatkan fisualisasi melalui warna musik-musik mampu

membangkitkan imajinasi melalui rangkaian nada-nada harmonis (Natalina,

2013).

3. SOP Terapi Musik Klasik

Tabel 2.3 SOP Terapi Musik Klasik


Pengertian Terapi musik adalah sebuah terapi kesehatan yang
terapi dzikir menggunakan musik di mana tujuannya adalah untuk
meningkatkan atau memperbaiki kondisi fisik, emosi,
kognitif dan sosial bagi individu dari berbagai kalangan
usia.
Tujuan Memberikan relaksasi pada tubuh dan pikiran penderita,
sehingga berpengaruh terhadap perkembangan diri dan
menyembuhkan gang guan psikososial
Waktu Ketika pasien sedang tidak ada kegiatan
Pelaksana Mahasiswa Profesi Ners
Prosedur A. Persiapan alat dan lingkungan
penatalaksanaa 1. Kursi dan meja
n terapi dzikr 2. Speaker bluetooth, atau mp3
3. Tempat yang nyaman
B. Langkah-langkah
1. Menjelaskan tujuan, manfaat, serta prosedur pelaksanaan
terapi
2. Memberi kesempatan kepada pasien untuk meilih jenis
musik klasik (jazz blues, mozart, dan rock).
3. Memplay musik dan mempersilahkan pasien untuK
mendengarkan musik selama 15 menit
4. Ketika pasienmendengar musik, arahkan pasien untuk
fokus dan rileks terhadap musik yang didengar dan
meminta untuk melepaskan beban pikiran sejenak
5. Setelah musik berhenti, minta pasien untuk
mengungkapkan perasaannya setelah diberikan terapi
musik klasik, apakah ada perasaan yang berbeda sebelum
atau sesudah diberikan terapi musik klasik
6. Lakukan selama lebih dari 3 hari
C. Kriteria Evaluasi
1. Mengkaji proses dan hasil dari terapi musik menggunakan
catatan aktivitas terapi yang telah dilakukan.
2. Menganalisis sesi yang telah dilakukan untuk melihat
keefektifan terapi.
3. Mengevaluasi hasil dan catatan terapi sehingga perawat
dapat mengetahui progress teknik yang dilakukan klien
dalam mengembangkan sesi.

BAB IV

PEMBAHASAN

Penulisan pada bab ini membahas mengenai problem solving yang sudah di angkat

oleh penulis yaitu dengan gangguan presepsi sensori terhadap Tn.B dan Tn.S di ruang

Hudowo, RSJD DR.Amino Gondohutomo Provinsi Jawa Tengah selama 3 hari dengan cara

melakukan pengkajian, diagnosa, intervensi, implementasi dan evaluasi.

A. Pengkajian

Pengkajian keperawatan merupakan pondasi awal untuk membuat data dasar

yang dinamis berdasarkan informasi yang didapat dari pasien, keluarga, masyarakat,

orang terdekat dan riwayat rekam medik dengan cara mengidentifikasi, wawancara baik

fisik mental dan sosial (Nugraha & Wianti, 2017). Hasil pengkajian dari kedua pasien

yang sudah dilakukan asuhan keperawatan selama tiga hari didapatkan data bahwa

pasien mengalami halusinasi. Paasien mengatakan “mendengar suara-suara bisikan yang

menggangu”, dengan data objektif terlihat berbicara sendiri, ekpresi gelisah, melamun,
berjalan mondar-mandir tentu saja hal ini sesuai dengan teori klinis dari halusinasi

(Keliat, 2012).

Didukung dengan teori terjadinya halusinasi yang berisi bahwa faktor

predisposisi mempengaruhi individu untuk mengatasi sumber stres baik secara biologis,

psikososial dan sosial budaya, faktor ini dapat diperoleh dari hasil pengkajian pasien

ataupun keluarga (Prabowo, 2014). Faktor predisposisi yang diperoleh sebagai berikut

Tn.M memiliki riwayat pengobat tidak berhasil sebelumnya dikarenakan mengalami

putus obat tahun 2022, pasien merasa keluarganya tidak ada yang sayang dan peduli

dengannya lagi, pasien mempunyai pengalaman masalalu yang tidak menyenangkan,

sedangkan factor prdisposisi Tn.S yaitu faktor bilogis dimana Tn.S mnegalami stress.

Penulis dapat menyimpulkan data pengkajian yang didapat sudah sesuai dengan

teori bahwasanya halusinasi merupakan respon seseorang terhadap perubahan persepsi

sensori, serta merasakan sensasi palsu berupa suara, penglihatan, pengecapan perabaan,

atau penciuman yang sebetulnya tidak ada. (Yusuf, 2015).

B. Diagnosa

Proses diagnosa keperawatan merupakan penilaian klinis mengenai respons

pasien terhadap masalah kesehatan yang di alami baik secara aktual maupun potensial

dengan tujuan mengidentifikasi situasi kesehatan yang dialami (Nurhalimah, 2016).

Diagnosa yang diangkat pada pasien yaitu gangguan presepsi sensori yang sudah

sesuai dengan SDKI dengan nomor diagnosa D.0085, sub kategori intregitas ego (PPNI,

2017). Gangguan presepsi sensori merupakan perubahan stimulus terhadap presepsi

secara internal ataupu eksternal yang diikuti respon berlebihan, berkurang dan terdistrosi

(PPNI, 2017).Dalam buku SDKI batasan karakteristik untuk menegakan masalah

halusinasi adalah distrosi sensori, respon tidak normal, bersikap seolah-olah mendengar,
melihat, meraba, mengecap ataupun mencium sesuatu (PPNI, 2017). Sehingga diagnosa

keperawatan dari data yang sudah ditemukan pada pasien sesuai dengan teori.

C. Intervensi

Intervensi yang direncanakan oleh penulis sudah sesuai dengan standar

keperawatan secara generalis dimana penulis menerapkan setrategi pelaksanaan (SP)

halusinasi SP 1-SP 4 dan diberikan terapi musik klasik dengan durasi waktu 15 menit.

Menurut penulis terapi musik merupakan terapi non farmakologi yang efektif

dilakukan karena terapi musik memiliki keunggulan diantaranya lebih ekonomis, bersifat

naluriah, dapat diaplikasikan pada semua pasien tanpa melihat latar belakang pendidikan

pasien. Terapi musik klasik ini penerapannya bisa dilakukan secara mandiri tetapi

menjadi sebuah modifikasi dan inovasi dalam menyelesaikan masalah halusinasi, terapi

ini tetap masuk dalam rangkain strategi pelaksanaan pada terapi aktivitas di SP. Ketika

seseorang mendengarkan musik dengan tempo yang lambat merupakan teknik relaksasi

yang efektif untuk mengurangi rasa cemas atau curiga.jika dilafalkan dengan baik dapat

membuat hati seseorang menjadi tenang dan rileks (Adeeb & Bahari, 2017). Pemberian

intervensi terapi musik klasik membuat seseorang menjadi rileks,

menimbulkan rasa aman dan sejahtera, melepaskan rasa gembira dan

sedih, melepaskan rasa sakit dan menurunkan tingkat stres, sehingga dapat

menyebabkan penurunan kecemasan (Try Wijayanto & Agustina, 2017).

Dengan dilakukannya terapi musik klasik diharapkan halusinasi pendengaran

yang dialami pasien akan teratasi dengan tujuan: frekuensi berkurang, durasi berkurang,

gejala halusinasi berkurang. Terapi musik klasik mampu memperbaiki konsentrasi,

ingatan dan presepsi seseorang. Pada gelombang otak, gelombang alfa mencirikan

perasaan ketenangan dan kesadaran yang gelombangnya mulai 8 hingga 13 hertz.

Semakin lambat gelombang, otak akan semakin merasa santai, puas, dan damai, Ketika
seseorang melamun atau merasa dirinya berada dalam suasana hati yang emosional atau

tidak terfokus. Secara umum beberapa musik klasik dianggap memiliki dampak

psikofisik yang menimbulkan kesan rileks, santai, cenderung membuat detak nadi

bersifat konstan, memberi dampak menenangkan, dan menurunkan stress, waktu yang

ideal dalam mendengrkan terapi musik klasik adalah 10 -15 menit (Try Wijayanto &

Agustina, 2017).

D. Implemntasi

Implementasi yang dilakukan pada kedua pasien selama tiga hari merupakan

tindakan intervensi keperawatan yang telah ditetapkan. Secara umum penulis tetap

melakukan implementasi sesuai standar strategi pelaksanaan (SP 1- SP 4) dan

memberikan terapi musik klasik. Keseluruhan tindakan yang dilaksanakan oleh penulis

dan respon yang didapatkan dari klien didokumentasikan oleh penulis atau perawat

(Affiroh & Sholikah, 2020). Penulis melakukan implementasi di ruang hudowo kepada

kedua pasien sebanyak 3 kali pertemuan Peneliti meminta klien untuk melakukan terapi

musik klasik secara mandiri ketika mendengar suara bisikan yang menganggu, ketika

sedang ada waktu luang sekitar jm 09.00 WIB. Terapi musik klasik juga dilakukan

secara bantuan, diingatkan oleh penulis dan dapat dilakukan secara mandiri.

Pada tanggal 24 Mei 2022 penulis melakukan pemberian tindakan terhadap Tn.BM

dan Tn.S dengan melakukan SP1 Pasien yaitu mengenali halusiansi. Tindakan SP 1

memiliki manfaat dapat merubah neurotransmiter pada otak sehingga halusinasi tidak

berkembang ke tahap yang membahayakan, dengan mengajak pasien mengenali

halusinasi secara terapeutik memungkinkan pasien menyediakan informasi yang sesuai

dengan realita (Sulahyuningsih, 2016). Data yang didapatkan bahwa latihan menghardik

masih tidak bisa mengatasi halusinasi pada kedua pasien karena mereka mengungkapkan
masih mendengar bisikan suara-suara yang menganggu, dan akhirnya pasien kembali

meracau, dan mencurigai orang lain.

Berdasarkan hasil yang didapat pada klien 1 dan klien 2 sebelum dilakukan terapi

musik klasik, pasien mengatakan sering mendengar suara bisikan-bisikan aneh yang

menganggunya, pasien juga mendengar suara yang mengajaknya untuk berkomunikasi

sehingga klien berbicara sendiri, klien tampak bingung, klien tampak gelisah, pandangan

tidak fokus. Setelah dilakukan terapi musik klasik hari pertama didapatkan data pasien

mengatakan masih mendengar suara bisikan yang menganggunya namun sudah lebih

tenang. Klien tampak lebih tenang, rileks, dapat melakukan terapi musik klasik sesuai

dengan arahan.

Pada tanggal 25 Mei 2022 penulis melakukan pemberian tindakan terhadap Tn.M dan

Tn.S dengan melakukan SP 2 dan terapi dzikir. Sebelum dilakukan terapi musik klasik

klien masih mendengarkan suara bisikan-bisikan yang menganggunya. Setelah diberikan

terapi musik klasik klien mengatakan suara itu masih muncul namun hanya sewaktu-

waktu saja. pasien juga mengatakan ketika mendengar suara pasien melakukan cara

menghardik yang sudah diajarkan pada hari pertama pasien tampak lebih tenang, rileks,

pasien sudah mulai banyak bicara.

Pada tanggal 26 Mei 2022 penulis melakukan pemberian tindakan terhadap Tn.M

dan Tn.S dengan melakukan SP3, SP 4 dan memberikan terapi musik klasik Terapi

dzikir diberikan satu kali dalam sehari yang diberikan selama 3 hari, dimana di hari

ketiga sebelum dilakukan terapi music pasien mengatakan masih mendengarkan suara-

suara aneh namun suara itu muncul hanya 1x dalam sehari,. Setelah dilakukan terapi

musik klasik pasien tidak mendengarkan suara bisikan aneh yang menganggunya lagi

pada malam hari sehingga klien tidak gelisah dan tidur klien tidak terganggu. Setelah

diberikan intervensi keperawatan terapi musik klasik selama 3 hari, klien mengatakan
dirinya lebih tenang. Hasil analisis ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh

(Try Wijayanto & Agustina, 2017) bahwa hasil penelitiannya menunjukkan bahwa

setelah dilakukan terapi musik klasik terjadi penurunan tanda dan gejala halusinasi

pendengaran. Dari 30 responden yang mengalami halusinasi pendengaran terdapat 27

responden yang sudah mengalami penurunan tanda dan gejala halusinasi dan 3

responden tidak mengalami penurunan tanda dan gejala halusinasi.

Menurut penulis, terapi musik klasik yang diberikan peneliti sejalan dengan

teori dan penelitian sebelumnya. Bahwa terapi musik klasik memiliki efektivitas dalam

penurunan tanda dan gejala halusinasi pendengaran Hasil dari pemberian terapi musik

klasik menunjukkan bahwa terdapat pengaruh terapi musik dalam mengontrol halusinasi

pada pasien halusinasi. Hasil penelitian ini dapat dijadikan terapi tambahan dalam

mengontrol halusinasi pada pasien dengan halusinasi pendengaran. Analisis yang

dilakukan oleh penulis juga sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Slamet Wiwi

Jayanti (2021) bahwa tindakan teknik menghardik dengan terapi musik klasik pada

pasien halusinasi dapat membantu menurunkan tingkat halusinasi.

Pemberian terapi musk klasik diberikan bersamaan dengan intervensi berupa

SP, dimana hasil dari pemberian terapi ini menunjukan adanya perubahan pada pasien.

Adapun penelitian yang sejalan lainnya yaitu penelitian yang dilakukan Nurdiana (2020)

dari hasil intervensinya yang dilakukan selama 3 hari didapatkan bahwa terapi musik

klasik dapat mengontrol halusinasi pendengaran. Kesimpulan dari mengontrol halusinasi

pendengaran dapat diidentifikasi dan dikendalikan dengan salah satunya penerapan

terapi musik klasik dengan strategi pelaksanaan (Sp1-Sp 4).

Penerapan implemenasi terapi musik klasik mendapat respon yang baik dari

Tn.M dan Tn.S, dari respon tersebut membuktikan bahwa terapi musik diperlukan pada

setiap orang untuk memberikan ketenangan jiwa, hal tersebut membuat terapi musik
mempunyai keunggulan tersendiri dalam mengetasi halusinasi, sesuai dengan teori yang

dikemukakan oleh (Adeeb & Bahari, 2017) bahwa musik mempunyai peran pening

dalam kehidupan, termasuk pada pasien halusinasi.

Penulis tidak melakukan implementasi SP 1-SP 4 keluarga karena keluarga tidak

melakukan kunjungan ke rumah sakit, hal ini menjadikan implementasi yang diberikan

kurang maksimal. Seharunya peran keluarga sangat di perlukan untuk membantu proses

kesembuhan pasien,sesuai teori menurut (Arisandy, 2021) yang menyatakan bahwa

dukungan keluarga adalah suatu bentuk hubungan intrapersonal yang melindungi

seseorang dari stress.

E. Evaluasi

Berdasarkan hasil penerapan terapi musik klasik pada pasien halusinasi dengan

cara mendengarkan musik melalui mp3 atau bluetoth selama 15 menit setiap hari dari

hari pertama sampai hari ketiga menunjukkan bahwa terapi music klasik dapat

membantu mengontrol halusinasi selain menggunakan terapi generalis dan terapi obat-

obatan yang telah diberikan. Pasien mengatakan hatinya menjadi lebih tenang setelah

mengetahui cara menghardik dan mendengarkan musik klasik, tidur pasien bisa lebih

nyenyak setelah membaca bacaan dzikir. Penulis memilih tindakan aktifitas berbasis

realita yang dapat mengalihkan halusinasi pendengaran dengan cara terapi musik untuk

mengalihkan halusinasi pendengaran yang dialami oleh pasien (Dermawan D, 2017).

Saat memberikan terapi musik kepada kedua pasien tidak ditemukan hambatan

karena respon klien yang baik terhadap pemberi asuhan. Hambatan yang ditemukan

penulis adalah pada keluarga Tn,S tidak hadir hal ini menyulitkan karena keluarga akan

menjadi penyalur informasi perawat untuk melanjutkan perawatan saat dirumah agar

pasien tidak mengalami kekambuhan.


Dari evaluasi strategi pelaksaanan yang sudah dilakukan penulis menyimpulkan

bahwa intervensi tersebut harus rutin dilakukan, sehingga klien dapat mengidentifikasi

factor yang menyebabkan halusinasi dan klien dapat mengatasi cara mengontrol

halusinasinya dengan menghardik, berbincang-bincang dengan teman, dan

mendengarkan musik.

BAB V

PENUTUP

Pada bab ini, penulis akan menyimpulkan asuha keperawatan gangguan jiwa pada

pasien Tn.M dan Tn.S di Ruang Hudowo, RSJD Dr.Amino Gondhouomo Provinsi Jawa

Tengah dengan halusinasi yang sudah dikelola selama 3 hari dari tanggal 24 Mei 2022-26

Mei 2022.

A. Kesimpulan

1. Berdasarkan hasil pengkajian pasien dapat ditegakan diagnosa gangguan presepsi

sensori : halusinasi
2. Intervensi yang dilakukan penulis yaitu strategi pelaksanaan berupa penerapan SP 1 -

SP 4 pasien dan pemberian terapi musik klasik.

3. Data evaluasi kedua pasien menunjukan pemberian SP1-SP4 Pasien dengan terapi

musik klasik dilakukan selama 3 kali pertemuan dan menunjukkan hasil yang efektif

sehingga dapat menurunkan tingkat halusinasi.

B. Saran

1. Bagi Institusi Pendidikan

Diharapkan dapat memberikan memberikan gambaran mengenai terapi musik klasik

pada pasien halusinasi.

2. Bagi Lahan Praktek

Diharapkan bagi perawat khususnya di Rumah Sakit Jiwa Daerah Dr.Amino

Gondohutomo provinsi Jawa Tengah ditingkatkan dalam mendampingi pada pasien

halusinasi

3. Bagi Masyarakat

Dari Karya Ilmiah Akhir ini diharapkan masyarakat dapat menambah informasi

mengenai cara mengatasi seseorang yang halusinasi.

Anda mungkin juga menyukai