Anda di halaman 1dari 314

INDERA

KHUSUS
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS NUSA CENDANA
2017
TIM PENYUSUN

1. Penanggung Jawab : Dekan FK UNDANA


2. Ketua : dr. Kartini Lidia, M.Sc
3. Anggota : dr. Eunike Cahyaningsih, Sp.M, MARS
dr. S. M. J. Koamesah, MMR, MMPK
dr. Ika F. Buntoro, M.Sc
dr. Redemptus
dr. I Nyoman Sasputra, Sp.PA, M.Biomed
Rr. Listyawati Nurina, S.Si, M.Sc, Apt
4. Editing Dan Layout : Magdarita Riwu, S.Farm, M.Farm, Apt
dr. Michelle Giovanny Manoeroe

2
KONTRIBUTOR

dr. Sri Wahyuningsih, Sp.THT


dr. Fransiska, Sp.THT
dr. Ratna Tallo,Sp.KK
dr. Eunike Cahyaningsih, Sp.M
dr. Michelle Giovanny Manoeroe
dr. Made Anggara Wisesa Mahayasa

3
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena
kebaikanNYA sehingga kami dapat menyelesaikan Modul Indera Khusus
tahun 2017. Modul Blok ini disusun untuk menjadi panduan bagi
mahasiswa fase akademik dan menjadi bahan ajar bagi dosen, selama
Blok Indera Khusus di semester 4. Blok Indera khusus merupakan Blok
ketiga di semester 4, yang dilaksanakan selama 5 minggu. Modul ini, terdiri
dari 3 modul yakni, modul Kuliah, modul tutorial dan modul praktikum.
Modul ini disusun berdasakan capaian pembelajaran (CP) yang terdapat
pada Blueprint Blok (mesokurikulum) FK Undana. Pada modul kuliah, berisi
CP pada setiap topik kuliah serta materi singkat terkait CP perkuliahan.
Modul tutorial berisi modul tutorial pegangan mahasiswa dan modul tutorial
pegangan tutor. Pada kedua modul tutorial ini berisi skenario kasus, CP
setiap skenario, langkah-langkah melakukan tutorial (seven jump), serta
lembar penilaian tutorial. Khusus untuk modul tutorial pegangan tutor,
ditambahkan teori singkat mengenai skenario, sehingga memudahkan
tutor dalam memfasilitasi jalannya tutorial, sehingga diharapkan pada akhir
tutorial CP tiap skenario dapat tercapai. Pada Modul Blok Indera khusus,
juga memuat modul praktikum yang berisi capaian pembelajaran topik
praktikum dan panduan praktikum yang akan menjadi panduan bagi
mahasiswa saat melakukan praktikum pada blok Indera khusus.

Modul Blok Indera khusus Tahun 2017, akan terus dievaluasi oleh Sie
Kurikulum Medical Education Unit, sehingga Tim Penyusun mengharapkan
saran dan kritik untuk perbaikan demi menjaga mutu lulusan FK Undana.
Besar harapan kami agar Modul Blok Indera khusus dapat berguna bagi
mahasiswa maupun dosen, demi tercapainya lulusan FK Undana yang
mempunyai kompetensi sesuai dengan Kerangka Kualifikasi Nasional
Indonesia (KKNI) dan Standar Kompetensi Dokter Indonesia (SKDI).

Kupang, Juni 2017

Tim Penyusun

4
DAFTAR ISI

COVER...................................................................................................... i

TIM PENYUSUN ....................................................................................... ii

KONTRIBUTOR ........................................................................................ iii

KATA PENGANTAR ................................................................................. iv

DAFTAR ISI............................................................................................... v

PENDAHULUAN ....................................................................................... 6

A. CAPAIAN PEMBELAJARAN LULUSAN PRODI ................................. 6

B. CAPAIAN PEMBELAJARAN BLOK INDERA KHUSUS ...................... 6

MODUL KULIAH ....................................................................................... ….9

BAB I Ilmu Penyakit Kulit .......................................................................... ..10

BAB II Ilmu Penyakit Mata ........................................................................ 137

BAB III Ilmu Penyakit THT ........................................................................ 226

A. Telinga ........................................................................................... 226


B. Hidung ........................................................................................... 271
C. Tenggorokan ................................................................................. 298

MODUL TUTORIAL .................................................................................. 304

Skenario 1 Gatal ....................................................................................... 307

Skenario 2 Bercak Hitam pada Kulit ......................................................... 309

5
PENDAHULUAN

Modul Blok Indera Khusus digunakan oleh setiap mahasiswa yang


mengambil blok Indera Khusus (6 SKS) pada semester 4. Blok Indera
Khusus merupakan Blok ketiga disemester 4, dengan durasi blok selama 5
minggu, termasuk ujian blok dan remedial. Modul Blok berisi Capaian
Pembelajaran Lulusan Prodi yang menjadi sasaran akhir capaian lulusan
Prodi pendidikan dokter FK Undana dan berisi Capaian Pembelajaran Blok
Indera Khusus yang harus dicapai oleh setiap mahasiswa pada akhir blok
Indera Khusus. Capaian Pembelajaran Blok Indera Khusus merupakan
turunan dari Blueprint Mesokurikulum yang merupakan penjabaran dari
Blueprint pada Makrokurikulum FK Undana yang disusun berdasarkan
Standar Nasional Dikti (Pemenristek Dikti No.44 Tahun 2015) dan
Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI) untuk Level Profesi Dokter
(Level 7). Berdasarkan SN Dikti, unsur kompetensi masuk sebagai salah
satu bagian dari CP. Capaian Pembelajaran menurut SN-DIKTI yang
termuat dalam Panduan Penyusunan Kurikulum Pendidikan Tinggi Tahun
2016 terdiri dari unsur sikap, ketrampilan umum, ketrampilan khusus dan
pengetahuan. Unsur sikap dan ketrampilan umum telah dirumuskan secara
rinci dan tercantum dalam lampiran SN-DIKTI, sedangkan unsur
ketrampilan khusus dan pengetahuan adalah 80% mengacu pada SKDI
2012 ditambah dengan 20% kompetensi unggulan penciri Fakultas
Kedokteran Universitas Nusa Cendana

A. CAPAIAN PEMBELAJARAN (CP) LULUSAN PRODI :

Menguasai konsep teori dengan pemikiran logis, kritis, sistematis dan


inovatif, profesionalitas yang luhur, mawas diri dan pengembangan diri,
komunikasi efektif pengelolaan informasi, landasan ilmiah ilmu kedokteran,
ketrampilan klinis dan pengeloaan masalah kesehatan serta mampu
menangani permasalahan kesehatan semiringkai kepulauan

B. CAPAIAN PEMBELAJARAN BLOK INDERA KHUSUS :


1. Mampu menerapkan sikap profesional yang luhur dengan landasan
norma dan etika akademik profesi.
2. Mampu mengkaji secara logis, kritis, rasional dan inovatif
berdasarkan landasan ilmiah terhadap masalah-masalah
kedokteran klinis yang berkaitan dengan Sistem Indera serta
mengelola masalah tersebut secara komprehensif.

6
MODUL KULIAH

7
BAB I
ILMU PENYAKIT KULIT

Capaian Pembelajaran :

1. Mahasiswa mampu mendiagnosis dan melakukan tatalaksana


farmakoterapi dan non farmakoterapi penyakit Kulit
2. Mahasiswa mampu mendiagnosis dan melakukan tatalaksana
farmakoterapi dan non farmakoterapi penyakit Kulit disebabkan infeksi
Virus antara lain : Morbili tanpa komplikasi, Varisela tanpa komplikasi;
Penyakit Kulit yang disebabkan oleh infeksi bakteri antara lain :
Impetigo, Impetigo ulseratif (ektima), Furunkel, karbunkel, Eritrasma,
Erisipelas; Penyakit kulit yang disebabkan oleh Jamur : Kandidosis
mukokutan ringan
3. Mahasiswa mampu mendiagnosis dan melakukan tatalaksana
farmakoterapi dan non farmakoterapi penyakit Kulit disebabkan oleh
Dermatitis Eksim : Dermatitis Kontak Iritan, Dermatitis Atopik,
Dermatitis Numularis, Napkin Eczema
4. Mahasiswa mampu mendiagnosis dan melakukan tatalaksana
farmakoterapi dan non farmakoterapi penyakit Kulit disebabkan oleh
Lesi Eritrosquamosa : Dermatitis seboroik, Pitiriasis Rosea; Kelainan
Kelenjar Sebasea dan Ekrin : Akne Vulgaris Ringan, Hidradenitis
supuratif, Dermatitis perioral, Miliaria; Penyakit Kulit Alergi : Urtikaria
Akut ; Reaksi Obat : Exanthematous drug eruption, fixed drug eruption
5. Mahasiswa mampu mendiagnosis dan melakukan tatalaksana awal
dan merujuk Dermatitis Kontak Alergi, Liken Simpleks
kronik/Neurodermatitis, Psoriasis Vulgaris, Akne Vulgaris sedang-
berat,
6. Mahasiswa mampu mendiagnosis dan melakukan tatalaksana awal
dan merujuk Penyakit Urtikaria Kronis, Ichthyosis vulgaris, Vitiligo,
Melasma, Hiperpigmentasi pascainflamasi, hipopigmentasi
pascainflamasi, Kista Epitel
7. Mampu mengenali, menjelaskan, mendiagnosis dan mengetahui
penyakit kulit yang harus dirujuk antara lain Lupus Eritematosis Kulit,
Albino, Keratosis Seboroik, Squamous cell carcinoma, Basal cell
carcinoma, Xanthoma, Hemangioma, Lentigo, Nevus Pigmentosus,

8
Melanoma Maligna, Alopesia, Areata, Alopesia androgenik, Telogen
eflluvium,Psoriasis vulgaris

A. IMPETIGO

Definisi

Impetigo secara klinis didefinisikan sebagai penyakit infeksi menular


pada kulit yang superfisial yaitu hanya menyerang epidermis kulit, yang
menyebabkan terbentuknya lepuhan-lepuhan kecil berisi nanah (pustula)
seperti tersundut rokok/api. Penyakit ini merupakan salah satu contoh
pioderma yang sering dijumpai di bagian Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin.
Terdapat dua jenis impetigo yaitu impetigo bulosa yang disebabakan oleh
Staphylococcus aureus dan non-bulosa yang disebabkan oleh
Streptococcus-β-hemoliticus.

Klasifikasi

Terdapat dua bentuk Impetigo, yaitu :

a. Impetigo Krustosa (impetigo kontagiosa, impetigo vulgaris,


impetigo tilibury fox)
b. Impetigo Bulosa (impetigo vesiko-bulosa, cacar monyet)

Gejala Klinis

1. Impetigo Krustosa
Keluhan utama adalah rasa gatal. Lesi awal berupa makula
eritematosa berukuran 1 – 2 mm, segera berubah menjadi vesikel
dan bula. Karena dinding vesikel tipis, mudah pecah dan
mengeluarkan sekret seropurulen kuning kecoklatan, selanjutnya
mengering membentuk krusta yang berlapis-lapis. Krusta mudah
dilepaskan, dibawah krusta terdapat daerah erosif yang
mengeluarkan sekret, sehingga krusta kembali menebal.
 Tempat Predileksi : di muka, yakni di sekitar lubang hidung dan
mulut karena dianggap sumber infeksi dari daerah tersebut.
 Efloresensi : krusta tebal berwarna kuning seperti madu dan
mudah diangkat.

9
2. Impetigo Bulosa
Lepuh tiba-tiba muncul pada kulit sehat, bervariasi mulai dari miliar
hingga lentikular, biasanya dapat bertahan 2 – 3 hari. Berdinding
tebal dan terdapat hipopion. Bila pecah menimbulkan krusta yang
berwarna coklat datar dan tipis.
 Tempat Predileksi : di ketiak, dada dan punggung.
 Efloresensi : tampak bula dengan dinding tepal dan tipis, miliar
hingga lentikular, kulit sekitarnya tidak menunjukkan
peradangan, terkadang-kadang tampak hipopion.

Penegakkan Diagnosa

Jika pasien datang dengan krusta yang sudah mengering, pada


anamnesis hendaknya ditanyakan, apakah sebelumnya terdapat lepuh
untuk membedakan impetigo krustosa dan bulosa. Jika ada lepuhan,
diagnosisnya adalah impetigo bullosa. Impetigo krustosa hanya terdapat
pada anak-anak, sedangkan impetigo bulosa dapat terjadi pada anak-anak
maupun dewasa. Penting ditanyakan riwayat infeksi pada saluran
pernafasan sebelumnya.

Pada pemeriksaan fisik penting membedakan efloresensi dan tempat


predileksi dari kedua jenis impetigo.

Pada keadaan khusus, dimana diagnosis impetigo masih diragukan,


atau pada suatu daerah dimana impetigo sedang mewabah, atau pada
kasus yang kurang berespons terhadap pengobatan, maka diperlukan
pemeriksaan-pemeriksaan sebagai berikut:
a. Pemeriksaan Laboratorium
 Pewarnaan gram
Pada pemeriksaan ini akan mengungkapkan adanya neutropil
dengan kuman coccus gram positif berbentuk rantai atau
kelompok.
 Kultur cairan
Pada pemeriksaan ini umumnya akan mengungkapkan adanya
Streptococcus aureus, atau kombinasi antara Streptococcus
pyogenes dengan Streptococcus-β-hemoliticusgrup A (GABHS),
atau kadang-kadang dapat berdiri sendiri.

10
b. Pemeriksaan Lain
 Titer anti-streptolysin-O (ASO), mungkin akan menunjukkan hasil
positif lemah untukStreptococcus, tetapi pemeriksaan ini jarang
dilakukan.Streptozyme, menunjukkan hasil positif untuk
Streptococcus, tetapi pemeriksaan ini jarang dilakukan.
 Pemeriksaan kultur dan sensitifitas bakteri.

Diagnosa Banding

 Lupus eritematosa bullosa: lesi vesikel dan bula yang menyebar


dapat gatal, seringkali melibatkan bagian atas badan dan daerah
lengan.

 Pemfigus bulosa: vesikel dan bula timbul cepat dan gatal


menyeluruh, dengan plak urtikaria.

 Herpes simplex: vesikel berkelompok dengan dasar kemerahan


yang pecah menjadi lecet dan tertutup krusta, biasanya pada bibir
dan kulit.

 Pemfigus vulgaris: bulla yang tidak gatal, ukuran bervariasi dari 1


sampai beberapasentimeter, muncul bertahap dan menjadi
menyeluruhpenyembuhan dengan hiperpigmentasi (warna kulit
yanglebih gelap dan sebelumnya).

 Varisela: vesikel pada dasar kemerahan bermula di badan dan


menyebar ke tangan kaki dan wajah; vesikel pecah dan membentuk
krusta; lesi terdapat pada beberapa tahap (vesikel, krusta) pada
saat yang sama.

 Dermatitis atopi: keluhan gatal yang berulang atau berlangsung


lama (kronik) dan kulit yang kering; penebalan pada pada lipatan
kulit terutama pada dewasa (likenifikasi); pada anak seringkali
melibatkan daerah wajah atautangan bagian dalam.

 Dermatitis kontak: gatal pada daerah sensitif yang kontak dengan


zat-zat yang mengiritasi.

 Ektima: lesi berkrusta yang menutupi daerah ulkus (luka dengan


dasar dan dinding) dapatmenetap selama beberapa minggu dan
sembuh dengan jaringan parut bila infeksi sampaijaringan kulit
dalam (dermis).

11
Penatalaksanaan

Tujuan pengobatan impetigo adalah menghilangkan rasa tidak nyaman


dan memperbaiki kosmetik dan lesi impetigo, mencegah penyebaran
infeksi ke orang lain dan mencegah kekambuhan.
Ada 2 jenis pengobatan impetigo, topikal dan sistemik (bila lesi luas).

a. Topikal

Antibiotik topikal (lokal) menguntungkan karena hanya diberikan pada


kulit yang terinfeksi sehingga meminimalkan efek samping.Kadangkala
antibiotik topikal dapatmenyebabkan reaksi sensitifitas pasa kulit orang-
orang tertentu.Pada lesi yang terlokalisir maka pemberian antibiotik
topikal diutamakan.

Untuk lesi yang kering dapat diberikan salep/krim antibiotik topikal, yaitu
basitrasin, neomisin, mupirosin 2% atau asam fusidat, diberikan di kulit
yang terinfeksi 3x sehari selama 3 sampai 5 hari. Untuk lesi yang basah
dapat dikompres terbuka dengan larutan permanganas kalikus 1/5000,
larutan rivanol dan yodium povidon 7,5 % yang dilarutkan 10 kali.

b. Sistemik

Antibiotik oral yang dapat diberikan adalah Amoxicillin dengan asam


klavulanat; cefuroxime;cephalexin; dieloxacillin; atau eritromicin selama
10 hari.

Pencegahan

Kebersihan sederhana dan perhatiandapat mencegah timbulnya


impetigo. Seseorang yang sudah terkena impetigo atau gejala-gejala
infeksi/peradangan Streptococcus-β-hemoliticus grup A (GABHS)
membutuhkan perawatan medik dan jika perlu dimulai denganpemberian
antibiotik secepat mungkin untuk mencegah menyebarnya infeksi ke orang
lain.Penderita impetigo harus diisolasi dan dicegah agar tidak terjadi kontak
dengan orang lain minimal dalam 24 jam setelah pemberian antibiotik.

Komplikasi
Impetigo biasanya sembuh tanpa penyulit dalam dua minggu walaupun
tidak diobati. Kómplikasi berupa radang ginjal pasca infeksi Streptococcus
terjadi pada 1-5% pasien terutama usia 2-6 tahun dan hal ini tidak
dipengaruhi oleh pengobatan antibiotik.Gejala berupa bengkak tekanan
darah tinggi, terdapaturin seperti warna teh. Keadaan ini umumnya sembuh
secara spontan walaupungejala-gejala tadi muncul.

12
Prognosis

Secara umum prognosis dari penyakit ini adalah baik jika dilakukan
pengobatan yang teratur, meskipun dapat pula komplikasi sistemik seperti
glomerulonefritis dan lain-lain. Lesi mengalami perbaikan setelah 7-10 hari
pengobatan.

DAFTAR PUSTAKA

1. Adhi Djuanda, Mochtar Hamzah, Siti Aisah. 2006. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi ke-4. Jakarta: FKUI.
2. Arthur Rook, D.S. Wilkinson, F.J.G Ebling. 1979. Impetigo. Textbook of
Dermatology. Edisi ke-3, Vol 2, Hal 338-341.
3. Freedberg , Irwin M. (Editor), Arthur Z. Eisen (Editor), Klauss Wolff
(Editor), K. Frank Austen (Editor), Lowell A. Goldsmith (Editor),
Stephen Katz (Editor). Fitzpatrick's Dermatology In General Medicine
(Two Vol. Set). 6th edition (May 23, 2003): By McGraw-Hill
Professional.
4. Siregar, R.S, 2005. Atlas Berwama Saripati Penyakit Kulit. Edisi
Kedua. Jakarta: EGC. Hal. 45-49.

13
B. IMPETIGO ULSERATIF (EKTIMA)

Definisi

Ektima merupakan ulkus superfisial dengan krusta diatasnya yang


disebabkan karena infeksi oleh Streptococcus.

Gejala Klinis

Lesi ektima dapat berkembang dari pioderma primer, penyakit kulit,


atau trauma yang sudah ada sebelumnya Sedangkan ektima
gangrenosum merupakan luka kutaneus yang disebabkan Pseudomonas
aeruginosa dan mirip dengan ektima Staphylococcus atau Streptococcus.

 Efloresensi : krusta tebal berwarna kuning, jika krusta diangkat


ternyata lekat dan tampak ulkus yang dangkal
 Tempat Predileksi : di tungkai bawah, yaitu tempat yang relatif
banyak mendapat trauma

Penegakkan Diagnosa

Penegakan Diagnosis pada Ektima dapat dilakukan dengan temuan


klinis dan dikonfirmasi melalui kultur.

Temuan Laboratorium
- Pemeriksaan Gram dapat ditemukan kokkus gram-possitive.
- Kultur dapat terisolasi Staphylococcus aureus dan atau kedua-
duanya Streptococcus group A.
- Streptococcal Antibody Assay, tidak memberi nilai pada
diagnosis dan penatalaksannaan namun dapat sangat menolong
temuan recents streptococcal infection pada pasien dengan
dugaan poststreptococcal glomerulonefritis.

14
Diagnosa Banding
a. Folikulitis
b. Impetigo Krustosa

Penatalaksanaan
Penatalaksanaan pada ektima sama dengan penatalaksanaan pada
impetigo. Jika terdapat sedikit, krusta diangkat lalu diolesi dengan salap
antibiotik. Kalau banyak, juga diobati dengan antibiotik sistemik.
a. Topikal
Terapi topikal yang dapat diberikan berupa desinfektan topikal atau
ointment seperti asam fusidat. Mupirocin dan retapaminolen dapat
sangat efektif dalam mengeliminasi kedua S. Aureus, termasuk
MRSA, dari daerah sekitar dan pada lesi kutaneus. Gunakan dua kali
sehari pada kulit lesi dan daerah sekitarnya 5-10hari.
Sedangkan Salep Mupirocin digunakan untuk terapi infeksi kulit yang
sering sisebabkan oleh bakteri stafilokok atau streptokok baik pada
dewasa maupun pada anak-anak. Penelitian-penelitian mutakhir
menganjurkan aplikasi 2 kali sehari selama 5hari.

b. Sistemik
Antibiotik oral yang direkomendasikan jika infeksinya meluas atau
memberikan respon lambat pada antibiotik topikal. Antibiotik yang
dipilih ialah golongan penisilin, atau apapun antibiotik yang dipilih
haruslah dapat menanggulangi kedua bakteri penyebab yaitu
Streptococcus dan Staphylococcus aureus (biasanya dicloxalicin atau
fluoxacillin). Durasi pengobatan pun bervariasi, beberapa minggu dari
terapi sangat memungkinkan menanggulangi ektima.

Pencegahan
Mandi Tiap hari. Sabun batang Benzoyl Peroxyde. Mengecek tanda
dan gejala Impetigo di seluruh anggota keluarga.Ethanol atao Isoprophil gel
untuk tangan dan atau bagian yang termasuk didalamnya.

Komplikasi
 Infeksi luas pada tubuh.
 Kerusakan kulit permanen dengan bekas luka.
 Komplikasi Nonsupuratif dari Infeksi Kulit Streptokokus termasuk
demam scarlet dan glomerulonefritis akut.

Prognosis

Prognosis baik. Ektima dapat menimbulkan scar atau bekas luka.

15
DAFTAR PUSTAKA

1. Juanda A. Pioderma. In: Juanda A, Hamzah M, Aisah S, Kosasih A,


Wiryadi BE, Natahusada EC, et al., editors. Ilmu Penyakit Kulit dan
Kelamin. 5th ed. Jakarta: Badan Penerbit FKUI; 2007. p. 57-60.
2. Boediardja SA. Aspek Imunologi pada Infeksi Kulit Akibat Bakteri.
dalam: pertemuan Ilmiah Nasional KSDAI. Makssar, Badan penerbit
FKUI: 2010. hal:141-2.
3. Graham-Brown R, Burns T. Infeksi Bakteri. dalam: Dermatologi
Catatan Kuliah. edisi 8. Jakarta; 2005. p. 19-25.
4. Wolf K, Johnson R. In: Wolfff K, Johnson R, editors. Fitzpatrick's Color
Atlas & Synopsis of Clinical Dermatology 6th ed. New York: McGraw-
Hill; 2009. p. 598-604

16
C. FOLIKULITIS, FURUNKEL DAN KARBUNKEL

Definisi

Folikulitis adalah radang pada folikel rambut. Furunkel adalah radang


pada folikel rambut dan sekitarnya. Jika lebih daripada sebuah disebut
furunkulosis. Karbunkel adalah kumpulan furunkel.

Klasifikasi

Folikulitis diklasifikasikan menjadi 2 jenis, yaitu :

a. Folikulitis superfisialis (Impetigo Bockhart) : terbatas di dalam


epidermis.

b. Folikulitis profunda : sampai ke subkutan.

Gejala Klinis

Folikulitis Furunkel Karbunkel

Tanda radang + + +

(nyeri, dst)

Efloresensi Papul, pustul, eritem, di Nodus eritem kerucut, pustul di tengah 


tengah ada rambut abses  pecah menjadi fistel

Tempat Tungkai bawah, kulit Aksilla, bokong


Predileksi kepala

Penegakkan Diagnosa

Diagnosis dapat ditegakan dengan pemeriksaan fisik dan temuan pada


pengecatan gram dan kultur. Pada pemeriksaan laboratorium pengecatan
gram ditemukan bakteri kokus gram positif dan PMN leukosit. Kultur bakteri

17
diambil dari pus dan pemeriksaan sensitivitas antibiotik dapat menentukan
terapi.

Diagnosa Banding

Tinea barbae, lokalisasinya di mandibula/submandibula, unilateral.


Pada tinea barbae sediaan dengan KOH positif.

Penatalaksanaan

Folikulitis kadang dapat sembuh sendiri setelah dua atau tiga hari,
tetapi pada beberapa kasus yang persisten dan rekuren perlu
penanganan.:

1. Umum

Pada pengobatan umum kasus pioderma , factor hygiene perorangan


dan lingkungan harus diperhatikan

2. Khusus

Terbagi 2 yaitu secara sistemik dan secara tropikal :

Penisilin G prokain dan semisintetiknya antara lain :

 Penisilin G prokain,
Dosisnya 1,2 juta/ hari, I.M. Dosis anak 10000 unit/kgBB/hari.
Penisilin merupakan obat pilihan (drug of choice), walaupun di
rumah sakit kota-kota besar perlu dipertimbangkan kemungkinan
adanya resistensi. Obat ini tidak dipakai lagi karena tidak praktis,
diberikan IM dengan dosis tinggi, dan semakin sering terjadi syok
anafilaktik.
 Ampisilin
Dosisnya 4x500 mg, diberikan 1 jam sebelum makan. Dosis anak
50-100mg/kgBB/hari dibagi dalam 4 dosis.
 Amoksisilin
Dosisnya sama dengan ampsilin, dosis anak 25-50 mg/kgBB/hari
dibagi dalam 3 dosis. Kelebihannya lebih praktis karena dapat
diberikan setelah makan. Juga cepat absorbsi dibandingkan dengan
ampisilin sehingga konsentrasi dalam plasma lebih tinggi
 Golongan obat penisilin resisten-penisilinase
Yang termasuk golongan obat ini, contohnya: oksasilin,
dikloksasilin, flukloksasilin. Dosis kloksasilin 3 x 250 mg/hari
sebelum makan. Dosis flukloksasilin untuk anak-anak adalah 6,25-
11,25 mg/kgBB/hari dibagidalam 4 dosis.
 Linkomisin dan Klindamisin
Dosis linkomisin 3 x 500 mg sehari. Klindamisin diabsorbsi lebih
baik karena itu dosisnya lebih kecil, yakni 4 x 300-450 mg sehari.
Dosis linkomisin untuk anak yaitu 30-60 mg/kgBB/hari dibagi dalam

18
3-4 dosis, sedangkan klindamisin 8-16 mg/kgBB/hari atau sapai 20
mg/kgBB/hari pada infeksi berat, dibagi dalam 3-4 dosis. Obat ini
efektif untuk pioderma disamping golongan obat penisilin resisten-
penisilinase. Efek samping yang disebut di kepustakaan berupa
colitis pseudomembranosa, belum pernah ditemukan. Linkomisin
gar tidak dipakai lagi dan diganti dengan klindamisin karena potensi
antibakterialnya lebih besar, efek sampingnya lebih sedikit, pada
pemberian pe oral tidak terlalu dihambat oleh adanya makanan
dalam lambung.
 Eritromisin
Dosisnya 4x 500 mg sehari per os. Efektivitasnya kurang
dibandingkan dengan linkomisin/klindamisin dan obat golongan
resisten-penisilinase. Sering member rasa tak enak dilambung.
Dosis linkomisin untuk anak yaitu 30-5mg/kgBB/hari dibagi dalam 3-
4 dosis.
 Sefalosporin
Pada pioderma yang berat atau yang tidak member respon dengan
obat-obatan tersebut diatas, dapat dipakai sefalosporin. Ada 4
generasi yang berkhasiat untuk kuman positif-gram ialah generasi I,
juga generasi IV. Contohya sefadroksil dari generasi I dengan dosis
untuk orang dewasa2 x 500 m sehari atau 2 x 1000 mg sehari (per
oral), sedangkan dosis untuk anak 25-50 mg/kgBB/hari dibagi
dalam 2 dosis.

3. Topikal

Bermacam-macam obat topikal dapat digunakan untuk pengboatan


pioderma. Obat topical anti mikrobial hendaknya yang tidak dipakai secara
sistemik agar kelak tidak terjadi resistensi dan hipersensitivitas, contohnya
ialah basitrasin, neomisin, dan mupirosin. Neomisin juga berkhasiat untuk
kuman negatif-gram.Neomisin, yang di negeri barat dikatakan sering
menyebabkan sensitisasi, jarang ditemukan. Teramisin dan kloramfenikol
tidak begitu efektif, banyak digunakan karena harganya murah. Obat-obat
tersebut digunakan sebagai salap atau krim. Sebagai obat topical juga
kompres terbuka, contohnya: larutan permangas kalikus 1/5000, larutan
rivanol 1% dan yodium povidon 7,5 % yangndilarutkan 10 x. yang terakhir
ini lebih efektif, hanya pada sebagian kecil mengalami sensitisasi karena
yodium. Rivanol mempunyai kekurangan karena mengotori sprei dan
mengiritasi kulit.

Pencegahan

a. Perawatan hiegine perorangan serta keluarga yang baik


b. Untuk menghindari penularan bakteri kepada anggota keluarga
lain, beri tahu pasien agar menggunakan handuk dan lap mukanya
sendiri. Beri tahu pula bahwa barang-barang ini harus direndam

19
dulu dalam air panas sebelum dicuci (atau cuci dengan mesin cuci
yang menggunakan air panas)
c. Pasien harus mengganti pakaian dan perlengkapan tidurnya
(seperti sprei, selimut, sarung bantal, dll) setiap hari dan semua
barang ini harus dicuci memakai air panas
d. Anjurkan pasien untuk mengganti perban dengan sering dan
segera membuangnya dalam kantung kertas ke tempat sampat.
(Kowalak, 2011)

Komplikasi

Pada beberapa kasus folikulitis ringan, tidak menimbulkan


komplikasi meskipun infeksi dapat rekurens atau menyebar serta
menimbulkan plak.

Komplikasi pada folikulitis yang berat, yaitu :

1. Selulitis

Sering terjadi pada kaki, lengan atau wajah. Meskipun infeksi awal hanya
superfisial, akhirnya akan mengenai jaringan dibawah kulit atau menyebar
ke nodus limfatikus dan aliran darah.

2. Furunkulosis

Kondisi ini terjadi ketika furunkel berkembang ke jaringan dibawah kulit (


subkutan ). Furunkel biasanya berawal sebagai papul berwarna
kemerahan. Tetapi beberapa hari kemudian dapat berisi pus, sehingga
akan membesar dan lebih sakit.

3.Skar

Folikulitis yang berat akan meninggalkan skar atau jaringan ikat (


hipertropik / skar keloid ) atau hipopigmentasi

4.Kerusakan folikel rambut

Hal ini akan mempermudah terjadinya kebotakan permanen (Anonymus,


2009)

DAFTAR PUSTAKA

1. Carpenito. L. Juall. 2006. Buku Saku Diagnosa Keperawatan. EGC.


Jakarta
2. Doengos,E marlyn.2002. Rencana Asuhan Keperawatan. EGC:
Jakarta
3. Kowalak, P. Jennifer. 2011. Buku Ajar Patofisiologi. EGC : Jakarta

20
D. ACNE VULGARIS

Definisi

Acne vulgaris atau jerawat, selanjutnya disebut acne, adalah


penyakit kulit obstruktif dan inflamatif kronik pada unit pilosebasea yang
sering terjadi pada masa remaja.

Epidemiologi

Onset acne pada perempuan lebih awal daripada laki-laki karena


masa pubertas perempuan umumnya lebih dulu daripada laki-laki.
Prevalensi acne pada masa remaja cukup tinggi, yaitu berkisar antara 47-
90% selama masa remaja. Perempuan ras Afrika Amerika dan Hispanik
memiliki prevalensi acne tinggi, yaitu 37% dan 32%, sedangkan
perempuan ras Asia 30%, Kaukasia 24%, dan India 23%.4 Pada ras Asia,
lesi infl amasi lebih sering dibandingkan lesi komedonal, yaitu 20% lesi infl
amasi dan 10% lesi komedonal. Tetapi pada ras Kaukasia, acne
komedonal lebih sering dibandingkan acne infl amasi, yaitu 14% acne
komedonal, 10% acne inflamasi.

Gejala Klinis

Acne memiliki gambaran klinis beragam, mulai dari komedo, papul,


pustul, hingga nodus dan jaringan parut, sehingga disebut dermatosis
polimorfi k dan memiliki peranan poligenetik.

 Efloresensi :
o Lesi noninflamasi, yaitu komedo, dapat berupa komedo
terbuka (blackhead comedones) yang terjadi akibat oksidasi
melanin, atau komedo tertutup (whitehead comedones).
o Lesi infl amasi berupa papul, pustul, hingga nodus dan kista.
 Tempat Predileksi : paling banyak terjadi di wajah, tetapi dapat
terjadi pada punggung, dada, dan bahu.

Derajat acne berdasarkan tipe dan jumlah lesi dapat digolongkan


menjadi ringan, sedang, berat, dan sangat berat.

Klasifikasi Derajat Acne Vulgaris

21
Diagnosa

Diagnosis akne vulgaris ditegakkan atas dasar klinis dan


pemeriksaan ekskohleasi sebum. Diagnosis klinis dimana pada
pemeriksaan kulit didapatkan erupsi kulit pada tempat predileksi yang
bersifat polimorfi yang terdiri dari komedo (tanda patognominik akne
vulgaris), papul, pustul dan nodul. Pemeriksaan ekskohleasi sebum adalah
pengeluaran sumbatan sebum dengan komedo ekstraktor (sendok Unna).

Pada pemeriksaan histopatologi komedo sel keratin, sebum dan


beberapa mikroorganisme, memperlihatkan gambaran yang tidak spesifik
berupa serbukan sel radang kronis disekitar folikel pilosebasea dengan
masa sebum didalam folike tetapi yang sering ditemukan hanyalah sel
keratin.

Pemeriksaan susunan dan kadar lipid permukaan kulit (skin surface


lipida). Pada akne vulgaris kadar asam lemak bebas meningkat, oleh
karena itu pada pencegahan dan pengobatan digunakan cara untuk
menurunkannya.

Diagnosa Banding

Diagnosis banding untuk akne vulgaris antara lain :

1) Erupsi akneiformis

Lesi ini disebabkan oleh obat-obatan. Klinis berupa erupsi papulopustul


mendadak tanpa adanya komedo hampir diseluruh bagian tubuh, dapat
disertai demam dan dapat terjadi pada semua usia.

2) Rosacea

Merupakan penyakit peradangan kronis pada kulit muka. Penyakit ini


ditandai dengan eritema yang persisten, disertai telangiektasis, papul dan
pustul, kadang-kadang diserta hipertrofi kelenjar sebasea tetapi tidak
ditemukan komedo.

3) Akne venenata dan akne akibat rangsangan fisis.

Umumnya lesi monomorfi, tidak gatal, bisa berupa komedo atau papul
dengan tempat predileksi ditempat kontak zat kimia atau rangsangan
fisisnya.

4) Dermatitis perioral

Gejala klinis berupa papul eritema atau papulo pustul dengan ukuran 1-
3mm terletak didagu, cekungan nasolabial dan sekitar mulut disertai
skuama dan rasa gatal.

5) Adenoma sebaseum

22
Sering merupakan manifestasi kulit dari penyakit tuberous
sclerosis.Nampak sebagai papul merah muda sampai merah diwajah yang
timbul sejak usai anak-anak atau pubertas.Lesi ini merupakan angiofibroma

Penatalaksanaan

Algoritme Internasional untuk Pengobatan Acne Vulgaris

Pencegahan

a) Menghindari peningkatan jumlah sebum dan perubahan isi sebum

- Diet rendah lemak dan karbohidrat.


- Minum air putih minimal 8 gelas sehari, dengan air putih yang cukup
kulit akan lebih elastis dan metabolisme tubuh menjadi lancar dan
normal dan detokfikasi tubuh dari dalam keluar
- Melakukan perawatan kulit.
- Mandi sesegera mungkin setelah aktifitas berkeringat.
- Cuci muka dengan sabun dan air hangat 2 kali sehari.18Jangan
mencuci muka berlebihan dengan sabun (6-8 kali sehari) karena
dapat menyebabkan akne detergen
- Dapat juga menggunakan cairan cleanser, tetapi hindari
menggunakan scrub yang malah dapat mengiritasi kulit dan dapat
memperparah akne.
- Hindari pemakaian anti septik atau medicated soap yang sering
mengakibatkan kulit menjadi iritasi

b) Menghindari faktor pemicu terjadinya akne

- Hidup teratur dan sehat, cukup istirahat, olahraga sesuai kondisi


tubuh.
- Penggunaan kosmetika secukupnya
- Bersihkan kuas kosmetika secara teratur dengan air sabun dan
membuang alat make up yang sudah lama dan sudah tidak layak
pakai.
- Hindari bahan kosmetika yang berminyak, tabir surya, produk
pembentuk rambut atau penutup jerawat.

c) Menjauhi terpacunya kelenjar minyak, misalkan minuman keras,


rokok,polusi debu,lingkungan yang tidak sehat dan sebagainya

23
d) Hindari penusukan,pemencetan lesi, mencongkel dan sebagainya
karena dapat menyebabkan infeksi, menimbulkan bekas, memperparah
akne dan bahkan membuat kesembuhan lebih lama

Komplikasi

Komplikasi yang dapat terjadi adalah terbentuknya scar atau


jaringan parut.

Prognosis

Umumnya prognosis penyakit baik. Akne vulgaris umumnya


sembuh sebelum mencapai 30-40an. Jarang terjadi akne vulgaris yang
menetap sampai tua atau mencapai gradasi sangat berat sehingga perlu
dirawat inap dirumah sakit.

DAFTAR PUSTAKA

1. Zaenglein AL, Graber EM, Thiboutot DM, Strauss JS. Acne vulgaris and
acneiform eruption. In: Fitzpatrick TB, Eisen AZ, Wolff K, Freedberg IM,
Austen K, eds. Dermatology in general medicine. 7th ed. New York:
McGraw-Hill, 2008:690-703.

2. Kurokawa I, Danby FW, Ju Q, Wang X, Xiang LF, Xia L, Chen WC, Nagy
I, et al. New developments in our understanding of acne pathogenesis and
treatment. Experimental Dermatology. 2009; 18: 821-32.

3. Cunliff e WJ, Gollnick HPM. Clinical features of acne. In: Cunliff e WJ,
Gollnick HPM, eds. Acne diagnosis and management. London: Martin
Dunitz Ltd, 2001:49-68.

4. Perkins AC, Cheng CE, Hillebrand GG, Miyamoto k, Kimball AB.


Comparison of the epidemiology of acne vulgaris among Caucasian, Asian,
Continental Indian and African American women. J Eur Acad Dermatol
Venerol. 2011;25(9):1054-60.

5. Zouboulis CC, Eady A, Philpott M, Goldsmith LA, Orfanos C, Cunliff e


WC, Rosenfi eld R. What is the pathogenesis of acne. Experimental
Dermatology. 2005; 14: 143-52

24
E. DERMATITIS ATOPIK

Definisi

Dermatitis atopik (DA) adalah penyakit kulit kronik berulang yang


terjadi paling sering semasa awal bayi dan anak. Walaupun etiologi
penyakit tidak sepenuhnya dipahami, DA dianggap sebagai produk dari
interaksi komplek antara lingkungan host, gen-gen suseptibel, disfungsi
fungsi sawar kulit, dan disregulasi system imun lokal dan sistemik.

Gambaran Klinis

Diagnosis DA didasarkan pada konstelasi gambaran klinis. DA


tipikal mulai selama bayi. Kisaran 50% timbul pada tahun pertama
kehidupan dan 30% timbul antara 1-5 tahun. Kisaran 50 dan 80% pasien
DA bayi akan mendapat rhinitis alergika atau asma pada masa anak.

Dermatitis atopic pada bayi.

Keluhan gatal dapat intermiten sepanjang hari dan lebih parah


menjelang senja dan malam. Sebagai konsekuensi keluhan gatal adalah
garukan, prurigo papules, likenifikasi, dan lesi kulit eksematosa. Lesi akut
ditandai keluhan gatal intens, papul eritem disertai ekskoriasi, vesikel di
atas kulit eritem, dan eksudat serosa. Lesi subakut ditandai papul eritem,
ekskoriasi, skuamasi. DA kronik ditandai oleh plakat kulit tebal, likenifikasi
(accentuated skin markings), dan papul fibrotik (prurigo nodularis).

Distribusi dan pola reaksi kulit bervariasi menurut usia pasien dan
aktivitas penyakit. Pada bayi, DA umumnya lebih akut dan terutama
mengenai wajah, scalp, dan bagian ekstensor ekstremitas. Daerah diaper
(popok) biasanya tidak terkena. Pada anak yang lebih tua, dan pada yang
telah menderita dalam waktu lama, stadium penyakit menjadi kronik
dengan likenifikasi dan lokalisasi berpindah ke lipatan fleksura ekstremitas.

25
Dermatitis atopik pada anak dengan likenifikasi pada fosa antecubiti
dan plakat ekzematosa generalisata.

DA sering mereda dengan pertambahan usia, dan individu dewasa


tersebut mempunyai kulit yang peka terhadap gatal dan peradangan bila
terpajan iritan eksogen. Eksema tangan kronik mungkin merupakan
manifestasi primer dari banyak orang dewasa dengan DA.

Papul, vesikel, dan eosi tipikal pada dermatitis atopic tangan.

Diagnosis

Tidak ada gambaran klinis tunggal pembeda atau tes laboratoris


diagnostik untuk DA, sehingga diagnosis didasarkan pada konstelasi
temuan klinis oleh Hanifin & Rajka.

26
Kriteria mayor dan minor dermatitis atopik
Major characteristics ( ≥ 3) Minor characteristics (≥ 3)
1. Pruritus 1. Xerosis (dry skin) 14. Food intolerance/
2. Typical morphology and 2. Accentuated lines or allergy
distribution (ie, flexural grooves below the 15. Immediate (type 1)
lichenification in older margin of the lower skin test reactivity
children; facial and eyelid (Dennie- 16. Susceptibility to
extensor involvement in Morgan fold) cutaneous infection
infants and young children) 3. Darkening beneath (eg, with Staph
3. Tencency toward chronic the eyes (allergic aureus, HSV, other
or chronically relapsing shiners/Orbital viruses, warts,
dermatitis darkening) molluscum,
4. Personal or family history 4. Facial pallor/facial dermatophytes)
of atopy (eg, asthma, erytherma 17. Perifollicular
alergic rhinitis, atopic 5. Pityriasis alba accentuation
dermatitis 6. Keratosis pilaris 18. Early age of onset
7. Ichthyosis vulgaris 19. Impaired cell-
8. Hyperlinearity of mediated immunity
palms and soles 20. Anterior neck folds
9. White 21. Course influenced
dermographism by environment/
(white line appear on emotional factors
skin within 1 minute 22. Pruritus with
of being stroked with sweating
blunt instrument) 23. Intolerance to wool
10. Conjunctivitis and lipid solvents
11. Keratoconus 24. Peripheral blood
12. Anterior eosinophilia
subcapsular 25. Hand and/or foot
cataracts dermatitis
13. Elevated total 26. Cheilitis
serum IgE 27. Nipple eczema

Sumber: Diagnostic criteria for AD by Hanifin JM, Rajka G. Acta Derm


Venereol Suppl (Stockh). 1980;92:44–47 (no 15-27).

Kriteria diagnostik dermatitis atopik pada bayi


Major features Minor features
1. Pruritic dermatitis 1. Xerosis/Ichthyosis/hyperlinear palms
2. Typical facial or extensor 2. Perifollicular accentuation
eczematous or lichenified 3. Chronic scalp scaling
dermatitis 4. Peri-auricular fissures
3. Family history of atopy
(asthma, allergic rhinitis,
Atopic dermatitis)

27
Sumber: Spergel & Schneider, 1999. Atopic dermatitis. The Internet Journal
of Asthma, Allergy and Immunology 1

Tes Laboratorium

Level IgE serum meningkat pada 70-80% pasien DA, yang disertai
dengan sensitisasi terhadap alergen inhalan dan makanan. Pada 20-30%
pasien DA, tidak terjadi peningkatan IgE dan pasien ini tidak menunjukkan
sensitisasi terhadap alergen makanan dan inhalan, tetapi beberapa pasien
masih mempunyai IgE sensitization terhadap antigen microbial (toksin S
aureus, C albicans atau Malassezia sympodialis) dan menunjukkan reaksi
positif memakai atopy patch test walaupun tes kulit imediatenya negatif.
Sebagian besar pasien menunjukkan peningkatan eosinofil darah tepi,
meningkatnya pelepasan histamine spontan dari sel basofil. Sel T CLA+
secara spontan melepas IL-5 dan IL-13 yang secara fungsuional
memperpanjang hidup eosinofil dan menginduksi sintesis IgE.

Diagnosa Banding

Dalam diagnosis banding, terdapat sejumlah penyakit kulit


inflamasi, imunodefisiensi, penyakit genetik, penyakit infeksi, dan infestasi
yang mempunyai gejala dan tanda yang sama dengan DA, yang harus
dieksklusi sebelum diagnosis DA dibuat, yaitu:

1. Dermatitis kontak (alergik dan iritan)


2. Dermatitis seboroik
3. Skabies
4. Psoriasis
5. Iktiosis vulgaris
6. Dermatofitosis
7. Eczema asteatotik
8. Liken simplek kronikus
9. Dermatitis numularis

Penatalaksanaan

Untuk memperoleh keberhasilan terapi DA, diperlukan pendekatan


sistematik meliputi hidrasi kulit, terapi farmakologis, dan identifikasi serta
eliminasi factor pencetus seperti iritan, alergen, infeksi, dan stressor
emosional (Gambar 5). Selain itu, rencana terapi harus individualistik
sesuai dengan pola reaksi penyakit, termasuk stadium penyakit dan faktor
pencetus unik dari masing-masing pasien.

28
Pendekatan pada pasien dengan dermatitis atopik.

Terapi topical

Hidrasi kulit. Pasien DA menunjukkan penurunan fungsi sawar kulit dan


xerosis yang berkontribusi untuk terjadinya fissure mikro kulit yang dapat
menjadi jalan masuk pathogen, iritan dan alergen. Problem tersebut akan
diperparah selama winter dan lingkungan kerja tertentu. Lukewarm soaking
baths minimal 20 menit dilanjutkan dengan occlusive emollient (untuk
menahan kelembaban) dapat meringankan gejala. Terapi hidrasi bersama

29
dengan emolien menolong mngembalikan dan memperbaiki sawar lapisan
tanduk, dan dapat mengurangi kebutuhan steroid topical.

Steroid topical. Karena efek samping potensial, pemakaian steroid topikal


hanya untuk mengontrol DA eksaserbasi akut. Setelah control DA dicapai
dengan pemakaian steroid setiap hari, control jangka panjang dapat
dipertahankan pada sebagian pasien dengan pemakaian fluticasone 0.05%
2 x/minggu pada area yang telah sembuh tetapi mudah mengalami
eksema. Steroid poten harus dihindari pada wajah, genitalia dan daerah
lipatan. Steroid dioleskan pada lesi dan emolien diberikan pada kulit yang
tidak terkena. Steroid ultra-poten hanya boleh dipakai dalam waktu singkat
dan pada area likenifikasi (tetapi tidak pada wajah atau lipatan). Steroid
mid-poten dapat diberikan lebih lama untuk DA kronik pada badan dan
ekstremitas. Efek samping local meliputi stria, atrofi kulit, dermatitis
perioral, dan akne rosasea.

Inhibitor kalsineurin topical. Takrolimus dan pimekrolimus topikal telah


dikembangkan sebagai imunomodulator nonsteroid. Salap takrolimus
0.03% telah disetujui sebagai terapi intermiten DA sedang-berat pada anak
≥ 2 tahun dan takrolimus 0.1% untuk dewasa. Krim pimekrolinus 1% untuk
anak ≥ 2 tahun dengan DA ringan-sedang. Kedua obat efektif dan dengan
profil keamanan yang baik untuk terapi 4 tahun bagi takrolimus dan 2 tahun
untuk pimekrolimus. Kedua bahan tersebut tidak menyebabkan atrofi kulit,
sehingga aman untuk wajah dan lipatan; dan tidak menyebabkan
peningkatan kecenderungan mendapat superinfeksi virus.

Identifikasi dan eliminasi faktor pencetus.

Faktor pencetus yang perlu diidentifikasi di antaranya sabum atau


detergen, pajanan kimiawi, rokok, pakaian abrasif, pajanan ekstrim suhu
dan kelembaban.

Alergen spesifik. Alergen potensial dapat didentifikasi dengan anamnesis


detil, uji tusuk selektif, dan level IgE spesifik. Uji kulit atau uji in vitro positif,
terutama terhadap makanan, sering tidak berkorelasi dengan gejala klinis
sehingga harus dikonfirmasi dengan controlled food challenges dan diet
eliminasi.

Bayi dan anak lebih banyak mengalami alergi makanan, sedang anak yang
lebih tua dan dewasa lebih banyak alergi terhadap aeroallergen
lingkungan.

Anti-infeksi. Sefalosporin dan penicillinase-resistant


penicillins(dikloksasilin, oksasilin, kloksasilin) diberikan untuk pasien yang
tidak dikolonisasi oleh strain S aureus resisten. Stafilokokus yang resisten
terhadap metisilin memerlukan kultur dan uji sensitivitas untuk menentukan
obat yang cocok. Mupirosin topikal dapat berguna untuk lesi yang
mengalami infeksi sekunder terbatas.

30
Terapi antivirus untuk infeksi herpes simplek kulit,sangat penting untuk
pasien DA luas. Asiklovir oral 3 x 400 mg/h atau 4 x 200 mg/h untuk 10 hari
untuk dewasa dengan infeksi herpes simplek kulit. Sedangkan asiklovir iv
diberikan untuk eczema herpetikum diseminata.

Infeksi dermatofit dapat menyebabkan eksaserbasi DA, sehingga harus


diterapi dengan anti-jamur topical atau sistemik.

Pruritus. Steroid topikal dan hidrasi kulit untuk mengurangi radang dan
kulit kering, sering mengurangi keluhan gatal. Alergen hirup dan makanan
yang terbukti menyebabkan rash pada controlled challenges, harus
disingkirkan. Antihistamin sistemik bekerja terutama memblok reseptor H1
dalam dermis, karenanya dapat menghilangkan pruritus akibat histamine.
Karena histamine hanya merupakan satu mediator penyebab gatal,
beberapa pasien hanya mendapat keutungan minimal terhadap terapi
antihistamin. Keuntungan beberapa antihistamin adalah mempunyai efek
anxiolytic ringan sehingga dapat lebih menolong melalui efek sedatif.
Antihistamin non-sedatif baru menunjukkan hasil yang bervariasi, dan akan
berguna bila DA disertai dengan urtikaria atau rhinitis alergika.

Karena pruritus biasanya lebih parah pada malam hari, antihistamin sedatif,
hidroksizin atau difenhidramin, mempunyai kelebihan (oleh efek samping
mengantuk) bila diberikan pada waktu tidur. Doksepin memiliki efek
antidepresan dan efek blok terhadap reseptor H1 dan H2. Obat ini dapat
diberikan dengan dosis 10-75 mg oral malam hari atau sampai 2 x 75 mg
pada pasien dewasa. Pemberian doksepin 5% topikal jangka pendek (1
minggu) dapat mengurangi pruritus tanpa menimbulkan sensitisasi.
Walaupun demikian, dapat terjadi efek sedasi pada pemberian topical area
yang luas dan dermatitis kontak alergik.

Preparat ter. Preparat ter batubara mempunyai efek antipruritus dan anti-
inflamasi pada kulit tetapi tidak sekuat steroid topikal. Preparat ter dapat
mengurangi potensi steroid topikal yang diperlukan pada terapi
pemeliharaan DA kronis. Produk ter batubara baru telah dikembangkan
sehingga lebih dapat diterima pasien berkaitan dengan bau dan mengotori
pakaian. Sampo mengandung ter dapat menolong untuk dermatitis kepala.
Preparat ter tidak boleh diberikan pada lesi kulit radang akut, karena dapat
terjadi iritasi kulit. Efek samping ter di antaranya folikulitis dan fotosensitif.

Terapi foto. UVB broadband, UVA broadband, UVB narrowband (311 nm),
UVA-1 (340-400nm), dan kombinasi UVA-B dapat berguna sebagai terapi
penyerta DA. Target UVA dengan/tanpa psoralen adalah sel LC dan
eosinofil, sedangkan UVB berfungsi imunosupresif melalui penghambatan
fungsi sel penyaji antigen, LC dan merubah produksi sitokin oleh
keratinosit. Efek samping jangka pendek terapi foto di antaranya eritema,
nyeri kulit, garal, dan pigmentasi; sedangkan efek samping jangka panjang
adalah penuaan kulit premature dan keganasan kulit.

31
Rawat inap

Pasien DA yang tampak eritrodermik atau dengan penyakit kulit


berat dan luas yang resisten terhadap terapi outpatient, harus dirawat inap
sebelum mempertimbangkan terapi sistemik alternatif, dengan maksud
menjauhkan pasien dari alergen lingkungan atau stress emosional.
Bersihnya lesi kulit selama dirawat, memberikan kesempatan untuk
dilakukan uji kulit dan controlled challenge.

Terapi sistemik

Steroid sistemik. Pemakaian prednison oral jarang pada DA kronik.


Beberapa pasien dan dokter lebih menyukai pemberian steroid sistemik
karena terapi topical dan hidrasi kulit memberikan hasil yang lambat. Perlu
diingat, bahwa hasil yang dramatis oleh steroid sistemik sering disertai
rebound flare berat DA setelah steroid dihentikan. Untuk DA eksaserbasi
akut dapat diberikan steroid oral jangka pendek. Bila ini diberikan, perlu
dilakukan tapering dosis dan memulai skin care, terutama dengan steroid
topical dan frequent bathing, dilanjutkan dengan pemberian emolien untuk
cegah rebound flare DA.

Siklosporin. Siklosporin adalah obat imunosupresif poten yang bekerja


terutama terhadap sel T dengan cara menekan transkripsi sitokin. Agen
mengikat sitopilin, dan komplek ini seterusnya menekan kalsineurin
(molekul yang diperlukan memulia transkripsi gen sitokin. Pasien DA
dewasa dan anak yang refrakter terhadap terapi konvensional, dapat
berhasil dengan siklosporin jangka pendek. Dosis 5 mg/kg umumnya
dipakai secara sukses dalam pemakaian jangka pendek dan panjang (1
tahun), sedang beberapa peneliti lain memakai dosis tak bergantung berat
badan untuk dewasa, dosis rendah (150 mg) atau 300 mg (dosis tinggi)
perhari memakai siklosporin mikroemulsi. Terapi siklosporin disertai
dengan menurunnya penyakit kulit dan perbaikan kualitas hidup.
Penghentian terapi dapat menghasilkan kekambuhan (beberapa pasien
tetap remisi lama). Meningkatnya kreatinin serum atau yang lebih nyata
gengguan ginjal dan hipertensi adalah efek samping spesifik yang perlu
diperhatikan pada terapi siklosporin.

Antimetabolit. Mycophenolate mofetil adalah inhibitor biosintesis purin


yang digunakan sebagai imunosupresan pada transplantasi organ, telah
pula digunakan dalam terapi penyakit kulit inflamatori. Studi open label
melaporkan MMF oral (2 g/h) jangka pendek, dan monoterapi
menghasilkan penyembuhan lesi kulit DA dewasa yang resisten terhadap
obat lain (steroid oral dan topical, PUVA). Obat tersebut ditoleransi baik
(hanya 1 pasien mengalami retinitis herpes). Supresi sumsum tulang
(dose-related) pernah dilaporkan. Bila obat tidak berhasil dalam 4-8
minggu, obat harus dihentikan.

32
Allergen immutherapy. Imunoterapi dengan aeroallergen tidak terbukti
efektif dalam terapi DA. Penelitian terbaru, imunoterapi spesifik selama 12
bulan pada dewasa dengan DA yang disensitasi dengan alergen dust mite
menunjukkan perbaikan pada SCORAD dan pengurangan pemakaian
steroid.

Probiotik. Pemberian probiotik (Lactobacillus rhamnosus strain GG) saat


perinatal, menunjukkan penurunan insiden DA pada anak berisiko selama
2 tahun pertama kehidupan. Ibu diberi placebo atau lactobasilus GG
perhari selama 4 minggu sebelum melahirkan dan kemudian baik ibu
(menyusui) atau bayi terus diberi terapi tiap hari selama 6 bulan. Hasil di
atas menunjukkan bahwa lactobasilus GG bersifat preventif yang
berlangsung sesudah usia bayi. Hal ini terutama didapat pada pasien
dengan uji kulit positif dan IgE tinggi.

Komplikasi

a. Problem mata

Dermatitis palpebra dan blefaritis kronik dapat menyebabkan gangguan


visus dan skar kornea. Keratokonjungtivitis atopic biasanya bilateral dan
menimbulkan gejala gatal, terbakar, keluar air mata dan sekresi mukoid.
Keratokonus adalah deformitas konikal kornea akibat gosokan kronik.
Katarak dilaporkan terjadi pada 21% pasien DA berat. Belum jelas apakah
ini akibat manifestasi primer DA atau sebagai akibat pemakaian ekstensif
steroid topical dan sistemik.

b. Infeksi

DA dapat mengalami komplikasi infeksi virus berulang yang merupakan


refleksi dari defek local fungsi sel T. Infeksi virus yang paling serius adalah
akibat infeksi herpes simplek, menghasilkan Kaposi varicelliform
eruption atau eczema herpeticum. Setelah inkubasi 5-12 hari, lesi
vesikopustular, multipel dan gatal timbul dalam pola diseminata; lesi
vesikuler ber umbilated dan cenderung berkelompok, dan sering
mengalami perdarahan dan berkrusta, menghasilkan erosi punch-out dan
sangat nyeri. Lesi dalam bergabung menjadi area besar (dapat seluruh
tubuh) yang mengelupas dan berdarah.

33
Eksema herpetikum.

Vaksinasi smallpox pada pasien DA (bahkan pajanan pasien


dengan individu yang mendapat vaksinasi), dapat menyebabkan erupsi
luas berat (eczema vaccinatum) yang tampak sangat mirip dengan
eczema herpeticum.

Pasien DA menunjukkan peningkatan prevalensi infeksi T rubrum


dibandingkan control nonatopik. Antibodi (IgE) terhadap M furfur biasa
dijumpai pada pasien DA, sebaliknya jarang pada control normal dan
pasien asmatik. M furfur dan dermatofit lain penting karena setelah terapi
anti jamur, akan terjadi penurunan keparahan kulit DA.

Staphylococcus aureus dijumpai pada > 90% lesi kulit DA. Krusta
kuning madu, folikulitis, pioderma dan pembesaran KGB regional,
merupakan indikasi adanya infeksi sekunder (biasanya oleh S aureus) dan
memerlukan terapi antibiotik. Pentingnya S aureus pada DA didukung oleh
observasi bahwa pasien DA berat, walaupun tanpa infeksi berat, dapat
menunjukkan respon klinis terhadap terapi kombinasi dengan antibiotik dan
steroid topikal.

c. Dermatitis tangan

Pasien DA sering mengalami dermatitis tangan nonspesifik. Dermatitis


ini sering dipicu oleh basah berulang dan pencucian tangan dengan sabun,
detergen, dan desinfektan.

d. Dermatitis/eritroderma eksfoliatif

Komplikasi ini terjadi akibat superinfeksi, seperti S aureus penghasil


toksin atau infeksi herpes simplek, iritasi berulang, atau terapi yang tidak
mencukupi. Pada beberapa kasus, penghentian steroid sistemik yang
dipakai mengontrol DA berat dapat menjadi factor pencetus eritroderma
eksfoliatif.

34
Prognosis

Penyakit cenderung lebih berat dan persisten pada anak, dan


periode remisi lebih sering bila anak bertambah usia. Resolusi spontan
dilaporkan terjadi setelah usia 5 tahun pada 40-60% pasien yang menderita
sejak bayi. Walaupun penelitian terdahulu menunjukkan bahwa kisaran
84% anak akan terus menderita DA sampai dewasa, tetapi studi yang lebih
baru melaporkan bahwa DA sembuh pada kisaran 20% anak, dan menjadi
kurang parah pada 65%. Faktor prediktif berikut berkorelasi dengan
prognosis jelek DA : DA luas pada masa anak, disertai rhinitis alergik dan
asma, riwayat DA pada orang tua atau saudara, awitan DA pada usia lebih
dini, anak tunggal, dan level IgE sangat tinggi.

DAFTAR PUSTAKA

1. Leung DYM, Eichenfield LF, Boguniewicz M. Atopic Dermatitis (Atopic


Eczema). In: Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS,
David J. Leffell DJ, editors. Fitzpatrick‘s Dermatology in General
Medicine, VII ed. New York: McGraw-Hill; 2008. p. 146-158.

2. Hanifin JM, Rajka G. Diagnostic features of atopic dermatitis. Acta


Dem Venereol 1980;92:44.

3. Spergel & Schneider, 1999. Atopic dermatitis. The Internet Journal of


Asthma, Allergy and Immunology 1:

4. Leung DY et al. New insights into atopic dermatitis. J Clin Invest


2004;113:651.

35
F. DERMATITIS NUMULARIS

Definisi

Eksema numularis atau dermatitis numularis adalah penyakit yang


terutama timbul pada orang dewasa, dan pria lebih sering daripada wanita.
Insiden puncak pada pria dan wanita adalah 50-65 tahun. Terdapat puncak
kedua pada wanita, yaitu antara 15-25 tahun. Awitan puncak pada anak
adalah 5 tahun.

Gambaran Klinis
Plakat berukuran uang logam (1-3 cm) berbatas tegas, terbentuk dari
penggabungan papul dan papulovesikel. Didapati eksudasi dan krustasi
pinpoint. Krusta dapat menutupi seluruh permukaan lesi. Kulit sekitar
umumnya normal, kadang xerotik. Keluhan gatal mulai ringan sampai berat.
Penyembuhan sentral dapat terjadi, dapat memberikan gambaran anular. Plakat
kronik tampak kering, berskuama dan likenifikasi. Distribusi klasik lesi adalah
pada permukaan ekstensor ekstremitas. Pada wanita, ekstremitas atas,
termasuk punggung tangan lebih sering terkena dibandingkan ekstremitas
bawah.

Diagnosis
Diagnosis Dermatitis Numularis ditegakkan berdasarkan anamnesis
untuk menyingkirkan kemungkinan diagnosa penyakit lain dan juga
pemeriksaan fisik yang khas. Pemeriksaan penunjang lainnya dapat
berupa :
a. Laboratorium
Uji tempel pada kasus kronik rekalsitran berharga dilakukan untuk
eksklusi dermatitis kontak yang menyertai. Pada laporan kasus di India,
kurang dari separuh dari 50 pasien memberikan uji tempel positif terhadap
koloponi, nitrofurazon, neomisin sulfat, dan nikel sulfat. Level IgE normal.
b. Histopatologi
Pada stadium akut, ditemui spongiosis, dengan/tanpa spongiotic
microvesicles. Pada plakat subakut, ditemui parakeratosis, skuama-krusta,
hyperplasia epidermal, dan spongiosis epidermal. Terdapat infiltrate
campuran dalam dermis. Lesi kronik dapat menyerupai liken simplek
kronikus secara mikroskopi.

Diagnosa Banding

Diagnosa banding dermatitis numularis antara lain :

1. Dermatitis kontak alergi


2. Dermatitis stasis
3. Dermatitis atopic
4. TInea korporis

36
5. Impetigo

Penatalaksanaan

Steroid topical potensi sedang sampai tinggi merupakan terapi


pilihan. Inhibitor kalsineurin, pimekrolimus dan takrolimus, dan preparat ter
efektif. Emolien dapat ditambahkan bila didapati xerosis. Antihistamin oral
bermanfaat pada keluhan gatal berat. Antibiotik oral diberikan bila ada
infeksi sekunder.Pada lesi yang tersebar luas, dapat diberikan fototerapi
dengan broad or narrow UVB.

Komplikasi

Komplikasi dermatitis numularis adalah infeksi sekunder

Prognosis dan perjalanan penyakit

Penyakit biasanya berlangsung kronis, dan kekambuhan pada


lokasi yang sama dapat terjadi.

DAFTAR PUSTAKA

1. Burgin S. Nummular Eczema and Lichen Simplex Chronicus/Prurigo


Nodularis. In: Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS,
David J. Leffell DJ, editors. Fitzpatrick‘s Dermatology in General
Medicine, VII ed. New York: McGraw-Hill; 2008. p. 158-160.

37
G. DERMATITIS KONTAK ALERGI

Definisi

DKA adalah reaksi hipersensitivitas tipe IV terhadap agen kimia


eksternal. Bukti menunjukkan bahwa kemampuan untuk disensitasi terhadap
agen spesifik, mempunyai basis genetik.

Pendekatan klinik
Dematitis kontak alergik (DKA) harus dipertimbangkan dalam
diagnosis banding berbagai dermatoses eksematosa (Box 13-1). Sebagai
contoh, seorang pasien yang mempunyai dermatitis geometric atau pola
spesifik setelah pajanan agen eksogen, harus dicurigai menderita DKA.
Selain itu, diagnosis harus dipertimbangkan pada individu yang
dermatitisnya persisten walaupun mendapat terapi memadai. Hal tersebut
berlaku pula terhadap pasien dengan gangguan kulit confounding, seperti
DA dan psoriasis, yang mempunyai gambaran klasik.
Anamnesis pasien dengan kecurigaan DKA
Demografi dan riwayat pekerjaan Usia, jenis kelamin, ras/etnis,
agama, status perkawinan,
pekerjaan dan deskripsi pekerjaan,
lokasi pekerjaan, kegiatan di luar
pekerjaan tetap, pekerjaan
sebelumnya
Riwayat medik keluarga faktor genetik, predisposisi
Riwayat medik pasien alergi obat, penyakit penyerta, obat,
operasi
Riwayat dermatitis awitan, lokasi lesi, terapi

Pendekatan morfologik
Setelah riwayat penyakit diperoleh, langkah selanjutnya adalah
penilaian pemeriksaan status dermatologic menyeluruh. Pengetahuan
mengenai ukuran , sifat dan lokasi dermatitis meningkatkan kemungkinan
pemilihan allergen untuk uji tempel.

Diagnosis
1. in vito test: Patch test (gold standard)
2. in vitro test: lymphocyte transformation test, macrophage migration
inhibition test
Penatalaksanaan
Penatalaksanaan dasar pasien DKA bergantung pada terapi gejala dan
menghindari pajanan ulang.
Erupsi akut vesikuler, membasah dapat diterapi dengan agen
pengering seperti aluminum sulfat atau kalsium asetat topical. Erupsi
kronik,likenifikasi terbaik diobati dengan emolien. Keluhan gatal diatasi
dengan antipruritus topical atau antihistamin oral (antihistamin dan

38
anestetik topical dihindari karena risiko menginduksi alergi sekunder pada
kulit yang memang mengalami dermatitis).
Kortikosteroid topical masih merupakan baku emas dan pilihan utama
menghilangkan gejala dan mempercepat penyembuhan DKA. Obat tersebut
ditoleransi baik bila dipakai short term.
Penggunaan steroid sistemik hanya diberikan pada kasus akut
sedang sampai berat dan pada kasus DKA refrakter.
Dalam dekade terakhir, inhibitor kalsineurin telah digunakan sebagai
opsi terapi terhadap gangguan kulit inflamatori.
Siklosporin oral dan takrolimus/pimekrolimus topical telah menunjukkan
efektifitas dalam terapi dermatitis eksematosa, termasuk dermatitis atopic dan
DKA.
Fototerapi dicadangkan untuk pasien DKA refrakter yang tidak
responsive terhadapsteroid dan pasien yang tidak dapat menghindari
semua factor provokator dalam lingkungan sehari-hari. PUVA, shortwave
UVB efektif terhadap DKA dan DKI kronik pada tangan, karena sifat
imunosupresif intrinsic yang dimilikinya. Walaupun demikian, terapi
tersebut butuh waktu lama dan perlu terapi pemeliharaan.

DAFTAR PUSTAKA

1. Cohen DE, Jacob SE. Allergic Contact Dermatitis. In: Wolff K,


Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, David J. Leffell DJ,
editors. Fitzpatrick‘s Dermatology in General Medicine, VII ed. New
York: McGraw-Hill; 2008. p. 135-146.

2. Robert C, Kupper TS. Inflammatory Skin Diseases, T cells, and


Immune Surveillance. N Engl J Med. 1999;341(24):1817-1828.

39
H. DERMATITIS KONTAK IRITAN

Definisi

Dermatitis atau eksema ialah inflamasi kulit yang ditandai eritema,


vesikulasi, dan gatal pada fase akut, dan pada fase kronik ditandai kulit
kering, skuamasi dan fisur. Dermatitis kontak iritan (DKI) adalah respon
kulit terhadap pajanan agen kimia, fisik atau biologik eksternal; dan faktor
endogen (barier kulit dan dermatitis yang sudah ada) ikut memegang
peranan.

Epidemiologi

Berdasar survey tahunan The Bureau of Labor Statistics, insiden


penyakit akibat kerja pada pekerja Amerika, maka dermatitis kontak
meliputi 90% - 95% dari semua penyakit kulit akibat kerja dan DKI
mencakup 80% dari dermatitis kontak akibat kerja.

Klasifikasi DKI
A. Klasifikasi DKI berdasar klinis dan etiologi:
1. Ulkus, akibat asam atau basa kuat,
2. Folikulitis, akibat minyak dan lemak,
3. Miliaria, akibat aluminum klorid,
4. Hiperpigmentasi, akibat logam berat,
5. Hipopigmentasi, akibat p-tert-butylphenol.

B. Klasifikasi DKI berdasar awitan dan lamanya penyakit:


1. Akut
2. Kronik

Jenis Iritan yang Umum


1. Produk hewan
2. Kosmetik
3. Degreasing agents
4. Detergen
5. Debu/friksi
6. Makanan
7. Kelembaban rendah
8. Metal working fluids
9. Tear gases
10. Obat topical
11. Pelarut
12. Air: merupakan elemen hipotonik yang bekerja sebagai agen
sitotoksik pada kulit erosif.

40
Diagnosis
DKI sering didiagnosis dengan cara eksklusi penyebab dermatitis
lainnya, termasuk dengan DKA. Riwayat rinci pekerjaan, kegemaran,
riwayat penyakit dahulu, dan pemeriksaan klinis, penting untuk diagnosis
DKI.
Kriteria diagnostik DKI
Kriteria mayor Kriteria minor
Subyektif
 Awitan gejala dalam menit  Awitan dermatitis dalam 2 minggu
sampai jam dari pajanan pajanan
 Nyeri, rasa terbakar melebihi  Banyak individu dalam
gatal pada awal perjalanan lingkungan mendapat penyakit
penyakit sama
Obyektif
 Macula eritem, hiperkeratosis,  Dermatitis berbatas tegas
atau fisur lebih dominan dari  Bukti adanya pengaruh gravitasi,
vesikulasi seperti dripping effect
 Glazed, parched, or scalded  Tidak ada tendensi dermatitis
appearance of the epidermis menyebar
 Proses penyembuhan mulai  Perbedaan konsentrasi dan
dengan cepat pada penyingkiran waktu pajan menghasilkan
pajanan agen penyebab perbedaan besar pada kerusakan
 Uji tempel negatif kulit

Uji tempel
Uji tempel sering perlu untuk membedakan DKA dari DKI atau
diagnosis DKA bersamaan dengan DKI. Uji tempel negative dapat
menunjang diagnosis DKI dengan mengeksklusi DKA.

Diagnosis banding
 Dermatitis seboroik
 Dermatitis stasis
 Dermatitis atopik
 Tinea
 Asteatosis

Penatalaksaan
Identifikasi dan eliminasi iritan dan proteksi dari pajanan ulang,
sangat menolong. Peran steroid topical pada DKI masih kontroversi, tetapi
obat tersebut dapat menbantu karena efek anti inflamasi yang dimilikinya.
Tetapi pemakaian jangka panjang dapat meruguikan karena efek atrofi dan
meningkatkan kerentanan terhadap iritan. Emolien atau occlusive dressing
dapat memperbaiki kerusakan barier pada kulit yang kering dan likenifikasi.
Emolien berbasis lanolin (tradisional) mudah didapat, murah, dan terbukti
sama efektif seperti emolien yang mengandung skin-related lipid. Inhibitor

41
calcineurin topical (pimekrolimus) dapat digunakan sebagai alternative
terhadap steroid topical potensi rendah pada DKI kronik. Pada kasus
kronik dan berat, terapi foto (PUVA atau UVB) atau azatioprin dan
siklosporin bisa efktif. Infeksi sekunder dapat diobati dengan antibiotic
topical atau sistemik. Pada iritasi sensoris, garam strontium bekerja dengan
memblok aktivasi cutaneous type C nociceptor.

Pencegahan
DKI adalah faktor risiko terjadinya DKA, karena terganggunya barier
kulit dapat meningkatkan potensi fase induksi dan elisitasi DKA. Jadi,
mencegah DKI berarti secara simultan mencegah DKA. Pasien perlu
diberitahu mengenai cara pencegahan iritan. Pemakaian peralatan proteksi
personal, terutama pada high-risk jobs, sangat penting.

Prognosis
Prognosis DKI akut baik bila iritan penyebab dapat diidentifikasi dan
di eliminasi. Prognosis DKI kumulatif atau kronik dapat lebih buruk daripada
DKA. Latar belakang atopi, kurangnya pengetahuan mengenai penyakit,
dan atau lambatnya diagnosis dan terapi adalah factor yang dapat
memperburuk prognosis.

DAFTAR PUSTAKA

1. Amado A, Taylor JS, Sood A. Irritant Contact Dermatitis. In: Wolff


K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, David J. Leffell
DJ, editors. Fitzpatrick‘s Dermatology in General Medicine, VII ed.
New York: McGraw-Hill; 2008. p. 395- 401.

42
I. DERMATITIS PERIORAL

Definisi

Dermatitis perioral (DP) ditandai dengan papul dan pustule diskret


dalam distribusi periorifisial, terutama sekeliling mulut. Penyakit dijumpai
pada wanita 15 -25 tahun, dan kadang pada anak. Sebagian DP
memperlihatkan granuloma pada pemeriksaan histology lesi kulit. Bentuk
DP ini mempunyai beberapa nama, di antaranya DP granulomatosa, facial
Afro-Caribbean childhood eruption, dan dermatitis periofifisialis
granulomatosa.

Epidemiologi

Berbeda dari DP dewasa yang terutama menyerang wanita, DP


anak ditemui sama banyak pada kedua jenis kelamin dan di antara mereka
yang berbeda ras. DP granulomatosa dilaporkan terutama pada anak usia
prepubertas.

Gambaran klinis

Lesi primer DP adalah papul, vesikel,dan pustul yang diskret dan


berkelompok. Lesi sering simetris (walaupun dapat unilateral) pada daerah
perioral, perinasal, dan periorbital (Gambar 1.). Latar belakang eritem dan
skuama dapat terjadi. Tampak zona bebas (5 mm) pada vermilion border
yang jelas (Gambar 2.). Varian granulomatosa DP menampakkan papul
kecil, flesh-colored, erimatosa, atau yellow-brown, beberapa tampak
berkonfluen, terdistribusi sama seperti DP pada orang dewasa. Lesi jarang
memberikan sensasi terbakar atau gatal; dan pernah dilaporkan adanya
intoleransi terhadap moisturizer. Pada sebagian kecil varian granulomatosa
DP, dilaporkan adanya blefaritis dan konjungtivitis.

DP tipikal. Erupsi terbatas pada lipatan nasolabial dan kulit


dagu(chin).

43
DP granulomatosa. Anak memperlihatkan papul kecil tipikal pada area
sekitar mulut dan mata.

Diagnosis banding

Penyakit Gambaran klinis pembeda

DP nongranulomatosa

Rosasea Mengenai hidung, konveksitas wajah, eritem


persisten & telangiektasia.

Aksentuasi pada nasolabial; skuama.


Dermatitis seboroik
Instrument musik, pasta gigi, sarung latex, dental
Dermatitis kontak alergik appliances, lipstik.

Umum pada anak (saliva, makanan).


Dermatitis kontak iritan Pustul dominan.
Folikulitis gram negative Pustul atipik, pruritus, immunocompromized.
Infestasi Demodex

DP granulomatosa

Sindrom Blau Kista synovial, uveitis, arthritis granulomatosa,


camptodactyly, popular rash.

-
Infeksi jamur/mikobakteri
-
Lupus miliaris

44
disseminatus faciei

Sarkoidosis Jarang pada anak, dapat mewakili sindrom Blau

Komplikasi

Sebagian besar DP dan varian granulomatosa akan sembuh tanpa


sekuele atau kekambuhan. Pernah dilaporkan terjadi skar walaupun sangat
jarang.

Prognosis dan perjalanan penyakit

Dermatitis perioral biasanya bersifat self-limited, timbul dalam


beberapa minggu untuk kemudian sembuh dalam beberapa bulan. Dengan
terapi yang mencukupi, penyakit akan sembuh dan jarang mengalami
kekambuhan.

Pengobatan

Bila steroid topikal sedang digunakan, obat tersebut harus


dihentikan. Bila steroid fluorinated sedang dipakai, awali dengan substitusi
dengan steroid potensi rendah (krim hidrokortison) untuk meminimalkan
flare dermatitis.

Sebagian besar kasus, terapi mencakup pemberian tetrasiklin,


doksisiklin, atau minosiklin, selama 8-10 minggu, termasuk tapering-off 2-4
minggu terakhir. Anak < 8 tahun, ibu menyusui, atau pasien alergi terhadap
tetrasiklin, diberikan eritromisin oral. Umumnya, pasien memerlukan terapi
antibiotik sistemik dosis rendah selama beberapa bulan sampai beberapa
tahun untuk mempertahankan pengendalian penyakit.

Terapi metronidazole topical, harus dimulai bersamaan dengan


antibiotik sistemik (pada kasus ringan, pemberian metronidazole topikal
sudah mencukupi). Opsi lain, di antaranya klindamisin atau eritromisin
topikal, preparat sulfur topikal, asam azaleat topikal, dan terapi fotodinamik
dengan 5-aminolevulinic acid topikal. Walaupun pemakaian inhibitor
kalsineurin dilaporkan berhasil, tetapi perlu diingat bahwa obat tersebut
dapat menimbulkan erupsi granulomatosa pada beberapa kasus.

Penatalaksanaan

TOPIKAL SISTEMIK

Lini pertama Metronidazol, 2 dd Tetra, 2 x 250-500 mg/h

Doksi, 2 x 50-100 mg/h

Mino, 2 x 50-100 mg/hari

45
Lini kedua Eritro/klindamisin, 2 dd Eritro, 3 x 400 mg/h, atau

Sulfur, 2 dd 30-50 mg/kg/hari, dibagi 3 x


(dosis anak)
Asam azelaik, 2 dd

Pencegahan

Satu-satunya faktor yang diterima secara luas sebagai predisposisi DP


adalah pemakaian steroid topikal, dan menghindari produk tersebut dapat
mencegah erupsi DP pada beberapa kasus.

DAFTAR PUSTAKA

1. Chamlin SL, Lawley LP. Perioral Dermatitis. In: Wolff K, Goldsmith


LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, David J. Leffell DJ, editors.
Fitzpatrick‘s Dermatology in General Medicine, VII ed. New York:
McGraw-Hill; 2008. p. 709-712.

46
J. HIDRADENITIS SUPURATIF

Definisi

Hidradenitis supurativa (HS) adalah penyakit inflamasi kronis yang


berasal dari kelenjar apokrin, yang dapat menjadi kronis dan
cenderung menimbulkan sikatrik. Penyakit ini secara klinis ditandai
dengan pembentukan nodul bulat dan abses dengan jaringan parut
hipertrofik dan supurasi yang rekuren, menyakitkan dan dalam yang terjadi
terutama pada area lipatan-lipatan kulit yang memiliki ujung rambut dan
kelenjar apokrin. Penyakit ini cenderung menjadi kronis dengan ekstensi
subkutan yang mengarah pada pembentukan jaringan parut hipertrofi,
sinus, dan fistula.

Gejala Klinis

Manifestasi klinis hidradenitis supurativa yang paling sering


adalah lesi nodular, nyeri, lunak, dan tegas di ketiak. Keluhan yang sering
dikatakan oleh penderita adalah gatal dan nyeri. Mula-mula gatal, lalu
timbul nodul merah dan nyeri. Dapat lebih dari satu kelenjar sehingga
tampak berbenjol-benjol dan saling bertumpuk tidak teratur. Kemudian
terjadi pelunakan yang tidak serentak, disebut abses multipel.

Hidradenitis Supuratif yang Superfisial

Hidradenitis supurativa biasanya diawali dengan nodul dalam


(ukuran 0,5-2 cm). Nodul ini dapat sembuh secara lambat atau justru
berkembang dan bergabung dengan nodul disekitarnya serta dapat
terinfeksi sehingga menghasilkan abses inflamasi nyeri yang besar.
Abses ini bulat tanpa nekrosis sentral dan dapat sembuh atau fuptur
spontan, menghasilkan discharge purulen.

47
Multpel abses di bagian aksila

Kerusakan progresif pada arsitektur kulit normal terjadi karena


inflamasi periductal dan periglandular dan dermal serta fibrosis
subkutan. Proses penyembuhan dapat menghasilkan sikatrik dengan
fibrosis, kontraktur dan peninggian kulit rope-like, dan double-ended
comedones. Sinus telah dilaporkan melibatkan jaringan dalam,
termasuk otot dan fascia, uretra dan usus. Proses kemudian
terjadi kembali pada area sekitarnya atau pada area lain yang
mengandung kelenjar apokrin.

48
Daerah yang paling sering menjadi tempat predileksi hidradenitis
supurativa adalah aksila, gluteal, inguinal, perianal, mammae, dan
inframammae. Perianal hidradenitis bisa menyebar hingga mencapat anus
dan rectum, Fistula uretra dan vagina bisa terjadi jika penyebarannya
hingga bagian dalam vagina.

Diagnosis

Diagnosis HS secara primer dibuat berdasarkan karakteristik klinis


dan telah memenuhi kriteria yang diadopsi oleh 2nd International
Conference on Hidradenitis suppurativa. Kriteria hidradenitis supurativa
tersebut antara lain :

i. Lesi tipikal seperti nodul dalam yang nyeri: ―blind boils‖ pada lesi
awal; abses, sinus, bridged scars,dan double-ended pseudo-
comedones pada lesi sekunder.
2. 2. Topografi tipikal seperti aksila, paha dan regio perianal,
bokong, lipatan inframammary dan intermammary.
3. Kronik dan rekuren.

49
Keparahan penyakit dapat diklasifikasikan dalam tiga tingkat untuk
masing- masing area berdasarkan klasifikasi Hurley, suatu sistem
sederhana namun statis dan tidak sesuai untuk penilaian keparahan secara
global. Sementara itu, Sartorius score dan versi modifikasinya
mempertimbangkan sejauh mana penyakit, jumlah, dan tingkat keparahan
lesi secara visual.

Tingkatan Klasifikasi Hurley

Diagnosa Banding

Adanya papul, nodul, atau abses nyeri pada lipat paha dan
aksila dapat didiagnosis banding sebagai: furunkel, karbunkel, dan cat-
scratch disease.

50
Penatalaksanaan

Hidradenitis suppurativa bukanlah penyakit infeksi yang


simpel, dan antibiotik sistemik hanyalah merupakan bagian dari program
penatalaksanaannya. Kombinasi dari pengobatan glukokortikoid intralesi,
pembedahan, antibiotik oral, dan isotretinoin perlu digunakan.

Tujuan penatalaksanaan pasien adalah untuk mencegah


perkembangan lesi primer juga resolusi, ameliorasi, atau regresi penyakit
sekunder seperti sikatriks atau pembentukan sinus. Lesi yang timbul paling
awal sering kali sembuh dengan cepat dengan pemberian terapi steroid
intralesi, dan sebaiknya dicoba untuk memulai kombinasi dengan tetrasiklin
atau minosiklin oral.

Pengobatan pada lesi nyeri yang akut seperti nodul dapat


digunakan triamsinolon (3-5 mg/mL) intralesi. Pada abses
digunakan triamsinolon (3-5 mg/mL) intralesi yang diikuti insisi dan
drainase cairan abses. Antibiotik oral yang dapat digunakan adalah
eritromisin (250-500 mg 4 kali sehari), tetrasiklin (250-500 mg 4 kali sehari),
atau minosiklin (100 mg 2 kali sehari) hingga lesi sembuh, atau kombinasi
klindamisin (300 mg 2 kali sehari) dengan rifampisin (300 mg 2 kali sehari)
Prednison dapat diberikan bila nyeri dan inflamasi sangat berat dosisnya
70 mg perhari selama 2-3 hari, dosis diturunkan selama 14 hari. Pemberian
isotretinoin oral tidak bermanfaat pada penyakit yang kronis namun
bermanfaat pada awal penyakit untuk mencegah sumbatan folikuler dan
saat dikombinasikan dengan eksisi lesi.

Pembedahan yang dilakukan pada semua jaringan yang


terlibat adalah modalitas pengobatan. Rekurensi pascaoperatif dapat
terjadi. Pembedahan yang dilakukan dapat berupa insisi dan drainase
abses akut, eksisi nodul fibrotik atau sinus. Pada penyakit yang luas dan
kronis, dibutuhkan eksisi komplit pada aksila atau area yang terlibat. Eksisi
mungkin mendalam hingga lapisan fascia sehingga dibutuhkan skin
grafting untuk penutupannya. Beberapa peneliti menyarankan
penggunaan laser CO2 untuk ablasi jaringan. Penutupan primer, grafting,
atau flaps telah digunakan secara luas, namun mungin berhubungan
dengan hasil yang tidak begitu baik.

Beberapa peneliti melaporkan kesuksesan radioterapi dalam


pengobatan HS. Lebih sering diberikan pada populasi pasien muda. Efek
samping jangka panjang perlu diperhatikan.

DAFTAR PUSTAKA

1. Jemec GBE. Hidradenitis Suppurativa.N Engl J Med. 2012; 366: p.


158- 64.
2. Mortimer PS & Lunniss PJ. Hidradenitis suppurativa. J R Soc Med.
2000;93: p. 420-2.

51
3. Jemec GBE. Hidradenitis Suppurativa. J Cutan Med Sung. 2003: p.
47- 56.
4. Daoud MS & Dicken CH. Disorders of the Apocrine Sweat Glands. In
: Wolff K., Goldsmith L.A., Katz SI., Gilchrest BA., Paller AS., Leffeld
DJ. Fitzpatrick‘s Dermatology In General Medicine 7 th ed. New
York: McGraw Hill; 2008. p. 9-18.
1. 5. McMichael A, Sanchez DG & Kelly P. Folliculitis and the Follicular
Occlusion Tetrad. In : Bolognia JL, Jorizzo JL & Rapini
RP. Bolognia: Dermatologi, 2nd ed. United States of America:
Elsevier Inc; 2008. p. 10-4.
5. Fimmel S & Zouboulis CC. Comorbidities of Hidradenitis Suppurativa
(acne inversa). Dermato-Endocrinology. 2010;2(1):p. 9-16.
2. 7. Wolff K & Johnson RA. Fitzpatrick's Color Atlas and
Synopsis of Clinical Dermatology 6th. New York: McGraw Hill;
2009. p. 605-8, 655-7.

52
K. MILIARIA

Definisi

Miliaria adalah kelainan kulit akibat retensi keringat, ditandai


dengan adanya vesikel milier. Istilah lain untuk keadaan ini
bermacam-macam, seperti liken tropikus, keringat buntet, biang
keringat dan juga prickle heat. Miliaria juga didefinisikan sebagai
kelainan pada kelenjar keringat ekrin yang muncul pada keadaan
meningkatnya panas dan kelembaban. Dapat berkaitan dengan
demam yang menetap ataupun penggunaan suatu obat.

Miliaria menyerang segala usia, namun seringkali terjadi pada


neonatus dan merupakan salah satu dari penyakit kulit transien
pada neonatus, dan pernah dilaporkan kasus kongenital namun
sangat jarang.

Epidemiologi

Miliaria kristalina terjadi pada 4,5% neonatus dengan usia rata-rata


1 minggu, miliaria rubra pada 4% neonatus dengan usia rata-rata
11-14 hari. Sebuah penelitian di Iran tahun 2006 menunjukkan terjadinya
miliaria pada 1,3% bayi baru lahir. Secara global terjadi pada daerah iklim
tropis dan pada orang-orang yang pindah dari suatu daerah ke daerah
yang lebih panas dan lembab. 30% terjadi pada orang dewasa di iklim
tropi.

Gejala Klinis

Pada miliaria kristalina, lesi vesikel superfisial jernih dengan


diameter 1-2 mm, seringkali konfluen tanpa ada eritema di sekitarnya.
Pada bayi, terutama berada pada kepala, leher dan bagian atas trunkus.
Sedangkan pada dewasa umumnya berada pada trunkus, dan berikutnya
penyembuhan miliaria kristalina akan dimulai dengan deskuamasi.
Gambaran miliaria kristalina dapat dilihat pada gambar berikut :

Miliaria Kristalina

Untuk miliaria rubra, lesi kecil, biasanya uniform, papul


dengan eritema, dan papul vesikular dengan latar belakang eritema. Bayi
umumnya memiliki lesi di leher, skrotum dan aksila. Tipe miliaria rubra

53
pada neonatus lebih sering berada pada bagian genital, diduga
terutama akibat keadaan lembab akibat popok plastik. Obesitas
bayi juga merupakan faktor resiko terjadinya miliaria rubra. Sedangkan
dewasa terjadi pada bagian yang tertutup dan tergesek pakaian
dan juga kulit kepala.

Miliaria profunda memiliki lesi padat, papul warna seperti daging


dengan ukuran 1-3 mm, paling sering terjadi di trunkus, namun juga dapat
muncul di ekstremitas. Sering muncul setelah dicetuskan oleh kondisi yang
merangsang produksi keringat, dan pada kulit yang terkena keringat
dapat berkurang atau bahkan tidak ada. Miliaria profunda ini
umumnya terjadi pada orang yang seringkali mengalami miliaria rubra. Tipe
ini sering menampilkan klinis pasien yang tidak tahan panas bahkan
pingsan bila terpapar udara panas.

Miliaria rubra yang berpenampilan seperti pustul yang


dominan dinamakan miliaria pustulosa, dan ada beberapa ahli yang
menggolongkannya menjadi tipe keempat dari miliaria. Klinis dari
miliaria rubra dan profunda dapat dilihat pada

gambar-gambar berikut:

Miliaria Rubra

Miliaria Profunda

Diagnosis

Seperti telah dijelaskan sebelumnya, bahwa diagnosis bisa


ditegakkan dari anamnesis dan pemeriksaan secara visual. Pasien
umumnya hidup di daerah tropis dengan suhu dan kelembaban tinggi,
sering melakukan aktifitas yang menyebabkan berkeringat atau baru saja
pindah dari tempat yang sebelumnya lebih dingin. Untuk miliaria kristalina

54
umumnya asimptomatis, sedangkan tipe rubra merasa sangat gatal
dan pedih, begitu juga pada tipe profunda yang biasanya memiliki keluhan
gatal, bahkan asimtomatis. Secara inspeksi dapat ditemukan gambaran-
gambaran seperti yang diuraikan dalam penjelasan manifestasi klinis.
Pemeriksaan penunjang yang dapat membantu adalah pemeriksaan
histopatologi untuk menilai kelainan kulit secara lebih jelas.

Diagnosa Banding

Diagnosa Banding antara lain :

1. Eritema Toksik neonatorum

Gambaran pada eritema toksik neonatorum adalah eritema disertai vesikel


dan juga pustul dengan diameter 1-4 mm serta kadang terdapat warna
kekuningan . Sering terjadi pada wajah, juga ditemukan pada badan.
Sering terjadi pada bayi usia 1-10 hari dari kelahiran.

2. Varisela

Munculnya lesi varisela akan didahului dengan gejala prodromal seperti


demam, nyeri kepala, dan malaise lalu muncul erupsi kulit berupa
eritematosa yang dalam beberapa jam berubah menjadi vesikel menyebar,
lalu pustul dan menjadi krusta. Penyebaran utama pada badan, lalu wajah
dan ekstremitas. Penyebab dari varisela adalah virus varisela zoster, dapat
dipastikan dengan pemeriksaan kerokan vesikel yang disebut dengan tes
Tzanck.

3. Herpes zoster

Sebelum muncul lesi kulit umumnya disertai gejala prodromal. Khas adalah
pernah mengalami varisela sebelumnya, karena penyakit ini
merupakan lanjutan virus varisela zoster yang setelah infeksi primer
akan berdiam di ganglion posterior yang lalu mengalami reaktivasi. Lesi
kulit berupa eritema yang diatasnya muncul vesikel-vesikel berisi cairan
jernih berkelompok dengan dasar kulit eritema dan edema.
Predisposisi pada daerah torakal, dan pada usia dewasa.
Penegakan diagnosis dengan cara yang sama dengan varisela

4. Herpes simpleks

Gejala klinis mirip dengan herpes zoster namun penyebarannya berasal


dari kontak erat dan hubungan seksual. Predileksi terdapat pada bagian
wajah terutama mulut untuk virus herpes simpleks 1, atau bagian genital
untuk herpes simpleks 2.

Penatalaksanaan

Terbagi menjadi medika mentosa dan non medika mentosa. Untuk


pencegahan ataupun mengurangi gejala (khususnya pada miliaria

55
kristalina yang jarang membutuhkan pengobatan) yaitu dapat dengan
mengusahakan ventilasi yang baik antara lain dengan pengguanaan
bahan pakaian tipis dan menyerap keringat, menghindari panas
berlebih. Bahan residu deterjen juga dapat menjadi faktor timbulnya
miliaria, sehingga dibutuhkan kecermatan lebih dalam mencuci
pakaian.

Selain itu juga dengan mengurangi aktivitas berlebih yang


memacu keringat, dan memilih berada di ruang dengan pendingin ataupun
kipas angin, dan menghindari penggunaan krim ataupun salep yang
cenderung menyumbat pori-pori lebih jauh. Pada beberapa kasus
dibutuhkan pindahnya tempat tinggal dan pekerjaan, misalnya
berpindah dari pekerjaan dengan lingkungan panas tinggi seperti pabrik,
dan pemadam kebakaran, dimana pakaian pemadam kebakaran saja
sudah dapat memicu timbulnya miliaria

Pengobatan topikal dapat diberikan losion dengan


kandungan kalamin, anhydrous lanolin, dan bila berat dapat
diberikan steroid topikal. Pengobatan dengan vitamin A, vitamin C dan
antimikroba juga terbukti memberikan hasil baik. Miliaria memiliki angka
rekurensi yang cukup tinggi, sehingga pencegahan menjadi
penatalaksanaan yang terbaik.

Prognosis

Miliaria kristalina dan miliaria rubra umumnya sembuh dalam


beberapa minggu dan tidak meninggalkan sequele, pada miliaria profunda
biasanya lesi jauh lebih lama hilang atau terjadi sequel menetap

DAFTAR PUSTAKA

1. Natahusada E C. Miliaria. Dalam: Djuanda Adhi, Hamzah Mochtar,


Aisah Siti, penyunting. Ilmu penyakit kulit dan kelamin. Edisi ke-5.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2008.h.276-7.

2. Miliaria-rash after neutropenic fever and induction


chemotherapy for acute myelogenous leukemia. Diakses dari:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed.

3. Diana Inne A. Kelainan kulit transien pada neonatus. Dalam: Kelainan


kulit dan kelamin pada bayi hingga geriatri. Jakarta: Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia; 2009.h.34-6.

4. Miliaria. Diakses dari: http://emedicine.medscape.com/article/1070840-


overview#a0199

56
.5. Tekin Nelgun, Guner Mehmed, Erel Arzu, Duver Isil. Widespread non
inflammatory vesicles in woman patents: miliaria crystalline. Med J 2001;
12:146-50

6. Siregar R S. Miliaria. Dalam: Atlas berwarna saripati penyakit


kulit. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC;1996. h. 275-7.

L. KANDIDOSIS MUKOKUTAN

Definisi

Kandidiasis kutis adalah penyakit infeksi pada kulit yang


disebabkan oleh organisme genus Candida. Spesies yang paling sering
menyebabkan penyakit ini adalah Candida albicans, Candida glabrata,
Candida krusei, Candida parapsiloris, dan Candida tropicalis.

Gambaran Klinis

Gambaran klinis kandidiasis kutis berdasarkan tempat yang


terkena, dibagi sebagai berikut :

1. Kandidiasis kutis lokalisata :

A. Daerah intertriginosa

B. Daerah perianal

2.Onikomikosis kandida / paronikia kandida

3 Kandidiasis kutis generalisata

4 Kandidiasis kutis granulomatosa

A. 1. Kandidiasis kutis intertriginosa

Lesi ditemukan di daerah lipatan kulit, yaitu aksila, lipat leher, infra mama,
lipat inguinal, intergluteal, umbilikus, lipatan kulit di daerah abdomen, dan
interdigital. Kelainan yang tampak berupa bercak yang berbatas tegas,
bersisik, basah, dan eritematosa. Lesi tersebut dikelilingi oleh satelit berupa
vesikel dan pustul kecil atau bula, yang bila pecah meninggalkan daerah
erosif, dengan tepi yang kasar dan berkembang seperti lesi primer.Pada
sela jari kaki sering terjadi pada sela jari 3 dan 4. Kelainan kulit terlihat
sebagai area kulit eritematosa dengan erosi dan maserasi.

A. 2. Kandidiasis kutis perianal

Lesi di daerah perianal ini menimbulkan pruritus ani. Infeksi Candida pada
kulit di sekitar anus yang banyak ditemukan pada bayi dikenal sebagai
"kandidiasis popok" atau "diaper rash". Hal ini sering terjadi oleh karena

57
popok yang basah oleh karena urin tidak segera diganti, sehingga
menyebabkan iritasi dan maserasi kulit di sekitar genitalia dan anus.
Manifestasi klinis kandidiasis popok berupa plak eritematosa, papul, dan
pustul yang mengenai perineum dengan predileksi pada lipatan inguinal.
Skuama putih dan pustul satelit sering terlihat pada tepi lesi.Pustul sangat
superfisial sehingga mudah pecah. Pemakaian antibiotika dan
kortikosteroid topikal dapat mempermudah terjadinya infeksi Candida di
daerah ini.

B. Kandidiasis kutis generalisata

Lesi terdapat pada glabrous skin. Biasanya di daerah intertriginosa ikut


terkena, misalnya lipat payudara, intergluteal, umbilikus, aksila dan lipat
inguinal, sering disertai glositis, stomatitis dan onikomikosis. Kelainan
berupa lesi eksematoid, dengan vesikel dan pustul milier
generalisata.Penyakit ini sering terdapat pada bayi, disebabkan karena
ibunya menderita kandidiasis vaginalis dengan daya tahan tubuh bayi yang
rendah.

C. Onikomikosis kandida / paronikia kandida Onikomikosis kandida /


paronikia kandida

Merupakan peradangan jaringan di sekitar lipat kuku yang bersifat kronis,


umumnya dimulai dari jaringan sekitar lipat kuku proksimal. Jaringan
sekitar lipat kuku membengkak, eritematosa, dan nyeri. Pada paronikia
kronik biasanya kuku akan terkena sehingga terjadi onikomikosis kandida.
Secara klinis kuku terlihat menebal, mengeras dan permukaannya tidak
rata, berwarna kecoklatan dan tidak rapuh. Pada kasus lanjut kuku dapat
hancur / destruksi.

D. Kandidiasis kutis granulomatosa

Lesi berupa papul kemerahan tertutup krusta tebal berwarna kuning


kecoklatan dan melekat erat pada dasarnya. Krusta ini dapat menimbul
seperti tanduk sepanjang 2 cm. Lokasi tersering adalah pada wajah, tetapi
juga ditemukan pada skalp, badan, dan tungkai.

Diagnosis

Diagnosis kandidiasis kutis umumnya dapat ditegakkan dengan


adanya gejala klinis yang khas yaitu makula eritematosa, maserasi
dikelilingi lesi satelit berupa papul, vesikel, atau pustul yang kemudian
pecah meninggalkan skuama kolaret dan ditunjang penemuan elemen
jamur berupa pseudohifa dan/atau blastospora dalam jumlah banyak pada

58
pemeriksaan langsung menggunakan larutan kalium hidroksida (KOH),
kultur, slide culture dari kerokan kulit dan kuku.

Pemeriksaan Penunjang

 Pemeriksaan Langsung

Pemeriksaan dari bahan kerokan kulit atau kuku, diperiksa dengan


larutan KOH 10% atau 20%, akan didapatkan hifa semu (pseudohifa)
dengan atau tanpa blastospora.

 Pemeriksaan biakan

Bahan yang akan diperiksa ditanam pada agar Sabouraud


dekstrosa (ASD), dengan antibiotika (kloramfenikol) untuk mencegah
pertumbuhan bakteri. Inkubasi dalam suhu kamar atau lemari suhu 37°C,
koloni tumbuh setelah 24-48 jam, berupa yeast like colony.

 Slide culture

Dilakukan dari media yang positif candida, dengan menusukkan


sampel ke media cornmeal agar lalu dipotong 1,5 cm x 1,5 cm, kemudian
letakkan di atas gelas objek, kemudian ditutup dengan gelas penutup,
disimpan 3 x 24 jam dalam suhu kamar dan keadaan lembab.

Diagnosa Banding

Ada beberapa diagnosis banding kandidiasis kutis,antara lain


kandidiasis kutis lokalisata adalah eritrasma, dermatitis intertriginosa,
dermatofitosis (tinea), dermatosis seboroik, psoriasis, dan dermatitis
kontak.

Penatalaksanaan

Pengobatan kandidiasis kutis terdiri dari pencegahan, pengobatan


lokal dan pengobatan sistemik. Pencegahan dilakukan dengan menekan
perkembangan jamur, dimana infeksi jamur umumnya diperberat oleh
cuaca panas, basah dan lembab. Jika faktor-faktor ini dapat dicegah maka
perkembangan jamur dapat berkurang. Selain itu kepada pasien juga
dianjurkan untuk memakai pakaian nyaman dan tidak terlalu tebal atau
ketat dan sering mengganti pakaian jika sudah basah.

Pengobatan lokal infeksi jamur pada lesi yang meradang disertai


vesikel dan eksudat terlebih dahulu dengan kompres basah secara
terbuka, topikal anti jamur dapat yang diberikan yaitu nistatin, derivat
imidazol,toksiklat, haloprogin dan tolnaftat. Sedangkan terapi sistemik
untuk kandidiasis pada pasien DM tipe 2 menjadi tantangan tersendiri
disebabkan kemungkinan adanya interaksi antara obat anti hiperglikemi
dengan anti jamur oral. Drozdowska dan Drzewoski (2008) mempelajari

59
jalur metabolisme baik antijamur oral dan antidiabetik oral, baik azol dan
kebanyakan antidiabetik oral dimetabolisme di sitokrom P-450 tetapi
dengan berbagai enzim yang terlibat (antidiabetik-CYP2C9, itrakonazol-
CYP3A4, ketokonazol-CYP3A4 dan flukonazol-CYP2C9) sedangkan
terbinafin umumnya aman dan ditoleransi dengan baik.

DAFTAR PUSTAKA

1. Andrew‘s Disease of the Skin, Odom RB, James WD, Gerbes TG, WB
Saunders Co, 9th Ed. Superficial: 358-391, Dalam: 391- 416

2. Penyakit Kulit Dan Kelamin, editor: Harahap M, FKUI, Jakarta, 2000,


edisi 2, Superficial: 73- 87, Dalam: 83- 97

3. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin, editor: Djuanda A, FKUI, Jakarta, 2003,
edisi 3, Hal. 87-102

M. MORBILI

Definisi

Campak juga dikenal dengan nama morbili atau morbillia dan


rubeola (bahasa Latin), yang kemudian dalam bahasa Jerman disebut
dengan nama masern, dalam bahasa Islandia dikenal dengan nama
mislingar dan measles dalam bahasa Inggris. Campak adalah penyakit
infeksi yang sangat menular yang disebabkan oleh virus, dengan gejala-
gejala eksantem akut, demam, kadang kataral selaput lendir dan saluran
pernapasan, gejala-gejala mata, kemudian diikuti erupsi makulopapula
yang berwarna merah dan diakhiri dengan deskuamasi dari kulit.

Gejala Klinis

Penyakit campak terdiri dari 3 stadium, yaitu:

A. Stadium kataral (prodormal)

Biasanya stadium ini berlangsung selama 4-5 hari dengan gejala


demam, malaise, batuk, fotofobia, konjungtivitis dan koriza. Menjelang
akhir stadium kataral dan 24 jam sebelum timbul eksantema, timbul bercak
Koplik. Bercak Koplik berwarna putih kelabu, sebesar ujung jarum timbul
pertama kali pada mukosa bukal yang menghadap gigi molar dan
menjelang kira-kira hari ke 3 atau 4 dari masa prodormal dapat meluas
sampai seluruh mukosa mulut. Secara klinis, gambaran penyakit
menyerupai influenza dan sering didiagnosis sebagai influenza.

B. Stadium erupsi

60
Stadium ini berlangsung selama 4-7 hari. Gejala yang biasanya terjadi
adalah koriza dan batuk-batuk bertambah. Timbul eksantema di palatum
durum dan palatum mole. Kadang terlihat pula bercak Koplik. Terjadinya
ruam atau eritema yang berbentuk makula-papula disertai naiknya suhu
badan. Mula-mula eritema timbul di belakang telinga, di bagian atas
tengkuk, sepanjang rambut dan bagian belakang bawah. Kadang-kadang
terdapat perdarahan ringan pada kulit. Rasa gatal, muka bengkak. Ruam
kemudian akan menyebar ke dada dan abdomen dan akhirnya mencapai
anggota bagian bawah pada hari ketiga dan akan menghilang dengan
urutan seperti terjadinya yang berakhir dalam 2-3 hari.

C. Stadium konvalesensi

Erupsi berkurang meninggalkan bekas yang berwarna lebih tua


(hiperpigmentasi) yang lama-kelamaan akan menghilang sendiri. Selain
hiperpigmentasi pada anak Indonesia sering ditemukan pula kulit yang
bersisik. Selanjutnya suhu menurun sampai menjadi normal kecuali bila
ada komplikasi.

Komplikasi

Campak dapat menyebabkan komplikasi pada penderita yang terjadi


sebagai akibat replikasi virus atau karena superinfeksi bakteri antara lain.

A. Otitis Media Akut

Otitis Media Akut (OMA) adalah suatu peradangan akibat infeksi pada
sebagian atau seluruh mukosa telinga tengah, tuba eustachius, antrum
mastoid, dan sel-sel mastoid yang terjadi dalam waktu kurang dari 3
minggu. OMA dapat terjadi pada semua usia, namun bayi dan anak-anak
merupakan kelompok usia yang paling sering menderita OMA
dibandingkan orang dewasa baik dewasa tua maupun dewasa muda. OMA
dapat terjadi karena infeksi bakterial sekunder.

B. Ensefalitis

Dapat terjadi sebagai komplikasi pada anak yang sedang menderita


campak atau dalam satu bulan setelah mendapat imunisasi dengan vaksin
virus campak hidup, pada penderita yang sedang mendapat pengobatan
imunosupresif dan sebagai Subacute sclerosing panencephalitis (SSPE).
Angka kejadian ensefalitis setelah infeksi campak adalah 1 : 1.000 kasus,
sedangkan ensefalitis setelah vaksinasi dengan virus campak hidup adalah
1,16 tiap 1.000.000 dosis. SSPE jarang terjadi hanya sekitar 1 per 100.000
dan terjadi beberapa tahun setelah infeksi dimana lebih dari 50% kasus-
kasus SSPE pernah menderita campak pada 2 tahun pertama umur
kehidupan. Penyebabnya tidak jelas tetapi ada bukti-bukti bahwa virus

61
campak memegang peranan dalam patogenesisnya. SSPE yang terjadi
setelah vaksinasi campak didapatkan kira-kira 3 tahun kemudian.

C. Bronkopneumonia

Dapat disebabkan oleh virus morbilia atau oleh


Pneuomococcus,Streptococcus, Staphylococcus. Bronkopneumonia ini
dapat menyebabkan kematian bayi yang masih muda, anak dengan
malnutrisi energi protein, penderita penyakit menahun misalnya
tuberkulosis, leukemia dan lain-lain.

D. Kebutaan

Terjadi karena virus campak mempercepat episode defisiensi vitamin A


yang akhirnya dapat menyebabkan xeropthalmia atau kebutaan.

Pencegahan

Pencegahan penyakit campak dapat dibedakan menjadi tiga yaitu :

A. Pencegahan Tingkat Awal (Priemordial Prevention)

Pencegahan tingkat awal berhubungan dengan keadaan penyakit yang


masih dalam tahap prepatogenesis atau penyakit belum tampak yang
dapat dilakukan dengan memantapkan status kesehatan balita dengan
memberikan makanan bergizi sehingga dapat meningkatkan daya tahan
tubuh.

B. Pencegahan Tingkat Pertama (Primary Prevention)

Pencegahan tingkat pertama ini merupakan upaya untuk mencegah


seseorang terkena penyakit campak, yaitu :

1. Memberi penyuluhan kepada masyarakat mengenai pentingnya


pelaksanaan imunisasi campak untuk semua bayi.
2. Imunisasi dengan virus campak hidup yang dilemahkan, yang
diberikan pada semua anak berumur 9 bulan sangat dianjurkan
karena dapat melindungi sampai jangka waktu 4-5 tahun.

C. Pencegahan Tingkat Kedua (Secondary Prevention)

Pencegahan tingkat kedua ditujukan untuk mendeteksi penyakit sedini


mungkin untuk mendapatkan pengobatan yang tepat. Dengan demikian
pencegahan ini sekurang-kurangnya dapat menghambat atau
memperlambat progrefisitas penyakit, mencegah komplikasi, dan
membatasi kemungkinan kecatatan, yaitu :

1. Menentukan diagnosis campak dengan benar baik melalui


pemeriksaan fisik atau darah.

62
2. Mencegah perluasan infeksi. Anak yang menderita campak jangan
masuk sekolah selama empat hari setelah timbulnya rash.
Menempatkan anak pada ruang khusus atau mempertahankan
isolasi di rumah sakit dengan melakukan pemisahan penderita
pada stadium kataral yakni dari hari pertama hingga hari keempat
setelah timbulnya rash yang dapat mengurangi keterpajanan
pasienpasien dengan risiko tinggi lainnya.
3. Pengobatan simtomatik diberikan untuk mengurangi keluhan
penderita yakniantipiretik untuk menurunkan panas dan juga obat
batuk. Antibiotika hanya diberikan bila terjadi infeksi sekunder
untuk mencegah komplikasi.
4. Diet dengan gizi tinggi kalori dan tinggi protein bertujuan untuk
meningkatkan daya tahan tubuh penderita sehingga dapat
mengurangi terjadinya komplikasi campak yakni bronkhitis, otitis
media, pneumonia, ensefalomielitis, abortus, dan miokarditis yang
reversibel.

D. Pencegahan Tingkat Ketiga (Tertiary Prevention)

Pencegahan tingkat ketiga bertujuan untuk mencegah terjadinya komplikasi


dan kematian. Adapun tindakan-tindakan yang dilakukan pada pencegahan
tertier yaitu :

1. Penanganan akibat lanjutan dari komplikasi campak.


2. Pemberian vitamin A dosis tinggi karena cadangan vitamin A akan
turun secara cepat terutama pada anak kurang gizi yang akan
menurunkan imunitas mereka.

DAFTAR PUSTAKA

1 Pudjiadi AH, Hegar B, Handryastuti S, Idris NS, Gandaputra EP,


Harmoniati ED. Pedoman pelayanan medis. 1st ed. Jakarta: Badan
Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2009. 33-36 p.
2. Rudolph AM, Hoffman JIE, Rudolph CD. Campak dalam Buku Ajar
Pediatri Rudolph Volume 1. 20th ed. Jakarta Barat: EGC; 740-745 p.
3. Marcdante KJ, Kliegman RM, Jenson HB, Richard E. Behrman.
Nelson Ilmu Kesehatan Anak Esensial. 6th ed. Singapore: Elsevier
Inc.; 2014.
4. WHO. Reported measles cases and incidence rates by WHO
Member States 2013,2014. 2015.
5. Soedarmo SSP, Garna H, Hadinegoro SRS, Satari HI. Buku Ajar
Infeksi dan Pediatri Tropis. 2nd ed. Jakarta: Badan Penerbit Ikatan
Dokter Anak Indonesia; 2012. 109-121 p.

N. VARISELA

Definisi

63
Infeksi akut primer oleh virus varicella zoster yang menyerang kulit
dan mukosa, klinis terdapat gejala konstitusi, kelainan kulit polimorf,
terutama berlokasi di bagian sentral tubuh.

Epidemiologi

 Usia

Pada orang yang belum mendapat vaksinasi, 90% kasus terjadi


pada anak-anak dibawah 10 tahun, 5% terjadi pada orang yang berusia
lebih dari 15 tahun. Sementara pada pasien yang mendapat imunisasi,
insiden terjadinya varicella secara nyata menurun.

 Insiden

Sejak diperkenalkan adanya vaksin varicella pada tahun 1995,


insiden terjadinya varicella terbukti menurun. Dimana sebelum tahun 1995,
terbukti di Amerika terdapat 3-4 juta kasus varicella setiap tahunnya.

 Transmisi

Transmisi penyakit ini secara aerogen maupun kontak langsung.


Kontak tidak langsung jarang sekali menyebabkan varicella. Penderita
yang dapat menularkan varicella yaitu beberapa hari sebelum erupsi
muncul dan sampai vesikula yang terakhir. Tetapi bentuk erupsi kulit yang
berupa krusta tidak menularkan virus.

 Musim

Di daerah metropolitan yang beriklim sedang, dimana epidemi


varicella sering terjadi pada musim musim dingin dan musim semi.

Patogenesa

Varicella disebabkan oleh VZV yang termasuk dalam famili virus


herpes. Virus masuk ke dalam tubuh manusia melalui mukosa saluran
napas dan orofaring. Multiplikasi virus di tempat tersebut diikuti oleh
penyebaran virus dalam jumlah sedikit melalui darah dan limfe ( viremia
primer ). Virus VZV dimusnahkan oleh sel sistem retikuloendotelial, yang
merupakan tempat utama replikasi virus selama masa inkubasi. Selama
masa inkubasi infeksi virus dihambat sebagian oleh mekanisme
pertahanan tubuh dan respon yang timbul

Pada sebagian besar individu replikasi virus dapat mengatasi


pertahanan tubuh yang belum berkembang sehingga dua minggu setelah
infeksi terjadi viremia sekunder dalam jumlah yang lebih banyak. Lesi kulit
muncul berturut-berturut, yang menunjukkan telah memasuki siklus
viremia, yang pada penderita yang normal dihentikan setelah sekitar 3 hari
oleh imunitas humoral dan imunitas seluler VZV. Virus beredar di leukosit

64
mononuklear, terutama pada limfosit. Bahkan pada varicella yang tidak
disertai komplikasi, hasil viremia sekunder menunjukkan adanya subklinis
infeksi pada banyak organ selain kulit.

Respon imun penderita menghentikan viremia dan menghambat


berlanjutnya lesi pada kulit dan organ lain. Imunitas humoral terhadap VZV
berfungsi protektif terhadap varicella. Pada orang yang terdeteksi memiliki
antibodi serum biasanya tidak selalu menjadi sakit setelah terkena paparan
eksogen. Sel mediasi imunitas untuk VZV juga berkembang selama
varicella, berlangsung selama bertahun-tahun, dan melindungi terhadap
terjadinya resiko infeksi yang berat.

Gambaran Klinis

Masa inkubasi antara 14 sampai 16 hari setelah paparan, dengan


kisaran 10 sampai 21 hari. Masa inkubasi dapat lebih lama pada pasien
dengan defisiensi imun dan pada pasien yang telah menerima pengobatan
pasca paparan dengan produk yang mengandung antibodi terhadap
varicella.

 Gejala prodromal

Pada anak kecil jarang terdapat gejala prodromal. Sementara pada


anak yang lebih besar dan dewasa, ruam yang seringkali didahului oleh
demam selama 2-3 hari, kedinginan, malaise, anoreksia, nyeri punggung,
dan pada beberapa pasien dapat disertai nyeri tenggorokan dan batuk
kering.3,4

 Ruam pada varicella

Pada pasien yang belum mendapat vaksinasi, ruam dimulai dari


muka dan skalp, dan kemudian menyebar secara cepat ke badan dan
sedikit ke ekstremitas. Lesi baru muncul berturut-turut, dengan distribusi
terutama di bagian sentral. Ruam cenderung padat kecil-kecil di punggung
dan antara tulang belikat daripada skapula dan bokong dan lebih banyak
terdapat pada medial daripada tungkai sebelah lateral. Tidak jarang
terdapat lesi di telapak tangan dan telapak kaki, dan vesikula sering muncul
sebelumnya dan dalam jumlah yang lebih besar di daerah peradangan,
seperti daerah yang terkena sengatan matahari.4

65
Infeksi VZV : Varicella 3

Infeksi VZV : Varicella dengan imunisasi

66
Gambaran dari lesi varicella berkembang secara cepat, yaitu lebih
kurang 12 jam, dimana mula-mula berupa makula eritematosa yang
berkembang menjadi papul, vesikel, pustul, dan krusta. Vesikel dari
varicella berdiameter 2-3 mm, dan berbentuk elips, dengan aksis
panjangnya sejajar dengan lipatan kulit. Vesikel biasanya superfisial dan
berdinding tipis, dan dikelilingi daerah eritematosa sehingga tampak terlihat
seperti ― embun di atas daun mawar‖. Cairan vesikel cepat menjadi keruh
karena masuknya sel radang, sehingga mengubah vesikel menjadi pustul.
Lesi kemudian mengering, mula-mula di bagian tengah sehingga
menyebabkan umbilikasi dan kemudian menjadi krusta. Krusta akan lepas
dalam 1-3 minggu, meninggalkan bekas bekas cekung kemerahan yang
akan berangsur menghilang. Apabila terjadi superinfeksi dari bakteri maka
dapat terbentuk jaringan parut. Lesi yang telah menyembuh dapat
meninggalkan bercak hipopigmentasi yang dapat menetap selama
beberapa minggu/bulan.

Vesikel juga terdapat di mukosa mulut, hidung, faring, laring, trakea,


saluran cerna, kandung kemih, dan vagina. Vesikel di mukosa ini cepat
pecah sehingga seringkali terlihat sebagai ulkus dangkal berdiameter 2-3
mm.

Lesi dengan spektrum luas

Gambaran khas dari varicella adalah adanya lesi yang muncul


secara simultan ( terus-menerus ), di setiap area kulit, dimana lesi tersebut
terus berkembang. Suatu prospective study menunjukkan rata-rata jumlah
lesi pada anak yang sehat berkisar antara 250-500. Pada kasus sekunder
karena paparan di rumah gejala klinisnya lebih berat daripada kasus primer
karena paparan di sekolah, hal ini mungkin disebabkan karena paparan di
rumah lebih intens dan lebih lama sehingga inokulasi virus lebih banyak.

Demam biasanya berlangsung selama lesi baru masih timbul, dan


tingginya demam sesuai dengan beratnya erupsi kulit. Jarang di atas 39oC,
tetapi pada keadaan yang berat dengan jumlah lesi banyak dapat

67
mencapai 40,5oC. Demam yang berkepanjangan atau yang kambuh
kembali dapat disebabkan oleh infeksi sekunder bakterial atau komplikasi
lainnya. Gejala yang paling mengganggu adalah gatal yang biasanya
timbul selama stadium vesikuler.

Diagnosa

Varicella biasanya mudah didiagnosa berdasarkan penampilan dan


perubahan pada karakteristik dari ruam yang timbul, terutama apabila ada
riwayat terpapar varicella 2-3 minggu sebelumnya.

Laboratorium

Lesi pada varicella dan herpes zoster tidak dapat dibedakan secara
histopatologi. Pada pemeriksaan menunjukkan sel raksasa berinti banyak
dan sel epitel yang mengandung badan inklusi intranuklear yang asidofilik.
Pemeriksaan dapat dilakukan dengan pewarnaan Tzanck, dimana bahan
pemeriksaan dikerok dari dasar vesikel yang muncul lebih awal, kemudian
diletakkan di atas object glass, dan difiksasi dengan ethanol atau methanol,
dan diwarnai dengan pewarnaan hematoxylin-eosin, Giemsa,
Papanicolaou, atau pewarnaan Paragon.

Sel raksasa berinti banyak

Di samping itu Varicella zoster virus (VZV) polymerase chain


reaction (PCR) adalah metode pilihan untuk diagnosis varicella. VZV juga
dapat diisolasi dari kultur jaringan, meskipun kurang sensitif dan
membutuhkan beberapa hari untuk mendapatkan hasilnya. Bahan yang
paling sering digunakan adalah isolasi dari cairan vesikuler. VZV PCR

68
adalah metode pilihan untuk diagnosis klinis yang cepat. Real-time PCR
metode tersedia secara luas dan merupakan metode yang paling sensitif
dan spesifik dari tes yang tersedia. Hasil tersedia dalam beberapa jam. Jika
real-time PCR tidak tersedia, antibodi langsung metode (DFA) neon dapat
digunakan, meskipun kurang sensitif dibanding PCR dan membutuhkan
pengambilan spesimen yang lebih teliti.

Berbagai tes serologi untuk antibodi terhadap varicella tersedia


secara komersial termasuk uji aglutinasi lateks (LA) dan sejumlah enzyme-
linked immunosorbent tes (ELISA). Saat ini tersedia metode ELISA, dan
ternyata tidak cukup sensitif untuk mampu mendeteksi serokonversi
terhadap vaksin, tetapi cukup kuat untuk mendeteksi orang yang memiliki
kerentanan terhadap VZV. ELISA sensitif dan spesifik, sederhana untuk
melakukan, dan banyak tersedia secara komersial. Di samping itu LA juga
tersedia secara sensitif, sederhana, dan cepat untuk dilakukan. LA agak
lebih sensitif dibandingkan ELISA komersial, meskipun dapat menghasilkan
hasil yang positif palsu, dan dapat menyebabkan kegagalan untuk
mengidentifikasi orang-orang yang tidak terbukti memiliki imunitas terhadap
varicella. Dimana salah satu dari tes ini akan berguna untuk skrining
kekebalan terhadap varicella.

Komplikasi

Pada anak-anak, varicella jarang disertai komplikasi. Komplikasi


tersering umumnya disebabkan oleh infeksi sekunder bakterial pada lesi
kulit, yang biasanya disebabkan oleh stafilokokus atau streptokokus,
sehingga terjadi impetigo, furunkel, selulitis, atau erisipelas, tetapi jarang
terjadi gangren. Infeksi fokal tersebut sering menyebabkan jaringan parut,
tetapi jarang terjadi sepsis yang disertai infeksi metastase ke organ yang
lainnya. Vesikel dapat menjadi bula bila terinfeksi stafilokokus yang
menghasilkan toksin eksfoliatif.

Pneumonia, otitis media, dan meningitis supurativa jarang terjadi


dan responsif terhadap antibiotik yang tepat. Bagaimanapun juga,
superinfeksi bakteri umum dijumpai dan berpotensi mengancam kehidupan
pada pasien dengan leukopenia.

Pada orang dewasa demam dan gejala konstitusi biasanya lebih


berat dan berlangsung lebih lama, ruam varicella lebih luas, dan komplikasi
lebih sering terjadi. Pneumonia varicella primer merupakan komplikasi
tersering pada orang dewasa. Pada beberapa pasien gejalanya
asimpomatis, tetapi yang lainnya dapat berkembang mengenai sistem
pernafasan dimana gejalanya dapat lebih parah seperti batuk, dyspnea,
tachypnea, demam tinggi, nyeri dada pleuritis, sianosis, dan batuk darah
yang biasanya timbul dalam 1-6 hari sesudah timbulnya ruam.

Varicella pada kehamilan mengancam ibu dan janinnya. Infeksi


yang menyebar luas dan varicella pneumonia dapat mengakibatkan

69
kematian pada ibu, tetapi baik kejadian maupun keparahan pneumonia
varicella tampaknya meningkat secara signifikan pada kehamilan. Janin
dapat meninggal karena kelahiran prematur atau kematian ibu karena
varicella pneumonia berat, tetapi varicella selama kehamilan, tidak, jika
tidak secara subtansial meningkatkan kematian janin. Namun demikian,
pada varicella yang tidak disertai komplikasi, viremia pada ibu dapat
menyebabkan infeksi intrauterin ( kongenital ), dan dapat menyebabkan
abnormalitas kongenital. Varicella perinatal ( varicella yang terjadi dalam
waktu 10 hari dari kelahiran ) lebih serius daripada varicella yang terjadi
pada bayi yang terinfeksi beberapa minggu kemudian.

Morbiditas dan mortalitas pada varicella secara nyata meningkat


pada pasien dengan defisiensi imun. Pada pasien ini replikasi virus yang
terus-menerus dan menyebar luas mengakibatkan terjadinya viremia yang
berkepanjangan, dimana mengakibatkan ruam yang semakin luas, jangka
waktu yang lebih lama dalam pembentukan vesikel baru, dan penyebaran
visceral klinis yang signifikan. Pada pasien dengan defisiensi imun dan
diterapi dengan kortikosteroid mungkin dapat berkembang menjadi
pneumonia, hepatitis, encephalitis, dan komplikasi berupa
perdarahan,dimana derajat keparahan dimulai dari purpura yang ringan
hingga parah dan seringkali mengakibatkan purpura yang fulminan dan
varicella malignansi.

Komplikasi susunan saraf pusat pada varicella terjadi kurang dari 1


diantara 1000 kasus. Varicella berhungan dengan sindroma Reye (
ensepalopati akut disertai degenerasi lemak di liver ) yang khas terjadi 2
hingga 7 hari setelah timbulnya ruam. Dulu, dari 15-40% pada semua
kasus sindroma Reye berhubungan dengan varicella, khususnya pada
penderita yang diterapi dengan aspirin saat demam, dengan mortalitas
setinggi 40%. Ataksia serebri akut lebih umum terjadi daripada kelainan
neurologi yang lainnya. Encephalitis lebih jarang lagi terjadi yaitu pada 1
diantara 33.000 kasus, tetapi merupakan penyebab kematian tertinggi atau
menyebabkan kelainan neurologi yang menetap. Patogenesa terjadinya
ataksia serebelar dan ensephalitis tetap jelas, dimana pada banyak kasus
ditemukan adanya VZV antigen, VZV antibodi, dan VZV DNA pada cairan
cerebrospinal pada pasien, yang diduga menyebabkan infeksi secara
langsung pada sistem saraf pusat.

Komplikasi yang jarang terjadi antara lain myocarditis, pancreatitis,


gastritis dan lesi ulserasi pada saluran pencernaan, artritis, vasculitis
Henoch-Schonlein, neuritis, keratitis, dan iritis. Patogenesa dari komplikasi
ini belum diketahui, tetapi infeksi VZV melalui parenkim secara langsung
dan endovascular, atau vasculitis yang disebabkan oleh VZV antigen-
antibodi kompleks, tampaknya menjadi penyebab pada kebanyakan kasus.

Penatalaksanaan

70
 Antivirus

Beberapa analog nukleosida seperti acyclovir, famciclovir,


valacyclovir, dan brivudin, dan analog pyrophosphate foskarnet terbukti
efektif untuk mengobati infeksi VZV. Acyclovir adalah suatu analog
guanosin yang secara selektif difosforilasi oleh timidin kinase VZV
sehingga terkonsentrasi pada sel yang terinfeksi. Enzim-enzim selular
kemudian mengubah acyclovir monofosfat menjadi trifosfat yang
mengganggu sintesis DNA virus dengan menghambat DNA polimerase
virus. VZV kira-kira sepuluh kali lipat kurang sensitif terhadap acyclovir
dibandingkan HSV.

Valacyclovir dan famcyclovir, merupakan prodrug dari acyclovir


yang mempunyai bioavaibilitas oral lebih baik daripada acyclovir sehingga
kadar dalam darah lebih tinggi dan frekuensi pemberian obat berkurang.

 Topikal

Pada anak normal varicella biasanya ringan dan dapat sembuh


sendiri. Untuk mengatasi gatal dapat diberikan kompres dingin, atau lotion
kalamin, antihistamin oral. Cream dan lotion yang mengandung
kortikosteroid dan salep yang bersifat oklusif sebaiknya tidak digunakan.
Kadang diperlukan antipiretik, tetapi pemberian olongan salisilat sebaiknya
dihindari karena sering dihubungkan dengan terjadinya sindroma Reye.
Mandi rendam dengan air hangat dapat mencegah infeksi sekunder
bakterial.

 Anti virus pada anak

Pengobatan dini varicella dengan pemberian acyclovir ( dalam 24


jam setelah timbul ruam ) pada anak imunokompeten berusia 2-12 tahun
dengan dosis 4x20 mg/kgBB/hari selama 5 hari menurunkan jumlah lesi,
penghentian terbentuknya lesi yang baru, dan menurunkan timbulnya
ruam, demam, dan gejala konstitusi bila dibandingkan dengan placebo.
Tetapi apabila pengobatan dimulai lebih dari 24 jam setelah timbulnya
ruam cenderung tidak efektif lagi. Hal ini disebabkan karena varicella
merupakan infeksi yang relatif ringan pada anak-anak dan manfaat klinis
dari terapi tidak terlalu bagus, sehingga tidak memerlukan pengobatan
acyclovir secara rutin. Namun pada keadaan dimana harga obat tidak
menjadi masalah, dan kalau pengobatan bisa dimulai pada waktu yang
menguntungkan menguntungkan pasien ( dalam 24 jam setelah timbul
ruam ), dan ada kebutuhan untuk mempercepat penyembuhan sehingga
orang tua pasien dapat kembali bekerja, maka obat antivirus dapat
diberikan.

 Pada remaja dan dewasa

71
Pengobatan dini varicella dengan pemberian acyclovir dengan dosis
5x800 mg selama 5 hari menurunkan jumlah lesi, penghentian
terbentuknya lesi yang baru, dan menurunkan timbulnya ruam, demam,
dan gejala konstitusi bila dibandingkan dengan placebo.

Secara acak, pemberian placebo dan acyclovir oral yang terkontrol


pada orang dewasa muda yang sehat dengan varicella menunjukkan
bahwa pengobatan dini (dalam waktu 24 jam setelah timbulnya ruam)
dengan acyclovir oral ( 5x800 mg selama 7 hari ) secara signifikan
mengurangi terbentuknya lesi yang baru, mengurangi luasnya lesi yang
terbentuk, dan menurunkan gejala dan demam. Dengan demikian,
pengobatan rutin dari varicella pada orang dewasa tampaknya masuk akal.
Meskipun tidak diuji, ada kemungkinan bahwa famciclovir, yang diberikan
dengan dosis 500 mg per oral setiap 8 jam, atau valacyclovir dengan dosis
1000 mg per oral setiap 8 jam mudah dan tepat sebagai pengganti
acyclovir pada remaja normal dan dewasa, Banyak dokter tidak
meresepkan acyclovir untuk varicella selama kehamilan karena risiko bagi
janin yang dalam pengobatan belum diketahui. Sementara dokter lain
merekomendasikan pemberian acyclovir secara oral untuk infeksi pada tri
semester ketiga ketika organogenesis telah sempurna, ketika mungkin ada
peningkatan terjadinya resiko pneumonia varicella, dan ketika infeksi dapat
menyebar ke bayi yang baru lahir. Pemberian acyclovir intravena sering
dipertimbangkan untuk wanita hamil dengan varicella yang disertai dengan
penyakit sistemik.

Komplikasi

Percobaan terkontrol yang dilakukan pada orang dewasa


imunokompeten dengan pneumonia varicella menunjukkan bahwa
pengobatan dini (dalam waktu 36 jam dari rumah sakit) dengan acyclovir
intravena (10mg/kgBB setiap 8 jam) dapat mengurangi demam dan
takipnea dan meningkatkan oksigenasi. Komplikasi serius lainnya dari
varicella di orang dengant imunokompeten, seperti ensefalitis,
meningoencephalitis, myelitis, dan komplikasi okular, sebaiknya diobati
dengan acyclovir intravena.

 Pasien dengan defisiensi imun

Percobaan terkontrol pada pasien immunocompromised dengan


varicela menunjukkan bahwa pengobatan dengan asiklovir
intravena menurunkan insiden komplikasi yang mengancam
kehidupan visceral ketika pengobatan dimulai dalam waktu 72 jam
dari mulai timbulnya ruam. Acyclovir intravena menjadi standar
perawatan untuk varicella pada pasien yang disertai dengan
imunodefisiensi substansial. Meskipun pemberian terapi oral
dengan famciclovir atau valacyclovir mungkin cukup untuk pasien

72
dengan derajat ringan gangguan kekebalan tubuh, tetapi tidak ada
uji klinis terkontrol yang menunjukkan secara pasti.

Pencegahan

 Vaksin varicella

 Karakteristik

Vaksin varicella (Varivax, Merck) merupakan vaksin virus hidup


yang dilemahkan, yang berasal dari strain Oka VZV. Virus vaksin
diisolasi oleh Takahashi pada awal tahun 1970 dari cairan vesikular
yang berasal dari anak sehat dengan penyakit varicella. Vaksin
varicella ini dilisensikan untuk penggunaan umum di Jepang dan
Korea pada tahun 1988. Vaksin ini diijinkan di Amerika Serikat pada
tahun 1995 untuk orang-orang usia 12 bulan dan yang lebih tua.

 Keefektifan vaksin

Setelah pemberian satu dosis tunggal vaksin varicella antigen, 97%


dari anak yang berusia 12 bulan sampai 12 tahun mengembangkan
titer antibodi yang dapat terdeteksi. Sedangkan lebih dari 90% dari
responden vaksin mempertahankan antibodi untuk setidaknya 6
tahun. Dalam studi di Jepang, 97% dari anak-anak memiliki antibodi
7 sampai 10 tahun setelah vaksinasi. Efikasi vaksin diperkirakan
memiliki ketahanan 70% sampai 90% terhadap infeksi, dan 90%
sampai 100% terhadap penyakit sedang atau berat.

Di antara remaja yang sehat dan orang dewasa yang berusia 13


tahun dan yang lebih tua, rata-rata 78% mengembangkan antibodi
setelah pemberian satu dosis, dan 99% mengembangkan antibodi
setelah pemberian dosis kedua yang diberikan 4 sampai 8 minggu
kemudian. Antibodi bertahan selama minimal 1 tahun pada 97%
dari pemberian vaksin varicella setelah dosis kedua yang diberikan
pada 4 sampai 8 minggu setelah dosis pertama

Kekebalan tampaknya bertahan lama, dan mungkin permanen di


sebagian besar vaksin. Infeksi pada orang yang pernah mendapat
vaksin secara signifikan lebih ringan, dengan lesi sedikit (biasanya
kurang dari 50), banyak yang makulopapular daripada vesikuler.
Dimana kebanyakan orang yang pernah mendapat vaksinasi
sebelumnya tidak terjadi demam.

Meskipun pada penemuan dari beberapa studi telah menyarankan


sebaliknya, penyelidikan sebagian belum diidentifikasi waktu sejak
vaksinasi sebagai faktor risiko untuk terobosan varicella. Beberapa,
tetapi tidak semua, penyelidikan baru-baru telah mengidentifikasi
adanya asma, penggunaan steroid, dan vaksinasi di lebih muda dari
15 bulan usia sebagai faktor risiko untuk terobosan varicella.

73
Terobosan infeksi varicella bisa menjadi hasil dari beberapa faktor,
termasuk gangguan replikasi virus vaksin oleh sirkulasi antibodi,
vaksin impoten akibat kesalahan penyimpanan atau penanganan,
atau pencatatan tidak akurat.

Penelitian telah menunjukkan bahwa dosis kedua vaksin varicella


meningkatkan kekebalan dan mengurangi penyakit terobosan pada
anak-anak.

 Jadwal vaksinasi dan penggunaan

Vaksin varicella dianjurkan untuk semua anak tanpa kontraindikasi


yang berusia 12 sampai 15 bulan. Vaksin ini dapat diberikan
kepada semua anak pada usia ini terlepas dari riwayat varicella.

Dosis kedua vaksin varicella harus diberikan pada 4 sampai 6 tahun


kemudian . Dosis kedua dapat diberikan lebih awal dari 4 sampai 6
tahun jika setidaknya 3 bulan telah berlalu setelah dosis pertama
(yaitu, interval minimum antara dosis vaksin varicella untuk anak-
anak berusia di bawah 13 tahun adalah 3 bulan). Namun, jika dosis
kedua diberikan setidaknya 28 hari setelah dosis pertama, dosis
kedua tidak perlu diulang. Dosis kedua vaksin varicella ini juga
dianjurkan bagi orang yang lebih tua, dimana vaksin varicella
diberikan kepada orang-orang 13 tahun atau lebih pada 4 sampai 8
minggu kemudian..

Semua vaksin varicella harus diberikan melalui secara subkutan.


Vaksin varicella telah terbukti aman dan efektif pada anak-anak
yang sehat bila diberikan pada saat yang sama sebagai vaksin
MMR di lokasi terpisah dan dengan jarum suntik yang terpisah. Jika
vaksin varicella dan MMR tidak diberikan pada kunjungan yang
sama, maka pemberian harus dipisahkansetidaknya 28 hari.
Vaksin varicella juga dapat diberikan simultan (tapi di lokasi terpisah
dengan jarum suntik yang terpisah) dengan semua vaksin anak
lainnya.

 Profilaksis pasca terpapar

Data dari Amerika Serikat dan Jepang dalam berbagai penelitian


menunjukkan bahwa vaksin varicella ternyata efektif sekitar 70%
sampai 100% dalam mencegah penyakit atau terjadinya keparahan
penyakit jika digunakan dalam waktu 3 hari, dan mungkin sampai 5
hari, setelah paparan. ACIP merekomendasikan vaksin untuk
digunakan pada orang yang tidak terbukti memiliki kekebalan
terhadap varicella atau pada orang yang terpapar varicella. Jika
paparan terhadap varicella tidak menyebabkan infeksi, vaksinasi
pasca paparan harus diberikan untuk memberi perlindungan
terhadap paparan berikutnya.

74
Wabah varicella yang terjadi dalam beberapa keadaan
(misalnya,pada tempat penitipan anak, dan sekolah) dapat bertahan
sampai dengan 6 bulan. Tetapi vaksin varicella diketahui telah
berhasil digunakan untuk mengendalikan wabah. ACIP
merekomendasikan pemberian dosis kedua vaksin varicella untuk
pengendalian wabah. Jadi selama wabah varicella, orang-orang
yang telah menerima satu dosis vaksin varicella harus menerima
dosis kedua, yang diberikan sesuai dengan interval vaksinasi yang
telah berlalu sejak dosis pertama (3 bulan untuk orang yang berusia
12 bulan sampai 12 tahun dan setidaknya 4 minggu untuk orang
yang berusia 13 tahun dan lebih tua).

 Kontraindikasi dan tindakan pencegahan untuk vaksinasi

Seseorang dengan reaksi alergi yang parah (anafilaksis) dengan


komponen vaksin atau setelah dosis sebelumnya, seharusnya tidak
menerima vaksin varicella. Orang dengan imunosupresi karena
leukemia, limfoma, keganasan umum, penyakit defisiensi imun,
atau terapi imunosupresif tidak harus divaksinasi dengan vaksin
varicella. Namun, pengobatan dengan dosis rendah (kurang dari 2
mg / kg / hari), topikal, penggantian, atau steroid aerosol bukan
merupakan kontraindikasi untuk vaksinasi. Orang yang
imunosupresif yang diterapi dengan steroid telah dihentikan selama
1 bulan (3 bulan untuk kemoterapi) dapat divaksinasi.

Orang dengan imunodefisiensi seluler sedang atau berat akibat


infeksi human immunodeficiency virus (HIV), termasuk orang-orang
yang didiagnosis dengan acquired immunodeficiency syndrome
(AIDS) tidak boleh menerima vaksin varicella. Anak yang terinfeksi
HIV dengan persentase CD4 T-limfosit 15% atau lebih tinggi, dan
anak-anak yang lebih tua dan orang dewasa dengan jumlah CD4
200 per mikroliter atau lebih tinggi dapat dipertimbangkan untuk
vaksinasi.

Wanita yang diketahui hamil atau mencoba untuk hamil sebaiknya


tidak menerima vaksin varicella. Sampai saat ini, tidak ada bukti
yang merugikan kehamilan atau janin yang dilaporkan di kalangan
perempuan yang secara tidak sengaja menerima vaksin varicella
sesaat sebelum atau selama kehamilan. Tetapi ACIP
merekomendasikan kehamilan harus dihindari selama 1 bulan
setelah menerima vaksin varicella.

Vaksinasi pada orang dengan penyakit akut, sedang atau berat


sebaiknya ditunda sampai kondisi telah membaik. Tindakan
pencegahan ini dimaksudkan untuk mencegah terjadinya komplikasi
pada pasien , seperti demam. Pada penyakit yang cenderung
ringan , seperti otitis media dan infeksi saluran pernapasan atas,

75
mendapat terapi antibiotik, dan paparan atau pemulihan dari
penyakit lain tidak kontraindikasi terhadap vaksin varicella.
Meskipun tidak ada bukti bahwa baik varicella atau vaksin varicella
memperburuk tuberkulosis, vaksinasi tidak dianjurkan untuk orang-
orang yang dikenal memiliki TB aktif.

DAFTAR PUSTAKA

1. www.cdc.gov/vaccines/pubs/pinkbook/downloads/varicella.pdf

2. Djuanda, Adhi. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin, Adhi, Edisi Enam
Cetakan Kedua, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,
Jakarta 2010, hal 115

3. Wolff, Klaus. Johnson, Richard Allen. Fitzpatrick‘s Color Atlas and


Sypnosis of Clinical Dermatology sixth edition, 2009, page 831-835

4. Straus, Stephen E. Oxman, Michael N. Schmader, Kenneth E.


Fitzpatrick‘s Dermatology in general medicine seventh edition, vol 1
and 2, 2008, page 1885-1895

5. Anonim, Varicella ( chickenpox ), 2009. (


http://www.ncirs.edu.au/immunisation/fact-sheets/varicella-fact-
sheet.pdf )

O. URTIKARIA

Definisi

Urtikaria adalah reaksi vaskular pada kulit, ditandai dengan edema


setempat yang cepat timbul dan dapat menghilang perlahan-lahan,
berwarna pucat dan kemerahan, meninggi di permukaan kulit, di sekitarnya
terdapat halo. Keluhan berupa gatal, rasa tersengat, atau tertusuk.
Angioedema merupakan urtikaria yang mengenai lapisan kulit yang lebih
dalam dari dermis, yakni submukosa, targetnya bias di saluran
pencernaan, pernapasan. Reaksi anafilaksis dan hipotensi dapat terjadi

Etiologi

 Obat

Obat merupakan penyebab tersering dari akut urtikaria. Hampir semua


obat sistemik menimbulkan urtikaria secara imunologik tipe 1 dan 2.
Contoh paling sering adalah golongan penisilin, sulfonamide, analgesik,
pencahar, hormon dan diuretik. Ada pula obat yang secara
nonimunlogik menimbulkan urtikaria, yaitu langsung merangsang sel
mast untuk melepasakan histamine, missal kodein, opium, dan zat

76
kontras pd pemeriksaan radiologi. Aspirin menimbulkan urtikaria karena
menghambat sintesis prostaglandin dari asam arakhidonat.

 Makanan

Makanan berperan lebih pentig pada reaksi urtikaria akut, hal ini
dikarenakan reaksi imunologik. Makanan yang paling bersifat alergenik
adalah coklat, udang, kacang, telur, susu, keju, serta macam-macam
bumbu masakan. Jika urtikaria akut dan berulang , alergi makanan bisa
jadi terpicu dari makanan sehari-hari. Serum radioalergosorbant tes
bisa digunakan untuk mendeteksi IgE spesifik. Menghindari makanan
yang memicu alergi merupakan terapi utama pada urtikari karena alergi
makanan, hal ini dapat dilakukan selama kurang lebih 3 minggu, jika
urtika tidak terulang maka makanan yang dihindari tersebut betul
sebagai penyebab urtikaria.

 Infeksi

Urtikaria akut bisa jadi berhubungan dengan infeksi saluran napas atas
khususnya infeksi Streptokokus. Lokasi infeksi bisa di tonsil, gigi, sinus,
kandung empedu, prostat, kandung kemih atau ginjal dapat menjadi
penyebab kasus akut atau kronik urtikaria. Pada beberapa pasien terapi
antibiotic untuk Helicobacter pylori telah menyebabkan resolusi
urtikaria. Infeksi kronik virus hepatitis B dan C bisa menyebabkan
urtikaria. Infeksi cacing tambang, kamur kandida dan dermatofita juga
bisa menimbulkan urtikaria.

 Psikis

Tekanan jiwa dapat memacu sel mast atau langsung menimbulkan


peningkatan permeabilitas dan vasodilatasi kapiler. Penelitian
menyebutkan bahwa hypnosis dapat menghambat eritema dan
urtikaria. Pada percobaan induksi psikis ternyata suhu kulit meningkat
dan ambang rangsang eritema meningkat.

 Bahan fotosensitizer

Contoh bahan ini misalnya griseovulvin, fenotiazin, sulfonamide, bahan


kosmetik dan sabun germisid sering menimbulkan urtikaria.

 Gigitan atau sengatan serangga

Gigitan atau sengatan serangga dapat menimbulkan urtikaria


diakibatkan karena peranan IgE (tipe I) dan tipe seluler (tipe IV). Tetapi
toksin bakteri dapat juga mengaktifkan komplemen.

 Inhalan

77
Inhalan yang berupa serbuk sari bunga (pollen), spora jamur, debu,
bulu binatang dan aerosol umumnya lebih mudah menimbulkan
urtikaria alergik. Reaksi ini sering dijumpai pada penderita atopi dan
disertai gangguan napas.

 Kontaktan

Kontaktan yang sering menimbulkan urtikaria adalah kutu binatang,


serbuk tekstil, air liur binatang, tumbuh-tumbuhan, buah-buahan, bahan
kimia missal insect repellent (penangkis serangga) dan bahan
kosmetik. Keadaan ini disebabkan bahan tersebut menembus kulit dan
menimbulkan urtikaria. TUFT (1975) melaporkan urtikaria akibat
serangan sefalosporin pada seorang apoteker, hal ini jarang terjadi
karena kontak dengan antibiotic umumnya menimbulkan dermatitis
kontak

 Trauma fisik

Trauma fisik dapat diakibatkan factor dingin, yakni berenang atau


memegang benda dingin; factor panas misalsinar matahari, sinar UV,
radiasi dan panas pembakaran; factor tekanan yaitu goresan, pakaian
ketat, ikat pinggang, vibrasi yang berulang, menyebabkan urtikaria baik
secara imunologik maupun non imunologik. Klinis biasanya terjadi di
tempat yang mudah terkena trauma. Dapat timbul urtikaria setelah
goresan dengan benda tumpul beberapa menit sampai beberapa jam
kemudian. Fenomena ini disebut fenomena dermografisme atau
fenomena Darier.

 Penyakit sistemik

Beberapa penyakit kolagen dan keganasan dapat menimbulkan


urtikaria, reaksi lebih sering disebabkan reaksi kompleks antigen-
antibodi. Penyakit vesiko-bulosa misal, pemfigus dan dermatitis
herpetiformis Duhring, sering menimbulkan urtikaria. Sejumlah 7-9%
penderita lupus eritematosus sistemik dapat menimbulkan urtikaria.
Beberapa penyakit sistemik yang sering disertai urtikaria antara lain
limfoma, hipertiroid, hepatitis, urtikaria pigmentosa, arthritis pada
demam rematik, arthritis rheumatoid juvenile.

 Genetik

Factor genetic ternyata berperan penting pada urtikaria walaupun


jarnag menunjukkan penurunan autosomal dominan. Diantaranya
adalah familial cold urticaria, familial localized heat urticaria, heredo-
familial syndrome of urticaria deafness and amyloidosis dan
erythropoietic protoporphyria.

78
Epidemiologi

Urtikaria sering dijumpai pada semua umur, orang dewasa lebih


banyak mengalami urtikaria disbanding dengan usia muda. SHELDON
menyatakan bahwa umur rata-rata penderita urtikaria adalah 35 tahun,
jarang dijumpai pada umur kurang dari 20 tahun atau lebih dari 60 tahun.
Ditemukan 40% bentuk urtikaria saja, 49% urtikaria bersama angioudema,
11% angioudema saja.Di Amerika sekitar 15-20% populasi penduduk
pernah menderita urtikaria. Sedangkan di Indonesia belum ada data yang
pasti tentang populasi penduduk yang menderita urtikaria.

Penderita atopi lebih mudah mengalami urtikaria diabnding orang


normal, disebabkan mungkin karena faktor sensitivitas terhadap antigen
yang lebih tinggi dri orang normal. Tidak ada perbedaan frekuensi jenis
kelamin laki-laki maupun perempuan. Umur, jabatan, letak geografis dan
perubahan musim dapat mempengaruhi hipersensitifitas seseorang
terhadap antigen yang dapat menyebabkan urtikaria yang diperantai oleh
IgE. Penisilin tercatat sebagai obat yang paling sering menyebabkan
urtikaria.

Klasifikasi

Terdapat bermacam penggolongan urtikaria, berdasar lamanya


serangan berlangsung dibedakan urtikaria akut dan kronik. Disebut akut
apabila serangan berlangsung kurang dari 6 minggu, atau berlangsung
selama 4 minggu tapi setiap hari, bila melebihi waktu tersebut digolongkan
urtikaria kronik. Urtikaria akut sering terjadi pada usia muda, umumnya laki-
laki lebih sering daripada wanita. Urtikaria kronik lebih sering pada wanita
usia pertengahan. Penyebab urtikaria akut lebih budah diketahui
sedangkan urtikaria kronik lebih sukar, ada kecenderungan urtikaria lebih
sering diderita oleh penderita atopik.

Berdasarkan morfologi klinis, urtikaria dibedakan :

 Urtikaria popular
 Urtikaria gutata
 Urtikaria girata
 Urtiakria anular
 Urtikaria arsinar

Berdasarkan luas dan dalam jaringan yang terkena yaitu:1

 Urtikaria lokal
 Urtikaria general
 Angioedema

79
Selain itu terdapat penggolongan berdasarkan penyebab urtikaria
dan mekanisme terjadinya urtikaria, maka dikenal urtikaria imunologik,non
imunologik dan idiopatik sebagai berikut:

I. Urtikaria atas dasar reaksi imunologik

A. Bergantung pada IgE (alergi tipe I)


- Pada atopi
- Antigen spesifik (polen, obat, venom)
B. Ikut serta komplemen
- Pada reaksi sitotoksik (alergi tipe II)
- Reaksi kompleks imun (alergi tipe III)
- Defsiensi C1 esterase inhibitor (genetik)
C. Reaksi alergi tipe IV (urtikaria kontak)

II. Urtikaria atas dasar reaksi non imunoogik

A. Langsung memicu sel mas, sehingga terjadi pelepasan mediator


(misal bahan kontras atau obat golongan opiat).
B. Bahan yang menyebabkan perubahan metabolism asam arakidonat
(misal aspirin, obat anti-inflamasi non-steroid, golongan azodyes).
C. Trauma fisik, misal dermografisme, rangsang dingin, panas atau
sinar (urtikaria solar) dan bahan koliergik.

III. Urtikaria yang tidak jelas penyebab dan mekanisme digolongkan


idiopatik.

Manifestasi Klinis

Keluhan subjektif biasanya gatal, rasa terbakar atau tertusuk. Klinis


tampak eritema dan edema setempat berbatas tegas, kadang bagian
tengah tampak lebih pucat. Eritema akan memutih bila ditekan. Bentuknya
papular seperti pada urtikaria sengatan serangga, besarnya dapat
lentikular, numular sampai plakat. Bila mengenai jaringan lebih dalam
sampai dermis dan jaringan submukosa atau subkutan juga pada saluran
cerna dan napas disebut angiodema.1,2,6 Urtikaria dan angiodema dapat
terjadi di beberapa lokasi secara bersamaan, atau sendiri-sendiri.
Angioedema umumnya terjadi di wajah atau bagian ekstremitas.

Pada dermografisme lesi sering berbentuk linier di kulit yang


terkena goresan benda tumpul, timbul dalam waktu lebih kurang 30 menit.
Pada urtikaria dingin dan panas, lesi akan terlihat pada daerah yang
terkena dingin dan panas. Urtikaria akibat penyinaran tampakan klinis
berbentuk urtikaria papular. Lesi urtikaria kolinergik timbul pada
peningkatan suhu tubuh, emosi, pekerjaan berat, sangat gatal, daerah
warna merah dapat berkonfluen membentuk plakat, biasanya pada daerah
yang berkeringat. Untuk urtikaria akibat obat atau makanan umumnya
timbul secara akut dan generalisata.

80
Diagnosis

A. Anamnesis

Informasi awal mengenai riwayat urtikaria sebelumnya, durasi ruam


dan gatal bermanfaat untuk mengkategorikan urtikaria sebagai akut,
rekuren, atau kronik. Beberapa pertanyaan untuk menentukan penyebab
alergi atau non-alergi adalah sebagai berikut:

- Apakah biduran berhubungan dengan makanan? Adakah


makanan baru yang ditambahkan dalam menu makan?
- Apakah pasien sedang menjalani pengobatan rutin atau
menggunakan obat baru, jika iya apa jenis obat tersebut?
- Apakah pasien mempunyai penyakit kronik atau riwayat penyakit
kronik?
- Apakah pasien sedang hamil?
- Apakah sebelumnya ada stimulus panas, dingin, tekanan atau
vibrasi?
- Apakah ada senyawa yang dihirup atau kontak dengan kulit yang
mungkin timbul di tempat kerja?
- Apakah sebelumnya pasien sempat terkena gigitan serangga?

B. Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan kulit pada urtikaria meliputi:

- Lokalisasi (badan, ekstremitas, kepala dan leher), efloresensi


(eritema, edema, berbatas tegas dengan elevasi kulit kadang
bagian tengah tampak pucat, ukuran (milier hingga sentimeter),
bentuk (lentikular hingga plakat), dermografisme.

81
C. Pemeriksaan Penunjang

Walaupun melalui anamnesis yang teliti dan pemeriksaan klinis


mudah ditegakkan diagnosis urtikaria, beberapa pemeriksaan diperlukan
untuk membuktikan penyebabnya yaitu:

- Pemeriksaan darah, urin, feses untuk menilai ada tidaknya


infeksi yang tersembunyi pada organ dalam. Cryoglobulin dan
cold hemolysin perlu diperiksan pada dugaan urtikaria dingin.
- Pemeriksaan gigi, telinga hidung tenggorok, serta usapan vagina
untuk menyingkirkan dugaan infeksi fokal.
- Pemeriksaan kadar IgE, eosinofil dan komplemen.
- Tes kulit, uji gores (scratch test) dan uji tusuk (prick test) serta
tes intradermal dapat digunakan untuk mencari alergi inhalan,
makanan, dermatofit dan kandida.
- Tes eliminasi makanan dengan cara menghentikan semua
makanan yang dicurigai, kemudian mencoba kembali sedikit
demi sedikit.
- Tes foto temple, pada urtikaria fisik akibat sinar.
- Tes dengan air hangat
- Tes dengan es

Diagnosa Banding

Dengan anamnesis yang teliti dan pemeriksaan klinis yang cermat


dapat ditegakkan diagnosis urtikaria serta penyebabnya. Namun
hendaknya dipikirkan pula beberapa penyakit sistemik yang sering disertai
urtikaria. Urtikaria kronik harus dibedakan dengan purpura anafilaktoid,
dan ptiriasis rosea bentuk popular dan urtikaria pigmentosa.

Penatalaksanaan

Penatalaksanaan yang paling ideal untuk pengobatan urtikaria tentu


saja mengobati factor penyebabnya atau bila mungkin menghindari
penyebab yang dicurigai. Urtikaria akut lebih mudah diatasi daripada
urtikaria kronik, namun prinsipnya ialah:

A. Penanganan Umum

- Menghindari factor penyebab


- Antihistamin
- Golongan adrenergic
- Kortiosteroid

B. Pengobatan penyebab

C. Pengobatan topical

82
Pengobatan lokal di kulit dapat diberikan secara simtomatik
misalnya antipruritus di dalam bedak kocok atau bedak.

Antihistamin

Antihistamin bekerja menghambat histamine pada reseptor-reseptor


histamine. Berdasarkan reseptor yang dihambat digolongkan menjadi 2
kelompok yaitu :

a. Antihistamin 1 (AH1)

b. Antihistamin 2 (AH2)

Secara klinis pengobatan pada urtikaria dan angioedema


dipercayakan pada efek antagonis histamine pada reseptor H1, namun
sering menimbulkan efek sedas. Golongan ini disebut antihistamin klasik.
Sedangkan yang tidak menimbulkan efek sedasi disebut dengan
antihistamin non klasik.

Kortikosteroid

Pemberian kortikosteroid sistemik diperlukan pada pasien urtikaria


akut tapi tidak ada manfaatnya pada manfaatnya pada urtikaria kronik,
dapat pula dberikan pada pasien yang tidak berespon dengan pemberian
antihistamin klasik. Kortikosteroid akan lebih bermanfaat bila
dikombinasikan dengan AH1. Preparat yang biasa digunakan adalah
prednisone, dengan dosis 40mg/hari.

Prognosis

Urtikaria akut prognosisnya lebih baik karena penyebabnya lebih


cepat diatasi, urtikaria kronik lebih sulit diatasi karena penyebabnya sulit
diidentifikasi. Namun secara garis besar urtikaria mempunya prognosis
yang baik karena gejala yang timbul dapat diatasi dengan pemberian
pengobatan yang tepat.

DAFTAR PUSTAKA

1. Djuanda, A, Buku Ajar Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin, Jakarta: Balai
Penerbit FKUI, 2008: 169-176

2. Akib A AP, Munasir Z, Kurniati N, Buku Ajar Alergi Imunologi Anak,


Jakarta : Balai Penerbit IDAI, 2007.

3. James, William, Andrews Disease of The Skin Clinical Dermatology. Ed.


10th. Sauders Elsevier. Canada, 2006.

4. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, Buku Ajar


Ilmu Penyakit Dalam, Jakarta: Balai Penerbit FKUI, 2006.

83
5. Siregar, Saripati Penyakit Kulit, Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC,
2003.

6. Wolf, Klaus. Fitzpatrick‘s Color Atlas & Synopsis of Clinical Dermatology.


Ed. 6th. The McGraw-Hill. United States of America. 2009.

P. PENYAKIT KEGANASAN PADA KULIT

Definisi

Kanker kulit adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh


berubahnya sifat-sifat penyusun sel kulit yang normal menjadi ganas,
dimana sel-sel akan terus membelah menjadi bentuk yang abnormal
secara tidak terkontrol akibat kerusakan DNA. Bila dilihat dari segi
histopatologik memiliki struktur yang tidak teratur dengan diferensiasi sel
dalam berbagai tingkatan pada kromatin, nukleus, dan sitoplasma.

Struktur Anatomi Kulit Secara Histopatologik

Pembagian kulit secara garis besar tersusun atas tiga lapisan utama yaitu

1. Lapisan epidermis atau kutikel.

2. Lapisan dermis (korium, kutis vera, true skin).

3. Lapisan subkutis (hipodermis).

Tidak ada garis tegas yang memisahkan dermis dan subkutis,


subkutis ditandai dengan adanya jarngan ikat longgar dan adanya sel dan
jaringan lemak.

1. Lapisan epidermis terdiri atas : stratum korneum, stratum


lusidum, stratum granulosum, stratum spinosum, dan stratum
basale.
2. Lapisan dermis adalah lapisan di bawah epidermis yang jauh
lebih tebal daripada epidermis. Lapisan ini terdiri atas lapisan
elastik dan fibrosa padat dengan elemen-elemen selular dan
folikel rambut. Secara garis besar dibagi menjadi dua bagian
yakni : Pars retikulare yaitu bagian yang menonjol ke epidermis,
berisi ujung serabut saraf dan pembuluh darah.1 Pars retikulare
yaitu bagian di bawahnya yang menonjol ke arah subkutan,
bagian ini terdiri atas serabut-serabut penunjang misalnya
serabut kolagen, elastik, dan retikulin.
3. Lapisan subkutis adalah kelanjutan dermis, terdiri atas jaringa
ikat longgar berisi sel-sel lemak di dalamnya.

Epidemiologi Kanker Kulit

84
Kanker kulit memiliki tiga tipe utama yaitu Karsinoma Sel basal,
Karsinoma Sel Skuamosa dan Melanoma Maligna. Karsinoma Sel Basal
menempati urutan pertama, diikuti Karsinoma Sel Skuamosa, dan
Melanoma Maligna pada urutan ketiga. Walaupun jumlah insiden
Melanoma Maligna lebih kecil dibanding Karsinoma Sel Basal dan
Karsinoma Sel Skuamosa, angka kematian yang disebabkannya
cenderung lebih besar yaitu menyebabkan 75% kematian akibat kanker
kulit. Di Australia, yang merupakan salah satu negara dengan insiden
kanker kulit tertinggi di dunia, dilaporkan terjadi insiden kanker kulit empat
kali lipat lebih tinggi dibanding Amerika Serikat, Inggris, dan Kanada.
Melanoma merupakan jenis kanker kulit dengan insiden tertinggi pada
umur15-44 tahun di Australia.

Etiologi Kanker Kulit

Secara umum, kanker kulit memiliki banyak resiko yang potensial,


antara lain : Terpapar oleh radiasi sinar ultraviolet secara berlebihan (baik
Ultraviolet A maupun Ultraviolet B). Luka yang lama tidak sembuh (chronic
non-healing wounds) , khususnya luka bakar,diantaranya adalah Marjolin’s
ulcer yang bisa berkembang menjadi Karsinoma Sel Skuamosa.
Predisposisi genetik termasuk. Tahi lalat berukuran lebih besar dari 20 mm
beresiko tinggi berekmbang menjadi kanker. Human papilloma virus (HPV)
sering dihubungkan dengan Karsinoma Sel Skuamosa pada genital, anus,
mulut, faring, dan jari tangan. Toksin arsenik merupakan salah satu resiko
peningkatan insiden Karsinoma Sel Skuamosa. Kekurangan beberapa
vitamin dan mineral tertentu dan merokok.

Klasifikasi Kanker Kulit

Kanker kulit dapat diklasifikasikan dalam tiga tipe terbanyak yaitu


Karsinoma Sel Basal, Karsinoma Sel Skuamosa, dan Melanoma Maligna.

1. Karsinoma Sel Basal (Basalioma) adalah tipe kanker kulit


terbanyak, bersifat lokal invasif, jarang bermetastasis namun
tetap memiliki peluang untuk menjadi maligna karena dapat
merusak dan menghancurkan jaringan sekitar. Karsinoma Sel
Basal muncul akibat radiasi sinar ultraviolet, biasanya di bagian
wajah. Karsinoma Sel Basal jarang menyebabkan kematian serta
mudah diterapi dengan pembedahan maupun radiasi.
2. Karsinoma Sel Skuamosa adalah tipe kedua terbanyak setelah
Karsinoma Sel Basal, berasal dari sel skuamosa pada lapisan
epidermis kulit. Karsinoma Sel Skuamosa bermetastasis lebih
sering dari Karsinoma Sel basal, namun angka metastasisnya
tidak terlalu tinggi kecuali pada telinga, bibir, dan pasien
imunosupresi.
3. Melanoma Maligna adalah tumor yang berasal dari melanosit,
merupakan salah satu tumor yang paling ganas pada tubuh

85
dengan resiko metastasis yang tinggi. Melanoma Maligna dapat
dibagi menjadi empat yaitu : Superficial Spreading Melanoma
(SSM), Nodular Melanoma (NM), Lentigo Malignant Melanoma,
dan Acral Lentiginous Melanoma (ALM).

Untuk lebih jelas tentang klasifikasi dari kanker kulit beserta


kenampakannya dapat dilihat pada tabel berikut :

Klasifikasi Kanker Kulit

Diagnosa Kanker Kulit

Secara umum diagnosis penyakit kanker kulit dapat ditegakkan dari


anamnesis, pemeriksaan klinis dengan melihat eufloresensi kulit,
pemeriksaan penunjang seperti dermoskopi, serta pemeriksaan
histopatologi sebagai standar baku emas. Karena masing-masing tipe
kanker kulit memiliki eufloresensi yang berbeda maka penegakan diagnosis
tiap-tiap tipe pun berbeda.

Diagnosa Karsinoma Sel Basal

Diagnosa Karsinoma Sel Basal dapat diperoleh melalui anamnesis,


pemeriksaan fisik (eufloresensi), pemeriksaan dermoskopi, dan
pemeriksaan histopatologi.

a. Anamnesis

 Apakah sering terpapar sinar matahari dalam waktu yang cukup


lama secara terus menerus?,Apakah ada riwayat kulit terbakar yang
berulang akibat paparan sinar matahari?. Apakah menderita

86
penyakit-penyakit yang mengakibatkan supresi pada imunitas
seperti HIV? Apakah pernah terpapar bahan arsenik? Apakah
mengalami penyakit Granuloma Inguinale?. Apakah memiliki
penyakit akibat genetik seperti Xeroderma Pigmentosa, Nevoid
Basal Cell Carcinoma, dan Albinism? Apakah pasien merokok?

b. Pemeriksaan Fisik

Pada pemeriksaan fisik akan didapatkan kelainan-kelainan sesuai


dengan tipe-tipe Karsinoma Sel Basal sebagai berikut : Nodular Basalioma
akan didapatkan eufloresensi berupa nodul menyerupai kutil, tidak
berambut, berwarna coklat atau hitam, tidak mengkilat (keruh). Morphoeic
Basal Cell Carcinoma akan didapatkan eufloresensi menyerupai morfea
akan tetapi ditemukan tanda-tanda berupa kelainan yang datar, berbatas
tegas, tumbuhnya lambat, berwarna kekuningan, dan pada perabaan
tepinya keras. Pigmented Basal Cell Carcinoma akan didapatkan
eufloresensi berupa nodul berwarna coklat, biru, atau keabuan dan
kenampakannya mirip dengan Melanoma.

c. Pemeriksaan dermoskopi

Dermoskopi adalah suatu metode non invasif yang memungkinkan dalam


evaluasi warna dan struktur epidermis secara mikro (histologis) yang tidak
bisa dilihat dengan mata telanjang. Evaluasi penyebaran warna dari lesi
dan struktur histologis dapat membedakan apakah lesi tersebut jinak atau
ganas terutama pada lesi kulit berpigmen. Hal yang diperhatikan adalah
ABCDE (asymmetry, irregular borders, multiple colors, diameter >6 mm,
enlarging lesion), bila hal tersebut didapatkan pada lesi yang diperiksa,
kemungkinan lesi tersebut bersifat ganas (karsinoma).

d. Pemeriksaan penunjang Diagnosis pasti Karsinoma Sel Basal adalah


pemeriksaan histopatologi dengan melakukan biopsi jaringan kulit yang
dicurigai mengandung sel-sel kanker tersebut (skin biopsy)

Diagnosis Karsinoma Sel Skuamosa

Diagnosa Karsinoma Sel Skuamosa dapat diperoleh melalui


anamnesis, pemeriksaan fisik (eufloresensi), pemeriksaan dermoskopi, dan
pemeriksaan histopatologi.

a. Anamnesis ditanyakan adalah apakah sering terpapar sinar matahari


dalam waktu yang cukup lama secara terus menerus?.Apakah ada riwayat
kulit terbakar yang berulang akibat paparan sinar matahari?Apakah
menderita penyakit-penyakit yang mengakibatkan supresi pada imunitas
seperti HIV? Apakah pernah terpapar bahan arsenik dan polycyclic
hydrocarbons?.Apakah pernah terpapar bahan batubara dan produk-
produk industri yang mengandung batubara? Apakah pasien merokok?

b. Pemeriksaan Fisik

87
Pada pemeriksaan fisik berupa inspeksi untuk melihat eufloresensi
kulit akan didapatkan kelainan-kelainan berupa nodul yang keras dengan
batas yang tidak tegas, permukaannya mula-mula licin seperti kulit normal
yang akhirnya berkembang menjadi papiloma. Ulserasi dapat terjadi,
umumnya mulai timbul pada waktu berukuran 1-2cm, diikuti pembentukan
krusta dengan pinggir yang keras serta mudah berdarah.

c. Pemeriksaan dermoskopi

Seperti halnya pada Karsinoma Sel Basal, hal yang diperhatikan


adalah ABCDE (asymmetry, irregular borders, multiple colors, diameter >6
mm, enlarging lesion), bila hal tersebut didapatkan pada lesi yang
diperiksa, kemungkinan lesi tersebut bersifat ganas (karsinoma).

d. Pemeriksaan Penunjang dilakukan pemeriksaan histopatologi dengan


melakukan biopsi jaringan kulit yang dicurigai mengandung sel-sel kanker
tersebut (skin biopsy).

Diagnosis Melanoma Maligna

Diagnosa Melanoma Maligna dapat diperoleh melalui anamnesis,


pemeriksaan fisik (eufloresensi), pemeriksaan dermoskopi, dan
pemeriksaan histopatologi.

a. Anamnesis ditanyakan apakah sering terpapar sinar matahari dalam


waktu yang cukup lama secara terus menerus? Apakah ada riwayat kulit
terbakar yang berulang akibat paparan sinar matahari?.Apakah menderita
penyakit-penyakit yang mengakibatkan supresi pada imunitas seperti
HIV?Apakah pernah terpapar bahan arsenik dan polycyclic hydrocarbons?.
Apakah pasien merokok? Apakah pasien pernah menderita Melanoma
Maligna sebelumnya?Apakah ada riwayat keluarga yang menderita
Melanoma Maligna?

b. Pemeriksaan Fisik

Superficial Spreading Melanoma (SSM) dapat ditemukan kelainan


berupa bercak dengan ukuran beberapa milimeter sampai beberapa cm
dengan warna bervariasi (waxy, kehitaman, kecoklatan, putih, biru), tidak
teratur, berbatas tegas dengan sedikit penonjolan di permukaan kulit.
Nodular Melanoma (NM) dapat ditemukan kelainan berupa nodul berwarna
biru kehitaman dengan batas tegas serta mempunyai variasi bentuk yaitu
bentuk dengan permukaan licin pada lapisan epidermis, nodus yang
menonjol dengan bentuk tidak teratur pada permukaan kulit, dan bentuk
eksofitik dengan ulserasi. Lentigo Malignant Melanoma dapat ditemukan
kelainan berupa bentuk yang berbatas tegas, berwarna coklat kehitaman
serta tidak homogen, bentuk tidak teratur, dan pada bagian tertentu dapat
tumbuh nodul yang berbatas tegas setelah bertahun-tahun.1 Acral
Lentiginous Melanoma (ALM) dapat ditemukan kelainan yang berbeda

88
sesuai dengan lokasi melanoma. Pada daerah anal berupa pigmentasi
sedangkan pada daerah vulva akan tampak pigmentasi lebih mengkhusus
berwarna biru kehitaman dengan lokasi sampai mengenai rahim.

c. Pemeriksaan dermoskopi

Seperti halnya pada Karsinoma Sel Skuamosa, hal yang


diperhatikan adalah ABCDE (asymmetry, irregular borders, multiple colors,
diameter >6 mm, enlarging lesion), bila hal tersebut didapatkan pada lesi
yang diperiksa, kemungkinan lesi tersebut bersifat ganas (karsinoma).

d. Pemeriksaan Penunjang

Diagnosis pasti Melanoma Maligna adalah pemeriksaan


histopatologi dengan melakukan biopsi jaringan kulit yang dicurigai
mengandung sel-sel kanker tersebut (skin biopsy).

Pemeriksaan penunjang lainnya dapat dilakukan untuk mengetahui


ada tidaknya metastasis dari Melanoma Maligna ke organ-organ tubuh lain

Tingkatan Melanoma Maligna

Staging adalah suatu proses untuk mengetahui seberapa jauh


kanker tersebut bermetastasis.2 Staging diperoleh melalui pemeriksaan
fisik, biopsi, dan juga proses pencitraan.2 Staging juga membantu untuk
menentukan terapi yang tepat dan prognosis penyakit pasien.2 Staging
pada Melanoma Maligna yang paling sering digunakan adalah TNM
System dari American Joint Commission Cancer (AJCC).2TNM System
terdiri dari T (Tumor) , N (Nodus limfe) dan M (Metastasis).

Terapi Kanker Kulit

Terapi pada kanker kulit terdiri dari terapi pembedahan dan non
pembedahan. Terapi pembedahan terdiri dari pembedahan dengan eksisi,
pembedahan dengan menggunakan teknik Mohs Micrographic Surgery
(MMS), curretage and cautery, dan cryosurgery.

a) Pembedahan dengan eksisi

Pada teknik ini , tumor di eksisi beserta dengan jaringan normal


disekitarnya dengan batas yang telah ditentukan sebelumnya untuk
memastikan seluruh sel kanker sudah terbuang.

b) Pembedahan dengan teknik Mohs Micrographic Surgery (MMS)

Mohs Micrographic Surgery (MMS) adalah sebuah teknik


pembedahan yang pertama kali dilakukan oleh Frederic Mohs di tahun
1940. Pada teknik ini , tumor di eksisi beserta dengan jaringan normal
disekitarnya dengan batas yang telah ditentukan sebelumnya.

89
Indikasi penggunaan teknik Mohs Micrographic Surgery (MMS)
antaralain: Lokasi tumor : terutama di bagian tengah wajah, sekitar mata,
hidung,dan telinga. Ukuran tumor : berapapun, tapi khususnya >2cm.
Subtipe histologi : morfoik, infiltratif, mikronodular, dan subtipe
basoskuamosa. Definisi batas tumor yang kurang baik melalui klinis. Lesi
yang berulang (rekuren). Ada keterlibatan perivaskular dan perineural.

c) Curretage and cauter

Merupakan metode tradisional dalam terapi pembedahan kanker


kulit. Metode ini merupakan metode kedua terbanyak yang dilakukan
setelah metode eksisi. Curretage and cautery bila dilakukan untuk terapi
pada lesi yang terdapat di wajah akan mengakibatkan angka rekurensi
yang tinggi, sehingga merupakan suatu kontraindikasi.

d) Cryosurgery

Cryosurgery menggunakan cairan nitrogen dalam temperatur-50


hingga -60 º C untuk menghancurkan sel kanker. Teknik double freeze
direkomendasikan untuk lesi yang terdapat di wajah. Fractional cryosurgery
direkomendasikan untuk lesi yang berukuran besar dan lokasinya tersebar.
Keberhasilan dari teknik ini tergantung dari seleksi jaringan dan
kemampuan operator.

a) Photodynamic therapy

Photodynamic therapy melibatkan penggunaan reaksi fotokimia


dimediasi melalui interaksi agen photosensitizing, cahaya, dan oksigen.
Karena fotosensitizer diarahkan secara langsung ditargetkan pada jaringan
lesi, photodynamic therapy dapat meminimalkan kerusakan pada struktur
sehat berdekatan. Metode ini efektif untuk lesi pada wajah dan kulit kepala
yang bersifat primer dan superfisial.

b) Radiasi

Radiasi menggunakan sinar x-ray dengan energi tinggi untuk


membunuh sel kanker. Dikatakan bahwa, radiasi bukanlah untuk
menyembuhkan kanker, melainkan sebagai terapi adjuvan setelah
pembedahan untuk mencegah rekurensi dari sel kanker atau untuk
mencegah metastasis.

c) Kemoterapi

Kemoterapi adalah metode dengan menggunakan obat-obatan


untuk membunuh sel kanker khusus pada tipe Melanoma Maligna. Hal ini
disebabkan karena sifat dari Melanoma Maligna yang sering melakukan
metastasis ke organ lain. Beberapa jenis obat kemoterapi yang digunakan
adalah Dacarbazine (DTIC), Cisplatin yang dikombinasikan dengan
Vinblastine, Temozolomide (Temodar), dan Paclitaxel.

90
Komplikasi Kanker Kulit

Komplikasi yang terdapat terjadi antara lain : Selulitis adalah lesi


kanker yang terkontaminasi bakteri, tanda-tanda yang dapat dilihat pada
kulit adalah tanda-tanda inflamasi seperti rubor, kalor, dolor, dan
functiolesa. Abses pada kulit. Penyebaran kanker ke organ lain terutama
pada jenis Melanoma Maligna yang merupakan tipe yang paling sering
bermetastasis ke organ lain dan dengan jarak yang jauh. Peningkatan
resiko infeksi diakibatkan oleh kurangnya higienitas saat perawatan lesi
maupun saat proses pembedahan. Terjadi efek samping akibat radioterapi
seperti kulit terbakar, susah menelan, lemah, kerontokan rambut, nyeri
kepala, mual muntah, berat badan menurun, kemerahan pada kulit. Terjadi
efek samping akibat kemoterapi seperti anorexia, anemia aplastik,
trombositopeni, leukopeni, diare, rambut rontok, mual muntah, mulut
kering, dan rasa lelah.

Prognosis Kanker Kulit

Prognosis Kanker kulit disesuaikan dengan masing-masing tipenya.


Pada Karsinoma Sel Basal prognosisnya cukup baik bila deteksi dan
pengobatannya dilakukan secara cepat dan tepat. Pada Karsinoma Sel
Skuamosa prognosisnya tergantung pada diagnosis dini, cara pengobatan
dan keterampilan dokter, serta prognosis yang paling buruk bila tumor
ditemukan diatas kulit normal (de novo), sedangkan tumor yang ditemukan
pada kepala dan leher prognosisnya lebih baik daripada di tempat lain.
Demikian juga prognosis yang ditemukan di ekstrimitas bawah lebih buruk
daripada ekstrimitas atas. Pada Melanoma Maligna prognosis penyakitnya
adalah buruk. Yang mempengaruhinya adalah lokasi tumor primer,
stadium, organ yang telah terinfiltrasi (metastasis ke tulang dan hati lebih
buruk daripada ke kelenjar getah bening dan kulit), jenis kelamin (wanita
lebih baik daripada laki-laki), melanogen di urin (bila terdapat melanogen di
urin prognosisnya lebaih buruk), dan kondisi hospes (jika fisik lemah dan
imun menurun prognosisnya lebih buruk)

DAFTAR PUSTAKA

1. Budimulja Unandar. Morfologi Dan Cara Membuat Diagnosis; Rata


IGA. Tumor Kulit. Dalam: Djuanda Adhi, Hamzah Mochtar, Aisah
Siti, penyunting. Buku Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi ke-
IV.Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia, 2005; h.35,229-238
2. Anonymous. Melanoma Skin Cancer. American Cancer Society
201;1-52
3. Buljan Marija, Bulana Vedrana, and Sandra Stanic. Variation in
Clinical Presentation of Basal Cell Carcinoma. University
Department of Dermatology and Venereology Zagreb Croatia, 2008,
p 25-30.

91
4. NR Telfer and C.A. Mortont. Guidelines For The Management of
Basall Cell Carcinoma. British Journal Of Dermatology, 2008, p: 35-
48.
5. Pfister David, and Alan C. Harpen. Skin Squamos Cell Cancer : The
Time Is Right For Greater Involvement of The Medical Oncologist.
Journal of Clinical Oncology, 2007;1953-1954.
6. NR, Colver GB, and Morton CA. Guidelines For The Management of
Basal Cell Carcinoma. British Journal of Dermatology. 2008;35-48
7. College of American Pathologists. Skin Cancer. Squamous Cell
Carcinoma. 2010;1-2
8. BMJ Group. Skin Cancer (Squamous Cell). 2009:1-3
9. Anonymous. Skin Cancer Melanoma. British Medical Journal, 2006,
p:1-5

Q. PSORIASIS VULGARIS

Definisi

Psoriasis berasal dari bahasa Yunani ―psora‖ yang berarti gatal,


ketombe atau ruam, meskipun sebagian besar pasien tidak mengeluhkan
rasa gatal. Psoriasis merupakan penyakit multifaktor dengan beberapa
predisposisi seperti faktor genetik, lingkungan, infl amasi (dimediasi proses
imunologis), serta beberapa faktor penyerta seperti obesitas, trauma,
infeksi, serta defi siensi bentuk aktif vitamin D3.

Epidemiologi

Prevalensi psoriasis bervariasi antara 0,1- 11,8% di berbagai


populasi dunia. Insidens di Asia cenderung rendah (0,4%). Tidak ada
perbedaan insidens pada pria ataupun wanita.4 Beberapa variasi klinisnya
antara lain psoriasis vulgaris (85-90%) dan artritis psoriatika (10%). Seperti
lazimnya penyakit kronis, mortalitas psoriasis rendah namun morbiditas
tinggi, dengan dampak luas kualitas hidup pasien ataupun kondisi
sosioekonominya.3,57,8 Penyakit ini terjadi pada segala usia, tersering
pada usia 15-30 tahun.4 Puncak usia kedua adalah 57-60 tahun.8 Bila
terjadi pada usia dini (15-35 tahun), terkait HLA (HumanLeukocyte Antigen)
I antigen (terutama HLA Cw6), serta ada riwayat keluarga, lesi kulit akan
lebih luas dan persisten.

Gambaran Klinis

Psoriasis merupakan penyakit infl amatorik kronik dengan


manifestasi klinis pada kulit dan kuku. Lesi kulit biasanya merupakan plak
eritematosa oval, berbatas tegas, meninggi, dengan skuama berwarna
keperakan, hasil proliferasi epidermis maturasi prematur dan kornifi kasi
inkomplet keratinosit dengan retensi nuklei di stratum korneum
(parakeratosis). Meskipun terdapat beberapa predileksi khas seperti pada
siku, lutut, serta sakrum, lesi dapat ditemukan di seluruh tubuh.

92
Gambaran klinis lain yang dapat menyertai adalah artritis psoriatika
pada sendi interfalang jari tangan, distrofi kuku, dan lesi psoriatik nail bed.

Lesi klasik psoriasis adalah plak eritematosa berbatas tegas,


meninggi, diselubungi oleh skuama putih. Lesi kulit cenderung simetris,
meskipun dapat unilateral.

Diagnosis

Anamnesis

Salah satu hal yang pertama kali penting ditanyakan adalah onset
penyakit dan riwayat keluarga, karena onset dini dan riwayat keluarga
berkaitan dengan tingginya ekstensi dan rekurensi penyakit. Selain itu,
tentukan apakah lesi merupakan bentuk akut atau kronis, serta keluhan
pada persendian, karena kemungkinan artritis psoriatika pada pasien
dengan riwayat pembengkakan sendi sebelum usia 40 tahun.

93
Lesi kronis cenderung stabil berbulan-bulan hingga bertahun-tahun,
sedangkan dalam bentuk akut, lesi dapat muncul mendadak dalam
beberapa hari. Kemungkinan relaps juga bervariasi antar individu. Pasien
yang sering relaps biasanya memiliki lesi yang lebih berat, cepat meluas,
melibatkan area tubuh yang lebih luas, sehingga terapi harus lebih agresif.

Klasifi kasi Klinis Lesi Kulit Psoriasis

1. Psoriasis Vulgaris/Tipe Plakat Kronis/Chronic Stationary Psoriasis

Merupakan bentuk tersering (90% pasien),dengan karakteristik klinis plakat


kemerahan,simetris, dan berskuama pada ekstensorekstremitas.

2. Psoriasis Guttata (Eruptif )

Guttata berasal dari bahasa Latin ―Gutta‖ yangberarti ―tetesan‖, dengan lesi
berupa papulkecil (diameter 0,5-1,5 cm) di tubuh bagianatas dan
ekstremitas proksimal.

3. Psoriasis Plakat Berukuran Kecil

Pada tipe ini, lesi muncul pada usia yanglebih tua, kronis, berukuran lebih
besar(1-2 cm), dengan skuama lebih banyak dantebal. Biasanya muncul
pada lanjut usia dibeberapa negara Asia.

94
4. Psoriasis Inversa

Pada tipe ini muncul di lipatan-lipatan kulitseperti aksila, genitokruris, serta


leher. Lesibiasanya berbentuk eritema mengkilatberbatas tegas dengan
sedikit skuama,disertai gangguan perspirasi pada area yangterkena.

5. Psoriasis Eritrodermik

Tipe ini mengenai hampir seluruh bagiantubuh, dengan efl oresensi utama
eritema.Skuama tipis, superfi sial, tidak tebal, sertamelekat kuat pada
permukaan kulit dibawahnya seperti psoriasis pada umumnya,dengan kulit
yang hipohidrosis. Risikohipotermia sangat besar karena vasodilatasiluas
pada kulit.

6. Psoriasis Pustular

Psoriasis pustular memiliki beberapa variasisecara klinis seperti psoriasis


pustulargeneralisata (Von Zumbuch), psoriasispustular annular, impetigo
herpetiformis,dan psoriasis pustular lokalisata (pustulosispalmaris et
plantaris dan akrodermatitiskontinua).

7. Sebopsoriasis

Sebopsoriasis ditandai dengan adanya plakeritematosa dengan skuama


berminyakpada area kulit yang seboroik (kulit kepala,glabella, lipatan
nasolabialis, perioral, sertasternum).

8. Napkin Psoriasis

Bentuk ini biasanya muncul pada usia 3-6bulan di area kulit yang terkena
popok (diaperarea).

9. Psoriasis Linear

Bentuk yang jarang. Lesi kulit berupa lesilinear terutama di tungkai, kadang
munculsesuai dermatom kulit tungkai. Kadangmerupakan bentuk dari
nevus epidermal inflamatorik linear verukosa.

95
Manifestasi Klinis Psoriasis di Berbagai Organ

1. Kuku

Perubahan kuku muncul pada sekitar 40% pasien dengan psoriasis.


Lekukan kuku (nailpitting) merupakan gambaran yang paling sering
muncul, pada berbagai jari kecuali jempol. Deformitas kuku lainnya akibat
kerusakan matriks kuku adalah onikodistrofi (kerusakan lempeng kuku),
crumbling nail, serta titik kemerahan pada lunula.

2. Geographic Tongue

Geographic tongue atau benign migratory glossitis merupakan kelainan


idiopatik yang berakibat hilangnya papil fi liformis lidah. Lesi biasanya
berupa bercak eritematosa berbatas tegas menyerupai peta dan
berpindah-pindah.

3. Artritis Psoriatika

96
Merupakan bentuk klinis psoriasis ekstrakutan yang paling sering muncul,
pada sekitar 40% pasien psoriasis. Terkait kuat dengan faktor genetik.

Penatalaksanaan

Tatalaksana psoriasis adalah terapi supresif, tidak menyembuhkan


secara sempurna, bertujuan mengurangi tingkat keparahan dan ekstensi
lesi sehingga tidak terlalu mempengaruhi kualitas hidup pasien.

Terapi Topikal

Sebagian besar kasus psoriasis dapat ditatalaksana dengan


pengobatan topikal meskipun memakan waktu lama dan juga secara
kosmetik tidak baik, sehingga kepatuhan sangat rendah.

1. Kortikosteroid

Glukokortikoid dapat menstabilkan dan menyebabkan translokasi


reseptor glukokortikoid. Sediaan topikalnya diper gunakan sebagai lini
pertama pengobatan psoriasis ringan hingga sedang di area fl eksural dan
genitalia, karena obat topikal lain dapat mencetuskan iritasi.

2. Vitamin D3 dan Analog

Setelah berikatan dengan reseptor vitamin D, vitamin D3 akan


meregulasi pertumbuhan dan diferensiasi sel, mempengaruhi fungsi imun,
menghambat proliferasi keratinosit, memodulasi diferensiasi epidermis,
serta menghambat produksi beberapa sitokin pro-infl amasi seperti
interleukin 2 dan interferon gamma. Analog vitamin D3 yang telah
digunakan dalam tatalaksana penyakit kulit adalah calcipotriol,
calcipotriene, maxacalcitrol, dan tacalcitol.

3. Anthralin (Dithranol)

Dithranol dapat digunakan untuk terapi psoriasis plakat kronis,


dengan efek antiproliferasi terhadap keratinosit dan antiinfl amasi yang
poten, terutama yang resisten terhadap terapi lain. Dapat dikombinasikan
dengan phototherapy UVB dengan hasil memuaskan (regimen Ingram).

4. Tar Batubara

Penggunaan tar batubara dan sinar UV untuk pengobatan psoriasis


telah diperkenalkan oleh Goeckerman sejak tahun 1925. Efeknya antara
lain mensupresi sintesis DNA dan mengurangi aktivitas mitosis lapisan
basal epidermis, serta beberapa komponen memiliki efek antiinfl amasi.

5. Tazarotene

Merupakan generasi ketiga retinoid yang dapat digunakan secara


topikal untuk mereduksi skuama dan plak, walaupun efektivitasnya

97
terhadap eritema sangat minim. Efi kasinya dapat ditingkatkan bila
dikombinasikan dengan glukokortikoid potensi tinggi atau phototherapy.

6. Inhibitor Calcineurin Topikal

Takrolimus (FK 506) merupakan antibiotik golongan makrolid yang


bila berikatan dengan immunophilin (protein pengikat FK506), membentuk
kompleks yang menghambat transduksi sinyal limfosit T dan transkripsi
interleukin 2. Meskipun takrolimus tidak efektif dalam pengobatan plak
kronis psoriasis, namun terbukti efektif untuk

7. Emolien

Emolien seperti urea (hingga 10%) sebaiknyadigunakan selama


terapi, segerasetelah mandi, untuk mencegah kekeringanpada kulit,
mengurangi ketebalan skuama,mengurangi nyeri akibat fi sura,
danmengurangi rasa gatal pada lesi tahapawal.

Phototherapy

dapat mendeplesi sel limfositT secara selektif, terutama di


epidermis,melalui apoptosis dan perubahan responsimun Th1 menjadi Th2.

1. Sinar Ultraviolet B (290-320 nm)

Terapi UVB inisial berkisar antara 50-75%minimal erythema dose


(MED). Tujuan terapiadalah mempertahankan lesi eritemaminimal sebagai
indikator tercapainya dosisoptimal. Terapi diberikan hingga remisi
totaltercapai atau bila perbaikan klinis lebihlanjut tidak tercapai dengan
peningkatandosis.

2. Psoralen dan Terapi Sinar Ultraviolet A(PUVA)

PUVA merupakan kombinasi psoralendan longwave ultraviolet A


yang dapatmemberikan efek terapeutik, yang tidaktercapai dengan
penggunaan tunggalkeduanya.

3. Excimer Laser

Diindikasikan untuk tatalaksana pasienpsoriasis dengan plak


rekalsitran, terutama dibahu dan lutut.

4. Terapi Fotodinamik

Terapi fotodinamik telah dilakukan padabeberapa dermatosis infl


amatorik termasukpsoriasis. Meski demikian, terapi ini tidakterbukti
memuaskan.

Terapi Obat Sistemik Per Oral

1. Metotreksat

98
Metotreksat (MTX) merupakan pilihan terapiyang sangat efektif bagi
psoriasis tipe plakkronis, juga untuk tatalaksana psoriasisberat jangka
panjang, termasuk psoriasiseritroderma dan psoriasis pustular.
MTXbekerja secara langsung menghambathiperproliferasi epidermis
melalui inhibisidi hidrofolat reduktase. Efek antiinfl amasi disebabkanoleh
inhibisi enzim yang berperandalam metabolisme purin.

2. Acitretin

Acitretin merupakan generasi kedua retinoidsistemik yang telah


digunakan untukpengobatan psoriasis sejak tahun 1997.Monoterapi
acitretin paling efektif bila diberikanpada psoriasis tipe eritrodermikdan
generalized pustular psoriasis.

3. Siklosporin A (CsA)

CsA per oral merupakan sangat efektif untukpsoriasis kulit ataupun


kuku, terutama pasienpsoriasis eritrodermik.

4. Ester Asam Fumarat

Preparat ini diabsorbsi lengkap di usushalus, dihidrolisis menjadi


metabolit aktifnya,monometilfumarat, yang akan menghambatproliferasi
keratinosit serta mengubahrespons sel Th1 menjadi Th2. Terapi ini
dapatdiberikan jangka lama (>2 tahun) untukmencegah relaps ataupun
singkat (hinggatercapai perbaikan).

5. Sulfasalazine

Merupakan agen terapi sistemik yangjarang digunakan untuk


tatalaksanapsoriasis.

6. Steroid Sistemik

Steroid sistemik tidak rutin dalam tatalaksanapsoriasis, karena


risiko kambuhtinggi jika terapi dihentikan. Preparat inidiindikasikan pada
psoriasis persisten yangtidak terkontrol dengan modalitas terapi lain,bentuk
eritroderma, dan psoriasis pustular(Von Zumbuch).

7. Mikofenolat Mofetil

Merupakan bentuk pro-drug asammiko fenolat, yaitu inhibitor inosin


5’monophosphate dehydrogenase. Asammikofenolat mendeplesi guanosin
limfositT dan B serta menghambat proliferasinya,sehingga menekan
respons imun danpembentukan antibodi.

8. 6-Thioguanin

99
Merupakan analog purin yang sangatefektif untuk tatalaksana
psoriasis. Efeksamping yang sering adalah mual, diare,serta gangguan
fungsi hepar dan supresisumsum tulang.

9. Hidroksiurea

Hidroksiurea merupakan anti-metabolityang dapat digunakan


secara tunggaldalam tatalaksana psoriasis, tetapi 50%pasien yang
berespons baik terhadapterapi ini mengalami efek samping supresisumsum
tulang (berupa leukopenia atautrombositopenia) serta ulkus kaki.

Terapi Kombinasi

Terapi kombinasi dapat meningkatkanefektivitas dan mengurangi


efek sampingterapi, serta dapat memberikan perbaikanklinis yang lebih
baik dengan dosis yanglebih rendah. Kombinasi yang biasa diberikanuntuk
artritis infl amatorik adalah MTX danagen anti-TNF, yang juga dapat
diberikanpada psoriasis rekalsitrans.

Terapi Biologis

Terapi biologis merupakan modalitas terapiyang bertujuan


memblokade molekulspesifi k yang berperan dalam
patogenesispsoriasis.Agen-agen biologis memiliki efektivitasyang setara
dengan MTX dengan risikohepatotoksisitas yang lebih rendah.
Meskidemikian, harganya cukup mahal, sertamemiliki berbagai efek
samping sepertiimunosupresi, reaksi infus, pembentukanantibodi, serta
membutuhkan evaluasikeamanan penggunaan jangka panjang.Oleh
karena itu, terapi ini hanya diindikasikanbila penyakit tidak berespons atau
memilikikontraindikasi terhadap MTX.

1. Alefacept

Merupakan gabungan human lymphocytefunction associated


antigen (LFA)-3 denganIgG 1 yang dapat mencegah interaksi antaraLFA-3
dan CD2, sehingga menghambataktivasi sel limfosit T. Oleh karena
itu,alefacept dapat mengurangi proses infl amasi.Walaupun tidak
memberikan responsbaik pada 1/3 pasien, pemberian berulangterbukti
dapat memperbaiki kondisi klinispasien psoriasis.

2. Efalizumab

Efalizumab (anti-CD11a) merupakanhumanized monoclonal


antibody yang digunakanuntuk tatalaksana psoriasisvulgaris (tipe plakat),
yang langsungmemblokade CD11a (sub unit LFA 1), sehinggamencegah
interaksi LFA 1 denganintercellular adhesion molecule 1. Blokadeini
mengurangi aktivasi sel limfosit Tdan adhesi sel T ke keratinosit. Meski
demikian, eksaserbasi gejala kerap terjadi di akhir pengobatan, diperlukan
penelitian terkait keamanan dan tolerabilitas jangka panjangnya.

100
3. Antagonis Tumor Necrosis α (TNF α)

TNF α merupakan protein homosimetrik yang memediasi aktivitas


pro-infl amatorik. Saat ini terdapat 3 jenis obat yang sudah dipakai di
Amerika Serikat, yaitu etanercept,infl iximab, dan adalimumab. Etanercept
diindikasikan untuk psoriasis plakat kronis moderat sampai berat, sebelum
phototherapy dan terapi sistemik. Infliximab dan adalimumab adalah dua
regimen yang telah disetujui oleh US Foodand Drugs Administration untuk
terapi artritis psoriatika, dan terbukti lebih baik dibandingkan etanercept
pada psoriasis tipe plakat kronis. Meski demikian, efek imunosupresi dan
keamanannya harus dipertimbangkan untuk penggunaan jangka panjang.

4. Anti-interleukin 12/Interleukin 23 P40

Blokade interleukin 12 yang penting dalam diferensiasi sel Th1 dan


interleukin 23 merupakan dua mekanisme penting untuk tatalaksana
psoriasis tipe plakat kronis.4

Prognosis

Psoriasis guttata biasanya akan hilang sendiri (self limited) dalam


12-16 minggu tanpa pengobatan, meskipun pada beberapa pasien menjadi
lesi plakat kronik. Psoriasis tipe plakat kronis berlangsung seumur hidup,
dan interval antar gejala tidak dapat diprediksi. Remisi spontan dapat
terjadi pada 50% pasien dalam waktu yang bervariasi. Eritroderma dan
generalizedpustular psoriasis memiliki prognosis yang lebih buruk dengan
kecenderungan menjadi persisten.

DAFTAR PUSTAKA

1. Manuel BM. Systemic treatment of severe psoriasis. N Eng J Med. 1991;


324(5): 333-4.

2. Greaves MW, Weinstein GD. Treatment of psoriasis. N Eng J Med.


1995; 332(9): 581-7.

R. ICHTHYOSIS VULGARIS

Definisi

101
Ichthyosis secara klinis dan genetik merupakan kelompok
kelainan kulit heterogen, yang digambarkan oleh adanya skuama yang
difus, uniform dan gambaran skuama persisten tanpa keterlibatan mukosa
atau ekstra-kutan. Sedangakan skuama menggambarkan adanya
perubahan diferensiasi epidermis. Kata ―ichthys‖ berasal dari bahasa
Yunani yang berarti ikan, hal ini menunjukkan kesamaan gambaran kulit
dengan sisik ikan. Ichthyosis juga dapat dimakni sebagai suatu kelompok
kelainan yang ditandai dengan fungsi barrier kulit yang abnormal, kelainan
keratinisasi, dan deskuamasi.

Ichthyosis merupakan kelompok kelainan keratinisasi atau


kornifikasi. Karakteristiknya berupa kulit yang kering, kasar pada
area tubuh yang luas. Kebanyakan ditentukan secara genetik,
sementara yang lainnya mungkin di dapat dan berkembang sehubungan
dengan berbagai penyakit sistemik atau bentuk yang jelas pada sindrom
genetis tertentu.

Epidemiologi

Ichtyosis vulgaris merupakan tipe ichtyosis yang paling sering


dengan insiden 1 dari 250 individu berdasarkan survey yang dilakukan
pada 6.051 anak sekolah di Inggris. Kelainan ini dapat diturunkan secara
dominan autosomal atau sporadik, sehingga pasien memilki presentasi
yang beragam. Angka kejadian tidak berbeda antara laki-laki dan
perempuan. Onset penyakit umumnya dimulai pada masa bayi atau anak,
namun tidak saat lahir. Onsetnya pada usia 3-12 bulan.

Gambaran Klinis

Ichtyosis vulgaris merupakan ichtyosis yang paling sering


dan biasanya ringan. Meskipun kulit bayi biasanya normal, penyakit ini
sering bermanifestasi pada tahun pertama. Skuama pada ichthyosis
vulgaris permukaan ekstensor ekstremitas tanpa terkenanya fleksura.
Bagian antecubiti dan fossa poplitea biasanya sedikit terkena. Skuama
yang berwarna putih (white scale) dapat mengenai area yang luas,
terutama pada ekstremitas bawah (yang biasanya terkena paling
parah). Skuama melekat pada kulit pada bagian tengahnya dan
dengan sisinya terdapat fisura superfisial yang terbatas stratum
korneum (cracking) pada sisinya. Sisi sisik terangkat sehingga kulit terasa
kasar jika diraba.

Beberapa kelainan lain dapat ditemukan pada ichthyosis vulgaris.


Hiperlinear palmar sering ditemukan dan beberapa pasien dapat
memilki penebalan telapak tangan/kaki yang mendekati keratoderma.
Keratosis piliaris cukup sering ditemukan, bahkan pada ichtyosis vulgaris
yang ringan, dan biasanya mengenai lengan bagian luar, bagian
ekstensor paha, pantat. Atopi juga sering ditemukan dan bisa
bermanifestasi sebagai hay fever, eczema, atau asma. Temuan-

102
temuan ini dapat mengacaukan diagnosis karena hiperliniar palmar
dan keratosis piliaris dapat ditemukan pada individu yang atopi tanpa
ichtyosis vulgaris. Jarang terjadi, pasien dengan ichtyosis vulgaris bisa
memilki hypohidrosis dengan intoleransi terhadap panas. Terdapat variasi
yang besar dalam severitas manifestasi klinis pada masing masing individu
yang terkena dalam satu keluarga. Kondisi ini akan memburuk pada cuaca
dingin atau kering dan membaik saat cuaca hangat atau pada lingkungan
yang lembab dimana penyakit dapat menghilang secara dramatis.

Diagnosis

Anamnesis

a. Ichthyosis Herediter

Pada saat lahir kulit pasien iktiosis vulgaris herediter terlihat dan
teraba normal, namun kulit akan perlahan-lahan menjadi kasar dan kering
pada masa kanak- kanak. Kulit akan tampak bersisik dan
cenderung tampak lebih menonjol pada permukaan ekstensor
ekstremitas dan tidak ditemukan pada permukaan fleksura. Area popok
biasanya tidak terkena. Bagian kening dan pipi mungkin terlibat pada tahap
awal, namun kulit yang bersisik biasanya menghilang pada area
tersebut seiring dengan pertambahan usia. Gejala yang tampak jelas
biasanya terjadi pada musim dingin.

Pada iktiosis vulgaris herediter, mungkin sulit dilakukan didiagnosis


karena adanya variasi pada derajat penetrasi dan perbaikan umum dari
gejala seiring dengan waktu. Kebanyakan pasien Ichthyosis vulgaris
herediter memiliki manifestasi atopik yg terkait (asma, eksema, hay fever).

103
Kondisi atopik juga dapat ditemukan pada banyak anggota keluarga yang
lain dengan atau tanpa gejala Ichthyosis vulgaris.

b. Ichthyosis Didapat

Ichthyosis didapat secara klinis tidak bisa dibedakan dari Ichthyosis


herediter, namun Ichthyosis didapat biasanya terkait dengan penyakit
sistemik. Tampakan dari iktiosis pada dewasa dapat muncul sebelum atau
setelah diagnosis penyakit sistemik. Keparahan penyakit bervariasi
berdasarkan perjalanan dari penyakit sistemik yang terkait. Ichthyosis
didapat biasanya terkait dengan kanker (khususnya limfoma,
sarkaidosis, lepra, penyakit tiroid, hiperparatiroidisme, gangguan nutrisi,
gagal ginjal kronis, transplantasi sumsum tulang dan HIV). Penyakit
autoimun seperti SLE dan dermatomiositis juga terkait dengan penyakit ini
enis-jenis kanker yang kebanyakan terkait dengan iktiosis didapat adalah
hodgkin disease, non hodgkin limfoma (meliputi mikosis
fungoides), myeloma, sarkoma kaposi, leiomiosarkoma dan kanker pada
paru-paru, payudara, ovarium, dan serviks. Penggunaan obat-obatan
tertentu juga dikaitkan dengan iktiosis didapat, diantaranya asam
nikotinat, triparanol, butirofenon, diksirazin, simetidin, dan klofazimin.

Jenis-jenis kanker yang kebanyakan terkait dengan iktiosis didapat


adalahhodgkin disease, non hodgkin limfoma (meliputi mikosis
fungoides), myeloma,sarkoma kaposi, leiomiosarkoma dan kanker pada
paru-paru, payudara, ovarium, danserviks. Penggunaan obat-obatan
tertentu juga dikaitkan dengan iktiosis didapat,diantaranya asam
nikotinat, triparanol, butirofenon, diksirazin, simetidin, danklofazimin.

Pemeriksaan Fisik

Ichthyosis vulgaris didapat maupun herediter ditandai dengan


skuama pada kulit yang simetris yang bervariasi mulai dari kekasaran
yang tidak bisa dilihat dengan jelas hingga kekeringan yang terlihat jelas.
Skuama biasanya kecil, berbatas tegas, ireguler, dan bentuknya poligonal,
biasanya tampak mengeriting pada tepi- tepinya yang memberikan sensasi
kasar pada perabaan. Skuama bervariasi mulai dari ukuran 1mm-1cm dan
warnanya mulai dari warna putih, abu-abu kotor hingga warna coklat.

Pada orang yang berkulit gelap, skuamanya juga tampak lebih


gelap. Jenis skuama yang berbeda mungkin juga ditemukan pada bagian
tubuh yang lain walaupun pada pasien yang sama. Sebagian besar
skuama ditemukan pada permukaan ekstensor ekstremitas, dengan batas
yang tegas, tanpa terkena pada bagian fleksura. Ekstremitas bawah
biasanya lebih sering diserang dibandingkan ekstremitas atas.
Dibandingkan dengan bagian tubuh yang lain, skuama pada bagian betis
lebih tebal, lebih gelap dan tersusun dengan pola mozaik. Jika trunkus ikut
terlibat skuama cenderung terlihat pada bagian punggung dibandingkan
bagian abdomen. Hiperkeratosis sering kali ditemukan pada telapak

104
tangan dan telapak kaki, sehingga tampak kotor. Kulit pada area tersebut
dapat dengan mudah membentuk fisura yang nyeri khususnya pada cuaca
yang kering. Infeksi sekunder pada fisura sering ditemukan. Keratosis
pilaris atau hiperkeratosis folikuler terjadi pada bagian pipi dan leher,
bagian dorsum dari lengan atas, pantat, dan paha. Kondisi ini terdiri dari
papula parafolikuler yang runcing yang ketika dipalpasi terapa seperti keju.
Kulit yang kering pada bagian sentral papul tampak berwarna putih dan
sering dikira sebagai pus.

Pruritus atau rasa gatal mungin terjadi akibat kulit yang kering
walaupun tidak ada tanda inflamasi. Sebagai hasilnya, rasa gatal dan
garukan dapat menyebabkan eritema pada daerah yang terkena.

105
Pemeriksaan Penunjang

Dermatopatologi

Hiperkeratosis kompakta, pengurangan atau hilangnya


stratum granuler, stratum germinativum merata. Temuan histopatologi
juga dapat dibedakan berdasarkan :

 Homozigot: hyperkeratosis ringan, tidak ada lapisan granuler


 Heterozigot: ada lapisan granuler (mikroskop cahaya), tapi di
mikroskop elektron ditemukan granul keratohialin sedikit dengan
bentuk yang abnormal dan rapuh

Penatalaksanaan

Tujuan utama terapi iktiosis adalah untuk menghilangkan


skuama dan mengurangi kekeringan kulit (xerosis) tanpa menyebabkan
iritasi yang berat. Karena itu, beberapa hal harus dipertimbangkan dalam
melakukan terapi.

1. Hidrasi stratum korneum dan lubrikasi untuk meningkatkan fungsi barier


dan memfasilitasi deskuamasi. hidrasi diikuti dengan pemberian
petrolatum. Krim yang mengandung urea yang dapat mengikat air pada
stratum korneum.

2. Agen keratolitik seperti propylene glycol, glycerina, campuran asal laktat.


6% asam salisilat dalam propylene glycol dan alcohol.

3. Retinoid sistemik. Isotretinoin dan acitretin sangat efektif namun perlu


monitoring untuk efek toksik obat. Hanya kasus berat yang membutuhkan
terapi intermitten. Pengobatan iktiosis vulgaris melibatkan penggunaan asal
salisilat topical, asam laktat, atau lotion urea, krim, atau ointment.
Obat-obat ini dapat melembabkan dan melembutkan kulit, dan
membantu deskuamasi.

106
Komplikasi

Penyakit ini menyebabkan kulit yang tetap kering selama musim


dingin dan menyebabkan mudah teriritasi oleh agen-agen tertentu. Hal ini
perlu difikirkan dalam menentukan pekerjaan. Ichthyosis vulgaris
dapat muncul bersama/berkombinasi dengan eczema atopik, karena
mutasi pada gen filagrin merupakan predisposes kuat untuk eczema atopik.

Prognosis

Ichthyosis vulgaris bisa mernjadi sebuah gangguan, tapi


biasanya jarang menimbulkan gangguan kesehatan. Biasanya
kondisinya ini menghilang setelah dewasa. Tapi bisa kambuh beberapa
tahun kemudian. Penyakit ini keadaannya lebih baik saat musim panas,
iklim yang lembab, dan pada dewasa. Keratosis pilaris terjadi pada pipi
selama masa kanak-kanak biasanya membaik saat dewasa.

DAFTAR PUSTAKA

1. Djuanda A. 2007. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Ed 5. Fakultas


Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta
2. Laksmintari, puspita. 2009. Penyakit kulit dan kelamin. sunda
kelapa pustaka. Jakarta
3. Siregar, R,S. 2005. Saripati Penyakit Kuli Ed 2. Penerbit Buku
Kedokteran EGC. Jakarta
4. Harahap, Marwali. 2000. Ilmu Penyakit Kulit. Penerbit Hipokrates.
Jakarta

S. KEGAWATDARURATAN PENYAKIT KULIT

A. ERITEMA MULTIFORME

DEFINISI

Eritema multiforme merupakan reaksi pembuluh darah pada dermis


dengan perubahan sekunder pada epidermis yang manifestasi klinisnya
berupa gambaran kkhas berbentuk popular eritematus berbentuk iris dan
lesi vesikobulosa dengan predileksi pada ekstrimitas (terutama telapak
tangan dan telapak kaki) dan membran mukosa.

SINONIM

Herpes iris, dermatostomatitis, eritema eksudativum multiforme

EPIDEMIOLOGI

Penyakit ini lebih sering terjadi pada wanita daripada pria. Onset
50% pada usia 20 tahun

107
ETIOLOGI

Penyebab eritema multiforme adalah reaksi kulit terhadap berbagai


macam stimulus antigen, diantaranya obat-obatan seperti sulfonamide,
fenitoin, barbiturate, fenilbutazon, penisilin dan alopurinol. Selain itu,
peradangan oleh bakteri dan virus tertentu juga bisa menjadi pencetus
reaksi, misalnya setelah infeksi herpes simplex dan mycoplasma.
Rangsangan fisik misalnya sinar matahari dan hawa dingin, faktor endokrin
seperti kehamilan dan menstruasi, dan penyakit keganasan juga bisa
menimbulkan reaksi. Namun, Lebih dari 50% etiologi penyakit ini adalah
idiopatik.

Pada anak-anak dan dewasa muda, erupsi biasanya disebabkan


oleh infeksi, sedangkan pada orang dewasa, erupasi disebabkan oleh obat-
obatan dan keganasan.

GEJALA KLINIS

Lesi Kulit

Lesi kulit dapat berkembnag sampai lebih dari 10 hari. Macula


terjadi dalam 48 jam pertama, yang kemudian diikuti oleh pembentukan
papula (1 – 2 cm) dengan vesikel atau bula di tengahnya, sehingga
membentuk gambaran lesi target/iris.

Predileksi di tangan bagian dorsal, telapak tangan dan telapak kaki,


lengan bawah, kaki, wajah, siku, lutut, panis (50%) dan vulva. Lesi bisa
terlokalisasi atau generalisasi, bilateral dan sering simetris.

Membran mukosa

Berupa erosi dengan pembentukan membran fibrin, kadang-kadang


disertai ulkus. Predileksi di konjungtiva, nasal, bibis, orofaring, vulva dan
anus.

Organ lain

Sering terjadi pada mata, berupa ulserasi kornea dan uveitis


anterior.

108
Gejala klinis berupa spectrum yang bervariasi dari erupsi lokal kulit
dan mukosa sampai bentuk berat berupa kelainan multisistem yang dapat
menyebabkan kematian. Perjalanan penyakit dibagi menjadi tiga, yaitu
bentuk ringan (EM Minor), bentuk berat (EM Major).

EM Minor mengenai kulit dengan sedikit atau tidak ada lesi pada
membran mukosa. Lesi berupa eritema dan vesikel yang membentuk
gambaran lesi target/iris, tanpa bula dan gejala sistemik. Lokasi pada
ekstrimitas dan wajah. EM minor berulang biasanya disebabkan adanya
infeksi herpes simpleks beberapa hari sebelumnya.

EM Major biasanya terjadi akibat reaksi alergi terhadap obat. Lesi


kulit berat, luas dengan kecenderungan menjadi konfluens dan membentuk
bula, serta didapatkan Nikolsky Sign Positif pada lesi eritema. Keterlibatan
membran mukosa selalu terjadi, terutama pada konjungtiva (keratitis dan
ulserasi), faring, laring, trachea, dan vulva. Gejala sistemik berupa demam,
chellitis dan stomatitis yang mengganggu makan.

PEMERIKSAAN LABORATORIUM

Pada pemeriksaan patologi anatomi dapat terlihat reaksi inflamasi


berupa infiltrasi mononuclear sel di daerah perivascular, edema epidermis
atas, apoptosis keratinosit dengan nekrosis fokal epidermal dan
pembentukan bula subepidermal. Pada kasus berat bisa terjadi nekrosis
total epidermis seperti pada nekrolisis epidermal toksik.

DIAGNOSIS DAN DIAGNOSIS BANDING

Diagnosis berdasarkan penemuan klinis berupa lesi target yang


bilateral dan simetris. Diagnosis banding yaitu alergi obat, psoriasis, sifilis
sekunder, urtikaria, sindrom Sweet general. Keterlibatan mukosa dapat
menyerupai penyakit bulosa, fixed drugs eruption, akut lupus eritematus,
primary herpetic gingivostomatitis.

MANAJEMEN

Pencegahan

Control herpes simpleks dengan menggunakan valacyclovir atau


penciclovir oral dapat mencegah perkembangan rekuren EM minor.

Glukokortikoid

Pada kasus-kasus berat diberikan glukokortikoid sistemik berupa


prednisone 50 – 80 mg/d, devided dose, tetapi efektivitas nya belum
dibuktikan pada penelitian.

109
B. STEVENS-JOHNSON SYNDROMEDAN TOXIC EPIDERMAL
NECROLYSIS (SJS-TEN)

DEFINISI

SJS-TEN merupakan kumpulan reaksi mukokutaneus akut yang


desebabkan oleh obat-obatan dan kadang-kadang infeksi. Keduanya
ditandai dengan perluasan lesi yang cepat, macula yang berbentuk
irregular (atypical target lesion), dan keterlibatan lebih dari satu mukosa
(oral, konjunctival dan anogenital).

INSIDENSI DAN EPIDEMIOLOGI

SJS-TEN terjadi di seluruh dunia dan wanita terkena lebih banyak


daripada pria. Penyakit ini lebih sering terjadi pada dewasa dibandingkan
anak-anak. Keterlibatan HLA-A29, HLA-B12 dan DR-7 telah dibuktikan.

ETIOLOGI

Etiologi SJS-TEN adalah multifaktorial dengan obat-obatan


merupakan penyebab utama (80-90% pada TEN dan lebih dari 50% pada
SJS), dan hanya sedikit kasus yang disebabkan oleh infeksi (yang paling
sering adalah Mycoplasma pneumonia). Selain itu, SJS-TEN dapat terjadi
pada penerima vaksinasi dan graf-versus-host-disease, terutama pada
penerima sumsum tulang alogenik. Kurang dari 5% kasus tidak diketahui
penyebabnya atau disebut juga SJS-TEN idiopatik.

Faktor fisikal seperti cahaya ultraviolet dan sinar X dapat


memperburuk SJS-TEN yang disebabkan oleh obat, dengan lesi yang lebih
parah pada kulit yang terpapar sinar tersebut. Hormone, toksin dan
allergen baik yang disebarkan melalui udara maupun kontak, dan jamu-
jamuan juga dapat menjadi pemicu timbulnya SJS-TEN.

PATOGENESIS

Pathogenesis SJS-TEN belum jelas diketahui. Sering dihubungkan


dengan reaksi hipersensitivitas tipe III (reaksi kompleks imun) yang
disebabkan oleh kompleks solubel dari antigen atau metabolitnya dengan
antibody IgM dan IgG, serta hipersensitivitas tipe IV yang merupakan
reaksi yang dimediasi oleh limfosit T spesifik.

Obat-obatan yang sering menjadi penyebab: Sulfadoxine,


Sulfadiazine, Sulfasalazine, Co-Piroxicam, Hydantoin, Carbamazepin,
Barbiturat, Phenylbutazone, Isoxicam, Piroxicam, Chlormezanone,
Allopurinol, Aminopenicillin, Cephalosporin, Floroquinolone, Vancomycin,
Rifampicin, Ethambutol, Ibuprofen, Ketoprofen, Thiabendazole.

110
MANIFESTASI KLINIS

SJS-TEN memiliki gejala prodormal non spesifik seperti demam,


rhinitis, batuk, radang tenggorokan, pegal otot, nyeri sendi, nyeri dada,
muntah, dan diare selama 1 hingga 14 hari. Onset reaksi tiba-tiba berupa
macula-makula berbentuk morbili yang awalnya muncul pada wajah, leher,
dagu dan daerah tengah tubuh dan selanjutnya akan menyebar ke
ekstrimitas dan seluruh tubuh. Lesi-lesi tersebut lebih besar dari lesi target,
permukaanya rata dan lunak, dan memiliki Nikolsky Sign positif. Lsi
tersebut akan bertambah besar dan banyak dan mencapai maksimal
biasanya dalam 4 – 5 hari.

Kelainan kulit yang konfluens pada SJS hanya terdapat pada lokasi
predileksi seperti wajah, leher dan dada. Namun kelainan kulit akan
menyebar ke seluruh tubuh pada TEN. Kelainan kulit tersebut memiliki
struktur epidermis yang mudah lepas walaupun hanya dengan trauma yang
minimal.

Kelainan pada mukosa 40% terjadi pada mukosa oral, konjunctiva


bulbar, dan mukosa anogenital. Kelainan nya dapat berupa sensasi
terbakar pada konjunctiva, bibir dan mukosa bukal, eritema, serta edema.
Selain itu juga terdapat blister yang dapat pecah dan berubah menjadi
erosi yang dilapisi oleh pseudomembran berwarna putih keabuan atau
shallow apthous-like ulcers.

Lesi di oral terasa sangat nyeri dan dapat menyebar dari gusi dan
lidah ke faring, rongga hidung, bahkan dapat mencapai laring esophagus
dan saluran napas, sehingga menyebabkan kesulitan makan, hipersalivasi,
dan kesulitan bernapas. Keterlibatan konjunctiva dapat menyebabkan
inflamasi dan kemosis, vesikulasi dan erosi yang sangat nyeri serta
lakrimasi bilateral. Selain itu dapat juga menyebabkan komjunctivitis
purulenta dengan fotofobia dan/atau pseudomembran, ulkus kornea, uveitis
anterior dan panoftalmitis.

Kelainan mukosa anogenital meliputi bulla-erosi hemorrhagic yang


sangat nyeri atau lesi purulen pada fosa navicularis dan glans penis yang
menyebabkan retensi urin dan phimosis. Tanda konstitusi dari SJS-TEN
berupa demam, nyeri sendi, lemah otot dan prostration. Keterlibatan organ
internal pada SJS sukup jarang, namun pada TEN dapat melibatkan organ
gastrointestinal dan respirasi.

111
Stevens-Johnson Syndrome

Tabel 1. Perbedaan SJS, SJS-TEN, TEN

SJS SJS-TEN TEN

Primary Lesion Atypical target, Atypical target, Poorly delineates


dusky, red lesion dusky, red erythematous
lesion plaque,
epidermal
detachment
(spontan/by
friction), Atypical
target, dusky, red
lesion

Distribution Isolated lesion Isolated lesion Isolated lesion

Confluence (+) Confluence (++) Confluence (+++)

On face, trunk On face, trunk On face, trunk

Mucosal Yes Yes Yes


Involvement

Systemic Usually Always Always


Symptoms

Detachment < 10 10 – 30 >30

(%BSA)

Skin Histology Interfce Interfce Interfce


dermatitis (++), dermatitis (++), dermatitis (+),
Necrolysis (+) Necrolysis (++) Necrolysis (+++)

Toxic Epidermal Necrolysis

112
PATOLOGI

Kerusakan epidermis pada SJS ditandai dengan nekrosis sel satelit


pada stadium awal dan akan berkembang menjadi nekrosis eosinofil yang
meluas pada lapisan basal dan suprabasal sehingga dapat terlihatnya
pemisahan epidermal. Pada TEN, terdapat nekrosis total dan terlepasnya
epidermis, terdapat infiltrate sel mononuclear pada dermis papilar dengan
eksositosis ke epidermis. Nekrosis fobrinoid di beberapa organ internal
dapat terjadi pada SJS-TEN yang parah.

LABORATORIUM

Dapatditemukan peningkatan laju endap darah, leukositosis


sedang, ketidakseimbangan cairan tubuh, hipoproteinemia, peningkatan
transaminase hepar, anemia, eosinofilia, proteinuria, dan peningkatan
BUN.

DIAGNOSIS BANDING

1. Generalized Bullous Fixed Drugs Eruption

Karakteristik:

- Eritema yang besar dan terdistribusi secara tidak teratur

- Jarang terjadi keterlibatan mukosa

- Lebih menunjukan tanda-tanda inflamasi dan terdapat edema


pada dermis papilar pada pemeriksaan histopatologi

- Penyembuhan yang cepat dan tanpa sequale

2. Staphylococcal Scalded Skin Syndrome

Karakteristik:

- Disebabkan oleh toksisemia epidermolisin stafilokokus

- Terdapat akantolisis subkorneal

- Tidak terdapat kelainan mukosa dan keterlibatan organ internal

3. Physical and chemical Injury

Karakteristik:

- Disebabkan oleh kebakaran/terpapar bahan kimia seperti


kerosin dan paraffin

- Jarang terdapat keterlibatan mukosa

- Tidak terdapat bercak macula

113
- Jika terjadi nekrosis, akan melibatkan lapisan yang lebih dalam
(SJS-TEN hanya terbatas pada epidermis)

KOMPLIKASI

Kelainan kulit dapat sembuh dengan hiper/hipopigmentasi


sementara. Bekas luka tidak selalu timbul kecuali terjadi infeksi sekunder,
dimana kontraktur, alopecia dan anonchia dapat terjadi. Namun pada TEN,
timbulnya bekas luka terjadi pada 30% kasusu dimana keterlibatan pada
mata merupakan komplikasi yang berbahaya karena dapat menimbulkan
kebutaan. Lesi pada bibir dan mukosa oral dapat sembuh tanpa sequale.

Sequale:

- Kulit: luka, pigmentasi irregular, nevus nevomelanosit eruptif,


pertumbuhan kembali kuku yang abnormal

- Mata: Umum, seperti Sjorgen-like sicca syndrome dengan


kekurangan mucin pada air mata, entropion, trichiasis,
metaplasia sel gepeng, neovaskularisasi konjungtiva dan
kornea, symblepharone, punctuate keratitis, corneal scaring,
persistent photophobia, kebutaan

- Anogenitalia: phimosis, vaginal synechiae

PENATALAKSANAAN

1. Menghentikan penggunaan obat yang dicurigai

Obat yang menyebabkan timbulnya SJS-TEN harus segera diidentifikasi


dan dihentikan, hal ini dapat mengurangi risiko kematian sebanyak 30%.

2. Supresi perkembangan secara aktif

Dapat diberikan obat-obatan sebagai berikut:

a. Glukokortikoid: Prednisone, 5 – 50 mg/hari /anak 0.05 – 2 mg/kg


2 – 4 dosis. 30 – 120 mg/hari bid 3 – 4 mingu.
Metilprednisolone, 1 – 2 mg/kg/hari po  tap off

b. Immunoglobulin

c. Plasmapharesis dan hemodialisis

d. Cyclophosphamid

e. Cyclosporine

f. N-Acetylcysteine

g. Thalidomid

114
3. Penatalaksanaan suportif

- Monitor tekanan darah, hematokrit, analisis gas darah, elektrolit


dan serum protein

- Kultur bakteri dan jamur dari erosi kulit dan mukosa 2 hingga 3
kali setiap minggu

- Pemberian antibiotic profilaksis (sodium penicillic 2 x 10 juta


unit.hari)

- Kulit: epidermis yang mengelupas harus dilepaskan secara hati-


hati. Erosi kulit ditutup dengan menggunakan kasa.

- Mata: lubrikan, steroid dan antibiotic tetes diberikan beberapa


kali sehari pada lesi konjuntiva.

- Traktus respiratorius: Drainase postural dan jika diperlukan


suction secara hati-hati

- Alimentation: anestesi local sebagai pembersih mulut sebelum


makan. Diet tinggi kalori dan tinggi protein secara intravena,
namun risiko sepsis akibat pemasangan infuse juga harus
diperhatikan.

PENCEGAHAN

Pasien harus berhati-hati terhadap obat yang menyebabkan SJS-


TEN dan obat lain yang berada dalam kelas yang sama. Obat-obatn
tersebut tidak boleh dikonsumsi lagi.

PROGNOSIS

SJS-TEN akan berkembang selama 4 – 5 hari dan akan mencapai


fase plateu selama beberapa hari hingga 2 minggu, tergantung pada
tingkat keparahan penyakit dan keadaan umum pasien. Reepitelisasi kulit
akan berlangsung selama beberapa minggu.

7 faktor risiko yang dapat memperburuk prognosis:

a. Umur > 40 tahun

b. Keganasan

c. Tachycardia > 120/m

d. Pelepasan epidermis > 10 %

e. Serum urea > 10mmol/L

f. Serum glukosa > 10mmol.L

115
g. Bikarbonat < 20 mmol/L

Keadaan yang fatal disebabkan oleh sepsis, perdarahan


gastrointestinal, pneumonia, infark miokardium, gangguan jantung,
gangguan ginjal dan syok hemodinamik. Penyembuhan penyakit ini
tergolong lambat, tergantung dari adanya komplikasi. Bekas luka dan
striktur akan timbul pada lesi mukosa.

C. PEMFIGUS VULGARIS

DEFINISI

Pemfigus vulgaris merupakan suatu penyakit autoimun pada kulit


dan membaran mukosa, bisa akut maupun kronik, biasanya berupa bula
yang biasanya berakibat fatal kecuali diobati dengan obat imunosupresif.
Penyakit ini merupakan prototype dari golongan penyakit pemfigus, yaitu
penyakit-penyakit autoimun yang bersifat akantolitik dan berbentuk lepuhan
(vesikel/bula).

KLASIFIKASI PEMFIGUS

Tipe Bentuk

Pemfigus vulgaris Pemfigus vegetans : localized

Drug-induced

Pemfigus foliaceus Pemfigus eritematous : localized

Fogo selvage : endemic

Drug-induced

Paraneoplastic
pemphigus

IgA pemfigus Subcorneal pustular dermatosis

Intradermal neutrophilic IgA dermatosis

EPIDEMIOLOGI

- Lebih umum pada orang keturunan mediteranian

- Usia 40 – 60 tahun

- Pria = wanita

- Fogo selvagen, atau disebut juga pemfigus foliaceus endemic,


adalah suatu penyakit yang sama secra klinis, histologist dan

116
immunologis dengan penyakit pemfigus foliaceus biasa, namun
hanya terdapat di daerah rural di brazil terutama di daerah
sepanjang sungai. Berdasarkan distribusi geografis dan suati
studi mengenai faktor risiko lingkungan, dicurigai bahwa lalat
hitam (Simulium nigrimanum) merupakan vector dari penyakit
ini.

ETIOLOGI DAN PATOGENESIS

Merupakan pennyakit autoimun

Berdasarkan mikroskop electron:

- Studi ultrastruktural pada lesi pemfigus berpusat pada


desmosom, yang merupakan organel sel yang berperan penting
dalam perlekatan antarsel pada sel-sel epitel berlapis gepeng.
Pada lesi pemfigus ditemukan adanya retratksi tonofilamen dari
desmososom, dan kemudian lebih lanjut lagi terdapat
penurunan bahkan hilangnya desmosom.

- Terjadi destruksi desmosom pada proses akantolisis.

Berdasarkan imunopatologis:

a. Imunofluorosensi

- Ciri khas dari pemfigus yaitu ditemukannya autoantibody IgG


yang menyerang permukaan sel keratinosit

- Gambaran yang didapatkan untuk pemfigus vulgaris dan


pemfigus foliaceus sama, sehingga pemeriksaan ini tidak
dapapt membedakan kedua jenis pemfigus tersebut

- Aktivitas penyakit tidak memiliki korelasi dengan jumlah titer


antibody

b. ELISA

- Lebih sensitive dan spesifik dibandingkan imunofluoresensi

- Dapat membedakan pemfigus vulgaris dengan pemfigus


foliaceus

c. Antigen pemfigus

- Antigen pemfigus adalaah desmoglein, yaitu suatu glikoprotein


transmembran di desmosom. Desmosom merupakan organel
sel yang berperan penting dalam perlekatan antarsel.

- Terdapat dua buah isoform dari desmoglein, yaitu desmoglein 1


dan 2

117
- Pada penderita pemfigus vulgaris yang dominan menyerang
membran mukosa, terdapat anti-desmoglein 3 antibodi (anti Ds3
antibodi), sedangkan pada jenis yang dominan menyerang
mukokutaneus, terdapat anti-desmoglein 3 antibodi dan anti-
desmoglein 1 antibodi (anti-Dsg 1 antibodi)

- Pada penderita pemfigus foliaceus terdapat anti-desmoglein 1


antibodi

Patofisiologi akantolisis

Adanya antibody IgG pada sirkulasi yang berikatan pada


desmoglein 1 dan 3 di lapisan epidermis akan menginaktivasi desmosom,
selain itu juga akan mengganggu proses inkorporasi desmoglein ke dalam
desmosom sehingga pada akhirnya akan terjadi deplesi pada desmosom,
menginduksi terjadinya akantolisis.

Selain itu, terdapat system kompemsasi desmoglein, yang


menyebabkan gambaran klinis lesi pemfigus vulgaris dan pemfigus foliceus
berbeda. Pada pemfigus foliaceus, anti-Dsg 1 antibodi menyebabkan
akantolisis hanya pada lapisan superficial epidermis. Proses yang sama
juga terjadi pada pemfigus vulgaris yang menyerang membran mukosa dan
mukokutaneus.

Sedangkan pada kasus pemfigus neonatal, disebabkan maternal


IgG yang melewati plasenta secara transfer pasif dan menybabkan gejala
pada bayi.

PEMERIKSAAN FISIK

Perjalanan penyakit:

- Biasanyha dimulai di mukosa oral, dan dibutuhkan waktu


berbulan-bulan sebelum muncul lesi pada kulit.

- Dapat terjadi erupsi generalis dan akut dari bula sejak awal

- Tidak terdapat gatal, namun ada rasa terbakar dan nyeri

- Lesi yang nyeri timbul pada mulut dan menyebabkan asupan


makanan yang tidak adekuat

- Dapat muncul epistaksis, suara serak, disfagia, kelemahan otot


dan penurunan berat badan

- Pada kebnyakan kasus, penyakit ini akan berakhir denggan


kematian kecuali diobati secara agresif dengan pengobatan
imunosupresif

118
Lesi Kulit

- Jarang terasa gatal, lebih sering terasa nyeri

- Vesikel bulat atau oval dan bula berisi cairan serous yang datar
(flaccid), mudah rupture, basah, diskret, muncul pada kulit
normal dan lokasi nya acak

- Pada penderita lebih sering ditemukan erosi karena sifat bula


yang mudah rupture. Erosi terasa sangat nyeri

- Pada beberapa penderita yang memiliki lesi yang terlokalisir,


erosi memiliki kecenderugan untuk menumbuhkan jaringan
granulasi yang berlebihan seta krusta. Jenis lesi ini biasanya
muncul pada daerah intertriginosa, kulit kepala atau wajah.

- Lesi terlokalisasi atau generalis dengan pola acak

- Erosi luas yang mudah berdarah, krusta terutama pada kulit


kepala

- Nikolsky sign: pelepasan epidermis oleh tekanan jari pada


daerah sekitar lesi, yang menyebabkan terjadinya erosi.
Penekana pada bula menyebabkan erosi lateral.

Predileksi: kulit kepala, wajah, aksil, kemaluan, umbilicus. Terdapat


keterlibatan yang ekstensif di punggung pada penderita yang melakukan
bedrest.

Membran Mukosa

- Erosi pada membran mukosa yang terasa sangat nyeri,


biasanya muncul 5 bulan sebelum lesi kulit muncul dan
merupakan satu-satu nya tanda munculnya pemfigus vulgaris.

- Membran mukosa yang sering terkena yaitu mukosa oral yang


dapat menyebar hingga ke faring dan laring. Selian itu dapat
juga mengenai konjuctiva, anis, penis, vagina dan labia.

- Jarang terdapat vesikel atau bula yang intak

119
Pemfigus Vegetans

- Terdapat pada area intertrginose, perioral, leher dan kulit kepala

- Berupa plak granuloma dan purulen yang menyebar secara


sentrifugal

Pemfigus foliaceus

Lesi Kulit

- Karakteristik lesi berupa erosi yang bersisik dan berkrusta,


sering disertai dasar yang eritematous, berbatas tegas dan
tersebar dalam distribusi seboroik, yaitu pada wajah , kulit
kepala dan batang tubuh bagian atas

- Teredapat nyeri dan rasa terbakar pada lesi

- Paparan sinar matahari dan/atau panas dapat mencetuskan


timbulnya gejala

- Jarang terdapat keterlibatan mukosa

- Fogo Selvagen: - perasaan terbakar pada kulit

- Eksaserbasi penyakit oleh sinar matahari

- Lesi berkrusta

Pemfigus Eritematosa

- Dikenal juga sebagai sindrom Senear-Usher

- Merupakan bentuk terlokalisir dari pemfigus foliaceus

- Lesi muncul pada bagian malar wajah dan pada area seboroik
lainnya

- Karakteristik: ditemukan antibody ppemfigus disertai deposit


immunoglobulin dan komplemen pada daerah perbatasan
dermal-epidermal

Paraneoplastic pemfigus

- Menyrang membran mukosa

- Lesi merupakan kombinasi pemfigus vulgaris dan eritema


multiforme

Neonatal Pemfigus

120
- Bayi dari ibu yang menderita pemfigus vulgaris dapat
menimbulkan gejala klinis, histologist dan immunopatologis dari
pemfigus

- Derajat keterlibatan kulit bervariasi dari tidak ada sama sekali


hingga sangat parah dan menyebabkan aborsi spontan

Drug-Induced Pemfigus

- Penyebab yang paling signifikan: penicillamine dan captopril

- Pemfiigus foliaceus lebih sering ditemukan dibanding pemfigus


vulgaris

- Kebanyakan penderita sembuh segera setelah penggunaan


obat penyebab dihentikan

Penyakit lain yang berhubungan dengan pemfigus

- Myastheni gravis / thymoma

- Perjalanan penyakit pemfigus dan myasthenia gravis bersifat


independen satu sama lain

- Abnormalitas timus dapat muncul sebelum dan sesudah


munculnya pemfigus

PEMERIKSAAN PENUNJANG

Dermatopatologi

Pemeriksaan pada bula pada tahap awal atau batas dari bula atau
erosi dengan mikroskop cahaya memperlihatkan adanya pemisahan
keratinosit suprabasal, sehingga tampak celah di antara stratum basalis
dan lapisan diatasnya. Vesikel mengandung keratinosit yang saling
terpisah dan terkelompok (akantolitik).

pewarnaan imunofluoresensi direk dan indirek memperlihatkan


deposit IgG dan C3 pada lesi dan daerah pralesi di substansi interselular
epidermis

Serum

Pemeriksaan ELISA mendeteksi adanya autoantibody (IgG) yang


menyerang glikoprotein desmoglein 3 dan berlokasi di idesmosom

DIAGNOSIS DAN DIAGNOSIS BANDING

Diagnosis, dapat menyulitkan jika hanya terdapat lesi pada mulut,


dapat dilakukan biopsy kulit dan membran mukosa, pewarnaan

121
immunofluoresensi direk, dan deteksi autoantibody dalam sirkulasi untuk
meningkatkan kecurigaan akan penyakit ini.

Diagnosis Banding, termasuk semua penyakit kulit bula.

PENATALAKSANAAN

- Glukokortikoid, Prednison 2 – 3 mg/Kg hingga tidak ada lesi


baru yang terbentik dan hilangnya Nikolsky Sign. Setelah itu
dosis direduksi ke setengah lesi awal sehingga lesi hampir
menghilang. Lalu tapering off hingga dosis minimal.

- Terapi immunosupresif:

1. Azathioprine, 2 – 3 mg/Kg hingga lesi bersih, lalu


tapering off hingga 1 mg/Kg. MOA: menghentikan
metabolism asam nukleatpurin yang diperlukan dalam
proliferasi sel limfoid setelah terjadi stimulasi antigen.
Karena itu bersifat sitotoksik terhadap sel-sel yang
teraktivasi.

2. Methotrexate PO/IM 25 – 35 mg/minggu. Penyesuaian


dosis dilakukan seperti pada azathioprine. MOA:
sitotoksik terhadap sel-sel lomfoid

3. Cyclophosphamide, 100 – 200 mg/hari lalu direduksi


sampai 50 – 100 mg/hari. Atau terapi bolus dengan 100
mg IV 1 x/minggu atau setiap 2 minggu pada fase awal,
diikuti dengan 50 – 100 mg/hari PO.

4. Plasmapharesis, untuk penyakit yang sulit dikontrol,


diberikan pada tahap awal pengobatan untuk
menurunkan antibody. Biasanya digunakan untuk
mengobati kasus-kasus hipersensitifitas tipe III

5. Terpai Goldd untuk kasus yang lebih ringan. Dosis inisial


10 mg IM, lalu 25 – 50 mg gold sodium thionalate IM
dengan interval mingguan hingga dosis kumulatif
maksimum yaitu 1 g.

6. Mycophenolate mofetil (1 g bid)

7. High dose intravenous immunoglobulin (HIVIg) 2 g/KgBB


setiap 3 – 4 minggu

- Lainnya:

1. Kompres

2. Glukokortikoid topical dan intralesi

122
3. Antibiotic

4. Perbaikan keseimbangan cairan dan elektrolit

- Evaluasi:

1. Gejala klinis: perbaikan lesi, efek samping pengobatan

2. Pemeriksaan laboratorium: memeriksa titer antibody, efek


samoing pengobatan pada darah dan indicator metabolic

PROGNOSIS

Penyakit ini memiliki tingkat kematian tinggi.

T. LUPUS ERITEMATOSA

Definisi
Lupus eritematosus (LE) adalah penyakit jaringan ikat heterogen
disertai aktivasi sel B poliklonal (terjadi otoimunitas yang ditujukan terutama
pada konstituen molekuler nukleosom dan ribonukleoprotein) dan diyakini
diakibatkan oleh interaksi faktor host (gen sensitif, hormon) dan lingkungan.
Spektrum keterlibatan penyakit dapat bervariasi dari keterlibatan kulit
terbatas (cutaneous LE atau CLE) sampai penyakit sistemik (systemic LE
atau SLE). Pola kulit yang terkena pada individu dengan LE dapat
memberikan petunjuk mengenai posisi spektrum dimana penyakit pasien
ditempatkan.
Nomenklatur dan sistem klasifikasi berdasar Gillian JN membagi manifestasi
kulit LE menjadi LE-specific skin disease (lesi menunjukkan perubahan
histologik khas) dan LE-non-specific skin disease (pemeriksaan histologik tidak
spesifik LE dan/atau dapat dijumpai sebagai gambaran histologi penyakit lain).
LE-specifik skin disease sering dipakai sebagai sinonim cutaneous LE (CLE).

Klasifikasi lesi kulit LE menurut Gillian


I. LE-specific skin disease (CLE) II. LE-non-specific skin disease
A. Acute cutaneous LE (ACLE) A. Cutaneous vascular disease
1. Localized ACLE (malar rash; butterfly 1. Vasculitis
rash) a. leukocytoclastic
2.Generalized ACLE (lupus maculopapular (1) palpable purpura
rash) (2) urticarial vasculitis
b. periarteritis nodosa-like
cutaneous lesions
2. Vasculopathy
a. Degos disease-like lesions
b. Secondary atrophie blanche
3. Periungual telangiectasia

123
4. Livedo reticularis
5. Thrombophlebitis
6. Raynaud phenomena
7. Erythromelalgia

B. Subacute cutaneous LE (SCLE) B. Non-scarring alopecia


1. Annular SCLE (lupus marginatus, LE 1. ―lupus hair‖
gyrates repens 2. Telogen effluvium
2.Papulosquamous SCLE 3. Alopecia areata
(disseminated DLE, psoriasiformLE,
maculopapular photosensitive LE)

C. Chronic cutaneous LE (CCLE) C. Sclerodactyly


1. Classic discoid LE (DLE) D. Rheumatoid nodules
a. Localized DLE E. Calcinosis cutis
b. Generalized DLE F. LE-non-specific bullous lesions
2. Hypertrophic/verrucous DLE G. Urticaria
3. Lupus profundus/lupus panniculitis H. Papulonodular mucinosis
4. Mucosal DLE I. Cutis laxa/anetoderma
a. Oral DLE J. Acanthosis nigricans (type B
b. Conjunctival DLE insulin resistance)
5. Lupus tumidus (urticarial plaque of K. Erythema multiforme
LE) L. Leg ulcers
6. Chilblain LE (chilblain lupus) M. Lichen planus
7. Lichenoid DLE (LE/lichen planus
overlap, lupus planus)

Kriteria klasifikasi SLE yang telah direvisi 1982


Kriteria Definisi
1. Malar rash Fixed erythema, flat or raised, over the malar
eminence, tending the spare the nasolabial folds

2. Discoid rash Erythematous raised patches with adherent


keratotic scaling and follicular plugging; atrophic
scarring may occur in older lesions

3. Photosensitivity Skin rash as a result of unusual reaction to


sunlight, by patient history or physician
observation

4. Oral ulcers Oral or nasopharyngeal ulceration, usually


painless, observed by physician

124
5. Arthritis Non-erosive arthritis involving two or more
peripheral joints, characterized by tenderness,
swelling, or effusion

6. Serositis a. Pleuritis—convincing history of pleuritis pain or


rub heard by physician or evidence of pleural
effusion, or
b. Pericarditis—documented by electrocardiogram
or rub or evidence of pericardial effusion

7. Renal disorder a. Persistent proteinuria-- > 0.5 g/day or greater


than 3+ if quantitation not performed, or
b. Cellular casts—may be red cell, hemoglobin,
granular, tubular, or mixed

8. Neurologic disorder a. Seizures—in the absence of offending drugs or


known metabolic derangements (e.g. uremia,
ketoacidosis, or electrolyte imbalance), or
b. Psychosis—in the absence of offending drugs
or known metabolic derangement (e.g. uremia,
ketoacidosis, or electrolyte imbalance)

9. Hematologic a. Hemolytic anemia—with reticulocytosis, or


disorder b. Leukopenia-- < 4000 μL total on two or more
occasions, or
Lymphopenia-- < 1500/μL on two or more
occasions, or
Thrombocytopenia-- < 100.000 μL in the absence
of offending drugs

10.Immunologic a. Anti-DNA—antibody to native DNA in abnormal


disorder titer, or
b. Anti-Sm—presence of antibody to Sm nuclear
antigen, or
c. Positive finding of anti-phospholipid antibodies
based on (1) an abnormal serum level of IgG
or IgM anticardiolipin antibodies, (2) a positive
test result for lupus anticoagulant using a
standard method, or (3) a false-positive
serologic test for syphilis known to be positive
for at least 6 mo and confirmed by Treponema
pallidum immobilization or fuorescent
treponemal antibody absorption test

125
11.Anti-nuclear An abnormal titer of anti-nuclear antibody by
antibody immunofluorescence of an equivalent assay at
any point in time and in the absence of drugs
known to be associated with ―drug-induced lupus‖
syndrome.
Pasien dianggap menderita SLE bila didapatkan ≥ 4 kriteria, baik serial
maupun simultan, dalam setiap interval observasi.
Sumber: Tan EM et al: The 1982 revised criteria for the classification of
SLE. Arthritis Rheum 25:1271, 1982.

Gambaran klinis
Lesi kulit.
Tabel 3. membandingkan gambaran kunci dari klinis, histopatologik,
dan laboratorik dari ACLE, SCLE dan DLE klasik. Merupakan hal yang
penting untuk membedakan ke-3 subtipe tersebut, karena tipe kulit yang
terkena dan merefleksikan pola aktivitas SLE yang mendasarinya (istilah
akut, subakut, dan kronik CLE bukan berarti semata sudah berlangsung
berapa lama penyakit, tetapi lebih kepada kecepatan dan keparahan SLE
yang menyertai). Sebagai contoh, ACLE hampir selalu timbul dalam seting
SLE flare akut, CCLE sering timbul tanpa SLE atau SLE ringan, dan SCLE
menempati posisi intermediate dalam spectrum klinis. Walaupun penting
untuk menilai risiko, subklasifikasi kadang sukar karena tidak jarang
dijumpai beberapa subtype timbul bersama pada 1 pasien.

Perbandingan antara 3 tipe utama LE-specific skin disease


Gambaran penyakit ACLE SCLE DLE klasik
Lesi kulit
Indurasi 0 0 +++
Atrofi dermis 0 0 +++
Perubahan pigmen + ++ +++
Follicular plugging 0 0 +++
Hiperkeratosis + ++ +++
Histopatologi
Membran basal menebal 0 + +++
Infiltrat likenoid + ++ +++
Inflamasi periappendageal 0 + +++
Lupus band
Lesional ++ ++ +++
Non-lesional ++ + 0
Anti-nuclear antibodies +++ ++ +
Antibodi Ro/SS-A
Dengan imunodifusi + +++ 0
Dengan ELISA ++ +++ +
Anti-dsDNA antibodies +++ + 0
Hipokomplementemia +++ + +

126
Risiko menjadi SLE +++ ++ +
+++: asosiasi kuat; ++: asosiasi moderat; +: asosiasi lemah; 0: tidak ada
asosiasi, negatif.
Sumber: Sontheimer RD, Provost TT. Lupus erythematosus, in Cutaneous
Manifestations of Rheumatic Diseases, edited by Sontheimer RD, Provost
TT. Baltimore, Wlliams & Wilkins, 1996.

ACUTE CUTANEOUS LUPUS ERYTHEMATOSUS (ACLE). Pada localized


ACLE, eritem confluen simetrik dan edema terpusat pada daerah malar dan
menyeberang melewati hidung. Lipat nasolabial secara khas tidak terkena.
Dahi, chin dan area V leher dapat terkena, dan pembengkakan wajah dapat
terjadi. Kadang-kadang, ACLE mulai berupa makula kecil dan/atau papul pada
wajah yang kemudian berkonfluen dan hiperkeratotik. Pada generalized ACLE,
tampak erupsi morbiliformis atau eksantematous luas sering terfokus pada
bagian ekstensor lengan dan tangan dan yang khas, tidak mengenai knuckles

Eritema batas tegas tertutup skuama halus pada punggung tangan, jari dan
area periungual, dan tidak ada lesi pada knuckles.

closed-up eritem periungual dan telangiektasis jelas. Gambaran ini lebih


tipikal pada dermatomiositis.

Walaupun perivascular nail fold erythema dan telangiektasia dapat


timbul (gambar 3.), tetapi lebih sering dan jelas pada dermatomiositis.

127
Generalized ACLE dinamai pula sebagai maculopapular rash of SLE,
photosensitive lupus dermatitis, dan SLE rash. Bentuk ACLE akut yang
ekstrim (LE-specific vesicobullous disease), jarang ditemui dan dapat
menyerupai TEN. Bentuk ini terjadi akibat apoptosis luas keratinosit
epidermal, dan terjadi dalam area full-thickness epidermal skin necrosis,
yang kemudian mengelupas. Ia dapat dibedakan dari TEN karena lesi
timbul terutama pada area yang terpajan matahari, awitan lebih lambat,
dan mukosa dapat terkena atau tidak. ACLE dipresipitasi atau eksaserbasi
oleh sinar UV. Bentuk ACLE berlangsung hanya beberapa jam, hari,
beberapa minggu atau lebih lama. Dapat terjadi perubahan pigmentasi
paska radang, dan tidak terjadi scar (kecuali bila diperparah oleh infeksi
sekunder). Dapat terjadi bersamaan dengan SCLE. Baik localized maupun
generalized ACLE hilang dan timbul secara paralel dengan aktivitas SLE
yang mendasari.
SUBACUTE CUTANEOUS LUPUS ERYTHEMATOSUS (SCLE).
Beberapa nama lain sebagai sinonim yaitu symetric erythema centrifugum,
disseminated DLE, autoimmune annular erythema, subacute disseminated
LE, superficial disseminated LE, psoriasiform LE, pityriasiform LE,
maculopapular photosensitive LE, dan LE gyratum repens. Walaupun
temuan otoantibodi terhadap partikel ribonukleoprotein Ro/SS-A sangat
mendukung diagnosis SCLE, adanya spesifisitas otoantibodi ini tidak
dibutuhkan untuk membuat diagnosis SCLE. Awalnya SCLE tampak
sebagai makula eritem dan/atau papul yang kemudian berkembang
menjadi pauloskuamosa hiperkeratotik atau plakat anuler/polisiklik
(Gambar 4A dan 4B). Lesi SCLE bersifat fotosensitif dan timbul terutama
pada area terpajan matahari (punggung atas, bahu, bagian ekstensor
lengan, area V leher dan jarang pada wajah). Lesi SCLE sembuh tanpa
skar tetapi dapat menyembuh (lama atau permanent) berupa leukoderma
(vitiligo-like) dan telangiektasia.

128
SCLE anular pada punggung atas wanita usia 38 tahun. Bagian sentral
yang hipopigmentasi didapati atrofi dermis.

SCLE papuloskuamosa di atas pada bagian ekstensor lengan bawah


wanita usia 26 tahun.

Kadang, lesi awal SCLE tampak seperti eritem multiforme. Kasus seperti ini
sama dengan sindrom Rowell (lesi EM-like pada pasien SLE yang mempunyai
otoantibodi La/SS-B). Sebagai akibat kerusakan inten pada sel basal
epidermis, pinggir aktif lesi anuler SCLE kadang mengalami perubahan
vesikobulosa yang kemudian menghasilkan gambaran krustasi. Lesi tersebut
dapat menyerupai SJS/TEN. Patogenesisnya sama seperti pada ACLE yang
TEN-like. SCLE jarang tampak seperti eritroderma. Kisaran 15-20% pasien
dengan lesi SCLE mengembangkan pula lesi ACLE atau DLE klasik. Lesi
SCLE tidak induratif, seperti halnya lesi DLE. Kisaran separuh pasien
SCLE memenuhi criteria ACR yang telah direvisi untuk klasifikasi SLE.
Walaupun demikian, manistasi nefritis, penyakit system syaraf pusat dan
vaskulitis sistemik, hanya timbul pada 10-15% pasien SCLE. SCLE tipe
papuloskuamosa, lekopenia, titer ANA tinggi (> 1:640), dan anti-dsDNA
merupakan faktor risiko lesi SCLE untuk berkembang menjadi SLE. SCLE
dapat tumpang tindih dengan penyakit otoimun lain (sindrom Sjogren,
arthritis rematoid, tiroiditis Hashimoto. Dapat pula, SCLE disertai
dengankeganasan internal (karsinoma payudara, paru, lambung,
peranakan, porfiria kutanea tarda, GSE, penyakit Crohn dan limfoma
Hodgkin.
CHRONIC CUTANEOUS LUPUS ERYTHEMATOSUS (CCLE). Bentuk
paling umum CCLE, lesi DLE klasik awalnya berupa macula merah ungu,
papul atau plakat kecil dan cepat membentuk permukaan yang
hiperkeratotik. Lesi DLE klasik selanjutnya menjadi plakat eritem berbatas

129
tegas ukuran uang logam, tertutup skuama yang melekat yang meluas ke
dalam muara folikel rambut yang melebar. (Gambar 5.)

Gambar 14.5. DLE klasik. Plakat eritem awal yang tipikal pada dahi
menunjukkan hiperkeratosis dan aksentuasi muara folikel pada pria usia 60
tahun dengan 25 tahun riwayat CLE. Lesi telah ada sejak 3 bulan tanpa
atrofi dermis.

Lesi DLE melebar dengan eritema dan hiperpigmentasi pada bagian


tepi, dengan skar atrofi bagian sentral, telangiektasia, dan hipopigmentasi.
(Gambar 6.). Lesi DLE pada stadium ini dapat bergabung menjadi plakat
besar.

DLE klasik. Plakat eritem, berbatas tegas, bulat – ovoid, dengan sedikit
indurasi pada leher dan wajah. Plakat menunjukkan hiperkeratosis ringan,
beberapa terdapat atrofi dermis. Area hipopigmentasi tanpa radang dan
skar, menandai lokasi lesi sebelumnya yang telah menyembuh.

Apabila timbul pada kulit berambut (scalp, pinggir bulu mata, alis), akan
menyebabkan scarring alopecia. Lesi DLE ke dalam folikel rambut membentuk
keratotic plugs. Apabila skuama yang lekat diangkat dari lesi lanjut, akan tampak

130
keratotic spikes (tampak seperti carpet tacks) yang terproyeksi dari permukaan
bawah skuama (‗carpet tack‘ sign). Lesi tersebut sering dikelirukan dengan
keratosis aktinik, karsinoma sel skuamosa, atau akne.
Lesi DLE paling sering ditemui pada wajah, scalp, telinga, area V leher,
dan bagian ekstensor lengan. Kadang dijumpai plakat DLE yang simetris,
hiperkeratotik dan butterfly-shape pada area malar wajah dan melintang di
atas hidung. Lesi ini tidak boleh dikelirukan dengan lesi ACLE, karena lesi
ACLE lebih transient, edematosa, dan kurang berskuama. Selain itu, lesi
DLE induratif dan rekalsitran terhadapinhibitor calcineurin/steroid topical.
DLE fasial, seperti halnya ACLE dan SCLE, biasanya tidak mengenai
lipatan nasolabial. Scarring alopecia ireversibel pada DLE berbeda dari
reversible, non-scarring alopecia oleh SLE. Tiep kehilangan rambut ini,
lupus hair, dapat berupa telogen effluvium yang terjadi akibat flaring
systemic disease.
Lesi localized DLE hanya timbul pada kepala atau leher, sedangkan lesi DLE
generalisata dapat timbul di atas dan di bawah leher. Lesi DLE di bawah leher
paling sering pada bagian ekstensor lengan, dan badan lainnya. Dapat
menyerang nail unit seperti pada CLE lain dan SLE.
Lesi DLE dapat dipicu pajanan matahari, tetapi lebih kecil pengaruhnya
dibandingkan pada ACLE dan SCLE. Semua tipe CLE dapat dipresipitasi oleh
trauma kulit (fenomena Koebner).
Hubungan antara DLE klasik dan SLE telah menjadi subyek
perdebatan. Summary points berikut dapat dibuat: (1) 5% pasien dengan
lesi DLE klasik kelak dapat menjadi SLE; (2) Pasien DLE generalisata (lesi
di atas dan di bawah leher) memiliki lebih banyak gangguan imunologik,
risiko lebih tinggi untuk berkembang menjadi SLE, dan risiko lebih tinggi
untuk berkembang menjadi SLE yang lebih parah daripada pasien
localizedDLE.
Faktor risiko yang mempengaruhi DLE menjadi SLE, yaitu adanya:
limfadenopati generalisata; lesi kulit SCLE/ACLE; lesi kulit LE-non-specific
(vaskulitis, alopesia difus non-scarring; telangiektasia periungual nail fold,
fenomena Raynaud; anemia yang tidak dapat dijelaskan; lekopenia nyata; tes
serologi sifilis positif palsu; asai ANA menunjukkan hasil titer tinggi dan
persisten; anti-ssDNA; hipergamaglobulinemia; LED > 50 mm/jam; sun-
protected, non-lesional lupus band test (LBT) positif, dan peningkatan level
reseptor soluble IL-2.
DLE hipertrofik, atau DLE hiperkeratotik/verukosa, adalah varian CCLE
yang jarang, dimana hyperkeratosis lebih menonjol. Daerah yang tersering
terkena ialah ekstensor lengan, punggung atas, dan wajah. Gambaran
overlapping LE hipertrofi dan liken planus digambarkan sebagai lupus
planus. Pasien DLE hipertrofik tidak menunjukkan risiko lebih tinggi
menjadi SLE dibandingkan DLE klasik.
Mucosal DLE (oral, nasal, konjungtiva, genital) terjadi pada kisaran
25% pasien CCLE. Dalam mulut, terutama pada buccal mucosa. Lesi
diawali sebagai bercak eritem, tidak nyeri yang selanjutnya menjadi plakat
kronik (dibingungkan dengan liken planus). Lesi tersebut dapat degenerasi

131
menjadi SCC (adanya nodular asimetri dalam lesi mukosa DLE harus
dievaluasi kemungkinan adanya keganasan.
DRUG-INDUCED CUTANEOUS LUPUS ERYTHEMATOSUS. Drug-
induced lupus mempunyai gejala dan laboratories khas yang sama dengan
SLE idiopatik, dan banyak obat dikaitkan dalam induksi berbagai gambaran
SLE (prokainamid, hidralazin, isoniazid, klorpromazin, fenitoin, minosiklin,
dan anti-TNF). Drug-induced SLE klasik didapati antibody anti-histon dan
bermanifestasi sama dengan SLE tetapi tanpa mengenai kulit.
Obat dapat pula menginduksi atau eksaserbasi lesi kulit LE-specific. SCLE
akibat obat secara meyakinkan dihubungkan dengan HCT, calcium channel
blockers, inhibitor ACE, dan cinnarizine. Selain itu, obat yang memicu SCLE
adalah piroksikam, D-penicillamine, sulfonylurea, oxprenolol, terapi emas
parenteral, griseofulvin, naproxen, spironolakton, IFN-β, ranitidine,
efalizumab, propiltiouracil, karbamazepin, 5-fluorourasil sistemik,
lansoprazol, bupropin,asebutolol, tiotropium inhalasi, dan leflunomide
(untuk arthritis rematoid).

LUPUS ERITEMATOSUS DENGAN KELAINAN VESIKOBULOSA. Lesi


kulit vesikobulosa pada pasien LE dibagi berdasarkan histopatologi
menjadi :
1. LE-specific vesicobullous LE
2. LE-no-specific vesicobullous LE.
Bula dapat timbul pada ACLE dan SCLE sebagai manifestasi dari
degenerasi likuefaksi agresif lapisan basal epidermis, sehingga menyerupai
(klinis dan histopatogis) gambaran TEN.
Skema klasifikasi gangguan kulit vesikobulosa yang ditemui pada pasien
LE
LE-Specific Vesicobulous LE LE-Non-Specific Vesicobullous
LE
ACLE Bullous systemic LE
TEN-like ACLE
SCLE Vesicobullous skin disorders
TEN-like SCLE anectotally reported to occur in LE
Vesicobullous annular SCLE patients but whose relationship to
LE has not yet been firmly
established
CCLE Bullous pemphigoid
Bullous DLE
Dermatitis herpetiformis
Pemphigoid erythematosus
Porphyria cutanea tarda

Sumber: Sontheimer RD: The lexicon of cutaneous lupus erythematosus –


A review and personal perspective on the nomenclature and classification
of the cutaneous manifestations of lupus erythematosus. Lupus 6:84, 1997.

132
LE-NON-SPECIFIC SKIN DISEASES. Seperti halnya LE-specific skin disease
(misal ACLE), keberadaan lesi kulit non-spesifik dapat menjadi indikator dari
aktivitas SLE.

Prognosis dan perjalanan penyakit


Prognosis pasien ACLE diarahkan sesuai dengan pola SLE yang
mendasarinya. Sebagian besar pasien SCLE memperlihatkan kekambuhan
intermiten dalam waktu lama tanpa progresi nyata kea rah SLE. Kisaran
15% pasien SCLE akan berkembang menjadi SLE aktif, termasuk lupus
nefritis. Kelompok pasien tersebut ditandai dengan SCLEpapuloskuamosa,
localized ACLE, titer ANA yang tinggi, lekopenia, dan/atau antibody
terhadap dsDNA. Pasien DLE klasik tanpa terapi mengalami progresi
indolen menjadi distofi alopesia scarring luas yang mengganggu secara
psikologis dan pekerjaan. Pasien dengan localized DLE hanya 5%
kemungkinan kemudian menjadi SLE.

Diagnosis
Pendekatan pasien dengan lesi kulit yang dicurigai sebagai CLE.

133
Photosensitive Annular psoriasiform Scarring
facial eruption plaque alopecia

Triangular truncal pattern


Pikirkan Prominent Dorsal arm involvement
alergi obat centrofacial
fotoalergik telangiectasis;
Pustules;
Hallmark hand Nasolabial fold no yes
changes of involvement
dermatomyositis Granuloma anulare
involvement Eritema anulare
of knuckles centrifugum
Tinea
yes
Psoriasis
yes
no
dermatomiositis rosacea

Non scarring malar Annular plaque Scarring lesions


Erythematous with lateral facial Conchal lesions
Macules/papules involvement Scarring alopecia

Confirmed with biopsy

Comprehensive medical history &


examination (rheumatologic review of
ACLE SCLE CCLE
system);
CBC, chemical panel, urinalysis, CRP; Pikirkan drug-
ANA, ENA,dsDNA, C3, C4, anti- Induced SLE
phospholipid panel.

yes Kirim ke reumatologist


SLE criteria Mulai terapi CLE
no

Pendekatan pasien dengan lesi dengan kecurigaan CLE. ANA = anti-


nuclear antibody; CBC = complete blood cell count; CRP = C-reactive
protein; dsDNA = double-stranded DNA; EAC = erythema annulate
centrifugum; ENA = extractable nuclear antibody; GA = granuloma
annulare.

Penatalaksanaan umum
Penatalaksanaan awal setiap tipe CLE adalah evaluasi kemungkinan
adanya SLE. Semua pasien harus menghindari sinar matahari dan UVR
artificial dan menghindari obat photosensitizing potensial (hidroklorotiazid,
tetrasiklin, griseofulvin, dan piroksikam. Lesi ACLE biasanya responsive
terhadap obat imunosupresif sistemik yang diperlukan untuk mengobati
penyakit SLE yang sering menyertai ACLE (steroid sistemik, azatioprin,
siklofosfamid). Bukti makin kuat menunjukkan bahwa hidroksikloroquin

134
mempunyai efek sparing dengan steroid pada SLE, dan obat ini dapat
berguna pada ACLE. Untuk SCLE dan CCLE, lebih dipilih obat non-
imunosupresif karena keduanya hanya sedikit atau tidak ada penyakit
sistemik yang mendasari (SLE), dan kalaupun diperlukan, kedua penyakit
tersebut member respon baik terhadap obat imunosupresif.

Terapi khusus
1. Terapi lokal
Proteksi matahari. Teratur pakai tabir surya water-resistant, broad
spectrum (SPF ≥ 30 ditambah agen pemblok UVA: avobenzone, TiO2
mikronized, zinc oxide micronized.
Steroid lokal. steroid potensi menengah triamsinolon asetonid 0.1%
untuk kulit sensitive (wajah), atau potensi sangat poten klobetasol propionate
0.05% atau betametason dipropionat 0.05% (hasil lebih baik untuk CLE).
Steroid superpoten diberikan 2 x/h pada kulit berlesi selama 2 minggu,
dilanjutkan dengan 2 minggu istirahat dapat meminimalkan risiko komplikasi
local seperti atrofi dan telangiektasia.Bentuk salap lebih efektif untuklesi
hiperkeratotik. Oklusi meningkatkan baik efektifitas maupun efek samping.
Sayangnya, bahkan dengan regimen steroid topical paling agresifpun tidak
menghasilkan perbaikan memadai untuk sebagian besar kasus SCLE dan
CCLE.
Steroid intralesi. Triamsinolon asetonid 2.5-5.0 mg/ml untuk wajah
(konsentrasi lebih tinggi untuk lokasi yang kurang sensitive), lebih bermanfaat
untuk SCLE dan DLE. Bagian pinggir lesi yang aktif harus diinfltrasi secara
menyeluruh. Indikasi steroid intralesi terutama untuk lesi hiperkeratotik atau
lesi yang tidak responsive terhadap steroid topical. Kelemahan: lesi pasien
CLE biasanya banyak sehingga sukar dilakukan injeksi.
Inhibitor calcineurin topical. Pimekrolimus 1% dan takrolimus 0.1%
dilaporkan menghasilkan efikasi yang bervariasi pada CLE.

2. Terapi sistemik
Antimalaria. Satu atau kombinasi beberapa antimalaria aminoquinolin
efektif pada kisaran 75% pasien CLE yang gagal mencapai hasil memadai
dengan terapi local. Obat dapat menyebabkan toksisitas retina, sehingga
sebelum terapi harus dilakukan konsultasi ke ahli Mata. Risiko retinopati sangat
jarang bila level maksimum dosis harian tidak dilampaui (hidroksikloroquin : 6.5
mg/kg/hari sesuai dengan berat badan ideal; kloroquin: 4 mg/kg/hari). Selama
pengobatan, evaluasi oftalmologis dilakukan tiap 6-12 bulan.
Hidroksikloroquin sulfat (plaquenil) 400 mg/hari oral, harus diberikan
selama 6-8 minggu pertama pengobatan untuk mencapai level darah
seimbang. Bila respon klinik memadai dicapai, dosis harian diturunkan
sampai dosis pemeliharaan 200 mg/hari paling tidak selama 1 tahun
(meminimalkan kemungkinan rekuren). Apabila setelah 8-12 minggu tidak
ada respon, quinakrin HCl 100mg/hari dapat ditambahkan bersama
hidroksikloroquin tanpa meningkatkan risiko retinopati (quinakrin tidak
menyebabkan retinopati). Apabila dengan kombinasi ini kontrol klinis yang

135
memadai tidak tercapai setelah 4-6 minggu, maka hidroksikloroquin digantikan
dengan kloroquin difosfat (aralen), 250 mg/hari (kloroquin dianggap lebih efektif
mengobati CLE karena mencapai respon terapetik lebih awal karena level
darah seimbang dicapai lebih cepat). Hidroksikloroquin dan kloroquin tidak
boleh diberikan bersamaan karena keduanya menyebabkan toksisitas retina.
Efek samping lain dari antimalaria diantaranya cefalgia, intoleran
gastrointestinal, toksisitas hematologic akibat defisiensi G6PD, gatal, erupsi
obat likenoid, dan deposit pigmen mukosa/kulit (quinakrin >
hidroksikloroquin atau kloroquin). Ketiga antimalaria dapat menyebabkan
anemia aplastik (jarang bila dipakai regimen dosis diatas). Sebelum terapi
dengan hidroksikloroquin dan kloroquin, dilakukan pemeriksaan darah rutin
lengkap, tes fungsi hati dan ginjal; diulang 4-6 minggu setelah terapi serta
4-6 bulan setelah itu. Pasein porfiria cutanea tarda (subklinis/overt)
memiliki risiko tinggi mengalami hepatotoksisitas akut sekalipun dengan
dosis terapetik antimalaria.
Opsi nonimunosupresif terhadap penyakit yang refrakter terhadap
antimalaria. Beberapa pasien CLE refrakter (SCLE > DLE) memberi respon
terhadap diaminodifenil sulfon (DDS). Dosis inisial 2 x 25 mg/hari oral dapat
ditingkatkan sampai 200-400 mg/hari, bila perlu. Hoemolisis dan/atau
methemoglobinemia dapat terjadi (dose-related), terutama bila ada G6PD.
Isotretinoin, 0.5-2.0 mg/kg/hari, acitretin 10-50 mg/hari pernah dipakai,
tetapi efikasinya dibatasi oleh efek samping (teratogen, kekeringan
mukokutan, hiperlipidemia). Talidomid 50-200 mg/hari sangat efektif untuk
CLE yang refrakter terhadap obat lain. Banyak penelitian menunjukkan
response rates antara 85%-100%, dan banyak pasien mengalami remisi
komplit. Efek samping talidomid di antaranya terogenik, dan peripheral
neuropathy (25-75%) yang sebagian besar revesible, tromboembolisme
(karena adanya antibody anti-fosfolipid). Obat lain yang dilaporkan
bermanfaat untuk CLE refrakter ialah emas dan clofazimin, vit E, dilantin,
sulfasalazin, danazol, fototerapi.
Steroid sistemik. Diusahakan agar steroid sistemik dihindari pada LE yang
terbatas di kulit. Pada kasus yang berat dan simptomatik, digunakan iv pulse
metilprednisolon; pada kasus yang kurang akut, prednisone 20-40 mg/hari,
single morning dose, dapat diberikan sebagai terapi supplemental selama
loading phase terapi dengan antimalaria. Dosis harus cepat diturunkan
seawal mungkin untuk menghindari avascular (aseptic) bone necrosis.
Karena kehilangan tulang terjadi paling cepat dalam 6 bulan pertama, pasien
diberikan obat pencegah osteoporosis sejak awal. Dosis harian harus
diturunkan 5-10 mg sampai dosis harian mencapai 20 mg/hari. Setelah itu, dosis
diturunkan dengan 2.5 mg. Bila mencapai dosis harian 10 mg/hari, dosis
diturunkan dengan 1 mg. Bila pasien menderita penyakit hati, dipilih prednisolon.
Imunosupresif lain. MMF 2.5-3 g/hari, MTX 15-20 mg, oral, 1 hari/minggu,
azatioprin (imuran) 1.5-2 mg/kg/hari, dapat beritindak sebagai steroid-sparing
untuk CLE berat dan rekalsitran. Obat lain, diantaranya sitosin arabinose,
siklosporin, dan IVIG.

136
Terapi biologik. Antibodi monoklonalchimerik rituximab (mengikat antigen
CD20 pada permukaan sel B yang sedang berkembang); antibody monoclonal
terhadap antigen CD22 pada sel B (epratuzumab); belimumab (antibody
monoclonal fully human) mengikat B lymphocyte stimulator (BLyS); abatacept
protein fusi fully human memblok ko-stimulasi antara CD80/86-CD28 sehingga
aktivasi, proliferasi dan sekresi sitokin sel T menurun, selanjutnya produksi
antibody ditekan, tanpa menurunkan jumlah sel T dan sel B; antibody
monoclonal anti IFN-α (sedang dalam penelitian fase I di Amerika).

CLE

ACLE SCLE CCLE

SLE ?

Hindari matahari & UVR artificial: UVB (SPF ≥


30) & UVA (zinc, TiO2, avobenzone)

Hindari photosensitizing drugs: HCT, tetrasiklin, griseofulvin, piroksikam; dan


penginduksi: prokainamid, hidralazin, INH, klopromazin, fenitoin, minosiklin, anti-TNF

Terapi lokal (HARUS MAKSIMAL DAN OPTIMAL)


1. steroid topical potensi menengah (triamsinolon asetonid 0.1%) 
superpoten (klobetasol propionate 0.05% atau betametason dipropionat 0.05%)
1 2. steroid intralesi (triamsinolon asetonid 2.5 – 5 mg/cc)
3. inhibitor kalsineurin: pimekrolimus 1% atau takrolimus 0.1%

Gagal: aktivitas penyakit lokal tetap, atau ada aktivitas sistemik

Terapi sistemik

Hidroksikloroquin 2 Steroid oral, morning dose, 20-40


6.5 mg/kg BB ideal/h mg/h, selama loading dose antimalaria, Biologics:
(400 mg/h), oral; 6 -8 mg cepat diturunkan; atau ada SLE Rituximab;
Epratuzumab;
8-12 mg respon Imunosupresif: sparing steroid Belimumab;
6-8 mg respon baik
kurang pd CLE berat dan rekalsitran: 3 Abatacept;
MMF: 2.5 -3g/h; MTX: 20mg, oral, Leflunomide;
Dosis harian ↓ sp 1 h/mg; azatioprin: 1.5-2 mg/h. anti-IFN-α
Dosis pemeliharaan + quinakrin 100 mg/h
200 mg/h, ≥ 1 th Refrakter antimalaria &
4-6 mg tdk berhasil Ganti hidroksikloro dg Tdk 4
Tdk ada SLE:
klorokuin 250 mg/h berhasil
Dapson/ asitretin/talidomid

Algoritma pengobatan LE-specific skin diseases

Keterangan: 1. opsi terapi lini pertama; 2. opsi terapi lini kedua (antimalaria
± steroid oral); 3. opsi terapi lini ketiga (imunosupresif ± steroid oral),
dapson asitretin (non-imunosupresif) dipertimbangkan sebelum ke opsi 3
(imunosupresif); 4. opsi terapi biologics (investigasional). (lihat Tabel 5).

Terapi bedah dan kosmetik. Modalitas ini harus hati-hati karena trauma
dapat menyebakan eksaserbasi LE. Kalaupun dilakukan, pasien harus

137
sedang dalam terapi sistemik pemeliharaan (antimalaria). Dapt dicoba
pemakaian laser.

Pencegahan
Proteksi matahari dan sinar artificial secara fisik, memakai tabir surya
broad spectrum secara teratur yang mempunyai SPF ≥ 30.

DAFTAR PUSTAKA

1. Costner MI, Sontheimer RD. Lupus Erythematosus. In: Wolff K,


Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, David J. Leffell DJ,
editors. Fitzpatrick‘s Dermatology in General Medicine, VII ed. New
York: McGraw-Hill; 2008. p. 1515-1535.

2. Tan EM et al: The 1982 revised criteria for the classification of SLE.
Arthritis Rheum 25:1271, 1982.

3. Sontheimer RD, Provost TT. Lupus erythematosus, in Cutaneous


Manifestations of Rheumatic Diseases, edited by Sontheimer RD,
Provost TT. Baltimore, Wlliams & Wilkins, 1996.

4. Sontheimer RD: The lexicon of cutaneous lupus erythematosus – A


review and personal perspective on the nomenclature and
classification of the cutaneous manifestations of lupus erythematosus.
Lupus 6:84, 1997

138
BAB II
MODUL ILMU PENYAKIT MATA

Capaian Pembelajaran :
1. Mahasiswa mampu mendiagnosis dan melakukan tatalaksana
farmakoterapi dan non farmakoterapi penyakit Mata terkait Konjunctiva
antara lain : Benda asing di Konjungtiva, Konjungtivitis, Perdarahan
Sub Konjungtiva, Mata Kering; Penyakit Mata terkait Kelopak Mata,
antaralain : Blefaritis, Hordeolum, Trikiasis; Penyakit Mata terkait
Sklera, yakni Episkleritis
2. Mampu mendiagnosis dan melakukan tatalaksana farmakoterapi dan
non farmakoterapi penyakit Mata terkait Gangguan Akomodasi dan
Refraksi, antaralain : Hipermetropia ringan, Miopia ringan,
Astigmatisma ringan, Presbiopia dan Buta Senja
3. Mahasiswa mampu mendiagnosis dan melakukan tatalaksana awal
dan merujuk Penyakit Mata Bukan Gawat Darurat antaralain Penyakit
Mata terkait Konjuctiva, Pterigium; Penyakit Mata terkait Kelopak
Mata, Chalazion; Penyakit mata terkait Aparatus Lakrimalis antaralain :
Dakrodenitis, Dakriosistitis; Penyakit Mata terkait Sklera, Episkleritis;
Penyakit Mata terkait Kornea : Keratitis, Xerophtalmia; Penyakit Mata
terkait Anterior Chamber antaralain Hifema, Hipopion; Penyakit Mata
terkait Iris dan Badan Silier yakni Iridosiklitis, Iritis; Glaukoma non akut
4. Mampu mengenali, menjelaskan, mendiagnosis dan mengetahui
penyakit Mata yang harus dirujuk antara lain Penyakit Mata terkait
kelopak Mata antaralain : Entropion, Lagoftalmus, Epikantus, Ptosis,
Retraksi kelopak mata, Xanthelasma; Penyakit Mata terkait Aparatus
Lakrimalis antaralain: Dakriostenosis, Laserasi duktus lakrimal;
Penyakit Mata terkait Kornea antara lain : Erosi kornea, benda asing
kornea, luka bakar kornea, keratokonjungtivitis sicca, Edema Kornea,
Keratokonus; Penyakit Mata terkait Bola Mata : Endoftalmitis,
Mikroftalmus; Penyakit Mata terkait Cairan Vitreous, Perdarahan
Vitreous; Penyakit Mata Terkait Iris dan Badan Silier, Tumor Iris
5. Mampu mengenali, menjelaskan, mendiagnosis dan mengetahui
penyakit Mata yang harus dirujuk antara lain Penyakit Mata terkait
Lensa antaralain: Katarak, Afakia Kongenital, Dislokasi Lensa;
Gangguan Akomodasi dan Refraksi: Anisometropia pada anak,

139
Ambliopia, Diplopia Binokular, Skotoma, Hemianopia, bitemporal and
homonymous dan gangguan lapang pandang; Penyakit Mata terkait
Retina Ablasio Retina, Perdarahan Retina, Oklusi pembuluh darah
retina, Degenerasi makula karena usia, Retinopati (diabetik, hipertensi,
prematur), Korioretinitis; Penyakit Mata Terkait Diskus optik dan saraf
mata antaralain: Optic disc cupping, Edema Papil, Atrofi Optik,
Neuropati optik, Neuritis Optik

A. BENDA ASING DI KONJUNGTIVA

Benda asing adalah suatu benda yang ada dalam tubuh yang
seharusnya tidak ada.Benda asing yang masuk ke mata itu biasanya
berukuran kecil. Benda kecil (serpihan logamatau kayu) sering melekat di
daerah kelopak mata, di konjungtiva mata atau di kornea.Biasanya benda
kecil itu akan tersapu sendiri oleh kejapan mata dan genangan air mata.
Airmata akan keluar sendiri bila mata terangsang oleh benda asing. Benda
asing yang masuk ke mata dengan kecepatan tinggi akan masuk ke bola
mata dan biasanya tidak dapat keluarsendiri. Benda asing yang tertanam di
konjungtiva kelopak mata, harus segera dikeluarkankarena biasanya
mengucek-ngucek kelopak mata yang kemasukan benda asing itu,
sehinggabenda asing itu dapat menggores permukaan kornea mata dan
menyebabkan peradangankornea mata.

Benda Asing di Kelopak Mata


Benda asing di kelopak mata bagian luar biasanya mudah ketahuan
dengan merabakelopak mata dari luar secara hati-hati. Mengeluarkan
benda asing itu biasanya mudah, yaitu dikorek melalui lubang masuknya
tanpa perlu membesarkan lubang itu, namun kadang- kadanglubang itu
dibesarkan.

Benda Asing di Konjungtiva Mata


Benda asing yang masuk ke konjungtiva mata, biasanya bersarang
dilekuk antara selaput lender kelopak mata dan bola mata, sehingga bila
mata berkedip-kedip, benda asingitu akan menggores permukaan kornea.
Benda asing yang bersarang di konjungtiva kelopak mata atas dkeluarkan
dengan jalan membalikkan kelopak mata atas, lalu benda asing itu
dikeluarkan.
Benda asing yang kecil dapat diangkat dengan lidi kapas steril.
Pada benda yangsangat lekat pada konjungtiva mata, mata harus ditetesi
setetes anestesi local. Benda asingyang kecil dapat diangkat dengan ujung
jarum atau ujung pisau katarak.
Benda Asing di Kornea Mata

140
Benda asing di kornea harus segera dikeluarkan agar tidak terjadi
kerusakan lebihparah, karena barang asing itu dapat menimbulkan
kekeruhan pada kornea. Untuk mencaridan menentukan benda asing itu,
kadang-kadang perlu dipakai lensa pembesar, senter, danlampu kepala.
Benda asing kecilberupa serpihan logam, kaca, atau kayu yang masuk ke
mata dengan kecepatan rendahbiasanya mudah di congkel dengan ujung
pisau atau jarum.

Benda Asing di Sklera Mata


Benda asing pada sklera mata biasanya tidak begitu berbahaya
seperti di kornea.Sebab sklera itu tidak dilalui cahaya dan berwarna putih
susu, sehingga bila terjadi goresan,tidak mengakibatkan apa-apa.

B. PERDARAHAN SUBKONJUNGTIVA
Definisi
Perdarahan yang terjadi di daerah antara konjungtiva dan sklera. Sehingga
mata akan mendadak terlihat merah.

Epidemiologi
 Dapat terjadi di semua kelompok umur.
 Perdarahan subkonjungtiva sebagian besar terjadi unilateral (90%)
 Pada perdarahan subkonjungtiva tipe spontan (64.3%)
 Kondisi hipertensi memiliki hubungan yang cukup tinggi dengan
angka terjadinya perdarahan subkonjungtiva (14.3%)

Faktor resiko
 Hipertensi
 Trauma tumpul atau tajam
 Penggunaan obat pengencer darah
 Benda asing
 Konjungtivitis

Etiologi
 Idiopatik
 Genetik
 Manuver Valsalva (seperti batuk, tegang, muntah – muntah, bersin)
 Traumatik (terpisah atau berhubungan dengan perdarahan
retrobulbar atau ruptur bola mata)
 Hipertensi
 Gangguan perdarahan (jika terjadi berulang pada pasien usia muda
tanpa adanya riwayat trauma atau infeksi), termasuk penyakit hati
atau hematologik, diabetes, SLE, parasit dan defisisensi vitamin C.

141
 Obat-obatan (antibiotik, NSAID, steroid, kontrasepsi)

Klasifikasi
Berdasarkan mekanisme terjadinya perdarahan subkonjungtiva dibedakan
atas :
 Perdarahan subkonjungtiva tipe spontan
 Perdarahan subkonjungtiva tipe traumatik

Manifestasi klinis
 Sebagian besar asimptomatis (hanya terlihat darah pada bagian
sclera)
 Nyeri (jarang pada permulaan perdarahan)
 Rasa tidak nyaman, sensasi seperti ada yang mengganjal dan
penuh di mata
 Tampak adanya perdarahan di sklera dengan warna merah terang
(tipis) atau merah tua (tebal).
 Tidak ada tanda peradangan, kalaupun adanya biasanya
peradangan yang ringan.
 Perdarahan akan terlihat meluas dalam 24 jam pertama setelah itu
kemudian akan berkurang perlahan ukurannya karena diabsorpsi.

Diagnosis
Anamnesis (Didapatkan pernyataan sesuai manifestasi klinis diatas)
Pemeriksaan fisik
 Tampak adanya perdarahan di sklera dengan warna merah
terang(tipis) atau merah tua (tebal)
 Pemeriksaan tajam penglihatan, jika visus<6/6 curiga terjadi
kerusakan selain di konjungtiva.

Komplikasi
 Perdarahan subkonjungtiva akan diabsorpsi sendiri oleh tubuh
dalam waktu 1 – 2 minggu, sehingga tidak ada komplikasi serius
yang terjadi
 Pada perdarahan subkonjungtiva yang sifatnya menetap atau
berulang(kambuhan) harus dipikirkan keadaan lain (limfoma
adneksa okuler).

142
C. KONJUNGTIVITIS

Definisi
Konjungtivitis adalah peradangan pada konjungtiva dan penyakit ini
adalah penyakit mata yang paling umum di dunia. Penyakit ini bervariasi
mulai dari hiperemia ringan dengan mata berair sampai konjungtivitis berat
dengan banyak sekret purulen kental Jumlah agen-agen yang pathogen
dan dapat menyebabkan infeksi pada mata semakin banyak, disebabkan
oleh meningkatnya penggunaan obat-obatan topical dan agen
imunosupresif sistemik, serta meningkatnya jumlah pasien dengan infeksi
HIV dan pasien yang menjalani transplantasi organ dan menjalani terapi
imunosupresif.

Etiologi
Konjungtivitis bisa disebabkan oleh berbagai macam, yaitu:
1. Bakteri (Konjungtivitis Bakteri)
Konjungtivitis bakteri hiperakut biasanya disebabkan oleh N
gonnorhoeae, Neisseria kochii dan N meningitidis. Bentuk yang akut
biasanya disebabkan oleh Streptococcus pneumonia dan Haemophilus
aegyptyus. Penyebab yang paling seringpada bentuk konjungtivitis bakteri
subakut adalah H influenza dan Escherichia coli,sedangkan bentuk kronik
paling sering terjadi pada konjungtivitis sekunder atau padapasien dengan
obstruksi duktus nasolakrimalis
2. Virus (Konjungtivitis Virus)
Konjungtivitis viral dapat disebabkan berbagai jenis virus, tetapi
adenovirus adalah virus yang paling banyak menyebabkan penyakit ini,
dan herpes simplex virus yang paling membahayakan. Selain itu penyakit
ini juga dapat disebabkan oleh virus Varicella zoster, picornavirus
(enterovirus 70, Coxsackie A24), poxvirus, dan human immunodeficiency
virus
3. Alergi (Konjungtivitis Alergi)
Etiologi konjungtivitis alergi berbeda-beda sesuai dengan
subkategorinya. Misalnya konjungtivitis alergi musiman dan tumbuh-
tumbuhan biasanya disebabkan oleh alergi tepung sari, rumput, bulu
hewan dan disertai dengan rinitis alergi serta timbul pada waktu-waktu
tertentu. Vernal konjungtivitis sering disertai dengan riwayat asma, eksema
dan rinitis alergi musiman. Konjungtivitis atopik terjadi pada pasien dengan
riwayat dermatitis atopic, sedangkan konjungtivitis papilar rak pada
pengguna lensa-kontak atau mata buatan dari plastic.
4. Jamur (Konjungtivitis Jamur)
Konjungtivitis jamur paling sering disebabkan oleh Candida albicans
dan merupakan infeksi yang jarang terjadi. Selain Candida sp, penyakit ini
juga dapat disebabkan oleh Sporothrix schenckii, Rhinosporidium serberi,
dan Coccidioidesimmitis walaupun jarang.

143
5. Parasit (Konjungtivitis Parasit)
Konjungtivitis parasit dapat disebabkan oleh infeksi Thelazia
californiensis, Loa loa, Ascaris lumbricoides, Trichinella spiralis,
Schistosoma haematobium, Taenia solium dan Pthirus pubis walaupun
jarang.
6. Bahan kimia/iritan (Konjungtivitis kimia atau iritatif)
Konjungtivitis kimia-iritatif adalah konjungtivitis yang terjadi oleh
pemajanan substansi iritan yang masuk ke sakus konjungtivalis. Substansi-
substansi iritan yang masuk ke sakus konjungtivalis dan dapat
menyebabkan konjungtivitis, seperti asam, alkali, asap dan angin. Selain itu
penyakit ini dapat juga disebabkan oleh pemberian obat topikal jangka
panjang seperti dipivefrin, miotik, neomycin, dan obat-obat lain dengan
bahan pengawet yang toksik atau menimbulkan iritasi.
7. Konjungtivitis lain
Selain disebabkan oleh bakteri, virus, alergi, jamur dan parasit,
konjungtivitis juga dapat disebabkan oleh penyakit sistemik dan penyakit
autoimun seperti penyakit tiroid, gout dan karsinoid (Vaughan, 2010).
Konjungtivitis juga bisa terjadi sebagai komplikasi dari acne rosacea dan
dermatitis herpetiformis ataupun masalah kulit lainnya pada daerah wajah.

Gejala klinis
Tanda penting konjungtivitis adalah hiperemia, berair mata,
eksudasi, pseudoptosis, hipertropi fapiler, kemosis, folikel, psedomrmbran
dan membran, granuloma dan adenopati preaurikuler. Hiperimia adalah
tanda klinik yang paling mencolok dari konjungtivitis akuta kemerahan
paling nyata pada formix dan mengurangi kearah limus ke arah dilatasi
pembuluh posterior. Berair mata (epipora) sering mencolok pada
konjungtiviotis sekresi pada air mata disebabkan adanya sensasi benda
asing, sensasi terbakar, gatal.
Diagnosis
Pemeriksaan fisik (inspeksi) untuk mencari karakter atau tanda
konjungtivitis yang meliputi Hiperemi konjungtiva yang tampak paling nyata
pada forniks dan mengurang kea rah limbus, Kemungkinan adanya sekret:
1). Mukopurulen dan berlimpah pada infeksi bakteri yang menyebabkan
kelopak mata lengket saat bangun tidur, 2). Berair/encer pada inveksi virus,
Edema konjungtiva, Blefarospasme, Lakrimasi, Konjungtiva palpebra
(merah, kasar seperti beludru karena ada edema dan infiltrasi), Konjungtiva
bulbi, injeksi konjungtival banyak, kemosis, dapat ditemukan pseudo
membrane pada infeksi pneumakok.
Pemeriksaan Penunjang
Test komposisi air mata (Schimer test, BUT, Ferning test), Uji Anel,
pemeriksaan swab sekret (gram, Giemsa), pemeriksaan laboratorium,
pemeriksaan visus, kaji visus klien dan catat derajat pandangan perifer
klien karena jika terdapat sekret yang menempel pada kornea dapat
menimbulkan kemunduran visus atau melihat halo.

144
Tatalaksana
Konjungtivitis biasanya hilang sendiri. Tapi tergantung pada
penyebabnya, terapi dapat meliputi antibiotika sistemik atau topical, bahan
anti inflamasi, irigasi mata, pembersihan kelopak mata atau kompres
hangat. Pengobatan spesifik tergantung dari identifikasi
penyebab.Penanganannya dimulai dengan edukasi pasien untuk
memperbaiki higiene kelopak mata. Pembersihan kelopak 2 sampai 3 kali
sehari dengan artifisial tears dan salep dapat menyegarkan dan
mengurangi gejala pada kasus ringan. Pada kasus yang lebih berat
dibutuhkan steroid topikal atau kombinasi antibiotik-steroid.
Prognosis dan Komplikasi
Bila segera diatasi, konjungtivitis ini tidak akan membahayakan.
Namun jika bila penyakit radang mata tidak segera ditangani/diobati bisa
menyebabkan kerusakan pada mata/gangguan dan menimbulkan
komplikasi seperti Glaukoma, katarak maupun ablasi retina

D. DRY EYE SYNDROME


Definisi
Dry eye adalah suatu kondisi dimana terdapat insufisiensi air mata untuk
melumasi dan memelihara mata.

Etiologi
Penyebab mata kering diklasifikasikan menjadi kelompok defisiensi
aqueous dan kelompok evaporasi. Pemeriksaan menggunakan tes
schirmer diindikasikan untuk defisiensi aqueous dan pemeriksaan tear
break up test diindikasikan untuk kelompok evaporasi.

Faktor Resiko

145
Bagan Faktor Resiko
Tanda dan Gejala
Tanda dan gejala tergantung dari keparahan sindroma mata kering atau
keratitis sicca, sebagian besar penderita mengeluhkan keadaan sebagai
berikut:
 sensasi benda asing, mata kering, dan berpasir
 hyperemia
 mucoid discharge
 iritasi mata
 pengeluaran air mata yang berlebihan
 photophobia
 penglihatan kabur
Keluhan tersebut sering memberat pada lingkungan berasap atau
lingkungan kering, ruangan panas, dan aktifitas lama di depan komputer
atau membaca lama.

Tes Pemeriksaan
Pemeriksaan fungsi sistem lakrimalis dan kelopak mata, antara lain:
1. Tes Schirmer
Tes Schimer 1
Tes ini merupakan pemeriksaan fungsi sekresi sistem lakrimlais.Uji ini
untuk menentukan apakah produksi air mata cukup untukmembasahi mata.
Pemeriksaan ini mengukur sekresi basal danrefleks ekskresi sistem
lakrimalis.
2. Uji sekresi basal
 Dasar
Dengan memberikan anestesi pada mata maka akan keluar
sekresiair mata yang tidak diakibatkan rangsangan sehingga timbul
reflexsekresi.
3. Uji phenol red thread
Fenol merah sangat rentan pH yang akan berubah dari warna
kuningmenjadi merah bila dibasahi air mata.
4. Uji laboratorium air mata
Beberapa pemeriksaan laboratorium dilakukan untuk mengetahui mata
kering seperti:osmolaritas, jumlah laktoferin dan impresi sitologi epitel
konjungtiva.
5. Uji warna sekunder
Bila terdapat fungsi yang normal pada system ekskresi air mata makazat
warna yang diberikan pada air mata akan telihat juga mengalir kedalam
hidung hal ini mungkin akibat penyumbatan system eksresilakrimal
sebagian. Pada keadaan ini bila dilakukan pemompaandengan garam
fisiologik melalui system eksresi lakrimal maka zatwarna akan terlihat di
hidung (dye tes sekunder)
6. Uji fluoresensi pada fungsi sistem lakrimalis

146
Air mata masuk hidung melalui system ekskresi lakrimal. Air matadengan
fluorescein akan masuk ke dalam system lakrimal dan terlihatdi hidung
dengan warna hijau.
7. Uji anel
Tes untuk menentukan fungsi ekskresi system lakrimal. Uji Aneladalah
suatu uji untuk melakukan pemeriksaan fungsi pengeluaranair mata ke
dalam rongga hidung.
8. Tes zat warna Rose Bengal konjungtiva
Rose bengal merupakan zat warna yang bila diberikan padapermukaan
mata akan diambil oleh sel epitel yang mati. Pewarnaanpositif konjungtiva
oleh rose bengal akan selalu terlihat pada diagnose mata kering. Uji ini
lebih sensitif daripada fluoresein, warna rose Bengal akan mewarnai sel-sel
epitel kornea yang tidak vital juga sel-sel padakonjungtiva.

Treatment
1. Higienitas palpebra untuk menstabilkan film air mata
denganmengkompres menggunakan air hangat selama 2 menit,
2-4 kalisehari.Kemudian bersihkan dengan sampo bayi
denganmengggunakan ujung jari tangan setiap setelah
mengkompres.
2. Penggantian dan stimulasi air mata. Cairan
hipotonikdirekomendasikan dan sangat membantu untuk kasus
yangringan.
3. Kondisi yang menyertai
Campuran antara lubrikasi normal dan fungsi pembersihan dari
airmata maupun yang berhubungan dengan penurunan
lisozimberesiko timbulnya infeksi grade rendah kronis. Infeksi
yangmengenai tepi palpebra dapat memperburuk kondisi
defisiensi airmata yang sudah ada, dan blepharitis anterior
ataupun superiorarus diterapi dengan higienitas palpebra yang
adekuat,antiinflamasi, dan/atau antibiotic.
4. Oklusi puncta
Dilakukan jika diakibatkan evaporasi air mata yang berlebihan.
5. Therapeutic contact lens therapy (TSCL)
Hydrophilic bandage lenses biasanya disediakan
untukmenampung air mata jika digunakan dengan kombinasi air
mataartifisial yang banyak. Lensa terbaru yaitu gas-permeable
scleral contact lenses sangat efektif.

147
E. BLEFARITIS
DEFINISI
Blefaritis adalah suatu peradangan pada kelopak mata. Blefaritis ditandai
dengan pembentukan minyak berlebihan di dalam kelenjar di dekat kelopak
mata yang merupakan lingkungan yang disukai oleh bakteri yang dalam
keadaan normal ditemukan di kulit.

PENYEBAB
Terdapat 2 jenis blefaritis:
 Blefaritis anterior : mengenai kelopak mata bagian luar depan
(tempat melekatnya bulu mata). Penyebabnya adalah bakteri
stafilokokus dan ketombe pada kulit kepala.
 Blefaritis posterior ; mengenai kelopak mata bagian dalam (bagian
kelopak mata yang lembab, yang bersentuhan dengan mata).
Penyebabnya adalah kelainan pada kelenjar minyak. penyakit kulit
yang bisa menyebabkan blefaritis posterior adalah rosasea dan
ketombe pada kulit kepala (dermatitis seboreik). Alergi atau
infestasi kutu pada bulu matajuga bisa menyebabkan blefaritis.

GEJALA
Blefaritis menyebabkan kemerahan dan penebalan, bisa juga terbentuk
sisik dan keropeng atau luka terbuka yang dangkal pada kelopak mata.
Blefaritis bisa menyebabkan penderita merasa ada sesuatu di matanya.
Mata dan kelopak mata terasa gatal, panas dan menjadi merah.
Bisa terjadi pembengkakan kelopak mata dan beberapa helai bulu mata
rontok.
Mata menjadi merah, berair dan peka terhadap cahaya terang. Bisa
terbentuk keropeng yang melekat erat pada tepi kelopak mata; jika
keropeng dilepaskan, bisa terjadi perdarahan.
Selama tidur, sekresi mata mengering sehingga ketika bangun kelopak
mata sukar dibuka.

DIAGNOSA
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala dan hasil pemeriksaan kelopak
mata.

PENGOBATAN
Pengobatan utama adalah membersihkan pinggiran kelopak mata untuk
mengangkat minyak yang merupakan makanan bagi bakteri. Bisa
digunakan sampo bayi atau pembersih khusus.
Untuk membantu membasmi bakteri kadang diberikan salep antibiotik
(misalnya eritromisin atau sulfacetamide) atau antibiotik per-oral (misalnya
tetracycline). Jika terdapat dermatitis seboroik, harus diobati. Jika terdapat
kutu, bisa dihilangkan dengan mengoleskan jeli petroleum pada dasar bulu
mata.

148
F. HORDEOLUM

DEFINISI
Hordeolum adalah infeksi kelenjar pada palpebra. Bila kelenjar
Meibom yang terkena, timbul pembengkakan besar yang disebut
hordeolum interna. Sedangkan hordeolum eksterna yang lebih kecil dan
lebih superfisial adalah infeksi kelenjar Zeiss atau Moll.

ETIOLOGI
Staphylococcus aureus adalah agent infeksi pada 90-95% kasus
hordeolum.

FAKTOR RESIKO
1. Penyakit kronik.
2. Kesehatan atau daya tahan tubuh yang buruk.
3. Peradangan kelopak mata kronik, seperti Blefaritis.
4. Diabetes
5. Hiperlipidemia, termasuk hiperkolesterolemia.
6. Riwayat hordeolum sebelumnya
7. Higiene dan lingkungan yang tidak bersih
8. Kondisi kulit seperti dermatitis seboroik.

GEJALA DAN TANDA


Gejala
- Pembengkakan
- Rasa nyeri pada kelopak mata
- Perasaan tidak nyaman dan sensasi terbakar pada kelopak mata
- Riwayat penyakit yang sama
Tanda
- Eritema
- Edema
- Nyeri bila ditekan di dekat pangkal bulu mata
- Seperti gambaran absces kecil

PENATALAKSANAAN
Biasanya hordeolum dapat sembuh dengan sendiri dalam waktu 5-7
hari.
Umum
1. Kompres hangat 4-6 kali sehari selama 15 menit tiap kalinya untuk
membantu drainase. Lakukan dengan mata tertutup.
2. Bersihkan kelopak mata dengan air bersih atau pun dengan sabun
atau sampo yang tidak menimbulkan iritasi, seperti sabun bayi. Hal
ini dapat mempercepat proses penyembuhan. Lakukan dengan
mata tertutup.

149
3. Jangan menekan atau menusuk hordeolum, hal ini dapat
menimbulkan infeksi yang lebih serius.
4. Hindari pemakaian makeup pada mata, karena kemungkinan hal itu
menjadi penyebab infeksi.
5. Jangan memakai lensa kontak karena dapat menyebarkan infeksi
ke kornea.
Obat
Antibiotik diindikasikan bila dengan kompres hangat selama 24 jam
tidak ada perbaikan, dan bila proses peradangan menyebar ke sekitar
daerah hordeolum.
1. Antibiotik topikal.
Bacitracin atau tobramicin salep mata diberikan setiap 4 jam selama
7-10 hari.
Dapat juga diberikan eritromicin salep mata untuk kasus hordeolum
eksterna dan hordeolum interna ringan.
2. Antibiotik sistemik
Diberikan bila terdapat tanda-tanda bakterimia atau terdapat tanda
pembesaran kelenjar limfe di preauricular.
Pada kasus hordeolum internum dengan kasus yang sedang
sampai berat. Dapat diberikan cephalexin atau dicloxacilin 500 mg
per oral 4 kali sehari selama 7 hari. Bila alergi penisilin atau
cephalosporin dapat diberikan clindamycin 300 mg oral 4 kali sehari
selama 7 hari atau klaritromycin 500 mg 2 kali sehari selama 7 hari.
Pembedahan
Bila dengan pengobatan tidak berespon dengan baik, maka
prosedur pembedahan mungkin diperlukan untuk membuat drainase pada
hordeolum.
Pada insisi hordeolum terlebih dahulu diberikan anestesi topikal
dengan pantokain tetes mata. Dilakukan anestesi filtrasi dengan prokain
atau lidokain di daerah hordeolum dan dilakukan insisi yang bila:
- Hordeolum internum dibuat insisi pada daerah fluktuasi pus, tegak
lurus pada margo palpebra.
- Hordeolum eksternum dibuat insisi sejajar dengan margo palpebra.
Setelah dilakukan insisi, dilakukan ekskohleasi atau kuretase
seluruh isi jaringan meradang di dalam kantongnya dan kemudian
diberikan salep antibiotik.

G. TRIKRIASIS

Definisi
Trikiasis adalah suatu kelainan dimana bulu mata mengarah ke
dalam bola mata yang dapat menggosok kornea atau konjunctiva yang
dapat menyebabkan iritasi. Trichiasis harus dibedakan daripada entropion,
dimana pada entropion terjadi pelipatan palpebra ke arah dalam.
Kemungkinan dimana terjadinya entropion dan trikiasis bersamaan dapat
terjadi, dan dibutuhkan terapi untuk keduanya.

150
Epidemiologi
Trikiasis dapat terjadi pada semua usia, namun lebih sering
ditemukan pada orang dewasa. Belum ditemukan bukti adanya predileksi
pada ras-ras tertentu ataupun jenis kelamin.

Etiologi
Setiap orang dapat terjadi trikiasis, namun umumnya lebih sering
terjadi pada orang dewasa. Trikiasis dapat disebabkan oleh infeksi pada
mata, peradangan pada palpebra, kondisi autoimun, dan trauma. Proses
penuaan juga merupakan penyebab umum terjadinya trikiasis, karena kulit
yang kehilangan elastisitas.

Gambaran Klinik
Pasien dapat mengeluhkan sensasi benda asing, iritasi pada
permukaan bola mata yang kronik, lesi pada kelopak mata, gatal, nyeri
pada mata, dan mata bengkak. Abrasi kornea sampai dapat terjadi ulkus
kornea, injeksi konjungtiva, keluarnya cairan mucus, dan pandangan
menjadi kabur dapat menyertai penyakit ini.

Diagnosis Banding
Trikiasis dapat didiagnosis banding dengan entropion.Entropion
adalah pelipatan kelopak mata ke arah dalam yang dapat disebabkan oleh
involusi, sikatrik, atau congenital. Gangguan ini selalu mengenai kelopak
mata bawah dan merupakan akibat gabungan kelumpuhan otot-otot
retractor kelopak mata, mikrasi ke atas muskulus orbikularis preseptal, dan
melipatnya tarsus ke atas.

Penatalaksanaan
Jika hanya sedikit bulu mata yang terlibat,trikiasis dapat diterapi
dengan mechanical epilation, yaitu membuang bulu mata yang tumbuh ke
dalam dengan forcep pada slit lamp. Karena pertumbuhan kembali dapat
terjadi, epilasi berulang diperlukan setelah 3-8 minggu.
Komplikasi
Apabila tidak ditangani dengan segera trikiasis dapat menyebabkan
komplikasi seperti iritasi pada permukaan bola mata yang kronik, abrasi
kornea, terjadi ulkus kornea, perforasi, sampai terjadinya infeksi bola mata.
Komplikasi lebih lanjut dapat menyebabkan kebutaan.

Prognosis
Prognosis umumnya baik. Tindak lanjut perawatan berkala dan
perhatian terhadap komplikasi, kekambuhan, atau komplikasi kornea dapat
meningkatkan prognosis jangka panjang.

151
H. EPISKLERITIS

DEFINISI
Episkleritis adalah suatu kondisi yang relatif umum yang dapat
mempengaruhi pada satu atau kedua mata. Episcleritis terjadi pada
perempuan lebih banyak daripada laki-laki dan paling sering terjadi antara
usia 40 dan 50 tahun.

GEJALA
Gejala episkleritis meliputi:
▪ sakit mata dengan rasa nyeri atau sensasi terbakar
▪ Mata merah pada bagian putih mata
▪ Kepekaan terhadap cahaya
▪ Tidak mempengaruhi visus
Jika pasien mengalami episkleritis nodular, pasien mungkin memiliki satu
atau lebih benjolan kecil atau benjolan pada daerah putih mata. Pasien
mungkin merasakan bahwa benjolan tersebut dapat bergerak di
permukaan bola mata.

PENYEBAB
Hingga sekarang para dokter masih belum dapat mengetahui
penyebab pasti dari episkleritis. Namun, ada beberapa kondisi kesehatan
tertentu yang selalu berhubungan dengan terjadinya episkleritis. Kondisi-
kondisi tersebut adalah penyakit yang mempengaruhi tulang, tulang rawan,
tendon atau jaringan ikat lain dari tubuh.

DIAGNOSIS
Dokter umum atau dokter spesialis mata akan menanyakan
beberapa gejala-gejala yang dialami pasien dan akan melakukan
pemeriksaan pada mata pasien. Dokter juga mungkin akan
mempertanyakan mengenai riwayat kesehatan pasien.
Para dokter juga dapat melakukan beberapa tes lebih lanjut, seperti
tes darah, untuk mengetahui apakah episkleritis terkait dengan kondisi
kesehatan yang mendasarinya.
Jika kondisi pasien sangat parah atau tidak berespon dengan pengobatan,
seorang dokter umum mungkin akan merujuk pasien ke dokter spesialis
mata.

PROGNOSIS
Prognosis akhirnya baik karena biasanya akan sembuh dengan sendirinya
dalam 1-2 minggu, dan tidak akan mempengaruhi visus.

TERAPI
Episkleritis biasanya akan hilang sendiri dalam waktu sekitar 10 hari

152
dan biasanya tidak memerlukan pengobatan apapun.Air mata buatan
(misalnya hypromellose) dapat berguna dalam menghilangkan gejala mata
kering.

KOMPLIKASI
Sebuah komplikasi episkleritis yang mungkin terjadi adalah iritis. Sekitar
satu dari 10 orang dengan episkleritis akan berkembang ke arah iritis
ringan.

DAFTAR PUSTAKA

1. American Academy of Opthalmology. 2008. External Disease and


Cornea. Section 11. San Fransisco: MD Association.
2. Doengoes, Marilyn E. 1999. Rencana Asuhan Keperawatan Edisi 3.
Jakarta: EGC
3. Francisco J.G.F, Ivan R.S, Debra J.S. 2010. Konjungtiva dan
Konjungtivitis. Dalam: Vaughan D.G, Asbury T, Riordan E.P, Editor.
Oftalmologi Umum Edisi 17. Jakarta : EGC.
4. Ilyas, S. 2005. Ilmu Penyakit Mata. Edisi 3. Jakarta: FKUI.
5. James L., Brus, W., William C. 2005. Lecture Notes Oftalmologi.
Jakarta: Erlangga.
6. Kanski, J. 2003. Clinical Ophthalmology, A Systematic Approach.
5th Ed. Butterworth Heinemann: MT Press.
7. Khurana, AK. 2009. Diseases of the Conjunctiva: Comprehensive
Ophtalmology Fourth Edition. New Delhi: New Age.
8. Morrow GL, Abbott RL, Maron CM. 2000. Conjunctivitis. American
Family Physician. New York: NYP.
9. Perdami. 2002. Ilmu Penyakit Mata untuk Dokter Umum dan
Mahasiswa Kedokteran ed-2. Jakarta: Sagung Seto. Quinn
Christopher J. 2002. Optometric Clinical PracticeGuideline Care of
The Patien with Conjungtivitis. http://www.aoa.org/documents/CPG-
11.pdf.
10. Quinn Christopher J. 2002. Optometric Clinical Practice Guideline
Care of The Patien with Conjungtivitis.
http://www.aoa.org/documents/CPG-11.pdf.
11. Soewono, W., Oetomo M., Eddyanto. 2002. Pedoman Diagnosis
dan Terapi Ilmu Penyakit Mata. Surabaya: RSUD dr Soetomo.
12. Tarabishy B, Ahmad, MD. 2008. Bacterial conjunctivitis: A review for
internists,.Cole Eye Institute.
http://ccjm.org/content/75/7/507.full.pdf. Sirajuddin, Junaedi. Bagian
Mata FKUH. Konjungtivitis.

153
I. KELAINAN REFRAKSI

A. MIOPIA
Miopia atau rabun jauh merupakan suatu keadaan dimana mata
mampu melihat obyek yang dekat, tetapi kabur bila melihat objek-objek
yang jauh letaknya. Pada umumnya miopia merupakan kelainan yang
diturunkan oleh orang tuanya sehingga banyak dijumpai pada usia dini
sekolah. Ciri khas dari perkembangan miopia adalah derajat kelainan yang
meningkat terus sampai usia remaja kemudian menurun pada usia dewasa
muda. Walaupun agak jarang, miopia dapat pula disebabkan oleh
perubahan kelengkungan kornea atau oleh kelainan bentuk lensa mata.
Karena itu untuk memperoleh gambaran penyebab yang lebih jelas pada
seseorang, riwayat adanya miopia di dalam keluarga perlu di kemukakan.

Lazimnya miopia terjadi karena memanjangnya sumbu bolamata.


Mata yang penampang seharusnya bulat, akibat proses pemanjangan ini
kemudian berbentuk bulat telur. Selanjutnya, pemanjangan sumbu ini
menyebabkan media refraktif sulit memfokuskan berkas cahaya terfokus di
depan retina. Berkas cahaya terfokus didepan retina. Sejalan dengan
memanjangnya sumbu bolamata, derajat miopia pun akan bertambah.
Pada usia anak-anak sampai remaja, proses pemanjangan
bolamata dapat merupakan bagian dari pertumbuhan tubuh. Pertambahan
derajat miopia membutuhkan kacamata yang kiat berat derajat
kekuatannya, karena itu pada masa usia dini dianjurkan agar pemeriksaan
diulang setiap 6 bulan pada golongan usia antara 20-40 tahun,
progresivitas miopia akan melambat. Meskipun demikian pertambahannya
tetap ada, terutama pada mereka yang baru mulai menderita miopia diatas
usia 20 tahun.

Miopia dapat dibedakan berdasarkan tingginya dioptri, yaitu:


 <1 dioptri  miopia sangat ringan
 1-3 dioptri  miopia ringan
 3-6 dioptri  miopia sedang
 6-10 dioptri  miopia tinggi
 >10 dioptri  miopia sangat tinggi

B. HIPERMETROPIA
Hipermetropi / Rabun dekat adalah keadaan di mana berkas
cahaya yang masuk ke mata difokuskan di belakang retina. Penyebab
timbulnya hipermetropi ini diakibatkan oleh beberapa hal yaitu:
1. Sumbu utama bola mata yang terlalu pendek.
Hipermetropia jenis ini disebut juga Hipermetropi Axial. Hipermetropi
Axial ini dapat disebabkan oleh Mikropthalmia, Retinitis Sentralis,
ataupun Ablasio Retina (lapisan retina lepas lari ke depan sehingga titik
fokus cahaya tidak tepat dibiaskan).

154
2. Daya pembiasan bola mata yang terlalu lemah
Hipermetopia jenis ini disebut juga Hipermetropi Refraksi. Dimana dapat
terjadi gangguan-gangguan refraksi pada kornea, aqueus humor, lensa,
dan vitreus humor. Gangguan yang dapat menyebabkan hipermetropia
refraksi ini adalah perubahan pada komposisi kornea dan lensa
sehingga kekuatan refraksinya menurun dan perubahan pada komposisi
aqueus humor dan vitreus humor (misalkan Pada penderita Diabetes
Mellitus, hipermetropia dapat terjadi bila kadar gula darah di bawah
normal, yang juga dapat mempengaruhi komposisi aueus dan vitreus
humor tersebut)
3. Kelengkungan Kornea dan Lensa tidak Adekuat
Hipermetropia jenis ini disebut juga hipermetropi kurvatura. Dimana
kelengkungan dari kornea ataupun lensa berkurang sehingga bayangan
difokuskan di belakang retina.
4. Perubahan posisi lensa.
Dalam hal ini didapati pergeseran posisi lensa menjadi lebih posterior.

Gejala klinis pada hypermetropia adalah sakit kepala frontal,


memburuk pada waktu mulai timbul gejala hipermetropi dan makin
memburuk sepanjang penggunaan mata dekat. Penglihatan tidak nyaman
(asthenopia) ketika pasien harus focus pada suatu jarak tertentu untuk
waktu yang lama, misalnya menonton pertandingan bola. Akomodasi akan
lebih cepat lelah ketika terpaku pada suatu level tertentu dari ketegangan.

C. PRESBIOPIA

Presbiopia, yang biasa juga disebut penglihatan tua (presby = old =


tua; opia = vision = penglihatan) merupakan keadaan normal sehubungan
dengan usia, di mana kemampuan akomodasi seseorang telah mengalami
penurunan sehingga sampai pada tahap di mana penglihatan pada jarak
dekat menjadi kurang jelas dan terjadi pada orang yang telah lanjut usia
(diatas 40 tahun). Pasien dalam kasus ini berusia 50 tahun, dimana secara
teori sudah mengalami penurunan kemampuan penglihatan yang terjadi
secara fisiologis dan sering disebut pula presbiopia.

Presbiopia adalah merupakan bagian dari proses penuaan yang


secara alamiah dialami oleh semua orang. Penderita akan menemukan
perubahan kemampuan penglihatan dekatnya pertamakali pada
pertengahan usia empat puluhan. Pada usia ini, keadaan lensa kristalin
berada dalam kondisi dimana elastisitasnya telah banyak berkurang
sehingga menjadi lebih kaku dan menimbulkan hambatan terhadap proses
akomodasi, karena proses ini utamanya adalah dengan mengubah bentuk
lensa kristalin menjadi lebih cembung. Organ utama penggerak proses
akomodasi adalah muskulus siliaris, yaitu suatu jaringan otot yang tersusun
dari gabungan serat longitudinal, sirkuler, dan radial. Fungsi serat-serat
sirkuler adalah untuk mengerutkan dan relaksasi serat-serat zonula, yang

155
merupakan kapsul di mana lensa kristalin barada di dalamnya. Otot ini
mengubah tegangan pada kapsul lensa, sehingga lensa dapat mempunyai
berbagai fokus baik untuk objek berjarak dekat maupun yang berjarak jauh
dalam lapangan pandang. Jika elastisitas lensa kristalin berkurang dan
menjadi kaku (sclerosis), maka muskulus siliaris menjadi terhambat atau
bahkan tertahan dalam mengubah kecembungan lensa kristalin.

Dalam menentukan nilai addisi, penting untuk memperhatikan


kebutuhan jarak kerja penderita pada waktu membaca atau melakukan
pekerjaan sehari – hari yang banyak membutuhkan penglihatan dekat.
Karena jarak baca dekat pada umumnya adalah 33 cm, maka lensa S
+3,00 D adalah lensa plus terkuat sebagai addisi yang dapat diberikan
pada seseorang. Pada keadaan ini, mata tidak melakukan akomodasi bila
melihat obyek yang berjarak 33 cm, karena obyek tersebut berada pada
titik focus lensa S +3,00 D tersebut. Jika penderita merupakan seseorang
yang dalam pekerjaannya lebih dominan menggunakan penglihatan dekat,
lensa jenis fokus tunggal (monofocal) merupakan koreksi terbaik untuk
digunakan sebagai kacamata baca. Lensa bifocal atau multifocal dapat
dipilih jika penderita presbiopia menginginkan penglihatan jauh dan
dekatnya dapat terkoreksi.

D. ASTIGMATISMA

Astigmatisma adalah sebuah gejala penyimpangan dalam


pembentukkan bayangan pada lensa, hal ini disebabkan oleh cacat lensa
yang tidak dapat memberikan gambaran/ bayangan garis vertikal dengan
horizotal secara bersamaan.cacat mata ini dering di sebut juga mata
silinder.


Penyebabnya umumnya adalah bawaan. Beberapa penyakit mata


dan pasca bedah kornea, juga dapat menjadi penyebabnya. Astigmat
bawaan tidak bisa sembuh total, tetapi dapat dikoreksi dengan kacamata,
lensa kontak atau dengan bedah lasik, dan yang disebakan oleh penyakit
misalnya timbilen (hordeulum), selaput konjuctiva (pterigium) akan hilang
apabila penyakitnya sembuh atau di operasi, sedang astigmat pasca bedah
kornea dapat dikurangi dengan melepas jahitan atau dengan kacamata.



Oleh karena astigmat dapat menimbulkan pusing, kelelahan mata


bahkan kabur maka sebaiknya jika ada keluhan tersebut segera di
konsultasikan ke dokter spesialis mata.

Astigmatisma disebabkan karena
kornea mata tidak berbentuk sferik (irisan bola), melainkan lebih
melengkung pada satu bidang dari pada bidang lainnya. Akibatnya benda
yang berupa titik difokuskan sebagai garis. Mata astigmatisma juga
memfokuskan sinar-sinar pada bidang vertikal lebih pendek dari sinar-sinar
pada bidang horisontal.


156
Astigmat derajat kecil masih bisa di toleransi oleh mata apabila
mata dalam keadaan sehat. Oleh karena itu perlu menjaga kesehatan mata
dengan cara jika melihat dekat jangan terlalu lama, maksimal 2 jam dan
diistirahatkan kurang lebih 15 menit. Salah satu cara mengatasi
astigmatisma yang effisien ialah dengan menggunakan kacamata
berbentuk silindris.

DAFTAR PUSTAKA
1. Ilyas S. Ilmu penyakit mata. Jakarta: Balai Penerbit FK UI; 2012.
2. Ilyas, S. Kelainan refraksi dan kacamata. Jakarta: Balai Penerbit FK
UI; 2006.
3. Perhimpunan Dokter Spesialis Mata Indonesia. Ilmu Penyakit Mata.
2nd ed. Ilyas S, Mailangkay HHB, Taim H, Saman RR, Sinamarta M,
Widodo PS, editors. Jakarta: Sagung Seto; 2010.
4. Ariestanti H, Dewayani P. Characteristic patients with refractive
disorder at eye clinic hospital. Bali Medical Journal; 2012.
5. Journal cEH. http://cehjournal.org.files. {internet}.; 2007 (cited 2016
Maret 16).
6. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Mata sehat di segala
usiauntuk peningkatan kualitas hidup masyarakat indonesia. (internet}.;
2012 (cited 2016 Maret 17). Available from : http://www.depkes.go.id.
7. Basar A. Laporan kasus kelainan refraksi. Malang; 2012.
8. Khurana AK. Chapter 3 Optics and refraction,comprehensive
ophtamology, fourth edition. New Age international, New Delhi; 2007.
9. Sherwood L. Human Physiology : from cells to systems. 6th edition.
Thomas Press; 2006.
10. WHO, 2006, Sight Test and Glasses Could Dramatically Improve The
Lives of 150 Million People With Poor Vision, Geneva: WHO Press
Release. Available from : http://www.who.int/mediacentre.

J. PTERIGIUM
Definisi
Pertumbuhan fibromuskular pada konjungtiva yang tumbuh menginfiltrasi
permukaan kornea dengan awalnya terletak pada celah kelopak bagian
nasal ataupun temporal konjungtiva

Epidemiologi
 ↑ di iklim panas dan kering
 ↑ di daerah berdebu
 Jarang di usia <15th
 Insiden tertinggi usia 20-49 th
 Laki-laki 4x > perempuan

157
Etiologi
 Diduga : iritasi kronis akibat :
o Debu
o Cahaya sinar matahari
o Udara panas
 Diturunkan autosom dominan (pada beberapa kasus)

Faktor predisposisi
 Paparan sinar UV
 Mikro trauma kronis pada mata
 Infeksi mikroba atau virus

Klasifikasi
Berdasarkan :
o Tipe
TIPE 1 TIPE 2 TIPE 3
Pterigium kecil Pterigium tipe primer Pterigium primer atau
advanced rekuren dengan
keterlibatan zona optik
Lesi terbatas (+) kapiler2 yg Paling berat
padalimbus membesar
Lesi meluas <2mm Lesi menutupi kornea Lesi mengenai kornea
dari kornea hingga4mm >4mm
menimbulkan
astigmat
(+) Stocker‘s line Mengganggu aksis visual
Beresiko pada
pasien dengan
pengguna lensa
kontak

 Stadium
STADIUM 1 STADIUM 2 STADIUM 3 STADIUM 4
Pterigium Pterigium Pterigium > dari Pterigium
terbatas pada melewati limbus derajat II melewati pupil
limbus kornea
Belum mencapai Tidak melebihi Adanya
pupil pinggiran pupil gangguan
penglihatan
Tidak lebih dari Diameter pupil ±
2 mm melewati 3-4 mm
kornea

158
 Perjalanan penyakit
o Progresif
- Tebal
- Vaskular dengan beberapa infiltrat di kornea di depan
kepala pterigium
o Regresif
- Tipis
- Atrofi
- Sedikit vaskular
- Membentuk membran dan tidak pernah hilang
 Terlihatnya Pembuluh darah episklera denganpemeriksaan slit lamp
o T1 (Atrofi)
- Pembuludarah episklera jelas terlihat
o T2 (Intermediet)
- Pembuludarah episklera sebagian terlihat
o T3 (Fleshy, opaque)
- Pembuludarah tidak jelas

Manifestasi klinik
 Asimptomatis awalnya
 Mata berair
 Merah
 Timbul astigmatisme karena kornea tertarik

Diagnosis
 Anamnesa
o Keluhan : mata gatal, merah, sering berair, gangguan
penglihatan
o Riwayat : mata merah berulang, banyak kerja diluar rumah,
trauma
 Px.Fisik
o Inspeksi : adanya jaringan fibrovaskular di permukaan
konjungtiva gambaran yang vaskular dan tebal atau
avaskular dan flat serta memiliki bentuk segitiga dengan
apeks menghadap kornea dan basis menghadap lipatan
semikunar pada cantus
o Lokasi : sering pada konjungtiva nasal, dan bisa di daerah
temporal
 Px.Penunjang
o Topografi kornea  untuk menilai seberapa besar
komplikasi yang terjadi

159
Komplikasi
 Astigmatisma
 Merah, iritasi, bekas luka kronis pada konjungtiva dan kornea
 Diplopia  karena keterlibatan otot ekstraokuler yang luas
 Pasca eksisi :
o Infeksi, diplopia, jaringan parut, perforasi mata, perdarahan
dan ablasi retina
o Pterigium rekuren

K. KALAZION
Definisi
Kalazion merupakan peradangan lipogranulomatosa kelenjar meibom yang
tersumbat. Pada kalazion terjadi penyumbatan kelenjar meibom dengan
infeksi ringan yang mengakibatkan peradangan kronis kelenjar tersebut.
Pada kalazion terbentuknodul pada palpebra yang bersifat keras dan tidak
nyeri.

Etiologi
Kalazion disebabkan oleh minyak dalam kelenjar terlalu pekat untuk
mengalir keluar kelenjar atau saluran kelenjar minyak yang tersumbat. Oleh
karena tidak dapat mengalir keluar, produksi minyak tertimbun di dalam
kelenjar dan membentuk tembel di palpebra.

Faktor Resiko :

 Belum diketahui dengan pasti factor resiko apa yang menyebabkan


terjadinya kalazion
 Hygiene palpebra yang buruk mungkin dapat dihubungkan dengan
kalazion meskipun perannya masih perlu dibuktikan.
 Stress juga sering dihubungkan dengan kalazion namun stress
belum dibuktikan sebagai penyebab dan mekanisme stress dalam
menyebabkan kalazion belum diketahui.
 Faktor makanan seperti susu, coklat, seafood dan telur mungkin
berperan,
Gejala Klinis
Kalazion akan memberikan gejala adanya benjolan pada kelopak, tidak
hiperemi, tidak ada nyeri tekan, dan adanya pseudoptosis. Kelenjar
preurikel tidak membesar. Kadang-kadang mengakibatkan perubahan
bentuk bola mata akibat tekanannya sehingga terjadi kelainan refraksi pada
mata tersebutKalazion lebih sering timbul pada palpebra superior, di mana
jumlah kelenjar Meibom terdapat lebih banyak daripada palpebra inferior.
Gejala yang mungkin dirasakan pasien dengan kalazion adalah sebagai
berikut.
• Pembengkakan di kelopak mata
• Kekakuan pada kelopak mata

160
• Sensitivitas terhadap cahaya
• Peningkatan keluarnya air mata
• Berat dari kelopak mata
• Rasa seperti mengantuk.

Diagnosis
Dari anamnese diriwayatkan pembesaran dari waktu ke waktu, dan
mungkin ada riwayat infeksi pada kelopak mata yg nyeri sebelum terbentuk
kalazion, tapi ini tidak selalu terjadi.
Pemeriksaan yang dilakukan meliputi tes penglihatan masing-masing mata
dan inspeksi muka, palpebra, dan mata itu sendiri. Sebagai tambahan
dalam memeriksa kulit palpebra, dokter mata juga akan melihat bagian
dalam palpebra superior jika tembel ada di palpebra superior.
Temuan klinis dan respon terhadap terapi pada pasien kalazion biasanya
spesifik. Bila terjadi kalazion berulang beberapa kali terutama yang terjadi
di tempat yang sama meskipun telah dilakukan drainase dengan baik
sebelumnya, harus dipertimbangkan adanya suatu keganasan dan
sebaiknya dilakukan pemeriksaan histopatologik.

Penatalaksanaan
Non medika mentosa
Kompres hangat dengan cara menempelkan handuk basah oleh air hangat
selama lima sampai sepuluh menit. Kompres hangat dilakukan empat kali
sehari untuk mengurangi pembengkakan dan memudahkan drainase
kelenjar. Jika kalazion menimbulkan gejala yang berat atau tidak sembuh
setelah berminggu-minggu, mungkin diperlukan operasi. Jika
pembengkakan tidak berakhir dalam beberapa minggu atau muncul gejala
penglihatan kabur, dokter mata akan menyarankan operasi untuk
mengangkat kalazion. Jika penampilan kalazion mengganggu pasien,
operasi juga akan menjadi indikasi.

Medikamentosa
 Obat tetes mata atau salep mata jika infeksi diperkirakan sebagai
penyebabnya.
 Injeksi steroid ke dalam kalazion untuk mengurangi inflamasi, jika
tidak ada bukti infeksi
 Steroid menghentikan inflamasi dan sering menyebabkan regresi dari
kalazion dalam beberapa minggu kemudian.
 Injeksi 0,2 – 2 ml triamsinolon 5 mg/ml secara langsung ke pusat
kalazion, injeksi kedua mungkin diperlukan.
 Komplikasi dari penyuntikan steroid meliputi hipopigmentasion, atropi,
dan potensial infeksi.

Komplikasi
Rusaknya sistem drainase pada kalazion dapat menyebabkan trichiasis,
dan kehilangan bulu mata. Kalazion yang rekuren atau tampat atipik perlu

161
dibiopsi untuk menyingkirkan adanya keganasan. Astigmatisma dapat
terjadi jika massa pada palpebra sudah mengubah kontur kornea. Kalazion
yang drainasenya hanya sebagian dapat menyebabkan massa jaringan
granulasi prolapsus diatas konjungtiva atau kulit.

Prognosis
Terapi bisanya berhasil dengan baik. Jika lesi baru sering terjadi, drainage
yang kurang adekuat mungkin mengikatkan lokal rekurensi ini. Kalazion
yang tidak diobati kadang-kadang terdrainase secara spontan, namun
biasanya lebih sering persisten menjadi inflamasi akut intermitten.
Bila terjadi kalazion berulang beberapa kali sebaiknya dilakukan
pemeriksaan histopatologik untuk menghindari kesalahan diagnosis
dengan kemungkinan keganasan.

L. DAKRIOSISTISIS
Definisi
Dakriosistitis adalah peradangan pada sakus lakrimalis akibat adanya
obstruksi pada duktus nasolakrimalis. Obstruksi pada anak-anak biasanya
akibat tidak terbukanya membran nasolakrimal, sedangkan pada orang
dewasa akibat adanya penekanan pada salurannya, misal adanya polip
hidung

Epidemiologi
Penyakit ini sering ditemukan pada anak-anak atau orang dewasa di atas
40 tahun, terutama perempuan dengan puncak insidensi pada usia 60
hingga 70 tahun. Dakriosistitis pada bayi yang baru lahir jarang terjadi,
hanya sekitar 1% dari jumlah kelahiran yang ada dan jumlahnya hampir
sama antara laki-laki dan perempuan.

Klasifikasi
Berdasarkan perjalanan penyakitnya, dakriosistitis dibedakan menjadi 3
(tiga) jenis , yaitu:

a. Akut
Pasien dapat menunjukkan morbiditasnya yang berat namun jarang
menimbulkan kematian. Morbiditas yang terjadi berhubungan dengan
abses pada sakus lakrimalis dan penyebaran infeksinya.

162
Dakriosistisis akut
b. Kronis
Morbiditas utamanya berhubungan dengan lakrimasi kronis yang
berlebihan dan terjadinya infeksi dan peradangan pada konjungtiva.
c. Kongenital
Merupakan penyakit yang sangat serius sebab morbiditas dan
mortalitasnya juga sangat tinggi. Jika tidak ditangani secara adekuat, dapat
menimbulkan selulitis orbita, abses otak, meningitis, sepsis, hingga
kematian. Dakriosistitis kongenital dapat berhubungan dengan
amniotocele, di mana pada kasus yang berat dapat menyebabkan
obstruksi jalan napas.

Dakriosistisis kongenital

Faktor Predisposisi dan Etiologi


Beberapa faktor yang dapat menyebabkan terjadinya obstruksi ductus
nasolakrimalis:
 Terdapat benda yang menutupi lumen duktus, seperti pengendapan
kalsium, atau koloni jamur yang mengelilingi suatu korpus alienum.
 Terjadi striktur atau kongesti pada dinding duktus.

163
 Penekanan dari luar oleh karena terjadi fraktur atau adanya tumor
pada sinus maksilaris.
 Obstruksi akibat adanya deviasi septum atau polip.
Dakriosistitis dapat disebabkan oleh bakteri Gram positif maupun Gram
negatif. Bakteri Gram positif Staphylococcus aureus merupakan penyebab
utama terjadinya infeksi pada dakriosistitis akut, sedangkan Coagulase
Negative-Staphylococcus merupakan penyebab utama terjadinya infeksi
pada dakriosistitis kronis. Selain itu, dari golongan bakteri Gram negatif,
Pseudomonas sp. juga merupakan penyebab terbanyak terjadinya
dakriosistitis akut dan kronis

Gejala Klinis
Gejala umum pada penyakit ini adalah keluarnya air mata dan kotoran.
Pada dakriosistitis akut, pasien akan mengeluh nyeri di daerah kantus
medial (epifora) yang menyebar ke daerah dahi, orbita sebelah dalam dan
gigi bagian depan. Sakus lakrimalis akan terlihat edema, lunak dan
hiperemi yang menyebar sampai ke kelopak mata dan pasien juga
mengalami demam. Jika sakus lakrimalis ditekan, maka yang keluar adalah
sekret mukopurulen.
Pada dakriosistitis kronis gejala klinis yang dominan adalah lakrimasi yang
berlebihan terutama bila terkena angin. Dapat disertai tanda-tanda
inflamasi yang ringan, namun jarang disertai nyeri. Bila kantung air mata
ditekan akan keluar secret yang mukoid dengan pus di daerah punctum
lakrimal dan palpebral yang melekat satu dengan lainnya.
Pada dakriosistitis kongenital biasanya ibu pasien akan mengeluh mata
pasien merah pada satu sisi, bengkak pada daerah pangkal hidung dan
keluar air mata diikuti dengan keluarnya nanah terus-menerus. Bila bagian
yang bengkak tersebut ditekan pasien akan merasa kesakitan (epifora).

Diagnosis
Untuk menegakkan diagnosis dakriosistitis dibutuhkan anamnesis,
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Anamnesis dapat
dilakukan dengan cara autoanamnesis dan heteroanamnesis. Setelah itu,
dilakukan pemeriksaan fisik. Jika, dengan anamnesis dan pemeriksaan
fisik masih belum bisa dipastikan penyakitnya, maka boleh dilakukan
pemeriksaan penunjang.
Beberapa pemeriksaan fisik yang dilakukan bertujuan untuk mengetahui
ada tidaknya obstruksi serta letak dan penyebab obstruksi. Pemeriksaan
fisik yang digunakan untuk memeriksa ada tidaknya obstruksi pada duktus
nasolakrimalis adalah dye dissapearence test, fluorescein clearance test
dan John's dye test. Ketiga pemeriksaan ini menggunakan zat warna
fluorescein 2% sebagai indikator. Sedangkan untuk memeriksa letak
obstruksinya dapat digunakan probing test dan anel test

164
Terapi
Pengobatan dakriosistitis pada anak (neonatus) dapat dilakukan dengan
masase kantong air mata ke arah pangkal hidung. Dapat juga diberikan
antibiotic amoxicillin/clavulanate atau cefaclor 20-40 mg/kgBB/hari dibagi
dalam tiga dosis dan dapat pula diberikan antibiotik topikal dalam bentuk
tetes (moxifloxacin 0,5% atau azithromycin 1%) atau menggunakan
sulfonamid 4-5 kali sehari.
Pada orang dewasa, dakriosistitis akut dapat diterapi dengan melakukan
kompres hangat pada daerah sakus yang terkena dalam frekuensi yang
cukup sering. Amoxicillin dan chepalosporine (cephalexin 500mg p.o. tiap 6
jam) juga merupakan pilihan antibiotik sistemik yang baik untuk orang
dewasa.
Untuk mengatasi nyeri dan radang, dapat diberikan analgesik oral
(acetaminophen atau ibuprofen), bila perlu dilakukan perawatan di rumah
sakit dengan pemberian antibiotik secara intravena, seperti cefazoline tiap
8 jam. Bila terjadi abses dapat dilakukan insisi dan drainase. Dakriosistitis
kronis pada orang dewasa dapat diterapi dengan cara melakukan irigasi
dengan antibiotik. Sumbatan ductus nasolakrimal dapat diperbaiki dengan
cara pembedahan jika sudah tidak radang lagi.

Komplikasi
Dakriosistitis yang tidak diobati dapat menyebabkan pecahnya kantong air
mata sehingga membentuk fistel. Abses kelopak mata, ulkus, bahkan
selulitis orbita.

Prognosis
Dakriosistitis sangat sensitif terhadap antibiotika namun masih berpotensi
terjadi kekambuhan jika obstruksi duktus nasolakrimalis tidak ditangani
secara tepat, sehingga prognosisnya adalah dubia ad malam.

M. DAKRIOADENITIS
Definisi
Peradangan kelenjar lakrimal merupakan penyakit yang jarang
ditemukan dan dapat bersifat unilateral atau bilateral. Dakrioadenitis ialah
suatu proses inflamasi pada kelenjar air mata pars sekretorik. Dibagi
menjadi dua yaitu dakrioadenitis akut dan kronik, keduanya dapat
disebabkan oleh suatu proses infeksi ataupun dari penyakit sistemik
lainnya.

Gejala Klinis
Dakrioadenitis Akut
Pada dakrioadenitis akut sering ditemukan pembesaran kelenjar air mata di
dalam palpebra superior, hal ini dapat ditemukan apabila kelopak mata
atas dieversi, maka akan kelihatan tonjolan dari kelenjar air mata yang
mengalami proses inflamasi.

165
Dakrioadenitis Kronik
Pada kronis darkrioadenitis gejala klinisnya lebih baik daripada yang akut.
Gejala hampir sama dengan fase akut hanya pada fase ini tidak didapatkan
nyeri. Umumnya tidak ditemukan nyeri , ada pembesaran kelenjar namun
mobil, tanda-tanda ocular minimal, ptosis bisa ditemukan, dapat ditemukan
sindroma mata kering.

Terapi
Terapi pada dakrioadenitis bergantung dari onset dan etiologinya.
 Virus  self-limiting, terapi supportive seperti kompres air hangat,
NSAID oral
 Bakteri  dapat diberikan cephalosporin generasi pertama seperti
Cephalexin 500 mg
 Jamur  dapat diberikan antiamoebic atau antifungal
 Inflammatory (non-infeksi)  dapat dicari etologi sistemiknya dan
diterapi berdasarkan causanya.
 Dakrioadenitis kronis  diterapi berdasarkan penyakit
penyebabnya, apabila pembesaran tidak hilang dalam 2 minggu,
dapat dilakukan biopsy glandula lakrimalis (Tomita, 2006).

Komplikasi
Dakrioadenitis akut dapat menyebabkan fistula pada kelenjar lakrimal.

Prognosis
Prognosis dari akut dakrioadenitis adalah baik karena pada kebanyakan
kasus merupakan self-limiting disease. Pada dakrioadenitis kronis,
prognosis tergantung dari manajement terapi yang berhubungan dengan
penyakit yang mendasari terjadinya dakrioadenitis.

N. KERATITIS

DEFINISI

Keratitis adalah perdangan kornea yang ditandai dengan oedema kornea,


infiltrasi seluler dan kongesti siliar.

EPIDEMIOLOGI

Insidensi keratitis pada tahun 1993 adalah 5,3 per 100.000 penduduk di
Indonesia, perbandingan laki-laki dan perempuan tidak begitu bermakna
pada angka kejadian keratitis. Sedangkan predisposisi terjadinya keratitis
antara lain terjadi karena trauma, pemakaian lensa kontak dan
perawatan lensa kontak yang buruk, penggunaan lensa kontak yang
berlebihan, Herpes genital atau infeksi virus lain, kekebalan tubuh yang
menurun karena penyakit lain, serta higienis dan nutrisi yang tidak
baik, dan kadang-kadang tidak diketahui penyebabnya

166
KLASIFIKASI

Terdapat bermacam-macam pembagian dari keratitis yaitu:


1. Menurut penyebabnya:
 Keratitis bakterial
 Keratitis viral
 Keratitis jamur
 Keratitis lagoftalmus
o Keratitis neuroparalitik akibat kerusakan Nervus V
o Keratokonjungtivitis sika

2. Menurut tempatnya:

 Keratitis superfisial
 Keratitis sklerotikans
 Keratitis disiformis

GEJALA KLINIS
Pasien dengan keratitis biasanya datang dengan keluhan iritasi ringan,
adanya sensasi benda asing, mata merah, mata berair, penglihatan yang
sedikit kabur, dan silau (fotofobia) serta sulit membuka mata
(blepharospasme). Penderita akan mengeluh sakit pada mata karena
kornea memiliki banyak serabut nyeri, sehingga amat sensitif. Kebanyakan
lesi kornea superfisialis maupun yang sudah dalam menimbulkan rasa sakit
dan fotofobia.

DIAGNOSIS
Diagnosis ditegakkan berdasarkan hasil anamnesis, gejala klinik dan hasil
pemeriksaan mata. Dari hasil anamnesis sering diungkapkan riwayat
trauma, adanya riwayat penyakit kornea, misalnya pada keratitis herpetic
akibat infeksi herpes simpleks sering kambuh, namun erosi yang kambuh
sangat sakit dan keratitis herpetic tidak, penyakit-penyakit ini dapat
dibedakan dari gejalanya.

No. Jenis keratitis Bentuk keratitis


1. Keratitis stafilokok Erosi kecil-kecil terputus fluorescin;
terutama sepertiga bawah kornea
2. Keratitis herpetik Khas dendritik (kadang-kadang bulat atau
lonjong) dengan edema dan degenerasi
3. Keratitis varicella- Lebih difus dari lesi HSK; kadang-kadang
zoster linear (pseudosendrit)
4. Keratitis adenovirus Erosi kecil-kecil terpulas fluorecein; difus
namun paling mencolok di daerah pupil
5. Keratitis sindrom Epitel rusak dan erosi kecil-kecil,
Sjorgen pleomorfik, terpulas fluorescein; filament
epithelial dan mukosa khas; terutama

167
belahan bawah kornea
6. Keratitis terpapar Erosi kecil-kecil tidak teratur, terpulas
akibat lagoftalmus fluorescein; terutama di belahan bawah
atau eksoftalmus kornea
7. Keratokonjungtuvitis Lesi mirip-sinsisium, yang keruh dan
vernal berbercak-bercak kelabu, paling mencolok
di daerah pupil atas. Kadang-kadang
membentuk bercak epithelium opak
8. Keratitis trofik-sekuele Edema epitel berbercak-bercak; difus
HS, HZ dan destruksi namun terutama di fissure palpebrae, pukul
ganglion gaseri 9-3
9. Keratitis karena obat- Erosi kecil-kecil terpulas fluorescein
terutama antibiotika dengan edema seluler berbintik-bintik;
spectrum luas lingkaran epitel
10. Keratitis superficial Focus sel-sel epithelial sembab, bulat atau
punctata (SPK) lonjong; menimbul bila penyakit aktif
11. Keratokonjungtivitis Erosi kecil-kecil terpulas fluorescein di
limbic superior sepertiga atas kornea; filament selama
eksaserbasi; hiperemi bulbar, limbus
berkeratin menebal, mikropanus
12. Keratitis rubeola, Lesi tipe virus seperti pada SPK; di daerah
rubella dan parotitis pupil
epidemika
13. Trachoma Erosi epitel kecil-kecil terpulas fluorescein
pada sepertiga atas kornea
14. Keratitis defisiensi Kekeruhan berbintik kelabu sel-sel epitel
vitamin A akibat keratinisasi partial; berhubungan
dengan bintik-bintik bitot

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan laboratorium dengan melakukan kultur dari flora kornea
dilakukan selama terjadi inflamasi aktif dapat membantu dalam penelitian
selanjutnya akan tetapi hal tersebut tidak begitu signifikan dalam
penegakan diagnosis dan penatalaksana penyakit keratitis pungtata
superfisial. Pemeriksaan pencitraan dengan menggunakan fotografi slit
lamp untuk mendokumentasikan inflamasi aktif dan periode inaktivitas
dapat dilakukan tapi hal tersebut juga tidak begitu penting dalam
penegakan diagnosis maupun penanganan penyakit.

PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan pada ketratitis pada prinsipnya adalah diberikan sesuai
dengan etiologi. Untuk virus dapat diberikan idoxuridine, trifluridin atau
acyclovir. Untuk bakteri gram positif pilihan pertama adalah cafazolin,
penisilin G atau vancomisin dan bakteri gram negatif dapat diberikan
tobramisin, gentamisin atau polimixin B. Pemberian antibiotik juga

168
diindikasikan jika terdapat secret mukopurulen, menunjukkan adanya
infeksi campuran dengan bakteri. Untuk jamur pilihan terapi yaitu:
natamisin, amfoterisin atau fluconazol. Selain itu obat yang dapat
membantu epitelisasi dapat diberikan. Namun selain terapi berdasarkan
etiologi, pada keratitis ini sebaiknya juga diberikan terapi simptomatisnya
agar dapat memberikan rasa nyaman dan mengatasi keluhan-keluhan
pasien. Pasien dapat diberi air mata buatan, sikloplegik dan kortikosteroid.
Selain terapi medikamentosa sebaiknya diberikan pula edukasi pada
pasien keratitis. Pasien diberikan pengertian bahwa penyakit ini dapat
berlangsung kronik dan juga dapat terjadi kekambuhan. Pasien juga
sebaiknya dianjurkan agar tidak terlalu sering terpapar sinar matahari
ataupun debu karena keratitis ini dapat juga terjadi pada konjungtivitis
vernal yang biasanya tercetus karena paparan sinar matahari, udara
panas, dan debu, terutama jika pasien tersebut memang telah memiliki
riwayat atopi sebelumnya. Pasien pun harus dilarang mengucek matanya
karena dapat memperberat lesi yang telah ada.

KOMPLIKASI & PROGNOSIS


Bila peradangan hanya di permukaan saja, dengan pengobatan yang baik
dapat sembuh tanpa jaringan parut, Bila peradangan dalam, penyembuhan
berakhir dengan pembentukan jaringan parut yang dapat berupa nebula,
makula, leukoma, leukoma adherens dan stafiloma kornea.

O. XEROFTALMIA

Definisi
Xeroftalmia adalah istilah yang menerangkan gangguan
kekurangan vitaminA pada mata, termasuk terjadinya kelainan anatomi
bola mata dan gangguanfungsi sel retina yang berakibat kebutaan.Kata
Xeroftalmia (bahasa Latin) berarti mata kering, karena terjadikekeringan
pada selaput lendir (konjungtiva) dan selaput bening (kornea)mata.

Penyebab
Xeroftalmia terjadi akibat tubuh kekurangan vitamin A. Bila ditinjau
dari
konsumsi makanan sehari-hari kekurangan vitamin A disebabkan oleh:

 Konsumsi makanan yg tidak mengandung cukup vitamin A atau


provitamin A untuk jangka waktu yang lama.
 Bayi tidak diberikan ASI Eksklusif
 Menu tidak seimbang (kurang mengandung lemak, protein, seng/Zn
atau
 zat gizi lainnya) yang diperlukan untuk penyerapan vitamin A dan
 penggunaan vitamin A dalam tubuh.

169
 Adanya gangguan penyerapan vitamin A atau pro-vitamin A seperti
pada
 penyakit-penyakit antara lain penyakit pankreas, diare kronik, Kurang
 Energi Protein (KEP) dan lain-lain sehingga kebutuhan vitamin A
 meningkat.
 Adanya kerusakan hati, seperti pada kwashiorkor dan hepatitis kronik,
 menyebabkan gangguan pembentukan RBP (Retinol Binding Protein)
dan
 pre-albumin yang penting untuk penyerapan vitamin A.

Tanda-tanda dan gejala klinis


Kurang vitamin A (KVA) adalah kelainan sistemik yang
mempengaruhi jaringanepitel dari organ-organ seluruh tubuh, termasuk
paru-paru, usus, mata danorgan lain, akan tetapi gambaran yang
karakteristik langsung terlihat padamata.
Kelainan kulit pada umumnya tampak pada tungkai bawah bagian
depan danlengan atas bagian belakang, kulit tampak kering dan bersisik
seperti sisik ikan.
Kelainan ini selain disebabkan karena KVA dapat juga disebabkan
karenakekurangan asam lemak essensial, kurang vitamin golongan B atau
Kurang Energi
Protein (KEP) tingkat berat atau gizi buruk.
Gejala klinis KVA pada mata akan timbul bila tubuh mengalami KVA
yang telahberlangsung lama. Gejala tersebut akan lebih cepat timbul bila
anak menderita penyakit campak, diare, ISPA dan penyakit infeksi lainnya.
Tanda-tanda dan gejala klinis KVA pada mata menurut klasifikasi
WHO/USAID UNICEF/HKI/ IVACG, 1996 sebagai berikut :
XN : buta senja (hemeralopia, nyctalopia)
XIA : xerosis konjungtiva
XIB : xerosis konjungtiva disertai bercak bitot
X2 : xerosis kornea
X3A : keratomalasia atau ulserasi kornea kurang dari 1/3 permukaan
kornea.
X3B : keratomalasia atau ulserasi sama atau lebih dari 1/3 permukaan
kornea
XS : jaringan parut kornea (sikatriks/scar)
XF : fundus xeroftalmia, dengan gambaran seperti cendol
XN, XIA, XIB, X2 biasanya dapat sembuh kembali normal dengan
pengobatan
yang baik.

Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis pemeriksaan fisik
dan penunjang. Secara garis besar akan ditemukan keluhan seperti pada
gelaja klinis Biasanya ibu mengeluh anaknya tidak bisa melihat pada sore

170
hari (buta senja)atau ada kelainan pada matanya. Kadang-kadang keluhan
utama tidakberhubungan dengan kelainan pada mata seperti demam.
Pada pemeriksaan umumdilakukan untuk mengetahui adanya
penyakit-penyakit yang terkaitlangsung maupun tidak langsung dengan
timbulnya xeroftalmia sepertigizi buruk, penyakit infeksi, dan kelainan
fungsi hati.
Pemeriksaan mata untuk melihat tanda Xeroftalmia denganmenggunakan
senter yang terang. (Bila ada, menggunakan loop.)
 Apakah ada tanda kekeringan pada konjungtiva (X1A)
 Apakah ada bercak bitot (X1B)
 Apakah ada tanda-tanda xerosis kornea (X2)
 Apakah ada tanda-tanda ulkus kornea dan keratomalasia
(X3A/X3B)
 Apakah ada tanda-tanda sikatriks akibat xeroftalmia (XS)
 Apakah ada gambaran seperti cendol pada fundus oculi
denganopthalmoscope (XF).
Pada pemeriksaan laboratorium dilakukan untuk mendukung
diagnosakekurangan vitamin A, bila secara klinis tidak ditemukan tanda-
tanda khasKVA, namun hasil pemeriksaan lain menunjukkan bahwa anak
tersebutrisiko tinggi untuk menderita KVA. Peneriksaan yang dianjurkan
adalah pemeriksaan serum retinol. Bilaserum retinol < 20 ug/dl, berarti
anak tersebut menderita KVAsub klinis.

Pengobatan

171
P. HIFEMA

DefInisi
Hifema merupakan keadaan dimana terdapat darah di dalam bilik mata
depan, yaitu daerah di antara kornea dan iris, yang dapat terjadi akibat
trauma tumpul yang merobek pembuluh darah iris atau badan siliar dan
bercampur dengan humor aqueus (cairan mata) yang jernih. Darah yang
terkumpul di bilik mata depan biasanya terlihat dengan mata telanjang.

Klasifikasi
a). Berdasarkan penyebabnya hifema dibagi menjadi:
o Hifema traumatika adalah perdarahan pada bilik mata depan yang
disebabkan pecahnya pembuluh darah iris dan badan silier akibat
trauma pada segmen anterior bola mata.
o Hifema akibat tindakan medis (misalnya kesalahan prosedur
operasi mata)
o hifema akibat inflamasi yang arah pada iris dan badan silier,
sehingga pembuluh darah pecah
o Hifema akibat kelainan sel darah atau pembuluh darah
o hifema akibat neoplasma (contohnya retinoblastoma)
b). Berdasarkan onset perdarahannya, hifema dibagi menjadi:
o hifema primer terjadi langsung sampai 2 hari setelah trauma pada
mata
o hifema sekunder terjadi 2-5hari setelah trauma pada mata
c). Berdasarkan darah yang terlihat, hifema diklasifikasikan menjadi:
o makrohifema, perdarahan terlihat dengan mata telanjang
o mikrohifema, perdarahan terlihat apabila menggunakan mikroskop
d). Berdasarkan pemenuhan darah dibilik mata depan, hifema dapat dibagi
menjadi:
 Grade 1, darah mengisi kurang dari 1/3 bilik mata depan
 Grade 2, darah mengisi 1/3-1/2 bilik mata depan
 Grade 3, darah mengisis 1/2 – kurang dari seluruh bilik mata depan
 Grade 4, darah mengisi seluruh bilik mata depan, dikenal dengan
total hyphema, blackball atau 8-ball hyphema.

172
Etiologi
Hifema biasanya disebabkan oleh trauma tumpul pada mata seperti
terkena bola, batu, peluru senapan angin, dan lain-lain. Selain itu, hifema
juga dapat terjadi karena kesalahan prosedur operasi mata. Keadaan lain
yang dapat menyebabkan hifema namun jarang terjadi adalah adanya
tumor mata (contohnya retinoblastoma), dan kelainan pembuluh darah
(contohnya juvenile xanthogranuloma).

Penegakan Diagnosis
Adanya riwayat trauma, terutama mengenai matanya dapat memastikan
adanya hifema. Pada gambaran klinik ditemukan adanya perdarahan pada
COA (dapat diperiksa dengan flashlight), kadang-kadang ditemukan
gangguan visus. Ditemukan adanya tanda-tanda iritasi dari conjunctiva dan
pericorneal, fotofobia (tidak tahan terhadap sinar), penglihatan ganda,
blefarospasme, edema palpebra, midriasis, dan sukar melihat dekat,
kemungkinan disertai gangguan umum yaitu letargic, disorientasi atau
somnolen.

Pemeriksaan Penunjang
a) Pemeriksaan ketajaman penglihatan: menggunakan kartu mata
Snellen; visus dapat menurun akibat kerusakan kornea, aqueous
humor, iris dan retina.
b) Lapangan pandang: penurunan dapat disebabkan oleh patologi
vaskuler okuler, glaukoma.
c) Pengukuran tonografi: mengkaji tekanan intra okuler.
d) Slit Lamp Biomicroscopy: untuk menentukan kedalaman COA dan
iridocorneal contact, aqueous flare, dan synechia posterior.

173
e) Pemeriksaan oftalmoskopi: mengkaji struktur internal okuler.
f) Tes provokatif: digunakan untuk menentukan adanya glaukoma bila
TIO normal atau meningkat ringan.

Penatalaksanaan
Biasanya hifema akan hilang sempurna. Bila perjalanan penyakit tidak
berjalan demikian maka sebaiknya penderita dirujuk. Walaupun perawatan
penderita hifema traumatik ini masih banyak diperdebatkan, namun pada
dasarnya adalah:
1) Menghentikan perdarahan.
2) Menghindarkan timbulnya perdarahan sekunder.
3) Mengeliminasi darah dari bilik depan bola mata dengan
mempercepat absorbsi.
4) Mengontrol glaukoma sekunder dan menghindari komplikasi yang
lain.
5)
Berusaha mengobati kelainan yang menyertainya.

Perawatan Konservatif/Tanpa Operasi


1. Tirah baring (bed rest total)
Penderita ditidurkan dalam keadaan terlentang dengan posisi kepala
diangkat (diberi alas bantal) dengan elevasi kepala 30º - 45o (posisi semi
fowler).
2. Bebat mata
Penggunaan bebat mata pada mata yang terkena trauma yaitu untuk
mengurangi pergerakan bola mata yang sakit.
3. Pemakaian obat-obatan
Pemberian obat-obatan pada penderita dengan traumatik hifema tidaklah
mutlak, tapi cukup berguna untuk menghentikan perdarahan, mempercepat
absorbsinya dan menekan komplikasi yang timbul. Untuk maksud di atas
digunakan obat-obatan seperti:
 Koagulansia
 Midriatika Miotika
 Ocular Hypotensive Drug
 Kortikosteroid dan Antibiotika

Perawatan Operasi
Perawatan cara ini akan dikerjakan bilamana ditemukan glaukoma
sekunder, tanda imbibisi kornea atau hemosiderosis cornea. Dan tidak ada
pengurangan dari tingginya hifema dengan perawatan non-operasi selama
3 - 5 hari. Untuk mencegah atrofi papil saraf optik dilakukan pembedahan
bila tekanan bola mata maksimal > 50 mmHg selama 5 hari atau tekanan
bola mata maksimal > 35 mmHg selama 7 hari. Untuk mencegah imbibisi
kornea dilakukan pembedahan bila tekanan bola mata rata-rata > 25
mmHg selama 6 hari atau bila ditemukan tanda-tanda imbibisi kornea.

174
Prognosis
Prognosis tergantung pada banyaknya darah yang tertimbun pada kamera
okuli anterior. Biasanya hifema dengan darah yang sedikit dan tanpa
disertai glaukoma, prognosisnya baik (bonam) karena darah akan diserap
kembali dan hilang sempurna dalam beberapa hari. Sedangkan hifema
yang telah mengalami glaukoma, prognosisnya bergantung pada seberapa
besar glaukoma tersebut menimbulkan defek pada ketajaman penglihatan.
Bila tajam penglihatan telah mencapai 1/60 atau lebih rendah maka
prognosis penderita adalah buruk (malam) karena dapat menyebabkan
kebutaan.

Q. HIPOPION

Definisi
Hipopion didefinisikan sebagai pus steril yang terdapat pada bilik mata
depan. Hipopiondapat terlihat sebagai lapisan putih yang mengendap di
bagian bawah bilik mata depankarena adanya gravitasi. Komposisi dari pus
biasanya steril, hanya terdiri dari lekosittanpa adanya mikroorganisme
patogen, seperti bakteri, jamur maupun virus, karenahipopion adalah reaksi
inflamasi terhadap toxin dari mikroorganisme patogen, dan
bukanmikroorganisme itu sendiri

Etiologi
Hipopion merupakan reaksi inflamasi di bilik mata depan. Karena itu semua
penyakityang berhubungan dengan uveitis anterior dapat menyebabkan
terjadinya hipopion.Hipopion dapat timbul setelah operasi atau trauma
disebabkan karena adalanya infeksi.Misalnya pada keratitis. Bakteria,
jamur, amoba maupun herpes simplex dapatmenyebabkan terjadinya
hipopion.

Presentasi Klinis
Gejala subyektif yang biasanya menyertai hipopion adalah rasa sakit,
iritasi, gatal danfotofobia pada mata yang terinfeksi. Beberapa mengalami
penurunan visus atau lapangpandang, tergantung dari beratnya penyakit
utama yang diderita.Gejala obyektif biasanya ditemukan aqueous cell and
flare, eksudat fibrinous, sinekiaposterior dan keratitis presipitat.

Diagnosa
Diagnosa hipopion ditegakan berdasarkan anamnesa dan pemeriksaan
menggunakan slitlamp. Pada anamnesa, ditanyakan adanya riwayat
infeksi, pemakaian lensa kontak,trauma, pemakaian obat serta riwayat
operasi.
Pada pemeriksaan dengan slit lamp, ditemukan lapisan berwarna putih
pada bagian inferior dari bilik mata depan. Jarang sekali hipopion ini
ditemukan pada bagian lain daribilik mata depan.

175
Komplikasi Klinis
Struktur dari hipopion yang mengandung fibrin, merupakan reaksi tubuh
terhadap inflamasi. Tetapi fibrin-fibrin ini dapat menyebabkan terjadinya
perlengketan antara irisdan lensa (sinekia posterior)

Penatalaksanaan
Penatalaksanaan hipopion tergantung dari ringan atau beratnya penyakit.
Sel darah putihbiasanya akan di reabsorpsi. Tetapi bila hipopion
memberikan gambaran yang berat,maka bisa dilakukan drainase.
Terapi yang lebih spesifik biasanya tergantung dari penyakit utama yang
menyebabkanhipopion. Apabila terjadi inflamasi, dapat diberikan
kortikosteroid. Anti inflamasi yang biasanya digunakan adalah
kortikosteroid.

Prognosa
Hipopion adalah gejala klinis yang muncul sebagai respon
inflamasi. Sel darah putihakan diabsorpsi sepenuhnya. Tetapi prognosis
tergantung dari penyakit dan komplikasiyang dapat terjadi.

R. IRITIS DAN IRIDOSIKLITIS


DEFINISI
 Uvea berasal dari bahasa Latin ―Uva‖ yang berarti anggur, terdiri
dari beberapa komponen yang berperan besar dalam vaskularisasi
bola mata.
 Iritis adalah radang uvea yang hanya mengenai bagian depan
jaringan uvea atau selaput pelangi (iris)
 Bagian tengah uvea = siklitis
 Iritis akan disertai dengan siklitis = uveitis anterior (iridosiklitis)

ETIOLOGI
Penyebab paling umum dari uveitis anterior:
1. Tipe granulomatosa akut:
 Sarkoiditis (terutama pada afro_caribean)\
 Sifilis
 Tuberculosis
 Virus (herpes simpleks)
 Jamur (histoplasmosis)
 Parasit (toksoplasmosis)
2. Tipe Nongranulomatosa akut
 Trauma
 Diare kronis
 Penyakit reiter
 Herpes simpleks
 Sindrom bechet
 Sindrom posner schlosman
 Pascabedah

176
 Infeksi adenovirus
 Parotitis
 Influenza
 Klamidia
3. Tipe Nongranulomatosa kronis:
 Arthritis reumatoid
 Fuchs heterokromik iridosiklitis

MANISFESTASI KLINIS
1. Gejala subjektif:
 Sakit mata : nyeri terutama di bulbus okuli,sakitnya spontan atau
pada penekanan di daerah badan siliar terjadi ketika sedang melihat
objek dekat, misal membaca dari jarak dekat
 Sakit kepala di kening menjalar ke temporal
 Mata capek dan lelah
 Mata merah
 Fotophobia dan lakrimasi
 Penglihatan kabur
2. Riwayat yang berhubungan dengan uveitis adalah usia, kelamin,
suku bangsa penting untuk di catat karena dapat memberikan
petunjuk ke arah diagnosis uveitis tertentu.

PENATALAKSANAAN:
Ada 2 tujuan utama penanganan uveitis anterior yaitu; menekan
peradangan dan mengistirahatkan iris, badan siliaris untuk mengurangi
nyeri serta mencegah memburuknya kondisi
1. Kortikosteroid untuk menekan peradangan
 Diberikan secara lokal (topical, injeksi konjungtiva)
dan sistemik (jika keadaan berat)
 Topical : dexamethaxon 0,1% (tetes) 1-2 tetes tiap 2
jam pada pemakaian awal. Dexamethason salep
0,1% (salep) 1 kali pada malam hari
 Sistemik: steroid 1-2mg/kgBB
2. Sikloplegik
 Lokal :Tetes mata sulfas atropin 1 % 3x sehari
3. Terapi spesifik seperti antibiotik/antimikroba: diberikan apabila
mikroorganisme penyebabnya diketahui
4. Pasien memerlukan tindak lanjut yang baik, dimana pemberian ster
oid dikurangi perlahan sesuai penurunan reaksi radang hingga terca
pai dosis efektif. Jika kondisimembaik, siklopegik dapat dihentikan
5. Harus di evaluasi ulang 2-3minggu kemudian untuk meyakinkan
bahwa tidak ada peradangan ulang
6. Pada pasien yang terus menerus mengalami rekuensi peradangan ,
dapat gunakan terapi immunomodulator dengan
mempertimbangkan potensial resiko dan manfaat. Biasanya pilihan

177
utama dengan memberikan methotrexate (anti metabolit) dosis
rendah 1 kali seminggu
7. Mata di istirahatkan dangan tidak membaca dan tidak terkena sinar
selain daripada mata ditutup.

S. GLAUKOMA

DEFINISI
Glaukoma adalah keadaan dimana tekanan bola mata seseorang demikian
tinggi atau tidak normal sehingga mengakibatkan penggangguan saraf
optik dan mengakibatkan gangguan pada sebagian atau seluruh lapang
pandangan.

ETIOLOGI

 Badan siliar memproduksi terlalu banyak cairan mata sedang


pengeluarannya pada anyaman trabekulum normal (glaukoma
hipersekresi).
 Hambatan pengaliran pada pupil waktu pengaliran cairan dari bilik mata
belakang kedepan bilik mata depan (glaukoma blockade pupil).
 Pengeluaran dari sudut mata tinggi (glaukoma simpleks, glaukoma
sudut tertutup, glaukoma sekunder akibat geniosinekia).

KLASIFIKASI
1. Glaukoma primer
 Penyebab tidak diketahui, dibagi atas dua petunjuk :
a. Glaukoma sudut terbuka (glaukoma simpleks atau glaukoma
simplek).
b. Glaukoma sudut tertutup (galukoma sudut sempit).
 Bersifat diturunkan, pada pasien usia di atas 40 tahun.
 Biasanya mengenai kedua mata.
2.
Glaukoma sekunder
Akibat kelainan didalam bola mata, yang dapat disebabkan:
 Kelainan lensa, katarak imatur, hiperatur, dan dislokasi lensa.
 Kelainan uvea, uveitis anterior.
 Trauma, hifem, dan inkerserasi iris.
 Pasca bedah, blockade pupil, goniosinekia.
3. Glaukoma kongenital
 Konginetal primer, dengan kelainan konginetal lain.
 Infatil, tanpa kelainan konginetal lain.
4. Galukoma absolut

MANIFESTASI KLINIK

Glukoma Primer sudut terbuka dianggap penting, karena sukarnya


membuat diagnosa pada stadium dini, berhubung sifatnya tenang, tidak

178
memberi keluhan, sehingga banyak yang datang tetapi dalam keadaan
sudah lanjut, dimana lapang pandangnya telah sangat sempit atau berakhir
dengan kebutaan. Pada keadaan ini glukoma tersebut berakhir dengan
glukoma absolut.Kadang – kadang disertai sakit kepala yang hilang-timbul,
melihat gambaran pelangi disekitar lampu (halo), mata sebelah terasa
berat, kepala pening sebelah, kdang – kadang penglihatan kabur dengan
anamnesa tidak khas. Pada glukoma simpleks tekanan bola mata sehari –
hari tinggi atau lebih dari 20 mmHg. Mata tidak merah atau tidak terdapat
keluhan, yang mengakibatkan terdapat gangguan susunan anatomis dan
fungsi tampa disadari penderita. Akibat tekanan tinggi akan terbentuk atrofi
papil disertai dengan ekskavasio glukomatosa. Gangguan saraf optik akan
terlihat sebagai gangguan fungsinya berupa penciutan lapang pandang.
Pada waktu pengukuran bila didapatkan tekanan bola mata normal sedang
terlihat gejala gangguan fungsi saraf optik seperti glukoma mungkin akibat
adanya variasi diurnal.

DIAGNOSIS

Diagnosis glukoma sudut terbuka primer ditegakan apabila ditemukan


kelainan – kelainan glaukomatosa pada diskus optikus dan lapang
pandang disertai peningkatan tekaan intraokular, sudut kamera anterior
terbuka dan tampak normal, dan tidak terdapat sebab lain yang
menyebabkan peningkatan tekanan intraokular. Sekitar 50 % pasien
glaukoma sudut terbuka primer memperlihatkan tekanan intraokular yang
normal sewaktu pertama kali diperiksa, sehingga untuk menegakan
diagnosis diperlukan pemeriksaan Tonometri berulang.

PEMERIKSAAN PENUNJANG

Tonometri, lapang pandangan, oftalmoskopi, gonioskopi, tes provokasi,


tonografi.

Tonometri:
Suatu tanda berharga yang ditemukan oleh Downey yaitu bila
antara kedua mata, selalu terdapat perbedaan tensi intraokuler 4 mmHg
atau lebih, maka itu menunjukan kemungkinan glukoma simpleks. Suatu
variasi diurnal pada satu mata dengan perbedaan yang melebihi 5 mmHg,
dianggap menunjukan kemungkinan glaukoma simpleks, meskipun
tensinya masih normal.

Pemeriksaan Lapang Pandang


Penting, baik untuk menegagkan diagnosa maupun untuk meneliti
perjalanan penyakitnya, juga bagi menentukan sikap pengobatan
selanjutnya. Harus selalu diteliti keadaan lapang pandangan perifer dan
juga sentral.

Periksaan oftalmoskopi
Penggaungan dan atrofi tampak pada papil N. II. Ada yang
mengatakan, bahwa pada glaukoma sudut terbuka, didalam saraf optik

179
didapatkan kelainan degenerasi yang primer, yang disebabkan oleh
insufisiensi vaskular.

Pemeriksaan Gonioskopi
Pada glaukoma simpleks sudutnya normal. Pada stadium yang
lanjut, bilastelah timbul goniosinechiae (perlengketan pinggir iris pada
kornea/trakekula) maka sudut dapat tertutup.

Tonografi
Terdapat resistance of outflow (hambatan dari pengeluaran cairan)
hasil pemeriksaan tonografi pada glaukoma simpleks ternyata kurang dari
normal dan menjadi kurang lagi, pada keadaan yang lanjut, (C≤0,13)

Tes Provokasi
Tes minum air: Kenaikan tensi 8 – 9 mmHg mencurigakan, 10
mmHg pasti patologis.

DIAGNOSA BANDING

Iritis akut dan konjungtivitis harus dipertimbangkan sebagai diagnosis


banding pada glaukoma sudut tertutup bila ada radang mata akut,
meskipun pada kedua hal tersebut di atas jarang disertai bilik mata depan
yang dangkal atau tekanan yang meninggi.

1. Pada iriditis akut terdapat lebih banyak fotofobia, tetapi rasa nyerinya
kurang jika dibandingkan dengan glaukoma. Tekanan intraokular
normal, pupil kecil dan kornea tidak sembab. ―Flare‖ dan sel-sel terlihat
didalam bilik mata depan, dan terdapat injeksi siliar dalam (deep ciliary
injection).
2. Pada konjungtivitis akut tidak begitu nyeri atau tidak nyeri sama sekali,
dan tajam pengelihatan tidak menurun. Ada kotoran mata dan
konjungtiva sangat meradang, tetapi tidak ada injeksi siliar. Reksi pupil
normal, kornea jernih dan tekanan intraokular normal.
3. Iridosiklitis dengan glaukoma sekunder kadang-kadang sukar
dibedakan. Goniuskopi untuk menentukan jenis sudut sangatlah
membantu. Jika pengamatan terganggu dengan adanya kekeruhan
kornea atau kekeruhan didalam bilik mata depan, maka untuk
memastikan diagnosis bisa dilakukan genioskopi pada mata lainnya,
dan ini sangat membantu.

TERAPI

Glaukoma akut merupakan masalah pembedahan. Terapi dengan


pengobatan hanya merupakan pengobatan pendahuluan sebelum
penderita di operasi.

180
Pada Fase Non Kongesif

Diberikan Miotikum: a. Miotika terus.


b. Operasi.

Pada fase kongesif (akut)

Pengobatan harus diberikan secara cepat dan tepat, jika terlambat


24-48 jam maka sinekhia anterior sudah kuat sehingga pengobatan dengan
miotikum tak berguna lagi. TIO harus sudah turun dalam 2-4 jam sedapat-
dapatnya.

a) miotikum: untuk mengecilkan pupil, sehingga iris terlepas dari


tekanannya ditrebekula dan sudutnya menjadi terbuka, cara
menberikannya : Pilocarpin 2-4 % setiap menit satu tetes selama 5
menit diteruskan dengan setiap jam.
b) Penghambat karbonik anhidrase ----> mengurangi produksi humor
akueus seperti diamox 500 mg sekaligus (2 tablet) kemudian disusul
tiap 4 jam 1 tablet.
c) Obat hiperosmotik.
Gliserin 50 % peroral 1-1,8 gram/kg BB.
d) Untuk mengurangi rasa sakitnya dapat disuntikkan 10-15 mg morfin.
e) 10-12,5 kg largaktil ----> penderita yang muntah-muntah sebelum tablet
diamox dan tablet gliserin diberikan, sehingga obat dapat ditelan.
Dengan pengobatan di atas bersama-sama, tekanan yang tinggi sekali
dapat ditekan sampai dibawah 25 mmHg dalam waktu 24 jam. Jika tekanan
intraokulernya sudah turun, operasi harus dilakukan paling lambat 2-4 hari
kemudian. Selama ini pengobatan tetap dilanjutkan.

Macam operasi:
1. Iridektomi perifer.
2. Operasi filtrasi (Iridenkleisis, trepanasi, sklerotomi, trabekulektomi).

Glaukoma sudut tertutup kronik


Tidak semua orang dengan glaukoma sudut tertutup akan mengalami
serangan akut. Banyak yang mengalami sudut tertutup kronis.
Dengan pengobatan pilokarpin maka serangan akut tidak akan terjadi
dengan bentuk kronis yang tetap berjalan. Pengobatan hanya
menghindarkan kebutaan yang dapat terjadi pada glaukoma.

2. Glaukoma Sekunder
Merupakan glaukoma yang diketahui penyebabnya, biasanya dari penyakit
mata yang lain. Glaukoma sekunder, kelainannya terdapat pada:

a) Sudut bilik mata, akibat geniosinekia, hifema, stafiloma kornea dan


kontusio sudut bilik mata.
b) Pupil, akibat seklusi pupil dan oklusi relative pupil oleh sferotakia.
c) Badan silier, seperti rangsangan akibat luksasi lensa.

181
Glaukoma dibangkitkan lensa merupakan salah satu bentuk glaukoma
sekunder.

PROGNOSIS
Tanpa pengobatan, glaukoma dapat mengakibatkan kebutaan total.
Apabila proses penyakit terdeteksi dini sebagian besar penyakit glaukoma
dapat ditangani dengan baik.

T. ENTROPION
Definisi
Entropion merupakan kondisi dimana terjadi pelipatan margo
palpebra ke arah dalam. Normalnya, margo palpebra mengarah ke luar.

Etiologi
1. Involusi
2. Sikatrik
3. Kongenital

Epidemiologi
Entropion involusional sering ditemukan
o Entropion kongenital jarang ditemukan

Patofisiologi
1. Entropion involusional
o Terjadi karena penuaan dan selalu mengenai kelopak mata
bawah.
o Disebabkan kelumpuhan otot refraktor kelopak mata, migrasi ke
atas muskulus orbikularis preseptal, dan melipatnya tepi tarsus ke
atas.
2. Entropion sikatrik
o Dapat mengenai kelopak mata atas dan bawah
o Disebabkan oleh jaringan parut di konjungtiva atau tarsus
o Sering ditemukan pada penyakit radang kronik seperti trakhoma.
3. Entropion kongenital
o Bedakan dengan epiblefaron:
o Entropion : tepi kelopak mata memutar ke arah kornea
o Epiblefaron : kulit dan otot pratarsal menyebabkan bulu mata
memutari tepi tarsus. Biasanya pada orang Asia.

Gejala Klinis
o Kondisi margo palpebra yang melipat ke dalam dapat mengakibatkan
bulu mata menggesek kornea dan konjungtiva. Reaksi yang timbul
adalah seperti sensasi benda asing : mata akan berair, merah, dan
teriritasi. Bila kondisi ini dibiarkan berlarut-larut, maka akan terjadi
perlukaan pada kornea bahkan ulkus.

182
o

Diagnosis
o Anamnesis : gejala sensasi benda asing pada mata.
o Pemeriksaan Fisik :
o tampak mata berair, merah, dan mungkin juga ditemukan perlukaan
bahkan ulkus
o jelas terlihat margo palpebra dan bulu melipat ke arah dalam.

Tatalaksana
o Tindakan sementara : dapat menarik kelopak mata bawah mendekati
pipi dan fiksasi dengan 'tape'.
o Yang paling efektif : koreksi bedah.

Komplikasi
o laserasi dan ulkus kornea

Prognosis
o Bila ditangani dengan cepat dan dapat menghindarkan komplikasi,
maka prognosisnya akan baik.

U. PERDARAHAN VITREUS

Definisi
Perdarahan vitreus adalah ekstravasasi darah ke salah satu dari beberapa
ruang potensial yang terbentuk di dalam dan di sekitar korpus vitreus.
Kondisi ini dapat diakibatkan langsung oleh robekan retina atau
neovaskularisasi retina, atau dapat berhubungan dengan perdarahan dari
pembuluh darah yang sudah ada sebelumnya.

Etiologi
Etiologi terjadinya perdarahan vitreus menjadi tiga kategori utama yaitu:
 Pembuluh darah retina abnormal
 Pecahnya pembuluh darah normal
 Darah dari sumber lainnya

183
Tabel 1.Mekanisme Perdarahan Vitreus
1. Pembuluh darah Abnormal
Diabetik retinopati (31-54 persen perdarahan vitreus disebabkan oleh diabetes)
Neovaskularisasi dari cabang atau pusat oklusi vena retina (4-16 persen)
Retinopati sickle sel (0,2-6 persen)
2. Pecahnya Pembuluh darah normal
Robekan retina (11-44 persen)
Trauma (12-19 persen)
Posterior Vitreous Detachement (PVD) dengan robekan pembuluh darah retina
(4-12 persen)
Ablasio retina (7-10 persen)
Sindrom Terson (0,5-1 persen)
3. Darah Dari Sumber Lain
Makroaneurisma (0,6-7 persen)
Age Related Macula Degeneration (0,6-4 persen)

Gejala klinis
Pasien dengan perdarahan vitreus sering datang dengan keluhan mata
kabur atau berasap, ada helai rambut atau garis (floaters), fotopsia, seperti
ada bayangan dan jaring laba-laba. Gejala subyektif yang paling sering
ialah fotopsia, floaters. Fotopsia ialah keluhan berupa kilatan cahaya yang
dilihat penderita seperti kedipan lampu neon di lapangan. Kilatan cahaya
tersebut jarang lebih dari satu detik, tetapi sering kembali dalam waktu
beberapa menit. Kilatan cahaya tersebut dilihat dalam suasana redup atau
dalam suasana gelap. Fotopsia diduga oleh karena rangsangan abnormal
vitreus terhadap retina.

Floaters adalah kekeruhan vitreus yang sangat halus, dilihat penderita


sebagai bayangan kecil yang berwarna gelap dan turut bergerak bila mata
digerakkan. Bayangan kecil tersebut dapat berupa titik hitam, benang
halus, cincin, lalat kecil dan sebagainya. Floaters tidak memberikan arti
klinik yang luar biasa, kecuali bila floaters ini datangnya tiba-tiba dan hebat,
maka keluhan tersebut patut mendapat perhatian yang serius, karena
keluhan floaters ini dapat menggambarkan latar belakang penyakit yang
serius pula, misalnya ablasio retina atau perdarahan di vitreus.
Perdarahan vitreus ringan sering dianggap sebagai beberapa floaters baru,
perdarahan vitreus moderat dianggap sebagai garis-garis gelap, dan berat
pada perdarahan vitreus cenderung untuk secara signifikan mengurangi
penglihatan bahkan persepsi cahaya. Biasanya, tidak ada rasa sakit yang
terkait dengan perdarahan vitreus. Pengecualian mungkin terjadi apabila
termasuk kasus glaukoma neovaskular, hipertensi okular akut sekunder
yang parah atau trauma.

Pasien harus ditanyakan mengenai riwayat trauma, operasi mata, diabetes,


anemia sickle sel, leukemia dan miopia tinggi.

184
Pemeriksaan lengkap terdiri dari oftalmoskopi langsung dengan depresi
skleral, gonioskopi untuk mengevaluasi neovaskularisasi sudut, TIO dan B-
scan ultrasonografi jika tampilan lengkap segmen posterior tertutup oleh
darah. Pemeriksaan dari mata kontralateral dapat membantu memberikan
petunjuk etiologi dari perdarahan vitreus, seperti retinopati diabetik
proliferatif.

Gambaran perdarahan pada vitreus melalui ultrasonografi berbentuk kecil


dan semakin banyak terlihat dan semakin tebal diartikan banyak
perdarahan di dalamnya. Dapat pula dibedakan perdarahan yang masih
baru “fresh hemorrhage” atau sudah lama “clotted hemorrhage”. Bila
perdarahan disebabkan oleh PVD, akan terlihat gambaran membran yang
sejajar di B-scan ultrasonografi.

Kehadiran perdarahan vitreus tidak sulit untuk dideteksi. Pada slit lamp, sel
darah merah dapat dilihat di posterior lensa dengan cahaya set "off-axis"
dan mikroskop pada kekuatan tertinggi. Dalam perdarahan vitreus ringan,
pandangan ke retina dimungkinkan dan lokasi dan sumber perdarahan
vitreus dapat ditentukan.

Penatalaksanaan
Adanya ablasio retina dapat ditentukan dengan menggunakan
ultrasonografi jika tidak dapat diperiksa secara oftalmoskopi . Vitrektomi
dilakukan segera apabila teridentifikasi. Jika pemeriksaan segmen
posterior tidak dapat dilakukan, maka dapat dilakukan pembatasan
kegiatan dan saat tidur kepala dapat ditinggikan 30-45 ° sehingga
memungkinkan darah untuk turun ke inferior agar dapat terlihat periferal
fundus superior. Robekan retina dapat dilihat dengan kriotherapi atau laser
fotokoagulasi.

Setelah retina dapat divisualisasikan, pengobatan ditujukan untuk etiologi


yang mendasari sesegera mungkin. Jika neovaskularisasi dari retinopati
proliferatif adalah penyebabnya, dilakukan laser fotokoagulasi panretinal
untuk meregresi neovaskularisasi, akan lebih baik hasilnya apabila melalui
perdarahan residual.

Vitrektomi diindikasikan untuk perdarahan vitreus, neovaskularisasi dari iris


atau glaukoma. Waktu vitrektomi tergantung pada etiologi yang mendasari.

185
V. KATARAK

Definisi

Katarak termasuk golongan kebutaan yang tidak dapat dicegah tetapi


dapat disembuhkan. Definisi katarak menurut WHO adalah kekeruhan yang
terjadi pada lensa mata, yang menghalangi sinar masuk ke dalam mata.
Katarak terjadi karena faktor usia, namun dapat juga terjadi pada anak-
anak yang lahir dalam kondisi tersebut. Katarak juga dapat terjadi setelah
trauma, inflamasi, atau penyakit lainnya.

Etiologi dan patofisiologi

Penyebab terjadinya katarak senilis hingga saat ini belum diketahui secara pasti.
Patofisiologi di balik terjadinya katarak senilis amat kompleks dan belum
sepenuhnya dimengerti. Namun ada beberapa kemungkinan di antaranya
terkait usia lensa mata yang membuat berat dan ketebalannya bertambah,
sementara kekuatannya menurun. Kerusakan lensa pada katarak senilis
juga dikaitkan dengan kerusakan oksidatif yang progresif. Beberapa
penelitian menunjukkan peningkatan produk oksidasi seperti oxidized
glutathione dan penurunan antioksidan (vitamin) dan enzim superoksidase.
Teori stres oksidatif pada katarak disebut kataraktogenesis.

Perubahan fisik dan kimia dalam lensa mengakibatkan hilangnya


transparansi. Perubahan dalam serabut halus multipel (zonula) yang
memaenjang dari badan silier ke sekitar daerah di luar lensa. Perubahan
kimia dalam protein lensa dapat menyebabkan koagulasi, sehingga
mengabutkan pandangan dengan menghambat jalannya cahaya ke
retina. Salah satu teori menyebutkan terputusnya protein lensa normal
disertai influks air ke dalam lensa. Proses ini mematahkan serabut lensa
yang tegang dan mengganggu transmisi sinar. Teori lain mengatakan
bahwa suatu enzim mempunyai peran dalam melindungi lensa dari
degenerasi. Jumlah enzim akan menurun dengan bertambahnya usia dan
tidak ada pada kebanyakan pasien yang menderita katarak.

Klasifikasi Katarak
Katarak secara umum diklasifikasikan berdasarkan: Morfologi, Maturitas,
dan Age of Onset.
 Morfologi
Katarak Nuklear
Pada katarak nuklear terjadi sklerosis pada nukleus lensa dan
menjadikan nukleus lensa menjadi berwarna kuning dan opak.

186
Katarak Kortikal
Pada katarak kortikal terjadi perubahan komposisi ion dari korteks
lensa serta komposisi air dari serat-serat pembentuk lensa.

Katarak subcapsularis
Kekeruhan mulai dari kecil, daerah opak hanya dibawah capsul,
dan biasanya ada di belakang lensa. Pasien merasa sangat
terganggu saat membaca di cahaya yang terang dan biasanya
melihat halo pada malam hari.
Katarak Capsularis
Dibagi menjadi 2 jenis:
Anterior Capsular
1. Congenital : Kelainannya di membran pupil yang tidak dapat
lepas pada waktu lahir.
2. Acquired : Pseudoexfloation syndromes, Chlorpromazine, yang
disertai dengan sinekia posterior
Posterior Capsular
Congenital : Persisten hyaloid membran. Seperti ada
hubungan kapsul posterior dengan retina yang seharusnya
menghilang sejak lahir.

Katarak Lammelar
Katarak Sutural

 Maturitas

 Katarak Insipiens : Kekeruhan dimulai dari tepi equator


menuju korteks anterior dan posterior ( katarak kortikal ).
Vakuol mulai terlihat di dalam korteks. Pada katarak
subcapsular posterior, kekeruhan mulai terlihat di anterior
subcapsular posterior, celah terbentuk antara serat lensa
dan korteks yang berisi jaringan degeneratif pada katarak
insipiens.
 Katarak Intumesen: Katarak yang terjadi akibat lensa yang
menarik air sehingga menjadi cembung.
 Katarak Immatur : Kekeruhan hanya mengenai sebagian
lensa. Pada katarak imatur akan dapat bertambahvolume lensa
akibat meningkatnya tekanan osmotik bahan lensa yang degeneratif
 Katarak matur : Kekeruhannya telah mengenai seluruh
lensa. Kekeruhan ini bisa terjadi akibat deposisi ion Ca yang
menyeluruh. Bilakatarak imatur atau intumesen tidak dikeluarkan
maka cairan lensa akan keluar,sehingga lensa kembali pada ukuran
yang normal.
 Katarak hipermatur : Protein-protein di bagian korteks
lensa telah mencair . Cairan ini bisa keluar dari kapsul yang

187
utuh, meninggalkan lensa yang mengkerut dengan kapsul
yang keriput.
 Katarak Morgagni : Katarak hipermatur yang nukleus
lensanya mengambang dengan bebas di dalam kantung
kapsulnya.

Tabel Perbedaan Stadium Katarak

Insipien Imatur Matur Hipermatur


Kekeruhan Ringan Sebagian Seluruh Masif
Cairan lensa Normal Bertambah Normal Berkurang
(air masuk) (air keluar)
Iris Normal Terdorong Normal Tremulans
Bilik mata depan Normal Dangkal Normal Dalam
Sudut bilik mata Normal Sempit Normal Terbuka
Shadow test - + - Pseudops
Penyulit - Glaukoma - Uveitis +
Glaukoma
 Age of Onset
 Katarak Congenital: Beberapa bayi ada juga yang lahir dengan
katarak, tetapi orang tua kurang memperhatikan dan baru terlihat
ketika usianya sudah 3 bulan. Semakin lambat dioperasi prognosis
semakin buruk. Jika dapat melihat biasanya ambliopia dan tidak
maksimum. Katarak kongenital sebaiknya dioperasi sebelum usia 2
bulan.
 Katarak Infantil merupakan kelanjutan dari katarak kongenital di
mana usia penderita di bawah 1 tahun.
 Katarak Juvenile terjadi pada usai di bawah 9 tahun dan biasanya
kelanjutan dari katarak kongenital
 Katarak Presenile terjadi pada usia lebih dari 9 tahun
 Katarak senile terjadi pada usia lebih dari 50 tahun. Kebanyakan
katarak yang kita jumpai adalah jenis ini akibat proses degeneratif.

Manisfestasi Klinis
a. Penurunan visus, merupakan keluhan yang paling sering
dikeluhkan pasien dengan katarak senilis.
b. Silau, Keluhan ini termasuk seluruh spectrum dari penurunan
sensitivitas kontras terhadap cahaya terang lingkungan atau silau
pada siang hari hingga silau ketika endekat ke lampu pada malam
hari.
c. Perubahan miopik, Progesifitas katarak sering meningkatkan
kekuatan dioptrik lensa yang menimbulkan myopia derajat sedang
hingga berat. Sebagai akibatnya, pasien presbiop melaporkan
peningkatan penglihatan dekat mereka dan kurang membutuhkan
kaca mata baca, keadaan ini disebut dengan second sight. Secara

188
khas, perubahan miopik dan second sight tidak terlihat pada
katarak subkortikal posterior atau anterior.
d. Diplopia monocular. Kadang-kadang, perubahan nuclear yang
terkonsentrasi pada bagian dalam lapisan lensa, menghasilkan
area refraktil pada bagian tengah dari lensa, yang sering
memberikan gambaran terbaik pada reflek merah dengan
retinoskopi atau ophtalmoskopi langsung. Fenomena seperti ini
menimbulkan diplopia monocular yang tidak dapat dikoreksi
dengan kacamata, prisma, atau lensa kontak
e. Penglihatan seakan-akan melihat asap/kabut dan lensa mata
tampak berwarna keputihan
f. Ukuran kacamata sering berubah

Diagnosis

Diagnosa katarak senilis dibuat berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan


fisik. Pemeriksaan laboratorium preoperasi dilakukan untuk mendeteksi
adanya penyakit-penyakit yang menyertai, contohnya: Diabetes Mellitus,
Hipertensi, dan cardiac anomalies. Penyakit seperti Diabetes Mellitus dapat
menyebabkan perdarahan perioperatif sehingga perlu dideteksi secara dini
dan bisa dikontrol sebelum operasi Pada pasien katarak
sebaiknya dilakukan pemeriksaan visus untuk mengetahui kemampuan
melihat pasien. Visus pasien dengan katarak subcapsuler posterior dapat
membaik dengan dilatasi pupil. Pemeriksaan adneksa okuler dan struktur
intraokuler dapat memberikan petunjuk terhadap penyakit pasien dan
prognosis penglihatannya. Pemeriksaan yang sangat penting yaitu test
pembelokan sinar yang dapat mendeteksi pupil Marcus Gunn dan defek
pupil aferen relatif yang mengindikasikan lesi saraf optik.

Pemeriksaan slit lamp tidak hanya difokuskan untuk evaluasi opasitas


lensa tetapi dapat juga struktur okuler lain, misalnya konjungtiva, kornea,
iris, bilik mata depan. Ketebalan kornea harus diperiksa dengan hati-hati,
gambaran lensa harus dicatat dengan teliti sebelum dan sesudah
pemberian dilator pupil, posisi lensa dan intergritas dari serat zonular juga
dapat diperiksa sebab subluksasi lensa dapat mengidentifikasi adanya
trauma mata sebelumnya, kelainan metabolik, atau katarak hipermatur.
Kemudian lakukan pemeriksaan shadow test untuk menentukan stadium
pada katarak senilis. Selain itu, pemeriksaan ofthalmoskopi direk dan
indirek dalam evaluasi dari intergritas bagian belakang harus dinilai.
Masalah pada saraf optik dan retina dapat menilai gangguan penglihatan.

Penatalaksanaan

Katarak hanya dapat diatasi melalui prosedur operasi. Akan tetapi jika
gejala katarak tidak mengganggu, tindakan operasi tidak diperlukan.

189
Kadang kala cukup dengan mengganti kacamata. Sejauh ini tidak ada
obat-obatan yang dapat menjernihkan lensa yang keruh.
Penatalaksanaan definitif untuk katarak senilis adalah ekstraksi lensa.
Lebih dari bertahuntahun, tehnik bedah yang bervariasi sudah berkembang
dari metode yang kuno hingga tehnik hari ini phacoemulsifikasi. Hampir
bersamaan dengan evolusi IOL yang digunakan, yang bervariasi dengan
lokasi, material, dan bahan implantasi. Bergantung pada integritas kapsul
lensa posterior, ada 2 tipe bedah lensa yaitu intra capsuler cataract
ekstraksi (ICCE) dan ekstra capsuler cataract ekstraksi (ECCE). Berikut ini
akan dideskripsikan secara umum tentang tiga prosedur operasi pada
ekstraksi katarak yang sering digunakan yaitu ICCE, ECCE, dan
phacoemulsifikasi.

Apabila lensa mata penderita katarak telah diangkat maka penderita


memerlukan lensa pengganti untuk memfokuskan penglihatannya dengan
cara sebagai berikut:

a. Kacamata afakia yang tebal lensanya


b. Lensa kontak
c. Lensa intra okular, yaitu lensa permanen yang ditanamkan di
dalam mata pada saat pembedahan untuk mengganti lensa mata
asli yang telah diangkat.

Kekuatan implan lensa intraokuler yang akan digunakan dalam operasi


dihitung sebelumnya dengan mengukur panjang mata secara ultrasonik
dan kelengkungan kornea.

190
Pasca operasi, pasien diberikan tetes mata steroid dan antibiotik jangka
pendek. Kacamata baru dapat diresepkan setelah beberapa minggu, ketika
bekas insisi telah sembuh. Rehabilitasi visual dan peresepan kacamata
baru dapat dilakukan lebih cepat dengan metode phacoemulsification.
Karena pasien tidak dapat berakomodasi maka pasien membutuhkan
kacamata untuk pekerjaan jarak dekat meski tidak dibutuhkan kacamata
untuk jarak jauh. Saat ini digunakan lensa intraokuler multifokal, lensa
intraokuler yang dapat berakomodasi sedang dalam tahap pengembangan.

Perawatan pasca bedah

Jika digunakan tehnik insisi kecil, maka penyembuhan pasca operasi


biasanya lebih pendek. Pasien dapat bebas rawat jalan pada hari itu juga,
tetapi dianjurkan untuk bergerak dengan hati-hati dan menghindari
peregangan atau mengangkat benda berat selama sekitar satu bulan,
olahraga berat jangan dilakukan selama 2 bulan. Matanya dapat dibalut
selama beberapa hari pertama pasca operasi atau jika nyaman, balutan
dapat dibuang pada hari pertama pasca operasi dan matanya dilindungi
pakai kacamata atau dengan pelindung seharian. Kacamata sementara
dapat digunakan beberapa hari setelah operasi, tetapi biasanya pasien
dapat melihat dengan baik melui lensa intraokuler sambil menantikan
kacamata permanen ( Biasanya 6-8 minggu setelah operasi ). Selain itu
juga akan diberikan obat untuk :

- Mengurangi rasa sakit, karena operasi mata adalah tindakan


yang menyayat maka diperlukan obat untuk mengurangi rasa
sakit yang mungkin timbul benerapa jam setelah hilangnya kerja
bius yang digunakan saat pembedahan.
- Antibiotik mencegah infeksi, pemberian antibiotik masih dianggap
rutin dan perlu diberikan atas dasar kemungkinan terjadinya
infeksi karena kebersihan yang tidak sempurna.
- Obat tetes mata steroid. Obat yang mengandung steroid ini
berguna untuk mengurangi reaksi radang akibat tindakan bedah.
- Obat tetes yang mengandung antibiotik untuk mencegah infeksi
pasca bedah.

Prognosis

Apabila pada proses pematangan katarak dilakukan penanganan yang


tepat sehingga tidak menimbulkan komplikasi serta dilakukan tindakan
pembedahan pada saat yang tepat maka prognosis pada katarak senilis
umumnya baik.

Pencegahan

Katarak senilis tidak dapat dicegah karena penyebab terjadinya katarak


senilis ialah oleh karena faktor usia, namun dapat dilakukan pencegahan

191
terhadap hal-hal yang memperberat seperti mengontrol penyakit metabolik,
mencegah paparan langsung terhadap sinar ultraviolet dengan
menggunakan kacamata gelap, dan sebagainya. Pemberian intake
antioksidan seperti vitamin A, C, dan E secara teori bermanfaat.

W. DIPLOPIA

Definisi

Istilah diplopia berasal dari bahasa Latin: diplous yang berarti ganda, dan
ops yang berarti mata. Diplopia atau penglihatan ganda adalah keluhan
berupa melihat dua gambaran dari satu objek.

Diplopia Binokuler

Diplopia binokuler adalah penglihatan ganda terjadi bila melihat dengan


kedua mata dan menghilang bila salah satu mata ditutup. Pada esotropia
atau satu mata bergulir ke dalam maka bayangan di retina terletak sebelah
nasal makula dan benda seakan-akan terletak sebelah lateral mata
tersebut sehingga pada esotropia atau strabismus konvergen didapatkan
diplopia tidak bersilang (uncrossed) atau homonimus. Sedang pada
eksotropia atau strabismus divergen sebaliknya diplopia bersilang
(crossed) atau heteronimus.

Penyebab diplopia binokuler dapat terjadi karena miastenia gravis, parese


atau paralisis otot penggerak mata ekstraokuler. Saraf kranial III yang
mengenai satu otot kemungkinan adalah lesi nuklear.

Anamnesis

Anamnesis yang lengkap dan menyeluruh merupakan evaluasi yang paling


berguna dalam menangani pasien dengan diplopia. Setiap upaya dibuat
untuk menyakinkan apakah diplopia yang terjadi adalah diplopia monokuler
atau binokuler karena akan sangat menentukan mekanisme terjadi dan
penyebabnya. Pada pasien dengan diplopia binokuler, pemeriksa dapat
mengevaluasi kelainan-kelainan yang dapat menimbulkan misalignment
okuler baik karena proses neurologis maupun karena penyakit orbita.
Sedangkan pada pasien dengan diplopia monokuler, pemeriksa dapat
memfokuskan pada kelainan di mata.

Tiga gejala yang penting harus diketahui dengan jelas:

1. Apakah menutup salah satu mata membuat diplopia hilang? Jika


seorang pasien ragu apakah ia mengalami diplopia monokuler atau
binokuler, pasien disuruh melihat sebuah objek yang ada di ruang
pemeriksaan yang tampak ganda dan menentukan apakah
penglihatan ganda menetap jika mata kanan ditutup atau menetap

192
jika mata kiri yang ditutup. Namun, perlu diingat bahwa diplopia
monokuler dapat terjadi pada kedua mata secara simultan (disebut
diplopia monokuler bilateral).
2. Apakah deviasi sama pada semua arah gaze (pandangan) atau
oleh penekukan dan pemutaran kepala dalam berbagai posisi? Hal
ini menentukan deviasi komitan, dengan tanpa perbedaan dalam
pemisahan objek-objek pada semua arah gaze. Jika taraf deviasi
berubah (dan mungkin hilang pada arah tertentu) maka deviasinya
inkomitan dan diperkirakan ada masalah inervasi, paling mungkin
adalah parese otot.
3. Apakah objek kedua terlihat horizontal (bersisian) atau vertikal (atas
dan bawah)? Diplopia obliks (terpisah secara horizontal dan
vertikal) dapat dipertimbangkan sebagai manifestasi diplopia
vertikal.
Dalam anamnesis juga perlu memasukkan elemen-elemen yang dapat
membantu melokalisasikan sumber masalah. Seperti biasa pemeriksa
harus mengumpulkan informasi mengenai onset, durasi, frekuensi, gejala-
gejala yang berhubungan, dan faktor yang menimbulkan atau
menghilangkan keluhan. Pasien harus ditanya dengan spefisik mengenai
penurunan visus, trauma, strabismus masa kanak-kanak, ambliopia, dan
pembedahan mata atau strabismus sebelumnya. Yang juga penting adalah
meninjau seluruh sistem neurologis dan oftalmis.

Pemeriksaan Diplopia Binokuler

1. Pemeriksaan Bola Mata, Orbita, dan Kelopak Mata


Eksoftalmometer digunakan untuk mendeteksi dan mengukur proptosis
atau enoftalmus, dan pembacaan yang lebih besar dari 21 mm untuk salah
satu mata atau perbedaan lebih dari 2 mm antara tiap mata
mengindikasikan proptosis atau enoftalmus. Beberapa orang (misal wanita
Afrika-Amerika) memiliki orbita yang dangkal dan pembacaan antara 23-25
mm adalah normal. Jika eksoftalmometer tidak tersedia, pemeriksa dapat
melihat mata dari satu sisi atau dari atas untuk mengevaluasi asimetri.

Fungsi palpebra dan posisinya juga harus diperiksa. Posisi palpebra atas
harus sedikit berada di bawah puncak iris. Jika kelopak atas berada di atas
iris dan sklera tampak, didiagnosis sebagai retraksi palpebra, dan jika
palpebra ketinggalan di belakang mata dengan gaze ke bawah disebut lid
lag. Kedua tanda ini sangat umum pada pasien dengan oftalmopati terkait-
tiroid. Penyakit pada otak tengah dorsal dapat menyebabkan retraksi
palpebra tapi tidak lid lag. Ptosis timbul bila jarak antara reflex cahaya
kornea di tengah pupil (terlihat saat pasien fiksasi pada cahaya yang
diarahkan padanya) dan palpebra atas kurang dari 4 mm. Penyebab
neurologis ptosis berasal dari disfungsi otot levator palpebra, yang dikontrol
oleh saraf kranial III, atau dari disfungsi otot Muller, yang dikontrol oleh
inervasi simpatis. Ptosis dari kelemahan otot Muller disebabkan oleh
sindrom Horner selalu minimal dan seringkali palpebra bawah sedikit

193
terangkat. Foto-foto lama membantu diferensiasi proses akut vs kronik
yang melibatkan bola mata, orbita, dan kelopak.

2. Pemeriksaan Pergerakan Otot Ekstraokuler


Posisi gaze pokok diperiksa dengan menyuruh pasien mengikuti target
atau jari pemeriksa yang berada pada jarak 12 sampai 14 inci dari mata
pasien. Jika duksi atau versi terbatas, pemeriksa harus menentukan
apakah keterbatasan disebabkan oleh proses restriktif, kelemahan otot,
disfungsi neuromuscular junction, palsi saraf kranial, atau proses
supranuklear. Tes duksi paksa berguna untuk mendeteksi keterbatasan
mekanik untuk pasien dengan keterbatasan otot ekstraokuler yang
substansial. Setelah pemberian anestesi topical kornea dan konjungtiva,
ujung kapas digunakan untuk mencoba menggerakkan atau memaksa
mata kearah di mana ada keterbatasan. Jika tidak ada tahanan maka
berarti tidak ada restriksi mekanik.

Pemeriksaan secara garis besar mungkin tidak sensitif untuk mengetahui


penyebab diplopia binokuler, khususnya bila berhubungan dengan palsi
saraf III atau IV parsial. Maddox rod- sebuah lensa merah dengan ridge-
atau sebuah lensa merah tanpa ridge dapat dipakai untuk menentukan
keberadaan dan derajat misalignment okuler. Lensa merah dipegang di
depan mata kanan, sedangkan pasien melihat cahaya putih pinpoint dari
transluminator oftalmoskop atau dari sumber cahaya lain yang dipegang
oleh pemeriksa. Lokasi dari bar merah dilihat oleh pasien menggunakan
Maddox rod, atau cahaya merah dilihat oleh pasien menggunakan lensa
merah tanpa ridge, dalam hubungan dengan cahaya putih mengindikasikan
bagaimana mata misalignment. Torsi okuler dapat diukur menggunakan
double Maddox rod.

3. Pemeriksaan Neuromuscular Junction


Pemeriksaan untuk tanda otot ekstraokuler fatigable dan kelemahan
palpebra fatigable dengan pemulihan kekuatan didapat dengan teknik-
teknik seperti sustained gaze atau penutupan mata repetitif. Kelelahan otot
ekstraokuler sulit untuk diamati namun usaha untuk mempertahankan
posisi eksentrik gaze oleh pasien yang mengalami kelainan neuromuscular
junction akan menunjukkan peningkatan strabismus, bahkan pada pasien
tanpa bukti awal misalignment okuler. Tes duksi dan versi berulang otot
ekstraokuler tanpa istirahat atau pemulihan setelah mempertahankan gaze
akan meningkatkan oftalmoplegia. Kelemahan pada otot levator palpebra
menyebabkan ptosis. Ptosis yang dicirikan pemulihan setelah istirahat
dikenal sebagai Cogan’s lid twitchyang diamati dengan menyuruh pasien
mempertahankan fiksasi pada gaze ke bawah selama 10-20 detiik. Pasien
kemudian refiksasi dengan saccade (gerakan mata yang cepat) pada
sebuah target pada gaze primer (lurus ke depan). Jika saat kembali ke
gaze primer palpebra yang ptosis terangkat dan jatuh dengan cepat,
Cogan’s lid twitch positif. Trias ptosis fatigable, kelemahan otot

194
ekstraokuler fatigable, dan kelemahan otot orbicularis oculi merupakan
dugaan kuat miastenia.

4. Pemeriksaan Saraf Kranial III, IV, dan VI


Pemeriksaan batas pergerakan otot ekstraokuler serta penentuan derajat
misaligment horizontal atau vertikal pada berbagai posisi gaze, dan dengan
kepala miring ke kanan atau ke kiri, dapat membantu menentukan
keterlibatan saraf kranial untuk defisit yang terjadi. Misalignment okuler
paling nyata pada arah gaze dari otot yang mengalami kelemahan.

Saraf kranial III menginervasi otot rectus superior, inferior, dan medial; otot
obliks inferior; otot sfingter pupil; dan levator palpebra superior. Lesi pada
saraf III memiliki gejala: supraduksi terbatas, infraduksi, dan adduksi;
midriasis dan paralisis pupil total atau parsial; dan ptosis total atau parsial
dari mata yang terkena. Ketika mata yang normal fiksasi pada target yang
jauh pada gaze primer, mata yang sakit biasanya akan ke bawah dan
keluar karena kerja otot rektus obliks superior dan rectus lateral yang
diinervasi saraf IV dan VI yang tidak dapat dilawan. Paralisis total otot
ekstraokuler dan palpebra tanpa keterlibatan pupil paling karena iskemia
saraf III. Pada kasus palsi saraf III, Maddox rod atau tes kaca merah
diperlukan untuk memverifikasi diagnosis. Maddox rod memperlihatkan
hiperdeviasi pada mata yang sakit pada gaze ke bawah dan hiperdeviasi
mata yang sehat pada gaze ke atas dikenal sebagai hiperdeviasi alternatif.
Ada juga eksodeviasi yang memburuk saat mata yang sakit diadduksi.

Saraf kranial IV menginervasi otot obliks superior yang infraduksi dan


intorsi mata. Saat mata yang normal fiksasi pada target yang jauh pada
gaze primer, misaligment tidak tampak, untuk itu karena keterbatasan pada
gaze ke bawah sulit diamati secara langsung, palsi saraf IV kurang dikenal.
Jika tanpa keterbatasan dengan infraduksi dan adduksi jelas bagi
pemeriksa, pasien dapat disuruh melihat garis lurus pada kertas yang
ditempatkan dekat dan di bawah mata ke kanan dan ke kiri. Jika
penglihatan ganda ada, pasien menggambar gambar kedua yang salah.
Gambar yang salah harus berada di bawah garis dan miring pada kasus-
kasus palsi saraf IV yang membuat tanda panah yang menunjuk ke sisi
yang palsi. Oleh karena fungsi intorsi otot obliks superior, pemisahan
gambar ganda meningkat saat kepala dimiringkan ke arah sisi yang palsi
saraf IV dan defisit membaik jika kepala dimiringkan ke sisi yang
berlawanan dengan palsi saraf IV. Singkatnya palsi saraf IV memburuk bila
kepala dimiringkan.

Saraf kranial VI menginervasi otot rectus lateral yang mengabduksi mata.


Saat mata yang normal difiksasi pada target yang jauh pada gaze primer,
mata yang sakit akan deviasi ke dalam (esotropia).

195
5. Pemeriksaan batang otak
Supaya dapat mengetahui fungsi batang otak, saraf III, IV, dan VI –juga
saraf kranial lain- harus dites. Tes kekuatan dan sensasi fasial, sensasi
kornea, kekuatan maseter, pendengaran, elevasi palatum dan uvula,
kekuatan sternokleidomastoid dan trapezius, refleks muntah, dan posisi
dan kekuatan lidah akan melengkapi pemeriksaan saraf kranial.

6. Pemeriksaan jalur supranuklear


Kemampuan untuk mengatasi keterbatasan motilitas okuler adalah
pemeriksaan yang penting pada defisit motilitas supranuklear. Pada kasus
dengan lesi supranuklear, nuklei yang mengontrol saraf III, IV dan VI masih
intak dan fasikulus masih berfungsi normal. Oleh karena itu, stimulasi
nuklei dengan gerakan kepala menimbulkan duksi okuler penuh. Untuk
melakukan manuver okulosefalik, pasien harus fiksasi pada objek yang
jaraknya 14-16 inci, seperti jempol pasien atau hidung pemeriksa.
Kemudian, saat pasien sedang fiksasi, kepala di putar ke kanan dan kiri
dan atas dan bawah. Gerakan kepala ini mengatasi keterbatasan duksi
atau versi karena kelainan disfungsi jalur supranuklear.

7. Lain-lain
Individu yang histeris mungkin mengeluh diplopia. Photopsia dan skotoma
yang terjadi selama aura migraine klasik mungkin dapat dikira sebagai
diplopia. Karena axis visual hanya dapat bertempat di satu lokasi pada
ruang 3D, objek yang yang berada di depan atau belakang tampak ganda.
Hal ini dapat didemonstrasikan dengan fokus pada satu jari sejauh lengan.
Objek yang berada di belakang jari tampak kabur dan ganda. Pemindahan
fokus ke objek pada arah yang sama namun di belakang jari menyebabkan
objek jadi tunggal, sedang jari tampak kabur dan ganda. Jika seseorang
tiba-tiba sadar akan diplopia ini menunjukkan kelainan fungsi serebral yang
lebih tinggi.

Penatalaksanaan

Penatalaksanaan diplopia bergantung pada penyebab diplopia itu sendiri.


Pada kasus diplopia monokuler dilakukan koreksi refraksi. Untuk kelainan
orbita pemeriksaan CT scan dan MRI adalah suatu indikasi. Pada kasus-
kasus kronik, diplopia binokuler, MRI adalah suatu indikasi kecuali jika
etiologi sudah jelas. Pembedahan atau pemberian obat-obatan atau
penggunaan lensa prisma dapat mengurangi gejala diplopia bila etiologinya
telah ditemukan dan keadaan umum telah baik.

1. Klinis
- Menutup satu mata: menutup mata sering diperlukan, karena
pasien harus terus beraktivitas sambil menunggu intervensi.
- Lensa oklusif stick-on dapat dipakaikan ke kacamata untuk
meminimalkan handicap pada penggunaan tutup mata, sambil

196
mengaburkan satu mata untuk meminimalkan penglihatan ganda yang
mengganggu.
- Prisma Fresnel: prisma ini dapat melekat ke kacamata. Meski
prisma ini hanya cocok untuk deviasi stabil yang ada di semua arah gaze,
prisma ini mengaburkan gambar dari mata itu dan berfungsi dalam banyak
hal seperti lensa oklusif.
- Pengobatan miastenia gravis: mestinon atau agen antikolinergik
kerja lama, serta kortikosteroid.

2. Pembedahan
- Pembedahan strabismus kadang-kadang diperlukan. Resesi/
reseksi khas jarang diindikasikan karena satu otot yang sering lemah
permanen, dan pembedahan standar apapun akan kehilangan efek pada
akhirnya. Pengecualian pada fraktur blow out saat dilakukan pelepasan
pada penjepitan jaringan lunak dari fraktur di dasar orbita dapat sangat
efektif.
- Pembedahan transposisi (pembedahan Hummelsheim). Dengan
paralisis permanen otot rectus lateral, mengatasi kerja otot rectus medial
yang tidak dilawan, mungkin dilakukan dengan membagi otot rectus
superior dan inferior dan dengan memasukkan setengah lateral dari kedua
otot itu ke insersio otot rectus lateral. Jika tidak, resesi otot rectus medial
yang tercapai hanya dalam waktu sementara. Meskipun dapat melihat
tunggal pada pandangan lurus, diplopia tetap ada dengan pandangan ke
otot yang paralisis.
- Paralisis otot obliks superior Knapp
Dengan kelemahan permanen otot obliks superior, mungkin dapat
dilakukan pelemahan otot yoke mata yang lain (otot rectus superior) juga
yang merupakan antagonis direk (otot obliks inferior) pada mata yang
sama, bersama-sama dengan pemendekan otot yang terkena, dapat
meminimalkan deviasi.

- Kemodenervasi
Membantu mencegah kontraktur di mata dengan paresis otot ekstraokuler,
khususnya saat kembalinya fungsi diharapkan. Injeksi multipel selama
beberapa bulan dengan toxin botulinum ke otot rectus medial mengurangi
kontraktur karena kelemahan otot rectus lateral akibat paralisis saraf VI.
Efeknya lebih permanen dibanding dengan yang diharapkan, otot yang
tidak disuntik malah membantu pemendekan dan kontraktur.

Komplikasi

Pada bayi dan balita, diplopia dapat menyebabkan supresi atau ambliopia

Prognosis

Penyebab diplopia bervariasi dari yang ringan hingga kondisi yang memiliki
konsekuensi kesehatan yang besar.

197
 Sebagai patokan, pasien dengan multipleks mononeuritis
diabetik yang sembuh spontan dalam 6 minggu.
 Penyebab optikal (misal dislokasi lensa, kelainan korneal) dapat
diperbaiki.
 Fraktur blow out memiliki prognosis berbeda tergantung jumlah
jaringan yang rusak
 Pusat (neurologik) menyebabkan diplopia dapat memiliki
konsekuensi yang serius dan dalam hal tumor primer atau
sekunder, prognosisnya jelek.

X. ABLASIO RETINA

DEFINISI

Ablasio retina adalah suatu penyakit dimana lapisan sensorik dari


retina lepas. Lepasnya bagian sensorik retina ini biasanya hampir selalu
didahului oleh terbentuknya robekan atau lubang didalam retina. Ablasio
retina lebih besar kemunkinanya pada orang yang menderita rabun jauh
(miopia) dan pada orang yang anggota keluarganya ada yang pernah
mengalami ablasio retina. Merupakan penyakit mata gawat darurat,
penderita mengeluh ada kabut dilapangan pandangnya secara mendadak
seperti selubung hitam. Kalau mengenai makula lutea maka visusnya
mundur sekali, bila ditanya mungkin ditemukan gejala ada bintik hitam
sebelumnya dan penderita miopia tinggi.

Ada 2 tipe ablasio retina :

Non rhemathogen retina detachmen :

a. Malignancy hypertensi

b. Choriodal tumor

c. Chorioditis

d. Retinopati

Rhemathogen retina detachmen:

a. Trauma
b. Degenerasi
c. Kelainan vitreus

ETIOLOGI
Penyakit ablasio retina dapat pula disebabkan oleh penyakit lain seperti
tumor,peradangan hebat,akibat trauma atau sebagai komplikasi dari
diabetes. Ablasio retina dapat terjadi secara spontan atau sekunder setelah
trauma, akibat adanya robekan pada retina, cairan masuk kebelakang dan

198
mendorong retina (rhematogen) atau terjadi penimbunan eksudat dibawah
retina sehingga retina terangkat (non rhegmatogen), atau tarikan jaringan
parut pada badan kaca (traksi). Penimbunan eksudat terjadi akibat penyakit
koroid, misalnya skleritis, koroiditis, tumor retrobulbar, uveitis dan toksemia
gravidarum. Jaringan parut pada badan kaca dapat disebabkan DM,
proliferatif, trauma, infeksi atau pasca bedah.

Tanda dan Gejala Ablatio Retina :

• Fotopsia, munculnya kilatan cahaya yang sangat terang di lapang


pandang.
• Muncul bintik-bintik hitam yang beterbangan di lapang pandang
(floaters)
• Muncul tirai hitam di lapang pandang
• Tidak ditemukan adanya rasa nyeri atau nyeri kepala

MANIFESTASI KLINIK

Tabir yang menutupi penglihatan dan seperti melihat pijaran api,


penglihatan menurun secara bertahap sesuai dengan daerah yang terkena,
bila makula yang terkena maka daerah sentral yang terganggu.

PENATALAKSANAAN

Menghindari robekan lebih lanjut dengan memperhatikan penyebabnya,


seperti :Foto koagulasi laser, krioterapi,retinopexy pneumatic, bila terjadi
akibat jaringan parut dilaku kan vitrektomi, scleral buckling atau injeksi gas
intraokuler.

UsahaPre-operatif :

Sedikitnya 5 – 7 hari sebelum operasi, penderita sudah harus masuk


rumah sakit, harus tirah baring sempurna (Bedrest total). Kepala dan mata
tidak boleh digerakan, mata harus di tutup segera, segala keperluan pen-
derita dibantu. Kedua mata ditetesi midriatik sikloplegik seperti: Atropin
tetes 1 % jangan menggunakan obat-obat mata dalam bentuk salep mata
karena akan menghalangi jalannya operasi (kornea akan keruh akibat
salep). Persiapan lainnya sama dengan persiapan operasi katarak, operasi
ablasio retina mengguna kan anestesi umum tetapi bila menggunakan
anestesi lokal maka 1 jam sebelum operasi diberikan luminal (100 mg) atau
largactil (100 mg) IM, kemudian ½ jam sesudahnya diberi pethidine (50 mg)
dan phenergan (25 mg) IM.

UsahaPost-operatif :

Faktor-faktor yang harus diperhatikan dalam perawatan adalah posisi


kepala, per-gerakan mata, obat-obat, lamanya mobilisasi dan pemeriksaan
lanjutan (follow –up). Posisi kepala dan badan, arah miringnya kepala,

199
tergantung posisi/keadaan sewaktu operasi yaitu kearah mana punksi
cairan subretina dilakukan. Pada robekan yang sangat besar, posisi kepala
dan badan dipertahankan sedikitnya 12 hari. Pergerakan mata, bila operasi
dilakukan dengan kombinasi cryo atau diathermi koagulasi dengan suatu
implant atau scleral buckling, maka kedua mata ditutup selama 48 – 72 jam
sedang badan boleh bergerak untuk mencegah pergerakan matanya. Bila
hanya menggunakan cryo atau diathermi saja mata ditutup selama 48 jam
samapai cairan subretina diabsobsi. Bila robekan belum semua tertutup,
maka kedua mata harus ditutup selama 12 – 14 hari, retina menempel
kembali dengan kuat pada akhir minggu ketiga setelah operasi, karena itu
selama periode 3 minggu itu diberikan instruksi sebagai berikut :

- Jangan membaca.

- Melihat televisi hanya boleh dari jarak 3 meter.

- Mata diusahakan untuk melihat lurus kedepan, bila berkendaran


hendaknya mata ditutup.

Obat–obat:
Selama 24 jam post-operasi diberikan obat anti nyeri (analgesik) 3 X 500
mg, bila mual muntah berikan obat anti muntah. Sesudah 24 jam tidak
perlu diberikan obat-obat, kecuali bila merasa sakit. Penggantian balut
dilakukan setelah 24 jam, saat itu mata ditetesi dengan Atropin tetes steril 1
%. Bila kelopak mata bengkak, diberikan Kortikosteroid lokal disertai babat
tindih (druk verban) dan kompres dingin.

KOMPLIKASI

Penurunan ketajaman penglihatan dan kebutaan merupakan komplikasi


yang paling umum terjadi pada ablasio retina. Penurunan penglihatan
terhadap gerakan tangan atau persepsi cahaya adalah komplikasi yang
sering dari ablasio retina yang melibatkan makula.

Jika retina tidak berhasil dilekatkan kembali dan pembedahan mengalami


komplikasi, maka dapat timbul perubahan fibrotik pada vitreous
(vitreoretinopati proliferatif, PVR). PVR dapat menyebabkan traksi pada
retina dan ablasio retina lebih lanjut.

PROGNOSIS

Prognosis tergantung luasnya robekan retina, jarak waktu terjadinya


ablasio, diagnosisnya dan tindakan bedah yang dilakukan. Terapi yang
cepat prognosis lebih baik. Prognosis lebih buruk bila mengenai makula
atau jika telah berlangsung lama. Jika makula melekat dan pembedahan
berhasil melekatkan kembali retina perifer, maka hasil penglihatan sangat
baik. Jika makula lepas lebih dari 24 jam sebelum pembedahan, maka
tajam penglihatan sebelumnya mungkin tidak dapat pulih sepenuhnya.

200
DAFTAR PUSTAKA

1. Ilyas S, dkk. Ablasio retina. In: Sari ilmu penyakit mata. Cetakan ke-
4. Gaya Baru Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia;
2004: 9,10,183-6.
2. Vaughan DG, Asbury T, Eva PR. Ablasi retina. In: Oftalmologi
umum. 14th ed. Widya Medika. Jakarta; 2006:197, 207-9.
3. Olsen TW. Retina. In: Primary care ophtahalmology. Palay DA,
Krachmer JH. Pr, editors. 2nd ed. Elsevier Mosby. Philadelphia;2005.
183-6.

PERDARAHAN RETINA

Perdarahan retina terjadi karena proses diapedesis dari vena atau


kapiler dan gambaran morfologiknya tergantung pada ukuran, tempat, dan
luas kerusakan pembuluh darah. Perdarahan dapat disebabkan oleh
keadaaan apa pun yang menggangu integritas sel-sel endotel. Perdarahan
biasanya mengisyaratkan adanya beberapa kelainan pada retina, dan
harus di pertimbangkan faktor-faktor sistemik yang berkaitan dengan
penyakit dinding pembuluh (hipertensi, diabetes melitus), gangguan darah
(leukemia, polisitemia), dan penurunan perfusi (fistula sinus kavernosa-
arteri karotis, perdarahan akut).

Kedalamanperdarahan retinadapat ditentukan melalui tampilan


perdarahan yang tampak pada hasil pemeriksaan fundus retina.
Perdarahan subretinacenderung menyebabkan terakumulasi sejumlah
besar darah sehingga biasanya berwarna lebih gelap. Perdarahan
intraretina profunda yang disebut juga sebagai perdarahan"dot and blot
shape" karena perdarahan ini melingkupi bagian fotoreseptordan
selretinatengah. Perdarahan intraretina superficialcenderung berbentuk
corakan api (flame shape hemorrhage) karena perdarahan tersebar di
lapisan seratsaraf.

201
Gambar : a) fundus retina normal, b) fundus dengan perdarahan flame
shape retina

 Retinopati diabetik
Diabetes melitus merupakan penyakit endokrin yang dapat menimbulkan
manifestasi pada mata berupa retinopati diabetika. Retinopati diabetika
adalah suatu mikroangiopati yang ditandai oleh kerusakan dan
penyumbatan pembuluh darah halus meliputi arteriol prekapiler , vena
maupun kapiler-kapiler retina. Kelainan ini berkaitan dengan lamanya
terpapar hiperglikemia yang akan menyebabkan perubahan fisiologis dan
biokimia sehingga terjadi kerusakan endotel pembuluh darah.

Adanya hiperglikemia memicu terbentuknya reactive oxygen intermediates


(ROIs) dan advanced glycation endproducts (AGEs). ROIs dan AGEs
merusak perisit dan endotel pembuluh darah serta merangsang pelepasan
faktor vasoaktif seperti nitric oxide (NO), prostasiklin, insulin-likevgrowth
factor-1 (IGF-1), dan endotelin yang akan memperparah kerusakan. Selain
itu, hiperglikemia kronik mengaktivasi jalur poliolyang meningkatkan
glikosilasi dan ekspresi aldose reduktase sehingga terjadi akumulasi
sorbitol. Glikosilasi dan akumulasi sorbitol kemudian mengakibatkan
kerusakan endotel pembuluh darah dan disfungsi enzim endotel.Keadaan

202
hiperglikemia juga dapat mengaktivasi transduksi sinyal intraseluler protein
kinase C (PKC). Vascular endothelialgrowth factor (VEGF) dan faktor
pertumbuhan lain diaktivasi oleh PKC. VEGF menstimulasi ekspresi
intracellular adhesionmolecule-1 (ICAM-1) yang memicu terbentuknya
ikatan antara leukosit dan endotel pembuluh darah. Ikatan tersebut
menyebabkan kerusakan sawar darah retina, serta trombosis dan oklusi
kapiler retina.

Keseluruhan jalur tersebut menimbulkan gangguan sirkulasi, hipoksia, dan


inflamasi pada retina. Hipoksia menyebabkan ekspresi faktor angiogenik
yang berlebihan sehingga merangsang pembentukan pembuluh darah baru
yang memiliki kelemahan pada membran basalisnya, defisiensi taut kedap
antarsel endotelnya, dan kekurangan jumlah perisit. Akibatnya, terjadi
kebocoran protein plasma dan perdarahan di dalam retina dan vitreous.

Perdarahan retina pada retinopati diabetika dapat berupa flame shape, dot
and blot shape, tergantung letak maupun ukuran pembuluh darah yang
terkena. Biasanya selain perdarahan retina, terdapat juga adanya soft atau
hard exudates, maupun daerah iskemik yang tampak sebagai cotton wool
spot.

 Retinopati hipertensif
Retinopati hipertensif merupakan kelainan retina dan pembuluh darah
retina akibat tekanan darah tinggi. Respon pembuluh darah pada hipertensi
yaitu berupa vasospasme, selain itu pada adanya ateroskerosis juga
menjadi penyebab sekunder dari penebalan dinding pembuluh darah
sehingga ukurannya menjadi tidak teratur.

Perdarahan retina dapat terjadi primer akibat oklusi primer arteri atau
sekunder akibat arteroskerose yang mengakibatkan oklusi vena. Pada
hipertensi yang berat dapat terlihat perdarahan retina pada lapisan dekat
papil dan sejajar dengan permukaan retina. Perdarahan retina akibat
diapedesis biasanya kecil dan berbentuk lidah api (flame shaped).

 Retinopati leukemia
Retinopati leukemia merupakan kelainan retina dan pembuluh
darah retina akibat adanya neoplasma ganas sel darah putih. Retinopati
leukemia ini dapat terjadi akibat leukemia jenis apapun seperti akut-kronik,
limfoid-mieloid, dengan tanda yang khusus seperti vena melebar, berkelok-
kelok, dan memberi refleks yang mengkilat sehingga susah dibedakan
arteri dengan vena. Terdapat perdarahan tersebar dengan bagian di
tengah berintik putih akibat penimbunan leukosit, dapat terjadi eksudat
kecil, mikroaneurisma dan pada stadium lanjut fundus berwarna pucat dan
jingga. Sel darah putih menyerbuki retina yang tertimbun di daerah
perivaskuler. Terdapat perdarahan dan eksudat subretina dan edema papil.

Pada pembuluh darah vena dapat terlihat adanya mikroaneurisma.


Kelainan ini disusl dengan edema polus posterior yang mengenai retina

203
dan papil. Kelainan yang lanjut tampak sebagai perdarahan berbentuk
nyala api dengan bintik putih di tengah (Roth‘s spot).

OKLUSI PEMBULUH DARAH RETINA

DEFINISI

Oklusi pembuluh darah retina adalah penyumbatan di pembuluh


darah retina baik di pembuluh darah arteri maupun vena retina, yang juga
dapat ditemukan di sentral atau cabang dari vena atau arteri.. Pada
umumnya oklusi pembuluh darah retina terjadi pada salah satu mata dan
dapat menyebabkan berbagai gangguan penglihatan termasuk penglihatan
kabur secara mendadak kabur atau distorsi. Keadaan ini merupakan
keadaan emergensi opthalmologi yang dapat menyebabkan kebutaan.
Namun penyakit ini bukan suatu penyakit yang berdiri sendiri. Terdapat
banyak faktor yang mencetuskan terjadinya oklusi tersebut, misalnya
penyakit sistemik ataupun penyakit pembuluh darah.

EPIDEMIOLOGI

Oklusi arteri retina terjadi lebih sedikit dibandingkan dengan oklusi


vena. Data pada studi di Amerika, menunjukkan bahwa oklusi arteri retina
sentral (Central Retinal Artery Occlusion / CRAO) ditemukan tiap 1:10.000.
Biasanya hanya mengenai satu mata, namun pada 1-2% penderita
ditemukan ganguan mata bilateral. Oklusi arteri retina sentral (CRAO)
terjadi pada 58% pasien dengan obstruksi arteri retina, oklusi cabang arteri
retina (Branch Retinal Artery Occlusion / BRAO) terjadi pada 38% pasien
dengan obstruksi arteri retina. Umumnya penderita laki-laki lebih tinggi dari
pada wanita. Kebanyakan penderita berusia sekitar 60 tahun, namun pada
beberapa kasus dijumpai mengenai penderita yang lebih muda hingga usia
30 tahun. Umumnya insiden pada kelompok usia yang berbeda disebakan
penyebab yang berbeda pula.

Sedangkan oklusi vena retina paling banyak ditemukan pada laki-


laki dan usia lebih dari 65 tahun. Kebanyakan kasus unilateral, hanya
sekitar 6-14% kasus yang ditemukan bilateral. Oklusi cabang vena retina
(Branch Retinal Vein Occlusion / BRVO) 3 kali lebih sering ditemukan
daripada oklusi vena retina sentral (Central Retinal Vein Occlusion /
CRVO). Di Australia, prevalensi oklusi vena berkisar dari 0,7% pada pasien
berusia 49-60 tahun menjadi 4,6% pada pasien yang lebih tua dari 80
tahun.

204
ETIOLOGI

Oklusi arteri retina sentral terjadi akibat dari trombosis pada lamina
sklerosis, mungkin berasal dari arteriosklerosis komplikasi atau dari
kejadian emboli. Saat retina menjadi iskemik, retina akan membengkak,
dan kehilangan transparansi. Penyumbatan arteri retina sentral dapat
disebabkan oleh:

 Emboli, merupakan penyebab penyumbatan arteri retina sentral yang


paling sering. Emboli dapat berasal dari perkapuran yang berasal dari
penyaklit emboli jantung, nodus-nodus reuma, carotid plaque atau
emboli endokarditis.
 Radang arteri
 Spasme pembuluh darah. Penyebab spasme pembuluh darah antara
lain pada migren, overdosis obat, keracunan alkohol, tembakau, kina
atau timah hitam.
 Akibat lambatnya pengaliran darah. Perlambatan aliran pembuluh
darah retina terjadi pada peninggian tekanan intraokular, stenosis
aorta atau arteri karotis.
 Giant cell arthritis
 Kelainan hiperkoagulasi
 Trauma

FAKTOR RISIKO
Ada sejumlah faktor risiko umum untuk terjadinya oklusi arteri dan vena.
Faktor-faktor tersebut hampir sama dengan faktor yang mencetuskan
masalah pembuluh darah yang dapat menyebabkan masalah lain seperti
serangan jantung dan stroke. Faktor risiko utama tersebut adalah:

 Usia. Oklusi pembuluh darah retina paling sering terjadi pada orang
dengan usia di atas 65 tahun, walaupun pada oklusi arteri retina dapat
juga terjadi pada usia dibawah 30 tahun.
 Tekanan darah tinggi
 Diabetes Mellitus
 Hiperlipidemia (kolesterol > 6,5 mmol/L)
 Penyakit arteri koroner
 Merokok
 Kegemukan
 Glaukoma
 Hiperkoagulabilitas
 Arteriosklerosis
 Papil edema
 Diet yang tidak sehat (kurang vitamin dan antioksidan)

205
GEJALA KLINIS

Tempat terjadinya oklusi pada pembuluh darah retina menentukan


gejala klinis yang berbeda-beda. Oklusi pembuluh darah retina dapat
terjadi baik di arteri maupun vena. Oklusi arteri retina dapat terjadi di arteri
sentral maupun di cabang-cabang arteri retina. Begitu pula oklusi pada
vena retina dapat terjadi di vena sentral maupun di cabang-cabang vena
retina.

Oklusi Arteri Retina

Umumnya pasien akan mengeluhkan penurunan penglihatan yang terjadi


secara tiba-tiba, tanpa disertai rasa nyeri. Pada beberapa pasien dapat
dijumpai amaurosis fugax, merupakan proses penurunan penglihatan
secara transien yang dapat terjadi selama beberapa detik hingga beberapa
menit, namun dapat pula bertahan hingga 2 jam. Umumnya penglihatan
dapat kembali seperti sebelumnya setelah serangan amaurosis fugax
berakhir. Namun pada akhirnya penurunan penglihatan akan menetap
pada salah satu mata, terutama bila oklusi terjadi pada arteri sentral retina.
Pada 90% penderita, kemampuan visus menurun hingga menghitung jari,
persepsi cahaya, bahkan kebutaan. 10% penderita oklusi arteri retina
sentral tidak menunjukkan penurunan tajam penglihatan akibat tidak
terganggunya makula lutea yang mempunyai pembuluh darah silioretina.

Oklusi Vena Retina

Gejala yang timbul pada oklusi vena retina mulai dari penurunan
penglihatan yang memburuk pada pagi hari, tepat setelah bangun pagi
hingga penurunan penglihatan yang nyata yang dijumpai pertama kali saat
bangun pagi dan dapat sampai kepada kebutaan yang menetap. Gejala
biasanya timbul pada satu mata. Onset timbulnya gejala pada oklusi vena
retina dapat kurang akut dari onset oklusi arteri retina. Penurunan
penglihatan tidak disertai rasa nyeri.

PEMERIKSAAN

Setiap orang yang datang dengan penurunan tajam penglihatan


secara tiba-tiba, tanpa ada nyeri, dengan kondisi mata tenang harus
dilakukan pemeriksaan penilaian visus mata dan pemeriksaan mata lebih
lanjut untuk melihat segmen posterior mata. Selain itu dapat juga dilakukan
pemeriksaan penunjang untuk mencari faktor risiko yang ada pada pasien,
misalnya EKG, pemeriksaan lab (darah lengkap, glukosa puasa dan lipid)
dan lain-lain.

206
Oklusi Arteri Retina

Pada CRAO ketajaman penglihatan berkisar antara menghitung jari dan


persepsi cahaya pada 90% mata pada saat pemeriksaan awal. Penurunan
visus yang berupa serangan-serangan yang berulang dapat disebabkan
oleh penyakit-penyakit spasme pembuluh atau emboli yang berjalan.
Terkadang visus menjadi baik kembali bila spasmenya menghilang.

Defek pupil aferen dapat muncul dalam beberapa detik setelah sumbatan
arteri retina. Pupil mata yang terkena menjadi lebar dan reaksi pupil
terhadap sinar langsung menjadi lemah disebabkan tajam penglihatan
yang berkurang, sehingga terjadi pupil anisokoria. Defek pupil ini biasanya
timbul mendahului kelainan fundus selama satu jam.

Pada pemeriksaan funduskopi akan terlihat seluruh retina berwarna pucat


akibat edema dan gangguan nutrisi pada retina. Terdapat gambaran
berupa sosis pada arteri retina akibat pengisian arteri retina yang tidak
merata. 25% mata dengan sumbatan arteri retina sentral memiliki arteri-
arteri silioretina yang merupakan anastomose antara a. Retina sentral dan
a. siliaris yang tidak mengenai makula sehingga daerah makula masih
dapat melihat maka ketajaman penglihatan sentral masih dapat
dipertahankan.

Sesudah beberapa jam retina akan tampak pucat, keruh keabu-abuan yang
disebabkan edema lapisan dalam retina dan lapisan sel ganglion. Pada
keadaan ini akan terlihat gambaran merah ceri (cherry red spot) pada
makula lutea. Hal ini disebabkan tidak adanya lapisan ganglion di makula,
sehingga makula mempertahankan warna aslinya. Lama-kelamaan papil
warnanya pucat dan batasnya kabur. Secara klinis, kekeruhan retina
menghilang dalam 4-6 minggu, meninggalkan sebuah diskus optikus pucat
sebagai temuan okular pertama.

Gambar. Cherry Red Spot pada makula lutea

Sedangkan pada BRAO, pada funduskopi ditemukan retina yang keputihan


bersamaan dengan distribusi arteri yang terkena. Dapat pula ditemukan

207
cabang arteri yang menyempit, segmentasi dari kolum arteri, dan kadang-
kadang dapat terlihat emboli pada cabang arterinya. Pemeriksaan lapang
pandang (Perimetri) dapat ditemukan adanya defek lapang pandang
sebagian.

Gambar. Emboli inferotemporal BRAO

Oklusi Vena Retina

Pada pemeriksaan visus akan ditemukan penurunan tajam penglihatan


yang bermakna. Reflex pupil bisa normal dan mungkin ada dengan reflex
pupil aferen relative. Pada pemeriksaan iris harus dilihat apakah terdapat
neovaskularisasi (rubeosis iridis) yang akan terbentuk pada oklusi vena
retina tahap lanjut yang dapat menyebabkan glaukoma sekunder.

Pada pemeriksaan funduskopi terlihat vena berkelok-kelok, edema macula


dan retina, dan perdarahan berupa titik merah pada retina. Perdarahan
retina dapat terjadi pada keempat kuadran retina. Cotton wool
spot(eksudat) umumnya ditemukan diantara bercak-bercak perdarahan dan
dapat menghilang dalam 2-4 bulan. Papil merah dan menonjol (edema)
dengan pulsasi vena menghilang karena penyumbatan. Kadang dijumpai
edema papil tanpa disertai perdarahan di tempat yang jauh (perifer), ini
merupakan gejala awal penyumbatan di tempat sentral. Neovaskularisasi
disk (NVD) mengindikasikan iskemia berat dari retina dan bias mengarah
pada perdarahan preretinal/vitreus.

208
Gambar. Non-ischemic CRVO

TERAPI

Oklusi Arteri Retina

Kerusakan retina yang ireversibel terjadi setelah oklusi total arteri sentarlis
retina selama 90 menit sehingga hanya tersedia sedikit waktu untuk
memulai terapi. Oleh sebab itu merupakan suatu keadaan emergensi,
penanganan yang segera untuk mengembalikan aliran darah pada retina
kemungkinan akan sangat bermanfaat bila dilakukan sedini mungkin.

Penanganan awal sebagai tindakan emergensi yang dapat dilakukan


adalah:

1. Menurunkan tekanan intraokular.


Dapat diberikan obat topikal (tetes mata) golongan β-blocker
ataupun pemberian acetazolamide 4 X 500mg atau manitol secara
intavena dapat mennyebabkan penurunan TIO yang segera.

2. Ocular massage.
Dilakukan dengan gerakan berputar selama 10 detik pada bola mata
dan dilepas kemudian dilakukan berulang-ulang. Diharapankan
terjadi perpindahan emboli ke distal menuju pembuluh darah dengan
kaliber kecil dan menyelamatkan sebagian daerah retina.

3. Dilatasi arteri retina sentral


Dapat dilakukan dengan 2 cara, yaitu

 Meningkatkan PO2 dipermukaa retina dengan cara ventilasi


kembali karbon dioksida yang diekspirasi dengan bernafas
menggunakan kantong kertas atau pun memberikan ventilasi
karbogen dengan memberikan O2 95% dan CO2 5% secara
inhalasi melalui masker selama 10 menit setiap 2 jam pada
waktu pagi hingga sore hari dan setiap 4 jam pada malam hari
selama 48 jam.

209
 Dapat juga dengan memberikan isosorbid dinitrat sublingual.

4. Pemberian aspirin oral pada fase akut sangat membantu.


Pemberian aspirin dilanjutkan selama 2 minggu.
5. Pemberian antikoagulan sistemik tidak dianjurkan.
6. Pemberian steroid hanya bila diduga terdapat peradangan.
7. Mengontrol faktor risiko yang ada pada pasien.
8. Konsul ke dokter spesialis mata untuk terapi selanjutnya secepat
mungkin.

Oklusi Vena Retina

Pada dasarnya penatalaksaan oklusi vena retina hampir sama dengan


oklusi arteri retina, namun tidak seakut oklusi arteri retina. Penanganan
oklusi vena retina lebih mengarah pada follow up pasien, mengontrol faktor
risiko. Penyuntikan intravitreal triancinolone untuk mengatasi edema
makula memberikan sedikit efek. Uji coba dengan menyuntikkan depot
steroid atau agen anti-VEGF memberi hasil yang menjanjikan untuk
mengatasi edema makula. Konsul ke dokter spesialis mata untuk
keputusan terapi selanjutnya.

PROGNOSIS

Prognosis untuk oklusi vaskular retina bervariasi tergantung pada lokasi


dan keparahan penyumbatan, dan kondisi yang mendasarinya. Individu
dapat sembuh sepenuhnya tanpa intervensi apapun, atau mungkin
mengalami kehilangan penglihatan permanen parsial atau kebutaan juga
dapat terjadi. Jika intervensi tertunda, oklusi arteri retina hampir selalu
menyebabkan hilangnya seluruh penglihatan di bidang visual sentral (oklusi
arteri sentral), atau sebagian dari bidang visual perifer (oklusi cabang
arteri). Biasanya hanya sekitar 10% dari individu yang memiliki oklusi
pembuluh darah retina mendapat manfaat yang signifikan dari pengobatan,
bahkan ketika diberikan segera. Pengobatan yang tertunda dianggap tidak
efektif, meskipun ada kasus yang terjadi pemulihan spontan bahkan
setelah beberapa hari kehilangan penglihatan.

Individu juga berada pada risiko terjadinya glaukoma di mata yang terkena
karena pertumbuhan berlebih dari pembuluh darah baru di retina atau iris.
Jika tekanan darah tinggi (hipertensi) atau peningkatan tekanan mata
(glaukoma) tidak terkontrol, individu terus berada pada risiko komplikasi
oklusi vena retina seperti ablasio retina atau gangguan terkait lainnya.

210
DEGENERASI MAKULA

DEFINISI

Degenerasi macula adalah suatu keadaan dimana macula


mengalami kemunduran sehingga terjadi penurunan ketajaman penglihatan
dan kemungkinan akan menyebabkan hilangnya fungsi penglihatan sentral.
Macula adalah pusat dari retina dan merupakan bagian yang paling vital
dari retina yang memungkinkan mata melihat detil-detil halus pada pusat
lapang pandang. Tanda utama dari degenerasi pada makula adalah
didapatkan adanya bintik-bintik abu-abu atau hitam pada pusat lapangan
pandang. Kondisi ini biasanya berkembang secara perlahan-lahan, tetapi
kadang berkembang secara progresif, sehingga menyebabkan kehilangan
penglihatan yang sangat berat pada satu atau kedua bolamata.

ETIOLOGI

Degenerasi macula dapat disebabkan oleh beberapa factor dan dapat


diperberat oleh beberapa factor resiko, diantaranya :

1. Umur, faktor resiko yang paling berperan pada terjadinya degenerasi


makula adalah umur. Meskipun degenerasi makula dapat terjadi pada
orang muda, penelitian menunjukkan bahwa umur di atas 60 tahun
beresiko lebih besar terjadi di banding dengan orang muda. 2% saja
yang dapat menderita degenerasi makula pada orang muda, tapi
resiko ini meningkat 30% pada orang yang berusia di atas 70 tahun.
2. Genetik, penyebab kerusakan makula adalah CFH, gen yang telah
bermutasi atau faktor komplemen H yang dapat dibawa oleh para
keturunan penderita penyakit ini. CFH terkait dengan bagian dari
sistem kekebalan tubuh yang meregulasi peradangan.
3. Merokok, Merokok dapat meningkatkan terjadinya degenrasi makula.
4. Ras kulit putih (kaukasia) adalah sangat rentan terjadinya degenerasi
makula di banding dengan orang Afrika atau yang berkulit hitam.
5. Riwayat keluarga, resiko seumur hidup terhadap pertumbuhan
degenerasi makula adalah 50% pada orang-orang yang mempunyai
hubungan keluarga penderita dengan degenerasi makula, dan hanya
12 % pada mereka yang tidak memiliki hubungan dengan degenerasi
makula.
6. Hipertensi dan diabetes. Degenerasi Makula menyerang para
penderita penyakit diabetes, atau tekanan darah tinggi gara-gara
mudah pecahnya pembuluh-pembuluh darah kecil (trombosis) sekitar
retina. Trombosis mudah terjadi akibat penggumpalan sel-sel darah
merah dan penebalan pembuluh darah halus
7. Paparan terhadap sinar Ultraviolet, Obesitas dan kadar kolesterol
tinggi

211
KLASIFIKASI

1. Degenerasi Makula tipe non-eksudatif (tipe kering) atau non-


neovaskular

Rata-rata 90% kasus degenerasi makula terkait usia adalah tipe kering.
Kebanyakan kasus Ini bisa memberikan efek berupa kehilangan
penglihatan yang sedang. Pada gambaran fundus, macula tampak lebih
kuning atau pucat dikelilingi oleh bercak-bercak dan pembuluh darah
tampak melebar. Bercak-bercak ini disebut drusen iaitu bangunan khas
yang berbentuk bulat, berwarna kekuningan. Secara histopatologi drusen
terdiri atas kumpulan materi eosinofilik yang terletak diantara epitel pigmen
dan membran Bruch sehingga drusen dapat menyebabkan pelepasan fokal
dari epitel pigmen.

Bentuk ini muncul dalam bentuk timbulnya drusen serta kelainana EPR.
Drusen merupakan suatu timbunan material ekstraseluler yang terletak
diantara membrane basal EPR denganmembran Bruch. Secara klinis,
drusen tampak sebagai lesi kekuningan yang terletak pada lapisan luar
retina, di polus posterior. Drusen mempunyai ukuran yang sangat
bervariasi. Ukuran drusen dapat diperkirakan dengan membandingkannya
dengan caliber vena besar disekitar papil iaitu sekirat 125 mikron. Menurut
ukurannya, drusen dibagi menjadi:

212
- Kecil (kurang dari 64 um)
- Sedang (antara 64 -125 um)
- Besar (lebih dari 125 um)
Menurut bentuknya, drusen dibagi menjadi keras dan lunak.
Beberapa drusen dapat bergabung menjadi satu yang disebut drusen
confluent. Drusen keras merupakan residual bodies yang
bertanggungjawab terhadap penebalan membrane Bruch, yang
berhubungan dengan adanya deposit laminar basal yang terdiri dari hialin.
Drusen lunak merupakan timbunan membranosa dan vesicular yang
berhubungan dengan deposit laminar basal. Biasanya ukurannya lebih
besar dari drusen keras dan batasnya kurang tegas. Pada angiografi
fluoresin, drusen keras akan tampak sebagai bercak-bercak
hiperfluoresensi yang cemerlang pada stadium midvena, dan memudar
setelah memudarnya corakan latar belakang fluoresin koroid, sedangkan
drusen lunak akan muncul sebagai daerah hiperfluoresensi lebih lambat
dan kurang cemerlang disbanding drusen keras.

Drusen keras ditemukan pada 95,5% individu berumur lebih dari 49 tahun,
tetapi sebagian besar hanya brupa drusen kecil yang jumlahnya tidak
banyak. Drusen keras bisa mengalami regresi spontan, dapat membesar
atau menyatu dengan drusen disebelahnya atau menimbulkan atrofi sel
EPR yang ada diatasnya, yang dapat menimbulkan atrofi geografk EPR
apabila daerahnya luas, sehingga corak pembuluh darah koroid
dibawahnya dapat terlihat, serta retina diatasnya tampak tipis, yang
berlanjut menjadi atrofi fotoreseptor, dan menyebabkan atrofi geografik
retina, atau berkembang membentuk neovaskularisasi koroid CNV.

Perubahan lain yang dapat terjadi adalah hipopigmentasi dan


hiperpigmentasi. Hiperpigmentasi terjadi karena hipertrofi EPR dan sel
makrofag yang mengandung pigmen melanin mengalami migrasi kearah
fotoreseptor. Hipopigmentasi terjadi karena depigmentasi di sekitar EPR
yang mengalami hiperpigmentasi. Secara klinis, strofi retina geografis
tampak sebagai daerah hipopigmentasi atau depigmentasi atau hilangnya
EPR yang berbentuk bulat atau oval dan berbatas tegas. Atrofi geografik
merupakan penyebab kehilangan ketajaman sentral sebesar 12% sampai
21% dari seluruh kehilangan penglihatan sentral yang diakibatkan AMD.
Kemampuan membaca akan menurun bukan hanya karena adanya
skotoma parasentral saja, melainkan juga karena penurunan sensitivitas
adaptasi gelap pada fovea, kemunduran ketajamana penglihatan pada
keadaan redup, serta menurunkan sensitivitas kontras.

213
2. Degenerasi Makula tipe eksudatif ( tipe basah) atau neovaskular

Degenerasi makula tipe ini adalah jarang terjadi namun lebih berbahaya di
bandingkan dengan tipe kering. Kira kira didapatkan adanya 10% dari
semua degenerasi makula terkait usia dan 90% dapat menyebabkan
kebutaan. Tipe ini ditandai dengan adanya neovaskularisasi subretina
dengan tanda-tanda degenerasi makula terkait usia yang mendadak atau
baru mengalami gangguan penglihatan sentral termasuk penglihatan
kabur, distorsi atau suatu skotoma baru.

Pada keadaan ini terjadi pembentukan pembuluh darah baru subretinal dan
terjadi kerusakan macula yang disertai eksudat. Cairan serosa dari koroid
bocor melalui defek pada membrane bruch sehingga menyebabkan
pelepasan epitel pigmen. Pemeriksaan fundus menunjukkan adanya
pendarahan dan eksudat subretina, lesi berwarna hijau keabu-abuan pada
macula dan tampak adanya neovaskularisasi.

Bentuk AMD neovaskular adalah neovaskularisasi koroid (CNV) dan


semua manifestasi yang menyertainya antara lain;

- Ablasi EPR
- Robekan EPR

214
- Pendarahan subretina
- Pendarahan vitreus
- Sikatrik disiforms
Adanya kerusakan pada membrane Bruch memungkinkan pembuluh darah
neovaskularisasi yang berasal dari kapiler koroid menembus membrane
Bruch. Pembuluh darah neovaskular ini diserai oleh jaringan fibrosa,
membentuk satu kompleks fibrovaskular yang dapat mengganggu dan
merusak membrane Bruch, kapiler koroid, serta EPR.

Gejala yang dialami oleh pasien dengan CNV saja, berupa gangguan
penglihatan sentral seperti penurunan visus, mikropsia, makropsia ataupun
skotoma sentral. Walaupun demikian apabila kelainan terjadi diluar fovea,
maka dapat tanpa gejala penglihatan sentral sama sekali. Pada fundus
tampak adanya bayangan hijau keabu-abuan dengan ablasi EPR
diatasnya. Walaupun demikian CNV kadang hanya memberikan tanda
berupa ablasi EPR yang datar saja.

GEJALA KLINIS

Gejala-gejala klinik yang biasa didapatkan pada penderita degenerasi


makula antara lain :

1. Distorsi penglihatan, obyek-obyek terlihat salah ukuran atau bentuk


2. Garis-garis lurus mengalami distorsi (membengkok) terutama dibagian
pusat penglihatan.
3. Kehilangan kemampuan membedakan warna dengan jelas
4. Ada daerah kosong atau gelap di pusat penglihatan
5. Kesulitan membaca, kata-kata terlihat kabur atau berbayang
6. Secara tiba-tiba ataupun secara perlahan akan terjadi kehilangan
fungsi penglihatan tanpa rasa nyeri.

DIAGNOSIS

Diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinik dan hasil


pemeriksaan oftalmoskopi yangmencakup ruang lingkup pemeriksaan
sebagai berikut :

1. Test Amsler Grid, dimana pasien diminta suatu halaman uji yang mirip
dengan kertas milimeter grafis untuk memeriksa luar titik yang
terganggu fungsi penglihatannya. Kemudian retina diteropong melalui
lampu senter kecil dengan lensa khusus.
2. Test penglihatan warna, untuk melihat apakah penderita masih dapat
membedakan warna, dan tes-tes lain untuk menemukan keadaan yang
dapat menyebabkan kerusakan pada makula.
3. Kadang-kadang dilakukan angiografi dengan zat warna fluoresein.
Dokter spesialis mata menyuntikan zat warna kontras ini ke lengan
penderita yang kemudian akan mengalir ke mata dan dilakukan

215
pemotretan retina dan makula. Zat warna ini memungkinkan melihat
kelainan pembuluh darah dengan lebih jelas.

DIAGNOSIS BANDING

Degenerasi macula khususnya tipe eksudat dapat di diagnosis banding


dengan:

1. Makroneurisme

2. Vaskulopati koroid polipoid

3. Khorioretinopati serous sentral

4. Kasus inflamasi

5. Tumor kecil seperti melanoma koroid

PENATALAKSANAAN

Tidak ada terapi khusus untuk AMD noneksudatif Penglihatan


dimaksimalkan dengan alat bantu penglihatan termasuk alat pembesar dan
teleskop. Pasien diyakinkan bahwa meski penglihatan sentral menghilang,
penyakit ini tidak menyebabkan hilangnya penglihatan perifer. Ini penting
karena banyak pasien takut mereka akan menjadi buta total.

Pada sebagian kecil pasien dengan AMD eksudatif yang pada


angiogram fluorosen memperlihatkan membrane neovaskular subretina
yang terletak eksentrik (tidak sepusat) terhadap fovea, mungkin dapat
dilakukan obliterasi membrane tersebut dengan terapi laser argon.
Membrane vascular subfovea dapat diobliterasi dengan terapi fotodinamik
(PDT) karena laser argon konvensional akan merusak fotoreseptor di
atasnya. PDT dilakukan dengan menyuntikkan secara intravena bahan
kimia serupa porfirin yang diaktivasi oleh sinar laser\ nontermal saat sinar
laser berjalan melalui pembuluh darah di membrane subfovea. Molekul
yang teraktivasi menghancurkan pembuluh darah namun tidak merusak
fotoreseptor. Sayangnya kondisi ini dapat terjadi kembali bahkan setelah
terapi laser.

Apabila tidak ada neovaskularisasi retina, tidak ada terapi medis


atau bedah untuk pelepasan epitel pigmen retina serosa yang terbukti
bermanfaat. Pemakaian interferon alfa parenteral, misalnya, belum terbukti
efektif untuk penyakit ini. Namun apabila terdapat membrane neovaskular
subretina ekstrafovea yang berbatas tegas (? 200 um dari bagian tengah
zona avaskular fovea), diindikasikan fotokoagulasi laser. Dengan angiografi
dapat ditentukan dengan tepat lokasi dan batas-batas membrane
neovaskular yang kemudian diablasi secara total oleh luka-luka bakar yang
ditimbulkan oleh laser. Fotokoagulasi juga menghancurkan retina di

216
atasnya tetapi bermanfaat apabila membrane subretina dapat dihentikan
tanpa mengenai fovea.

Fotokoagulasi laser krypton terhadap neovaskularisasi subretina avaskular


fovea (? 200 um dari bagian tengah zona avaskular fovea) dianjurkan untuk
pasien nonhipertensif. Setelah fotokoagulasi membrane neovaskular
subretina berhasil dilakukan, neovaskularisasi rekuren di dekat atau jauh
dari jaringan parut laser dapat dapat terjadi pada separuh kasus dalam 2
tahun. Rekurensi sering disertai penurunan penglihatan berat sehingga
pemantauan yang cermat dengan Amsler grid, oftalmoskopi dan angiografi
perlu dilakukan. Pasien dengan gangguan penglihatan sentral di kedua
matanya mungkin memperoleh manfaat dari pemakaian berbagai alat
bantu penglihatan kurang.

Tindakan bedah yang mungkin dikerjakan adalah pengambilan CNV


subretina, serta translokasi makula. Beberapa penelitian mengenai
ekstraksi membrane CNV subretina mendapatkan bahawa hasil akhir visus
tidak lebih dari 6/60. Tetapi cara ini dapat disarankan pada penderita yang
tidak berhasil dengan PDT. Terdapat tindakan bedah lain yang mungkin
dikerjakan iaitu translokasi makula. Translokasi makula adalah suatu istilah
yang merujuk kepada tindakan mengablasi makula dengan sengaja dari
epitel pigmen dibawahnya, untuk selanjutnya memindahkannya ke tempat
lain. Walaupun teknik ini menjanjikan untuk kondisi tertentu khususnya
CNV, teknik optimal dan prognosis jangka panjangnya belum diketahui

Selain itu terapi juga dapat dilakukan di rumah berupa pembatasan


kegiatan dan follow up pasien dengan mengevaluasi daya penglihatan
yang rendah. Selain itu dengan mengkomsumsi multivitamin dan
antioksidan ( berupa vitamin E , vitamin C, beta caroten, asam cupric dan
zinc), karena diduga dapat memperbaiki dan mencegah terjadinya
degenerasi makula. Sayuran hijau terbukti bisa mencegah terjadinya
degenerasi makula tipe kering. Selain itu kebiasaan merokok dikurangi dan
dan pembatasn hipertensi.

Konsumsi obat-obat antioangiogenesis seperti VEGF-A, yang


merupakan substansi angiogenik utama dalam terbentuknya
neovaskularisasi pada AMD. Obat yang pertama kali digunakan adalah Na-
pegabtanib (Macugen), obat ini memberikan perbaikan ketajaman
penglihatan pada 6% pasien. Setelah itu digunakan obat lain yaitu
ranibizumab, yang lebih memberikan kenaikan ketajaman penglihatan,
karena mengikat kesemua bentuk aktif VEGF. Bevacizumab, yang
merupakan antibody monoclonal seperti ranibizumab, ternyata memberikan
hasil yang lebih menjanjikan karena mempunyai 2 binding sites terhadap
VEGF.

217
PROGNOSIS

Bentuk degenerasi makula yang progresif dapat menyebakan


kebutaan total sehingga aktivitas dapat menurun. Prognosis dari
degenerasi makula dengan tipe eksudat lebih buruk di banding dengan
degenerasi makula tipe non eksudat. Prognosis dapat didasarkan pada
terapi, tetapi belum ada terapi yang bernilai efektif sehingga kemungkinan
untuk sembuh total sangat kecil.

DAFTAR PUSTAKA

1. Angela A, Tri W, Aditya T. Degenerasi macula terkait usia, Retina.


Ilmu kesehatan mata, Bagian ilmu penyakit mata FKUGM. Hal 109-
114. 2007
2. Liesegang TJ., Skuta GL., Cantor LB,. Retina and Vitreous. Basic
and Clinical Curse.Section12 . San Fransisco, California :
American Academy of Ophthalmology. 2003-2004.

RETINOPATI

DEFINISI

Retinopati merupakan kelompok penyakit pada retina mata (selaput


jala) yang ditandai dengan gejala penurunan tajam penglihatan tanpa
disertai proses inflamasi. Sering merupakan manifestasi okular (gejala
pada mata) dari suatu penyakit sistemik. Retinopati adalah kelainan pada
pembuluh darah retina yang apabila tidak segera ditanggulangi akan
menyebabkan kebutaan.

Klasifikasi penyakit

a. Retinopati Diabetik

Retinopati Diabetik adalah kelainan retina (retinopati) yang ditemukan pada


penderita diabetes mellitus. Retinopati akibat diabetes mellitus lama berupa
aneurismata, melebarnya vena, perdarahan dan eksudat lemak.

b. Retinopati Hipertensi

Retinopati Hipertensi (hypertensive retinopathy) adalah kerusakan pada


retina akibat tekanan darah tinggi. Pada stadium awal hipertensi mungkin
tidak ada perubahan retina yang dapat diamati, konstriksi menyeluruh dan
penyempitan arteriola yang tidak teratur biasanya merupakan tanda
pertama pada fundus. Perubahan lain adalah edema retina, perubahan
bentuk nyala api, ―berak kapas‖, dan edema papil.

218
Etiologi

a. Retinopati Diabetik

1. Genetik atau Faktor Keturunan

2. Virus dan Bakteri

3. Bahan Toksin atau Beracun

4. Asupan Makanan

5. Obesitas

b. Retinopati Hipertensi

1. Faktor genetik (tidak dapat dimodifikasi) :

a. Usia, hipertensi umumnya berkembang antara 35 – 55 tahun

b. Etnis, etnis Amerika keturunan Afrika menempati risiko tertinggi

c. terkena Hipertensi

d. Keturunan, beberapa peneliti meyakini bahwa 30-60% kasus hipertensi


adalah diturunkan secara genetis.

2. Faktor lingkungan (dapat dimodifikasi)

a. Diet, makanan dengan kadar garam tinggi dapat meningkatkan


tekanan darah seiring dengan tekanan darah seiring dengan
bertambahnya usia.
b. Obesitas/kegemukan, tekanan darah meningkat seiring dengan
peningkatan berat badan.
b. c. Merokok, dapat meningkatkan tekanan darah dan cenderung
terkena penyakit jantung koroner. Peningkatan tekanan darah
ditunjang oleh pemekatan darahdan penyempitan pembuluh darah
perifer akibat dari kandungan bahan kimia,terutama gas karbon
monoksida dan nikotin serta zat kimia lain yang terdapat didalam rokok
a. Kondisi penyakit lain, seperti diabetes melitus tipe 2 cenderung
meningkatkan risiko peningkatan tekanan darah 2 kali lipat.

Manifestasi Klinis

a) Tampak bayangan jaringan/sarang laba-laba pada penglihatan mata

b) Bayangan abu-abu

c) Mata kabur

d) Sukar membaca karena kabur

219
e) Ada titik gelap atau kosong ditengah lapangan pandang

f) Seperti ada selaput merah pada penglihatan

g) Nyeri mata

h) Obyek yang dilihat seperti dikelilingi lingkaran terang

i) Garis lurus yang dilihat menjadi berubah

j) Buta

Komplikasi

a. Oklusi vaskuler retina

Penyempitan lumen vaskular dan trombosis sebagai efek dari proses


biokimiawi akibat hiperglikemia kronis pada akhirnya akan menyebabkan
terjadinya oklusi vaskular retina. Oklusi vena sentralis retina akan
menyebabkan terjadinya vena berkelok-kelok apabila oklusi terjadi parsial,
namun apabila terjadi oklusi total akan didapatkan perdarahan pada retina
dan vitreus sehingga mengganggu tajam penglihatan penderitanya.

b. Glaukoma

Mekanisme terjadinya glaukoma pada retinopati diabetik masih belum


jelas. Beberapa literatur menyebutkan bahwa glaukoma dapat terjadi pada
retinopati diabetik sehubungan dengan neovaskularisasi yang terbentuk
sehingga menambah tekanan intraokular.

c. Ablasio retina

Peningkatan sintesis growth factor pada retinopati diabetik juga akan


menyebabkan peningkatan jaringan fibrosa pada retina dan corpus vitreus.
Suatu saat jaringan fibrosis ini dapat tertarik karena berkontraksi, sehingga
retina juga ikut tertarik dan terlepas dari tempat melekatnya di koroid.
Proses inilah yang menyebabkan terjadinya ablasio retina pada retinopati
diabetik.

Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan yang dapat dilakukan penderita Retinopati Diabetika antara


lain:

1. Indirect of Thalamoskop

Diperiksa seluruh permukaan fundus sampai belakang penggantung lensa


dapat dilihat dengan alat indirect oftalmoskop, yang sebelumnya mata
pasien ditetes dengan midirasil.

220
2. Foto fundus

Dilakukan foto fundus dengan foto-polaroid, sehingga akan nampak


optikus, retina dan pembuluh darah diretina, sebelumnya penderitaditetesi
medriasil.

3. Foto Fluorescein Angiografi

Dilakukan pemotretan fundus, seperti diatas tetapi sebelumnya penderita


selain ditetes medriasil, akan diinjeksi intravena dengan zat
kontrassehingga gambaran detail halus epitel pigmen retina, aliran sirkulasi
darah retina, gambaran pembuluh darah dan integritas fungsinya. Selain itu
FFA juga berfungsi untuk memonitor terapi fotokoagulasi pada penyakit
Retina dan Khoroid.

4. Foto Koagulasi Laser

Adalah teknik terapi menggunakan sumber sinar kuat untuk


mengkoagulasikan jaringan, tujuannya merusak jaringan retina yang tidak
normal, antara lain menghilangkan adanya pembuluh darah, melekatkan
jaringan chorioretina yang terlepas maupun robek dll.

5. Operasi Vitreoretina, Vitrektomi

Penderita Diabetes Retinopati yang telah lanjut, didapatkan Vitreus/badan


kaca keruh akibat pendarahan retina masuk kebadan kaca, dan juga
berakibat adanya jaringan ikat dibadan kaca yang akan mengakibatkan
tarikan retina, sehingga akan berakibat terlepasnya retina atau ablasio-
retina. Operasi Vitrektomi digunakan untuk menjernihkan badan kaca dan
juga mengupas jaringan ikat yang ada, sehingga lokasi asal perdarahan
dapat dilakukan photokoagulasi laser, dan adanya tarikan retina dapat
dihindarkan.

ATROPI NERVUS OPTIKUS

Ada dua macam atropi nervus optikus yaitu atrofi optik akuisita dan
atropi optik heredodegeneratif (kongenital).1

Atropi Optik Akuisita

A. Definisi

 Atropi optik adalah hilangnya akson nervus optikus dan digantikan


oleh jaringan glia.1

B. Etiologi1

 Oklusi vaskular

221
 Proses degenerasi
 Setelah menderita papil edema
 Setelah menderita neuritis optik
 Pada adanya tekanan nervus optikus oleh apapun
 Karena glaukoma
 Gangguan metabolisme misalnya diabetes melitus
 Karena toksin
 Karena kelainan kongenital
 Karena trauma
 Karena degenerasi retina

C. Klasifikasi1

Pada atropi optik ada istilah atropi primer yang ditandai pupil pucat dan
batas tegas, atropi sekunder yang ditandai papil pucat dengan batas kabur
karena adanya bekas pembengkakan papil dan atropi konsekutif yaitu
atropi papil yang terjadi karena kelainan retina, misalnya pada retinitis
pigmentosa.

D. Gejala dan Tanda1,3

Gejala dan tanda atropi papil tentunya juga tergantung dari penyakit yang
mendasari. Gejala dan tanda umum adalah sebagai berikut:

 Penurunan visus
 Gangguan persepsi warna
 Gangguan lapangan pandang yang beraneka ragam tergantung
penyebabnya.
 Bentuk kelainan pada lapangan pandang dapat berupa
membesarnya bintik buta fisiologik , bisa terjadi ;
 Skotoma Busur (arkuata) : dapat terlihat pada glaucoma, iskemia
papil saraf optic, dan oklusi arteri retina sentral
 Skotoma Sentral : pada retinitis sentral
 Hemianopsia bitemporal : hilangnya setengah lapang pandang
temporal kedua mata, khas pada kelainan kiasma optic, meningitis
basal, kelainan sphenoid dan trauma kiasma.
 Hemianopsia binasal : defek lapang pandang setengah nasal akibat
tekanan bagian temporal kiasma optic kedua mata atau atrofi papil
saraf optic sekunder akibat TIK meninggi.
 Hemianopsia heteronym : bersilang, dapat binasal atau bitemporal
 Hemianopsia homonym : hilang lapang pandang pada sisi yang
sama pada kedua mata, pada lesi temporal
 Hemianopsia altitudinal : hilang lapang pandang sebagian atas atau
bawah, dapat terjadi pada iskemik optic neuropati, kerusakan saraf
optic, kiasma dan kelainan korteks .

222
 Penemuan oftalmoskopis juga tergantung dari penyebabnya (papil
pucat bisa dengan batas tegas atau batas kabur, demikian juga bisa
bersifat datar, cekung, atau menonjol)
 Atropi optik bisa bersifat difus dan sektoral, bisa total atau parsial,
bisa ringan atau berat. Atropi optik difus yang khas adalah
disebabkan oleh retinitis pigmentosa yang berupa atropi optik
primer berbatas tegas dan berwarna putih mengkilat seperti lilin.
 Atropi sektoral polus superior atau inferior terjadi setelah neuropati
optik iskemik anterior.
 Atropi bentuk bow tie (dasi kupu) bilateral khas pada lesi khiasma
optikum.
 Atropi bentuk bow tie diskus kanan dan atropi diskus kiri khas lesi
traktus optikus dan korpus genikulatum lateral kiri, dan sebaliknya.
 Atropi temporal bentuk baji adalah khas pada post neuritis
retrobulbar, neuropati optik toksis dan neuropati optik kompresif.
 Perubahan vasa yang terjadi pada atropi optik adalah ditemukan
vasa yang menjadi lebih jelas, mengalami pengecilan dan
mengalami sheating. Pada atropi optik yang masih menyisakan
fungsi penglihatan sehingga dapat dianalisis dengan pemeriksaan
lapang pandang akan memberikan perkiraan letak lesi yang lebih
tepat.

DAFTAR PUSTAKA

1. Hartono, Dr. Sari Neurooftamologi. Cetakan I. Pustaka Cendikia Press.


Yogyakarta, 2006
2. Vaughan, Daniel G. Oftalmologi Umum. Edisi ketiga. Widya Medika:
Jakarta. 2000
3. Ilyas, Prof. Dr. H. Sidarta. Ilmu Penyakit Mata. Edisi Ketiga. Balai
Penerbit FKUI. Jakarta. 2006.
4. G. Lang. Ophthalmology A pocket textbook atlas. 2 nd edition. Thieme
Stuttgart. New York. 2006

223
NEURITIS OPTIK

PENDAHULUAN

Nervus opticus adalah saraf yang membawa informasi visual dari retina ke
otak. Nervus opticus terdiri dari sekitar 1 juta akson yang berasal dari
ganglion sel retina. Serat sarafnya menjadi bermielin saat meninggalkan
mata. Nervus opticus bergabung membentuk chiasma opticum.1

ETIOLOGI

Neuritis optik adalah peradangan dari nervus opticus, yang dapat


disebabkan oleh:

 Demielinisasi
Idiopatik
Sklerosis multipel
Neuromyelitis optica (Devic’s disease)
 Immune mediated
Neuritis optik setelah infeksi virus1,2
Neuritis optik setelah imunisasi
Acute disseminated encephalomyelitis
Guillain Barre syndrome
Lupus eritematosus sistemik
 Infeksi langsung
Herpes zoster, syphilis, tuberculosis, cryptococcosis,
cytomegalovirus
 Granulomatous optic neuropathy
Sarcoidosis
Idiopatik
 Contiguous inflammatory disease
Peradangan dalam bola mata
Peradangan intracranial: meningitis, encephalitis 1

EPIDEMIOLOGI

Insidensi neuritis optik per tahun adalah 5 per 100.000 penduduk.


Ras kaukasian lebih banyak terkena dibanding ras lain. Biasanya unilateral
dan lebih banyak pada wanita (3:1), dengan predileksi umur dewasa muda
20-45 tahun. Pada anak lebih umum terkena bilateral dan timbul papilitis
tapi dengan kecenderungan menjadi sklerosis multipel yang lebih rendah. 1
Kasus neuritis optik pada anak lebih jarang dibanding kasus pada orang
dewasa, kurang lebih 5% kasus.3

224
KLASIFIKASI

Ada 2 bentuk dari neuritis optik, yang pertama papilitis yang


merupakan peradangan papil saraf optik dalam bola mata, dan neuritis
retrobulbar yang merupakan radang saraf optik yang terletak di belakang
bola mata.2

DIAGNOSA

 Anamnesa
Riwayat
Pasien dengan sklerosis multipel dapat mempunyai riwayat neuritis optik
yang berulang, dapat ditanyakan apakah pernah terjadi sebelumnya
keluhan yang sama.

Pada anamnesa akan didapatkan gejala subjektif:


1. Penglihatan turun mendadak dalam beberapa jam sampai hari yang
mengenai satu atau kedua mata. Kurang lebih sepertiga pasien memiliki
visus lebih baik dari 20/40 pada serangan pertama, sepertiga lagi juga
dapat memiliki visus lebih buruk dari 20/200.
2. Penglihatan warna terganggu.
3. Rasa sakit bila mata bergerak dan ditekan, dapat terjadi sebelum
atau bersamaan dengan berkurangnya tajam penglihatan. Bola mata
terasa berat di bagian belakang bila digerakkan.
4. Adanya defek lapang pandang.
5. Pasien mengeluh penglihatan menurun setelah olahraga atau suhu
tubuh naik (tanda Uhthoff).1,2,4
6. Beberapa pasien mengeluh objek yang bergerak lurus terlihat
mempunyai lintasan melengkung (Pulfrich phenomenon), kemungkinan
dikarenakan konduksi yang asimetris antara nervus optikus.4

 Pemeriksaan
Dilakukan pemeriksaan untuk melihat gejala objektif.
Langkah-langkah pemeriksaan:
1. Pemeriksaan visus
Didapatkan penurunan visus yang bervariasi mulai dari ringan sampai
kehilangan total penglihatan.
2. Pemeriksaan segmen anterior
Pada pemeriksaan segmen anterior, palpebra, konjungtiva, maupun kornea
dalam keadaan wajar. Refleks pupil menurun pada mata yang terkena dan
defek pupil aferen relatif atau Marcus Gunn pupil umumnya ditemukan.
Pada kasus yang bilateral, defek ini bisa tidak ditemukan.1,2,4,5
3. Pemeriksaan segmen posterior
Pada neuritis optik akut sebanyak dua pertiga dari kasus merupakan
bentuk retrobulbar, maka papil tampak normal, dengan berjalannya waktu,
nervus optikus dapat menjadi pucat akibat atrofi. Pada kasus neuritis optik
bentuk papilitis akan tampak edema diskus yang hiperemis dan difus,

225
dengan perubahan pada pembuluh darah retina, arteri menciut dan vena
melebar. Jika ditemukan gambaran eksudat star figure, mengarahkan
diagnosa kepada neuroretinitis. 1,2,5

 Pemeriksaan Tambahan
- Tes konfrontasi
- Tes ishihara untuk melihat adanya penglihatan warna yang
terganggu2,4,5, umumnya warna merah yang terganggu.5
 Pemeriksaan Anjuran
- Untuk membantu mencari penyebab neuritis optik biasanya
dilakukan pemeriksaan foto sinar X kanal optik, sela tursika, atau dilakukan
pemeriksaan CT orbita dan kepala.
- Dengan MRI dapat dilihat tanda-tanda sklerosis multipel.1,4,5

DIAGNOSIS BANDING

Diagnosis banding dari neuritis optik adalah:

- Iskemik optik neuropati


Tidak sakit dengan skotoma altitudinal
- Edema papil
Merupakan edema dari papil akibat peningkatan tekanan intrakranial,
biasanya terjadi bilateral, tajam penglihatan yang normal terkoreksi, refleks
pupil yang normal, dan lapang pandang yang intak kecuali pembesaran
bintik buta.
- Ablasi retina
- Oklusi arteri retina sentral
- Obstruksi vena retina sentral
- Toksik neuropati1,2,4

TERAPI

Terapi steroid digunakan karena mungkin dapat mempersingkat periode


akut penyakit1,2,4, namun tidak mempengaruhi hasil akhir dari
penglihatan.1,4 Pada penelitian Optic Neuritis Treatment Trial di Amerika
Serikat, prednisolone oral sendiri tidak meningkatkan kecepatan
kembalinya tajam penglihatan dan meningkatkan resiko terjadinya neuritis
optik rekuren.1,4

KOMPLIKASI

Kehilangan penglihatan pada neuritis optik dapat permanen.

PROGNOSA

Penyembuhan pada neuritis optik berjalan secara bertahap. Pada


banyak pasien neuritis optik, fungsi visual mulai membaik 1 minggu sampai
3 minggu setelah onset penyakit walau tanpa pengobatan. 1,2,4 Namun sisa

226
defisit dalam penglihatan warna, kontras, serta sensitivitas adalah hal yang
umum.4

Penglihatan akhir pada pasien yang mengalami neuritis optik


dengan sklerosis multipel lebih buruk dibanding dengan pasien neuritis
optik idiopatik.4

Biasanya visus yang buruk pada episode akut penyakit


berhubungan dengan hasil akhir visus yang lebih buruk juga, namun
kadang kehilangan persepsi cahaya pun dapat diikuti dengan kembalinya
visus ke 20/20. Hasil akhir visus yang buruk juga dihubungkan dengan
panjangnya lesi yang terkena, khususnya jika terlibatnya nervus dalam
canalis optikus.1

Tiap kekambuhan akan menyebabkan pemulihan yang tidak


sempurna dan memperburuk penglihatan.

DAFTAR PUSTAKA

1. Riordan-Eva, Paul, FRCS, FRCOphth dan John P. Whitcher, MD,


MPH. 2008. Vaughan & Asbury’s General Ophthalmology. New
York: The McGraw-Hill Companies, Inc.
2. Ilyas, Sidharta Prof. dr. H, SpM. 2004. Ilmu Penyakit Mata. Jakarta:
Balai Penerbit FKUI.
3. Carter, John E, MD. 2008. “Optic Neuritis,Childhood”. Jurnal
emedicine.medscape.com
4. Ergene, Erhan, MD. 2009. “Optic Neuritis, Adult”. Jurnal
emedicine.medscape.com
5. The Eye M.D. Association. 2003. American Academy of
Ophthalmology.Ebook.

227
BAB III

MODUL ILMU PENYAKIT THT

A. Telinga

OTITIS EKSTERNA AKUT

Definisi Otitis Eksterna Akut


Otitis eksterna akut (swimmer’s ear) merupakan kondisi umum yang
melibatkan peradangan/inflamasi pada saluran telinga dan terkadang diikuti
oleh infeksi. Bentuk akut disebabkan terutama oleh infeksi bakteri yakni
Pseudomonas aeruginosa dan Staphylococcus aureus, patogen yang
paling umum. Otitis eksterna akut terjadi onset peradangan saluran telinga
yang cepat dalam 48 jam selama 3 minggu terakhir.(2)

Etiologi
Di Amerika Utara, 98% kasus otitis eksterna akut disebabkan oleh
bakteri. Bakteri penyebab yang paling umum adalah Pseudomonas
aeruginosa dan Staphylococcus aureus. Namun, berbagai bakteri aerob
dan anaerob lainnya juga bisa menyebabkan timbulnya kasus otitis
eksterna akut. Patogen jamur, terutama spesies Aspergillus dan Candida,
lebih sering menjadi penyebab otitis eksterna akut di lingkungan tropis atau
subtropis serta pasien yang sebelumnya diobati dengan antibiotik.
Gangguan kulit dan reaksi alergi dapat menyebabkan otitis eksterna akut
berubah menjadi otitis eksterna kronis.(2) Otitis eksterna akut juga dapat
terjadi sekunder pada otitis media supuratif kronis.(1)

Faktor Predisposisi
Faktor yang mempermudah radang telinga luar ialah perubahan pH
di liang telinga, yang biasanya normal atau asam. Bila pH menjadi basa,
proteksi terhadap linfeksi menurun. Pada keadaan udara yang hangat,
kuman dan jamur mudah tumbuh. Predisposisi otitis eksterna yang lain
adalah trauma ringan ketika mengorek telinga.(1)
Faktor Predisposis Otitis Eksterna(2)
Anatomic Abnormalities Dermatology condition
 Canal stenosis  Eczema
 Exostoses  Psoriasis
 Hairy ear canals  Seborrhea
 Other inflammatory
dermatoes
Canal Obstruction Water in Canal
 Cerumen obstruction  Humidity
 Foreign body  Sweating
 Sebaceous cyst  Swimming or other
prolonged water exposure
Cerumen/Epithelial integrity Miscellaneous

228
 Cerumen removal  Purulent otorrhea from
 Earplugs otitis media
 Hearing aids  Soap
 Instrumental/itching  Stress
 Type A blood

Gejala Klinis
Terdapat dua kemungkinan otitis eksterna akut yaitu otitis eksterna
sirkumskripta dan otitis eksterna difus.(1)

Otitis eksterna sirkumskripta (furunkel=bisul)


Oleh karena kulit di sepertiga luar liang telinga mengandung
adneksa kulit, seperti folikel rambut, kelenjar sebasea dan kelenjar
serumen, maka di tempat itu dapat terjadi infeksi pada pilosebaseus,
sehingga membnetuk furunkel.(1)
Gejalanya ialah rasa sakit yang hebat, tidak sesuai dengan besar
bisul. Hal ini disebabkan karena liang telinga tidak mengandung jaringan
ikat longgar di bawahnya, sehingga rasa nyeri timbul karena penekanan
pada perikondrium. Rasa nyeri dapat tumbul spontan pada waktu
membuka mulut (sendi temporomandibula). Selain itu terdapat juga
gangguan pendengaran bila furunkel besar dan menyumbat liang telinga.(1)

229
Otitis Eksterna Sirkumskripta (Furunkel)

Otitis eksterna difus


Biasanya mengenai kulit telinga dua per tiga dalam. Tampak kulit
liang telinga hiperemis dan edema yang tidak jelas batasnya.(1)
Gejalanya adalah nyeri tekan tragus, liang telinga sangat sempit,
kadang kelenjar getah bening regional membesar dan nyeri tekan, terdapat
sekret yang berbau. Sekret ini tidak mengandung lendir (musin) seperti
sekret yang keluar dari cavum timpani pada otitis media.(1)

Otitis Eksterna Akut, pada pemeriksaan otoskopi ditanda dengan adanya


edema
Tanda-tanda inflamasi berupa tumor, rubor, kalor, dolor, dan
fungsio laesa akan muncul sebagai gejala klini pada pasien dengan otitis
eksterna akut.
Gambaran histopatologi pada otitis eksterna difusa akut tampak
adanya gambaran hiperkeratosis epidermis, parakeratosis, akanthosis,
erosi, spingiosis, hiperplasia stratum korneumdan stratum germinativum,
edema, hiperemis, infiltrasi leukosit, nekrosis, nekrosisfokal diikuti
penyembuhan fibroblastik pada dermis dan aparatus kelenjar berkurang,
aktifitas sekretoris kelenjar berkurang.(4)

230
Penatalaksanaan
Pengobatan otitis eksterna akut tergantung dari bentuk otitis
eksterna itu sendiri. Terapi otitis eksterna sikumskripta bergantung pula
pada keadaan furunkel. Bila sudah menjadi abses, diaspirasi secara steril
untuk mengeluarkan nanahnya. Lokal diberikan antibiotika dalam bentuk
salep, seperti polymixin B atau bacitracin, atau antiseptik (asam asetat 2-
5% dalam alkohol). Kalau dinding furunkel tebal, dilakukan insisi, kemudian
dipasang salir (drain) untuk mengalirkan nanahnya. Biasanya tidak perlu
diberikan antibiotika secara sistemik, hanya diberikan obat simptomatik
seperti analgetik dan obat penenang.(1)
Sementara itu, pengobatan otitis eksterna difus dengan
membersihkan liang telinga, memasukkan tampon yang mengandung
antibiotika ke liang telinga supaya terdapat kontak yang baik antara obat
dengan kulit yang meradang. Kadang-kadang diperlukan antibiotika
sistemik.(1)

Pengobatan Topikal
Pemberian antibiotik topikal baik disertai atau tanpa disertai
pemberian topikal kortikosteroid merupakan terapi utama pada otitis
eksterna akut tanpa kompilkasi. Contoh antibiotik topikal yang aman dan
telah banyak diteliti ialah polymixin B, aminoglikosida, quinolon. Pemberian
antibotik topikal harus memperhatikan efek samping pemberian seperti
reaksi hipersensitivitas yang mungkin terjadi. Pilihan antibiotika yang paling
jarang menyebabkan hipersensitivitas ialah neomisin. Pemberian
antibiotika topikal beserta kortikosteroid topikal lebih cepat mengurangi
gejala seperti nyeri, edema, eritema.(2)
Selain pemberian obat-obat topikal di atas, kebersihan liang telinga
juga patut diperhatikan. Jika terdapat benda asing penyebab otitis eksterna
dalam liang telinga, maka benda asing tersebut harus dikeluarkan terlebih
dahulu.

Antibiotik Oral
Pemberian antibiotik topikal sebenarnya sudah cukup bagi
penderita otitis eksterna yang tidak disertai dengan komplikasi. Pemberian
antibiotik sistemik hanya digunakan pada keadaan khusus yakni apabila
infeksi bakteri telah meluas dan menyebar ke luar liang telinga, atau jika
pasien memiliki penyakit lain seperti diabetes mellitus yang tidak terkontrol,
pasien imunukompromise dan riwayat radioterapi lokal.(4) Disarankan
pemberian antibiotika untuk pasien otitis eksterna disesuaikan dengan
tingkat kepekaan bakteri.(5)

231
Antiinflamasi
Pemberian antiinflamasi golongan non steroid juga untuk
mengurangi keluhan nyeri pada pasien-pasien otitis ekstena akut.(2)

Komplikasi
Otitis eksterna akut yang tidak diobati dengan baik dapat
berkembang menjadi infeksi di luar liang telinga seperti selulitis aurikular,
adenopati servikal, atau parotitis.(3)

DAFTAR PUSTAKA
1. Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD. Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher. 6th ed.
Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2010. p. 60-3.
2. Schaefer P, Baugh RF. Acute Otitis Externa : An Update. American
Family Physician Vol. 86, No. 11. Ohio: 2012. p.1055-61.[Internet]
(diakses pada tanggal 6 April
2016)http://www.aafp.org/afp/2012/1201/p1055.html.

232
3. Osguthorpe JD, Nielsen DR. Otitis Externa: Review and Clinical
Update. American Family Physician Vol. 74, No. 9. Virginia: 2006.
p.1510-16.[Internet] (diakses pada tanggal 6 April 2016)
http://www.aafp.org/afp/2006/1101/p1510.html.
4. Abdullah F. Anatomi Telinga dalam Uji Banding Klinis Pemakaian
Larutan Burruwi Saring dengan Salep Ichthyol (Ichthammol) pada
Otitis Eksterna Akut. Departemen Telinga Hidung Tenggorokan
Kepala Leher Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
Medan; 2003. p.4-11.
5. Suwu P, Kountul C, Waworuntu O. Pola Kuman dan Uji
Kepekaannya Terhadap Antibiotika pada Penderita Otitis Eksterna di
Poliklinik THT-KL BLU RSU Prof. Dr. R. D. Kandou Manado. Bagian
Mikrobiologi Fakultas Kedokteran Universitas Sam
Ratulangi.Manado; 2013. p. 20-25.

OTITIS MEDIA AKUT

Definisi
Otitis media adalah peradangan sebagian atau seluruh mukosa
telinga tengah, tuba Eustachius, antrum mastoid dan sel-sel mastoid.(1)
Otitis media akut didefiniskan bila proses peradangan pada telinga tengah
yang terjadi secara cepat dan singkat (dalam waktu kurang dari 3 minggu)
yang disertai dengan gejala lokal dan sistemik.(2)

Klasifikasi
Banyak ahli membuat pembagian dan klasifikasi otitis media.
Secara mudah, otitis media terbagi atas otitis media supuratif dan otitis
media non supuratif (=otitis media serosa, otitis media sekretoria, otitis
media musinosa, otitis media efusi).(1)
Masing-masing penggolongan mempunyai bentuk akut dan kronis,
yaitu otitis media supuratif akut dan otitis media supuratif kronis. Begitu
pula otitis media serosa terbagi menjadi otitis media serosa akut
(barotrauma = aerotitis) dan otitis media serosa kronis.(1)

Etiologi
Sumbatan pada tuba Eustachius merupakan penyebab utama dari
otitis media. Pertahanan tubuh pada silia mukosa tuba Eustachius
terganggu, sehingga pencegahan invasi kuman ke dalam telinga tengah
terganggu juga. Selain itu infeksi saluran pernapasan merupakan salah
satu faktor penyebab yang paling sering.(6)
Otitis media akut bisa disebabkan oleh bakteri dan virus.Kuman
penyebab utama pada otitis media akut adalah bakteri piogenik, seperti
Streptococcushemolyticus, Staphylococcus aureus, Pneumococcus. Selain
itu kadang-kadang ditemukan juga Haeemophilus influenza, Escherchia
colli dan Streptococcus anhhemolitcus, Proteus vulgaris dan Pseudomonas

233
aeroginosa.Diantara bakteri tersebut, Haeemophilus influenza merupakan
mikroorganisme yang paling berbahaya.(1)
Virus terdeteksi pada sekret pernafasan pada 40-90% anak dengan
OMA, dan terdeteksi pada 20-48% cairan telinga tengah anak dengan
OMA. Virus yang sering sebagai penyebab OMA adalah respiratory
syncytial virus. Selain itubisa disebabkan virus parainfluenza (tipe 1,2, dan
3), influenza A dan B, rinovirus, adenovirus, enterovirus, dan koronavirus.
Penyebab yang jarang yaitu sitomegalovirus dan herpes simpleks. Infeksi
bisa disebabkan oleh virus sendiri atau kombinasi dengan bakteri lain. (2)

Gejala Klinik Otitis Media Akut


Gejala klinik otitis media akut bergantung pada stadium penyakit
serta umur pasien. Pada anak yang sudah dapat berbicara keluhan utama
adalah rasa nyeri di dalam telinga, keluhan di samping suhu tubuh yang
tinggi. Biasanya terdapat riwayat batuk pilek sebelumnya.(1)
Pada anak yang lebih besar atau pada orang dewasa, selain rasa
nyeri terdapat pula gangguan pendengaran berupa rasa penuh di telinga
atau rasa kurang dengar. Pada bayi dan anak kecil gejala khas otitis media
akut ialah suhu tubuh tinggi dapat sampai 39,5 oC (pada stadium supurasi),
anak gelisah dan sukar tidur, diare, kejang-kejang, dan kadang-kadang
anak memegang telinga yang sakit. Bila terjadi rupture membrane timpani,
maka sekret akan mengalir ke liang telinga, suhu tubuh turun dan anak
tidur tenang.(1)
Peradangan akur merupakan respons langsung tubuh terhadap
cedera atau kematian sel. Tanda-tanda pokok peradangan; yang
mencakup kemerahan, panas, nyeri, pembengkakan dan perubahan fungsi
akan tampak sebagai manifestasi klinis.
 Rubor (kemerahan)
Rubor atau kemerahan biasanya merupakan hal yang pertama
terlihat di daerah yang mengalami perdangan. Seiring dengan
dimulainya reaksi peradangan, arteriol yang memasok daerah
tersebut berdiatasi sehingga memungkinkan lebih banyak darah
yang mengalir ke dalam mikrosirkulasi lokal.
 Kalor (panas)
Kalor atau panas, terjadi bersamaan dengan kemerahan pada
reaksi peradangan akut. Daerah peradangan di kulit menjadi lebih
hangat dari sekelilingnya karena lebih banyak darah dialirkan ke
permukaan daerah yang terkena dibanding daerah yang normal.
 Dolor (nyeri)
Dolor atau nyeri, pada suatu reaksi peradangan tampaknya
ditimbulkan dengan berbagai cara. Perubahan pH atau konsentrasi
lokal ion-ion tertentu dapat merangsang ujung-ujung saraf. Hal yang
sama, pelepasan zat kimia tertentu seperti histamine atau zat-zat
kimia bioaktif lain dapat merangsang saraf.
 Tumor (pembengkakan)

234
Aspek paling mencolok pada peradangan akut ialah pembengkakan
lokal yang dihasilkan oleh cairan dan sel-sel yang berpindah dari
aliran darah ke jaringan interstitial.
 Fungsio laesa (perubahan fungsi)
Fungsio laesa, atau perubahan fungsi merupakan bagian yang
lazim pada reaksi peradangan. Sepintas mudah dimengerti bagian
yang bengkak, nyeri disertai sirkulasi abnormal seharusnya
berfungsi abnormal.

Penegakkan Diagnosa
Diagnosis OMA harus memenuhi tiga hal berikut:(2)
1. Penyakitnya muncul mendadak (akut);
2. Ditemukannya tanda efusi di telinga tengah. Efusi dibuktikan
dengan adanya salah satu di antara tanda berikut:
menggembungnya gendang telinga, terbatas/tidak adanya gerakan
gendang telinga, adanya bayangan cairan di belakang gendang
telinga, cairan yang keluar dari telinga;
3. Adanya tanda/gejala peradangan telinga tengah, yang dibuktikan
dengan adanya salah satu di antara tanda berikut: kemerahan pada
gendang telinga, nyeri telinga yang mengganggu tidur dan aktivitas
normal.
Diagnosis OMA dapat ditegakkan dengan anamnesis dan
pemeriksaan fisik yang cermat. Gejala yang timbul bervariasi bergantung
pada stadium dan usia pasien. Pada anak – anak umumnya keluhan
berupa rasa nyeri di telinga dan demam. Biasanya ada riwayat infeksi
saluran pernafasan atas sebelumnya. Pada remaja atau orang dewasa
biasanya selain nyeri terdapat gangguan pendengaran dan telinga terasa
penuh. Pada bayi gejala khas adalah panas yang tinggi, anak gelisah dan
sukar tidur, diare, kejang-kejang dan sering memegang telinga yang
sakit.(2)
Beberapa teknik pemeriksaan dapat digunakan untuk menegakkan
diagnosis OMA, seperti otoskop, otoskop pneumatik, timpanometri, dan
timpanosintesis. Dengan otoskop dapat dilihat adanya gendang telinga
yang menggembung, perubahan warna gendang telinga menjadi
kemerahan atau agak kuning dan suram, serta cairan di liang telinga. Jika
konfirmasi diperlukan, umumnya dilakukan dengan otoskopi pneumatik.
Gerakan gendang telinga yang berkurang atau tidak ada sama sekali dapat
dilihat dengan pemeriksaan ini. Pemeriksaan ini meningkatkan sensitivitas
diagnosis OMA. Namun umumnya diagnosis OMA dapat ditegakkan
dengan otoskop biasa.(2)
Menurut beratnya gejala, OMA dapat diklasifikasi menjadi OMA
berat dan tidak berat. OMA berat apabila terdapat otalgia sedang sampai
berat, atau demam dengan suhu lebih atau sama dengan 39 oC oral atau
39,5oC rektal, atau keduanya. Sedangkan OMA tidak berat apabila terdapat
otalgia ringan dan demam dengan suhu kurang dari 39 oC oral atau 39,5oC
rektal, atau tidak demam.(2)

235
Otitis Media Serosa Akut
Otitis media serosa akut adalah keadaan terbentuknya sekret di
telinga secara tiba-tiba disebabkan oleh gangguan fungsi tuba. Keadaan
akut ini dapat disebabkan antara lain oleh : (1) sumbatan tuba, pada
keadaan tersebut terbentuk cairan di telinga tengah disebabkan oleh
tersumbatnya tuba secara tiba-tiba seperti pada barotrauma, (2) virus,
terbentuknya cairan telinga tengah yang berhubungan dengan infeksi virus
pada jalan napas atas, (3) alergi, terbentuknya cairan di telinga tengah
yang berhubungan dengan keadaan alergi pada jalan napas atas, (4)
idiopatik.(1)
Gejala yang menonjol pada otitis media serosa akut biasanya
pendengaran berkurang. Selain itu pasien juga dapat mengeluh rasa
tersumbat pada telinga atau suara sendiri terdengar lebih nyaring atau
berbeda pada telinga yang sakit (diplacusis binauralis). Kadang-kadang
terasa seperti ada cairan yang bergerak dalam telinga pada saat posisi
kepala berubah. Rasa sedikit nyeri dalam telinga dapat terjadi pada saat
awal tuba terganggu yang menyebabkan timbul tekanan negative pada
telinga tengah (misalnya pada barotrauma), tetapi setelah sekret terbentuk
tekanan negative ini pelan-pelan hilang. Rasa nyeri dalam telinga tidak
pernah ada bila penyebab timvulnya sekret adalah virus atau alergi.
Tinnitus, vertigo, atau pusing kadang-kadang ada dalam bentuk yang
ringan.(1)
Pada otoskopi terlihat membrane timpani retraksi. Kadang-kadang
tampak gelembung udara atau permukaan cairan dalam cavum timpani.
Tuli konduktif dapat dibuktikan dengan garpu tala.
Pengobatan dapat secara medikamentosa dan pembedahan. Pada
pengobatan medikal diberikan obat vasokonstriktor lokal (tetes hidung),
antihistamin, serta paerasat Valsava, bila tidak ada tanda-tanda infeksi di
jalan napas atas. Setelah satu atau dua minggu bila gejala-gejala masih
meneyap dilakukan miringotomi dan bila masih belum sembuh maka
dilakukan miringotomi serta pemasangan pipa ventilasi (Grommet).

Penalaksanaan
Tujuan penatalaksanaan otitis media akut adalah untuk mengurangi
gejala dan mencegah rekurensi. Pada fase inisial, penatalaksanaan
ditujukan pada penyembuhan gejala yang berhubungan dengan nyeri dan
demam dan mencegah komplikasi supuratif seperti mastoiditis atau
meningitis. Penatalaksanaan otitis media akut menjadi kompleks
disebabkan perubahan patogen penyebab.(2)
Pengobatan otitis media akut tergantung pada stadium penyakitnya.
Pada stadium oklusi pengobatan terutama bertujuan untuk membuka
kembali tuba Eustachius sehingga tekanan negatif di telinga tengah
hilang.(1,2)
1. Stadium Oklusi : diberikan obat tetes hidung HCL efedrin 0,5%, dan
pemberian antibiotik.

236
2. Stadium Presupurasi : analgetika, antibiotika (biasanya golongan
ampicillin atau penisilin) dan obat tetes hidung.
3. Stadium Supurasi : diberikan antibiotika dan obat-obat simptomatik.
Dapat juga dilakukan miringotomi bila membran timpani menonjol
dan masih utuh untuk mencegah perforasi.
4. Stadium Perforasi : Diberikan H2O2 3% selama 3-5 hari dan
diberikan antibiotika yang adekuat.

Medikamentosa
 Anti Inflamasi
Penatalaksanaan OMA harus dengan pemberian anti
inflamasi. Jika terdapat nyeri, harus memberikan terapi untuk
mengurangi nyeri tersebut. Penanganan otitis media harus
dilakukan terutama dalam 24 jam pertama onset otitis media akut
tanpa memperhatikan penggunaan antibiotik. Penanganan otitis
media akut dapat menggunakan anti inflamasigolongan NSAID
seperti: natrium diklofenak, paracetamol, asetaminofen, ibuprofen. (2)
 Antibiotik
Keberhasilan pengobatan penyakit infeksi bakteri dengan
antibiotik pada dasarnya merupakan hasil akhir dari 3 komponen,
yaitu penderita, bakteri dan antibiotika. Hal ini disebabkan karena
penyakit infeksi bakteri adalah manifestasi klinik dari interaksi
antara penderita dan bakteri. Adapun untuk pengobatan infeksi
dibutuhkan antibiotika yang tepat dan daya tahan tubuh penderita
itu sendiri. Memilih antibiotika yang tepat dapat dilakukan
berdasarkan pengetahuan tentang jenis bakteri penyebab penyakit
dan akan lebih baik lagi apabila disertai adanya hasil uji kepekaan
pemeriksaan mikrobiologi. Ketidakpatuhan penderita dalam
perawatan, kuman yang resisten, bentuk anatomi telinga, adanya
komplikasi, menyebabkan kesulitan dalam hal pengobatan dan
(8)
perawatan penderita otitis media.
Antibiotika diberikan apabila penyebab penyakit adalah
kuman, bukan oleh virus atau alergi. Antibiotika yang dianjurkan
ialah dari golongan penisilin atau ampisllin. Terapi awal diberikan
penisilin intramuscular agar didapatkan konsentrasi yang adekuat di
dalam darah sehingga tidak terjadi mastoiditis terselubung,
gangguan pendengaran sebagai gejala sisa, dan kekambuhan.
Pemberian antibiotika dianjurkan minimal selama 7 hari.(1)
Sementara itu sumber lain menyebutkan standar terapi terkini pada
pasien otitis media akut mengharuskan pasien yang didiagnosa
menderita suatu infeksi telinga tengah harus mendapatkan terapi
antimikroba 10-14 hari. Terapi dimulai berdasarkan empiris dengan
tujuan memberantas bakteri yang dijumpai pada otitis media akut. (9)
Antibiotik direkomendasikan untuk semua anak di bawah 6
bulan, 6 bulan–2 tahun jika diagnosis pasti, dan untuk semua anak
besar dari dua tahun dengan infeksi berat (otalgia sedang atau

237
berat atau suhu tubuh lebih dari 39 oC). Jika diputuskan perlunya
pemberian antibiotik, lini pertama adalah amoksisilin dengan dosis
80-90 mg/kg/hari. Pada pasien dengan penyakit berat dan bila
mendapat infeksi β-laktamase positif Haemophilus influenzae dan
Moraxella catarrhalis terapi dimulai dengan amoksisilin-klavulanat
dosis tinggi (90 mg/kg/hari untuk amoksisilin, 6,4 mg/kg/hari
klavulanat dibagi 2 dosis). Jika pasien alergi amoksisilin dan reaksi
alergi bukan reaksi hipersensitifitas (urtikaria atau anafilaksis),
dapat diberi cefdinir (14 mg/kg/hari dalam 1 atau 2 dosis),
cefpodoksim (10 mg/kg/hari 1 kali/hari) atau cefuroksim (20
mg/kg/hari dibagi 2 dosis). Pada kasus reaksi tipe I
(hipersensitifitas), azitromisin (10 mg/kg/hari pada hari 1 diikuti 5
mg/kg/hari untuk 4 hari sebagai dosis tunggal harian) atau
klaritromisin (15 mg/kg/hari dalam 2 dosis terbagi). Obat lain yang
bisa digunakan eritromisin-sulfisoksazol (50 mg/kg/hari eritromisin)
atau sulfametoksazol-trimetoprim (6-10 mg/kg/hari trimethoprim.(2)
Jika pasien tidak menunjukkan respon pada terapi inisial
dalam 48 -72 jam, harus diperiksa ulang untuk mengkonfirmasi
OMA dan menyingkirkan penyebab lain. Jika OMA terkonfirmasi
pada pasien yang pada awalnya diterapi dengan observasi, harus
dimulai pemberian antibiotik. Jika pasien pada awalnya sudah diberi
antibiotik, harus diganti dengan antibiotik lini kedua, seperti
amoksisilin-klavulanat dosis tinggi, sefalosporin, dan makrolid.
Waktu yang optimum dalam terapi OMA masih kontroversi. Terapi
jangka pendek (3 hari azitromisin, 5 hari antibiotik lain) adalah
pilihan untuk anak umur diatas 2 tahun dan terapi paket penuh (5
hari azitromisin, 7-10 hari antibiotik lain) lebih baik untuk anak yang
lebih muda. Terdapat beberapa keuntungan dari terapi jangka
pendek yaitu: kurangnya biaya, efek samping lebih sedikit, komplian
lebih baik dan pengaruh terhadap flora komensal dapat diturunkan.
Terapi antibiotik jangka panjang dapat mencegah rekurensi dari
OMA. Pertanyaan antibiotik apa yang akan digunakan, untuk
berapa lama, dan berapa episode OMA untuk menilai terapi belum
dievaluasi secara adekuat.(2)
Sementara itu, berdasarkan hasil penelitian Rumimpunu dkk
di Poliklinik THT-KL BLU RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado
periode Desember 2012 – Januari 2013 disimpulkan bahwa
sebagian besar memperlihatkan adanya pertumbuhan kuman dan
bakteri yang diidentifikasi ialah Staphylococcus aureus,
Enterobacter Aerogenes, Staphylococcus Epidermitis, Proteus
vulgaris, Cibrobacter divertus, Alcaligenes falcelus, dan
Pseudomonas aeruginosa. Hampir semua jenis bakteri yang diuji
peka terhadap levofloxacin dan ciprofoxacin sedangkan clindamycin
dan eritromycin telah menunjukkan tingkat resistensi yang cukup
tinggi.(8)

238
 Dekongestan
Dekongestan oral berguna untuk mengurangi sumbatan hidung.
Tetapi baik antihistamin maupun dekongestan tidak memperbaiki
penyembuhan atau meminimalisir komplikasi dari OMA, sehingga
tidak rutin direkomendasikan.(2)
 Antihistamin
Antihistamin dapat membantu mengurangi gejala pada pasien
dengan alergi hidung.(2)
 Steroid
Manfaat pemberian kortikosteroid pada OMA juga masih
kontroversi. Dasar pemikiran untuk menggunakan kortikosteroid
dan antihistamin adalah: obat tersebut dapat menghambat sintesis
atau melawan aksi mediator inflamasi, sehingga membantu
meringankan gejala pada OMA. Kortikosteroid dapat menghambat
perekrutan leukosit dan monosit ke daerah yang terkena,
mengurangi permeabilitas pembuluh darah, dan menghambat
sintesis atau pelepasan mediator inflamasi dan sitokin.(2)

Non-Medikamentosa
Walaupun pemberian obat merupakan pendekatan pertama dalam
terapi OMA, terapi pembedahan perlu dipertimbangkan pada anak dengan
OMA rekuren, otitis media efusi (OME), atau komplikasi supuratif seperti
mastoiditis dengan osteitis. Beberapa terapi bedah yang digunakan untuk
penatalaksanaan OMA termasuk timpanosintesis, miringotomi, dan
adenoidektomi.(2)
Timpanosintesis adalah pengambilan cairan dari telinga tengah
dengan menggunakan jarum untuk pemeriksaan mikrobiologi. Risiko dari
prosedur ini adalah perforasi kronik membran timpani, dislokasi tulang-
tulang pendengaran, dan tuli sensorineural traumatik, laserasi nervus
fasialis atau korda timpani. Oleh karena itu, timpanosintesis harus dibatasi
pada: anak yang menderita toksik atau demam tinggi, neonatus risiko tinggi
dengan kemungkinan OMA, anak di unit perawatan intensif, membran
timpani yang menggembung (bulging) dengan antisipasi ruptur spontan
(indikasi relatif), kemungkinan OMA dengan komplikasi supuratif akut, OMA
refrakter yang tidak respon terhadap paket kedua antibiotik.(2)
Timpanosintesis dapat mengidentifikasi patogen pada 70-80%
kasus. Walaupun timpanosintesis dapat memperbaiki kepastian diagnostik
untuk OMA, tapi tidak memberikan keuntungan terapi dibanding antibiotik
sendiri. Timpanosintesis merupakan prosedur yang invasif, dapat
menimbulkan nyeri, dan berpotensi menimbulkan bahaya sebagai
penatalaksanaan rutin.
Miringotomi adalah tindakan insisi pada membran timpani untuk
drainase cairan dari telinga tengah.Pada miringotomi dilakukan
pembedahan kecil di kuadran posterior-inferior membran timpani. Untuk
tindakan ini diperlukan lampu kepala yang terang, corong telinga yang
sesuai, dan pisau khusus (miringotom) dengan ukuran kecil dan steril.

239
Miringotomi hanya dilakukan pada kasus-kasus terpilih dan dilakukan oleh
ahlinya. Disebabkan insisi biasanya sembuh dengan cepat (dalam 24-48
jam), prosedur ini sering diikuti dengan pemasangan tabung timpanostomi
untuk ventilasi ruang telinga tengah. Indikasi untuk miringotomi adalah
terdapatnya komplikasi supuratif, otalgia berat, gagal dengan terapi
antibiotik, pasien imunokompromis, neonatus, dan pasien yang dirawat di
unit perawatan intensif.(2)
Selain dengan pemberian obat-obat dan tindakan bedah, edukasi
kepada pasien agar tetap memelihara telinga tetap kering, tidak mengorek-
ngorek telinga, dan menghindari pajanan asap rokok juga penting
dilakukan.

Komplikasi
Sebelum ada antibiotika, otitis media akut dapat menimbulkan
komplikasi yaitu abses sub-periosteal sampai komplikasi yang berat
(meningitis dan abses otak). Sekarang setelah ada antibiotika, semua jenis
komplikasi itu biasanya didapatkan sebagai komplikasi dari OMSK. (1)
Otitis media akut dengan perforasi membrane timpani menjadi otitis
media supuratif kronis apabila prosesnya sudah lebih dari 2 bulan.
Beberapa faktor yang menyebabkan otitis media akut menjadi otitis media
supuratif kronis ialah terapi yang terlambat diberikan, terapi yang tidak
adekuat, daya tahan tubuh pasien rendah (gizi kurang) atau hygiene
buruk.(1)
Otitis media supuratif, baik yang akut maupun kronis mempunyai
potensi untuk menjadi serius karena komplikasinya yang dapat
mengancam kesehatan dan dapat menyebabkan kematian. Bentuk
komplikasi tergantung pada kelainan patologik yang menyebabkan otore. (1)
Komplikasi otitis media terjadi apabila sawar (barrier) pertahanan
telinga tengah yang normal dilewati sehingga memungkinkan infeksi
menjalar ke struktur sekitarnya. Pertahanan pertama ini ialah mukosa
kavum timpani yang juga seperti mukosa saluran napas, mampu
melokalisasi infeksi. Bila sawar ini runtuh, masih ada sawar kedua, yaitu
dinding tulang cavum timpani dan sel mastoid. Bila sawar ini runtuh, maka
struktur lunak di sekitarnya akan terkena. Runtuhnya periosteum akan
menyebabkan terjadinya abses sub periosteal, suatu komplikasi yang relatif
tidaak berbahaya. Apabila infeksi mengarah ke dalam, ke tulang temporal
maka akan menyebabkan paresis n. fasialis atau labirintis. Bila ke arah
kranial akan menyebabkan abses ekstradural, tromboflebitis sinus lateralis,
meningitis dan abses otak. Bila sawar tulang terlampaui, suatu dinding
pertahanan ketiga yaitu jaringan granulasi akan terbentuk. Pada otitis
media supuratif akut atau suatu eksaserbasi akut penyebaran biasanya
melalui osteotromoflebitis (hematogen).(1)

Prognosis
Pada stadium resolusi, maka membrane timpani berangsur normal
kembali, sekret tidak ada lagi dan perforasi membrane timpani menutup.

240
Bila tidak terjadi resolusi biasanya akan tampak sekret mengalir di liang
telinga luar melalui perforasi di membrane timpani. Keadaan ini dapat
disebabkan karena berlanjutnya edema mukosa telinga tengah. Pada
keadaan demikian antibiotika dapat dilanjutkan sampai 3 minggu. Bila 3
minggu setelah pengobatan sekret masih tetap banyak, kemungkinan yang
terjadi adalah mastoiditis.(1)
Sebelum ada antibiotika, otitis media akut dapat menimbulkan
komplikasi. Sekarang setelah ada antibitoika, semua jenis komplikasi
biasanya didaptkan sebagai komplikasi dari otitis media supuratif kronis. (1)

DAFTAR PUSTAKA

1. Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD. Buku Ajar Ilmu


Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher. 6th ed.
Jakarta:Balai Penerbit FKUI; 2010. p. 64-77.

TINITUS

Definisi1-3
Tinitus adalah salah satu bentuk gangguan pendengaran berupa
sensasi suara tanpa adanya rangsangan dari luar, dapat berupa sinyal
mekano akustik maupun listrik. Keluhan suara yang didengar sangat
bervariasi, dapat berupa bunyi mendenging, menderu, mendesis,
mengaum, atau berbagai macam bunyi lainnya. Suara yang didengar dapat
bersifat stabil atau berpulsasi. Keluhan tinitus dapat dirasakan unilateral
dan bilateral. Serangan tinitus dapat bersifat periodik ataupun menetap.
Kita sebut periodik jika serangan yang datang hilang timbul. Episode
periodik lebih berbahaya dan mengganggu dibandingkandengan yang
berifat menetap. Hal ini disebabkan karena otak tidak terbiasa atau tidak
dapat mensupresi bising ini. Tinitus pada beberapa orang dapat sangat
mengganggu kegiatan sehari-harinya. Terkadang dapat menyebabkan
timbulnya keinginan untuk bunuh diri.
Tinitus dapat dibagi atas tinnitus objektif dan tinnitus subjektif.
Dikatakan tinnitus objektif jika suaranya juga dapat di dengar oleh
pemeriksa dan dikatakan tinnitus subjektif jika tinnitus hanya dapat
didengar oleh penderita

Etiologi1, 2, 4
Tinitus paling banyak disebabkan karena adanya kerusakan dari telinga
dalam. Terutama kerusakan dari koklea. Secara garis besar, penyebab
tinitus dapat berupa kelainan yang bersifat somatik, kerusakan N.
Vestibulokoklearis, kelainan vaskular, tinitus karena obat-obatan, dantinitus
yang disebabkan oleh hal lainnya.
1. Tinitus karena kelainan somatik daerah leher dan rahang.

241
a. Trauma kepala dan Leher
Pasien dengan cedera yang keras pada kepala atau leher
mungkin akan mengalami tinitus yang sangat mengganggu. Tinitus
karena cedera leher adalah tinitus somatik yang paling
umumterjadi. Trauma itu dapat berupa Fraktur tengkorak,
Whisplash injury.
b. Artritis pada sendi temporomandibular (TMJ)
Berdasarkan hasil penelitian, 25% dari penderita tinitus di
Amerika berasal dari artritis sendi temporomandibular. Biasanya
orang dengan artritis TMJ akan mengalami tinitus yang berat.
Hampir semua pasien artritis TMJ mengakui bunyi yang di dengar
adalah bunyi menciut. Tidak diketahui secara pasti hubungan
antara artritis TMJ dengan terjadinya tinitus.

2. Tinitus akibat kerusakan n. Vestibulokoklearis


Tinitus juga dapat muncul dari kerusakan yang terjadi di saraf yang
menghubungkan antara telinga dalam dan kortex serebri bagian pusat
pendengaran. Terdapat beberapa kondisi yang dapat menyebabkan
kerusakan dari n. Vestibulokoklearis, diantaranya infeksi virus pada n.VIII,
tumor yang mengenai n.VIII, dan Microvascular compression syndrome
(MCV). MCV dikenal juga dengan vestibular paroxysmal. MCV
menyebabkan kerusakan n.VIII karena adanyakompresi dari pembuluh
darah. Tapi hal ini sangat jarang terjadi.

3. Tinitus karena kelainan vaskular


Tinitus yang di dengar biasanya bersifat tinitus yang pulsatil. Akan
didengar bunyi yangsimetris dengan denyut nadi dan detak jantung.
Kelainan vaskular yang dapat menyebabkantinitus diantaranya:
a. Atherosklerosis
Dengan bertambahnya usia, penumpukan kolesterol dan
bentuk-bentuk deposit lemak lainnya, pembuluh darah mayor ke
telinga tengah kehilangan sebagian elastisitasnya. Hal ini
mengakibatkan aliran darah menjadi semakin sulit dan kadang-
kadang mengalami turbulensi sehingga memudahkan telinga
untuk mendeteksi iramanya.
b. Hipertensi
Tekanan darah yang tinggi dapat menyebabkan gangguan
vaskuler pada pembuluh darah koklea terminal.
c. Malformasi kapiler
Sebuah kondisi yang disebut AV malformation yang terjadi
antara koneksi arteri dan venadapat menimbulkan tinitus.d. Tumor
pembuluh darahTumor pembuluh darah yang berada di daerah
leher dan kepala juga dapat menyebabkantinitus. Misalnya adalah
tumor karotis dan tumor glomus jugulare dengan ciri khasnya
yaitutinitus dengan nada rendah yang berpulsasi tanpa adanya

242
gangguan pendengaran. Ini merupakangejala yang penting pada
tumor glomus jugulare.

4. Tinitus karena kelainan metabolik


Kelainan metabolik juga dapat menyebabkan tinitus. Seperti keadaan
hipertiroid dan anemia (keadaan dimana viskositas darah sangat rendah)
dapat meningkatkan aliran darah dan terjadi turbulensi. Sehingga
memudahkan telinga untuk mendeteksi irama, atau yang kita kenal dengan
tinitus pulsatil. Kelainan metabolik lainnya yang bisa menyebabkan tinitus
adalah defisiensi vitamin B12, begitu juga dengan kehamilan dan keadaan
hiperlipidemia.

5. Tinitus akibat kelainan neurologis


Yang paling umum terjadi adalah akibat multiple sclerosis. Multiple
sclerosis adalah proses inflamasi kronik dan demyelinisasi yang
mempengaruhi system saraf pusat. Multiple sclerosis dapat menimbulkan
berbagai macam gejala, di antaranya kelemahan otot, indra penglihatan
yang terganggu, perubahan pada sensasi, kesulitan koordinasi dan bicara,
depresi, gangguan kognitif, gangguan keseimbangan dan nyeri, dan pada
telinga akan timbul gejala tinitus.

6. Tinitus akibat kelainan psikogenik


Keadaan gangguan psikogenik dapat menimbulkan tinitus yang bersifat
sementara. Tinitus akan hilang bila kelainan psikogeniknya hilang. Depresi,
anxietas dan stress adalah keadaan psikogenik yang memungkinkan tinitus
untuk muncul

7. Tinitus akibat obat-obatan


Obat-obatan yang dapat menyebabkan tinitus umumnya adalah obat-
obatan yang bersifatototoksik. Diantaranya :
a. Analgetik, seperti aspirin dan AINS lainnya
b. Antibiotik, seperti golongan ]aminoglikosid (mycin), kloramfenikol,
tetrasiklin, minosiklin.
c. Obat-obatan kemoterapi, seperti Belomisisn, Cisplatin,
Mechlorethamine, methotrexate,vinkristin
d. Diuretik, seperti Bumatenide, Ethacrynic acid, Furosemide
e. lain-lain, seperti Kloroquin, quinine, Merkuri, Timah

8. Tinitus akibat gangguan mekanik


Gangguan mekanik juga dapat menyebabkan tinitus objektif, misalnya
pada tuba eustachius yang terbuka sehingga ketika kita bernafas akan
menggerakkan membran timpani dan menjadi tinitus. Kejang klonus
muskulus tensor timpani dan muskulus stapedius serta otot-otot palatum
juga akan menimbulkan tinitus.

243
9. Tinitus akibat gangguan konduksi
Gangguan konduksi suara seperti infeksi telinga luar (sekret dan
oedem), serumen impaksi, efusi telinga tengah dan otosklerosis juga dapat
menyebabkan tinitus. Biasanya suara tinitusnya bersifat suara dengan
nada rendah.

10. Tinitus akibat sebab lainnyaa.


a. Tuli akibat bising
Disebabkan terpajan oleh bising yang cukup keras dan dalam jangka
waktu yang cukup lama. Biasanya diakibatkan oleh bising lingkungan kerja.
Umumnya terjadi pada kedua telinga. Terutama bila intensitas bising
melebihi 85dB, dapat mengakibatkan kerusakan pada reseptor
pendengaran korti di telinga dalam. Yang sering mengalami kerusakan
adalah alat korti untuk reseptor bunyi yang berfrekuensi 3000Hz sampai
dengan 6000Hz. Yang terberat kerusakan alat korti untuk reseptor bunyi
yang berfrekuensi 4000Hz.

b. Presbiakusis
Tuli saraf sensorineural tinggi, umumnya terjadi mulai usia 65 tahun,
simetris kanan dan kiri, presbikusis dapat mulai pada frekuensi 1000Hz
atau lebih. Umumnya merupakan akibat dari proses degenerasi. Diduga
berhubungan dengan faktor-faktor herediter, pola makanan,metabolisme,
aterosklerosis, infeksi, bising, gaya hidup atau bersifat multifaktor.
Menurunnya fungsi pendengaran berangsur dan kumulatif. Progresivitas
penurunan pendengaran lebih cepat pada laki-laki disbanding perempuan.

c. Sindrom Meniere
Penyakit ini gejalanya terdiri dari tinitus, vertigo dan tuli sensorineural.
Etiologi dari penyakitini adalah karena adanya hidrops endolimf, yaitu
penambahan volume endolimfa, karenagangguan biokimia cairan
endolimfa dan gangguan klinik pada membrane labirin.

Diagnosis1
Untuk mendiagnosis pasien dengan tinitus, diperlukan anamnesis,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang yang baik.
a. Anamnesis
Anamnesis adalah hal yang sangat membantu dalam penegakan
diagnosis tinitus. Dalamanamnesis banyak sekali hal yang perlu
ditanyakan, diantaranya:
- Kualitas dan kuantitas tinitus
- Lokasi, apakah terjadi di satu telinga ataupun di kedua telinga
- Sifat bunyi yang di dengar, apakah mendenging, mendengung,
menderu, ataupun mendesis danbunyi lainnya
- Apakah bunyi yang di dengar semakin mengganggu di siang atau
malam hari

244
- Gejala-gejala lain yang menyertai seperti vertigo dan gangguan
pendengaran serta gangguanneurologik lainnya.
- Lama serangan tinitus berlangsung, bila berlangsung hanya dalam satu
menit dan setelah ituhilang, maka ini bukan suatu keadaan yang
patologik, tetapi jika tinitus berlangsung selama 5 menit, serangan ini
bias dianggap patologik
- Riwayat medikasi sebelumnya yang berhubungan dengan obat-obatan
dengan sifat ototoksik
- Kebiasaan sehari-hari terutama merokok dan meminum kopi
- Riwayat cedera kepala, pajanan bising, trauma akustik
- Riwayat infeksi telinga dan operasi telinga
Umur dan jenis kelamin juga dapat memberikan kejelasan dalam
mendiagnosis pasien dengan tinitus. Tinitus karena kelainan vaskuler
sering terjadi pada wanita muda, sedangkan pasiendengan myoklonus
palatal sering terjadi pada usia muda yang dihubungkan dengan kelainan
neurologi.
Pada tinitus subjektif unilateral perlu dicurigai adanya kemungkinan
neuroma akustik atautrauma kepala, sedangkan bilateral kemungkinan
intoksikasi obat, presbikusis, trauma bising dan penyakit sistemik. Jika
pasien susah untuk mendeskripsikan apakah tinitus berasal dari
telingakanan atau telinga kiri, hanya mengatakan di tengah kepala,
kemungkinan besar terjadi kelainan patologis di saraf pusat, misalnya
serebrovaskuler, siringomelia dan sklerosis multipel.
Pemeriksaan fisik pada pasien dengan tinitus dimulai dari
pemeriksaan auskultasi dengan menggunakan stetoskop pada kedua
telinga pasien. Hal ini dilakukan dengan tujuan untuk menentukan apakah
tinitus yang didengar pasien bersifat subjektif atau objektif. Jika suara
tinitus juga dapat didengar oleh pemeriksa, artinya bersifat subjektif, maka
harus ditentukan sifat darisuara tersebut. jika suara yang didengar serasi
dengan pernapasan, maka kemungkinan besar tinitus terjadi karena tuba
eustachius yang paten. Jika suara yang di dengar sesuai dengan denyut
nadi dan detak jantung, maka kemungkinan besar tinitus timbul karena
aneurisma, tumor vaskular, vascular malformation, dan venous hum. Jika
suara yang di dengar bersifat kontinua,maka kemungkinan tinitus terjadi
karena venous hum atau emisi akustik yang terganggu.
Pada tinitus subjektif, yang mana suara tinitus tidak dapat didengar
oleh pemeriksa saatauskultasi, maka pemeriksa harus melakukan
pemeriksaan audiometri. Hasilnya dapat beragam,di antaranya:
- Normal, tinitus bersifat idiopatik atau tidak diketahui penyebabnya.
- Tuli konduktif, tinitus disebabkan karena serumen impak, otosklerosis
ataupun otitis kronik.
- Tuli sensorineural, pemeriksaan harus dilanjutkan dengan BERA
(Brainstem Evoked Response Audiometri). Hasil tes BERA, bisa normal
ataupun abnormal. Jika normal, maka tinitus mungkindisebabkan
karena terpajan bising, intoksikasi obat ototoksik, labirinitis, meniere,
fistula perilimfe atau presbikusis. Jika hasil tes BERA abnormal, maka

245
tinitus disebabkan karenaneuroma akustik, tumor atau kompresi
vaskular.

Penatalaksanaan1, 7
Pengobatan tinitus merupakan masalah yang kompleks dan
merupakan fenomena psikoakustik murni, sehingga tidak dapat diukur.
Perlu diketahui penyebab tinitus agar dapat diobati sesuai dengan
penyebabnya. Misalnya serumen impaksi cukup hanya dengan ekstraksi
serumen. Tetapi masalah yang sering di hadapi pemeriksa adalah
penyebab tinitus yang terkadang sukar diketahui.
Ada banyak pengobatan tinitus objektif tetapi tidak ada pengobatan
yang efektif untuk tinitussubjektif. Pada umumnya pengobatan gejala tinitus
dapat dibagi dalam 4 cara yaitu :
1. Elektrofisiologik yaitu dengan membuat stimulus elektro akustik
dengan intensitas suara yang lebih keras dari tinitusnya, dapat
dengan alat bantu dengar atau tinitus masker.
2. Psikologik, dengan memberikan konsultasi psikologik untuk
meyakinkan pasien bahwa penyakitnya tidak membahayakan dan
dengan mengajarkan relaksasi setiap hari.
3. Terapi medikamentosa, sampai saat ini belum ada kesepakatan
yang jelas diantaranya untuk meningkatkan aliran darah koklea,
tranquilizer, antidepresan, sedatif, neurotonik, vitamin, dan
mineral. Sebuah penelitian oleh Gananca dkk (2011) menunjukan
bahwa dosis betahistine 48 mg/hari selama 120 hari dapat
menurunkan atau mengilangkan tinnitus pada pasien dengan
gangguan vestibular. Mekanisme betahistine melaui perbaikan
sirkulasi mikrovaskuler dan kompensasi dari koklea.
4. Tindakan bedah dilakukan pada tinitus yang telah terbukti
disebabkan oleh akustik neuroma.Pada keadaan yang berat,
dimana tinitus sangat keras terdengar dapat dilakukan Cochlear
nerve section. Cochlear nerve section merupakan tindakan yang
paling terakhir yang dapat dilakukan.
Penatalaksanaan terkini yang dikemukakan oleh Jastreboff, berdasar
pada modelneurofisiologinya adalah kombinasi konseling terpimpin, terapi
akustik dan medikamentosa biladiperlukan. Metode ini disebut dengan
Tinnitus Retraining Therapy. Tujuan dari terapi ini adalah memicu dan
menjaga reaksi habituasi dan persepsi tinitus dan atau suara lingkungan
yangmengganggu. Habituasi diperoleh sebagai hasil modifikasi hubungan
system auditorik ke sistem limbik dan system saraf otonom. TRT walau
tidak dapat menghilangkan tinitus dengan sempurna, tetapi dapat
memberikan perbaikan yang bermakna berupa penurunan toleransi
terhadap suara.
TRT biasanya digunakan jika dengan medikasi tinitus tidak dapat
dikurangi atau dihilangkan. TRT adalah suatu cara dimana pasien diberikan
suara lain sehingga keluhan telinga berdengingtidak dirasakan lagi. Hal ini
bisa dilakukan dengan mendengar suara radio FM yang sedang tidak

246
siaran, terutama pada saat tidur. Bila tinitus disertai dengan gangguan
pendengaran dapatdiberikan alat bantu dengar yang disertai dengan
masking. TRT dimulai dengan anamnesis awal untuk mengidentifikasi
masalah dan keluhan pasien. Menentukan pengaruh tinitus dan penurunan
toleransi terhadap suara sekitarnya, mengevakuasikondisi emosional
pasien, mendapatkan informasi untuk memberikan konseling yang tepat
dan membuat data dasar yang akan digunakan untuk evaluasi terapi
Edukasi yang lainnya adalah dengan menghindari bising. Bising
yang merupakan salah satu penyebab tinnitus dimana menyebabkan tuli
konduktif sehingga pengetahuan akan bising merupakan hal yang sangat
penting. Berikut ini adalah batas ambang kebisingan untuk mencegah
kerusakan telinga akibat bising.

Terapi edukasi juga dapat kita berikan ke pasien. Diantaranya:


- Hindari suara keras yang dapat memperberat tinitus.
- Kurangi makanan bergaram dan berlemak karena dapat
meningkatkan tekanan darah yang merupakan salah satu penyebab
tinitus.
- Hindari faktor-faktor yang dapat merangsang tinitus seperti kafein
dan nikotin
- Hindari obat-obatan yang bersifat ototoksik

247
- Tetap biasakan berolah raga, istarahat yang cukup dan hindari
kelelahan

DAFTAR PUSTAKA

1. Bashirudin J, Sosialisman. Tinnitus. In: Soepardi E, Iskandar N,


editors. Buku Ajar Ilmu Kesehatan THT – KL. Jakarta: Balai Penerbit
FK UI; 2010. p. 111-3.

2. Benson AG. Tinnitus 2013; Available from:


http://emedicine.medscape.com/article/856916-overview.

3. Bailey JJ, Thompson JJ. Tinnitus. In: Newlands SD, Ryan MW,
Ferguson BJ, editors. Head and Neck Surgery Otolaryngology. New
York: Lipponolt Williams&Wilkins; 2006.

4. Cumimings CW. Tinnitus. In: Adamson PA, Adenis A, editors.


Cummings: Otolaryngology: Head & Neck Surgery. Philadelphia:
Elsevier; 2005.

5. Moller AR. Pathopshiology of Tinnitus. DRF. 1990;1:39-44.

6. Rotstein C, Lionel Mandell. Clinical Aminoglycoside Ototoxicity. In:


Roland PS, Rutka JA, editors. OTOTOXICITY. London: Decker;
2004. p. 82-9.

7. Pichora-Fuller, Santaguida P, Hammill A, Oremus M. Evaluation and


treatment of tinnitus: comparative effectiveness. NHS. 2014;43.

VERTIGO

Definisi

Vertigo adalah suatu bentuk gangguan orientasi berupa ilusi atau


halusinansi gerakan dimana perasaan dirinya bergerak berputar atau
bergelombang terhadap ruangan di sekitarnya atau ruangan sekitarnya
yang bergerak terhadap dirinya.1Vertigo bukanlah suatu diagnosis penyakit,
melainkan kumpulan gejala (sindrom) subjektif atau objektif yang bisa
disebabkan oleh berbagai macam penyakit fisik maupun psikik.

Klasifikasi

Vertigo merupakan salah satu keluhan dari pusing (dizziness)1.


Berdasarkan lokasinya vertigo dibagi menjadi perifer dan sentral. Vertigo
perifer melibatkan baik bagian akhir vestibula (kanalis semi sirkularis) atau
neuron perifer termasuk nervus VIII pars vestibula. Vertigo sentral
dihasilkan dari kelainan yang terjadi pada batang otak (nukleus vestibularis,

248
fasikulus longitudinalis medialis), serebelum (lobus flokulonodularis atau
traktus vestibulosereberalis) dan korteks lobus temporalis.

Diagnosis Banding

Cause Description
Peripheral causes
Inflammation of the labyrinthine organs caused by
Acute labyrinthitis
viral or bacterial infection
Acute vestibular
Inflammation of the vestibular nerve, usually
neuronitis (vestibular
caused by viral infection
neuritis)*
Benign positional Transient episodes of vertigo caused by
paroxysmal vertigo stimulation of vestibular sense organs by canalith;
(benign positional affects middle-age and older patients; affects
vertigo) twice as many women as men
Cyst-like lesion filled with keratin debris, most
Cholesteatoma
often involving the middle ear and mastoid
Herpes zoster oticus
Vesicular eruption affecting the ear; caused by
(Ramsay Hunt
reactivation of the varicellazoster virus
syndrome)
Ménière‘s disease
Recurrent episodes of vertigo, hearing loss,
(Ménière‘s syndrome,
tinnitus, or aural fullness caused by increased
endolymphatic
volume of endolymph in the semicircular canals
hydrops)
Abnormal growth of bone in the middle ear,
leading to immobilization of the bones of
Otosclerosis conduction and a conductive hearing loss; this
process also may affect the cochlea, leading to
tinnitus, vertigo, and sensorineural hearing loss
Breach between middle and inner ear often
Perilymphatic fistula
caused by trauma or excessive straining

Central causes
Vestibular schwannoma (i.e., acoustic
Cerebellopontine angle neuroma) as well as infratentorial
tumor ependymoma, brainstem glioma,
medulloblastoma, or neurofibromatosis
Cerebrovascular disease Arterial occlusion causing cerebral ischemia or
such as transient ischemic infarction, especially if affecting the
attack or stroke vertebrobasilar system
Episodic headaches, usually unilateral, with
throbbing accompanied by other symptoms
Migraine
such as nausea, vomiting, photophobia, or
phonophobia; may be preceded by aura

249
Demyelinization of white matter in the central
Multiple sclerosis
nervous sistem
Other causes
Vertigo triggered by somatosensory input from
Cervical vertigo
head and neck movements
Drug-induced vertigo Adverse reaction to medications
Mood, anxiety, somatization, personality, or
Psychological
alcohol abuse disorders

* —Acute vestibular neuronitis often is erroneously called acute or viral


labyrinthitis.
Tabel 2.1. Diagnosis Banding Vertigo6

Berikut ini akan dijelaskan beberapa penyakit tersering yang


memberikan gejala vertigo baik yang perifer maupun yang sentral.

Vertigo Perifer

1) Benign Paroxysmal Positioning Vertigo (BPPV)

Benign paroxysmal positioning vertigo (BPPV) merupakan tipe


vertigo perifer yang paling sering terjadi. BPPV terjadi karena kanalis
semisirkularis memiliki debris yang menempel pada kupula atau melayang
– layang di endolimfe. Kanalis semisirkularis akan terstimulasi oleh debris
yang bergerak sesuai dengan gravitasi. Bila kepala bergerak dan
memposisikan kanalis semisirkularis pada posisi tertentu maka debris yang
sensitive terhadap gravitasi akan menyababkan defleksi dari kupula hal
inilah yang menyebabkan vertigo.6

Pasien biasanya mengeluhkan vertigo yang terjadi tiba – tiba


selama 10 – 20 detik pada posisi kepala tertentu. Hal yang memicu
terjadinya vertigo adalah perubahan posisi misalnya miring ke arah lateral
dengan cara berguling, bangun dari tidur, melihat ke atas atau ke belakang.
Keluhan lain adalah nausea, tanpa adanya penurunan daya dengar,
nistagmus dan hasil normal didapatkan dalam pemeriksaan neurologis.
Menegakan diagnosis BPPV dengan cara memperhatikan ada tidaknya
nistagmus yang muncul dalam tes Dix - Hallpike.

Penanganan yangpaling utama adalah melakukan manuver reposisi


dengan tujuan memindahkan debris dari kanalis semsirkularis ke
vestibulum. Prognosis BPPV dengan manuver ini cukup memberikan
penurunan serangan.6

250
2) Penyakit Meniere7,8

Penyakit Meniere disebabkan oleh adanya hidrops endolimfa pada


koklea dan vestibulum. Hidrops yang terjadi mendadak dan hilang muncul
diduga disebabkan oleh meningkatnya tekanan hidrostatik pada ujung
arteri, berkurangnya tekanan osmotik di dalam kapiler, meningkatnya
tekanan osmotik di ruang ekstra kapiler, jalan keluar sakus endolimfatikus
tersumbat sehingga terjadi penimbunan cairan endolimfa.

Gejala klinis terdapat trias yaitu vertigo, tinnitus, dan tuli


sensorineural terutama nada rendah.Serangan pertama sangat berat, yaitu
vertigo disertai muntah. Setiap kali berusaha untuk berdiri akan terasa
berputar, mual dan muntah. Hal ini berlangsung beberapa hari sampai
minggu walaupun keadaan berangsur baik.Pada serangan kedua dan
selanjutnya dirasakan lebih ringan.

Pada setiap serangan biasanya disertai dengan gangguan


pendengaran dan dalam keadaan tidak ada serangan, pendengaran
kembali baik, sedangkan tinnitus dapat menetap.

Penanganan penyakit Menierre adalah dengan diuretik seperti


hidroklorotiazid dan triamtere. Pada kasus resisten obat, penanganan
dengan cara operatif dapat dilakukan seperti endolymphatic shunting,
labyrinthectomy, atau vestibular nerve section.

3) Neuritis Vestibular

Neuritis vestibular adalah inflamasi yang terjadi pada saraf


vestibular ditandai dengan keluhan vertigo yang timbul mendadak tanpa
adanya penurunan daya dengar dan tidak adanya defisit neurologis.
Etiologinya diperkirakan adalah infeksi virus. Penyakit ini dapat sembuh
dengan sempurna setelah beberapa minggu atau bulan. Untuk
penanganannya hanya dilakukan secara suportif misalnya pemberian
vestibular suppressant dan anti emetik.

Vertigo Sentral9

Pada sebagian besar kasus sindroma vertigo sentral disebabkan


disfungsi dari induksi suatu lesi, tapi sebagian kecil disebabkan proses
patologis dari berbagai struktur mulai dari nukleus sampai korteks
vestibularis.

251
Diagnosis

1) Anamnesis

Anamnesis sangat penting dalam menentukan jenis dizziness atau


vertigo mana yang diderita.Tanyakan pada pasien dengan menggunakan
kata selain pusing, dikarenakan pasien sering mengatakan pusing akan
tetapi tidak secara spesifik menggambarkan vertigo.10,12

Perlu ditanyakan mengenai waktunya, pencetusnya, sifatnya


intermitten atau konstan, episodik atau tidak, adakah hubungannya dengan
gerak, apakah berhubungan dengan penyakit lain, misalnya penyakit
neurologik, otologik, kardiologik, psiskiatri, gastrointestinal visual. 10

Table 2.5. Onset vertigo dan gejala penyerta lain pada beberapa
penyakit1

2) Pemeriksaan Fisik

Selain anamnesa yang cermat, pemeriksaan fisik rutin harus


dilakukan antara lain dengan memperhatikan ada tidaknya hipertensi,
hiperventilasi, penyakit jantung, neuropati perifer, anxietas atau depresi.
Periksa bagian telinga untuk melihat ada tidaknya infeksi atau inflamasi
pada telinga luar atau tengah.Periksa bagian leher untuk mengetahui range
of motion (ROM) dan fleksibilitasnya.Untuk mengetahui ada tidaknya

252
penurunan daya dengar maka dapat dilakukan tes Weber, Rinne dan
Swabach atau dilakukan pemeriksaan dengan menggunakan audiometri.

Pemeriksaan fungsi keseimbngan dapat dilakukan mulai dari


pemeriksaan sederhana yaitu8,9:

- UjiRomberg : berdiri, lengan dilipat di dada, mata dituutp, dapat


dipertajam dengan Romberg Sharped dengan memposisikan kaki
tandem depan belakang lengan dilipat di dada, mata tertutup. Pada
orang normal dapat berdiri lebih dari 30 detik. Pasien dengan
kelainan pada kedua sistem vestibular tidak dapat seimbang
bertahan selama 6 detik, sedangkan pada pasien dengan kelainan
pada serebelum tidak dapat mempertahankan posisinya walau
dengan mata terbuka sekalipun.
- Uji berjalan (Stepping test) : berjalan di tempat 50 langkah, bila
tempat berubah melibihi 1 meter dan badan berputar lebih dari 30
derajat berarti terdapat gangguan keseimbangan.
- Pemeriksaan fungsi cerebellum, seperti past pointing test dilakukan
dengan merentangkan tangan diangkat tinggi kemudian telunjuk
menyentuh telunjuk yang lain dengan mata tertutup. Tes jari hidung,
dilakukan dalam posisi duduk pasien diminta menunjuk hidung
dengan mata terbuka dan tertutup.

Pemeriksaan fungsi vestibular dilakukan dengan tes kalori cara kobrak,


tes kalori bitermal, elektronistagmografi, tes nistagmus spontan dan tes
nistagmus posisi.8

- Tes kobrak
Pasien tidur terlentang dengan kepala fleksi 30 derajat atau duduk
dengan ekstensi 60 derajat.Digunakan semprit 5 atau 10 ml, ujung
jarum disambung dengan kateter. Perangsangan dilakukan dengan
mengalirkan air es ( 0 derajat celcius) sebanyak 5 ml, selama 20
detik. Nilai dihitung dengan mengukur lama nistagmus, dihitung
sejak mulai air dialirkan sampai nistagmus berhenti. Harga normal
120 – 150 detik.Harga yang kurang dari 120 detik disebut paresis
kanal.
- Tes kalori bitermal
Tes kalori ini dianjurkan oleh Dick and Hallpike. Pada cara ini
dipakai 2 macam air, dingin dan panas. Suhu air dingin adalah 30
derajat Celsius, sedangkan air panas adalah 44 derajat celcius.
Volume air yang dialirkan ke dalam liang telinga masing – masing
250 ml dalam waktu 40 detik. Setelah air dialirkan dicatat lama
nistagmus yang timbul.Setelah telinga kiri diperiksa dengan air
dingin, diperiksa telinga kanan dengan air dingin juga.Kemudian
telinga kiri dialirkan air panas, lalu telinga kanan.Pada tiap – tiap
selesai pemeriksaan pasien diistirahatkan selama 5

253
menit.Kemudian dihitung selisih waktu nistagmus kiri dan kanan.
Bila selisih lebih dari 40 detik maka akan berarti kedua fungsi
vestibuler dalam keadaan seimbang. Tetapi bila selisih ini lebih
besar dari 40 detik, maka berarti yang mempunyai waktu nistagmus
lebih kecil mengalami paresis kanal.
- Elektronistomografi (ENG)
ENG berfungsi untuk memonitor gerakan bola mata.Prinsipnya yaitu
kornea mata selalu bermuatan positif. Muatan positif ini sifatnya
sama dengan muatan positif listrik atau magnet yang selalu
mengimbas ke daerah sekitarnya. Dengan meletakan elektroda
pada kulit kantus lateral mata kanan dan kiri, maka kekuatan
muatan kornea kanan dan kiri bisa direkam. Rekaman muatan ini
disalurkan pada sebuah galvanometer.Hasilnya dihitung dengan
rumus.Bila hasilnya kurang dari 20 % maka kedua fungsi vestibular
dalam keadaan normal.
- Tes nistagmus spontan
Nylen memberikan kriteria dalam menentukan kuatnya nistagmus
ini. Bila nistagmus spontan ini hanya timbul ketika mata melirik
searah dengan nistagmusnya, maka kekuatan nistagmus sama
dengan Nylen – 1. Bila nistagmus timbul sewaktu mata melihat ke
depan, maka disebut Nylen - 2, dan bila nistagmus tetap ada meski
mata melirik kearah berlawanan dengan arah nistagmus maka
kekuatannya Nylen - 3.
- Tes nistagmus posisi
Tes nistagmus posisi (Perasat Hallpike) dilakukan dengan cara
pasien duduk, kemudian pasien tidur terlentang sampai kepala
menggantung di pinggir meja periksa, lalu kepala diputar ke kiri dan
setelah itu kepala diputar ke kanan. Pada setiap posisi nistagmus
diperhatikan, terutama pada posisi akhir. Nistagmus yang terjadi
dicatat masa laten dan intensitasnya. Juga ditanyakan kekuatan
vertigonya secara subjektif.Tes posisi ini dilakukan berkali – kali dan
diperhatikan ada tidaknya kelelahan, dengan tes posisi ini dapat
diketahui kelainan sentral atau perifer. Pada kelainan perifer
ditemukan masa laten dan terdapat kelelahan dan vertigo biasanya
terasa berat. Pada kelainan sentral sebaliknya, tidak ada kelelahan
dan vertigo ringan saja.
Nistagmus posisi yang berasal dari perifer dibedakan dari
nistagmus yang disebabkan oleh debris ( nistagmus paroksismal
tipe jinak ) atau kelainan pada servikal.

254
Gambar 2.4 Perasat Hallpike10

Table 2. 6. Perbedaan vertigo perifer dan sentral

255
Bila ada kecurigaan penyebab pada gangguan sentral pemeriksaan
dapat mencakup foto rontgen kranium, foto rontgen servikal, CT / MRI
scan, angiografi, transcranial Doppler (TCD).

CT – scan dimanfaatkan secara luas untuk mendeteksi kelainan –


kelainan neurologis karena non invasive, relative cepat serta
berkemampuan tinggi dalam menentukan perubahan struktur, letak, luas
dan besarnya lesi. Untuk lesi di fossa posterior, vertex ataupun medulla
spinalis mempunyai keterbatasan.MRI mempunyai kemampuan lebih baik
di mana lesi yang sekecil apapun terdeteksi lebih jelas di samping
memungkinkan rekonstruksi tiga dimensi.Untuk pemeriksaan fossa
posterior MRI merupakan pilihan.Labirin dan nukleus N VIII juga dapat
divisualisasikan.Pada kasus TIA sirkulasi posterior biasanya didapakan
gambaran normal.Meski demikian kadang bberapa pasien menunjukan
bukti adanya old, silent infark terutama di polus posterior hemisferium
serebelli.Sindroma stroke yang spesifik pada distribusi arteri tunggal
mudah terlihat dengan MRI.

Angiografi dinyatakan sebagai perangkat pemeriksaan diagnostic


―gold standard‖ untuk melihat adanya lesi topografis dari pembuluh darah
otak, namun pemeriksaan ini bersifat invassif dan memberi efek samping
meningkatnya risiko pada stenosis arteri yang berat dan risiko timbulnya
stroke 1 %.Selain itu angiogradi merupakan implementasi lumina dari
pembuluh darah pada oroyeksi tertentu dan pengukuran dari derajat
stenosis sangat bergantung pada operator dan proyeksi gambaran.

Doppler transkranial (TCD) sebagai alat diagnostic non ivasif untuk


melihat aliran darah orak di dasar tengkorak.Keunggulan penggunaan
Doppler adalah bersifat non ivasif dapat berulang kali diperiksa, memberi
hasil cukup akurat dan dapat divisualisasikan.Sayangnya identifikasi A.
basilaris bisa tidak jelas terutama pada pemeriksaan bagian distal. Untuk
menanggulangani keterbatasan TCD dapat menggunakan transcranial
color coded duplex scanning (TCCD) merupkan perangkat imajing
pembuluh dasar serebral non ivasive baru yang mampu memberi
pembuluh darah sekaligus menilai parameter hemodinamik aliran darah.

256
Tabel 2.7.Pemeriksaan penunjang untuk beberapa penyakit.9

Penatalaksanaan

Manajemen Vertigo Perifer

1) Neuronitis Vestibular

Pemberian antiemetik dan supresan vestibular dapat membantu


untuk menurunkan gejala vertigo.Pemberian steroid pada awal penyakit ini
sangat disarankan yang kemudian di tappering.

2) BPPV

Terapi terbaik untuk BPPV adalah manuver Epley untuk mereposisi


kanalitiasis.Pasien tidak kembali ke posisi duduk, namun kepala pasien
dirotasikan dengan tujuan untuk mendorong kanalith keluar dari kanalis
semisirkularis menuju utrikulus, tempat di mana kanalith tidak lagi
menimbulkan gejala.Bila kanalis posterior kanan yang terlibat maka harus
dilakukan tindakan CRT kanan. Perasat ini dimulai pada posisi perasat Dix
– hallpike yang menimbulkan respon abnormal dengan cara kepala ditahan
pada posisi tersebut 1 – 2 menit, kemudian kepala direndahkan dan diputar
secara perlahan ke kiri dan dipertahnkan selama beberapa saat. Setelah
itu badan pasien dimiringkan dengan kepala tetap dipertahankan pada
posisi menghadap ke kiri dengan sudut 45 derajat sehingga kepla
menghadap ke bawah melihat ke lantai.

257
Gambar 2.5 . Manuver Epley10

Akhirnya pasien kembali ke posisi duduk, dengan kepala menghadap ke


depan. Setelah terapi ini pasien dilengkapi dengan menahan leher dan
disarankan untuk tidak menunduk berbaring, membungkukan badan
selama satu hari.Pasien harus tidur pada posisi duduk dan harus tidur pada
posisi sehat untuk 5 hari.

3) Penyakit Menierre

Terapi konservatif yang memiliki respon baik pada pasien adalah


retriksi garam dan pemakaian diuretik.

Manajemen Vertigo Sentral

Manajemen vertigo sentral tergantung pada penyebabnya misalnya


masalah pada vaskular, seperti stroke. Evaluasi untuk pasien stroke
langsung pada faktor risiko vaskular dan metabolisme (hipertensi, diabetes
dislipdemia, merokok) dan determinasi mekanisme stroke (small-vessel
disease, large-vessel disease, cardioembolism, dissection,
hypercoagulability, or vacuities). Bila penyebab munculnya vertigo adalah
tumor, maka pengobatan hanya suportif dan dipertimbangkan suatu
tindakan pembedahan.

258
Medikasi13

a) Antikolinergik

Antikolinergik merupakan obat pertama yang digunakan untuk


penanganan vertigo, yang paling banyak dipakai adalah skopolamin dan
homatropin. Kedua preparat tersebut dapat juga dikombinasikan dalam
satu sediaan antivertigo. Antikolinergik berperan sebagai supresan
vestibuler melalui reseptormuskarinik. Pemberian antikolinergik per
oralmemberikan efek rata-rata 4 jam, sedangkangejala efek samping yang
timbul terutamaberupa gejala-gejala penghambatan reseptormuskarinik
sentral, seperti gangguanmemori dan kebingungan (terutama padapopulasi
lanjut usia), ataupun gejala-gejalapenghambatan muskarinik perifer,
sepertigangguan visual, mulut kering, konstipasi,dan gangguan berkemih.

b) Antihistamin

Penghambat reseptor histamin-1 (H-1 blocker) saat ini merupakan


antivertigo yang paling banyak diresepkan untuk kasus vertigo,dan
termasuk di antaranya adalah difenhidramin, siklizin, dimenhidrinat,
meklozin, dan prometazin. Mekanisme antihistamin sebagai supresan
vestibuler tidak banyak diketahui, tetapi diperkirakan juga mempunyai efek
terhadap reseptor histamin sentral. Antihistamin mungkin juga mempunyai
potensi dalam mencegah dan memperbaiki ―motion sickness‖. Efek sedasi
merupakan efek samping utama dari pemberian penghambat histamin-1.
Obat ini biasanya diberikan per oral, dengan lama kerja bervariasi mulai
dari 4 jam (misalnya, siklizin) sampai 12 jam (misalnya, meklozin).

c) Histaminergik

Obat kelas ini diwakili oleh betahistin yang digunakan sebagai


antivertigo. Betahistin sendiri merupakan prekrusor histamin. Efek
antivertigo betahistin diperkirakan berasal dari efek vasodilatasi, perbaikan
aliran darah pada mikrosirkulasi di daerah telinga tengah dan sistem
vestibuler. Pada pemberian per oral, betahistin diserap dengan baik,
dengan kadar puncak tercapai dalam waktu sekitar 4 jam. Efek samping
relatif jarang, termasuk di antaranya keluhan nyeri kepala dan mual.

d) Antidopaminergik

Antidopaminergik biasanya digunakan untuk mengontrol keluhan


mual pada pasien dengan gejala mirip-vertigo. Sebagian
besarantidopaminergik merupakan neuroleptik. Efek antidopaminergik
pada vestibuler tidak diketahui dengan pasti, tetapi diperkirakan bahwa
antikolinergik dan antihistaminik (H1) berpengaruh pada sistem vestibuler
perifer. Lama kerja neuroleptik ini bervariasi mulai dari 4 sampai 12 jam.

259
Beberapa antagonis dopamin digunakan sebagai antiemetik, seperti
domperidon dan metoklopramid. Efek samping dari antagonis dopamin ini
terutama adalah hipotensi ortostatik, somnolen, serta beberapa keluhan
yang berhubungan dengan gejala ekstrapiramidal, seperti diskinesia tardif,
parkinsonisme, distonia akut, dan sebagainya.

e) Benzodiazepin

Benzodiazepin merupakan modulator GABA, yang akan berikatan


di tempat khusus pada reseptor GABA. Efek sebagai supresan vestibuler
diperkirakan terjadi melalui mekanisme sentral. Namun, seperti halnya
obat-obat sedatif, akan memengaruhi kompensasi vestibuler. Efek
farmakologis utama dari benzodiazepin adalah sedasi, hipnosis, penurunan
kecemasan, relaksasi otot, amnesia anterograd, serta antikonvulsan.
Beberapa obat golongan ini yang sering digunakan adalah lorazepam,
diazepam, dan klonazepam.

f) Antagonis kalsium

Obat-obat golongan ini bekerja dengan menghambat kanal kalsium


di dalam sistem vestibuler, sehingga akan mengurangi jumlah ion kalsium
intrasel. Penghambat kanal kalsium ini berfungsi sebagai supresan
vestibuler. Flunarizin dan sinarizin merupakan penghambat kanal kalsium
yang diindikasikan untuk penatalaksanaan vertigo; kedua obat ini juga
digunakan sebagai obat migren. Selain sebagai penghambat kanal
kalsium, ternyata lunarizin dan sinarizin mempunyai efek sedatif,
antidopaminergik, serta antihistamin-1. Flunarizin dan sinarizin dikonsumsi
per oral. Flunarizin mempunyai waktu paruh yang panjang, dengan kadar
mantap tercapai setelah 2 bulan, tetapi kadar obat dalam darah masih
dapat terdeteksi dalam waktu 2-4 bulan setelah pengobatan dihentikan.
Efek samping jangka pendek dari penggunaan obat ini terutama adalah
efek sedasi dan peningkatan berat badan. Efek jangka panjang yang
pernah dilaporkan ialah depresi dan gejala parkinsonisme, tetapi efek
samping ini lebih banyak terjadi pada populasi lanjut usia.

g) Simpatomimetik

Simpatomimetik, termasuk efedrin dan amfetamin, harus digunakan


secara hati-hati karena adanya efek adiksi.

h) Asetileusin

Obat ini banyak digunakan di Prancis. Mekanisme kerja obat ini


sebagai antivertigo tidak diketahui dengan pasti, tetapi diperkirakan bekerja
sebagai prekrusor neuromediator yang memengaruhi aktivasi vestibuler
aferen, serta diperkirakan mempunyai efek sebagai ―antikalsium‖ pada

260
neurotransmisi. Beberapa efek samping penggunaan asetilleusin ini di
antaranya adalah gastritis (terutama pada dosis tinggi) dan nyeri di tempat
injeksi.

Prognosis12

Prognosis dari vertigo bergantung pada jenis vertigo yang


diderita.Vertigo yang disebabkan masalah di dalam telinga biasanya dapat
sembuh sendiri.Penggunaan obat – obatan dan terapi rehabilitasi yang baik
memberikan hasil baik pula.Prognosis vertigo karena adanya lesi di otak
bergantung pada seberapa besar lesi pada sistem saraf pusatnya.

DAFTAR PUSTAKA

1. Sura, Daljit Singh, Stephen Newell. Vertigo- Diagnosis and


Management in Primary Care. BJMP 2010;3(4):a351.
2. Kerber KA, Meurer WJ, West BT, Fendrick AM. Dizziness
Presentations in U.S. Emergency Departments, 1995-2004. Acad
Emerg Med. Aug 2008;15(8):744-50.
3. Mundhenke, Markus. Vertigo: A Common Problem in Clinical
Practice. Journal of Biomedical Therapy. 2010. Vol. 4, No. 2 : 17 –
21.
4. Agamemnon Despopoulos, Stefan Silbernagi. Color Atlas of
Physiology. 2003. Ed. V. hal : 337.
5. Moore, Keith L.; Agur, Anne M. R. Essential Clinical Anatomy, 3rd
Edition. 2007. Toronto : Lippincott Williams & Wilkins.
6. Labuguen, Ronald H. Initial Evaluation of Vertigo. University of
Southern California, Los Angeles, California Am Fam
Physician. 2006 Jan 15;73(2):244-251.

261
7. Lalwani, Anil K. Current Diagnosis & Treatment in
Otolaryngology—Head & Neck Surgery. 2007. America : Mc. Graw
Hill.
8. Soepardi, Efiati Arsyat, Nurbaiti Iskandar, dkk. Buku Ajar Ilmu
Kesehatan THT. 2007. Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia.
9. Goets, Christopher G. Textbook of Clinical Neurology. 2007.
Philadelphia : Elsevier Inc.
10. Bintoro, Aris Catur. Kecepatan Rerata ADO Sistem Vertebrobasilar
pada Pasien Vertigo Sentral. 2000. Semarang : Universitas
Diponegoro.
11. Samy,Hesham M, Robert A Egan. Dizziness, Vertigo, and
Imbalance Clinical Presentation. Update : 15 Feb 2013. Didapat
dari www.emedicine.com.
12. Wahyudi, Kupiya Timbul. Vertigo dalam Cermin Dunia Kedokteran
Vol. 39 No. 10. 2012. Jakarta : Medical Department.

TRAUMA AURIKULAR

Definisi
Othematom merupakan hematoma daun telnga akibat suatu
rudapaksa yang menyebabkan tertimbunnya darah dalam ruangan antara
perikondriom dan kartilago. Keadaan ini biasanya terdapat pada remaja
atau orang dewasa yang mempunyai kegiatan memerlukan kekerasan
namun bisa saja dijumpai pada usia lanjut dan anak-anak (Boies, 2008).

Insidensi
Penderita othematom di RSU Ulin Banjaramasin berasarkan usia
sekitar 22 laki-laki (100%) diantaranya anak 1 orang (5%) dan dewasa 20
orang (90%) sedang penderita diatas 50 hanya tahun 1 orang (5%)
(Sosialisman, dkk. 2007).
Othematom berdasarkan lokasi anatomis 12 orang (60%) murni
pada daerah konka.Sedang Priyono dkk (1983) mendapatkan 80 % pada
konka.Lima orang (25%) menderita perluasan dan daerah konka kearah
bagian superior aurikula (1983), mendapatkan hanya 16%. Perluasan ke
arah lateral ada 2 orang (10%) (Sosialisman, dkk. 2007).

Patofisiologi
Secara normal cedera jaringan atau adanya bahan asing mnejadi
pemicu kejadian yang mengikut sertakan enzim, mediator, cairan
ekstravasasi, migrasi sel, kerusakan jaringan dan mekanisme
penyembuhan. Hal tersebut menimbulkan tanda inflamasi berupa
kemerahan, pembengkakan, panas, nyeri dan hilangnya fungsi
(Buckingham R.A, 2004).

262
Terjadi 3 proses utama selama reaksi inflamasi ini yaitu, aliran
darah kedaerah itu meningkat, permeabilitas kapiler meningkat, leukosit
mula-mula neutrophil dan makrofag, lalu limfosit keluar dari kapiler menuju
ke jaringan. Selanjutnya bergerak ketempat cedera dibawah pengaruh
stimulus – stimulus kemotaktik. Bila ada antigen tersebut, mulu-mula
respon imun non spesifik bekerja untuk mengeliminasi antigen tersebut.Bila
ini berhasil, inflamasi akut berhenti.Apabila respon imun non spsifik tidak
berhasil, maka respon imun spesifik diaktivasi untuk menangkis antigen
tersebut.Inflamasi berhenti apabila usaha ini berhasil. Bila tidak maka
inflamasi ini menjadi kronik dan sering kali menyebabkan destruksi yang
irreversible pada jaringan (Buckingham R.A, 2004).

Akumulasi darah antara perikondrium dan tulang rawan

Gejala Klinis
Pada othematom aurikula dapat terbentuk penumpukan bekuan
darah diantara prikondrium dan tulang rawan.Bila bekuan darah ini tidak
segera dikeluarkan maka dapat terjadi organisasi dari hematoma, sehingga
tonjolan menjadi padat dan permanen serta dapat berakibat terbentuknya
telinga bunga kol. Penampilan karakteristik telinga kembang kol adalah
konsekuensi dari fibrosis berikutnya, kontraktur dan pembentukan
neokartilage (Buckingham R.A, 2004).
Hematoma daun telinga ditandai dengan daun telinga yang terlihat
membengkak, garis lipatan konka menghilang, terjadi pembengkakan
besar kebiru-biruan yang biasanya dapat mengenai seluruh daun telinga,
meskipun kadangkadang terbatas hanya pada setengah bagian atas saja
(Primrose W.J, 1992).
Tidak dijumpai nyeri pada daun telinga, namun bila ada nyeri tidak
begitu nyata, daun telinga terasa panas dan adanya rasa tidak nyaman
(Primrose W.J, 1992).
Bila tidak segera diobati, darah ini akan terkumpul menjadi jaringan
ikat yang menyebabkan nekrosis tulang rawan, karena adanya gangguan
nutria. Massa jaringan parut yang berlekuk-lekuk ini, terutama dari tyrauma
yang berulang, akan menimbulkan deformitas yang disebut cauliflower ear.
Bila dijumpai oklusi total liang telinga akan menyebabkan kehilangan
pendengaran (Primrose W.J, 1992).

263
Hematoma Auricular

Pemeriksaan Penunjang
A. Pemeriksaan dengan Garpu Tala
Pada tes dengan garpu tala menunjukkan adanya tuli sensorineural.
Tes Batas Atas & Batas Bawah : Hasilnya menunjukan batas atas
menurun. Tes Rinne: Menunjukkan hasil positif. Tes Weber: Lateralisasi ke
arah telinga dengan pendengaran lebib baik. Tes Schwabach : Hasil
menuajukkan schwabach memendek (Sosialisman, dkk. 2007).
B. Pemeriksaan Audiometri
Pada pemeriksaan audiometri nada murni terdapat audiogram
hantaran udara dan hantaran tulang. Kegunaan audiogram hantaran udara
adalah untuk mengukur kepekaan seluruh mekanisme pendengaran,
telinga luar dan tengah serta mekanisme sensorineural koklea dan nervus
auditori. Audiogram hantaran udara diperoleh dengan memperdengarkan
pulsa nada murni melalui earphone ke telinga. Kegunaan audiometri
hantaran tulang adalah untuk mengukur kepekaan mekanisme
sensorineural saja. Audiogram hantaran tulang diperoleh dengan
memberikan bunyi penguji langsung ke tengkorak pasien menggunakan
vibrator hantaran tulang. Dua pemeriksaan ini penting untuk membedakan
antara tuli sensorineural atau tuli konduktif (Sosialisman, dkk. 2007).
Diagnosis

 Anamnesa
Dari anamnesa dijumpai adanya riwayat trauma.Misalnya karena
hantaman atau pukulan saat berolahraga seperti gulat dan lainnya.Telinga
dapat terasa nyeri dan bengkak. Jika pembengkakan berlanjut, pasien
sering kali mengeluhkan pendengarannya terganggu (Mansjoer Arif, 2001).
 Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik, dari inspeksi dijumpai benjolan kemerahan
pada daun telinga.Pada palpasi terdapat fluktuasi tanpa adanya nyeri tekan
atau nyeri tekan yang ringan.Pada kasus yang telah lama dan berulang
dapat timbul pengerutan pada daun telinga (cauliflower ear). Kemudian

264
dilakukan aspirasi dan dijumpai cairan serohemoragis (Mansjoer Arif,
2001).

Diagnosa Banding

 Perikondritis
Radang pada tulang rawan yang menjadi kerangka daun telinga.
Biasnya terjadi karena trauma akibat kecelakaan, operasi daun telinga
yang terinfeksi (Timothy, 2002).
 Pseudokista
Terdapat benjolan didaun telinga yang disebabkan oleh adanya
kumpulan cairan kekuningan diantara lapisan perikondrium dan tulang
rawan telinga (Timothy, 2002).

Penatalaksanaan
Tujuan pengobatan adalah sepenuhnya untuk mengevakuasi darah
subperikondrial dan untuk mencegah reakumulasi.Dahulu dilakukan
aspirasi sederhana pada hematoma, namu kini kebanyakan dokter
menganjurkan terapi yang lebih ekstensif dengan insisi dan drainase
kumpulan darah dalam kondisi steril, diikuti dengan pemasangan balutan
tekan khusunya pada konka. Tekanan setempat akan lebih baik bila
membuat jahitan menembus diatas dental roll atau materi serupa. Terapi
paling baik dilakukan setelah cedera, sebelum terjadi organisasi
hematoma. Para pegulat perlu diingatkan untuk memakai pelindung kepala,
juga pada saat berlatih (Mansjoer Arif, 2001).
Indikasi :
 Anterior aurikularis bengkak setelah trauma, yang mrusak bentuk
anatomi normal dari pinna.
 Presentasi dalam waktu 7 hari setelah trauma (setelah 7 hari ,
pembentukan jaringan granulasi dapat menyulitkan prosedur. Pada
saat itu pasien harus dirujuk kespesialis) (Mansjoer Arif, 2001).
Kontra indikasi
 Hematoma yang lebih dari 7 hari
 Hematoma berulang atau hematoma kronis (dalam kasus ini, buja
debridement bedah oleh dokter spesialis diindikasikan karena
hematom, granulasi jaringan atau keduanya dapat ditemukan didalam
tulang rawan dan bukan di subperichondrial) (Mansjoer Arif, 2001).
Hal yang perlu diperhatikan pada penanganan hematoma daun telinga
antara lain (Timothy, 2002):
 Aspirasi dilakukan dalam kondisi yang steril dan setelah aspirasi
penting diberikan antibiotic yang adekuat.
 Pemantauan yang ketat diperlukan untuk memastikan hematom tidak
berulang kembali dan dapat berkembang terbentuknya deposit fibrous
ataupun infeksi.
 Untuk mencegah reakumulasi maka setelah aspirasi atau insisi perlu
dilakukan penekanan.

265
Instrumren dan bahan yang disediakan :
 Spuilt 5 ml dengan jarum ukuran 20 G
 Scalpel No. 11 dan No. 15 dengan pemegangnya
 Curved hemostat (mosquito)
 Penrose drain
 Salep betadine
 Betadin scrub
 Kain kassa steril
 2-0 nylon atau prolene
 Lidokain 1 % (dengan atau tanpa epinefrin)
 Peralatan irigasi (spuilt, normal salin)
 Bahan untuk penekanan
 Balut tekan sederhana : kapas kering, kass dengan vasselin, kassa
dengan elastic bandage
 Balut tekan khusus : dental rolls (cotton bolsters, slicon slint, plaster
mold), balut tekan dengan kancing banjo yang difiksasi dengan nilon
atau benang prolen dan penekanan dengan gips.
Anestesi
 Dilakukan anestesi local dengan lidokain 1% dengan 1:100.000
epinefrin atau tanpa epinefrin, dan diinfiltrasi secara langsung pada
daerah yang akan diinsisi dan drainase.
 Banyak penulis mendukung penggunaan lidokain tanpa disertai
pemberian agen vasokontriktif seperti epinefrin. Namun demikian,
beberapa literature menyetujui keamanan penggunaan agen
vasokonstriktor pada lokasi seperti hidung dan daun telinga.
 Dengan persiapan : bersihkan kulit dengan betadine dan alcohol,
dapat juga digunakan betadine scrub, dengan anestesi local lidokain
1%.
Teknik yang digunakan
Aspirasi Jarum
 Walaupun secara luas masih sering digunakan, metode ini tidak lagi
direkomendasikan karena dapt menyebabkan reakumulasi hematoma.
Aspirasi sering kali tidak ade kuat dan hematoma memerlukan
penanganan yang lebih lanjut. Beberapa sumber merekomendasikan
aspirasi terlebih dahulu yang diikuti dengan metode insisi jika terjadi
reakumulasi.
 Gunakan jarum ukuran 18 atau 20 G untuk aspirasi darah dari daerah
yang paling berfluktiasi atau daerah yang paling bengkak.

266
Aspirasi Othematoma

Insisi dan drainase


o Insisi pada tepi hematom harus dibuat pada skafa sejajar dengan
heliks. Pembukaan harus cukup luas untuk mengeluarkan seluruh
hematoma.
o Perlahan-lahan dipisahkan kulit dengan perikondrium dari hematoma
dan tulang rawan, kemudian lakukan pengeluaran hematoma. Perlu
kehati-hatian karena dapat merusak perikondrium.
o Bila kumpulan bekuan darah telah terjadi karena keterlambatan
tindakan, dapat digunakan kuret tajam untuk mengeluarkan bekuan
darah.
o Dilakukan irigasi dengan normal salin.
o Pemasangan drain dilakukan pada kasus – kasus dengan hematoma
yang sangat luas. Namun hal ini dapat menyebabkan luka pada drain
dan dapat pula menjadi predisposisi infeksi. Jika dilakukan
pemasangan drain, pasien harus diberikan antibiotic adekuat. Drain
harus dilepas dalam 24 jam jika tidak terdapat perdarahan yang
signifikan.

267
Insisi dan drainase hematoma auricular

Kompresi dan balut tekan


 Lakukan penekanan 5-10 menit, lalu lakukan kompresi dengan balut
tekan. Teknik yang sederhana biasanya tidak adekuat, dan dapat
menyebabkan reakumulasi hematoma.
 Kompresi balut tekan dapat dibuat dengan berbagai cara metode
sederhana, diantaranya :

268
o Letakkan kapas kering pada kanal eksternal

Kompresi dengan kapas kering yang diletakkan dikanal eksternal

 Isi celah aurikuler eksternal dengan kassa yang lembab (yang telah
direndam dengan salin atau vasselin)

Kompresi dengan kassa vaselin pada pina anterior



Dengan menambahkan 3-4 lapis kassa dibelakang telinga sebagai
tampon pada bagian posterior, potong kassa menjadi bentuk V,
sehingga pas untuk diletakkan dibelakang telinga.

269
Kompresi dengan meletakkan kasa pada belakang telinga
 Tutup telinga dengan kassa berlapis

Kompresi kasa pada telinga anterior

 Balut dengan perban elastic

270
Kompresi kasa dengan perban elastic.

Pemasangan balut tekan khusus pada konka, seperti silicon splint atau
dental rolls, ke bagian anterior dan posterior telinga (Timothy, 2002).

Balut tekan khusus dengan dental rolls

Komplikasi
Bila tindakan tidak steril, bisa timbul komplikasi yaitu perikondritis.
Perikondritis adalah radang pada tulang rawan daun telinga, yang terjadi
akibat trauma, pasca operasi telinga, serta sebagai komplikasi hematoma
daun telinga, otitis eksterna kronik, otitis media kronik,
pseudokista.Pengobatan dengan antibiotika sering gagal.Dapat terjadi
komplikasi, yaitu tulang rawan hancur dan menciut serta keriput, sehingga
terjadi telinga lingsut.Selain itu bisa juga terjadi reakumulasi dari hematom,
luka parut dan site infeksi (Timothy, 2002).

271
DAFTAR PUSTAKA

1. Boies R.L in Effendi H, Santoso K. Penyakit Telinga Luar iin Boies


Buku Ajar Penyakit THT (BOIES Fundamental Of Otolaringology) ,
Ed 6.Penerbit Buku Kedokteran, Hal: 75- 84
2. Sosialisman and Helmi Soepardi A.E Iskandar N edt. Kelainan
Telinga luar in Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung dan
Tenggorok Kepala Leher, Ed 5, FKUI 2001, hal : 9-11,45
3. Buckingham R.A, Hematoma Of Auricular in Ear, Nose and Throat
Disease A Pocket Reference, Ed 2nd , New York:1994, P:76
4. Primrose W.J, Auricular Hematoma in A New Short Textbook of
Otolaringology, Ed 3rd, British, ELBS, 1992, P: 24-25
5. Dhingra , Auricular Hematom in Disease Of Ear, Nose, and Throat,
Ed 4th, Elsevier, 1998. P:48-49
6. Maran A.G.D, Disease Of External Ear inin Disease Of Ear, Nose,
and Throat, Ed 10th, PG Asian Economy, Singapore:1994.P:263-264
7. T.K Timothy Jinn Hoon, Disease of The auricular externa in
Ballenger‘s Otorhinolaryngology Head and Neck
Surgery,London.2002.P: 230-235
8. Glasscock and Shambaugh, , Auricular Hematoma in surgery of
The Ear, Fourth Edition, W.B Saunders Company,1990.P: 195-196
9. Snell S.R in Tambayong J Anatomi Klinik, Bagian 3, Ed 3, EGC,
Jakarta.2006, Hal 128-139.
10. Mansjoer Arif, Ilmu Penyakit Telinga Hidung dan Tenggorok in
Kapita Selekta Kedokteran, Ed 3, Jilid 1, Media
Aesculapius,FKUI,2001. Hal 94

272
B. HIDUNG

RHINITIS ALERGI

Definisi

Rinitis alergi merupakan penyakit alergi tipe 1 pada mukosa hidung,


yang ditandai dengan bersin berulang, rhinorrhea, dan hidung tersumbat
(Okubo et al.,2011). Gejala rinitis alergi dapat dicetuskan oleh berbagai
faktor, diantaranya adalah udara dingin debu, uap, bau cat, polusi udara,
tinta cetak, bau masakan, bubuk detergen, serta bau minuman beralkohol.
Selain itu, predisposisi genetik juga memegang peranan penting.
Probabilitas seorang anak mengalami alergi adalah 20% atau 47% bila
salah satu atau kedua orang tua mereka mengalami alergi (Dhingra dan
Dhingra, 2010).

Etiologi

1. Alergen inhalan

1.1 Polusi Udara

Selama bertahun-tahun, polusi udara di perkotaan menjadi bahan


penelitian sebagai etiologi ekstrinsik yang penting dari penyakit alergi.
Perhatian dikonsentrasikan pada zat yang berbentuk gas seperti ozon dan
nitrogen dioksida. Studi epidemiologi menunjukkan hubungan yang kuat
antara polusi udara dengan penyakit alergi. Telah dibuktikan bahwa polusi
udara dapat memperkuat reaksi alergi dengan modifikasi epitel,
mempengaruhi imunitas, dan meningkatan sensitivitas terhadap alergen.

1.2 Airborne allergen

Alergen ini memicu rinitis tipe perennial (bulu binatang) dan tipe
seasonal (serbuk sari). Pengembangan hipersensitivitas diasosiasikan
dengan keberadaan sekresi dari tungau debu rumah. Bulu, kulit, liur, dan
urin binatang peliharaan (khususnya kucing dan anjing) juga menjadi
sumber alergen yang penting. Bulu binatang ternak seperti kuda dan sapi
dapat menjadi alergen yang berperan dalam alergi yang terkait dengan
perkerjaan. Eksaserbasi gejala alergi selama musim tertentu berhubungan
dengan serbuk sari dari tanaman tertentu yang berbunga pada musim
tersebut. Penyerbukan tanaman yang dibantu oleh serangga memproduksi
serbuk sari dengan jumlah relatif sedikit dan hanya dapat memicu gejala
dengan kontak dekat (Jenerowicz et al., 2012).

2. Alergen Ingestan

Berdasarkan data WHO, alergi makanan diderita oleh 4-10% anak


dan 2-4% dewasa (Jerenowicz et al., 2012). Munasir dan Rakun dalam

273
IDAI (2010) menyebutkan bahwa alergen ingestan lebih berperan pada
masa bayi dan anak.

3. Alergen Kontaktan

Pada rinitis alergi, alergen kontaktan tidak memiliki peran yang


signifikan karena alergen ini lebih berdampak pada dermatitis kontak/iritan
(Jenerowicz et al., 2012).

4. Alergen Injektan

Alergen injektan dapat berupa obat-obatan yang diinjeksikan


ataupun venom dari gigitan serangga. Alergen ini tidak berperan secara
namun dapat memicu eksaserbasi pada rinitis alergi (Jenerowicz et al.,
2012).

Gejala Klinis

1. Bersin

Bersin disebabkan oleh iritasi histamin pada saraf sensorik (trigeminus) di


mukosa hidung yang ditransmisikan ke pusat bersin di medulla oblongata.
Efek iritan dari histamin pada saraf sensorik dibangkitkan oleh alergi dan
menyebabkan bersin.

2. Watery Rhinorrhea

Iritasi saraf sensorik pada mukosa hidung menyebabkan eksitasi saraf


parasimpatis, dan menyebabkan refleks bersin. Hal ini memicu pelepasan
asetilkolin oleh saraf parasimpatis. Histamin bertindak langsung pada
pembuluh darah mukosa hidung dan menyebabkan kebocoran plasma.

3. Pembengkakan Mukosa Hidung

Pembengkakan mukosa hidung disebabkan oleh edema pada mukosa


hidung akibat kebocoran plasma dan kongesti pembuluh darah mukosa.
Aksi langsung oleh mediator inflamasi seperti histamin, PAF, prostaglandin
D2, kinin, dan secara spesifik, eosinofil, memegang peranan penting pada
pembengkakan mukosa hidung yang diobservasi pada fase akhir. Fase
awal rinitis alergi disebabkan oleh reaksi antigen-antibodi tipe 1 IgE. Lalu,
sel inflamasi yang menginfiltrasi menyebabkan fase akhir. Iritasi antigen
yang berlangsung terus menerus menyebabkan lesi kronik (Okubo et al.,
2011).

274
Klasifikasi

Berdasarkan Waktu

Berdasarkan waktu munculnya gejala, rinitis alergi dibagi menjadi dua,


yaitu perennial dan seasonal (Okubo et al., 2011). Tipe seasonal muncul
selama musim tertentu ketika serbuk sari pada tanaman tertentu
menyebar di udara. Sementara itu, tipe perennial muncul sepanjang tahun
(Dhingra dan Dhingra, 2010).

Berdasarkan Gejala

Rinitis alergi dapat dibagi berdasarkan gejala dominan yang timbul yaitu
bersin dan rhinorrhea, hidung tersumbat, dan kombinasi keduanya.

Berdasarkan Tingkat Keparahan

Klasifikasi ini ditentukan oleh tingkat keparahan gejala, hasil tes, dan
inspeksi pada mukosa hidung. Secara umum, tingkat keparahan gejala
ditentukan berdasarkan gejala yang dominan (Okubo et al., 2011). Greiner,
Hellings, Ratiroti, et al. (2011) menyebutkan bahwa klasifikasi rinitis alergi
berdasarkan ARIA (2001) ditentukan berdasarkan frekuensi terjadinya
gejala dan HRQL pasien (Gambar 2.2)

Gambar 2.2 Klasifikasi rinitis alergi berdasarkan ARIA (2001) (Greiner,


Hellings, Ratiroti, et al., 2011)

275
Diagnosis

Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik

Riwayat lengkap dan hasil pemeriksaan fisik pasien sangat berguna dalam
memberi petunjuk pada kemungkinan alergen yang menyebabkan rinitis
alergi (Dhingra dan Dhingra, 2010). Riwayat atopi dalam keluarga
merupakan faktor predisposisi rinitis alergi yang terpenting. Pada anak,
terdapat tanda karakteristik pada muka seperti allergic salute, allergic
crease, Dennie’s line, dan allergic face.

Pemeriksaan THT dapat dilakukan dengan menggunakan rinoskopi,


sekaligus juga menyingkirkan kelainan seperti infeksi, polip hidung, atau
tumor.

Pemeriksaan Penunjang

a. Pada hitung darah lengkap, eosinofilia perifer bisa ditemukan tetapi


temuan ini tidak konsisten.

b. Nasal smear menunjukkan jumlah eosinofil yang tinggi pada rinitis


alergi. Pemeriksaan ini sebaiknya dilakukan saat rinitis alergi aktif secara
klinis atau setelah uji provokasi hidung.

c. Uji alergi pada kulit membantu identifikasi alergen spesifik (Okubo et al.,
2011).

d. Radioallergosorbent test (RAST) merupakan suatu uji in vitro dan


mengukur konsentrasi antibodi IgE spesifik pada serum pasien.
Pemeriksaan ini dapat dilakukan tetapi hasilnya kurang spesifik bila
dibandingkan dengan uji alergi pada kulit (Munasir dan Rakun dalam IDAI,
2010).

e. Uji provokasi hidung merupakan metode untuk merangsang mukosa


hidung dengan cara meletakkan sedikit alergen pada ujung tusuk gigi dan
meminta pasien untuk menghirup. Hal ini juga digunakan untuk
mengobservasi apakah gejala alergi muncul. (Dhingra dan Dhingra, 2010).

Penatalaksanaan

Tujuan utama penatalaksanaan rinitis alergi adalah mengurangi gejala dan


memperbaiki HRQL. Pemilihan terapi dilakukan berdasarkan keparahan
gejala, tipe penyakit, dan gaya hidup (Okubo et al., 2011).

Terapi Nonfarmakologi

a. Edukasi

Pasien harus diberi pengetahuan tentang rinitis alergi, perjalanan penyakit,


dan tujuan penatalaksanaan. Penatalaksanaan medis bertujuan untuk

276
mengurangi gejala atau mengganggu kerja sistem imun untuk mengurangi
hipersensitivitas, atau keduanya. Selain itu, pasien juga harus diberikan
informasi mengenai keuntungan dan efek samping yang mungkin terjadi
untuk mencegah ekspektasi yang salah dan meningkatkan kepatuhan
pasien terhadap obat yag diresepkan (Greiner, Hellings, Ratiroti, et al.,
2011).

b. Menghindari alergen secara komplit Menurut studi placebo-controlled


oleh O‘Meara (2005) dalam Greiner, Hellings, Ratiroti, et al.(2011),
penggunaan nasal filter, yang dapat mencegah akses serbuk sari ke dalam
hidung, mengurangi gejala rinitis pada subjek yang alergi terhadap serbuk
sari.

Terapi Farmakologi

a. Topikal

i. Kortikosteroid

Semprot atau tetes: fluticasone, mometasone, ciclesonide, triamcinolone,


flunisolide, beclametason, dan betamethasone

Keuntungan: terapi antiinflamasi paling poten, sangat mengurangi gejala


pada hidung, memiliki efek pada gejala konjunktiva, memperbaiki HRQL,
bioavailibilitas rendah.

Kerugian: membutuhkan beberapa hari untuk mengurangi gejala dan


memiliki efek samping epistaxis

ii. Antihistamin

Azelastine, Olopatadine

Keuntungan: efektif dan aman untuk mengatasi gatal pada hidung, bersin,
dan rhinorrhea, onset cepat (15 menit)

Kerugian: pengabaian terhadap gejala sistemik lain

iii. Chromone

Sodium cromoglicate, nedocromil sodium

Keuntungan: aman untuk gejala rinitis alergi

Kerugian: penggunaan beberapa kali sehari, efek pada gejala

lemah

iv. Antikolonergik

Ipratropium bromide

277
Keuntungan: efek baik hanya pada gejala rhinorrhea

Kerugian: penggunaan 3 kali sehari

Efek samping: hidung kering, epistaxis, retensi urin, dan glaukoma

v. Dekongestan

Ephedrine, pseudoephedrine, xylometazoline

Keuntungan: agen vasokonstriktif yang poten hanya pada hidung


tersumbat, onset cepat (10 menit)

Kerugian: sering digunakan pasien secara berlebihan, efek samping iritasi


hidung dan gejala rhinorrhea memburuk (rebound phenomenon)

b. Sistemik

i. Antihistamin

Generasi pertama – tidak dianjurkan karena efek samping sedasi dan


retardasi psikomotor Generasi kedua: levocetirizine dan cetirizine,
desloratadine dan loratadine, fexofenadine, acrivastine, rupatadine,
carebastine dan ebastine

Keuntungan: efektif mengurangi gejala seperti hidung gatal, bersin, dan


rhionrrhea, mengurangi gejala konjunktiva, onset cepat (1 jam), dan
interaksi obat sedikit

Kerugian: efek pada hidung tersumbat kurang baik

ii. Kortikosteroid

Hydrocortisone, prednisolone

Keuntungan: terapi antiinflamasi sistemik, mengurangi seluruh gejala

Kerugian: hanya boleh digunakan jangka pendek

iii. Antileukotrien

Antagonis respetor leukotrien: montelukast dan zafirlukast

Inhibitor sintesis leukotrien: zileuton

Hanya montelukast yang boleh digunakan sebagai terapi rinitis alergi

Keuntungan: efektif untuk hidung tersumbat, rhinorrhea, dan gejala


konjunktiva, efektif untuk gejala bronkial pada beberapa pasien, umumnya
ditoleransi dengan baik

278
Efek samping: sakit kepala, gejala pada sistem pencernaan, ruam, dan
sindrom Churg-Strauss

iv. Dekongestan

Pseudoephedrine

Keuntungan: mengurangi gejala hidung tersumbat

Efek samping: hipertensi, insomnia, agitasi, dan takikardi (Greiner,


Hellings, Ratiroti, et al., 2011)

Komplikasi

 Sinusitis berulang

Gajala klinis saat rinitis alergi mengalami eksaserbasi dapat menyebabkan


obstruksi pada sinus paranasal dan menyebabkan sinusitis berulang.

 Polip hidung

Iritasi yang terjadi pada mukosa hidung secara berulang pada rinitis alergi
dapat memicu pertumbuhan polip pada hidung.

 Otitis media serosa akut

Kondisi ini dapat terjadi karena adanya penyumbatan berulang pada tuba
Eustachius.

 Masalah orthodontic

Gejala hidung tersumbat pada rinitis alergi meyebabkan pasien bernapas


melalui mulut. Kondisi ini, terutama pada anak-anak dapat menyebabkan
masalah orthodontic.

 Asma bronkial

Pasien dengan rinitis alergi menunjukkan kelainan pada saluran napas


bagian bawah termasuk perubahan secara fisiologi, histologi, dan biokimia.
Survei epidemiologi menunjukkan bahwa rinitis alergi merupakan faktor
independen untuk terjadinya asma bronkial (Dhingra dan Dhingra, 2010).

DAFTAR PUSTAKA

1. Irawati N, Kasayeyan E, Rusmono N. Rhinitis Aleri. Dalam Soepardi


EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD. Buku Ajar Ilmu
Kesehatan THT – KL Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Edisi keenam. Jakarta. FKUI. 2007 : 128 – 33
2. Blumenthal MN. Rhinitis Alergika. Dalam kelainan alergi pada
pasien THT dalam Adams GL, Boies LR, Highler PA. BOIES Buku
Ajar Penyakit THT. Edisi 6. Jakarta: EGC. 1997. 196 – 97, 211 – 17

279
3. Sheikh J, Kaliner M. Allergic Rhinitis. USA: Medscape. 2013.
Available from: http://emedicine.medscape.com/article.134852.html.
tanggal akses : 3 Oktober 2013

RHINITIS VASOMOTOR

Definisi

Rinitis vasomotor adalah suatu keadaan idiopatik berupa hidung


tersumbat, berair serta bersin bersin yang didiagnosis tanpa adanya
infeksi, alergi, eosinofilia, perubahan hormonal (kehamilan, hipertiroid), dan
pajanan obat (kontrasepsi oral, antihipertensi, b-bloker, aspirin,
klorpromazin dan obat topikal hidung dekongestan).Rinitis ini digolongkan
menjadi non-alergi bila adanya alergi/alergen spesifik tidak dapat
didefinisikan dengan pemeriksaan alergi yang sesuai.

Rinitis vasomotor disebut juga dengan intrinsic vasomotor,idiopathic


rhinitis, vasomotor catarrh, vasomotor rinorhea, nasal vasomotor instability
atau juga non-allergic perennial rhinitis

Etiologi

Rintis vasomotor tidak disebabkan oleh infeksi atau alergi. Etilogi


pasti rinitis vasomotor belum diketahui dan diduga akibat
gangguankeseimbangan sistem saraf otonom yang dipicu oleh zat-zat
tertentu.
Beberapa faktor pemicu yang mempengaruhi keseimbangan vasomotor :
1. Obat-obatan yang menekan dan menghambat kerja saraf simpatis,
sepertiergotamin, chlorpromazin, obat anti hipertensi dan obat
vasokonstriktortopikal.
2. Faktor fisik, seperti iritasi oleh asap rokok, udara dingin,
kelembaban udarayang tinggi dan bau yang merangsang.
3. Faktor endokrin, sepeti keadaan kehamilan, pubertas, pemakaian
kontrasepsi oral dan hipotiroidisme.
4. Faktor psikis, seperti stress, ansietas dan fatigue.

Gejala Klinis
Rinitis vasomotor memiliki gejala yang mirip dengan rinitis alergi
namun gejala yang dominan adalah hidung tersumbat bergantian kiri dan
kanan, selain itu terdapat rinore yang mukoid atau serosa dan jarang
disertai dengan gejala pada mata. Dengan adanya perubahan suhu yang
ekstrim maka gejala yang dialami dapat memburuk misalnya pada waktu
bangun tidur di pagi hari. Selain perubahan suhu, dapat juga diperberat
dengan udara lembab, asap rokok, dan sebagainya.Berdasarkan survei
yang dilakukan pada 678 pasien rinitis, hidung tersumbat merupakan gejala
tersering yang dikeluhkan oleh pasien rinitis vasomotor.

280
Berdasarkan gejala yang menonjol, kelainan ini dibedakan dalam tiga
golongan yaitu:
1. Golongan bersin (sneezers)
2. Golongan rinore (runners)
3. Golongan tersumbat (blockers)

Diagnosis
Diagnosis umumnya ditegakan dengan cara eksklusi yaitu
menyingkirkan adanya rinitis infeksi, alergi, okupasi, hormonal dan akibat
obat.
Pemeriksaan fisis dengan rinoskopi anterior tampak gambaran yang
khas yaitu edema mukosa hidung, konka berwarna merah gelap atau
merah tua. Permukaan konka dapat licin atau berbenjol-benjol (hipertrofi)
dan rongga hidung terdapat sekret yang mukoid atau serosa.Pemeriksaan
laboratorium dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan rinitis alergi.
Test kulit (skin test) biasanya negatif, demikian pula test RAST, serta kadar
Ig E total dalam batas normal. Kadang- kadang ditemukan juga eosinofil
pada sekret hidung, akan tetapi dalam jumlah yang sedikit. Gambaran
laboratories pada usap hidung (nasal swab) menunjukan bahwa eosinofil
menjadi sel dominant pada rinitis alergi. Namun Infeksi sering menyertai
yang ditandai dengan adanya sel neutrofil dalam sekret.

Diferensial Diagnosis
Rinitis vasomotor sangat mirip gejalanya dengan rinitis alergi,
namun ada ada beberapa hal yang dapat digunakan untuk membedakan
antara keduanya.

Rinitis alergi Rinitis vasomotor


Mulai serangan Belasan tahun Dekade ke 3-4
Etiologi Reaksi Ag-Ab terhadap Reaksi neurovaskuler
rangsangan spesifik terhadap beberapa
rangsangan mekanis atau
kimia, psikologis
Gatal & bersin Menonjol Tidak menonjol
Gatal dimata Sering dijumpai Tidak dijumpai
Tes kulit Positif Negatif
Sekret hidung Peningkatan eosinofil Eosinofil tidak meningkat
Eosinofil darah Meningkat Normal
IgE darah Meningkat Tidak meningkat
Neurektomi Tidak membantu Membantu
n.Vidianus

281
Penatalaksanaan
Pengobatan rinitis vasomotor bervariasi, tergantung kepada faktor
penyebab dan gejala yang menonjol. Secara garis besar, pengobatan
dibagi dalam :
1.
Menghindari penyebab/pencetus (Avoidance therapy)
Ketika pasien telah didiagnosis dengan rinitis vasomotor, pasien
harus segera menghindari faktor-faktor yang memicu terjadinya
rinitis vasomotor. Misalnya bau-bauan seperti parfum, asap rokok,
formalin, koran, tinta, makanan pedas dan lain sebagainya.
2. Irigasi dengan saline
Irigasi dengan saline (NaCl) sangat penting karena dengan hal ini
akan meningkatkan efisiensi dari penggunaan obat topikal
intranasal dan memperbaiki fungsi siliar.
3. Pengobatan simptomatis
a. Dekongestan
Dekongestan oral maupun topikal efektif mengatasi
kongesti. Pseudoefedrin oral merupakan dekongestan yang
dapat dberikan pada pasien kronik. Namun efek samping
dapat timbul seperti stimulasi neurogenik dan cardiogenik,
palpitasi, insomnia. Obat ini dikontraindikasikan pada pasien
hipertensi. Selain itu dapat digunakan phenylephrine.
Topikal dekongestan seperti oxymetazoline dan
phenylephrine memiliki kerja yang cepat sebagai
dekongestan lokal. Obat-obatan ini tidak boleh diberikan
dalam jangka waktu lama melebihi 3-10 hari karena dapat
menyebabkan rinitis medikamentosa.
b. Kortikosteroid
Kortikosteroid dapat digunakan untuk mengatasai inflamasi
yang terjadi. Kortikosteroid sangat berguna pada pasien
rinitis. Kortikosteroid topikal mengurangi keluhan hidung
tersumbat, rinore dan bersin-bersin dengan menekan respon
inflamasi lokal yang disebabkan oleh mediator vasoaktif.
Obat seperti budesonide, fluticason, flunisolide, mometason
dan beclomethason dapat memperbaiki keluhan pada
hidung akibat rinitis vasomotor. Biasanya setelah pemakaian
paling sedikit dua minggu barulah hasilnya akan terlihat.
Berdasarkan pemakaiannya, kortikosteroid dibagi menjadi 2
yaitu topikal dan sistemik. Studi meta-analisis oleh Weiner
JM dkk, seperti dilansir dari British Medical Journal,
menyimpulkan bahwa kortikosteroid intranasal lebih
baikdigunakan sebagai terapi lini pertama rinitis daripada
antihistamin, ditilik dari segikeamanan dan cost-effective-
nya.Kortikosteroid sistemik hanya digunakan untuk terapi
jangka pendek padapenderita rinitis berat yang refrakter
terhadap terapi pilihan pertama.

282
c. Anti histamin
Pengobatan dengan antihistamin pada pasien rinitis
vasomotor jarang diteliti penggunaannya. Beberapa studi
yang dilakukan menunjukkan antihistamin generasi pertama
memperbaiki gejala dengan mengurangi rinore, sedangakan
antihistamin generasi kedua mempunyai efek antikolinergik
yang kecil. Obat seperti azelastine selain sebagai
antihistamin juga memiliki efek antiinflamasi dan
neuroinflamatori bloker yang membuat obat ini sangat
berguna pada pasien rinitis vasomotor.
d. Antikolinergik
Ipratropium bormide merupakan intranasal antikolinergik
yang dapat mengatasi rinore pada rinitis vasomotor. Obat ini
bekerja baik terutama pada rinore yang berat
2. Terapi operatif (dilakukan bila pengobatan konservatif gagal)
Kauterisasi konka yang hipertrofi dengan larutan AgNO3 25% atau
triklorasetat pekat (chemical cautery) maupun secara elektrik
(electrical cautery). Selain itu dapat juga dilakukan neurektomi
n.Vidianus yaitu dengan melakukan pemotongan pada n.vidianus.

Prognosis

Pengobatan golongan obstruksi lebih baik daripada golongan


rinore. Oleh karena golongan rinore sangat mirip dengan rinitis alergi perlu
anamnesis dan pemeriksaan yang teliti untuk memastikan diagnosisnya.

DAFTAR PUSTAKA

1. Lalwani AK. Current Diagnosis & Treatment in Otolaryngology Head


and Neck Surgery. Edisi ke-2. New York: McGraw-Hill.
2. Wheeler PW, Wheeler SF. Vasomotor Rhinitis. America: American
Academy of Family Physicians; 2005.
3. Soepardi EA, Iskandar N, Bashlruddin J, Restuti RD. Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala & Leher. Edisi ke-6.
Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2010.
4. Cummings CW, Flint PW, Haughey BH, Robbins KT, Thomas JR,
Harker LA, Richardson MA, Schuller DE. Cummings Otolaryngology
Head & Neck Surgery. Edisi ke-4. USA: Elsevier; 2005.
5. Dhillon RS, East CA. Ear, Nose and Throat and Head and Neck
Surgery. Edisi ke-2. China: Harcourt Publishers; 2000.

283
SINUSITIS

Definisi
Sinusitis didefinisikan sebagai inflamasi mukosa sinus paranasal.
Umumnya disertai atau dipicu oleh rhinitis sehingga sering disebut
rinosinusitis. Penyebab utamanya ialah selesma (common cold) yang
merupakan infeksi virus, yang selanjutnya dapat diikuti oleh infeksi bakteri
(FK UI, 2007).
Bila mengenai beberapa sinus disebut multisinusitis, sedangkan bila
mengenai semua sinus paranasal disebut pansinusitis. Yang paling sering
terkena dalah sinus etmoidalis dan maksila, sedangkan sinus frontal lebih
jarang dan sinus sphenoid lebih jarang lagi (FK UI, 2007).
Sinus maksila disebut juga antrum highmore, letaknya dekat akar
gigi rahang atas, maka infeksi gigi mudah menyebar ke sinus, disebut sinus
dentogen. Sinusitis dentogen merupakan salah satu penyebab penting
sinusitis kronik. Sinusitis dapat menjadi berbahaya karena menyebabkan
komplikasi ke orbita dan intracranial, serta menyebabkan peningkatan
serangan asma yang sulit diobati (Hilger, dkk,1997).

Etiologi
Beberapa faktor etiologi dan faktor predisposisi antara lain ISPA
akibat virus, bermacam rhinitis terutama rhinitis alergi, rhinitis hormonal
pada wanita hamil, polip hidung, kelainan anatomi seperti deviasi septum
atau hipertrofi konka, sumbatan kompleks osteomeatal (KOM), infeksi
tonsil, infeksi gigi yaitu dikarenakan bakteri anaerob yang ditemukan
sebagai penyebab sinusitis maksilaris, terkait dengan infeksi pada gigi
premolar, kelainan imunologi, diskinesia silia seperti pada sindrom
kartagener dan diluar negri adalah penyakit fibrosis kistik.

Patofisiologi
Kesehatan sinus dipengaruhi oleh potensi ostium-ostium sinus dan
lancarnya klirens mukosiliar didalam KOM. Mucus juga mengandung
substansi antimicrobial dan zat-zat yang berfungsi sebagai mekanisme
pertahanan tubuh terhadap kuman yang masuk bersama udara
pernapasan. Organ-organ yang membentuk KOM letaknya berdekatan dan
bila terjadi edema, mukosa yang berhadapan akan saling bertemu
sehingga silia tidak dapat bergerak dan ostium tersumbat. Akibatnya terjadi
tekanan negatif didalam rongga sinus yang menyebabkan terjadinya
transudasi, mula-mula serous.
Kondisi ini bisa dianggap sebagai rinosinusitis non bacterial dan
biasanya sembuh dalam beberapa hari tanpa pengobatan. Sampai Bila
kondisi ini menetap, secret yang terkumpul dalam sinus merupakan media
yang baik untuk pertumbuhan bakteri. Secret menjadi purulen. Keadaan ini
disebut sebagi rinosinusitis akut bacterial dan memerlukan terapi antibiotic.
Jika terapi tidak berhasil, inflamasi berlanjut, terjadi hipoksia dan bakteri
anaerob berkembang. Mukosa makin membengkak dan ini merupakan

284
rantai siklus yang terus berputar. Sampai akhirnya perubahan mukosa
menjadi kronik yaitu hipertrofi, polipoid atau pembentukan polip dan kista.
Etiologi sinusitis adalah sangat kompleks. Hanya 25% disebabkan
oleh infeksi, selebihnya 75% disebabkan oleh alergi dan
ketidakseimbangan pada sistim saraf otonom yang menimbulkan
perubahan-perubahan pada mukosa sinus.
Sinusitis bisa disebabkan oleh:
1. Alergi misalnya rinitis alergi.
2. Non alergi: trauma, paparan zat kimia, imunodefisiensi,
fibrosis kistik, sindrom kartagener, granulomatosa, infeksi
virus maupun bakteri (Dharmabakti, 2003).

Alergen

Interaksi makrofag dan limfosit T

Peleapsan mediator inflamasi

Reaksi cepat Reaksi lambat

Odem
Vasodilatasi Pe permeabilitas kapiler

Sumbatan pada hidung

Rinore

Odem

Kontraksi otot polos Sesak nafas


bronkus

Gangguan ventilasi

pH sinus

Gerakan silia dalam sinus 

Mukus tidak dapat dialirkan

Retensi mukus hipoksia

Eksudat purulen Infeksi Tumbuhnya kuman patogen

Tekanan pada sinus  Pilek bau Kuman menyebar

Nyeri

Gambar 2.Patofisiologi Sinusitis (Ballenger, 1985).

285
Klasifikasi
Berdasarkan konsensus tahun 2004, sinusitis dibagi menjadi tiga
berdasarkan waktunya, yaitu:
1. Rinosinusitis akut: gejala terjadi selama 4 minggu atau kurang
dari 4 minggu
2. Rinosinusitis subakut: gejala terjadi lebih dari 4 minggu dan
kurang dari 12minggu
3. Rinosinusitis kronik: gejala lebih dari 12 minggu

Berdasarkan penyebabnya sinusitis dibagi menjadi


1. Rhinogenik (penyebab kelainan atau masalah di hidung),
segala sesuatu yang menyebabkan sumbatan pada hidung
dapat menyebabkan sinusitis. Contohnya Rinitis Akut
(influenza) dan Polip, septum deviasi.
2. Dentogenik/Odontogenik (penyebabnya kelainan gigi), yang
sering menyebabkan sinusitis infeksi pada gigi geraham atas
(pre molar dan molar). Bakteri penyebabnya adalah
Streptococcus pneumoniae, Hamophilus influenza,
Steptococcus viridans, Staphylococcus aureus, Branchamella
catarhatis.

Manifestasi Klinis
Keluhan utama sinusitis akut ialah hidung tersumbat disertai nyeri/
rasa tekanan pada muka dan ingus purulen yang seringkali turun ke
tenggorok (post nasal drip). Dapat disertai gejala sistemik seperti demam
dan lesu.
Keluhan nyeri atau rasa tekanan didaerah sinus yang terkena merupakan
ciri khas sinusitis akut, serta nyeri juga terasa ditempat lain.
• Sinusitis maksila : nyeri pada pipi
• Sinusitis etmoid : nyeri diantara atau dibelakang kedua bola
mata
• Sinusitis frontal : nyeri didahi atau seluruh kepala
• Sinusitis sfenoid : nyeri di verteks, oksipital, belakang bola
mata, daerah mastoid
Gejala lain adalah sakit kepala, hipoosmia/anosmia, halitosis, post
nasal drip yang menyebabkan batuk dan sesak pada anak. Keluhan
sinusitis kronik tidak khas, kadang-kadang hanya satu atau 2 dari gejala
berikut seperti sakit kepala kronik, post nasal drip, batuk kronik, gangguan
tenggorok, gangguan telinga akibat sumbatan kronik muara tuba
eustacheus, gangguan ke paru seperti bronkhitisdan serangan asma yang
meningkat dan sulit diobati. Pada anak, mukopus yang tertelan dapat
menyebabkan gastroenteritis
Gejala subjektif
• Gejala hidung dan nasofaring, berupa sekret di hidung dan sekret
pasca nasal.

286
• Gejala faring, yaitu rasa tidak nyaman dan gatal di tenggorok
• Gejala telinga, berupa pendengaran terganggu
• Nyeri / sakit kepala
• Gejala mata karena penjalaran infeksi melalui duktus naso-
lakrimalis
• Gejala saluran napas, berupa batuk dan kadang terdapat
komplikasi di paru
• Gejala saluran cerna,karena mukopus yang tertelan.

Gejala objektif
• Gejala objektif→berupa pembengkakan di daerah muka.
o Sinusitis maksilaris→di pipi dan kelopak mata bawah
o Sinusitis frontal→di dahi dan kelopak mata atas
o Sinusitis etmoid→jarang bengkak,kecuali bila ada
komplikasi
• Pada rinoskopi anterior tampak konka hiperemis dan edema
o Sinusitis maksila,frontal dan etmoid anterior tampak
mukopus di meatus medius
o Sinusitis etmoid poterior dan sfenoid tampak nanah keluar
dari meatus superior
• Pada rinoskopi posterior tampak mukopus di nasofaring (post
nasal drip)

Diagnosa
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis,pemeriksaan fisik,
dan pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan fisik dengan rinoskopi anterior
dan posterior, pemeriksaan nasoendoskopi sangat dianjurkan untuk
diagnosis yang lebih tepat dan dini. Tanda khas adalah adanya pus
dimeatus medius atau didaerah meatus superior.
Kriteria Rinosinusitis akut menurut American Academy of Otolaringology &
American Rhinologic Society

Pada rinosinusitis akut, mukosa edema dan hiperemis. Pada anak


sering ada pembengkakan dan kemerahan didaerah kantus medius.

287
Pemeriksaan pembantu yang penting adalah foto polos atau CT
scan. Foto polos posisi waters, PA atau lateral , umumnya hanya mampu
menilai kondisi-kondisi sinus-sinus besar. Kelainan akan terlihat berupa
perselubungan, batas udara cairan atau penebalan mukosa. CT scan sinus
merupakan gold standar diagnosis sinusitis karena mampu menilai anatomi
hidung dan sinus, adanya penyakit dalam hidung dan sinus secara
keseluruhan dan perluasannya. Namun, karena mahal hanya dikerjakan
sbagai penunjang diagnosis sinusitis kronik yang tidak membaik dengan
pengobatan atau praoperasi sebagai panduan operator saat melakukan
operasi sinus.
Pada pemeriksaan transiluminasi sinus yang sakit akan menjadi
suram atau gelap. Pemeriksaan mikrobiologi dan tes resistensi dilakukan
dengan mengambil secret dari meatus medius/superior, untuk mendapat
antibiotic yang tepat guna. Lebih baik lagi bila diambil dari pungsi sinus
maksila

Diagnosis Banding
Diagnosis banding sinusitis adalah luas, karena tanda dan gejala
sinusitis tidak sensitif dan spesifik. Infeksi saluran nafas atas, polip nasal,
penyalahgunaan kokain, rinitis alergika, rinitis vasomotor, dan rinitis
medikamentosa dapat datang dengan gejala pilek dan kongesti nasal.
Rhinorrhea cairan serebrospinal harus dipertimbangkan pada
pasien dengan riwayat cedera kepala. Pilek persisten unilateral dengan
epistaksis dapat mengarah kepada neoplasma atau benda asing nasal.
Tension headache, cluster headache, migren, dan sakit gigi adalah
diagnosis alternatif pada pasien dengan sefalgia atau nyeri wajah. Pasien
dengan demam memerlukan perhatian khusus, karena demam dapat
merupakan manifestasi sinusitis saja atau infeksi sistem saraf pusat yang
berat, seperti meningitis atau abses intrakranial.

Pengobatan
Sinusitis maxillaris akut umumnya di terapi dengan:
1. Antibiotik spektrum luas, seperti: amoxicillin, ampicillin, atau
eritromisin. Alternatif lain berupa amoxicillin/klavulanat,
sefaklor, sefuroksim, dan trimetoprim plus sulfonamid.
2. Dekongestan, seperti: pseudoefedrin, tetes hidung fenilefrin
(neosynephrine) atau oksimetazolin dapat diberikan selama
beberapahari pertama infeksi namun kemudian harus
dihentikan.
3. Analgetik untuk meringankan gejala, seperti aspirin dan
asetaminofen.
4. Kompres air hangat pada wajah untuk meringankan gejala.
Dengan terapi tersebut, pasien biasanya memperlihatkan tanda-
tanda perbaikan dalam dua hari dan proses penyakit biasanya menyembuh
dalam 10 hari meskipun konfirmasi radiologis dalam hal kesembuhan total
memerlukan waktu 2 minggu atau lebih. Kegagalan penyembuhan dengan

288
suatu terapi aktif menunjukan organisme tidak lagi peka terhadap antibiotik
atau antibiotik tersebut gagal mencapai lokulasi infeksi. Pada kasus
demikian, ostium sinus dapat odem sehingga drainase sinus terhambat dan
terbentuk abses sejati. Bila demikian, terdapat indikasi irigasi antrum
segera
Pengobatan yang diberikan ditujukan untuk infeksi dan faktor-faktor
penyebab Infeksi secara bersama-sama. Di samping pemberian antibiotik
dan dekongestan, juga perlu diperhatikan predisposisi kelainan obstruksi
yang disebabkan karena rinitis alergi. Pengobatan untuk rinitis alergi terdiri
atas 5 bagian utama , yaitu :
1. Menghindari alergen penyebab.
Dapat dilakukan dengan mengisolasi penderita dari alergen,
menempati suatu sawar antara penderita dan alergen atau menjauhkan
dari penderita alergen. Untuk pencegahan ini, diperlukan identifikasi
alergen dan menghindari aleregn penyebab (avoidance). Dalam
pengelolaan penderita alergi inhalan, menganjurkan penderita untuk
menghindari alergen penyebab tidaklah mudah, sehingga poliklinik THT
RSUD Dr. Soetomo telah mengadakan kegiatan penyuluhan kesehatan
masyarakat rumah sakit (PKMRS) mengenai debu rumah kepada penderita
dan keluarganya.
2. Pengobatan simptomatis.
Diberikan bila pencegahan terhadap alergen penyebab tidak
memberikan hasil yang memuaskan. Ada 4 golongan obat yang dapat di
berikan, yaitu golongan antihistamin, simpatomimetik, kortikosteroid dan
stabilisator mastosit.
 Antihistamin
Antihistamin merupakan senyawa kimia yang dapat melawan kerja
histamin dengan mekanisme inhibisi kompetitif pada lokasi reseptor
histamin. Ada dua macam antihistamin, yaitu antihistamin
penghambat reseptor H1 (AH1) dan antihistamin penghamb at
reseptor H2 (AH2).48 Antihistamin H1 sampai saat ini dikenal 2
macam, yaitu antihistamin klasik dan antihistamin generasi kedua
atau baru. Golongan antihistamin H1 klasik yang sering digunakan
adalah etanolamin, etilendiamin, alkelamin, fenotiazin,
siproheptadin, hidroksizin, pirezin. Efek antihistamin klasik, yaitu
antihistaminik, yaitu menghilangkan gejala-gejala alergi dan
antikolinergik, yaitu mengurangi sekresi kelenjar eksorin, sekresi
saliva sehingga dapat mengurangi gejala rinore, tetapi dapat juga
menyebabkan keringnya mukosa mulut dan tenggorok serta sedatif,
yaitu merupakan efek samping yang paling sering terjadi.
Golongan antihistamin generasi baru yang beredar di pasaran ,
yaitu terfenadin, loratidin, astemizol, oxatomide, mequitazine dan
cetirizine. Golongan ini tidak mempunyai hubungan kimia yang
langsung dengan histamin, hanya mempunyai suatu struktur
nitrogen aromatik yang sama dalam bentuk piperidin, piperazin atau
piridin. Efek antihistamin baru, yaitu sebagai antihistaminic long

289
action, dimana waktu paruhnya lama, sehingga cukup diberika 1 x
sehari. Hal ini karena ikatannya dengan reseptor H1 lebih sukar
lepas, sehingga efek terapinya lebih lama, selain dari itu efek
antikolinergiknya lebih ringan dari non sedatif karena tidak
menembus sawar otak serta stabiliator sel mastosit, sehingga dapat
mencegah terjadinya degranulasi atau penglepasan mediator
amine-vasoaktif dengan mencegah influk ion Ca kedalam sel
mastosit. Dengan demikian antihistamin generasi kedua ini dapat
mencegah gejala-gejala yang ditimbulkan, baik oleh mediator yang
sudah terbentuk (preformed) maupun yang belum terbentuk (newly
generated)
Antihistamin H2 seperti simetidin dan ranitidin dapat berguna bila
diberikan bersama antihistamin H1 sumbatan hidung, tetapi untuk
pengobatan polip hidung tidak memberikan hasil Golongan
simpatomimetik (dekongestan). Penggunaan obat ini mengurangi
edema mukosa hidung melalui rangsangan reseptor alfa dan
menghambat penglepasan histamin dari mastosit melalui
rangsangan reseptor beta.
 Dekongestan
Obat –obat dekongestan dapat dibedakan menjadi dekongestan
sistemik, biasanya peroral, misalnya fenil propanolamin, efedrin HCI
dan pseudeoefedrin HCI, dan dekongestan lokal yang terdiri dari
derivat imidazolin (oxymetazoline, xylometazoline), derivat
simpatomimetik (fenilefrin, fenil propanolamine, efedrin HCI). Suatu
dekongestan dapat diberikan secara tunggal atau kombinasi
dengan antihistamin H1 lokalisata peroral pada pengobatan rinitis
alergi.
Pemakain lama antihistamin lokal dan dekongestan tidak
dianjurkan, karena antihistamin lokal dapat menimbulkan sensitisasi
dan dekongestan lokal dapat menimbulkan iritasi dan ―rebound
phenomenon‖ seperti pada rinitis medikamentosa, sehingga
pemakaian obat ini dibatasi 3 – 4 hari.
 Kortikosteroid.
Bila hasil pengobatan antihistamin dan dekongestan belum berhasil
maka dapat diberikan kortikosteroid secara sistemik maupun
intranasal. Pengobatan lokal dengan beklometason atau flunisolid
lebih disukai, karena kerjanya langsung dan efek sampingnya yang
rendah. Untuk pemberian yang efektif biasanya memerlukan
beberapa hari sampai beberapa minggu. Efek kortikosteroid ialah
menghambat aktifitas histamin dan zat kinin vasoaktif, menstabilkan
membran sehingga penglepasan zat mediator dihambat, tetapi tidak
menghambat interaksi antar antigen dan antibodi. Di laporkan
pemberian kortikosteroid dapat mengurangi besarnya polip
hidung.48 Stabilisator mastosit, yang termasuk dalam golongan ini
adalah natrium kromolin dan ketotifen. Efek natrium kromolin
(sodium kromoglikat) ialah menurunkan pengelepasan zat mediator,

290
sehingga dianggap sebagai pengobtan pencegahan dan diberikan
sebelum terjadi kontak dengan alergen. Efek sampingnya minimal,
terutama berupa iritasi lokal. Pemakaian pada polip hidung belum
dapat dibuktikan keberhasilannya. Ketotifen, sebagai stabilisator sel
mastosit, diserap dalam saluran cerna dan dalam bentuk utuh
keluar lewat urine dan tinja. Efek sampingnya sama seperti
antihistamin H1. Trombosit secara reversibel, sehingga
penggunaan kombinasi kedua obat tersebut sebaiknya dihindari.

3. Imunoterapi (desensitisasi, hiposensitisasi).


Pemberian imunoterapi dapat dipertimbangkan bila cara-cara
konservatif tidak berhasil. Dasar dari imunoterapi adalah menyuntikkan
alergen penyebab secara bertahap dengan dosis kecil yang makin
meningkat untuk menginduksi toleransi pada penderita alergi.
Penatalaksanaan komplikasi atau faktor-faktor yang memperburuk.
Kelemahan, stress emosi, perubahan suhu yang mendadak, infeksi
yang menyertai, deviasi septum dan paparan terhadap polutan udara
lainnya yang dapat mencetuskan, memperhebat dan mempertahankan
gejala -gejala yang menyertai rinitis alergi, polip hidung dan sinusitis.
Penanganan faktor-faktor ini sama pentingnya dengan pengobatan yang
ditujukan terhadap alerginya.
4. Pengobatan operatif baru dilakukan bila pengobatan
medikamantosa gagal.
Pembedahan disini untuk mengurangi gejala alergi seperti sinusitis
dan polip nasi. Tindakan ini memungkinkan ventilasi dan drenase hidung
serta mengupayakan aliran hidung dan sinus yang memadai. Pengobatan
pada sinusitis maksila kronis, pada prinsipnya memperbaiki drenase dan
menormalkan kembali atau membuang lapisan mukosa yang telah
mengalami kerusakan. Perubahan pada mukosa sinus dapat bersifat
reversibel dan ireversibel sehingga, pengobatan sinusitis maksila, terdiri
atas
 Pengobatan konservatif.
Secara klinis untuk mengetahui keadaan mukosa yang reversibel
sangat sulit, jika pengobatan secara konservatif tidak berhasil.
Pengobatan ini meliputi obat antialergi dan dekongestan, obat
mukolitik untuk mengencerkan sekret ;obat analgetik, untuk
mengurangi rasa nyeri, obat antibiotik, sebaiknya disesuaikan
dengan hasil pemeriksaan mkirobilogik dan kultur resistensi kuman.
Biasanya diberikan antibiotik yang mempunyai spektrum luas
selama 10-14 hari.
Pungsi dan irigasi sinus maksila termasuk pengobatan konservatif,
diperlukan untuk mengeluarkan sekret dari rongga sinus maksila
yang dapat dilakukan melalui ostium sinus maksila di meatus
medius, meatus inferior dan fosa kanina. Dilakukan maksimal enam
kali setiap 2 – 3 hari sekali. Jika terdapat nanah (pus), berarti

291
pengobatan konservatif tidak berhasil dan dipertimbangkan
pengobatan secara operatif.
 Pengobatan operatif radikal.
Dengan operasi Calddwell-Luc bila kerusakan mukosa sudah
ireversibel dan gagal dengan pengobatan konservatif. Operasi ini
dilakukan dengan membuat sayatan sublabial kurang lebih dari 2
cm diatas sulkus ginggivobukalis dari insisivus 2 samapi molar 1.
Sayatan dilanjutkan sampai periosteum, kemudian periosteum
dilepaskan dan mukosa pipi tarik ke atas. Selanjutnya dibuat lubang
pada fosa kanina dan melalui lubang tersebut mukosa yang
inversibel dibersihkan

Prognosis
Prognosis sinusitis sangat baik dengan kurang lebih 70% pasien
sembuh tanpa pengobatan. Prognosis untuk penderita sinusitis akut yaitu
sekitar 40 % akan sembuh secara spontan tanpa pemberian antibiotik.
Terkadang juga penderita bisa mengalami relaps setelah pengobatan
namun jumlahnya sedikit yaitu kurang dari 5 %. Komplikasi dari penyakit ini
bisa terjadi akibat tidak ada pengobatan yang adekuat yang nantinya akan
dapat menyebabkan sinusitis kronik, meningitis, brain abscess, atau
komplikasi extra sinus lainnya (Piccirillo, dkk, 1997). Sedangkan prognosis
untuk sinusitis kronik yaitu jika dilakukan pengobatan yang dini maka akan
mendapatkan hasil yang baik. Untuk komplikasinya bisa berupa orbital
cellulitis, cavernous sinus thrombosis, intracranial extension (brain
abscess, meningitis) dan mucocele formation.

DAFTAR PUSTAKA
1. Broek, P., dkk, Buku saku ilmu kesehatan tenggorok hidung dan
telinga. Ed. 12. Jakarta: EGC. 2010, p. 113 – 117.
2. Highler, A, Boies. Buku ajar penyakit THT.
3. Soepardi, E, dkk, Telinga Hidung Tenggorok Ed. 6. Jakarta : Buku
kedokteran EGC. 1997, p. 240 – 259., Kepala & Leher. Ed. 6. Jakarta:
Balai penerbiut FKUI. 2009, p. 139 – 154.
4. Virginia, M,. Referat Siunusitis. Jakarta: 2012.
5. Widiastama, R. Mengeakkan diagnosis sinusitis. Semarang: 2001.

EPISTAKSIS
Definisi
Epistaksis adalah perdarahan yang berasal dari hidung. Epistaksis
sering kali menjadi gejala atau manifestasi dari penyakit lain. Epistaksis
anterior merupakan salah satu jenis epistaksis (perdarahan hidung) yang
berasal dari pleksus Kisselbach di septum bagian anterior atau arteri
etmoidalis anterior.1

292
Gambar 1.1. Vaskularisasi Hidung2

Etiologi
Epistaksis dapat disebabkan oleh kelainan lokal pada hidung atau kelainan
sistemik.

Tabel 1.1. Penyebab Lokal Epistaksis2


Traumatic
Nasal fracture with disruption of the nasal mucosa
Nasal surgical procedures
Nasal intubation
Digital trauma (consider obsessive-compulsive disorder in adults)
Antihistamine and steroid nasal sprays
Cocaine, snuff, and heroin sniffing
Nasal oxygen or continuous positive airway pressure
Nasal foreign bodies
Structural
Nasal septal deformity (deflections and spurs)
Septal perforations
Inflammatory disease

Viral upper respiratory infections

Bacterial sinusitis

Allergic rhinitis

Pyogenic granuloma
Granulomatous diseases (Wegener's granulomatosis, tuberculosis,
sarcoidosis, syphilis)
Environmental irritants (cigarette smoking, chemicals, pollution)

293
Tumors/vascular malformations

Angiofibroma

Aneurysms

Epidermoid carcinomas

Nasal papilloma

Adenocarcinoma

Encephalocele

Esthesioneuroblastoma

Hemangioma

Tabel 1.2. Penyebab Sistemik Epistaksis2


Coagulation deficits
Thrombocytopenia
Acquired coagulopathies
Congenital coagulopathies
Vitamin A, D, C, E, or K deficiency
Liver disease
Renal failure
Chronic alcohol abuse
Malnutrition
Polycythemia vera
Multiple myeloma
Anticoagulant drugs (aspirin, nonsteroidal antiinflammatory drugs, heparin,
Coumadin)
Leukemia
Vascular disease
Arteriosclerotic
Collagen abnormalities
Hereditary hemorrhagic telangiectasia
Cardiovascular conditions that increase venous pressure (congestive heart failure,
mitral valve stenosis)
Hypertension (unproven relationship)

294
Patofisiologi 3

Pemeriksaan arteri kecil dan sedang pada orang yang berusia


menengah dan lanjut, terlihat perubahan progresif dari otot pembuluh
darah tunika media menjadi jaringan kolagen. Perubahan tersebut
bervariasi dari fibrosis interstitial sampai perubahan yang komplet menjadi
jaringan parut. Perubahan tersebut memperlihatkan gagalnya kontraksi
pembuluh darah karena hilangnya otot tunika media sehingga
mengakibatkan perdarahan yang banyak dan lama. Pada orang yang lebih
muda, pemeriksaan di lokasi perdarahan setelah terjadinya epistaksis
memperlihatkan area yang tipis dan lemah. Kelemahan dinding pembuluh
darah ini disebabkan oleh iskemia lokal atau trauma.

Epistaksis anterior merupakan jenis epistaksis yang paling sering


dijumpai terutama pada anak-anak dan biasanya dapat berhenti sendiri.
Perdarahan pada lokasi ini bersumber dari pleksus Kiesselbach (little
area), yaitu anastomosis dari beberapa pembuluh darah di septum bagian
anterior tepat di ujung postero superior vestibulum nasi.Perdarahan juga
dapat berasal dari bagian depan konkha inferior. Mukosa pada daerah ini
sangat rapuh dan melekat pada tulang rawan dibawahnya. Daerah ini
terbuka terhadap efek pengeringan udara inspirasi dan trauma. Akibatnya
terjadi ulkus, ruptur atau kondisi patologik lainnya dan selanjutnya akan
menimbulkan perdarahan.

Diagnosis
a) Anamnesis
Tanyakan secara spesifik tentang keparahan, frekuensi, dan durasi
dari perdarahan yang dialami. Tanyakan juga kapan perdarahan terjadi,
misalnya setelah beraktivitas atau selama tidur atau berhubungan dengan
migraine. Terkadang terdapat hematemesis atau melena dikarenakan
perdarahan dari bagian posterior.

Pemeriksa perlu mencari faktor – faktor yang dapat mempengaruhi


suatu perdarahan. Hal ini dikarenakan kebanyakan dari epistaksis
disebabkan keseringan mengorek hidung, atau trauma lainnya.4

Pasien perlu ditanyakan tentang epistaksis sebelumnya, riwayat


hipertensi, penyakit sistemik lainnya, mudah memar, atau pernah
mengalami perdarahan yang cukup lama setelah suatu operasi minor. Bila
dikatakan ada pada riwayat sebelumnya maka pemeriksa harus mencurigai
adanya masalah sistemik dan diperlukan pemeriksaan hematologik.
Pastikan juga ada tidaknya riwayat leukimia atau kelainan darah lainnya
pada keluarga. 2,4

Riwayat pemakaian obat – obatan juga perlu ditanyakan khususnya


aspirin, OAINS, warfarin, heparin, ticlopidine dan dipyridamole karena obat
– obatan ini menginduksi terjadinya epistaksis.4

295
b) Pemeriksaan Fisik
Sebelum mengevaluasi pasien dengan epistaksis, pastikan
pemeriksa memiliki cahaya yang cukup, spekulum hidung, alat suction,
obat – obatan topikal (adrenalin, anestesi lokal), kauter, dan tampon. 4 Bila
pasien datang dengan adanya sumbatan pada hidung maka dilepas dahulu
sumbatannya, bekuan darah juga dibersihkan (disedot atau ditarik dengan
forsep bayonet) sehingga dapat dilakukan pemeriksaan yang lebih jelas.

Masukan spekulum nasal ke nares anterior dan lebarkan secara


vertikal. Lakukan inspeksi untuk melihat sumber perdarahan pada bagian
septum. Bila terdapat sumber perdarahan pada mukosa anterior maka
dapat dikatakan telah terjadi epistaksis anterior. Terkadang pasien datang
dengan perdarahan yang sudah berhenti atau telah diobati sehingga sulit
untuk diidentifikasi sumber perdarahan. Namun hal ini bisa diantisipasi
dengan melihat warna mukosa pada vestibulum nasi. Bila tidak
ditemukan sumber perdarahan pada bagian anterior, maka perlu dilakukan
pemeriksaan untuk nares posterior. Perlu dilakukan pembersihan bekuan
darah pada bagian nares posterior yang terkadang sulit untuk dilakukan
sehingga biasanya dilakukan dengan anestesi umum untuk mencegah
obstruksi pernapasan. Kemudian dilihat sumber perdarahannya dengan
menggunakan nasal endoscopy. 2

Periksa juga kulit untuk melihat ada tidaknya memar atau petekhie
yang dapat mengarah adanya abnormalitas darah. Pemeriksaan tanda –
tanda vital tetap dilakukan untuk mengidentifikasi hipertensi, tachycardia,
atau tanda – tanda syok. 4

c) Pemeriksaan Penunjang
 Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium sebaiknya dilakukan pada pasien
dengan epistaksis yang berat atau berulang. Pemeriksaan darah lengkap
dapat menunjukan adanya anemia pada pasien dengan epistaksis kronik
atau berat. Analisa waktu pembekuan darah dan lama perdarahan perlu
dilakukan bila ada kelainan pada trombosit. 2,4

 Radiologi
Pada umumnya pemeriksaan radiologi tidak rutin dilakukan. Bila
dari pemeriksaan awal dicurigai adanya kelainan patologi maka
pemeriksaan radiologi sangat berfungsi. 4Misalnya seorang remaja laki –
laki memiliki riwayat sering epistaksis dan perdarahannya berat bila maka
dicurigai adanya angiofibroma nasofaring. Jika dari pemeriksaan fisik sulit
diindetifikasi maka pemeriksaan radiologi sangat diperlukan. Dalam hal ini
dapat dipakai dengan pemeriksaan CT – scan, MRI, angiography, atau
carotid angiography. Bila pasien memiliki riwayat HHT (hereditary
hemorrhagic telangiectasia) dengan aktif epistaksis dan hemoptisis maka
foto rontgen thorax.4

296
Penatalaksanaan

Tiga prinsip utama dalam menanggulangi epistaksis 3:


 Menghentikan perdarahan
 Mencegah komplikasi
 Mencegah berulangnya epistaksis

Menghentikan perdarahan dari epistaksis anterior dapat dilakukan


dengan menekan hidung dari luar selama 10 – 15 menit. Posisi kepala
pasien harus tetap elevasi namun jangan hiperekstensi karena dapat
menyebabkan darah mengalir ke arah pharynx sehingga dapat
menyebabkan aspirasi.4

Gambar 1.3. Cara menghentikan epistaksis anterior 5

Bila dengan cara ini tidak membaik, maka dilakukan pemasangan


tampon telah diberi pelumas dan adrenalin yang telah diencerkan (1 :
10.000) dan lidocain 2%pada rongga hidung. Bila sumber perdarahan
dapat terlihat, tempat asal perdarahan dikaustik dengan larutan nitras
argenti (AgNO3) 25 – 30 %. Trauma minor dan memeras hidung sebaiknya
dihindari dan pemberian ointment diperlukan selama 1 – 3 minggu.

Gambar 1.4. Kauter 5

297
Gambar 1.5. Manajemen Epistaksis 2

Obat – obatan yang dapat diberikan adalah antibiotik oral atau


topikal, antifibrinolitik dan medikasi untuk penyakit yang mendasari
terjadinya epistaksis.

Untuk mencegah terjadinya epistaksis berulang pasien diharapkan


untuk

 Jangan mengorek hidung,


 Jangan terlalu keras bila sisih (mengeluarkan lendir dari
hidung),
 menggunakan humidifier dalam ruangan selama musim
dingin,
 menggunakan semprot hidung berisi saline (over the
counter) sebelum tidur,
 oleskan vaseline/petroleum jelly dekat lubang hidung
sebelum tidur,
 kurangi aktivitas dan bila terjadi perdarahan dapat dilakukan
kompres air es atau es batu,
 menghindari trauma padawajah,
 menggunakan masker bila bekerja di laboratorium untuk
menghindari menghirup zat-zat kimia secara langsung,
 hindariasaprokokkarenaasapdapat mengeringkan dan
mengiritasi mukosa,

298
 jika menderita alergi berikan obat anti alergi untuk
mengurangi gatal pada hidung,
 stop pemakaian aspirin karena akan memudahkan
terjadinya mimisan dan membuat mimisan berkepanjangan.

Prognosis
Secara umum prognosis dari epistaksis anterior adalah baik namun
dapat bervariasi pada setiap orang. Bila penangannya adekuat dan telah
diatasi masalah medis yang mendasari maka sebagian besar pasien tidak
lagi menunjukan perdarahan yang berulang. Beberapa yang lain dapat
terjadi pengulangan perdarahan namun dapat membaik sendiri. 4

299
C. TENGGOROKKAN

TONSILITIS

Definisi

Tonsillitis merupakan peradangan tonsila palatine yang merupakan


bagian dari cincin waldeyer. Cincin waldeyer terdiri atas susunan Kelenjar
limfe yang terdapat di rongga mulut yaitu : tonsila faryngeal (adenoid),
tonsila palatine (tonsila faucial), tonsil lingual (tonsil pangkal lidah), tonsil
tuba Eustachius (lateral band dinding faring/Gerlach‘s tonsil).

Tonsilitis akut adalah radang akut yang disebabkan oleh kuman


streptococcus beta hemolyticus, streptococcus viridans dan streptococcus
pyogenes, dapat juga disebabkan oleh virus. Tonsilitis akut merupakan
suatu inflamasi akut yang terjadi pada tonsilla palatina, yang terdapat pada
daerah orofaring disebabkan oleh adanya infeksi maupun virus.

Penyebaran infeksi melalui udara (air borne droplets), tangan dan


ciuman. Dapat terjadi pada semua umur, terutama anak-anak.

Jenis Tonsilitis Berdasarkan Etiologi

a. Tonsilitis Viral
Penyebab tersering tonsillitis virus adalah virus Eipstein Barr.
Hemofilus influenza merupakan penyebab tonsillitis akut supuratif.
Jika terjadi infeksi virus Coxschakie, maka pada pemeriksaan
rongga mulut akan tampak luka-luka kecil pada palatum dan tonsil
yang sangat nyeri dirasakan pasien.
Gejala yang timbul pada tonsillitis viras umumnya menyerupai
common cold yang disertai rasa nyeri tenggorok.

b. Tonsilitis Bakterial
Radang akut pada tonsil dapat disebabkan kuman grup A
Streptokokus β hemolitikus yang dikenal sebagai strep throat,
Pneumokokus, Streptokokus viridian dan Streptokokus piogenes.
Infiltrasi bakteri pada lapisan epitel jaringan tonsil akan
menimbulkan reaksi radang berupa keluarnya leukosit
polimorfonuklear sehingga terbentuk detritus. Detritus ini
merupakan kumpulan leukosit, bakteri yang mati dan epitel yang
terlepas. Secara klinis detritus ini mengisi kriptus tonsil dan tampak
sebagai bercak kuning.

Bentuk tonsillitis akut dengan detritus yang jelas disebut tonsillitis


folikularis. Bila bercak-bercak detritus ini menjadi satu, membentuk
alur-alur maka akan terjadi tonsillitis lakunaris. Bercak-bercak

300
detritus dapat melebar sehingga terbentuk membrane semu
(pseudomembrane) yang menutupi tonsil.

Manifestasi klinik

Gejala pada tonsillitis akut adalah rasa gatal/ kering ditenggorokan,


anoreksia, otalgia, tonsil membengkak. Dimulai dengan sakit tenggorokan
yang ringan hingga menjadi parah, sakit menelan, kadang muntah. Pada
tonsillitis dapat mengakibatkan kekambuhan sakit tenggorokan dan
keluarnya nanah pada lekukan tonsil.

Tanda klinisnya dijumpai tonsil membengkak dan meradang. Tonsila


biasanya bercak-bercak dan kadang-kadang diliputi oleh eksudat. Eksudat
ini mungkin keabu-abuan dan kekuningan. Eksudat ini dapat berkumpul,
membentuk membran dan pada beberapa kasus dapat terjadi nekrosis
jaringan lokal.

Keluhan utama yang paling sering adalah sakit tenggorokan dan infeksi
saluran nafas atas. Penyebab utama yang paling banyak pada tonsilitis
akut adalah bakteri grup A streptococcus B hemoliticus, disamping itu
penyebab terbanyak biasanya disebabkan oleh virus.

301
Gambar 7. Tonsillitis akut disertai detritus Gambar 8. Tonsilitis
virus Eipstein Barr

Diagnosis

Diagnosis adanya Tonsilitis dapat dimulai dengan

 Anamnesis didapatkan keluhan-keluhan pasien sesuai dengan


gejala kliniknya
 Pemeriksaan Fisik : ditemukan adanya gambaran tonsil yang merah,
membengkak dan dapat disertai adanya Detritus. Pengukuran
besarnya tonsil dapat menggunakan rasio perbandingan tonsil
dengan orofaring, dengan mengukur jarak antara permukaan medial
kedua tonsil, maka gradasi pembesaran tonsil dapat dibagi menjadi:

o T0 : tonsil masuk di dalam fossa atau sudah diangkat.


o T1 : < 25% volume tonsil dibandingkan dengan volume
orofaring atau batas medial tonsil melewati pilar anterior
sampai ¼ jarak pilar anterior -uvula.
o T2 : 25-50% volume tonsil dibandingkan dengan volume
orofaring atau batas medial tonsil melewati ¼ jarak pilar
anterior – uvula sampai ½ jarak pilar anterior-uvula.
o T3 : 50-75% volume tonsil dibandingkan dengan volume
orofaring atau batas medial tonsil melewati ½ jarak pilar
anterior-uvula sampai ¾ jarak pilar anterior-uvula.
o T4 : > 75% volume tonsil dibandingkan dengan volume
orofaring atau batas medial tonsil melewati ¾ jarak pilar
anterior-uvula atau lebih.

Gambar 9. Skala pengukuran pembesaran tonsil

 Pemeriksaan penunjang : pemeriksaan penunjang dapat dilakukan


dengan swab atau mengambil apusan daerah mucosal tonsil
kemudian dilakukan identifikasi penyebab serta dilakukan kultur,
serta pemeriksaan darah lengkap.

302
Penatalaksanaan Tonsilitis

Pada umumnya penderita dengan tonsillitis akut serta demam sebaiknya


tirah baring, pemberian cairan adekuat dan diet ringan. Aplikasi lokal
seperti obat tenggorokan, dianggap mempunyai arti yang relatif kecil.
Sedangkan analgesik oral efektif dalam mengendalikan rasa tidak enak.
Penggunaan obat kumur masih dipertanyakan, apakah dengan
berkumur tidak membawa banyak cairan berkontak dengan dinding faring,
karena dalam beberapa hal cairan ini tidak mengenai lebih dari tonsila
palatina.
Terapi antibiotik dikaitkan dengan biakan dan sensitifitas yang tepat.
Penicillin masih merupakan obat pilihan kecuali jika organismenya resisten
terhadap penicillin. Jika hal ini terjadi, dapat digunakan eritromisin atau
antibiotic spesifik yang sesuai dengan organism. Pada organism yang
memilki enzim β-laktamase dapat diberikan kombinasi obat Ampicillin
dengan asam klavulanat. Pengobatan sebaiknya diberikan selama
perjalanan klinis penyakit, sekitar 7-14 hari.
Selain antibiotic dapat juga diberikan obat berupa kortikosteroid.
Kortiosteroid dapat memperpendek durasi demam dan infeksi. Jenis
kortikosteroid yang dapat diberikan berupa dexametashon ataupun
prednisone.
Analgetik diberikan untuk dalam manajemen demam dan nyeri yang
dialami pasien. Kombinasi analgetik dan antipiretik dapat membuat pasien
lebih nyaman. Obat yang dapat diberikan misalnya golongan aspirin,
ibuprofen dan golongan acetaminophen.
Sedangkan indikasi dilakukannya tonsilektomy menurut The American
Academy of Otolaryngology-Head and Surgery (AAO-HNS) adalah:

1. Indikasi Absolut
a. Pembengkakan tonsil yang menyebabkan obstruksi saluran
napas, disfagia berat, gangguan tidur dan komplikasi
kardiopulmoner
b. Abses peritonsil yang tidak membaik dengan pengobatan
medis dan drainase
c. Tonsillitis yang menimbulkan kejang demam
d. Tonsillitis yang membutuhkan biopsy untuk menentukan
patologi anatomi
2. Indikasi relatif
a. Terjadi 3 episode atau lebih infeksi tonsil pertahun dengan
terapi antibiotic yang adekuat
b. Halitosis akibat tonsillitis kronik yang tidak membaik dengan
pemberian terapi medis
c. Tonsillitis kronik yang berulang pada karier streptokokus yang
tidak membaik dengan pemberian antibiotik β-laktamase
resisten.

303
Komplikasi Tonsilitis

Komplikasi yang dapat ditimbulkan oleh tonsillitis, yaitu:

a. Abses Peritonsiler
Terjadi diatas tonsil dalam jaringan pilar anterior dan palatum mole.
Abses ini terjadi beberapa hari setelah infeksi akut dan biasanya
disebabkan oleh streptokokuas grup A.

b. Otitis Media Akut


Infeksi dapat menyebar ke telinga tengah melalui tuba auditorius
(eustachii) dan dapat menimbulkan otitis media yang dapat
mengakibatkan rupture spontan membrane timpani.

c. Mastoiditis Akut
Rupture spontan membrane timpani lebih jauh menyebar infeksi ke
dalam sel-sel mastoid.

Komplikasi lain adalah dehidrasi, demam, kesulitan bernapas, gangguan


suara, aspirasi, otalgia, pembengkakan uvula, insufisiensi velopharyngeal,
stenosis faring, lesi di bibir, lidah, gigi dan pneumonia.

Pada anak sering menimbulkan komplikasi otitis media akut, sinusitis,


abses peritonsiler (Quincy throat), abses parafaring, bronchitis,
glomerulonefritis akut, miokarditis, arthritis serta septicemia akibat infeksi v.
Jugularis interna (SindromLemierre).
Akibat hipertrofi tonsil akan menyebabkan pasien bernapas melalui
mulut, tidur mendengkur (ngorok), gangguan tidur karena terjadinya sleep
apnea yang dikenal sebagai Obstructive Sleep Apnea Syndrome (OSAS).

Prognosis Tonsilitis

Tonsilitis biasanya sembuh dalam beberapa hari dengan beristrahat dan


pengobatan suportif. Menangani gejala-gejala yang timbul dapat membuat
penderita Tonsilitis lebih nyaman. Bila antibiotika diberikan untuk
mengatasi infeksi, antibiotika tersebut harus dikonsumsi sesuai arahan
demi penatalaksanaan yang lengkap, bahkan bila penderita telah
mengalami perbaikan dalam waktu yang singkat. Gejala yang tetap ada
dapat menjadi indikasi bahwa penderita mengalami infeksi saluran nafas
lainnya, infeksi yang sering terjadi yaitu infeksi pada telinga dan sinus.
Pada kasus yang jarang, Tonsilitis dapat menjadi sumber dari infeksi serius
seperti demam rematik atau pneumonia.

Pencegahan Tonsilitis

Bakteri dan virus penyebab Tonsilitis dapat dengan mudah menyebar


dari satu penderita ke orang lain. Tidaklah jarang terjadi seluruh keluarga

304
atau beberapa anak pada kelas yang sama datang dengan keluhan yang
sama, khususnya bila Streptokokus pyogenase adalah penyebabnya.
Risiko penularan dapat diturunkan dengan mencegah terpapar dari
penderíta Tonsilitis atau yang memiliki keluhan sakit menelan. Gelas
minuman dan perkakas rumah tangga untuk makan tidak dipakai bersama
dan sebaiknya dicuci dengan menggunakan air panas yang bersabun
sebelum digunakan kembali. Sikat gigi yang talah lama sebaiknya diganti
untuk mencegah infeksi berulang. Orang-orang yang merupakan karier
Tonsilitis semestinya sering mencuci tangan mereka untuk mencegah
penyebaran infeksi pada orang lain.

DAFTAR PUSTAKA

1. Soepardi, Efiati Arsyat, Nurbaiti Iskandar, dkk. Buku Ajar Ilmu


Kesehatan THT. 2007. Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia.
2. Adams, Lawrence Boies, Peter Highler. Boies Fundamental of
Otolaryngologi. Buku Ajar Penyakit THT.1997. Jakarta : EGC.
3. Faqih, Daeng dkk. Buku Panduan Praktik Klinis bagi Dokter
Pelayanan Primer. 2013. Jakarta:IDI
4. Lalwani, Anil K. Current Diagnosis and Treatment. Otolaryngology
Division. New York.
5. Syah, udayan K. Tonsilitis and Peritonsilar Abscess. 2014.
Available from : http://emedicine.medscape.com/article/871977

305
MODUL TUTORIAL

306
TUGAS MAHASISWA :
1. Setelah membaca dengan teliti skenario diatas, mahasiswa
mendiskusikannya dalam satu kelompok diskusi yang dipimpin oleh
seorang ketua dan memilih seorang notulen untuk mencatat semua
hasil diskusi.
2. Melakukan aktivitas pembelajaran individual dengan mencari bahan
informasi yang mendukung diskusi.
3. Melakukan diskusi kelompok mandiri (tanpa tutor).
4. Berkonsultasi pada narasumber yang ahli pada permasalahan
dimaksud untuk memperoleh pengertian yang lebih mendalam.
5. Mengikuti kuliah (kuliah pakar) dalam kelas untuk masalah yang belum
jelas.

PROSES PEMECAHAN MASALAH


Dalam diskusi kelompok, mahasiswa memecahkan problem yang terdapat
dalam skenario ini, dengan melakukan 7 langkah dibawah ini :
1. Klarifikasi istilah yang tidak jelas dalam skenario diatas dan tentukan
minimal kata/kalimat kunci skenario diatas.
2. Identifikasi problem dasar skenario diatas, dengan membuat beberapa
pertanyaan penting.
3. Analisa problem-problem tersebut dengan menjawab pertanyaan-
pertanyaan diatas.
4. Klasifikasi jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut diatas.
5. Tentukan tujuan pembelajaran yang ingin dicapai oleh mahasiswa atau
kasus diatas. Langkah 1 sd 5 dilakukan dalam diskusi pertama
bersama tutor.
6. Cari informasi tambahan tentang kasus diatas diluar kelompok tatap
muka. Langkah 6 dilakukan dengan belajar sendiri-sendiri atau diskusi
berkelompok tidak dengan tutor.
7. Laporkan hasil diskusi dan sintesis informasi-informasi yang baru
ditemukan. Langkah 7 dilakukan dalam kelompok diskusi dengan tutor.

JADWAL KEGIATAN
1. Pertemuan pertama dalam kelas besar dengan tatap muka satu arah
dan tanya jawab. Tujuan : menjelaskan tentang modul dan cara
menyelesaikan modul, dan membagi kelompok diskusi. Pada
pertemuan pertama buku modul dibagikan.
2. Pertemuan kedua : diskusi mandiri. Tujuan :
 Memilih ketua dan sekretaris kelompok
 Brainstorming untuk proses 1 – 3
 Membagi tugas
3. Pertemuan ketiga : diskusi tutorial dipimpin oleh mahasiswa yang
terpilih menjadi ketua dan penulis kelompok, serta difasilitasi oleh tutor.
Tujuan : untuk melaporkan hasil diskusi mandiri dan menyelesaikan
proses sampai langkah 5.

307
4. Anda belajar mandiri baik sendiri-sendiri. Tujuan : untuk mencari
informasi baru yang diperlukan
5. Pertemuan keempat : adalah diskusi tutorial. Tujuan : untuk
melaporkan hasil diskusi lalu dan mensintese informasi yang baru
ditemukan. Bila masih diperlukan informasi baru dilanjutkan lagi seperti
no. 2 dan 3.
6. Pertemuan terakhir : dilakukan dalam kelas besar dengan bentuk
diskusi panel untuk melaporkan hasil diskusi masing-masing kelompok
dan menanyakan hal-hal yang belum terjawab pada ahlinya (temu
pakar).

SUMBER BACAAN
A. Buku Ajar
1. Fitzpetrick (Dermatology In General Medicine)
2. Mosechella (Dermatology)
3. Ilmu Penyakit Kulit (FK-UNHAS)

B. Sumber Lain
1. Internet
2. VCD
3. Journal
4. Majalah-majalah ilmiah lainnya

308
SKENARIO 1
GATAL

CAPAIAN PEMBELAJARAN UMUM:


Setelah mempelajari modul ini mahasiswa diharapkan dapat menjelaskan
tentang penyebab, patomekanisme, gambaran klinik, pemeriksaan
penunjang, penatalaksanaan, komplikasi pencegahan pengendalian
penyakit-penyakit yang menyebabkan radang kulit.

CAPAIAN PEMBELAJARAN:
Setelah mempelajari modul ini diharapkan mahasiswa dapat :
1. Menyebutkan organ-organ yang berkaitan dengan sistem
penginderaan khususnya organ kulit.
2. Menjelaskan histologi kulit
3. Menjelaskan fisiologi
4. Menjelaskan mekanisme terjadinya penyakit radang kulit
5. Menjelaskan penyakit-penyakit yang menimbulkan radang kulit
6. Menjelaskan gambaran klinik penyakit radang kulit
7. Menjelaskan patomekanisme penyakit-penyakit radang kulit
8. Menjelaskan pemeriksaan-pemeriksaan penunjang yang bisa
membantu diagnosa penyakit radang kulit
9. Menjelaskan penatalaksanaan yang diberikan pada penderita
penyakit-penyakit dengan radang kulit
10. Menjelaskan promotif dan preventif penyakit radang kulit.

KASUS

SKENARIO :
Seorang wanita 20 tahun datang ke Rumah sakit dengan keluhan gatal dan
bercak kemerahan disertai sisik pada daerah badan yang telah dialami
sejak 2 minggu yang lalu. Riwayat keluarga menderita penyakit yang sama
tidak ada. Hasil pemeriksaan laboratorium dalam batas normal.

309
PROBLEM TREE

Anamnesis : Fisik Diagnostik : Diagnosis Penunjang


1. Keluhan utama - Pemeriksaan kulit - Biopsi
2. Waktu kejadian - Pemeriksaan efloresensi - Radiologi
3. Gejala sebelumnya kulit dengan loop - Laboratorium
4. Gejala yang menyertai - Tes kulit
5. Riwayat penyakit sistemik 1. Fenomena Koebner
6. Riwayat keluarga 2. Auspitz Sign
3. Fenomena tetesan
lilin

Penyakit-penyakit Radang
Kulit :
Penyebab dan - Psoriasis
patomekanisme - Dermatitis seboroik
- Pityriasis rosea
- Parapsoriasis
- Eritroderma
- Anatomi
- Liken planus
- Histologi
- Fisiologi radang kulit DIAGNOSIS
GATAL

Epidemiologi Penatalaksanaan

Prevalensi & Pengendalian Medikamentosa Non-Medikamen


Insidens

Preventif Promotif

310
SKENARIO II
“BINTIL KEMERAHAN PADA KULIT”

CAPAIAN PEMBELAJARAN UMUM:


Setelah mempelajari modul ini, mahasiswa akan dapat menjelaskan
tentang penyebab, patomekanisme, gambaran klinik, pemeriksaan
penunjang, penatalaksanaan, komplikasi pencegahan dan pengendalian
bercak hitam pada kulit.

CAPAIAN PEMBELAJARAN:
Setelah mempelajari modul ini, mahasiswa diharapkan dapat :
1. Menyebutkan organ-organ yang berkaitan dengan sistem penginderaan
khususnya organ kulit.
2. Menjelaskan histologi kulit.
3. Menjelaskan fisiologi.
4. Menjelaskan mekanisme terjadinya bercak hitam pada kulit.
5. Menjelaskan penyakit-penyakit yang menimbulkan bercak hitam pada
kulit.
6. Menjelaskan gambaran klinik bercak hitam pada kulit.
7. Menjelaskan patomekanisme bercak hitam pada kulit.
8. Menjelaskan pemeriksaan-pemeriksaan penunjang yang bisa
membantu diagnosa bercak hitam pada kulit.
9. Menjelaskan penatalaksanaan yang diberikan pada penderita bercak
hitam pada kulit.
10. Menjelaskan promotif dan preventif bercak hitam pada kulit.

KASUS :
Skenario :
Seorang laki-laki 17 tahun datang ke rumah sakit dengan keluhan bintil
kemerahan pada daerah wajah yang telah dialami sejak 1 bulan yang lalu.
Riwayat keluarga menderita penyakit yang sama tidak ada. Hasil
pemeriksaan laboratorium dalam batas normal.

311
PROBLEM TREE

Anamnesis : Fisik Diagnostik : Diagnosis Penunjang


1. Keluhan utama - Pemeriksaan kulit - Biopsi
2. Waktu kejadian - Pemeriksaan efloresensi - Laboratorium
3. Gejala sebelumnya kulit dengan loop
4. Gejala yang menyertai - Tes kulit dengan
5. Riwayat penyakit sistemik Sebumeter
6. Riwayat keluarga

Penyakit-penyakit Radang
Kulit :
Penyebab dan - Akne Vulgaris
patomekanisme - Rosasea
- Dematitis Perioral
- Erupsi Akneiformis
- Anatomi
- Histologi
DIAGNOSIS
BINTIL DI WAJAH

Epidemiologi Penatalaksanaan

Prevalensi & Pengendalian Medikamentosa Non-Medikamen


Insidens

Preventif Promotif

312
SKENARIO III
“BERCAK HITAM PADA KULIT”

CAPAIAN PEMBELAJARAN UMUM:


Setelah mempelajari modul ini, mahasiswa akan dapat menjelaskan
tentang penyebab, patomekanisme, gambaran klinik, pemeriksaan
penunjang, penatalaksanaan, komplikasi pencegahan dan pengendalian
bercak hitam pada kulit.

CAPAIAN PEMBELAJARAN:
Setelah mempelajari modul ini, mahasiswa diharapkan dapat :
1. Menyebutkan organ-organ yang berkaitan dengan sistem
penginderaan khususnya organ kulit.
2. Menjelaskan histologi kulit.
3. Menjelaskan fisiologi.
4. Menjelaskan mekanisme terjadinya bercak hitam pada kulit.
5. Menjelaskan penyakit-penyakit yang menimbulkan bercak hitam pada
kulit.
6. Menjelaskan gambaran klinik bercak hitam pada kulit.
7. Menjelaskan patomekanisme bercak hitam pada kulit.
8. Menjelaskan pemeriksaan-pemeriksaan penunjang yang bisa
membantu diagnosa bercak hitam pada kulit.
9. Menjelaskan penatalaksanaan yang diberikan pada penderita bercak
hitam pada kulit.
10. Menjelaskan promotif dan preventif bercak hitam pada kulit.

KASUS :

Skenario :
Seorang wanita 35 tahun datang ke Rumah Sakit dengan keluhan bercak
hitam pada daerah pipi kiri dan kanan yang telah dialami sejak 4 bulan
yang lalu. Riwayat keluarga menderita penyakit yang sama tidak ada.
Hasil pemeriksaan laboratorium dalam batas normal.

313
PROBLEM TREE

Anamnesis : Fisik Diagnostik : Diagnosis Penunjang


1. Keluhan utama - Pemeriksaan kulit - Biopsi
2. Waktu kejadian - Pemeriksaan efloresensi - Radiologi
3. Gejala sebelumnya kulit dengan loop - Laboratorium
4. Gejala yang menyertai - Tes kulit:
5. Riwayat penyakit sistemik Lampu wood
6. Riwayat keluarga

Penyakit-penyakit Radang
Kulit :
- Melasma
Penyebab dan - Lentigo
patomekanisme - Nevis pigmentosus
- Xeroderma pigmentosus
- Hiperpigmentasi Post
Inflamasi
- Anatomi
- Melanoma
- Histologi
DIAGNOSIS
BERCAK HITAM

Epidemiologi Penatalaksanaan

Prevalensi & Pengendalian Medikamentosa Non-Medikamentosa


Insidens

Preventif Promotif

314

Anda mungkin juga menyukai