TINJAUAN PUSTAKA
2. Tujuan Mobilisasi
Menurut Mubarak dkk, (2015:308) tujuan mobilisasi adalah
memenuhi kebutuhan dasar (termasuk melakukan aktivitas hidup sehari-
hari dan aktivitas rekreasi), mempertahankan diri (melindungi diri dari
trauma), mempertahankan konsep diri, mengekspresikan emosi dengan
gerakan tangan nonverbal.
Menurut Brunner & Suddarth 2002 dalam buku Mubarak dkk,
(2015:308). Tujuan mobilisasi ROM adalah sebagai berikut.
a. Mempertahankan fungsi tubuh dan mencegah kemunduran serta
mengembalikan rentan gerak aktivitas tertentu sehingga penderita
dapat kembali normal atau setidak-tidaknya dapat memenuhi
kebutuhan sehari-hari
b. Memperlancar peredaran darah
c. Membantu pernapasan menjadi lebih kuat
d. Mempertahankan tonus otot, memelihara, dan meningkatkan
pergerakan dari persendian
e. Memperlancar eliminasi alvi dan urine
f. Melatih atau ambulasi.
6
7
3. Jenis Mobilisasi
Menurut Hidayat dan Uiyah (2012:109).
a. Mobilisasi penuh
Mobilisasi penuh merupakan kemampuan seseorang untuk bergerak
secara penuh, bebas tanpa pembatasan jelas yang dapat
mempertahankan untuk berinteraksi sosial dan menjalankan peran
sehari-harinya.
b. Mobilisasi sebagian
Mobilisasi sebagian merupakan kemampuan seseorang untuk bergerak
dengan batasan jelas, tidak mampu bergerak secara bebas, hal tersebut
dapat dipengaruhi oleh gangguan saraf motorik dan sensorik pada area
tubuh seseorang. Mobilisasi sebagian ini ada dua jenis, yaitu :
1) Mobilisasi sebagian temporer
Mobilisasi sebagian temporer merupakan kemampuan individu
untuk bergerak dengan batasan bersifat sementara, hal tersebut
dapat disebabkan adanya trauma reversible pada sistem
muskuloskeletal.
2) Mobilisasi sebagian permanen
Mobilisasi sebagian permanen merupakan kemampuan individu
untuk bergerak dengan batasan bersifat menetap, hal tersebut
disebabkan karena rusaknya sistem saraf yang reversible sebagai
contoh terjadinya paraplegia karena injuri tulang belakang, pada
poliomyelitis karena terganggunya system saraf motorik dan
sensorik.
b. Gerak tubuh yang teratur dapat memperbaiki tonus otot dan sikap
tubuh, mengontrol berat badan, mengurangi stress, serta dapat
meningkatkan relaksasi. Gerak tubuh akan merangsang peredaran
darah ke otot dan organ tubuh yang lain sehingga dapat meningkatkan
kelenturan tubuh.
c. Gerak tubuh pada anak dapat merangsang pertumbuhan badan.
Dalam kaitannya dengan aktivitas keperawatan, Menurut ( Sutanto
& Fitriana, 2017:40) prinsip mengenai mekanik atau gerakan tubuh
diantaranya sebagai berikut :
a. Menggunakan gerakan tubuh secara tepat dan benar dapat
meningkatkan fungsi muskuloskeletal, serta mencegah terjadinya
penyakit dan kecelakaan. Dengan demikian akan meningkatkan
kesehatan tubuh.
b. Mekanik tubuh yang baik dapat memberikan penampilan serta fungsi
tubuh yang baik.
c. Mekanik tubuh yang baik dapat dicapai melalui pengetahuan sebagai
pedoman dalam bertindak.
d. Mekanik tubuh berkaitan dengan berbagai usaha pencegahan cedera
atau cacat pada system muskuloskeletal.
b. Ketidakmampuan
Kelemahan fisik dan mental akan menghalangi seseorang untuk
melakukan aktivitas hidup sehari-hari. Secara umum,
ketidakmampuan terbagi menjadi dua macam, yakni ketidakmampuan
primer disebabkan oleh penyakit atau trauma. Sementara
ketidakmampuan sekunder terjadi akibat dapak dari ketidakmampuan
primer (misal kelemahan otot dan tirah baring). Penyakit-penyakit
tertentu dan kondisi cedera akan berpengaruh terhadap mobilitas.
c. Tingkat energi
Energi dibutuhkan untuk banyak hal, salah satunya mobilisasi. Dalam
hal ini, energi yang dimiliki masing-masing individu bervariasi. Agar
seseorang dapat melakukan mobilitas dengan baik, dibutuhkan energi
yang cukup. Disamping itu, ada kecenderungan seseorang untuk
menghindari stressor guna mempertahankan kesehatan fisik dan
psikologis.
d. Usia
Usia berpengaruh terhadap kemampuan seseorang dalam melakukan
mobilisasi. Karena terdapat perbedaan kemampuan mobilitas pada
tingkat usia yang berbeda. Hal ini dikarenakan kemampuan atau
kematangan fungsi alat gerak sejalan dengan perkembangan usia.
e. Sistem neuromuskular
Mobilisasi sangat dipengaruhi oleh sistem neuromuskular, meliputi
otot, skeletal, sendi, ligamen, tendon, kartilago, dan saraf.
6. Tahap Mobilisasi
Mobilisasi pasca operasi yaitu proses aktivitas yang dilakukan
pasca pembedahan dimulai dari latihan ringan di atas tempat tidur
(latihan pernafasan, latihan batuk efektif, dan menggerakkan tungkai)
sampai dengan pasien bisa turun dari tempat tidur, berjalan ke kamar
mandi, dan berjalan keluar kamar (Smeltzer, 2001).
10
b. Sistem integumen
Penurunan turgor kulit. Kulit dapat mengalami atrofi sebagai akibat
dari tidak di mobilisasi berkepanjangan.
Kerusakan kulit. Sirkulasi darah normal bergantung pada aktivitas
otot. Jika tidak di mobilisasi maka akan mengganggu sirkulasi dan
mengurangi suplai nutrisi ke area tertentu. Akibatnya, kulit
mengalami kerusakan dan dapat terbentuk dekubitus. (Kozier,2010).
2. Diagnosa keperawatan
Menurut Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia (SDKI, 2017).
Diagnosis keperawatan pada pasien post operasi apendiktomi yaitu:
a. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan keengganan
melakukan pergerakan
1) Definisi : keterbatasan dalam gerakan fisik dari satu atau lebih
ekstremitas secara mandiri.
2) Penyebab :
a. Kerusakan integritas struktur tulang
16
b. Perubahan metabolisme
c. Ketidakbugaran fisik
d. Penurunan kendali otot
e. Penurunan massa otot
f. Penurunan kekuatan otot
g. Keterlambatan perkembangan
h. Kekuatan sendi
i. Kontraktur
j. Malnutrisi
k. Gangguan muskuloskeletal
l. Gangguan neuromuscular
m. Indeks massa tubuh diatas persentil ke-75 sesuai usia
n. Efek agen farmakologis
o. Program pembatasan gerak
p. Nyeri
q. Kurang terpapar informasi tentang aktivitas fisik
r. Kecemasan
s. Gangguan kognitif
t. Keengganan melakukan pergerakan
u. Gangguan sensori persepsi
3) Gejala dan tanda mayor :
Subjektif :
a. Mengeluh sulit menggerakkan ekstremitas
Objektif :
a. Kekuatan otot menurun
b. Rentang gerak (ROM) menurun
4) Gejala dan tanda minor :
Subjektif :
a. Nyeri saat bergerak
b. Enggan melakukan pergerakan
c. Merasa cemas saat bergerak
17
Objektif :
a. Sendi kaku
b. Gerakan tidak terkoordinasi
c. Gerakan terbatas
d. Fisik lemah
5) Kondisi klinis terkait :
a. Stroke
b. Cedera medula spinalis
c. Trauma
d. Fraktur
e. Osteoarthritis
f. Ostemalasia
g. Keganasan
d. Penurunan mobilitas
e. Bahan kimia iritatif
f. Suhu lingkungan yang ekstream
g. Faktor mekanis (mis. Penekanan, gesekan) atau faktor elektris
( elektrodiatermi, energi listrik bertegangan tinggi)
h. Terapi radiasi
i. kelembapan
j. proses penuaan
k. neuropati perifer
l. perubahan pigmentasi
m. perubahan hormonal
n. penekanan pada tonjolan tulang
o. kurang terpapar informasi tentang upaya mempertahankan /
melindungi integritas jaringan
3) kondisi klinis terkait :
a. Imobilisasi
b. Gagal jantung kongestif
c. Gagal ginjal
d. Diabetes melitus
e. Imunodefisiensi (mis. AIDS)
f. Katerisasi jantung
20
3. Rencana keperawatan
Tabel 2.2 Rencana tindakan Asuhan Keperawatan pada pasien post operasi Appendiktomi dalam buku
Standar Intervensi Keperawatan Indonesia (2018) :
NO DIAGNOSA INTERVENSI UTAMA INTERVENSI PENDUKUNG
1 Gangguan mobilitas fisik Dukungan mobilisasi 1. Dukungan kepatuhan program pengobatan.
berhubungan dengan keengganan Observasi : 2. Dukungan perawatan diri.
melakukan pergerakan. 1. Identifikasi adanya nyeri atau keluhan fisik 3. Dukungan perawatan diri.
Tujuan : lainnya. 4. Dukungan perawatan diri : BAB / BAK.
Setelah dilakukan asuhan 2. Identifikasi toleransi fisik melakukan pergerakan. 5. Dukungan perawatan diri : berpakaian.
keperawatan selama 3X24 jam 3. Monitor frekuensi jantung dan tekanan darah 6. Dukungan perawatan diri : makan / minum.
diharapkan masalah teratasi dengan sebelum memulai mobilisasi. 7. Dukungan perawatan diri : mandi.
kriteria hasil : 4. Monitor kondisi umum selama melakukan 8. Edukasi latihan fisik.
1. Pasien meningkat dalam mobilisasi. 9. Edukasi teknik ambulasi.
aktivitas fisik. Terapeutik : 10. Edukasi teknik transfer.
2. Mengerti tujuan dari 5. Fasilitasi aktivitas mobilisasi dengan alat bantu 11. Konsultasi via telepon.
peningkatan mobilitas. (mis. Pagar tempat tidur). 12. Latihan otogenik.
3. Memverbalisasikan perasaan 6. Fasilitasi melakukan pergerakan, jika perlu. 13. Manajemen energi.
dalam meningkatkan kekuatan 7. Libatkan keluarga untuk membantu pasien dalam 14. Manajemen lingkungan.
dan kemampuan berpindah. meningkatkan pergerakan. 15. Manajemen mood.
4. Memperagakan penggunaan Edukasi : 16. Manajemen nutrisi.
alat. 8. Jelaskan tujuan dan prosedur mobilisasi. 17. Manajemen nyeri.
9. Anjurkan melakukan mobilisasi dini. 18. Manajemen medikasi.
21
5. Bantu untuk mobilisasi Ajarkan mobilisasi sederhana yang harus 19. Manajemen program latihan.
(walker). dilakukan (mis. Duduk di tempat tidur, duduk di 20. Manajemen sensasi perifer.
sisi tempat tidur, pindah dari tempat tidur ke 21. Pemantauan neurologis.
kursi). 22. Pemberian obat.
23. Pemberian obat intravena.
24. Pembidaian.
25. Pencegahan jatuh.
26. Pencegahan luka tekan.
27. Pengaturan posisi.
28. Pengekangan fisik.
29. Perawatan kaki.
30. Perawatan sirkulasi.
31. Perawatan tirah baring.
32. Perawatan traksi.
33. Promosi berat badan.
34. Promosi kepatuhan program latihan.
35. Promosi latihan fisik.
36. Teknik latihan penguatan otot.
37. Teknik latihan penguatan sendi.
38. Terapi aktivitas.
39. Terapi pemijatan.
40. Terapi relaksasi otot progresif.
22
3. Implementasi keperawatan
Implementasi adalah pelaksanaan dari rencana keperawatan untuk
mencapai tujuan yang spesifik. Tahap implementasi dimulai setelah
rencana keperawatan disusun dan ditunjuk pada nursing orders untuk
membantu klien mencapai tujuan yang diharapkan. Oleh karena itu,
rencana keperawatan yang spesifik dilaksanakan untuk memodifikasi
faktor-faktor yang mempengaruhi masalah kesehatan klien. Tujuan dari
implementasi adalah membantu klien dalam mencapai tujuan yang telah
ditetapkan yang mencakup peningkatan kesehatan, pencegahan penyakit,
pemulihan kesehatan dan memfasilitasi koping. Perencanaan keperawatan
dapat dilaksanakan dengan baik jika klien mempunyai keinginan untuk
berpartisipasi dalam implementasi keperawatan (Nursalam, 2009).
4. Evaluasi keperawatan
Menurut Tarwoto & Wartonah (2011), Evaluasi merupakan
tindakan untuk melengkapi proses keperawatan yang dilihat dari
perkembangan dan hasil kesehatan klien. Tujuannya untuk mengetahui
sejauh mana perawatan dapat dicapai dan memberikan umpan balik
terhadap asuhan keperawatan yang diberikan.
Langkah-langkah evaluasi adalah sebagai berikut :
a. Daftar tujuan klien
b. Lakukan pengkajian apakah pasien dapat melakukan sesuatu
c. Bandingkan antara tujuan dan kemampuan klien
d. Diskusikan dengan klien, apakah tujuan dapat tercapai atau tidak.
Jika tujuan tidak tercapai, maka perlu dikaji ulang letak
kesalahannya, dicari jalan keluarnya, kemudian catat apa yang
ditemukan, serta apakah perlu dilakukan perubahan intervensi.
26
2. Etiologi
Pada umumnya apendisitis terjadi karena infeksi bakteri. Berbagai
hal berperan sebagai faktor pencetusnya, diantaranya adalah obstruksi
yang terjadi pada lumen apendiks. Obstruksi ini biasanya disebabkan
karena adanya timbunan tinja yang keras (fekalit), hiperplasia jaringan
limfoid, tumor apendiks, striktur, benda asing dalam tubuh, dan cacing
askaris.
27
3. Manifestasi Klinis
Gejala awal yang khas, yang merupakan gejala klasik apendisitis
adalah nyeri samar (nyeri tumpul) di daerah epigastrium di sekitar
umbilikus atau periumbilikus. Keluhan ini biasanya disertai dengan rasa
mual, bahkan terkadang muntah, dan pada umumnya nafsu makan
menurun. Kemudian dalam beberapa jam, nyeri akan beralih ke kuadran
kanan bawah, ke titik Mc Burney. Di titik ini nyeri terasa lebih tajam dan
jelas letaknya, sehingga merupakan nyeri somatik setempat. Namun
terkadang, tidak dirasakan adanya nyeri di daerah epigastrium, tetapi
terdapat konstipasi sehingga penderita merasa memerlukan obat pencahar.
Tindakan ini dianggap berbahaya karena bisa mempermudah terjadinya
perforasi. Terkadang apendisitis juga disertai dengan demam derajat
rendah sekitar 37,5-38,5 derajat celcius.
Selain gejala klasik, ada beberapa gejala lain yang dapat timbul
sebagai akibat dari apendisitis. Timbulnya gejala ini bergantung pada
letak apendiks ketika meradang. Berikut gejala yang timbul tersebut.
a. Bila letak apendiks retrosekal retroperitoneal, yaitu dibelakang sekum
(terlindung oleh sekum), tanda nyeri perut kanan bawah tidak begitu
jelas dan tidak ada tanda ransangan peritoneal.
Rasa nyeri lebih kearah perut kanan atau nyeri timbul pada saat
melakukan gerakan seperti berjalan, bernafas dalam, batuk, dan
mengedan. Nyeri ini timbul karena adanya kontraksi m.psoas mayor
yang menegang dari dorsal.
b. Bila apendiks terletak di rongga pelvis
Bila apendiks terletak di dekat atau menempel pada rectum, akan
timbul gejala dan ransangan sigmoid atau rektum, sehingga peristaltik
28
4. Patofisiologi
Tanda patogenetik primer diduga karena obstruksi lumen dan
ulserasi mukosa menjadi langkah awal terjadinya apendisitis. Obstruksi
lumen yang tertutup disebabkan oleh hambatan pada bagian proksimal.
Selanjutnya, terjadi peningkatan sekresi normal dari mukosa apendiks
yang distensi secara terus menerus karena multiplikasi cepat dari bakteri.
Obstruksi juga menyebabkan mukus yang diproduksi mukosa terbendung.
Semakin lama, mukus tersebut semakin banyak, namun elastisitas dinding
apendiks terbatas sehingga meningkatkan tekanan intralumen.
Tekanan yang meningkat tersebut akan menyebabkan apendiks
mengalami hipoksia, hambatan aliran limfe, ulserasi mukosa, dan invasi
bakteri. Infeksi memperberat pembengkakan apendiks (edema) dan
thrombosis pada pembuluh darah intramural (dinding apendiks)
menyebabkan iskemik. Pada tahap ini mungkin terjadi apendisitis akut
fokal yang ditandai oleh nyeri epigastrium.
Bila sekresi mukus terus berlanjut, tekanan akan terus meningkat
dan menyebabkan obstruksi vena, edema bertambah, serta bakteri akan
menembus dinding. Bila kemudian arteri terganggu akan terjadi infark
dinding apendiks yang diikuti dengan gangren (Asuhan Keperawatan Pada
Pasien Dengan Gangguan Sistem Pencernaan, 2018).
29
5. Pemeriksaan Diagnostik
Menurut buku Rencana Asuhan Keperawatan Edisi 3, Marlyn,
Mary & Alice. Pemeriksaan diagnostik pada appendiks dapat melalui
pemeriksaan :
a. Laboratorium : sel darah putih, leukositosis diatas 12.000/mm3,
neutrofil meningkat sampai 75%. Urinalisis, normal tetapi
eritrisit/leukosit mungkin ada.
b. Radiologi : foto abdomen, dapat menyatakan adanya pengerasan
material pada appendiks (fekalit), ileus terlokalisir.
Sedangkan menurut buku Asuhan Keperawatan Post Operasi,
Jitowiyono & Kristiyanasari, 2010. Pemeriksaan diagnostik dapat
dilakukan dengan cara :
a. Pemeriksaan yang lain lokalisasi
Jika sudah terjadi perforasi, nyeri akan terjadi pada seluruh perut,
tetapi paling terasa nyeri pada daerah titik Mc burney jika sudah
infiltrate, lokal infeksi juga terjadi jika orang dapat menahan sakit, dan
kita akan merasakan seperti ada tumor dititik Mc burney.
b. Test rektal
Pada pemeriksaan rektal toucher akan teraba benjolan dan penderita
merasa nyeri pada daerah prolitotomi. Pemeriksaan laboratorium
leukosit meningkat sebagai respon fisiologis untuk melindungi tubuh
terhadap mikroorganisme yang menyerang. Pada appendisistis akut
dan perforasi akan terjadi lekositosis yang lebih tinggi lagi.
Hb (hemoglobin) nampak normal. Laju endap darah (LED) meningkat
pada keadaan apendisitis infiltrat. Urine rutin penting untuk melihat
apa ada infeksi pada ginjal. Pemeriksaan radiologi pada foto tidak
dapat menolong untuk menegakkan diagnosa apendisitis akut, kecuali
bila terjadi peritonitis, tapi kadang kala dapat ditemukan gambaran
sebagai berikut: adanya sedikit fluid level disebabkan karena adanya
udara dan cairan. Kadang ada fekalit (sumbatan). Pada keadaan
perforasi ditemukan adanya udara bebas dalam diafragma.
30
6. Penatalaksanaan Appendiktomi
Penatalaksanaan yang dilakukan sebaiknya konservatif dengan
pemberian antibiotik dan istirahat di tempat tidur. Penatalaksanaan
pembedahan hanya dilakukan bila dalam perawatan terjadi abses dengan
atau tanpa peritonitis umum. Penatalaksanaan apendisitis menurut
Mansjoer (2001) antara lain:
a. Sebelum operasi
1. Pemasangan sonde lambung untuk dekompresi
2. Pemasangan kateter untuk kontrol produksi urin
3. Rehidrasi
4. Antibiotik dengan spektrum luas, dosis tinggi dan diberikan secara
intravena
5. Obat-obatan penurun panas diberikan setelah rehidrasi tercapai
6. Bila demam, harus diturunkan sebelum diberi anestesi.
b. Operasi
1. Apendiktomi
2. Apendiks dibuang, jika apendiks mengalami perforasi bebas, maka
abdomen dicuci dengan garam fisiologis dan antibiotika
3. Abses apendiks diobati dengan antibiotika IV, massanya mungkin
mengecil atau abses mungkin memerlukan drainase dalam jangka
waktu beberapa hari
4. Apendiktomi dilakukan bila abses dilakukan operasi elektif
sesudah 6 minggu sampai 3 bulan.
c. Pasca operasi
1. Observasi Tanda-tanda vital
2. Angkat sonde lambung bila pasien telah sadar sehingga aspirasi
cairan lambung dapat dicegah
3. Baringkan pasien dalam posisi semi fowler
31