KHUSUS
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS NUSA CENDANA
2017
TIM PENYUSUN
2
KONTRIBUTOR
3
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena
kebaikanNYA sehingga kami dapat menyelesaikan Modul Indera Khusus
tahun 2017. Modul Blok ini disusun untuk menjadi panduan bagi
mahasiswa fase akademik dan menjadi bahan ajar bagi dosen, selama
Blok Indera Khusus di semester 4. Blok Indera khusus merupakan Blok
ketiga di semester 4, yang dilaksanakan selama 5 minggu. Modul ini, terdiri
dari 3 modul yakni, modul Kuliah, modul tutorial dan modul praktikum.
Modul ini disusun berdasakan capaian pembelajaran (CP) yang terdapat
pada Blueprint Blok (mesokurikulum) FK Undana. Pada modul kuliah, berisi
CP pada setiap topik kuliah serta materi singkat terkait CP perkuliahan.
Modul tutorial berisi modul tutorial pegangan mahasiswa dan modul tutorial
pegangan tutor. Pada kedua modul tutorial ini berisi skenario kasus, CP
setiap skenario, langkah-langkah melakukan tutorial (seven jump), serta
lembar penilaian tutorial. Khusus untuk modul tutorial pegangan tutor,
ditambahkan teori singkat mengenai skenario, sehingga memudahkan
tutor dalam memfasilitasi jalannya tutorial, sehingga diharapkan pada akhir
tutorial CP tiap skenario dapat tercapai. Pada Modul Blok Indera khusus,
juga memuat modul praktikum yang berisi capaian pembelajaran topik
praktikum dan panduan praktikum yang akan menjadi panduan bagi
mahasiswa saat melakukan praktikum pada blok Indera khusus.
Modul Blok Indera khusus Tahun 2017, akan terus dievaluasi oleh Sie
Kurikulum Medical Education Unit, sehingga Tim Penyusun mengharapkan
saran dan kritik untuk perbaikan demi menjaga mutu lulusan FK Undana.
Besar harapan kami agar Modul Blok Indera khusus dapat berguna bagi
mahasiswa maupun dosen, demi tercapainya lulusan FK Undana yang
mempunyai kompetensi sesuai dengan Kerangka Kualifikasi Nasional
Indonesia (KKNI) dan Standar Kompetensi Dokter Indonesia (SKDI).
Tim Penyusun
4
DAFTAR ISI
COVER...................................................................................................... i
DAFTAR ISI............................................................................................... v
PENDAHULUAN ....................................................................................... 6
5
PENDAHULUAN
6
MODUL KULIAH
7
BAB I
ILMU PENYAKIT KULIT
Capaian Pembelajaran :
8
Melanoma Maligna, Alopesia, Areata, Alopesia androgenik, Telogen
eflluvium,Psoriasis vulgaris
A. IMPETIGO
Definisi
Klasifikasi
Gejala Klinis
1. Impetigo Krustosa
Keluhan utama adalah rasa gatal. Lesi awal berupa makula
eritematosa berukuran 1 – 2 mm, segera berubah menjadi vesikel
dan bula. Karena dinding vesikel tipis, mudah pecah dan
mengeluarkan sekret seropurulen kuning kecoklatan, selanjutnya
mengering membentuk krusta yang berlapis-lapis. Krusta mudah
dilepaskan, dibawah krusta terdapat daerah erosif yang
mengeluarkan sekret, sehingga krusta kembali menebal.
Tempat Predileksi : di muka, yakni di sekitar lubang hidung dan
mulut karena dianggap sumber infeksi dari daerah tersebut.
Efloresensi : krusta tebal berwarna kuning seperti madu dan
mudah diangkat.
9
2. Impetigo Bulosa
Lepuh tiba-tiba muncul pada kulit sehat, bervariasi mulai dari miliar
hingga lentikular, biasanya dapat bertahan 2 – 3 hari. Berdinding
tebal dan terdapat hipopion. Bila pecah menimbulkan krusta yang
berwarna coklat datar dan tipis.
Tempat Predileksi : di ketiak, dada dan punggung.
Efloresensi : tampak bula dengan dinding tepal dan tipis, miliar
hingga lentikular, kulit sekitarnya tidak menunjukkan
peradangan, terkadang-kadang tampak hipopion.
Penegakkan Diagnosa
10
b. Pemeriksaan Lain
Titer anti-streptolysin-O (ASO), mungkin akan menunjukkan hasil
positif lemah untukStreptococcus, tetapi pemeriksaan ini jarang
dilakukan.Streptozyme, menunjukkan hasil positif untuk
Streptococcus, tetapi pemeriksaan ini jarang dilakukan.
Pemeriksaan kultur dan sensitifitas bakteri.
Diagnosa Banding
11
Penatalaksanaan
a. Topikal
Untuk lesi yang kering dapat diberikan salep/krim antibiotik topikal, yaitu
basitrasin, neomisin, mupirosin 2% atau asam fusidat, diberikan di kulit
yang terinfeksi 3x sehari selama 3 sampai 5 hari. Untuk lesi yang basah
dapat dikompres terbuka dengan larutan permanganas kalikus 1/5000,
larutan rivanol dan yodium povidon 7,5 % yang dilarutkan 10 kali.
b. Sistemik
Pencegahan
Komplikasi
Impetigo biasanya sembuh tanpa penyulit dalam dua minggu walaupun
tidak diobati. Kómplikasi berupa radang ginjal pasca infeksi Streptococcus
terjadi pada 1-5% pasien terutama usia 2-6 tahun dan hal ini tidak
dipengaruhi oleh pengobatan antibiotik.Gejala berupa bengkak tekanan
darah tinggi, terdapaturin seperti warna teh. Keadaan ini umumnya sembuh
secara spontan walaupungejala-gejala tadi muncul.
12
Prognosis
Secara umum prognosis dari penyakit ini adalah baik jika dilakukan
pengobatan yang teratur, meskipun dapat pula komplikasi sistemik seperti
glomerulonefritis dan lain-lain. Lesi mengalami perbaikan setelah 7-10 hari
pengobatan.
DAFTAR PUSTAKA
1. Adhi Djuanda, Mochtar Hamzah, Siti Aisah. 2006. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi ke-4. Jakarta: FKUI.
2. Arthur Rook, D.S. Wilkinson, F.J.G Ebling. 1979. Impetigo. Textbook of
Dermatology. Edisi ke-3, Vol 2, Hal 338-341.
3. Freedberg , Irwin M. (Editor), Arthur Z. Eisen (Editor), Klauss Wolff
(Editor), K. Frank Austen (Editor), Lowell A. Goldsmith (Editor),
Stephen Katz (Editor). Fitzpatrick's Dermatology In General Medicine
(Two Vol. Set). 6th edition (May 23, 2003): By McGraw-Hill
Professional.
4. Siregar, R.S, 2005. Atlas Berwama Saripati Penyakit Kulit. Edisi
Kedua. Jakarta: EGC. Hal. 45-49.
13
B. IMPETIGO ULSERATIF (EKTIMA)
Definisi
Gejala Klinis
Penegakkan Diagnosa
Temuan Laboratorium
- Pemeriksaan Gram dapat ditemukan kokkus gram-possitive.
- Kultur dapat terisolasi Staphylococcus aureus dan atau kedua-
duanya Streptococcus group A.
- Streptococcal Antibody Assay, tidak memberi nilai pada
diagnosis dan penatalaksannaan namun dapat sangat menolong
temuan recents streptococcal infection pada pasien dengan
dugaan poststreptococcal glomerulonefritis.
14
Diagnosa Banding
a. Folikulitis
b. Impetigo Krustosa
Penatalaksanaan
Penatalaksanaan pada ektima sama dengan penatalaksanaan pada
impetigo. Jika terdapat sedikit, krusta diangkat lalu diolesi dengan salap
antibiotik. Kalau banyak, juga diobati dengan antibiotik sistemik.
a. Topikal
Terapi topikal yang dapat diberikan berupa desinfektan topikal atau
ointment seperti asam fusidat. Mupirocin dan retapaminolen dapat
sangat efektif dalam mengeliminasi kedua S. Aureus, termasuk
MRSA, dari daerah sekitar dan pada lesi kutaneus. Gunakan dua kali
sehari pada kulit lesi dan daerah sekitarnya 5-10hari.
Sedangkan Salep Mupirocin digunakan untuk terapi infeksi kulit yang
sering sisebabkan oleh bakteri stafilokok atau streptokok baik pada
dewasa maupun pada anak-anak. Penelitian-penelitian mutakhir
menganjurkan aplikasi 2 kali sehari selama 5hari.
b. Sistemik
Antibiotik oral yang direkomendasikan jika infeksinya meluas atau
memberikan respon lambat pada antibiotik topikal. Antibiotik yang
dipilih ialah golongan penisilin, atau apapun antibiotik yang dipilih
haruslah dapat menanggulangi kedua bakteri penyebab yaitu
Streptococcus dan Staphylococcus aureus (biasanya dicloxalicin atau
fluoxacillin). Durasi pengobatan pun bervariasi, beberapa minggu dari
terapi sangat memungkinkan menanggulangi ektima.
Pencegahan
Mandi Tiap hari. Sabun batang Benzoyl Peroxyde. Mengecek tanda
dan gejala Impetigo di seluruh anggota keluarga.Ethanol atao Isoprophil gel
untuk tangan dan atau bagian yang termasuk didalamnya.
Komplikasi
Infeksi luas pada tubuh.
Kerusakan kulit permanen dengan bekas luka.
Komplikasi Nonsupuratif dari Infeksi Kulit Streptokokus termasuk
demam scarlet dan glomerulonefritis akut.
Prognosis
15
DAFTAR PUSTAKA
16
C. FOLIKULITIS, FURUNKEL DAN KARBUNKEL
Definisi
Klasifikasi
Gejala Klinis
Tanda radang + + +
(nyeri, dst)
Penegakkan Diagnosa
17
diambil dari pus dan pemeriksaan sensitivitas antibiotik dapat menentukan
terapi.
Diagnosa Banding
Penatalaksanaan
Folikulitis kadang dapat sembuh sendiri setelah dua atau tiga hari,
tetapi pada beberapa kasus yang persisten dan rekuren perlu
penanganan.:
1. Umum
2. Khusus
Penisilin G prokain,
Dosisnya 1,2 juta/ hari, I.M. Dosis anak 10000 unit/kgBB/hari.
Penisilin merupakan obat pilihan (drug of choice), walaupun di
rumah sakit kota-kota besar perlu dipertimbangkan kemungkinan
adanya resistensi. Obat ini tidak dipakai lagi karena tidak praktis,
diberikan IM dengan dosis tinggi, dan semakin sering terjadi syok
anafilaktik.
Ampisilin
Dosisnya 4x500 mg, diberikan 1 jam sebelum makan. Dosis anak
50-100mg/kgBB/hari dibagi dalam 4 dosis.
Amoksisilin
Dosisnya sama dengan ampsilin, dosis anak 25-50 mg/kgBB/hari
dibagi dalam 3 dosis. Kelebihannya lebih praktis karena dapat
diberikan setelah makan. Juga cepat absorbsi dibandingkan dengan
ampisilin sehingga konsentrasi dalam plasma lebih tinggi
Golongan obat penisilin resisten-penisilinase
Yang termasuk golongan obat ini, contohnya: oksasilin,
dikloksasilin, flukloksasilin. Dosis kloksasilin 3 x 250 mg/hari
sebelum makan. Dosis flukloksasilin untuk anak-anak adalah 6,25-
11,25 mg/kgBB/hari dibagidalam 4 dosis.
Linkomisin dan Klindamisin
Dosis linkomisin 3 x 500 mg sehari. Klindamisin diabsorbsi lebih
baik karena itu dosisnya lebih kecil, yakni 4 x 300-450 mg sehari.
Dosis linkomisin untuk anak yaitu 30-60 mg/kgBB/hari dibagi dalam
18
3-4 dosis, sedangkan klindamisin 8-16 mg/kgBB/hari atau sapai 20
mg/kgBB/hari pada infeksi berat, dibagi dalam 3-4 dosis. Obat ini
efektif untuk pioderma disamping golongan obat penisilin resisten-
penisilinase. Efek samping yang disebut di kepustakaan berupa
colitis pseudomembranosa, belum pernah ditemukan. Linkomisin
gar tidak dipakai lagi dan diganti dengan klindamisin karena potensi
antibakterialnya lebih besar, efek sampingnya lebih sedikit, pada
pemberian pe oral tidak terlalu dihambat oleh adanya makanan
dalam lambung.
Eritromisin
Dosisnya 4x 500 mg sehari per os. Efektivitasnya kurang
dibandingkan dengan linkomisin/klindamisin dan obat golongan
resisten-penisilinase. Sering member rasa tak enak dilambung.
Dosis linkomisin untuk anak yaitu 30-5mg/kgBB/hari dibagi dalam 3-
4 dosis.
Sefalosporin
Pada pioderma yang berat atau yang tidak member respon dengan
obat-obatan tersebut diatas, dapat dipakai sefalosporin. Ada 4
generasi yang berkhasiat untuk kuman positif-gram ialah generasi I,
juga generasi IV. Contohya sefadroksil dari generasi I dengan dosis
untuk orang dewasa2 x 500 m sehari atau 2 x 1000 mg sehari (per
oral), sedangkan dosis untuk anak 25-50 mg/kgBB/hari dibagi
dalam 2 dosis.
3. Topikal
Pencegahan
19
dulu dalam air panas sebelum dicuci (atau cuci dengan mesin cuci
yang menggunakan air panas)
c. Pasien harus mengganti pakaian dan perlengkapan tidurnya
(seperti sprei, selimut, sarung bantal, dll) setiap hari dan semua
barang ini harus dicuci memakai air panas
d. Anjurkan pasien untuk mengganti perban dengan sering dan
segera membuangnya dalam kantung kertas ke tempat sampat.
(Kowalak, 2011)
Komplikasi
1. Selulitis
Sering terjadi pada kaki, lengan atau wajah. Meskipun infeksi awal hanya
superfisial, akhirnya akan mengenai jaringan dibawah kulit atau menyebar
ke nodus limfatikus dan aliran darah.
2. Furunkulosis
3.Skar
DAFTAR PUSTAKA
20
D. ACNE VULGARIS
Definisi
Epidemiologi
Gejala Klinis
Efloresensi :
o Lesi noninflamasi, yaitu komedo, dapat berupa komedo
terbuka (blackhead comedones) yang terjadi akibat oksidasi
melanin, atau komedo tertutup (whitehead comedones).
o Lesi infl amasi berupa papul, pustul, hingga nodus dan kista.
Tempat Predileksi : paling banyak terjadi di wajah, tetapi dapat
terjadi pada punggung, dada, dan bahu.
21
Diagnosa
Diagnosa Banding
1) Erupsi akneiformis
2) Rosacea
Umumnya lesi monomorfi, tidak gatal, bisa berupa komedo atau papul
dengan tempat predileksi ditempat kontak zat kimia atau rangsangan
fisisnya.
4) Dermatitis perioral
Gejala klinis berupa papul eritema atau papulo pustul dengan ukuran 1-
3mm terletak didagu, cekungan nasolabial dan sekitar mulut disertai
skuama dan rasa gatal.
5) Adenoma sebaseum
22
Sering merupakan manifestasi kulit dari penyakit tuberous
sclerosis.Nampak sebagai papul merah muda sampai merah diwajah yang
timbul sejak usai anak-anak atau pubertas.Lesi ini merupakan angiofibroma
Penatalaksanaan
Pencegahan
23
d) Hindari penusukan,pemencetan lesi, mencongkel dan sebagainya
karena dapat menyebabkan infeksi, menimbulkan bekas, memperparah
akne dan bahkan membuat kesembuhan lebih lama
Komplikasi
Prognosis
DAFTAR PUSTAKA
1. Zaenglein AL, Graber EM, Thiboutot DM, Strauss JS. Acne vulgaris and
acneiform eruption. In: Fitzpatrick TB, Eisen AZ, Wolff K, Freedberg IM,
Austen K, eds. Dermatology in general medicine. 7th ed. New York:
McGraw-Hill, 2008:690-703.
2. Kurokawa I, Danby FW, Ju Q, Wang X, Xiang LF, Xia L, Chen WC, Nagy
I, et al. New developments in our understanding of acne pathogenesis and
treatment. Experimental Dermatology. 2009; 18: 821-32.
3. Cunliff e WJ, Gollnick HPM. Clinical features of acne. In: Cunliff e WJ,
Gollnick HPM, eds. Acne diagnosis and management. London: Martin
Dunitz Ltd, 2001:49-68.
24
E. DERMATITIS ATOPIK
Definisi
Gambaran Klinis
Distribusi dan pola reaksi kulit bervariasi menurut usia pasien dan
aktivitas penyakit. Pada bayi, DA umumnya lebih akut dan terutama
mengenai wajah, scalp, dan bagian ekstensor ekstremitas. Daerah diaper
(popok) biasanya tidak terkena. Pada anak yang lebih tua, dan pada yang
telah menderita dalam waktu lama, stadium penyakit menjadi kronik
dengan likenifikasi dan lokalisasi berpindah ke lipatan fleksura ekstremitas.
25
Dermatitis atopik pada anak dengan likenifikasi pada fosa antecubiti
dan plakat ekzematosa generalisata.
Diagnosis
26
Kriteria mayor dan minor dermatitis atopik
Major characteristics ( ≥ 3) Minor characteristics (≥ 3)
1. Pruritus 1. Xerosis (dry skin) 14. Food intolerance/
2. Typical morphology and 2. Accentuated lines or allergy
distribution (ie, flexural grooves below the 15. Immediate (type 1)
lichenification in older margin of the lower skin test reactivity
children; facial and eyelid (Dennie- 16. Susceptibility to
extensor involvement in Morgan fold) cutaneous infection
infants and young children) 3. Darkening beneath (eg, with Staph
3. Tencency toward chronic the eyes (allergic aureus, HSV, other
or chronically relapsing shiners/Orbital viruses, warts,
dermatitis darkening) molluscum,
4. Personal or family history 4. Facial pallor/facial dermatophytes)
of atopy (eg, asthma, erytherma 17. Perifollicular
alergic rhinitis, atopic 5. Pityriasis alba accentuation
dermatitis 6. Keratosis pilaris 18. Early age of onset
7. Ichthyosis vulgaris 19. Impaired cell-
8. Hyperlinearity of mediated immunity
palms and soles 20. Anterior neck folds
9. White 21. Course influenced
dermographism by environment/
(white line appear on emotional factors
skin within 1 minute 22. Pruritus with
of being stroked with sweating
blunt instrument) 23. Intolerance to wool
10. Conjunctivitis and lipid solvents
11. Keratoconus 24. Peripheral blood
12. Anterior eosinophilia
subcapsular 25. Hand and/or foot
cataracts dermatitis
13. Elevated total 26. Cheilitis
serum IgE 27. Nipple eczema
27
Sumber: Spergel & Schneider, 1999. Atopic dermatitis. The Internet Journal
of Asthma, Allergy and Immunology 1
Tes Laboratorium
Level IgE serum meningkat pada 70-80% pasien DA, yang disertai
dengan sensitisasi terhadap alergen inhalan dan makanan. Pada 20-30%
pasien DA, tidak terjadi peningkatan IgE dan pasien ini tidak menunjukkan
sensitisasi terhadap alergen makanan dan inhalan, tetapi beberapa pasien
masih mempunyai IgE sensitization terhadap antigen microbial (toksin S
aureus, C albicans atau Malassezia sympodialis) dan menunjukkan reaksi
positif memakai atopy patch test walaupun tes kulit imediatenya negatif.
Sebagian besar pasien menunjukkan peningkatan eosinofil darah tepi,
meningkatnya pelepasan histamine spontan dari sel basofil. Sel T CLA+
secara spontan melepas IL-5 dan IL-13 yang secara fungsuional
memperpanjang hidup eosinofil dan menginduksi sintesis IgE.
Diagnosa Banding
Penatalaksanaan
28
Pendekatan pada pasien dengan dermatitis atopik.
Terapi topical
29
dengan emolien menolong mngembalikan dan memperbaiki sawar lapisan
tanduk, dan dapat mengurangi kebutuhan steroid topical.
Bayi dan anak lebih banyak mengalami alergi makanan, sedang anak yang
lebih tua dan dewasa lebih banyak alergi terhadap aeroallergen
lingkungan.
30
Terapi antivirus untuk infeksi herpes simplek kulit,sangat penting untuk
pasien DA luas. Asiklovir oral 3 x 400 mg/h atau 4 x 200 mg/h untuk 10 hari
untuk dewasa dengan infeksi herpes simplek kulit. Sedangkan asiklovir iv
diberikan untuk eczema herpetikum diseminata.
Pruritus. Steroid topikal dan hidrasi kulit untuk mengurangi radang dan
kulit kering, sering mengurangi keluhan gatal. Alergen hirup dan makanan
yang terbukti menyebabkan rash pada controlled challenges, harus
disingkirkan. Antihistamin sistemik bekerja terutama memblok reseptor H1
dalam dermis, karenanya dapat menghilangkan pruritus akibat histamine.
Karena histamine hanya merupakan satu mediator penyebab gatal,
beberapa pasien hanya mendapat keutungan minimal terhadap terapi
antihistamin. Keuntungan beberapa antihistamin adalah mempunyai efek
anxiolytic ringan sehingga dapat lebih menolong melalui efek sedatif.
Antihistamin non-sedatif baru menunjukkan hasil yang bervariasi, dan akan
berguna bila DA disertai dengan urtikaria atau rhinitis alergika.
Karena pruritus biasanya lebih parah pada malam hari, antihistamin sedatif,
hidroksizin atau difenhidramin, mempunyai kelebihan (oleh efek samping
mengantuk) bila diberikan pada waktu tidur. Doksepin memiliki efek
antidepresan dan efek blok terhadap reseptor H1 dan H2. Obat ini dapat
diberikan dengan dosis 10-75 mg oral malam hari atau sampai 2 x 75 mg
pada pasien dewasa. Pemberian doksepin 5% topikal jangka pendek (1
minggu) dapat mengurangi pruritus tanpa menimbulkan sensitisasi.
Walaupun demikian, dapat terjadi efek sedasi pada pemberian topical area
yang luas dan dermatitis kontak alergik.
Preparat ter. Preparat ter batubara mempunyai efek antipruritus dan anti-
inflamasi pada kulit tetapi tidak sekuat steroid topikal. Preparat ter dapat
mengurangi potensi steroid topikal yang diperlukan pada terapi
pemeliharaan DA kronis. Produk ter batubara baru telah dikembangkan
sehingga lebih dapat diterima pasien berkaitan dengan bau dan mengotori
pakaian. Sampo mengandung ter dapat menolong untuk dermatitis kepala.
Preparat ter tidak boleh diberikan pada lesi kulit radang akut, karena dapat
terjadi iritasi kulit. Efek samping ter di antaranya folikulitis dan fotosensitif.
Terapi foto. UVB broadband, UVA broadband, UVB narrowband (311 nm),
UVA-1 (340-400nm), dan kombinasi UVA-B dapat berguna sebagai terapi
penyerta DA. Target UVA dengan/tanpa psoralen adalah sel LC dan
eosinofil, sedangkan UVB berfungsi imunosupresif melalui penghambatan
fungsi sel penyaji antigen, LC dan merubah produksi sitokin oleh
keratinosit. Efek samping jangka pendek terapi foto di antaranya eritema,
nyeri kulit, garal, dan pigmentasi; sedangkan efek samping jangka panjang
adalah penuaan kulit premature dan keganasan kulit.
31
Rawat inap
Terapi sistemik
32
Allergen immutherapy. Imunoterapi dengan aeroallergen tidak terbukti
efektif dalam terapi DA. Penelitian terbaru, imunoterapi spesifik selama 12
bulan pada dewasa dengan DA yang disensitasi dengan alergen dust mite
menunjukkan perbaikan pada SCORAD dan pengurangan pemakaian
steroid.
Komplikasi
a. Problem mata
b. Infeksi
33
Eksema herpetikum.
Staphylococcus aureus dijumpai pada > 90% lesi kulit DA. Krusta
kuning madu, folikulitis, pioderma dan pembesaran KGB regional,
merupakan indikasi adanya infeksi sekunder (biasanya oleh S aureus) dan
memerlukan terapi antibiotik. Pentingnya S aureus pada DA didukung oleh
observasi bahwa pasien DA berat, walaupun tanpa infeksi berat, dapat
menunjukkan respon klinis terhadap terapi kombinasi dengan antibiotik dan
steroid topikal.
c. Dermatitis tangan
d. Dermatitis/eritroderma eksfoliatif
34
Prognosis
DAFTAR PUSTAKA
35
F. DERMATITIS NUMULARIS
Definisi
Gambaran Klinis
Plakat berukuran uang logam (1-3 cm) berbatas tegas, terbentuk dari
penggabungan papul dan papulovesikel. Didapati eksudasi dan krustasi
pinpoint. Krusta dapat menutupi seluruh permukaan lesi. Kulit sekitar
umumnya normal, kadang xerotik. Keluhan gatal mulai ringan sampai berat.
Penyembuhan sentral dapat terjadi, dapat memberikan gambaran anular. Plakat
kronik tampak kering, berskuama dan likenifikasi. Distribusi klasik lesi adalah
pada permukaan ekstensor ekstremitas. Pada wanita, ekstremitas atas,
termasuk punggung tangan lebih sering terkena dibandingkan ekstremitas
bawah.
Diagnosis
Diagnosis Dermatitis Numularis ditegakkan berdasarkan anamnesis
untuk menyingkirkan kemungkinan diagnosa penyakit lain dan juga
pemeriksaan fisik yang khas. Pemeriksaan penunjang lainnya dapat
berupa :
a. Laboratorium
Uji tempel pada kasus kronik rekalsitran berharga dilakukan untuk
eksklusi dermatitis kontak yang menyertai. Pada laporan kasus di India,
kurang dari separuh dari 50 pasien memberikan uji tempel positif terhadap
koloponi, nitrofurazon, neomisin sulfat, dan nikel sulfat. Level IgE normal.
b. Histopatologi
Pada stadium akut, ditemui spongiosis, dengan/tanpa spongiotic
microvesicles. Pada plakat subakut, ditemui parakeratosis, skuama-krusta,
hyperplasia epidermal, dan spongiosis epidermal. Terdapat infiltrate
campuran dalam dermis. Lesi kronik dapat menyerupai liken simplek
kronikus secara mikroskopi.
Diagnosa Banding
36
5. Impetigo
Penatalaksanaan
Komplikasi
DAFTAR PUSTAKA
37
G. DERMATITIS KONTAK ALERGI
Definisi
Pendekatan klinik
Dematitis kontak alergik (DKA) harus dipertimbangkan dalam
diagnosis banding berbagai dermatoses eksematosa (Box 13-1). Sebagai
contoh, seorang pasien yang mempunyai dermatitis geometric atau pola
spesifik setelah pajanan agen eksogen, harus dicurigai menderita DKA.
Selain itu, diagnosis harus dipertimbangkan pada individu yang
dermatitisnya persisten walaupun mendapat terapi memadai. Hal tersebut
berlaku pula terhadap pasien dengan gangguan kulit confounding, seperti
DA dan psoriasis, yang mempunyai gambaran klasik.
Anamnesis pasien dengan kecurigaan DKA
Demografi dan riwayat pekerjaan Usia, jenis kelamin, ras/etnis,
agama, status perkawinan,
pekerjaan dan deskripsi pekerjaan,
lokasi pekerjaan, kegiatan di luar
pekerjaan tetap, pekerjaan
sebelumnya
Riwayat medik keluarga faktor genetik, predisposisi
Riwayat medik pasien alergi obat, penyakit penyerta, obat,
operasi
Riwayat dermatitis awitan, lokasi lesi, terapi
Pendekatan morfologik
Setelah riwayat penyakit diperoleh, langkah selanjutnya adalah
penilaian pemeriksaan status dermatologic menyeluruh. Pengetahuan
mengenai ukuran , sifat dan lokasi dermatitis meningkatkan kemungkinan
pemilihan allergen untuk uji tempel.
Diagnosis
1. in vito test: Patch test (gold standard)
2. in vitro test: lymphocyte transformation test, macrophage migration
inhibition test
Penatalaksanaan
Penatalaksanaan dasar pasien DKA bergantung pada terapi gejala dan
menghindari pajanan ulang.
Erupsi akut vesikuler, membasah dapat diterapi dengan agen
pengering seperti aluminum sulfat atau kalsium asetat topical. Erupsi
kronik,likenifikasi terbaik diobati dengan emolien. Keluhan gatal diatasi
dengan antipruritus topical atau antihistamin oral (antihistamin dan
38
anestetik topical dihindari karena risiko menginduksi alergi sekunder pada
kulit yang memang mengalami dermatitis).
Kortikosteroid topical masih merupakan baku emas dan pilihan utama
menghilangkan gejala dan mempercepat penyembuhan DKA. Obat tersebut
ditoleransi baik bila dipakai short term.
Penggunaan steroid sistemik hanya diberikan pada kasus akut
sedang sampai berat dan pada kasus DKA refrakter.
Dalam dekade terakhir, inhibitor kalsineurin telah digunakan sebagai
opsi terapi terhadap gangguan kulit inflamatori.
Siklosporin oral dan takrolimus/pimekrolimus topical telah menunjukkan
efektifitas dalam terapi dermatitis eksematosa, termasuk dermatitis atopic dan
DKA.
Fototerapi dicadangkan untuk pasien DKA refrakter yang tidak
responsive terhadapsteroid dan pasien yang tidak dapat menghindari
semua factor provokator dalam lingkungan sehari-hari. PUVA, shortwave
UVB efektif terhadap DKA dan DKI kronik pada tangan, karena sifat
imunosupresif intrinsic yang dimilikinya. Walaupun demikian, terapi
tersebut butuh waktu lama dan perlu terapi pemeliharaan.
DAFTAR PUSTAKA
39
H. DERMATITIS KONTAK IRITAN
Definisi
Epidemiologi
Klasifikasi DKI
A. Klasifikasi DKI berdasar klinis dan etiologi:
1. Ulkus, akibat asam atau basa kuat,
2. Folikulitis, akibat minyak dan lemak,
3. Miliaria, akibat aluminum klorid,
4. Hiperpigmentasi, akibat logam berat,
5. Hipopigmentasi, akibat p-tert-butylphenol.
40
Diagnosis
DKI sering didiagnosis dengan cara eksklusi penyebab dermatitis
lainnya, termasuk dengan DKA. Riwayat rinci pekerjaan, kegemaran,
riwayat penyakit dahulu, dan pemeriksaan klinis, penting untuk diagnosis
DKI.
Kriteria diagnostik DKI
Kriteria mayor Kriteria minor
Subyektif
Awitan gejala dalam menit Awitan dermatitis dalam 2 minggu
sampai jam dari pajanan pajanan
Nyeri, rasa terbakar melebihi Banyak individu dalam
gatal pada awal perjalanan lingkungan mendapat penyakit
penyakit sama
Obyektif
Macula eritem, hiperkeratosis, Dermatitis berbatas tegas
atau fisur lebih dominan dari Bukti adanya pengaruh gravitasi,
vesikulasi seperti dripping effect
Glazed, parched, or scalded Tidak ada tendensi dermatitis
appearance of the epidermis menyebar
Proses penyembuhan mulai Perbedaan konsentrasi dan
dengan cepat pada penyingkiran waktu pajan menghasilkan
pajanan agen penyebab perbedaan besar pada kerusakan
Uji tempel negatif kulit
Uji tempel
Uji tempel sering perlu untuk membedakan DKA dari DKI atau
diagnosis DKA bersamaan dengan DKI. Uji tempel negative dapat
menunjang diagnosis DKI dengan mengeksklusi DKA.
Diagnosis banding
Dermatitis seboroik
Dermatitis stasis
Dermatitis atopik
Tinea
Asteatosis
Penatalaksaan
Identifikasi dan eliminasi iritan dan proteksi dari pajanan ulang,
sangat menolong. Peran steroid topical pada DKI masih kontroversi, tetapi
obat tersebut dapat menbantu karena efek anti inflamasi yang dimilikinya.
Tetapi pemakaian jangka panjang dapat meruguikan karena efek atrofi dan
meningkatkan kerentanan terhadap iritan. Emolien atau occlusive dressing
dapat memperbaiki kerusakan barier pada kulit yang kering dan likenifikasi.
Emolien berbasis lanolin (tradisional) mudah didapat, murah, dan terbukti
sama efektif seperti emolien yang mengandung skin-related lipid. Inhibitor
41
calcineurin topical (pimekrolimus) dapat digunakan sebagai alternative
terhadap steroid topical potensi rendah pada DKI kronik. Pada kasus
kronik dan berat, terapi foto (PUVA atau UVB) atau azatioprin dan
siklosporin bisa efktif. Infeksi sekunder dapat diobati dengan antibiotic
topical atau sistemik. Pada iritasi sensoris, garam strontium bekerja dengan
memblok aktivasi cutaneous type C nociceptor.
Pencegahan
DKI adalah faktor risiko terjadinya DKA, karena terganggunya barier
kulit dapat meningkatkan potensi fase induksi dan elisitasi DKA. Jadi,
mencegah DKI berarti secara simultan mencegah DKA. Pasien perlu
diberitahu mengenai cara pencegahan iritan. Pemakaian peralatan proteksi
personal, terutama pada high-risk jobs, sangat penting.
Prognosis
Prognosis DKI akut baik bila iritan penyebab dapat diidentifikasi dan
di eliminasi. Prognosis DKI kumulatif atau kronik dapat lebih buruk daripada
DKA. Latar belakang atopi, kurangnya pengetahuan mengenai penyakit,
dan atau lambatnya diagnosis dan terapi adalah factor yang dapat
memperburuk prognosis.
DAFTAR PUSTAKA
42
I. DERMATITIS PERIORAL
Definisi
Epidemiologi
Gambaran klinis
43
DP granulomatosa. Anak memperlihatkan papul kecil tipikal pada area
sekitar mulut dan mata.
Diagnosis banding
DP nongranulomatosa
DP granulomatosa
-
Infeksi jamur/mikobakteri
-
Lupus miliaris
44
disseminatus faciei
Komplikasi
Pengobatan
Penatalaksanaan
TOPIKAL SISTEMIK
45
Lini kedua Eritro/klindamisin, 2 dd Eritro, 3 x 400 mg/h, atau
Pencegahan
DAFTAR PUSTAKA
46
J. HIDRADENITIS SUPURATIF
Definisi
Gejala Klinis
47
Multpel abses di bagian aksila
48
Daerah yang paling sering menjadi tempat predileksi hidradenitis
supurativa adalah aksila, gluteal, inguinal, perianal, mammae, dan
inframammae. Perianal hidradenitis bisa menyebar hingga mencapat anus
dan rectum, Fistula uretra dan vagina bisa terjadi jika penyebarannya
hingga bagian dalam vagina.
Diagnosis
i. Lesi tipikal seperti nodul dalam yang nyeri: ―blind boils‖ pada lesi
awal; abses, sinus, bridged scars,dan double-ended pseudo-
comedones pada lesi sekunder.
2. 2. Topografi tipikal seperti aksila, paha dan regio perianal,
bokong, lipatan inframammary dan intermammary.
3. Kronik dan rekuren.
49
Keparahan penyakit dapat diklasifikasikan dalam tiga tingkat untuk
masing- masing area berdasarkan klasifikasi Hurley, suatu sistem
sederhana namun statis dan tidak sesuai untuk penilaian keparahan secara
global. Sementara itu, Sartorius score dan versi modifikasinya
mempertimbangkan sejauh mana penyakit, jumlah, dan tingkat keparahan
lesi secara visual.
Diagnosa Banding
Adanya papul, nodul, atau abses nyeri pada lipat paha dan
aksila dapat didiagnosis banding sebagai: furunkel, karbunkel, dan cat-
scratch disease.
50
Penatalaksanaan
DAFTAR PUSTAKA
51
3. Jemec GBE. Hidradenitis Suppurativa. J Cutan Med Sung. 2003: p.
47- 56.
4. Daoud MS & Dicken CH. Disorders of the Apocrine Sweat Glands. In
: Wolff K., Goldsmith L.A., Katz SI., Gilchrest BA., Paller AS., Leffeld
DJ. Fitzpatrick‘s Dermatology In General Medicine 7 th ed. New
York: McGraw Hill; 2008. p. 9-18.
1. 5. McMichael A, Sanchez DG & Kelly P. Folliculitis and the Follicular
Occlusion Tetrad. In : Bolognia JL, Jorizzo JL & Rapini
RP. Bolognia: Dermatologi, 2nd ed. United States of America:
Elsevier Inc; 2008. p. 10-4.
5. Fimmel S & Zouboulis CC. Comorbidities of Hidradenitis Suppurativa
(acne inversa). Dermato-Endocrinology. 2010;2(1):p. 9-16.
2. 7. Wolff K & Johnson RA. Fitzpatrick's Color Atlas and
Synopsis of Clinical Dermatology 6th. New York: McGraw Hill;
2009. p. 605-8, 655-7.
52
K. MILIARIA
Definisi
Epidemiologi
Gejala Klinis
Miliaria Kristalina
53
pada neonatus lebih sering berada pada bagian genital, diduga
terutama akibat keadaan lembab akibat popok plastik. Obesitas
bayi juga merupakan faktor resiko terjadinya miliaria rubra. Sedangkan
dewasa terjadi pada bagian yang tertutup dan tergesek pakaian
dan juga kulit kepala.
gambar-gambar berikut:
Miliaria Rubra
Miliaria Profunda
Diagnosis
54
umumnya asimptomatis, sedangkan tipe rubra merasa sangat gatal
dan pedih, begitu juga pada tipe profunda yang biasanya memiliki keluhan
gatal, bahkan asimtomatis. Secara inspeksi dapat ditemukan gambaran-
gambaran seperti yang diuraikan dalam penjelasan manifestasi klinis.
Pemeriksaan penunjang yang dapat membantu adalah pemeriksaan
histopatologi untuk menilai kelainan kulit secara lebih jelas.
Diagnosa Banding
2. Varisela
3. Herpes zoster
Sebelum muncul lesi kulit umumnya disertai gejala prodromal. Khas adalah
pernah mengalami varisela sebelumnya, karena penyakit ini
merupakan lanjutan virus varisela zoster yang setelah infeksi primer
akan berdiam di ganglion posterior yang lalu mengalami reaktivasi. Lesi
kulit berupa eritema yang diatasnya muncul vesikel-vesikel berisi cairan
jernih berkelompok dengan dasar kulit eritema dan edema.
Predisposisi pada daerah torakal, dan pada usia dewasa.
Penegakan diagnosis dengan cara yang sama dengan varisela
4. Herpes simpleks
Penatalaksanaan
55
kristalina yang jarang membutuhkan pengobatan) yaitu dapat dengan
mengusahakan ventilasi yang baik antara lain dengan pengguanaan
bahan pakaian tipis dan menyerap keringat, menghindari panas
berlebih. Bahan residu deterjen juga dapat menjadi faktor timbulnya
miliaria, sehingga dibutuhkan kecermatan lebih dalam mencuci
pakaian.
Prognosis
DAFTAR PUSTAKA
56
.5. Tekin Nelgun, Guner Mehmed, Erel Arzu, Duver Isil. Widespread non
inflammatory vesicles in woman patents: miliaria crystalline. Med J 2001;
12:146-50
L. KANDIDOSIS MUKOKUTAN
Definisi
Gambaran Klinis
A. Daerah intertriginosa
B. Daerah perianal
Lesi ditemukan di daerah lipatan kulit, yaitu aksila, lipat leher, infra mama,
lipat inguinal, intergluteal, umbilikus, lipatan kulit di daerah abdomen, dan
interdigital. Kelainan yang tampak berupa bercak yang berbatas tegas,
bersisik, basah, dan eritematosa. Lesi tersebut dikelilingi oleh satelit berupa
vesikel dan pustul kecil atau bula, yang bila pecah meninggalkan daerah
erosif, dengan tepi yang kasar dan berkembang seperti lesi primer.Pada
sela jari kaki sering terjadi pada sela jari 3 dan 4. Kelainan kulit terlihat
sebagai area kulit eritematosa dengan erosi dan maserasi.
Lesi di daerah perianal ini menimbulkan pruritus ani. Infeksi Candida pada
kulit di sekitar anus yang banyak ditemukan pada bayi dikenal sebagai
"kandidiasis popok" atau "diaper rash". Hal ini sering terjadi oleh karena
57
popok yang basah oleh karena urin tidak segera diganti, sehingga
menyebabkan iritasi dan maserasi kulit di sekitar genitalia dan anus.
Manifestasi klinis kandidiasis popok berupa plak eritematosa, papul, dan
pustul yang mengenai perineum dengan predileksi pada lipatan inguinal.
Skuama putih dan pustul satelit sering terlihat pada tepi lesi.Pustul sangat
superfisial sehingga mudah pecah. Pemakaian antibiotika dan
kortikosteroid topikal dapat mempermudah terjadinya infeksi Candida di
daerah ini.
Diagnosis
58
pemeriksaan langsung menggunakan larutan kalium hidroksida (KOH),
kultur, slide culture dari kerokan kulit dan kuku.
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Langsung
Pemeriksaan biakan
Slide culture
Diagnosa Banding
Penatalaksanaan
59
jalur metabolisme baik antijamur oral dan antidiabetik oral, baik azol dan
kebanyakan antidiabetik oral dimetabolisme di sitokrom P-450 tetapi
dengan berbagai enzim yang terlibat (antidiabetik-CYP2C9, itrakonazol-
CYP3A4, ketokonazol-CYP3A4 dan flukonazol-CYP2C9) sedangkan
terbinafin umumnya aman dan ditoleransi dengan baik.
DAFTAR PUSTAKA
1. Andrew‘s Disease of the Skin, Odom RB, James WD, Gerbes TG, WB
Saunders Co, 9th Ed. Superficial: 358-391, Dalam: 391- 416
3. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin, editor: Djuanda A, FKUI, Jakarta, 2003,
edisi 3, Hal. 87-102
M. MORBILI
Definisi
Gejala Klinis
B. Stadium erupsi
60
Stadium ini berlangsung selama 4-7 hari. Gejala yang biasanya terjadi
adalah koriza dan batuk-batuk bertambah. Timbul eksantema di palatum
durum dan palatum mole. Kadang terlihat pula bercak Koplik. Terjadinya
ruam atau eritema yang berbentuk makula-papula disertai naiknya suhu
badan. Mula-mula eritema timbul di belakang telinga, di bagian atas
tengkuk, sepanjang rambut dan bagian belakang bawah. Kadang-kadang
terdapat perdarahan ringan pada kulit. Rasa gatal, muka bengkak. Ruam
kemudian akan menyebar ke dada dan abdomen dan akhirnya mencapai
anggota bagian bawah pada hari ketiga dan akan menghilang dengan
urutan seperti terjadinya yang berakhir dalam 2-3 hari.
C. Stadium konvalesensi
Komplikasi
Otitis Media Akut (OMA) adalah suatu peradangan akibat infeksi pada
sebagian atau seluruh mukosa telinga tengah, tuba eustachius, antrum
mastoid, dan sel-sel mastoid yang terjadi dalam waktu kurang dari 3
minggu. OMA dapat terjadi pada semua usia, namun bayi dan anak-anak
merupakan kelompok usia yang paling sering menderita OMA
dibandingkan orang dewasa baik dewasa tua maupun dewasa muda. OMA
dapat terjadi karena infeksi bakterial sekunder.
B. Ensefalitis
61
campak memegang peranan dalam patogenesisnya. SSPE yang terjadi
setelah vaksinasi campak didapatkan kira-kira 3 tahun kemudian.
C. Bronkopneumonia
D. Kebutaan
Pencegahan
62
2. Mencegah perluasan infeksi. Anak yang menderita campak jangan
masuk sekolah selama empat hari setelah timbulnya rash.
Menempatkan anak pada ruang khusus atau mempertahankan
isolasi di rumah sakit dengan melakukan pemisahan penderita
pada stadium kataral yakni dari hari pertama hingga hari keempat
setelah timbulnya rash yang dapat mengurangi keterpajanan
pasienpasien dengan risiko tinggi lainnya.
3. Pengobatan simtomatik diberikan untuk mengurangi keluhan
penderita yakniantipiretik untuk menurunkan panas dan juga obat
batuk. Antibiotika hanya diberikan bila terjadi infeksi sekunder
untuk mencegah komplikasi.
4. Diet dengan gizi tinggi kalori dan tinggi protein bertujuan untuk
meningkatkan daya tahan tubuh penderita sehingga dapat
mengurangi terjadinya komplikasi campak yakni bronkhitis, otitis
media, pneumonia, ensefalomielitis, abortus, dan miokarditis yang
reversibel.
DAFTAR PUSTAKA
N. VARISELA
Definisi
63
Infeksi akut primer oleh virus varicella zoster yang menyerang kulit
dan mukosa, klinis terdapat gejala konstitusi, kelainan kulit polimorf,
terutama berlokasi di bagian sentral tubuh.
Epidemiologi
Usia
Insiden
Transmisi
Musim
Patogenesa
64
mononuklear, terutama pada limfosit. Bahkan pada varicella yang tidak
disertai komplikasi, hasil viremia sekunder menunjukkan adanya subklinis
infeksi pada banyak organ selain kulit.
Gambaran Klinis
Gejala prodromal
65
Infeksi VZV : Varicella 3
66
Gambaran dari lesi varicella berkembang secara cepat, yaitu lebih
kurang 12 jam, dimana mula-mula berupa makula eritematosa yang
berkembang menjadi papul, vesikel, pustul, dan krusta. Vesikel dari
varicella berdiameter 2-3 mm, dan berbentuk elips, dengan aksis
panjangnya sejajar dengan lipatan kulit. Vesikel biasanya superfisial dan
berdinding tipis, dan dikelilingi daerah eritematosa sehingga tampak terlihat
seperti ― embun di atas daun mawar‖. Cairan vesikel cepat menjadi keruh
karena masuknya sel radang, sehingga mengubah vesikel menjadi pustul.
Lesi kemudian mengering, mula-mula di bagian tengah sehingga
menyebabkan umbilikasi dan kemudian menjadi krusta. Krusta akan lepas
dalam 1-3 minggu, meninggalkan bekas bekas cekung kemerahan yang
akan berangsur menghilang. Apabila terjadi superinfeksi dari bakteri maka
dapat terbentuk jaringan parut. Lesi yang telah menyembuh dapat
meninggalkan bercak hipopigmentasi yang dapat menetap selama
beberapa minggu/bulan.
67
mencapai 40,5oC. Demam yang berkepanjangan atau yang kambuh
kembali dapat disebabkan oleh infeksi sekunder bakterial atau komplikasi
lainnya. Gejala yang paling mengganggu adalah gatal yang biasanya
timbul selama stadium vesikuler.
Diagnosa
Laboratorium
Lesi pada varicella dan herpes zoster tidak dapat dibedakan secara
histopatologi. Pada pemeriksaan menunjukkan sel raksasa berinti banyak
dan sel epitel yang mengandung badan inklusi intranuklear yang asidofilik.
Pemeriksaan dapat dilakukan dengan pewarnaan Tzanck, dimana bahan
pemeriksaan dikerok dari dasar vesikel yang muncul lebih awal, kemudian
diletakkan di atas object glass, dan difiksasi dengan ethanol atau methanol,
dan diwarnai dengan pewarnaan hematoxylin-eosin, Giemsa,
Papanicolaou, atau pewarnaan Paragon.
68
adalah metode pilihan untuk diagnosis klinis yang cepat. Real-time PCR
metode tersedia secara luas dan merupakan metode yang paling sensitif
dan spesifik dari tes yang tersedia. Hasil tersedia dalam beberapa jam. Jika
real-time PCR tidak tersedia, antibodi langsung metode (DFA) neon dapat
digunakan, meskipun kurang sensitif dibanding PCR dan membutuhkan
pengambilan spesimen yang lebih teliti.
Komplikasi
69
kematian pada ibu, tetapi baik kejadian maupun keparahan pneumonia
varicella tampaknya meningkat secara signifikan pada kehamilan. Janin
dapat meninggal karena kelahiran prematur atau kematian ibu karena
varicella pneumonia berat, tetapi varicella selama kehamilan, tidak, jika
tidak secara subtansial meningkatkan kematian janin. Namun demikian,
pada varicella yang tidak disertai komplikasi, viremia pada ibu dapat
menyebabkan infeksi intrauterin ( kongenital ), dan dapat menyebabkan
abnormalitas kongenital. Varicella perinatal ( varicella yang terjadi dalam
waktu 10 hari dari kelahiran ) lebih serius daripada varicella yang terjadi
pada bayi yang terinfeksi beberapa minggu kemudian.
Penatalaksanaan
70
Antivirus
Topikal
71
Pengobatan dini varicella dengan pemberian acyclovir dengan dosis
5x800 mg selama 5 hari menurunkan jumlah lesi, penghentian
terbentuknya lesi yang baru, dan menurunkan timbulnya ruam, demam,
dan gejala konstitusi bila dibandingkan dengan placebo.
Komplikasi
72
dengan derajat ringan gangguan kekebalan tubuh, tetapi tidak ada
uji klinis terkontrol yang menunjukkan secara pasti.
Pencegahan
Vaksin varicella
Karakteristik
Keefektifan vaksin
73
Terobosan infeksi varicella bisa menjadi hasil dari beberapa faktor,
termasuk gangguan replikasi virus vaksin oleh sirkulasi antibodi,
vaksin impoten akibat kesalahan penyimpanan atau penanganan,
atau pencatatan tidak akurat.
74
Wabah varicella yang terjadi dalam beberapa keadaan
(misalnya,pada tempat penitipan anak, dan sekolah) dapat bertahan
sampai dengan 6 bulan. Tetapi vaksin varicella diketahui telah
berhasil digunakan untuk mengendalikan wabah. ACIP
merekomendasikan pemberian dosis kedua vaksin varicella untuk
pengendalian wabah. Jadi selama wabah varicella, orang-orang
yang telah menerima satu dosis vaksin varicella harus menerima
dosis kedua, yang diberikan sesuai dengan interval vaksinasi yang
telah berlalu sejak dosis pertama (3 bulan untuk orang yang berusia
12 bulan sampai 12 tahun dan setidaknya 4 minggu untuk orang
yang berusia 13 tahun dan lebih tua).
75
mendapat terapi antibiotik, dan paparan atau pemulihan dari
penyakit lain tidak kontraindikasi terhadap vaksin varicella.
Meskipun tidak ada bukti bahwa baik varicella atau vaksin varicella
memperburuk tuberkulosis, vaksinasi tidak dianjurkan untuk orang-
orang yang dikenal memiliki TB aktif.
DAFTAR PUSTAKA
1. www.cdc.gov/vaccines/pubs/pinkbook/downloads/varicella.pdf
2. Djuanda, Adhi. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin, Adhi, Edisi Enam
Cetakan Kedua, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,
Jakarta 2010, hal 115
O. URTIKARIA
Definisi
Etiologi
Obat
76
kontras pd pemeriksaan radiologi. Aspirin menimbulkan urtikaria karena
menghambat sintesis prostaglandin dari asam arakhidonat.
Makanan
Makanan berperan lebih pentig pada reaksi urtikaria akut, hal ini
dikarenakan reaksi imunologik. Makanan yang paling bersifat alergenik
adalah coklat, udang, kacang, telur, susu, keju, serta macam-macam
bumbu masakan. Jika urtikaria akut dan berulang , alergi makanan bisa
jadi terpicu dari makanan sehari-hari. Serum radioalergosorbant tes
bisa digunakan untuk mendeteksi IgE spesifik. Menghindari makanan
yang memicu alergi merupakan terapi utama pada urtikari karena alergi
makanan, hal ini dapat dilakukan selama kurang lebih 3 minggu, jika
urtika tidak terulang maka makanan yang dihindari tersebut betul
sebagai penyebab urtikaria.
Infeksi
Urtikaria akut bisa jadi berhubungan dengan infeksi saluran napas atas
khususnya infeksi Streptokokus. Lokasi infeksi bisa di tonsil, gigi, sinus,
kandung empedu, prostat, kandung kemih atau ginjal dapat menjadi
penyebab kasus akut atau kronik urtikaria. Pada beberapa pasien terapi
antibiotic untuk Helicobacter pylori telah menyebabkan resolusi
urtikaria. Infeksi kronik virus hepatitis B dan C bisa menyebabkan
urtikaria. Infeksi cacing tambang, kamur kandida dan dermatofita juga
bisa menimbulkan urtikaria.
Psikis
Bahan fotosensitizer
Inhalan
77
Inhalan yang berupa serbuk sari bunga (pollen), spora jamur, debu,
bulu binatang dan aerosol umumnya lebih mudah menimbulkan
urtikaria alergik. Reaksi ini sering dijumpai pada penderita atopi dan
disertai gangguan napas.
Kontaktan
Trauma fisik
Penyakit sistemik
Genetik
78
Epidemiologi
Klasifikasi
Urtikaria popular
Urtikaria gutata
Urtikaria girata
Urtiakria anular
Urtikaria arsinar
Urtikaria lokal
Urtikaria general
Angioedema
79
Selain itu terdapat penggolongan berdasarkan penyebab urtikaria
dan mekanisme terjadinya urtikaria, maka dikenal urtikaria imunologik,non
imunologik dan idiopatik sebagai berikut:
Manifestasi Klinis
80
Diagnosis
A. Anamnesis
B. Pemeriksaan Fisik
81
C. Pemeriksaan Penunjang
Diagnosa Banding
Penatalaksanaan
A. Penanganan Umum
B. Pengobatan penyebab
C. Pengobatan topical
82
Pengobatan lokal di kulit dapat diberikan secara simtomatik
misalnya antipruritus di dalam bedak kocok atau bedak.
Antihistamin
a. Antihistamin 1 (AH1)
b. Antihistamin 2 (AH2)
Kortikosteroid
Prognosis
DAFTAR PUSTAKA
1. Djuanda, A, Buku Ajar Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin, Jakarta: Balai
Penerbit FKUI, 2008: 169-176
83
5. Siregar, Saripati Penyakit Kulit, Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC,
2003.
Definisi
Pembagian kulit secara garis besar tersusun atas tiga lapisan utama yaitu
84
Kanker kulit memiliki tiga tipe utama yaitu Karsinoma Sel basal,
Karsinoma Sel Skuamosa dan Melanoma Maligna. Karsinoma Sel Basal
menempati urutan pertama, diikuti Karsinoma Sel Skuamosa, dan
Melanoma Maligna pada urutan ketiga. Walaupun jumlah insiden
Melanoma Maligna lebih kecil dibanding Karsinoma Sel Basal dan
Karsinoma Sel Skuamosa, angka kematian yang disebabkannya
cenderung lebih besar yaitu menyebabkan 75% kematian akibat kanker
kulit. Di Australia, yang merupakan salah satu negara dengan insiden
kanker kulit tertinggi di dunia, dilaporkan terjadi insiden kanker kulit empat
kali lipat lebih tinggi dibanding Amerika Serikat, Inggris, dan Kanada.
Melanoma merupakan jenis kanker kulit dengan insiden tertinggi pada
umur15-44 tahun di Australia.
85
dengan resiko metastasis yang tinggi. Melanoma Maligna dapat
dibagi menjadi empat yaitu : Superficial Spreading Melanoma
(SSM), Nodular Melanoma (NM), Lentigo Malignant Melanoma,
dan Acral Lentiginous Melanoma (ALM).
a. Anamnesis
86
penyakit-penyakit yang mengakibatkan supresi pada imunitas
seperti HIV? Apakah pernah terpapar bahan arsenik? Apakah
mengalami penyakit Granuloma Inguinale?. Apakah memiliki
penyakit akibat genetik seperti Xeroderma Pigmentosa, Nevoid
Basal Cell Carcinoma, dan Albinism? Apakah pasien merokok?
b. Pemeriksaan Fisik
c. Pemeriksaan dermoskopi
b. Pemeriksaan Fisik
87
Pada pemeriksaan fisik berupa inspeksi untuk melihat eufloresensi
kulit akan didapatkan kelainan-kelainan berupa nodul yang keras dengan
batas yang tidak tegas, permukaannya mula-mula licin seperti kulit normal
yang akhirnya berkembang menjadi papiloma. Ulserasi dapat terjadi,
umumnya mulai timbul pada waktu berukuran 1-2cm, diikuti pembentukan
krusta dengan pinggir yang keras serta mudah berdarah.
c. Pemeriksaan dermoskopi
b. Pemeriksaan Fisik
88
sesuai dengan lokasi melanoma. Pada daerah anal berupa pigmentasi
sedangkan pada daerah vulva akan tampak pigmentasi lebih mengkhusus
berwarna biru kehitaman dengan lokasi sampai mengenai rahim.
c. Pemeriksaan dermoskopi
d. Pemeriksaan Penunjang
Terapi pada kanker kulit terdiri dari terapi pembedahan dan non
pembedahan. Terapi pembedahan terdiri dari pembedahan dengan eksisi,
pembedahan dengan menggunakan teknik Mohs Micrographic Surgery
(MMS), curretage and cautery, dan cryosurgery.
89
Indikasi penggunaan teknik Mohs Micrographic Surgery (MMS)
antaralain: Lokasi tumor : terutama di bagian tengah wajah, sekitar mata,
hidung,dan telinga. Ukuran tumor : berapapun, tapi khususnya >2cm.
Subtipe histologi : morfoik, infiltratif, mikronodular, dan subtipe
basoskuamosa. Definisi batas tumor yang kurang baik melalui klinis. Lesi
yang berulang (rekuren). Ada keterlibatan perivaskular dan perineural.
d) Cryosurgery
a) Photodynamic therapy
b) Radiasi
c) Kemoterapi
90
Komplikasi Kanker Kulit
DAFTAR PUSTAKA
91
4. NR Telfer and C.A. Mortont. Guidelines For The Management of
Basall Cell Carcinoma. British Journal Of Dermatology, 2008, p: 35-
48.
5. Pfister David, and Alan C. Harpen. Skin Squamos Cell Cancer : The
Time Is Right For Greater Involvement of The Medical Oncologist.
Journal of Clinical Oncology, 2007;1953-1954.
6. NR, Colver GB, and Morton CA. Guidelines For The Management of
Basal Cell Carcinoma. British Journal of Dermatology. 2008;35-48
7. College of American Pathologists. Skin Cancer. Squamous Cell
Carcinoma. 2010;1-2
8. BMJ Group. Skin Cancer (Squamous Cell). 2009:1-3
9. Anonymous. Skin Cancer Melanoma. British Medical Journal, 2006,
p:1-5
Q. PSORIASIS VULGARIS
Definisi
Epidemiologi
Gambaran Klinis
92
Gambaran klinis lain yang dapat menyertai adalah artritis psoriatika
pada sendi interfalang jari tangan, distrofi kuku, dan lesi psoriatik nail bed.
Diagnosis
Anamnesis
Salah satu hal yang pertama kali penting ditanyakan adalah onset
penyakit dan riwayat keluarga, karena onset dini dan riwayat keluarga
berkaitan dengan tingginya ekstensi dan rekurensi penyakit. Selain itu,
tentukan apakah lesi merupakan bentuk akut atau kronis, serta keluhan
pada persendian, karena kemungkinan artritis psoriatika pada pasien
dengan riwayat pembengkakan sendi sebelum usia 40 tahun.
93
Lesi kronis cenderung stabil berbulan-bulan hingga bertahun-tahun,
sedangkan dalam bentuk akut, lesi dapat muncul mendadak dalam
beberapa hari. Kemungkinan relaps juga bervariasi antar individu. Pasien
yang sering relaps biasanya memiliki lesi yang lebih berat, cepat meluas,
melibatkan area tubuh yang lebih luas, sehingga terapi harus lebih agresif.
Guttata berasal dari bahasa Latin ―Gutta‖ yangberarti ―tetesan‖, dengan lesi
berupa papulkecil (diameter 0,5-1,5 cm) di tubuh bagianatas dan
ekstremitas proksimal.
Pada tipe ini, lesi muncul pada usia yanglebih tua, kronis, berukuran lebih
besar(1-2 cm), dengan skuama lebih banyak dantebal. Biasanya muncul
pada lanjut usia dibeberapa negara Asia.
94
4. Psoriasis Inversa
5. Psoriasis Eritrodermik
Tipe ini mengenai hampir seluruh bagiantubuh, dengan efl oresensi utama
eritema.Skuama tipis, superfi sial, tidak tebal, sertamelekat kuat pada
permukaan kulit dibawahnya seperti psoriasis pada umumnya,dengan kulit
yang hipohidrosis. Risikohipotermia sangat besar karena vasodilatasiluas
pada kulit.
6. Psoriasis Pustular
7. Sebopsoriasis
8. Napkin Psoriasis
Bentuk ini biasanya muncul pada usia 3-6bulan di area kulit yang terkena
popok (diaperarea).
9. Psoriasis Linear
Bentuk yang jarang. Lesi kulit berupa lesilinear terutama di tungkai, kadang
munculsesuai dermatom kulit tungkai. Kadangmerupakan bentuk dari
nevus epidermal inflamatorik linear verukosa.
95
Manifestasi Klinis Psoriasis di Berbagai Organ
1. Kuku
2. Geographic Tongue
3. Artritis Psoriatika
96
Merupakan bentuk klinis psoriasis ekstrakutan yang paling sering muncul,
pada sekitar 40% pasien psoriasis. Terkait kuat dengan faktor genetik.
Penatalaksanaan
Terapi Topikal
1. Kortikosteroid
3. Anthralin (Dithranol)
4. Tar Batubara
5. Tazarotene
97
terhadap eritema sangat minim. Efi kasinya dapat ditingkatkan bila
dikombinasikan dengan glukokortikoid potensi tinggi atau phototherapy.
7. Emolien
Phototherapy
3. Excimer Laser
4. Terapi Fotodinamik
1. Metotreksat
98
Metotreksat (MTX) merupakan pilihan terapiyang sangat efektif bagi
psoriasis tipe plakkronis, juga untuk tatalaksana psoriasisberat jangka
panjang, termasuk psoriasiseritroderma dan psoriasis pustular.
MTXbekerja secara langsung menghambathiperproliferasi epidermis
melalui inhibisidi hidrofolat reduktase. Efek antiinfl amasi disebabkanoleh
inhibisi enzim yang berperandalam metabolisme purin.
2. Acitretin
3. Siklosporin A (CsA)
5. Sulfasalazine
6. Steroid Sistemik
7. Mikofenolat Mofetil
8. 6-Thioguanin
99
Merupakan analog purin yang sangatefektif untuk tatalaksana
psoriasis. Efeksamping yang sering adalah mual, diare,serta gangguan
fungsi hepar dan supresisumsum tulang.
9. Hidroksiurea
Terapi Kombinasi
Terapi Biologis
1. Alefacept
2. Efalizumab
100
3. Antagonis Tumor Necrosis α (TNF α)
Prognosis
DAFTAR PUSTAKA
R. ICHTHYOSIS VULGARIS
Definisi
101
Ichthyosis secara klinis dan genetik merupakan kelompok
kelainan kulit heterogen, yang digambarkan oleh adanya skuama yang
difus, uniform dan gambaran skuama persisten tanpa keterlibatan mukosa
atau ekstra-kutan. Sedangakan skuama menggambarkan adanya
perubahan diferensiasi epidermis. Kata ―ichthys‖ berasal dari bahasa
Yunani yang berarti ikan, hal ini menunjukkan kesamaan gambaran kulit
dengan sisik ikan. Ichthyosis juga dapat dimakni sebagai suatu kelompok
kelainan yang ditandai dengan fungsi barrier kulit yang abnormal, kelainan
keratinisasi, dan deskuamasi.
Epidemiologi
Gambaran Klinis
102
temuan ini dapat mengacaukan diagnosis karena hiperliniar palmar
dan keratosis piliaris dapat ditemukan pada individu yang atopi tanpa
ichtyosis vulgaris. Jarang terjadi, pasien dengan ichtyosis vulgaris bisa
memilki hypohidrosis dengan intoleransi terhadap panas. Terdapat variasi
yang besar dalam severitas manifestasi klinis pada masing masing individu
yang terkena dalam satu keluarga. Kondisi ini akan memburuk pada cuaca
dingin atau kering dan membaik saat cuaca hangat atau pada lingkungan
yang lembab dimana penyakit dapat menghilang secara dramatis.
Diagnosis
Anamnesis
a. Ichthyosis Herediter
Pada saat lahir kulit pasien iktiosis vulgaris herediter terlihat dan
teraba normal, namun kulit akan perlahan-lahan menjadi kasar dan kering
pada masa kanak- kanak. Kulit akan tampak bersisik dan
cenderung tampak lebih menonjol pada permukaan ekstensor
ekstremitas dan tidak ditemukan pada permukaan fleksura. Area popok
biasanya tidak terkena. Bagian kening dan pipi mungkin terlibat pada tahap
awal, namun kulit yang bersisik biasanya menghilang pada area
tersebut seiring dengan pertambahan usia. Gejala yang tampak jelas
biasanya terjadi pada musim dingin.
103
Kondisi atopik juga dapat ditemukan pada banyak anggota keluarga yang
lain dengan atau tanpa gejala Ichthyosis vulgaris.
b. Ichthyosis Didapat
Pemeriksaan Fisik
104
tangan dan telapak kaki, sehingga tampak kotor. Kulit pada area tersebut
dapat dengan mudah membentuk fisura yang nyeri khususnya pada cuaca
yang kering. Infeksi sekunder pada fisura sering ditemukan. Keratosis
pilaris atau hiperkeratosis folikuler terjadi pada bagian pipi dan leher,
bagian dorsum dari lengan atas, pantat, dan paha. Kondisi ini terdiri dari
papula parafolikuler yang runcing yang ketika dipalpasi terapa seperti keju.
Kulit yang kering pada bagian sentral papul tampak berwarna putih dan
sering dikira sebagai pus.
Pruritus atau rasa gatal mungin terjadi akibat kulit yang kering
walaupun tidak ada tanda inflamasi. Sebagai hasilnya, rasa gatal dan
garukan dapat menyebabkan eritema pada daerah yang terkena.
105
Pemeriksaan Penunjang
Dermatopatologi
Penatalaksanaan
106
Komplikasi
Prognosis
DAFTAR PUSTAKA
A. ERITEMA MULTIFORME
DEFINISI
SINONIM
EPIDEMIOLOGI
Penyakit ini lebih sering terjadi pada wanita daripada pria. Onset
50% pada usia 20 tahun
107
ETIOLOGI
GEJALA KLINIS
Lesi Kulit
Membran mukosa
Organ lain
108
Gejala klinis berupa spectrum yang bervariasi dari erupsi lokal kulit
dan mukosa sampai bentuk berat berupa kelainan multisistem yang dapat
menyebabkan kematian. Perjalanan penyakit dibagi menjadi tiga, yaitu
bentuk ringan (EM Minor), bentuk berat (EM Major).
EM Minor mengenai kulit dengan sedikit atau tidak ada lesi pada
membran mukosa. Lesi berupa eritema dan vesikel yang membentuk
gambaran lesi target/iris, tanpa bula dan gejala sistemik. Lokasi pada
ekstrimitas dan wajah. EM minor berulang biasanya disebabkan adanya
infeksi herpes simpleks beberapa hari sebelumnya.
PEMERIKSAAN LABORATORIUM
MANAJEMEN
Pencegahan
Glukokortikoid
109
B. STEVENS-JOHNSON SYNDROMEDAN TOXIC EPIDERMAL
NECROLYSIS (SJS-TEN)
DEFINISI
ETIOLOGI
PATOGENESIS
110
MANIFESTASI KLINIS
Kelainan kulit yang konfluens pada SJS hanya terdapat pada lokasi
predileksi seperti wajah, leher dan dada. Namun kelainan kulit akan
menyebar ke seluruh tubuh pada TEN. Kelainan kulit tersebut memiliki
struktur epidermis yang mudah lepas walaupun hanya dengan trauma yang
minimal.
Lesi di oral terasa sangat nyeri dan dapat menyebar dari gusi dan
lidah ke faring, rongga hidung, bahkan dapat mencapai laring esophagus
dan saluran napas, sehingga menyebabkan kesulitan makan, hipersalivasi,
dan kesulitan bernapas. Keterlibatan konjunctiva dapat menyebabkan
inflamasi dan kemosis, vesikulasi dan erosi yang sangat nyeri serta
lakrimasi bilateral. Selain itu dapat juga menyebabkan komjunctivitis
purulenta dengan fotofobia dan/atau pseudomembran, ulkus kornea, uveitis
anterior dan panoftalmitis.
111
Stevens-Johnson Syndrome
(%BSA)
112
PATOLOGI
LABORATORIUM
DIAGNOSIS BANDING
Karakteristik:
Karakteristik:
Karakteristik:
113
- Jika terjadi nekrosis, akan melibatkan lapisan yang lebih dalam
(SJS-TEN hanya terbatas pada epidermis)
KOMPLIKASI
Sequale:
PENATALAKSANAAN
b. Immunoglobulin
d. Cyclophosphamid
e. Cyclosporine
f. N-Acetylcysteine
g. Thalidomid
114
3. Penatalaksanaan suportif
- Kultur bakteri dan jamur dari erosi kulit dan mukosa 2 hingga 3
kali setiap minggu
PENCEGAHAN
PROGNOSIS
b. Keganasan
115
g. Bikarbonat < 20 mmol/L
C. PEMFIGUS VULGARIS
DEFINISI
KLASIFIKASI PEMFIGUS
Tipe Bentuk
Drug-induced
Drug-induced
Paraneoplastic
pemphigus
EPIDEMIOLOGI
- Usia 40 – 60 tahun
- Pria = wanita
116
immunologis dengan penyakit pemfigus foliaceus biasa, namun
hanya terdapat di daerah rural di brazil terutama di daerah
sepanjang sungai. Berdasarkan distribusi geografis dan suati
studi mengenai faktor risiko lingkungan, dicurigai bahwa lalat
hitam (Simulium nigrimanum) merupakan vector dari penyakit
ini.
Berdasarkan imunopatologis:
a. Imunofluorosensi
b. ELISA
c. Antigen pemfigus
117
- Pada penderita pemfigus vulgaris yang dominan menyerang
membran mukosa, terdapat anti-desmoglein 3 antibodi (anti Ds3
antibodi), sedangkan pada jenis yang dominan menyerang
mukokutaneus, terdapat anti-desmoglein 3 antibodi dan anti-
desmoglein 1 antibodi (anti-Dsg 1 antibodi)
Patofisiologi akantolisis
PEMERIKSAAN FISIK
Perjalanan penyakit:
- Dapat terjadi erupsi generalis dan akut dari bula sejak awal
118
Lesi Kulit
- Vesikel bulat atau oval dan bula berisi cairan serous yang datar
(flaccid), mudah rupture, basah, diskret, muncul pada kulit
normal dan lokasi nya acak
Membran Mukosa
119
Pemfigus Vegetans
Pemfigus foliaceus
Lesi Kulit
- Lesi berkrusta
Pemfigus Eritematosa
- Lesi muncul pada bagian malar wajah dan pada area seboroik
lainnya
Paraneoplastic pemfigus
Neonatal Pemfigus
120
- Bayi dari ibu yang menderita pemfigus vulgaris dapat
menimbulkan gejala klinis, histologist dan immunopatologis dari
pemfigus
Drug-Induced Pemfigus
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Dermatopatologi
Pemeriksaan pada bula pada tahap awal atau batas dari bula atau
erosi dengan mikroskop cahaya memperlihatkan adanya pemisahan
keratinosit suprabasal, sehingga tampak celah di antara stratum basalis
dan lapisan diatasnya. Vesikel mengandung keratinosit yang saling
terpisah dan terkelompok (akantolitik).
Serum
121
immunofluoresensi direk, dan deteksi autoantibody dalam sirkulasi untuk
meningkatkan kecurigaan akan penyakit ini.
PENATALAKSANAAN
- Terapi immunosupresif:
- Lainnya:
1. Kompres
122
3. Antibiotic
- Evaluasi:
PROGNOSIS
T. LUPUS ERITEMATOSA
Definisi
Lupus eritematosus (LE) adalah penyakit jaringan ikat heterogen
disertai aktivasi sel B poliklonal (terjadi otoimunitas yang ditujukan terutama
pada konstituen molekuler nukleosom dan ribonukleoprotein) dan diyakini
diakibatkan oleh interaksi faktor host (gen sensitif, hormon) dan lingkungan.
Spektrum keterlibatan penyakit dapat bervariasi dari keterlibatan kulit
terbatas (cutaneous LE atau CLE) sampai penyakit sistemik (systemic LE
atau SLE). Pola kulit yang terkena pada individu dengan LE dapat
memberikan petunjuk mengenai posisi spektrum dimana penyakit pasien
ditempatkan.
Nomenklatur dan sistem klasifikasi berdasar Gillian JN membagi manifestasi
kulit LE menjadi LE-specific skin disease (lesi menunjukkan perubahan
histologik khas) dan LE-non-specific skin disease (pemeriksaan histologik tidak
spesifik LE dan/atau dapat dijumpai sebagai gambaran histologi penyakit lain).
LE-specifik skin disease sering dipakai sebagai sinonim cutaneous LE (CLE).
123
4. Livedo reticularis
5. Thrombophlebitis
6. Raynaud phenomena
7. Erythromelalgia
124
5. Arthritis Non-erosive arthritis involving two or more
peripheral joints, characterized by tenderness,
swelling, or effusion
125
11.Anti-nuclear An abnormal titer of anti-nuclear antibody by
antibody immunofluorescence of an equivalent assay at
any point in time and in the absence of drugs
known to be associated with ―drug-induced lupus‖
syndrome.
Pasien dianggap menderita SLE bila didapatkan ≥ 4 kriteria, baik serial
maupun simultan, dalam setiap interval observasi.
Sumber: Tan EM et al: The 1982 revised criteria for the classification of
SLE. Arthritis Rheum 25:1271, 1982.
Gambaran klinis
Lesi kulit.
Tabel 3. membandingkan gambaran kunci dari klinis, histopatologik,
dan laboratorik dari ACLE, SCLE dan DLE klasik. Merupakan hal yang
penting untuk membedakan ke-3 subtipe tersebut, karena tipe kulit yang
terkena dan merefleksikan pola aktivitas SLE yang mendasarinya (istilah
akut, subakut, dan kronik CLE bukan berarti semata sudah berlangsung
berapa lama penyakit, tetapi lebih kepada kecepatan dan keparahan SLE
yang menyertai). Sebagai contoh, ACLE hampir selalu timbul dalam seting
SLE flare akut, CCLE sering timbul tanpa SLE atau SLE ringan, dan SCLE
menempati posisi intermediate dalam spectrum klinis. Walaupun penting
untuk menilai risiko, subklasifikasi kadang sukar karena tidak jarang
dijumpai beberapa subtype timbul bersama pada 1 pasien.
126
Risiko menjadi SLE +++ ++ +
+++: asosiasi kuat; ++: asosiasi moderat; +: asosiasi lemah; 0: tidak ada
asosiasi, negatif.
Sumber: Sontheimer RD, Provost TT. Lupus erythematosus, in Cutaneous
Manifestations of Rheumatic Diseases, edited by Sontheimer RD, Provost
TT. Baltimore, Wlliams & Wilkins, 1996.
Eritema batas tegas tertutup skuama halus pada punggung tangan, jari dan
area periungual, dan tidak ada lesi pada knuckles.
127
Generalized ACLE dinamai pula sebagai maculopapular rash of SLE,
photosensitive lupus dermatitis, dan SLE rash. Bentuk ACLE akut yang
ekstrim (LE-specific vesicobullous disease), jarang ditemui dan dapat
menyerupai TEN. Bentuk ini terjadi akibat apoptosis luas keratinosit
epidermal, dan terjadi dalam area full-thickness epidermal skin necrosis,
yang kemudian mengelupas. Ia dapat dibedakan dari TEN karena lesi
timbul terutama pada area yang terpajan matahari, awitan lebih lambat,
dan mukosa dapat terkena atau tidak. ACLE dipresipitasi atau eksaserbasi
oleh sinar UV. Bentuk ACLE berlangsung hanya beberapa jam, hari,
beberapa minggu atau lebih lama. Dapat terjadi perubahan pigmentasi
paska radang, dan tidak terjadi scar (kecuali bila diperparah oleh infeksi
sekunder). Dapat terjadi bersamaan dengan SCLE. Baik localized maupun
generalized ACLE hilang dan timbul secara paralel dengan aktivitas SLE
yang mendasari.
SUBACUTE CUTANEOUS LUPUS ERYTHEMATOSUS (SCLE).
Beberapa nama lain sebagai sinonim yaitu symetric erythema centrifugum,
disseminated DLE, autoimmune annular erythema, subacute disseminated
LE, superficial disseminated LE, psoriasiform LE, pityriasiform LE,
maculopapular photosensitive LE, dan LE gyratum repens. Walaupun
temuan otoantibodi terhadap partikel ribonukleoprotein Ro/SS-A sangat
mendukung diagnosis SCLE, adanya spesifisitas otoantibodi ini tidak
dibutuhkan untuk membuat diagnosis SCLE. Awalnya SCLE tampak
sebagai makula eritem dan/atau papul yang kemudian berkembang
menjadi pauloskuamosa hiperkeratotik atau plakat anuler/polisiklik
(Gambar 4A dan 4B). Lesi SCLE bersifat fotosensitif dan timbul terutama
pada area terpajan matahari (punggung atas, bahu, bagian ekstensor
lengan, area V leher dan jarang pada wajah). Lesi SCLE sembuh tanpa
skar tetapi dapat menyembuh (lama atau permanent) berupa leukoderma
(vitiligo-like) dan telangiektasia.
128
SCLE anular pada punggung atas wanita usia 38 tahun. Bagian sentral
yang hipopigmentasi didapati atrofi dermis.
Kadang, lesi awal SCLE tampak seperti eritem multiforme. Kasus seperti ini
sama dengan sindrom Rowell (lesi EM-like pada pasien SLE yang mempunyai
otoantibodi La/SS-B). Sebagai akibat kerusakan inten pada sel basal
epidermis, pinggir aktif lesi anuler SCLE kadang mengalami perubahan
vesikobulosa yang kemudian menghasilkan gambaran krustasi. Lesi tersebut
dapat menyerupai SJS/TEN. Patogenesisnya sama seperti pada ACLE yang
TEN-like. SCLE jarang tampak seperti eritroderma. Kisaran 15-20% pasien
dengan lesi SCLE mengembangkan pula lesi ACLE atau DLE klasik. Lesi
SCLE tidak induratif, seperti halnya lesi DLE. Kisaran separuh pasien
SCLE memenuhi criteria ACR yang telah direvisi untuk klasifikasi SLE.
Walaupun demikian, manistasi nefritis, penyakit system syaraf pusat dan
vaskulitis sistemik, hanya timbul pada 10-15% pasien SCLE. SCLE tipe
papuloskuamosa, lekopenia, titer ANA tinggi (> 1:640), dan anti-dsDNA
merupakan faktor risiko lesi SCLE untuk berkembang menjadi SLE. SCLE
dapat tumpang tindih dengan penyakit otoimun lain (sindrom Sjogren,
arthritis rematoid, tiroiditis Hashimoto. Dapat pula, SCLE disertai
dengankeganasan internal (karsinoma payudara, paru, lambung,
peranakan, porfiria kutanea tarda, GSE, penyakit Crohn dan limfoma
Hodgkin.
CHRONIC CUTANEOUS LUPUS ERYTHEMATOSUS (CCLE). Bentuk
paling umum CCLE, lesi DLE klasik awalnya berupa macula merah ungu,
papul atau plakat kecil dan cepat membentuk permukaan yang
hiperkeratotik. Lesi DLE klasik selanjutnya menjadi plakat eritem berbatas
129
tegas ukuran uang logam, tertutup skuama yang melekat yang meluas ke
dalam muara folikel rambut yang melebar. (Gambar 5.)
Gambar 14.5. DLE klasik. Plakat eritem awal yang tipikal pada dahi
menunjukkan hiperkeratosis dan aksentuasi muara folikel pada pria usia 60
tahun dengan 25 tahun riwayat CLE. Lesi telah ada sejak 3 bulan tanpa
atrofi dermis.
DLE klasik. Plakat eritem, berbatas tegas, bulat – ovoid, dengan sedikit
indurasi pada leher dan wajah. Plakat menunjukkan hiperkeratosis ringan,
beberapa terdapat atrofi dermis. Area hipopigmentasi tanpa radang dan
skar, menandai lokasi lesi sebelumnya yang telah menyembuh.
Apabila timbul pada kulit berambut (scalp, pinggir bulu mata, alis), akan
menyebabkan scarring alopecia. Lesi DLE ke dalam folikel rambut membentuk
keratotic plugs. Apabila skuama yang lekat diangkat dari lesi lanjut, akan tampak
130
keratotic spikes (tampak seperti carpet tacks) yang terproyeksi dari permukaan
bawah skuama (‗carpet tack‘ sign). Lesi tersebut sering dikelirukan dengan
keratosis aktinik, karsinoma sel skuamosa, atau akne.
Lesi DLE paling sering ditemui pada wajah, scalp, telinga, area V leher,
dan bagian ekstensor lengan. Kadang dijumpai plakat DLE yang simetris,
hiperkeratotik dan butterfly-shape pada area malar wajah dan melintang di
atas hidung. Lesi ini tidak boleh dikelirukan dengan lesi ACLE, karena lesi
ACLE lebih transient, edematosa, dan kurang berskuama. Selain itu, lesi
DLE induratif dan rekalsitran terhadapinhibitor calcineurin/steroid topical.
DLE fasial, seperti halnya ACLE dan SCLE, biasanya tidak mengenai
lipatan nasolabial. Scarring alopecia ireversibel pada DLE berbeda dari
reversible, non-scarring alopecia oleh SLE. Tiep kehilangan rambut ini,
lupus hair, dapat berupa telogen effluvium yang terjadi akibat flaring
systemic disease.
Lesi localized DLE hanya timbul pada kepala atau leher, sedangkan lesi DLE
generalisata dapat timbul di atas dan di bawah leher. Lesi DLE di bawah leher
paling sering pada bagian ekstensor lengan, dan badan lainnya. Dapat
menyerang nail unit seperti pada CLE lain dan SLE.
Lesi DLE dapat dipicu pajanan matahari, tetapi lebih kecil pengaruhnya
dibandingkan pada ACLE dan SCLE. Semua tipe CLE dapat dipresipitasi oleh
trauma kulit (fenomena Koebner).
Hubungan antara DLE klasik dan SLE telah menjadi subyek
perdebatan. Summary points berikut dapat dibuat: (1) 5% pasien dengan
lesi DLE klasik kelak dapat menjadi SLE; (2) Pasien DLE generalisata (lesi
di atas dan di bawah leher) memiliki lebih banyak gangguan imunologik,
risiko lebih tinggi untuk berkembang menjadi SLE, dan risiko lebih tinggi
untuk berkembang menjadi SLE yang lebih parah daripada pasien
localizedDLE.
Faktor risiko yang mempengaruhi DLE menjadi SLE, yaitu adanya:
limfadenopati generalisata; lesi kulit SCLE/ACLE; lesi kulit LE-non-specific
(vaskulitis, alopesia difus non-scarring; telangiektasia periungual nail fold,
fenomena Raynaud; anemia yang tidak dapat dijelaskan; lekopenia nyata; tes
serologi sifilis positif palsu; asai ANA menunjukkan hasil titer tinggi dan
persisten; anti-ssDNA; hipergamaglobulinemia; LED > 50 mm/jam; sun-
protected, non-lesional lupus band test (LBT) positif, dan peningkatan level
reseptor soluble IL-2.
DLE hipertrofik, atau DLE hiperkeratotik/verukosa, adalah varian CCLE
yang jarang, dimana hyperkeratosis lebih menonjol. Daerah yang tersering
terkena ialah ekstensor lengan, punggung atas, dan wajah. Gambaran
overlapping LE hipertrofi dan liken planus digambarkan sebagai lupus
planus. Pasien DLE hipertrofik tidak menunjukkan risiko lebih tinggi
menjadi SLE dibandingkan DLE klasik.
Mucosal DLE (oral, nasal, konjungtiva, genital) terjadi pada kisaran
25% pasien CCLE. Dalam mulut, terutama pada buccal mucosa. Lesi
diawali sebagai bercak eritem, tidak nyeri yang selanjutnya menjadi plakat
kronik (dibingungkan dengan liken planus). Lesi tersebut dapat degenerasi
131
menjadi SCC (adanya nodular asimetri dalam lesi mukosa DLE harus
dievaluasi kemungkinan adanya keganasan.
DRUG-INDUCED CUTANEOUS LUPUS ERYTHEMATOSUS. Drug-
induced lupus mempunyai gejala dan laboratories khas yang sama dengan
SLE idiopatik, dan banyak obat dikaitkan dalam induksi berbagai gambaran
SLE (prokainamid, hidralazin, isoniazid, klorpromazin, fenitoin, minosiklin,
dan anti-TNF). Drug-induced SLE klasik didapati antibody anti-histon dan
bermanifestasi sama dengan SLE tetapi tanpa mengenai kulit.
Obat dapat pula menginduksi atau eksaserbasi lesi kulit LE-specific. SCLE
akibat obat secara meyakinkan dihubungkan dengan HCT, calcium channel
blockers, inhibitor ACE, dan cinnarizine. Selain itu, obat yang memicu SCLE
adalah piroksikam, D-penicillamine, sulfonylurea, oxprenolol, terapi emas
parenteral, griseofulvin, naproxen, spironolakton, IFN-β, ranitidine,
efalizumab, propiltiouracil, karbamazepin, 5-fluorourasil sistemik,
lansoprazol, bupropin,asebutolol, tiotropium inhalasi, dan leflunomide
(untuk arthritis rematoid).
132
LE-NON-SPECIFIC SKIN DISEASES. Seperti halnya LE-specific skin disease
(misal ACLE), keberadaan lesi kulit non-spesifik dapat menjadi indikator dari
aktivitas SLE.
Diagnosis
Pendekatan pasien dengan lesi kulit yang dicurigai sebagai CLE.
133
Photosensitive Annular psoriasiform Scarring
facial eruption plaque alopecia
Penatalaksanaan umum
Penatalaksanaan awal setiap tipe CLE adalah evaluasi kemungkinan
adanya SLE. Semua pasien harus menghindari sinar matahari dan UVR
artificial dan menghindari obat photosensitizing potensial (hidroklorotiazid,
tetrasiklin, griseofulvin, dan piroksikam. Lesi ACLE biasanya responsive
terhadap obat imunosupresif sistemik yang diperlukan untuk mengobati
penyakit SLE yang sering menyertai ACLE (steroid sistemik, azatioprin,
siklofosfamid). Bukti makin kuat menunjukkan bahwa hidroksikloroquin
134
mempunyai efek sparing dengan steroid pada SLE, dan obat ini dapat
berguna pada ACLE. Untuk SCLE dan CCLE, lebih dipilih obat non-
imunosupresif karena keduanya hanya sedikit atau tidak ada penyakit
sistemik yang mendasari (SLE), dan kalaupun diperlukan, kedua penyakit
tersebut member respon baik terhadap obat imunosupresif.
Terapi khusus
1. Terapi lokal
Proteksi matahari. Teratur pakai tabir surya water-resistant, broad
spectrum (SPF ≥ 30 ditambah agen pemblok UVA: avobenzone, TiO2
mikronized, zinc oxide micronized.
Steroid lokal. steroid potensi menengah triamsinolon asetonid 0.1%
untuk kulit sensitive (wajah), atau potensi sangat poten klobetasol propionate
0.05% atau betametason dipropionat 0.05% (hasil lebih baik untuk CLE).
Steroid superpoten diberikan 2 x/h pada kulit berlesi selama 2 minggu,
dilanjutkan dengan 2 minggu istirahat dapat meminimalkan risiko komplikasi
local seperti atrofi dan telangiektasia.Bentuk salap lebih efektif untuklesi
hiperkeratotik. Oklusi meningkatkan baik efektifitas maupun efek samping.
Sayangnya, bahkan dengan regimen steroid topical paling agresifpun tidak
menghasilkan perbaikan memadai untuk sebagian besar kasus SCLE dan
CCLE.
Steroid intralesi. Triamsinolon asetonid 2.5-5.0 mg/ml untuk wajah
(konsentrasi lebih tinggi untuk lokasi yang kurang sensitive), lebih bermanfaat
untuk SCLE dan DLE. Bagian pinggir lesi yang aktif harus diinfltrasi secara
menyeluruh. Indikasi steroid intralesi terutama untuk lesi hiperkeratotik atau
lesi yang tidak responsive terhadap steroid topical. Kelemahan: lesi pasien
CLE biasanya banyak sehingga sukar dilakukan injeksi.
Inhibitor calcineurin topical. Pimekrolimus 1% dan takrolimus 0.1%
dilaporkan menghasilkan efikasi yang bervariasi pada CLE.
2. Terapi sistemik
Antimalaria. Satu atau kombinasi beberapa antimalaria aminoquinolin
efektif pada kisaran 75% pasien CLE yang gagal mencapai hasil memadai
dengan terapi local. Obat dapat menyebabkan toksisitas retina, sehingga
sebelum terapi harus dilakukan konsultasi ke ahli Mata. Risiko retinopati sangat
jarang bila level maksimum dosis harian tidak dilampaui (hidroksikloroquin : 6.5
mg/kg/hari sesuai dengan berat badan ideal; kloroquin: 4 mg/kg/hari). Selama
pengobatan, evaluasi oftalmologis dilakukan tiap 6-12 bulan.
Hidroksikloroquin sulfat (plaquenil) 400 mg/hari oral, harus diberikan
selama 6-8 minggu pertama pengobatan untuk mencapai level darah
seimbang. Bila respon klinik memadai dicapai, dosis harian diturunkan
sampai dosis pemeliharaan 200 mg/hari paling tidak selama 1 tahun
(meminimalkan kemungkinan rekuren). Apabila setelah 8-12 minggu tidak
ada respon, quinakrin HCl 100mg/hari dapat ditambahkan bersama
hidroksikloroquin tanpa meningkatkan risiko retinopati (quinakrin tidak
menyebabkan retinopati). Apabila dengan kombinasi ini kontrol klinis yang
135
memadai tidak tercapai setelah 4-6 minggu, maka hidroksikloroquin digantikan
dengan kloroquin difosfat (aralen), 250 mg/hari (kloroquin dianggap lebih efektif
mengobati CLE karena mencapai respon terapetik lebih awal karena level
darah seimbang dicapai lebih cepat). Hidroksikloroquin dan kloroquin tidak
boleh diberikan bersamaan karena keduanya menyebabkan toksisitas retina.
Efek samping lain dari antimalaria diantaranya cefalgia, intoleran
gastrointestinal, toksisitas hematologic akibat defisiensi G6PD, gatal, erupsi
obat likenoid, dan deposit pigmen mukosa/kulit (quinakrin >
hidroksikloroquin atau kloroquin). Ketiga antimalaria dapat menyebabkan
anemia aplastik (jarang bila dipakai regimen dosis diatas). Sebelum terapi
dengan hidroksikloroquin dan kloroquin, dilakukan pemeriksaan darah rutin
lengkap, tes fungsi hati dan ginjal; diulang 4-6 minggu setelah terapi serta
4-6 bulan setelah itu. Pasein porfiria cutanea tarda (subklinis/overt)
memiliki risiko tinggi mengalami hepatotoksisitas akut sekalipun dengan
dosis terapetik antimalaria.
Opsi nonimunosupresif terhadap penyakit yang refrakter terhadap
antimalaria. Beberapa pasien CLE refrakter (SCLE > DLE) memberi respon
terhadap diaminodifenil sulfon (DDS). Dosis inisial 2 x 25 mg/hari oral dapat
ditingkatkan sampai 200-400 mg/hari, bila perlu. Hoemolisis dan/atau
methemoglobinemia dapat terjadi (dose-related), terutama bila ada G6PD.
Isotretinoin, 0.5-2.0 mg/kg/hari, acitretin 10-50 mg/hari pernah dipakai,
tetapi efikasinya dibatasi oleh efek samping (teratogen, kekeringan
mukokutan, hiperlipidemia). Talidomid 50-200 mg/hari sangat efektif untuk
CLE yang refrakter terhadap obat lain. Banyak penelitian menunjukkan
response rates antara 85%-100%, dan banyak pasien mengalami remisi
komplit. Efek samping talidomid di antaranya terogenik, dan peripheral
neuropathy (25-75%) yang sebagian besar revesible, tromboembolisme
(karena adanya antibody anti-fosfolipid). Obat lain yang dilaporkan
bermanfaat untuk CLE refrakter ialah emas dan clofazimin, vit E, dilantin,
sulfasalazin, danazol, fototerapi.
Steroid sistemik. Diusahakan agar steroid sistemik dihindari pada LE yang
terbatas di kulit. Pada kasus yang berat dan simptomatik, digunakan iv pulse
metilprednisolon; pada kasus yang kurang akut, prednisone 20-40 mg/hari,
single morning dose, dapat diberikan sebagai terapi supplemental selama
loading phase terapi dengan antimalaria. Dosis harus cepat diturunkan
seawal mungkin untuk menghindari avascular (aseptic) bone necrosis.
Karena kehilangan tulang terjadi paling cepat dalam 6 bulan pertama, pasien
diberikan obat pencegah osteoporosis sejak awal. Dosis harian harus
diturunkan 5-10 mg sampai dosis harian mencapai 20 mg/hari. Setelah itu, dosis
diturunkan dengan 2.5 mg. Bila mencapai dosis harian 10 mg/hari, dosis
diturunkan dengan 1 mg. Bila pasien menderita penyakit hati, dipilih prednisolon.
Imunosupresif lain. MMF 2.5-3 g/hari, MTX 15-20 mg, oral, 1 hari/minggu,
azatioprin (imuran) 1.5-2 mg/kg/hari, dapat beritindak sebagai steroid-sparing
untuk CLE berat dan rekalsitran. Obat lain, diantaranya sitosin arabinose,
siklosporin, dan IVIG.
136
Terapi biologik. Antibodi monoklonalchimerik rituximab (mengikat antigen
CD20 pada permukaan sel B yang sedang berkembang); antibody monoclonal
terhadap antigen CD22 pada sel B (epratuzumab); belimumab (antibody
monoclonal fully human) mengikat B lymphocyte stimulator (BLyS); abatacept
protein fusi fully human memblok ko-stimulasi antara CD80/86-CD28 sehingga
aktivasi, proliferasi dan sekresi sitokin sel T menurun, selanjutnya produksi
antibody ditekan, tanpa menurunkan jumlah sel T dan sel B; antibody
monoclonal anti IFN-α (sedang dalam penelitian fase I di Amerika).
CLE
SLE ?
Terapi sistemik
Keterangan: 1. opsi terapi lini pertama; 2. opsi terapi lini kedua (antimalaria
± steroid oral); 3. opsi terapi lini ketiga (imunosupresif ± steroid oral),
dapson asitretin (non-imunosupresif) dipertimbangkan sebelum ke opsi 3
(imunosupresif); 4. opsi terapi biologics (investigasional). (lihat Tabel 5).
Terapi bedah dan kosmetik. Modalitas ini harus hati-hati karena trauma
dapat menyebakan eksaserbasi LE. Kalaupun dilakukan, pasien harus
137
sedang dalam terapi sistemik pemeliharaan (antimalaria). Dapt dicoba
pemakaian laser.
Pencegahan
Proteksi matahari dan sinar artificial secara fisik, memakai tabir surya
broad spectrum secara teratur yang mempunyai SPF ≥ 30.
DAFTAR PUSTAKA
2. Tan EM et al: The 1982 revised criteria for the classification of SLE.
Arthritis Rheum 25:1271, 1982.
138
BAB II
MODUL ILMU PENYAKIT MATA
Capaian Pembelajaran :
1. Mahasiswa mampu mendiagnosis dan melakukan tatalaksana
farmakoterapi dan non farmakoterapi penyakit Mata terkait Konjunctiva
antara lain : Benda asing di Konjungtiva, Konjungtivitis, Perdarahan
Sub Konjungtiva, Mata Kering; Penyakit Mata terkait Kelopak Mata,
antaralain : Blefaritis, Hordeolum, Trikiasis; Penyakit Mata terkait
Sklera, yakni Episkleritis
2. Mampu mendiagnosis dan melakukan tatalaksana farmakoterapi dan
non farmakoterapi penyakit Mata terkait Gangguan Akomodasi dan
Refraksi, antaralain : Hipermetropia ringan, Miopia ringan,
Astigmatisma ringan, Presbiopia dan Buta Senja
3. Mahasiswa mampu mendiagnosis dan melakukan tatalaksana awal
dan merujuk Penyakit Mata Bukan Gawat Darurat antaralain Penyakit
Mata terkait Konjuctiva, Pterigium; Penyakit Mata terkait Kelopak
Mata, Chalazion; Penyakit mata terkait Aparatus Lakrimalis antaralain :
Dakrodenitis, Dakriosistitis; Penyakit Mata terkait Sklera, Episkleritis;
Penyakit Mata terkait Kornea : Keratitis, Xerophtalmia; Penyakit Mata
terkait Anterior Chamber antaralain Hifema, Hipopion; Penyakit Mata
terkait Iris dan Badan Silier yakni Iridosiklitis, Iritis; Glaukoma non akut
4. Mampu mengenali, menjelaskan, mendiagnosis dan mengetahui
penyakit Mata yang harus dirujuk antara lain Penyakit Mata terkait
kelopak Mata antaralain : Entropion, Lagoftalmus, Epikantus, Ptosis,
Retraksi kelopak mata, Xanthelasma; Penyakit Mata terkait Aparatus
Lakrimalis antaralain: Dakriostenosis, Laserasi duktus lakrimal;
Penyakit Mata terkait Kornea antara lain : Erosi kornea, benda asing
kornea, luka bakar kornea, keratokonjungtivitis sicca, Edema Kornea,
Keratokonus; Penyakit Mata terkait Bola Mata : Endoftalmitis,
Mikroftalmus; Penyakit Mata terkait Cairan Vitreous, Perdarahan
Vitreous; Penyakit Mata Terkait Iris dan Badan Silier, Tumor Iris
5. Mampu mengenali, menjelaskan, mendiagnosis dan mengetahui
penyakit Mata yang harus dirujuk antara lain Penyakit Mata terkait
Lensa antaralain: Katarak, Afakia Kongenital, Dislokasi Lensa;
Gangguan Akomodasi dan Refraksi: Anisometropia pada anak,
139
Ambliopia, Diplopia Binokular, Skotoma, Hemianopia, bitemporal and
homonymous dan gangguan lapang pandang; Penyakit Mata terkait
Retina Ablasio Retina, Perdarahan Retina, Oklusi pembuluh darah
retina, Degenerasi makula karena usia, Retinopati (diabetik, hipertensi,
prematur), Korioretinitis; Penyakit Mata Terkait Diskus optik dan saraf
mata antaralain: Optic disc cupping, Edema Papil, Atrofi Optik,
Neuropati optik, Neuritis Optik
Benda asing adalah suatu benda yang ada dalam tubuh yang
seharusnya tidak ada.Benda asing yang masuk ke mata itu biasanya
berukuran kecil. Benda kecil (serpihan logamatau kayu) sering melekat di
daerah kelopak mata, di konjungtiva mata atau di kornea.Biasanya benda
kecil itu akan tersapu sendiri oleh kejapan mata dan genangan air mata.
Airmata akan keluar sendiri bila mata terangsang oleh benda asing. Benda
asing yang masuk ke mata dengan kecepatan tinggi akan masuk ke bola
mata dan biasanya tidak dapat keluarsendiri. Benda asing yang tertanam di
konjungtiva kelopak mata, harus segera dikeluarkankarena biasanya
mengucek-ngucek kelopak mata yang kemasukan benda asing itu,
sehinggabenda asing itu dapat menggores permukaan kornea mata dan
menyebabkan peradangankornea mata.
140
Benda asing di kornea harus segera dikeluarkan agar tidak terjadi
kerusakan lebihparah, karena barang asing itu dapat menimbulkan
kekeruhan pada kornea. Untuk mencaridan menentukan benda asing itu,
kadang-kadang perlu dipakai lensa pembesar, senter, danlampu kepala.
Benda asing kecilberupa serpihan logam, kaca, atau kayu yang masuk ke
mata dengan kecepatan rendahbiasanya mudah di congkel dengan ujung
pisau atau jarum.
B. PERDARAHAN SUBKONJUNGTIVA
Definisi
Perdarahan yang terjadi di daerah antara konjungtiva dan sklera. Sehingga
mata akan mendadak terlihat merah.
Epidemiologi
Dapat terjadi di semua kelompok umur.
Perdarahan subkonjungtiva sebagian besar terjadi unilateral (90%)
Pada perdarahan subkonjungtiva tipe spontan (64.3%)
Kondisi hipertensi memiliki hubungan yang cukup tinggi dengan
angka terjadinya perdarahan subkonjungtiva (14.3%)
Faktor resiko
Hipertensi
Trauma tumpul atau tajam
Penggunaan obat pengencer darah
Benda asing
Konjungtivitis
Etiologi
Idiopatik
Genetik
Manuver Valsalva (seperti batuk, tegang, muntah – muntah, bersin)
Traumatik (terpisah atau berhubungan dengan perdarahan
retrobulbar atau ruptur bola mata)
Hipertensi
Gangguan perdarahan (jika terjadi berulang pada pasien usia muda
tanpa adanya riwayat trauma atau infeksi), termasuk penyakit hati
atau hematologik, diabetes, SLE, parasit dan defisisensi vitamin C.
141
Obat-obatan (antibiotik, NSAID, steroid, kontrasepsi)
Klasifikasi
Berdasarkan mekanisme terjadinya perdarahan subkonjungtiva dibedakan
atas :
Perdarahan subkonjungtiva tipe spontan
Perdarahan subkonjungtiva tipe traumatik
Manifestasi klinis
Sebagian besar asimptomatis (hanya terlihat darah pada bagian
sclera)
Nyeri (jarang pada permulaan perdarahan)
Rasa tidak nyaman, sensasi seperti ada yang mengganjal dan
penuh di mata
Tampak adanya perdarahan di sklera dengan warna merah terang
(tipis) atau merah tua (tebal).
Tidak ada tanda peradangan, kalaupun adanya biasanya
peradangan yang ringan.
Perdarahan akan terlihat meluas dalam 24 jam pertama setelah itu
kemudian akan berkurang perlahan ukurannya karena diabsorpsi.
Diagnosis
Anamnesis (Didapatkan pernyataan sesuai manifestasi klinis diatas)
Pemeriksaan fisik
Tampak adanya perdarahan di sklera dengan warna merah
terang(tipis) atau merah tua (tebal)
Pemeriksaan tajam penglihatan, jika visus<6/6 curiga terjadi
kerusakan selain di konjungtiva.
Komplikasi
Perdarahan subkonjungtiva akan diabsorpsi sendiri oleh tubuh
dalam waktu 1 – 2 minggu, sehingga tidak ada komplikasi serius
yang terjadi
Pada perdarahan subkonjungtiva yang sifatnya menetap atau
berulang(kambuhan) harus dipikirkan keadaan lain (limfoma
adneksa okuler).
142
C. KONJUNGTIVITIS
Definisi
Konjungtivitis adalah peradangan pada konjungtiva dan penyakit ini
adalah penyakit mata yang paling umum di dunia. Penyakit ini bervariasi
mulai dari hiperemia ringan dengan mata berair sampai konjungtivitis berat
dengan banyak sekret purulen kental Jumlah agen-agen yang pathogen
dan dapat menyebabkan infeksi pada mata semakin banyak, disebabkan
oleh meningkatnya penggunaan obat-obatan topical dan agen
imunosupresif sistemik, serta meningkatnya jumlah pasien dengan infeksi
HIV dan pasien yang menjalani transplantasi organ dan menjalani terapi
imunosupresif.
Etiologi
Konjungtivitis bisa disebabkan oleh berbagai macam, yaitu:
1. Bakteri (Konjungtivitis Bakteri)
Konjungtivitis bakteri hiperakut biasanya disebabkan oleh N
gonnorhoeae, Neisseria kochii dan N meningitidis. Bentuk yang akut
biasanya disebabkan oleh Streptococcus pneumonia dan Haemophilus
aegyptyus. Penyebab yang paling seringpada bentuk konjungtivitis bakteri
subakut adalah H influenza dan Escherichia coli,sedangkan bentuk kronik
paling sering terjadi pada konjungtivitis sekunder atau padapasien dengan
obstruksi duktus nasolakrimalis
2. Virus (Konjungtivitis Virus)
Konjungtivitis viral dapat disebabkan berbagai jenis virus, tetapi
adenovirus adalah virus yang paling banyak menyebabkan penyakit ini,
dan herpes simplex virus yang paling membahayakan. Selain itu penyakit
ini juga dapat disebabkan oleh virus Varicella zoster, picornavirus
(enterovirus 70, Coxsackie A24), poxvirus, dan human immunodeficiency
virus
3. Alergi (Konjungtivitis Alergi)
Etiologi konjungtivitis alergi berbeda-beda sesuai dengan
subkategorinya. Misalnya konjungtivitis alergi musiman dan tumbuh-
tumbuhan biasanya disebabkan oleh alergi tepung sari, rumput, bulu
hewan dan disertai dengan rinitis alergi serta timbul pada waktu-waktu
tertentu. Vernal konjungtivitis sering disertai dengan riwayat asma, eksema
dan rinitis alergi musiman. Konjungtivitis atopik terjadi pada pasien dengan
riwayat dermatitis atopic, sedangkan konjungtivitis papilar rak pada
pengguna lensa-kontak atau mata buatan dari plastic.
4. Jamur (Konjungtivitis Jamur)
Konjungtivitis jamur paling sering disebabkan oleh Candida albicans
dan merupakan infeksi yang jarang terjadi. Selain Candida sp, penyakit ini
juga dapat disebabkan oleh Sporothrix schenckii, Rhinosporidium serberi,
dan Coccidioidesimmitis walaupun jarang.
143
5. Parasit (Konjungtivitis Parasit)
Konjungtivitis parasit dapat disebabkan oleh infeksi Thelazia
californiensis, Loa loa, Ascaris lumbricoides, Trichinella spiralis,
Schistosoma haematobium, Taenia solium dan Pthirus pubis walaupun
jarang.
6. Bahan kimia/iritan (Konjungtivitis kimia atau iritatif)
Konjungtivitis kimia-iritatif adalah konjungtivitis yang terjadi oleh
pemajanan substansi iritan yang masuk ke sakus konjungtivalis. Substansi-
substansi iritan yang masuk ke sakus konjungtivalis dan dapat
menyebabkan konjungtivitis, seperti asam, alkali, asap dan angin. Selain itu
penyakit ini dapat juga disebabkan oleh pemberian obat topikal jangka
panjang seperti dipivefrin, miotik, neomycin, dan obat-obat lain dengan
bahan pengawet yang toksik atau menimbulkan iritasi.
7. Konjungtivitis lain
Selain disebabkan oleh bakteri, virus, alergi, jamur dan parasit,
konjungtivitis juga dapat disebabkan oleh penyakit sistemik dan penyakit
autoimun seperti penyakit tiroid, gout dan karsinoid (Vaughan, 2010).
Konjungtivitis juga bisa terjadi sebagai komplikasi dari acne rosacea dan
dermatitis herpetiformis ataupun masalah kulit lainnya pada daerah wajah.
Gejala klinis
Tanda penting konjungtivitis adalah hiperemia, berair mata,
eksudasi, pseudoptosis, hipertropi fapiler, kemosis, folikel, psedomrmbran
dan membran, granuloma dan adenopati preaurikuler. Hiperimia adalah
tanda klinik yang paling mencolok dari konjungtivitis akuta kemerahan
paling nyata pada formix dan mengurangi kearah limus ke arah dilatasi
pembuluh posterior. Berair mata (epipora) sering mencolok pada
konjungtiviotis sekresi pada air mata disebabkan adanya sensasi benda
asing, sensasi terbakar, gatal.
Diagnosis
Pemeriksaan fisik (inspeksi) untuk mencari karakter atau tanda
konjungtivitis yang meliputi Hiperemi konjungtiva yang tampak paling nyata
pada forniks dan mengurang kea rah limbus, Kemungkinan adanya sekret:
1). Mukopurulen dan berlimpah pada infeksi bakteri yang menyebabkan
kelopak mata lengket saat bangun tidur, 2). Berair/encer pada inveksi virus,
Edema konjungtiva, Blefarospasme, Lakrimasi, Konjungtiva palpebra
(merah, kasar seperti beludru karena ada edema dan infiltrasi), Konjungtiva
bulbi, injeksi konjungtival banyak, kemosis, dapat ditemukan pseudo
membrane pada infeksi pneumakok.
Pemeriksaan Penunjang
Test komposisi air mata (Schimer test, BUT, Ferning test), Uji Anel,
pemeriksaan swab sekret (gram, Giemsa), pemeriksaan laboratorium,
pemeriksaan visus, kaji visus klien dan catat derajat pandangan perifer
klien karena jika terdapat sekret yang menempel pada kornea dapat
menimbulkan kemunduran visus atau melihat halo.
144
Tatalaksana
Konjungtivitis biasanya hilang sendiri. Tapi tergantung pada
penyebabnya, terapi dapat meliputi antibiotika sistemik atau topical, bahan
anti inflamasi, irigasi mata, pembersihan kelopak mata atau kompres
hangat. Pengobatan spesifik tergantung dari identifikasi
penyebab.Penanganannya dimulai dengan edukasi pasien untuk
memperbaiki higiene kelopak mata. Pembersihan kelopak 2 sampai 3 kali
sehari dengan artifisial tears dan salep dapat menyegarkan dan
mengurangi gejala pada kasus ringan. Pada kasus yang lebih berat
dibutuhkan steroid topikal atau kombinasi antibiotik-steroid.
Prognosis dan Komplikasi
Bila segera diatasi, konjungtivitis ini tidak akan membahayakan.
Namun jika bila penyakit radang mata tidak segera ditangani/diobati bisa
menyebabkan kerusakan pada mata/gangguan dan menimbulkan
komplikasi seperti Glaukoma, katarak maupun ablasi retina
Etiologi
Penyebab mata kering diklasifikasikan menjadi kelompok defisiensi
aqueous dan kelompok evaporasi. Pemeriksaan menggunakan tes
schirmer diindikasikan untuk defisiensi aqueous dan pemeriksaan tear
break up test diindikasikan untuk kelompok evaporasi.
Faktor Resiko
145
Bagan Faktor Resiko
Tanda dan Gejala
Tanda dan gejala tergantung dari keparahan sindroma mata kering atau
keratitis sicca, sebagian besar penderita mengeluhkan keadaan sebagai
berikut:
sensasi benda asing, mata kering, dan berpasir
hyperemia
mucoid discharge
iritasi mata
pengeluaran air mata yang berlebihan
photophobia
penglihatan kabur
Keluhan tersebut sering memberat pada lingkungan berasap atau
lingkungan kering, ruangan panas, dan aktifitas lama di depan komputer
atau membaca lama.
Tes Pemeriksaan
Pemeriksaan fungsi sistem lakrimalis dan kelopak mata, antara lain:
1. Tes Schirmer
Tes Schimer 1
Tes ini merupakan pemeriksaan fungsi sekresi sistem lakrimlais.Uji ini
untuk menentukan apakah produksi air mata cukup untukmembasahi mata.
Pemeriksaan ini mengukur sekresi basal danrefleks ekskresi sistem
lakrimalis.
2. Uji sekresi basal
Dasar
Dengan memberikan anestesi pada mata maka akan keluar
sekresiair mata yang tidak diakibatkan rangsangan sehingga timbul
reflexsekresi.
3. Uji phenol red thread
Fenol merah sangat rentan pH yang akan berubah dari warna
kuningmenjadi merah bila dibasahi air mata.
4. Uji laboratorium air mata
Beberapa pemeriksaan laboratorium dilakukan untuk mengetahui mata
kering seperti:osmolaritas, jumlah laktoferin dan impresi sitologi epitel
konjungtiva.
5. Uji warna sekunder
Bila terdapat fungsi yang normal pada system ekskresi air mata makazat
warna yang diberikan pada air mata akan telihat juga mengalir kedalam
hidung hal ini mungkin akibat penyumbatan system eksresilakrimal
sebagian. Pada keadaan ini bila dilakukan pemompaandengan garam
fisiologik melalui system eksresi lakrimal maka zatwarna akan terlihat di
hidung (dye tes sekunder)
6. Uji fluoresensi pada fungsi sistem lakrimalis
146
Air mata masuk hidung melalui system ekskresi lakrimal. Air matadengan
fluorescein akan masuk ke dalam system lakrimal dan terlihatdi hidung
dengan warna hijau.
7. Uji anel
Tes untuk menentukan fungsi ekskresi system lakrimal. Uji Aneladalah
suatu uji untuk melakukan pemeriksaan fungsi pengeluaranair mata ke
dalam rongga hidung.
8. Tes zat warna Rose Bengal konjungtiva
Rose bengal merupakan zat warna yang bila diberikan padapermukaan
mata akan diambil oleh sel epitel yang mati. Pewarnaanpositif konjungtiva
oleh rose bengal akan selalu terlihat pada diagnose mata kering. Uji ini
lebih sensitif daripada fluoresein, warna rose Bengal akan mewarnai sel-sel
epitel kornea yang tidak vital juga sel-sel padakonjungtiva.
Treatment
1. Higienitas palpebra untuk menstabilkan film air mata
denganmengkompres menggunakan air hangat selama 2 menit,
2-4 kalisehari.Kemudian bersihkan dengan sampo bayi
denganmengggunakan ujung jari tangan setiap setelah
mengkompres.
2. Penggantian dan stimulasi air mata. Cairan
hipotonikdirekomendasikan dan sangat membantu untuk kasus
yangringan.
3. Kondisi yang menyertai
Campuran antara lubrikasi normal dan fungsi pembersihan dari
airmata maupun yang berhubungan dengan penurunan
lisozimberesiko timbulnya infeksi grade rendah kronis. Infeksi
yangmengenai tepi palpebra dapat memperburuk kondisi
defisiensi airmata yang sudah ada, dan blepharitis anterior
ataupun superiorarus diterapi dengan higienitas palpebra yang
adekuat,antiinflamasi, dan/atau antibiotic.
4. Oklusi puncta
Dilakukan jika diakibatkan evaporasi air mata yang berlebihan.
5. Therapeutic contact lens therapy (TSCL)
Hydrophilic bandage lenses biasanya disediakan
untukmenampung air mata jika digunakan dengan kombinasi air
mataartifisial yang banyak. Lensa terbaru yaitu gas-permeable
scleral contact lenses sangat efektif.
147
E. BLEFARITIS
DEFINISI
Blefaritis adalah suatu peradangan pada kelopak mata. Blefaritis ditandai
dengan pembentukan minyak berlebihan di dalam kelenjar di dekat kelopak
mata yang merupakan lingkungan yang disukai oleh bakteri yang dalam
keadaan normal ditemukan di kulit.
PENYEBAB
Terdapat 2 jenis blefaritis:
Blefaritis anterior : mengenai kelopak mata bagian luar depan
(tempat melekatnya bulu mata). Penyebabnya adalah bakteri
stafilokokus dan ketombe pada kulit kepala.
Blefaritis posterior ; mengenai kelopak mata bagian dalam (bagian
kelopak mata yang lembab, yang bersentuhan dengan mata).
Penyebabnya adalah kelainan pada kelenjar minyak. penyakit kulit
yang bisa menyebabkan blefaritis posterior adalah rosasea dan
ketombe pada kulit kepala (dermatitis seboreik). Alergi atau
infestasi kutu pada bulu matajuga bisa menyebabkan blefaritis.
GEJALA
Blefaritis menyebabkan kemerahan dan penebalan, bisa juga terbentuk
sisik dan keropeng atau luka terbuka yang dangkal pada kelopak mata.
Blefaritis bisa menyebabkan penderita merasa ada sesuatu di matanya.
Mata dan kelopak mata terasa gatal, panas dan menjadi merah.
Bisa terjadi pembengkakan kelopak mata dan beberapa helai bulu mata
rontok.
Mata menjadi merah, berair dan peka terhadap cahaya terang. Bisa
terbentuk keropeng yang melekat erat pada tepi kelopak mata; jika
keropeng dilepaskan, bisa terjadi perdarahan.
Selama tidur, sekresi mata mengering sehingga ketika bangun kelopak
mata sukar dibuka.
DIAGNOSA
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala dan hasil pemeriksaan kelopak
mata.
PENGOBATAN
Pengobatan utama adalah membersihkan pinggiran kelopak mata untuk
mengangkat minyak yang merupakan makanan bagi bakteri. Bisa
digunakan sampo bayi atau pembersih khusus.
Untuk membantu membasmi bakteri kadang diberikan salep antibiotik
(misalnya eritromisin atau sulfacetamide) atau antibiotik per-oral (misalnya
tetracycline). Jika terdapat dermatitis seboroik, harus diobati. Jika terdapat
kutu, bisa dihilangkan dengan mengoleskan jeli petroleum pada dasar bulu
mata.
148
F. HORDEOLUM
DEFINISI
Hordeolum adalah infeksi kelenjar pada palpebra. Bila kelenjar
Meibom yang terkena, timbul pembengkakan besar yang disebut
hordeolum interna. Sedangkan hordeolum eksterna yang lebih kecil dan
lebih superfisial adalah infeksi kelenjar Zeiss atau Moll.
ETIOLOGI
Staphylococcus aureus adalah agent infeksi pada 90-95% kasus
hordeolum.
FAKTOR RESIKO
1. Penyakit kronik.
2. Kesehatan atau daya tahan tubuh yang buruk.
3. Peradangan kelopak mata kronik, seperti Blefaritis.
4. Diabetes
5. Hiperlipidemia, termasuk hiperkolesterolemia.
6. Riwayat hordeolum sebelumnya
7. Higiene dan lingkungan yang tidak bersih
8. Kondisi kulit seperti dermatitis seboroik.
PENATALAKSANAAN
Biasanya hordeolum dapat sembuh dengan sendiri dalam waktu 5-7
hari.
Umum
1. Kompres hangat 4-6 kali sehari selama 15 menit tiap kalinya untuk
membantu drainase. Lakukan dengan mata tertutup.
2. Bersihkan kelopak mata dengan air bersih atau pun dengan sabun
atau sampo yang tidak menimbulkan iritasi, seperti sabun bayi. Hal
ini dapat mempercepat proses penyembuhan. Lakukan dengan
mata tertutup.
149
3. Jangan menekan atau menusuk hordeolum, hal ini dapat
menimbulkan infeksi yang lebih serius.
4. Hindari pemakaian makeup pada mata, karena kemungkinan hal itu
menjadi penyebab infeksi.
5. Jangan memakai lensa kontak karena dapat menyebarkan infeksi
ke kornea.
Obat
Antibiotik diindikasikan bila dengan kompres hangat selama 24 jam
tidak ada perbaikan, dan bila proses peradangan menyebar ke sekitar
daerah hordeolum.
1. Antibiotik topikal.
Bacitracin atau tobramicin salep mata diberikan setiap 4 jam selama
7-10 hari.
Dapat juga diberikan eritromicin salep mata untuk kasus hordeolum
eksterna dan hordeolum interna ringan.
2. Antibiotik sistemik
Diberikan bila terdapat tanda-tanda bakterimia atau terdapat tanda
pembesaran kelenjar limfe di preauricular.
Pada kasus hordeolum internum dengan kasus yang sedang
sampai berat. Dapat diberikan cephalexin atau dicloxacilin 500 mg
per oral 4 kali sehari selama 7 hari. Bila alergi penisilin atau
cephalosporin dapat diberikan clindamycin 300 mg oral 4 kali sehari
selama 7 hari atau klaritromycin 500 mg 2 kali sehari selama 7 hari.
Pembedahan
Bila dengan pengobatan tidak berespon dengan baik, maka
prosedur pembedahan mungkin diperlukan untuk membuat drainase pada
hordeolum.
Pada insisi hordeolum terlebih dahulu diberikan anestesi topikal
dengan pantokain tetes mata. Dilakukan anestesi filtrasi dengan prokain
atau lidokain di daerah hordeolum dan dilakukan insisi yang bila:
- Hordeolum internum dibuat insisi pada daerah fluktuasi pus, tegak
lurus pada margo palpebra.
- Hordeolum eksternum dibuat insisi sejajar dengan margo palpebra.
Setelah dilakukan insisi, dilakukan ekskohleasi atau kuretase
seluruh isi jaringan meradang di dalam kantongnya dan kemudian
diberikan salep antibiotik.
G. TRIKRIASIS
Definisi
Trikiasis adalah suatu kelainan dimana bulu mata mengarah ke
dalam bola mata yang dapat menggosok kornea atau konjunctiva yang
dapat menyebabkan iritasi. Trichiasis harus dibedakan daripada entropion,
dimana pada entropion terjadi pelipatan palpebra ke arah dalam.
Kemungkinan dimana terjadinya entropion dan trikiasis bersamaan dapat
terjadi, dan dibutuhkan terapi untuk keduanya.
150
Epidemiologi
Trikiasis dapat terjadi pada semua usia, namun lebih sering
ditemukan pada orang dewasa. Belum ditemukan bukti adanya predileksi
pada ras-ras tertentu ataupun jenis kelamin.
Etiologi
Setiap orang dapat terjadi trikiasis, namun umumnya lebih sering
terjadi pada orang dewasa. Trikiasis dapat disebabkan oleh infeksi pada
mata, peradangan pada palpebra, kondisi autoimun, dan trauma. Proses
penuaan juga merupakan penyebab umum terjadinya trikiasis, karena kulit
yang kehilangan elastisitas.
Gambaran Klinik
Pasien dapat mengeluhkan sensasi benda asing, iritasi pada
permukaan bola mata yang kronik, lesi pada kelopak mata, gatal, nyeri
pada mata, dan mata bengkak. Abrasi kornea sampai dapat terjadi ulkus
kornea, injeksi konjungtiva, keluarnya cairan mucus, dan pandangan
menjadi kabur dapat menyertai penyakit ini.
Diagnosis Banding
Trikiasis dapat didiagnosis banding dengan entropion.Entropion
adalah pelipatan kelopak mata ke arah dalam yang dapat disebabkan oleh
involusi, sikatrik, atau congenital. Gangguan ini selalu mengenai kelopak
mata bawah dan merupakan akibat gabungan kelumpuhan otot-otot
retractor kelopak mata, mikrasi ke atas muskulus orbikularis preseptal, dan
melipatnya tarsus ke atas.
Penatalaksanaan
Jika hanya sedikit bulu mata yang terlibat,trikiasis dapat diterapi
dengan mechanical epilation, yaitu membuang bulu mata yang tumbuh ke
dalam dengan forcep pada slit lamp. Karena pertumbuhan kembali dapat
terjadi, epilasi berulang diperlukan setelah 3-8 minggu.
Komplikasi
Apabila tidak ditangani dengan segera trikiasis dapat menyebabkan
komplikasi seperti iritasi pada permukaan bola mata yang kronik, abrasi
kornea, terjadi ulkus kornea, perforasi, sampai terjadinya infeksi bola mata.
Komplikasi lebih lanjut dapat menyebabkan kebutaan.
Prognosis
Prognosis umumnya baik. Tindak lanjut perawatan berkala dan
perhatian terhadap komplikasi, kekambuhan, atau komplikasi kornea dapat
meningkatkan prognosis jangka panjang.
151
H. EPISKLERITIS
DEFINISI
Episkleritis adalah suatu kondisi yang relatif umum yang dapat
mempengaruhi pada satu atau kedua mata. Episcleritis terjadi pada
perempuan lebih banyak daripada laki-laki dan paling sering terjadi antara
usia 40 dan 50 tahun.
GEJALA
Gejala episkleritis meliputi:
▪ sakit mata dengan rasa nyeri atau sensasi terbakar
▪ Mata merah pada bagian putih mata
▪ Kepekaan terhadap cahaya
▪ Tidak mempengaruhi visus
Jika pasien mengalami episkleritis nodular, pasien mungkin memiliki satu
atau lebih benjolan kecil atau benjolan pada daerah putih mata. Pasien
mungkin merasakan bahwa benjolan tersebut dapat bergerak di
permukaan bola mata.
PENYEBAB
Hingga sekarang para dokter masih belum dapat mengetahui
penyebab pasti dari episkleritis. Namun, ada beberapa kondisi kesehatan
tertentu yang selalu berhubungan dengan terjadinya episkleritis. Kondisi-
kondisi tersebut adalah penyakit yang mempengaruhi tulang, tulang rawan,
tendon atau jaringan ikat lain dari tubuh.
DIAGNOSIS
Dokter umum atau dokter spesialis mata akan menanyakan
beberapa gejala-gejala yang dialami pasien dan akan melakukan
pemeriksaan pada mata pasien. Dokter juga mungkin akan
mempertanyakan mengenai riwayat kesehatan pasien.
Para dokter juga dapat melakukan beberapa tes lebih lanjut, seperti
tes darah, untuk mengetahui apakah episkleritis terkait dengan kondisi
kesehatan yang mendasarinya.
Jika kondisi pasien sangat parah atau tidak berespon dengan pengobatan,
seorang dokter umum mungkin akan merujuk pasien ke dokter spesialis
mata.
PROGNOSIS
Prognosis akhirnya baik karena biasanya akan sembuh dengan sendirinya
dalam 1-2 minggu, dan tidak akan mempengaruhi visus.
TERAPI
Episkleritis biasanya akan hilang sendiri dalam waktu sekitar 10 hari
152
dan biasanya tidak memerlukan pengobatan apapun.Air mata buatan
(misalnya hypromellose) dapat berguna dalam menghilangkan gejala mata
kering.
KOMPLIKASI
Sebuah komplikasi episkleritis yang mungkin terjadi adalah iritis. Sekitar
satu dari 10 orang dengan episkleritis akan berkembang ke arah iritis
ringan.
DAFTAR PUSTAKA
153
I. KELAINAN REFRAKSI
A. MIOPIA
Miopia atau rabun jauh merupakan suatu keadaan dimana mata
mampu melihat obyek yang dekat, tetapi kabur bila melihat objek-objek
yang jauh letaknya. Pada umumnya miopia merupakan kelainan yang
diturunkan oleh orang tuanya sehingga banyak dijumpai pada usia dini
sekolah. Ciri khas dari perkembangan miopia adalah derajat kelainan yang
meningkat terus sampai usia remaja kemudian menurun pada usia dewasa
muda. Walaupun agak jarang, miopia dapat pula disebabkan oleh
perubahan kelengkungan kornea atau oleh kelainan bentuk lensa mata.
Karena itu untuk memperoleh gambaran penyebab yang lebih jelas pada
seseorang, riwayat adanya miopia di dalam keluarga perlu di kemukakan.
B. HIPERMETROPIA
Hipermetropi / Rabun dekat adalah keadaan di mana berkas
cahaya yang masuk ke mata difokuskan di belakang retina. Penyebab
timbulnya hipermetropi ini diakibatkan oleh beberapa hal yaitu:
1. Sumbu utama bola mata yang terlalu pendek.
Hipermetropia jenis ini disebut juga Hipermetropi Axial. Hipermetropi
Axial ini dapat disebabkan oleh Mikropthalmia, Retinitis Sentralis,
ataupun Ablasio Retina (lapisan retina lepas lari ke depan sehingga titik
fokus cahaya tidak tepat dibiaskan).
154
2. Daya pembiasan bola mata yang terlalu lemah
Hipermetopia jenis ini disebut juga Hipermetropi Refraksi. Dimana dapat
terjadi gangguan-gangguan refraksi pada kornea, aqueus humor, lensa,
dan vitreus humor. Gangguan yang dapat menyebabkan hipermetropia
refraksi ini adalah perubahan pada komposisi kornea dan lensa
sehingga kekuatan refraksinya menurun dan perubahan pada komposisi
aqueus humor dan vitreus humor (misalkan Pada penderita Diabetes
Mellitus, hipermetropia dapat terjadi bila kadar gula darah di bawah
normal, yang juga dapat mempengaruhi komposisi aueus dan vitreus
humor tersebut)
3. Kelengkungan Kornea dan Lensa tidak Adekuat
Hipermetropia jenis ini disebut juga hipermetropi kurvatura. Dimana
kelengkungan dari kornea ataupun lensa berkurang sehingga bayangan
difokuskan di belakang retina.
4. Perubahan posisi lensa.
Dalam hal ini didapati pergeseran posisi lensa menjadi lebih posterior.
C. PRESBIOPIA
155
merupakan kapsul di mana lensa kristalin barada di dalamnya. Otot ini
mengubah tegangan pada kapsul lensa, sehingga lensa dapat mempunyai
berbagai fokus baik untuk objek berjarak dekat maupun yang berjarak jauh
dalam lapangan pandang. Jika elastisitas lensa kristalin berkurang dan
menjadi kaku (sclerosis), maka muskulus siliaris menjadi terhambat atau
bahkan tertahan dalam mengubah kecembungan lensa kristalin.
D. ASTIGMATISMA
156
Astigmat derajat kecil masih bisa di toleransi oleh mata apabila
mata dalam keadaan sehat. Oleh karena itu perlu menjaga kesehatan mata
dengan cara jika melihat dekat jangan terlalu lama, maksimal 2 jam dan
diistirahatkan kurang lebih 15 menit. Salah satu cara mengatasi
astigmatisma yang effisien ialah dengan menggunakan kacamata
berbentuk silindris.
DAFTAR PUSTAKA
1. Ilyas S. Ilmu penyakit mata. Jakarta: Balai Penerbit FK UI; 2012.
2. Ilyas, S. Kelainan refraksi dan kacamata. Jakarta: Balai Penerbit FK
UI; 2006.
3. Perhimpunan Dokter Spesialis Mata Indonesia. Ilmu Penyakit Mata.
2nd ed. Ilyas S, Mailangkay HHB, Taim H, Saman RR, Sinamarta M,
Widodo PS, editors. Jakarta: Sagung Seto; 2010.
4. Ariestanti H, Dewayani P. Characteristic patients with refractive
disorder at eye clinic hospital. Bali Medical Journal; 2012.
5. Journal cEH. http://cehjournal.org.files. {internet}.; 2007 (cited 2016
Maret 16).
6. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Mata sehat di segala
usiauntuk peningkatan kualitas hidup masyarakat indonesia. (internet}.;
2012 (cited 2016 Maret 17). Available from : http://www.depkes.go.id.
7. Basar A. Laporan kasus kelainan refraksi. Malang; 2012.
8. Khurana AK. Chapter 3 Optics and refraction,comprehensive
ophtamology, fourth edition. New Age international, New Delhi; 2007.
9. Sherwood L. Human Physiology : from cells to systems. 6th edition.
Thomas Press; 2006.
10. WHO, 2006, Sight Test and Glasses Could Dramatically Improve The
Lives of 150 Million People With Poor Vision, Geneva: WHO Press
Release. Available from : http://www.who.int/mediacentre.
J. PTERIGIUM
Definisi
Pertumbuhan fibromuskular pada konjungtiva yang tumbuh menginfiltrasi
permukaan kornea dengan awalnya terletak pada celah kelopak bagian
nasal ataupun temporal konjungtiva
Epidemiologi
↑ di iklim panas dan kering
↑ di daerah berdebu
Jarang di usia <15th
Insiden tertinggi usia 20-49 th
Laki-laki 4x > perempuan
157
Etiologi
Diduga : iritasi kronis akibat :
o Debu
o Cahaya sinar matahari
o Udara panas
Diturunkan autosom dominan (pada beberapa kasus)
Faktor predisposisi
Paparan sinar UV
Mikro trauma kronis pada mata
Infeksi mikroba atau virus
Klasifikasi
Berdasarkan :
o Tipe
TIPE 1 TIPE 2 TIPE 3
Pterigium kecil Pterigium tipe primer Pterigium primer atau
advanced rekuren dengan
keterlibatan zona optik
Lesi terbatas (+) kapiler2 yg Paling berat
padalimbus membesar
Lesi meluas <2mm Lesi menutupi kornea Lesi mengenai kornea
dari kornea hingga4mm >4mm
menimbulkan
astigmat
(+) Stocker‘s line Mengganggu aksis visual
Beresiko pada
pasien dengan
pengguna lensa
kontak
Stadium
STADIUM 1 STADIUM 2 STADIUM 3 STADIUM 4
Pterigium Pterigium Pterigium > dari Pterigium
terbatas pada melewati limbus derajat II melewati pupil
limbus kornea
Belum mencapai Tidak melebihi Adanya
pupil pinggiran pupil gangguan
penglihatan
Tidak lebih dari Diameter pupil ±
2 mm melewati 3-4 mm
kornea
158
Perjalanan penyakit
o Progresif
- Tebal
- Vaskular dengan beberapa infiltrat di kornea di depan
kepala pterigium
o Regresif
- Tipis
- Atrofi
- Sedikit vaskular
- Membentuk membran dan tidak pernah hilang
Terlihatnya Pembuluh darah episklera denganpemeriksaan slit lamp
o T1 (Atrofi)
- Pembuludarah episklera jelas terlihat
o T2 (Intermediet)
- Pembuludarah episklera sebagian terlihat
o T3 (Fleshy, opaque)
- Pembuludarah tidak jelas
Manifestasi klinik
Asimptomatis awalnya
Mata berair
Merah
Timbul astigmatisme karena kornea tertarik
Diagnosis
Anamnesa
o Keluhan : mata gatal, merah, sering berair, gangguan
penglihatan
o Riwayat : mata merah berulang, banyak kerja diluar rumah,
trauma
Px.Fisik
o Inspeksi : adanya jaringan fibrovaskular di permukaan
konjungtiva gambaran yang vaskular dan tebal atau
avaskular dan flat serta memiliki bentuk segitiga dengan
apeks menghadap kornea dan basis menghadap lipatan
semikunar pada cantus
o Lokasi : sering pada konjungtiva nasal, dan bisa di daerah
temporal
Px.Penunjang
o Topografi kornea untuk menilai seberapa besar
komplikasi yang terjadi
159
Komplikasi
Astigmatisma
Merah, iritasi, bekas luka kronis pada konjungtiva dan kornea
Diplopia karena keterlibatan otot ekstraokuler yang luas
Pasca eksisi :
o Infeksi, diplopia, jaringan parut, perforasi mata, perdarahan
dan ablasi retina
o Pterigium rekuren
K. KALAZION
Definisi
Kalazion merupakan peradangan lipogranulomatosa kelenjar meibom yang
tersumbat. Pada kalazion terjadi penyumbatan kelenjar meibom dengan
infeksi ringan yang mengakibatkan peradangan kronis kelenjar tersebut.
Pada kalazion terbentuknodul pada palpebra yang bersifat keras dan tidak
nyeri.
Etiologi
Kalazion disebabkan oleh minyak dalam kelenjar terlalu pekat untuk
mengalir keluar kelenjar atau saluran kelenjar minyak yang tersumbat. Oleh
karena tidak dapat mengalir keluar, produksi minyak tertimbun di dalam
kelenjar dan membentuk tembel di palpebra.
Faktor Resiko :
160
• Sensitivitas terhadap cahaya
• Peningkatan keluarnya air mata
• Berat dari kelopak mata
• Rasa seperti mengantuk.
Diagnosis
Dari anamnese diriwayatkan pembesaran dari waktu ke waktu, dan
mungkin ada riwayat infeksi pada kelopak mata yg nyeri sebelum terbentuk
kalazion, tapi ini tidak selalu terjadi.
Pemeriksaan yang dilakukan meliputi tes penglihatan masing-masing mata
dan inspeksi muka, palpebra, dan mata itu sendiri. Sebagai tambahan
dalam memeriksa kulit palpebra, dokter mata juga akan melihat bagian
dalam palpebra superior jika tembel ada di palpebra superior.
Temuan klinis dan respon terhadap terapi pada pasien kalazion biasanya
spesifik. Bila terjadi kalazion berulang beberapa kali terutama yang terjadi
di tempat yang sama meskipun telah dilakukan drainase dengan baik
sebelumnya, harus dipertimbangkan adanya suatu keganasan dan
sebaiknya dilakukan pemeriksaan histopatologik.
Penatalaksanaan
Non medika mentosa
Kompres hangat dengan cara menempelkan handuk basah oleh air hangat
selama lima sampai sepuluh menit. Kompres hangat dilakukan empat kali
sehari untuk mengurangi pembengkakan dan memudahkan drainase
kelenjar. Jika kalazion menimbulkan gejala yang berat atau tidak sembuh
setelah berminggu-minggu, mungkin diperlukan operasi. Jika
pembengkakan tidak berakhir dalam beberapa minggu atau muncul gejala
penglihatan kabur, dokter mata akan menyarankan operasi untuk
mengangkat kalazion. Jika penampilan kalazion mengganggu pasien,
operasi juga akan menjadi indikasi.
Medikamentosa
Obat tetes mata atau salep mata jika infeksi diperkirakan sebagai
penyebabnya.
Injeksi steroid ke dalam kalazion untuk mengurangi inflamasi, jika
tidak ada bukti infeksi
Steroid menghentikan inflamasi dan sering menyebabkan regresi dari
kalazion dalam beberapa minggu kemudian.
Injeksi 0,2 – 2 ml triamsinolon 5 mg/ml secara langsung ke pusat
kalazion, injeksi kedua mungkin diperlukan.
Komplikasi dari penyuntikan steroid meliputi hipopigmentasion, atropi,
dan potensial infeksi.
Komplikasi
Rusaknya sistem drainase pada kalazion dapat menyebabkan trichiasis,
dan kehilangan bulu mata. Kalazion yang rekuren atau tampat atipik perlu
161
dibiopsi untuk menyingkirkan adanya keganasan. Astigmatisma dapat
terjadi jika massa pada palpebra sudah mengubah kontur kornea. Kalazion
yang drainasenya hanya sebagian dapat menyebabkan massa jaringan
granulasi prolapsus diatas konjungtiva atau kulit.
Prognosis
Terapi bisanya berhasil dengan baik. Jika lesi baru sering terjadi, drainage
yang kurang adekuat mungkin mengikatkan lokal rekurensi ini. Kalazion
yang tidak diobati kadang-kadang terdrainase secara spontan, namun
biasanya lebih sering persisten menjadi inflamasi akut intermitten.
Bila terjadi kalazion berulang beberapa kali sebaiknya dilakukan
pemeriksaan histopatologik untuk menghindari kesalahan diagnosis
dengan kemungkinan keganasan.
L. DAKRIOSISTISIS
Definisi
Dakriosistitis adalah peradangan pada sakus lakrimalis akibat adanya
obstruksi pada duktus nasolakrimalis. Obstruksi pada anak-anak biasanya
akibat tidak terbukanya membran nasolakrimal, sedangkan pada orang
dewasa akibat adanya penekanan pada salurannya, misal adanya polip
hidung
Epidemiologi
Penyakit ini sering ditemukan pada anak-anak atau orang dewasa di atas
40 tahun, terutama perempuan dengan puncak insidensi pada usia 60
hingga 70 tahun. Dakriosistitis pada bayi yang baru lahir jarang terjadi,
hanya sekitar 1% dari jumlah kelahiran yang ada dan jumlahnya hampir
sama antara laki-laki dan perempuan.
Klasifikasi
Berdasarkan perjalanan penyakitnya, dakriosistitis dibedakan menjadi 3
(tiga) jenis , yaitu:
a. Akut
Pasien dapat menunjukkan morbiditasnya yang berat namun jarang
menimbulkan kematian. Morbiditas yang terjadi berhubungan dengan
abses pada sakus lakrimalis dan penyebaran infeksinya.
162
Dakriosistisis akut
b. Kronis
Morbiditas utamanya berhubungan dengan lakrimasi kronis yang
berlebihan dan terjadinya infeksi dan peradangan pada konjungtiva.
c. Kongenital
Merupakan penyakit yang sangat serius sebab morbiditas dan
mortalitasnya juga sangat tinggi. Jika tidak ditangani secara adekuat, dapat
menimbulkan selulitis orbita, abses otak, meningitis, sepsis, hingga
kematian. Dakriosistitis kongenital dapat berhubungan dengan
amniotocele, di mana pada kasus yang berat dapat menyebabkan
obstruksi jalan napas.
Dakriosistisis kongenital
163
Penekanan dari luar oleh karena terjadi fraktur atau adanya tumor
pada sinus maksilaris.
Obstruksi akibat adanya deviasi septum atau polip.
Dakriosistitis dapat disebabkan oleh bakteri Gram positif maupun Gram
negatif. Bakteri Gram positif Staphylococcus aureus merupakan penyebab
utama terjadinya infeksi pada dakriosistitis akut, sedangkan Coagulase
Negative-Staphylococcus merupakan penyebab utama terjadinya infeksi
pada dakriosistitis kronis. Selain itu, dari golongan bakteri Gram negatif,
Pseudomonas sp. juga merupakan penyebab terbanyak terjadinya
dakriosistitis akut dan kronis
Gejala Klinis
Gejala umum pada penyakit ini adalah keluarnya air mata dan kotoran.
Pada dakriosistitis akut, pasien akan mengeluh nyeri di daerah kantus
medial (epifora) yang menyebar ke daerah dahi, orbita sebelah dalam dan
gigi bagian depan. Sakus lakrimalis akan terlihat edema, lunak dan
hiperemi yang menyebar sampai ke kelopak mata dan pasien juga
mengalami demam. Jika sakus lakrimalis ditekan, maka yang keluar adalah
sekret mukopurulen.
Pada dakriosistitis kronis gejala klinis yang dominan adalah lakrimasi yang
berlebihan terutama bila terkena angin. Dapat disertai tanda-tanda
inflamasi yang ringan, namun jarang disertai nyeri. Bila kantung air mata
ditekan akan keluar secret yang mukoid dengan pus di daerah punctum
lakrimal dan palpebral yang melekat satu dengan lainnya.
Pada dakriosistitis kongenital biasanya ibu pasien akan mengeluh mata
pasien merah pada satu sisi, bengkak pada daerah pangkal hidung dan
keluar air mata diikuti dengan keluarnya nanah terus-menerus. Bila bagian
yang bengkak tersebut ditekan pasien akan merasa kesakitan (epifora).
Diagnosis
Untuk menegakkan diagnosis dakriosistitis dibutuhkan anamnesis,
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Anamnesis dapat
dilakukan dengan cara autoanamnesis dan heteroanamnesis. Setelah itu,
dilakukan pemeriksaan fisik. Jika, dengan anamnesis dan pemeriksaan
fisik masih belum bisa dipastikan penyakitnya, maka boleh dilakukan
pemeriksaan penunjang.
Beberapa pemeriksaan fisik yang dilakukan bertujuan untuk mengetahui
ada tidaknya obstruksi serta letak dan penyebab obstruksi. Pemeriksaan
fisik yang digunakan untuk memeriksa ada tidaknya obstruksi pada duktus
nasolakrimalis adalah dye dissapearence test, fluorescein clearance test
dan John's dye test. Ketiga pemeriksaan ini menggunakan zat warna
fluorescein 2% sebagai indikator. Sedangkan untuk memeriksa letak
obstruksinya dapat digunakan probing test dan anel test
164
Terapi
Pengobatan dakriosistitis pada anak (neonatus) dapat dilakukan dengan
masase kantong air mata ke arah pangkal hidung. Dapat juga diberikan
antibiotic amoxicillin/clavulanate atau cefaclor 20-40 mg/kgBB/hari dibagi
dalam tiga dosis dan dapat pula diberikan antibiotik topikal dalam bentuk
tetes (moxifloxacin 0,5% atau azithromycin 1%) atau menggunakan
sulfonamid 4-5 kali sehari.
Pada orang dewasa, dakriosistitis akut dapat diterapi dengan melakukan
kompres hangat pada daerah sakus yang terkena dalam frekuensi yang
cukup sering. Amoxicillin dan chepalosporine (cephalexin 500mg p.o. tiap 6
jam) juga merupakan pilihan antibiotik sistemik yang baik untuk orang
dewasa.
Untuk mengatasi nyeri dan radang, dapat diberikan analgesik oral
(acetaminophen atau ibuprofen), bila perlu dilakukan perawatan di rumah
sakit dengan pemberian antibiotik secara intravena, seperti cefazoline tiap
8 jam. Bila terjadi abses dapat dilakukan insisi dan drainase. Dakriosistitis
kronis pada orang dewasa dapat diterapi dengan cara melakukan irigasi
dengan antibiotik. Sumbatan ductus nasolakrimal dapat diperbaiki dengan
cara pembedahan jika sudah tidak radang lagi.
Komplikasi
Dakriosistitis yang tidak diobati dapat menyebabkan pecahnya kantong air
mata sehingga membentuk fistel. Abses kelopak mata, ulkus, bahkan
selulitis orbita.
Prognosis
Dakriosistitis sangat sensitif terhadap antibiotika namun masih berpotensi
terjadi kekambuhan jika obstruksi duktus nasolakrimalis tidak ditangani
secara tepat, sehingga prognosisnya adalah dubia ad malam.
M. DAKRIOADENITIS
Definisi
Peradangan kelenjar lakrimal merupakan penyakit yang jarang
ditemukan dan dapat bersifat unilateral atau bilateral. Dakrioadenitis ialah
suatu proses inflamasi pada kelenjar air mata pars sekretorik. Dibagi
menjadi dua yaitu dakrioadenitis akut dan kronik, keduanya dapat
disebabkan oleh suatu proses infeksi ataupun dari penyakit sistemik
lainnya.
Gejala Klinis
Dakrioadenitis Akut
Pada dakrioadenitis akut sering ditemukan pembesaran kelenjar air mata di
dalam palpebra superior, hal ini dapat ditemukan apabila kelopak mata
atas dieversi, maka akan kelihatan tonjolan dari kelenjar air mata yang
mengalami proses inflamasi.
165
Dakrioadenitis Kronik
Pada kronis darkrioadenitis gejala klinisnya lebih baik daripada yang akut.
Gejala hampir sama dengan fase akut hanya pada fase ini tidak didapatkan
nyeri. Umumnya tidak ditemukan nyeri , ada pembesaran kelenjar namun
mobil, tanda-tanda ocular minimal, ptosis bisa ditemukan, dapat ditemukan
sindroma mata kering.
Terapi
Terapi pada dakrioadenitis bergantung dari onset dan etiologinya.
Virus self-limiting, terapi supportive seperti kompres air hangat,
NSAID oral
Bakteri dapat diberikan cephalosporin generasi pertama seperti
Cephalexin 500 mg
Jamur dapat diberikan antiamoebic atau antifungal
Inflammatory (non-infeksi) dapat dicari etologi sistemiknya dan
diterapi berdasarkan causanya.
Dakrioadenitis kronis diterapi berdasarkan penyakit
penyebabnya, apabila pembesaran tidak hilang dalam 2 minggu,
dapat dilakukan biopsy glandula lakrimalis (Tomita, 2006).
Komplikasi
Dakrioadenitis akut dapat menyebabkan fistula pada kelenjar lakrimal.
Prognosis
Prognosis dari akut dakrioadenitis adalah baik karena pada kebanyakan
kasus merupakan self-limiting disease. Pada dakrioadenitis kronis,
prognosis tergantung dari manajement terapi yang berhubungan dengan
penyakit yang mendasari terjadinya dakrioadenitis.
N. KERATITIS
DEFINISI
EPIDEMIOLOGI
Insidensi keratitis pada tahun 1993 adalah 5,3 per 100.000 penduduk di
Indonesia, perbandingan laki-laki dan perempuan tidak begitu bermakna
pada angka kejadian keratitis. Sedangkan predisposisi terjadinya keratitis
antara lain terjadi karena trauma, pemakaian lensa kontak dan
perawatan lensa kontak yang buruk, penggunaan lensa kontak yang
berlebihan, Herpes genital atau infeksi virus lain, kekebalan tubuh yang
menurun karena penyakit lain, serta higienis dan nutrisi yang tidak
baik, dan kadang-kadang tidak diketahui penyebabnya
166
KLASIFIKASI
2. Menurut tempatnya:
Keratitis superfisial
Keratitis sklerotikans
Keratitis disiformis
GEJALA KLINIS
Pasien dengan keratitis biasanya datang dengan keluhan iritasi ringan,
adanya sensasi benda asing, mata merah, mata berair, penglihatan yang
sedikit kabur, dan silau (fotofobia) serta sulit membuka mata
(blepharospasme). Penderita akan mengeluh sakit pada mata karena
kornea memiliki banyak serabut nyeri, sehingga amat sensitif. Kebanyakan
lesi kornea superfisialis maupun yang sudah dalam menimbulkan rasa sakit
dan fotofobia.
DIAGNOSIS
Diagnosis ditegakkan berdasarkan hasil anamnesis, gejala klinik dan hasil
pemeriksaan mata. Dari hasil anamnesis sering diungkapkan riwayat
trauma, adanya riwayat penyakit kornea, misalnya pada keratitis herpetic
akibat infeksi herpes simpleks sering kambuh, namun erosi yang kambuh
sangat sakit dan keratitis herpetic tidak, penyakit-penyakit ini dapat
dibedakan dari gejalanya.
167
belahan bawah kornea
6. Keratitis terpapar Erosi kecil-kecil tidak teratur, terpulas
akibat lagoftalmus fluorescein; terutama di belahan bawah
atau eksoftalmus kornea
7. Keratokonjungtuvitis Lesi mirip-sinsisium, yang keruh dan
vernal berbercak-bercak kelabu, paling mencolok
di daerah pupil atas. Kadang-kadang
membentuk bercak epithelium opak
8. Keratitis trofik-sekuele Edema epitel berbercak-bercak; difus
HS, HZ dan destruksi namun terutama di fissure palpebrae, pukul
ganglion gaseri 9-3
9. Keratitis karena obat- Erosi kecil-kecil terpulas fluorescein
terutama antibiotika dengan edema seluler berbintik-bintik;
spectrum luas lingkaran epitel
10. Keratitis superficial Focus sel-sel epithelial sembab, bulat atau
punctata (SPK) lonjong; menimbul bila penyakit aktif
11. Keratokonjungtivitis Erosi kecil-kecil terpulas fluorescein di
limbic superior sepertiga atas kornea; filament selama
eksaserbasi; hiperemi bulbar, limbus
berkeratin menebal, mikropanus
12. Keratitis rubeola, Lesi tipe virus seperti pada SPK; di daerah
rubella dan parotitis pupil
epidemika
13. Trachoma Erosi epitel kecil-kecil terpulas fluorescein
pada sepertiga atas kornea
14. Keratitis defisiensi Kekeruhan berbintik kelabu sel-sel epitel
vitamin A akibat keratinisasi partial; berhubungan
dengan bintik-bintik bitot
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan laboratorium dengan melakukan kultur dari flora kornea
dilakukan selama terjadi inflamasi aktif dapat membantu dalam penelitian
selanjutnya akan tetapi hal tersebut tidak begitu signifikan dalam
penegakan diagnosis dan penatalaksana penyakit keratitis pungtata
superfisial. Pemeriksaan pencitraan dengan menggunakan fotografi slit
lamp untuk mendokumentasikan inflamasi aktif dan periode inaktivitas
dapat dilakukan tapi hal tersebut juga tidak begitu penting dalam
penegakan diagnosis maupun penanganan penyakit.
PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan pada ketratitis pada prinsipnya adalah diberikan sesuai
dengan etiologi. Untuk virus dapat diberikan idoxuridine, trifluridin atau
acyclovir. Untuk bakteri gram positif pilihan pertama adalah cafazolin,
penisilin G atau vancomisin dan bakteri gram negatif dapat diberikan
tobramisin, gentamisin atau polimixin B. Pemberian antibiotik juga
168
diindikasikan jika terdapat secret mukopurulen, menunjukkan adanya
infeksi campuran dengan bakteri. Untuk jamur pilihan terapi yaitu:
natamisin, amfoterisin atau fluconazol. Selain itu obat yang dapat
membantu epitelisasi dapat diberikan. Namun selain terapi berdasarkan
etiologi, pada keratitis ini sebaiknya juga diberikan terapi simptomatisnya
agar dapat memberikan rasa nyaman dan mengatasi keluhan-keluhan
pasien. Pasien dapat diberi air mata buatan, sikloplegik dan kortikosteroid.
Selain terapi medikamentosa sebaiknya diberikan pula edukasi pada
pasien keratitis. Pasien diberikan pengertian bahwa penyakit ini dapat
berlangsung kronik dan juga dapat terjadi kekambuhan. Pasien juga
sebaiknya dianjurkan agar tidak terlalu sering terpapar sinar matahari
ataupun debu karena keratitis ini dapat juga terjadi pada konjungtivitis
vernal yang biasanya tercetus karena paparan sinar matahari, udara
panas, dan debu, terutama jika pasien tersebut memang telah memiliki
riwayat atopi sebelumnya. Pasien pun harus dilarang mengucek matanya
karena dapat memperberat lesi yang telah ada.
O. XEROFTALMIA
Definisi
Xeroftalmia adalah istilah yang menerangkan gangguan
kekurangan vitaminA pada mata, termasuk terjadinya kelainan anatomi
bola mata dan gangguanfungsi sel retina yang berakibat kebutaan.Kata
Xeroftalmia (bahasa Latin) berarti mata kering, karena terjadikekeringan
pada selaput lendir (konjungtiva) dan selaput bening (kornea)mata.
Penyebab
Xeroftalmia terjadi akibat tubuh kekurangan vitamin A. Bila ditinjau
dari
konsumsi makanan sehari-hari kekurangan vitamin A disebabkan oleh:
169
Adanya gangguan penyerapan vitamin A atau pro-vitamin A seperti
pada
penyakit-penyakit antara lain penyakit pankreas, diare kronik, Kurang
Energi Protein (KEP) dan lain-lain sehingga kebutuhan vitamin A
meningkat.
Adanya kerusakan hati, seperti pada kwashiorkor dan hepatitis kronik,
menyebabkan gangguan pembentukan RBP (Retinol Binding Protein)
dan
pre-albumin yang penting untuk penyerapan vitamin A.
Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis pemeriksaan fisik
dan penunjang. Secara garis besar akan ditemukan keluhan seperti pada
gelaja klinis Biasanya ibu mengeluh anaknya tidak bisa melihat pada sore
170
hari (buta senja)atau ada kelainan pada matanya. Kadang-kadang keluhan
utama tidakberhubungan dengan kelainan pada mata seperti demam.
Pada pemeriksaan umumdilakukan untuk mengetahui adanya
penyakit-penyakit yang terkaitlangsung maupun tidak langsung dengan
timbulnya xeroftalmia sepertigizi buruk, penyakit infeksi, dan kelainan
fungsi hati.
Pemeriksaan mata untuk melihat tanda Xeroftalmia denganmenggunakan
senter yang terang. (Bila ada, menggunakan loop.)
Apakah ada tanda kekeringan pada konjungtiva (X1A)
Apakah ada bercak bitot (X1B)
Apakah ada tanda-tanda xerosis kornea (X2)
Apakah ada tanda-tanda ulkus kornea dan keratomalasia
(X3A/X3B)
Apakah ada tanda-tanda sikatriks akibat xeroftalmia (XS)
Apakah ada gambaran seperti cendol pada fundus oculi
denganopthalmoscope (XF).
Pada pemeriksaan laboratorium dilakukan untuk mendukung
diagnosakekurangan vitamin A, bila secara klinis tidak ditemukan tanda-
tanda khasKVA, namun hasil pemeriksaan lain menunjukkan bahwa anak
tersebutrisiko tinggi untuk menderita KVA. Peneriksaan yang dianjurkan
adalah pemeriksaan serum retinol. Bilaserum retinol < 20 ug/dl, berarti
anak tersebut menderita KVAsub klinis.
Pengobatan
171
P. HIFEMA
DefInisi
Hifema merupakan keadaan dimana terdapat darah di dalam bilik mata
depan, yaitu daerah di antara kornea dan iris, yang dapat terjadi akibat
trauma tumpul yang merobek pembuluh darah iris atau badan siliar dan
bercampur dengan humor aqueus (cairan mata) yang jernih. Darah yang
terkumpul di bilik mata depan biasanya terlihat dengan mata telanjang.
Klasifikasi
a). Berdasarkan penyebabnya hifema dibagi menjadi:
o Hifema traumatika adalah perdarahan pada bilik mata depan yang
disebabkan pecahnya pembuluh darah iris dan badan silier akibat
trauma pada segmen anterior bola mata.
o Hifema akibat tindakan medis (misalnya kesalahan prosedur
operasi mata)
o hifema akibat inflamasi yang arah pada iris dan badan silier,
sehingga pembuluh darah pecah
o Hifema akibat kelainan sel darah atau pembuluh darah
o hifema akibat neoplasma (contohnya retinoblastoma)
b). Berdasarkan onset perdarahannya, hifema dibagi menjadi:
o hifema primer terjadi langsung sampai 2 hari setelah trauma pada
mata
o hifema sekunder terjadi 2-5hari setelah trauma pada mata
c). Berdasarkan darah yang terlihat, hifema diklasifikasikan menjadi:
o makrohifema, perdarahan terlihat dengan mata telanjang
o mikrohifema, perdarahan terlihat apabila menggunakan mikroskop
d). Berdasarkan pemenuhan darah dibilik mata depan, hifema dapat dibagi
menjadi:
Grade 1, darah mengisi kurang dari 1/3 bilik mata depan
Grade 2, darah mengisi 1/3-1/2 bilik mata depan
Grade 3, darah mengisis 1/2 – kurang dari seluruh bilik mata depan
Grade 4, darah mengisi seluruh bilik mata depan, dikenal dengan
total hyphema, blackball atau 8-ball hyphema.
172
Etiologi
Hifema biasanya disebabkan oleh trauma tumpul pada mata seperti
terkena bola, batu, peluru senapan angin, dan lain-lain. Selain itu, hifema
juga dapat terjadi karena kesalahan prosedur operasi mata. Keadaan lain
yang dapat menyebabkan hifema namun jarang terjadi adalah adanya
tumor mata (contohnya retinoblastoma), dan kelainan pembuluh darah
(contohnya juvenile xanthogranuloma).
Penegakan Diagnosis
Adanya riwayat trauma, terutama mengenai matanya dapat memastikan
adanya hifema. Pada gambaran klinik ditemukan adanya perdarahan pada
COA (dapat diperiksa dengan flashlight), kadang-kadang ditemukan
gangguan visus. Ditemukan adanya tanda-tanda iritasi dari conjunctiva dan
pericorneal, fotofobia (tidak tahan terhadap sinar), penglihatan ganda,
blefarospasme, edema palpebra, midriasis, dan sukar melihat dekat,
kemungkinan disertai gangguan umum yaitu letargic, disorientasi atau
somnolen.
Pemeriksaan Penunjang
a) Pemeriksaan ketajaman penglihatan: menggunakan kartu mata
Snellen; visus dapat menurun akibat kerusakan kornea, aqueous
humor, iris dan retina.
b) Lapangan pandang: penurunan dapat disebabkan oleh patologi
vaskuler okuler, glaukoma.
c) Pengukuran tonografi: mengkaji tekanan intra okuler.
d) Slit Lamp Biomicroscopy: untuk menentukan kedalaman COA dan
iridocorneal contact, aqueous flare, dan synechia posterior.
173
e) Pemeriksaan oftalmoskopi: mengkaji struktur internal okuler.
f) Tes provokatif: digunakan untuk menentukan adanya glaukoma bila
TIO normal atau meningkat ringan.
Penatalaksanaan
Biasanya hifema akan hilang sempurna. Bila perjalanan penyakit tidak
berjalan demikian maka sebaiknya penderita dirujuk. Walaupun perawatan
penderita hifema traumatik ini masih banyak diperdebatkan, namun pada
dasarnya adalah:
1) Menghentikan perdarahan.
2) Menghindarkan timbulnya perdarahan sekunder.
3) Mengeliminasi darah dari bilik depan bola mata dengan
mempercepat absorbsi.
4) Mengontrol glaukoma sekunder dan menghindari komplikasi yang
lain.
5)
Berusaha mengobati kelainan yang menyertainya.
Perawatan Operasi
Perawatan cara ini akan dikerjakan bilamana ditemukan glaukoma
sekunder, tanda imbibisi kornea atau hemosiderosis cornea. Dan tidak ada
pengurangan dari tingginya hifema dengan perawatan non-operasi selama
3 - 5 hari. Untuk mencegah atrofi papil saraf optik dilakukan pembedahan
bila tekanan bola mata maksimal > 50 mmHg selama 5 hari atau tekanan
bola mata maksimal > 35 mmHg selama 7 hari. Untuk mencegah imbibisi
kornea dilakukan pembedahan bila tekanan bola mata rata-rata > 25
mmHg selama 6 hari atau bila ditemukan tanda-tanda imbibisi kornea.
174
Prognosis
Prognosis tergantung pada banyaknya darah yang tertimbun pada kamera
okuli anterior. Biasanya hifema dengan darah yang sedikit dan tanpa
disertai glaukoma, prognosisnya baik (bonam) karena darah akan diserap
kembali dan hilang sempurna dalam beberapa hari. Sedangkan hifema
yang telah mengalami glaukoma, prognosisnya bergantung pada seberapa
besar glaukoma tersebut menimbulkan defek pada ketajaman penglihatan.
Bila tajam penglihatan telah mencapai 1/60 atau lebih rendah maka
prognosis penderita adalah buruk (malam) karena dapat menyebabkan
kebutaan.
Q. HIPOPION
Definisi
Hipopion didefinisikan sebagai pus steril yang terdapat pada bilik mata
depan. Hipopiondapat terlihat sebagai lapisan putih yang mengendap di
bagian bawah bilik mata depankarena adanya gravitasi. Komposisi dari pus
biasanya steril, hanya terdiri dari lekosittanpa adanya mikroorganisme
patogen, seperti bakteri, jamur maupun virus, karenahipopion adalah reaksi
inflamasi terhadap toxin dari mikroorganisme patogen, dan
bukanmikroorganisme itu sendiri
Etiologi
Hipopion merupakan reaksi inflamasi di bilik mata depan. Karena itu semua
penyakityang berhubungan dengan uveitis anterior dapat menyebabkan
terjadinya hipopion.Hipopion dapat timbul setelah operasi atau trauma
disebabkan karena adalanya infeksi.Misalnya pada keratitis. Bakteria,
jamur, amoba maupun herpes simplex dapatmenyebabkan terjadinya
hipopion.
Presentasi Klinis
Gejala subyektif yang biasanya menyertai hipopion adalah rasa sakit,
iritasi, gatal danfotofobia pada mata yang terinfeksi. Beberapa mengalami
penurunan visus atau lapangpandang, tergantung dari beratnya penyakit
utama yang diderita.Gejala obyektif biasanya ditemukan aqueous cell and
flare, eksudat fibrinous, sinekiaposterior dan keratitis presipitat.
Diagnosa
Diagnosa hipopion ditegakan berdasarkan anamnesa dan pemeriksaan
menggunakan slitlamp. Pada anamnesa, ditanyakan adanya riwayat
infeksi, pemakaian lensa kontak,trauma, pemakaian obat serta riwayat
operasi.
Pada pemeriksaan dengan slit lamp, ditemukan lapisan berwarna putih
pada bagian inferior dari bilik mata depan. Jarang sekali hipopion ini
ditemukan pada bagian lain daribilik mata depan.
175
Komplikasi Klinis
Struktur dari hipopion yang mengandung fibrin, merupakan reaksi tubuh
terhadap inflamasi. Tetapi fibrin-fibrin ini dapat menyebabkan terjadinya
perlengketan antara irisdan lensa (sinekia posterior)
Penatalaksanaan
Penatalaksanaan hipopion tergantung dari ringan atau beratnya penyakit.
Sel darah putihbiasanya akan di reabsorpsi. Tetapi bila hipopion
memberikan gambaran yang berat,maka bisa dilakukan drainase.
Terapi yang lebih spesifik biasanya tergantung dari penyakit utama yang
menyebabkanhipopion. Apabila terjadi inflamasi, dapat diberikan
kortikosteroid. Anti inflamasi yang biasanya digunakan adalah
kortikosteroid.
Prognosa
Hipopion adalah gejala klinis yang muncul sebagai respon
inflamasi. Sel darah putihakan diabsorpsi sepenuhnya. Tetapi prognosis
tergantung dari penyakit dan komplikasiyang dapat terjadi.
ETIOLOGI
Penyebab paling umum dari uveitis anterior:
1. Tipe granulomatosa akut:
Sarkoiditis (terutama pada afro_caribean)\
Sifilis
Tuberculosis
Virus (herpes simpleks)
Jamur (histoplasmosis)
Parasit (toksoplasmosis)
2. Tipe Nongranulomatosa akut
Trauma
Diare kronis
Penyakit reiter
Herpes simpleks
Sindrom bechet
Sindrom posner schlosman
Pascabedah
176
Infeksi adenovirus
Parotitis
Influenza
Klamidia
3. Tipe Nongranulomatosa kronis:
Arthritis reumatoid
Fuchs heterokromik iridosiklitis
MANISFESTASI KLINIS
1. Gejala subjektif:
Sakit mata : nyeri terutama di bulbus okuli,sakitnya spontan atau
pada penekanan di daerah badan siliar terjadi ketika sedang melihat
objek dekat, misal membaca dari jarak dekat
Sakit kepala di kening menjalar ke temporal
Mata capek dan lelah
Mata merah
Fotophobia dan lakrimasi
Penglihatan kabur
2. Riwayat yang berhubungan dengan uveitis adalah usia, kelamin,
suku bangsa penting untuk di catat karena dapat memberikan
petunjuk ke arah diagnosis uveitis tertentu.
PENATALAKSANAAN:
Ada 2 tujuan utama penanganan uveitis anterior yaitu; menekan
peradangan dan mengistirahatkan iris, badan siliaris untuk mengurangi
nyeri serta mencegah memburuknya kondisi
1. Kortikosteroid untuk menekan peradangan
Diberikan secara lokal (topical, injeksi konjungtiva)
dan sistemik (jika keadaan berat)
Topical : dexamethaxon 0,1% (tetes) 1-2 tetes tiap 2
jam pada pemakaian awal. Dexamethason salep
0,1% (salep) 1 kali pada malam hari
Sistemik: steroid 1-2mg/kgBB
2. Sikloplegik
Lokal :Tetes mata sulfas atropin 1 % 3x sehari
3. Terapi spesifik seperti antibiotik/antimikroba: diberikan apabila
mikroorganisme penyebabnya diketahui
4. Pasien memerlukan tindak lanjut yang baik, dimana pemberian ster
oid dikurangi perlahan sesuai penurunan reaksi radang hingga terca
pai dosis efektif. Jika kondisimembaik, siklopegik dapat dihentikan
5. Harus di evaluasi ulang 2-3minggu kemudian untuk meyakinkan
bahwa tidak ada peradangan ulang
6. Pada pasien yang terus menerus mengalami rekuensi peradangan ,
dapat gunakan terapi immunomodulator dengan
mempertimbangkan potensial resiko dan manfaat. Biasanya pilihan
177
utama dengan memberikan methotrexate (anti metabolit) dosis
rendah 1 kali seminggu
7. Mata di istirahatkan dangan tidak membaca dan tidak terkena sinar
selain daripada mata ditutup.
S. GLAUKOMA
DEFINISI
Glaukoma adalah keadaan dimana tekanan bola mata seseorang demikian
tinggi atau tidak normal sehingga mengakibatkan penggangguan saraf
optik dan mengakibatkan gangguan pada sebagian atau seluruh lapang
pandangan.
ETIOLOGI
KLASIFIKASI
1. Glaukoma primer
Penyebab tidak diketahui, dibagi atas dua petunjuk :
a. Glaukoma sudut terbuka (glaukoma simpleks atau glaukoma
simplek).
b. Glaukoma sudut tertutup (galukoma sudut sempit).
Bersifat diturunkan, pada pasien usia di atas 40 tahun.
Biasanya mengenai kedua mata.
2.
Glaukoma sekunder
Akibat kelainan didalam bola mata, yang dapat disebabkan:
Kelainan lensa, katarak imatur, hiperatur, dan dislokasi lensa.
Kelainan uvea, uveitis anterior.
Trauma, hifem, dan inkerserasi iris.
Pasca bedah, blockade pupil, goniosinekia.
3. Glaukoma kongenital
Konginetal primer, dengan kelainan konginetal lain.
Infatil, tanpa kelainan konginetal lain.
4. Galukoma absolut
MANIFESTASI KLINIK
178
memberi keluhan, sehingga banyak yang datang tetapi dalam keadaan
sudah lanjut, dimana lapang pandangnya telah sangat sempit atau berakhir
dengan kebutaan. Pada keadaan ini glukoma tersebut berakhir dengan
glukoma absolut.Kadang – kadang disertai sakit kepala yang hilang-timbul,
melihat gambaran pelangi disekitar lampu (halo), mata sebelah terasa
berat, kepala pening sebelah, kdang – kadang penglihatan kabur dengan
anamnesa tidak khas. Pada glukoma simpleks tekanan bola mata sehari –
hari tinggi atau lebih dari 20 mmHg. Mata tidak merah atau tidak terdapat
keluhan, yang mengakibatkan terdapat gangguan susunan anatomis dan
fungsi tampa disadari penderita. Akibat tekanan tinggi akan terbentuk atrofi
papil disertai dengan ekskavasio glukomatosa. Gangguan saraf optik akan
terlihat sebagai gangguan fungsinya berupa penciutan lapang pandang.
Pada waktu pengukuran bila didapatkan tekanan bola mata normal sedang
terlihat gejala gangguan fungsi saraf optik seperti glukoma mungkin akibat
adanya variasi diurnal.
DIAGNOSIS
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Tonometri:
Suatu tanda berharga yang ditemukan oleh Downey yaitu bila
antara kedua mata, selalu terdapat perbedaan tensi intraokuler 4 mmHg
atau lebih, maka itu menunjukan kemungkinan glukoma simpleks. Suatu
variasi diurnal pada satu mata dengan perbedaan yang melebihi 5 mmHg,
dianggap menunjukan kemungkinan glaukoma simpleks, meskipun
tensinya masih normal.
Periksaan oftalmoskopi
Penggaungan dan atrofi tampak pada papil N. II. Ada yang
mengatakan, bahwa pada glaukoma sudut terbuka, didalam saraf optik
179
didapatkan kelainan degenerasi yang primer, yang disebabkan oleh
insufisiensi vaskular.
Pemeriksaan Gonioskopi
Pada glaukoma simpleks sudutnya normal. Pada stadium yang
lanjut, bilastelah timbul goniosinechiae (perlengketan pinggir iris pada
kornea/trakekula) maka sudut dapat tertutup.
Tonografi
Terdapat resistance of outflow (hambatan dari pengeluaran cairan)
hasil pemeriksaan tonografi pada glaukoma simpleks ternyata kurang dari
normal dan menjadi kurang lagi, pada keadaan yang lanjut, (C≤0,13)
Tes Provokasi
Tes minum air: Kenaikan tensi 8 – 9 mmHg mencurigakan, 10
mmHg pasti patologis.
DIAGNOSA BANDING
1. Pada iriditis akut terdapat lebih banyak fotofobia, tetapi rasa nyerinya
kurang jika dibandingkan dengan glaukoma. Tekanan intraokular
normal, pupil kecil dan kornea tidak sembab. ―Flare‖ dan sel-sel terlihat
didalam bilik mata depan, dan terdapat injeksi siliar dalam (deep ciliary
injection).
2. Pada konjungtivitis akut tidak begitu nyeri atau tidak nyeri sama sekali,
dan tajam pengelihatan tidak menurun. Ada kotoran mata dan
konjungtiva sangat meradang, tetapi tidak ada injeksi siliar. Reksi pupil
normal, kornea jernih dan tekanan intraokular normal.
3. Iridosiklitis dengan glaukoma sekunder kadang-kadang sukar
dibedakan. Goniuskopi untuk menentukan jenis sudut sangatlah
membantu. Jika pengamatan terganggu dengan adanya kekeruhan
kornea atau kekeruhan didalam bilik mata depan, maka untuk
memastikan diagnosis bisa dilakukan genioskopi pada mata lainnya,
dan ini sangat membantu.
TERAPI
180
Pada Fase Non Kongesif
Macam operasi:
1. Iridektomi perifer.
2. Operasi filtrasi (Iridenkleisis, trepanasi, sklerotomi, trabekulektomi).
2. Glaukoma Sekunder
Merupakan glaukoma yang diketahui penyebabnya, biasanya dari penyakit
mata yang lain. Glaukoma sekunder, kelainannya terdapat pada:
181
Glaukoma dibangkitkan lensa merupakan salah satu bentuk glaukoma
sekunder.
PROGNOSIS
Tanpa pengobatan, glaukoma dapat mengakibatkan kebutaan total.
Apabila proses penyakit terdeteksi dini sebagian besar penyakit glaukoma
dapat ditangani dengan baik.
T. ENTROPION
Definisi
Entropion merupakan kondisi dimana terjadi pelipatan margo
palpebra ke arah dalam. Normalnya, margo palpebra mengarah ke luar.
Etiologi
1. Involusi
2. Sikatrik
3. Kongenital
Epidemiologi
Entropion involusional sering ditemukan
o Entropion kongenital jarang ditemukan
Patofisiologi
1. Entropion involusional
o Terjadi karena penuaan dan selalu mengenai kelopak mata
bawah.
o Disebabkan kelumpuhan otot refraktor kelopak mata, migrasi ke
atas muskulus orbikularis preseptal, dan melipatnya tepi tarsus ke
atas.
2. Entropion sikatrik
o Dapat mengenai kelopak mata atas dan bawah
o Disebabkan oleh jaringan parut di konjungtiva atau tarsus
o Sering ditemukan pada penyakit radang kronik seperti trakhoma.
3. Entropion kongenital
o Bedakan dengan epiblefaron:
o Entropion : tepi kelopak mata memutar ke arah kornea
o Epiblefaron : kulit dan otot pratarsal menyebabkan bulu mata
memutari tepi tarsus. Biasanya pada orang Asia.
Gejala Klinis
o Kondisi margo palpebra yang melipat ke dalam dapat mengakibatkan
bulu mata menggesek kornea dan konjungtiva. Reaksi yang timbul
adalah seperti sensasi benda asing : mata akan berair, merah, dan
teriritasi. Bila kondisi ini dibiarkan berlarut-larut, maka akan terjadi
perlukaan pada kornea bahkan ulkus.
182
o
Diagnosis
o Anamnesis : gejala sensasi benda asing pada mata.
o Pemeriksaan Fisik :
o tampak mata berair, merah, dan mungkin juga ditemukan perlukaan
bahkan ulkus
o jelas terlihat margo palpebra dan bulu melipat ke arah dalam.
Tatalaksana
o Tindakan sementara : dapat menarik kelopak mata bawah mendekati
pipi dan fiksasi dengan 'tape'.
o Yang paling efektif : koreksi bedah.
Komplikasi
o laserasi dan ulkus kornea
Prognosis
o Bila ditangani dengan cepat dan dapat menghindarkan komplikasi,
maka prognosisnya akan baik.
U. PERDARAHAN VITREUS
Definisi
Perdarahan vitreus adalah ekstravasasi darah ke salah satu dari beberapa
ruang potensial yang terbentuk di dalam dan di sekitar korpus vitreus.
Kondisi ini dapat diakibatkan langsung oleh robekan retina atau
neovaskularisasi retina, atau dapat berhubungan dengan perdarahan dari
pembuluh darah yang sudah ada sebelumnya.
Etiologi
Etiologi terjadinya perdarahan vitreus menjadi tiga kategori utama yaitu:
Pembuluh darah retina abnormal
Pecahnya pembuluh darah normal
Darah dari sumber lainnya
183
Tabel 1.Mekanisme Perdarahan Vitreus
1. Pembuluh darah Abnormal
Diabetik retinopati (31-54 persen perdarahan vitreus disebabkan oleh diabetes)
Neovaskularisasi dari cabang atau pusat oklusi vena retina (4-16 persen)
Retinopati sickle sel (0,2-6 persen)
2. Pecahnya Pembuluh darah normal
Robekan retina (11-44 persen)
Trauma (12-19 persen)
Posterior Vitreous Detachement (PVD) dengan robekan pembuluh darah retina
(4-12 persen)
Ablasio retina (7-10 persen)
Sindrom Terson (0,5-1 persen)
3. Darah Dari Sumber Lain
Makroaneurisma (0,6-7 persen)
Age Related Macula Degeneration (0,6-4 persen)
Gejala klinis
Pasien dengan perdarahan vitreus sering datang dengan keluhan mata
kabur atau berasap, ada helai rambut atau garis (floaters), fotopsia, seperti
ada bayangan dan jaring laba-laba. Gejala subyektif yang paling sering
ialah fotopsia, floaters. Fotopsia ialah keluhan berupa kilatan cahaya yang
dilihat penderita seperti kedipan lampu neon di lapangan. Kilatan cahaya
tersebut jarang lebih dari satu detik, tetapi sering kembali dalam waktu
beberapa menit. Kilatan cahaya tersebut dilihat dalam suasana redup atau
dalam suasana gelap. Fotopsia diduga oleh karena rangsangan abnormal
vitreus terhadap retina.
184
Pemeriksaan lengkap terdiri dari oftalmoskopi langsung dengan depresi
skleral, gonioskopi untuk mengevaluasi neovaskularisasi sudut, TIO dan B-
scan ultrasonografi jika tampilan lengkap segmen posterior tertutup oleh
darah. Pemeriksaan dari mata kontralateral dapat membantu memberikan
petunjuk etiologi dari perdarahan vitreus, seperti retinopati diabetik
proliferatif.
Kehadiran perdarahan vitreus tidak sulit untuk dideteksi. Pada slit lamp, sel
darah merah dapat dilihat di posterior lensa dengan cahaya set "off-axis"
dan mikroskop pada kekuatan tertinggi. Dalam perdarahan vitreus ringan,
pandangan ke retina dimungkinkan dan lokasi dan sumber perdarahan
vitreus dapat ditentukan.
Penatalaksanaan
Adanya ablasio retina dapat ditentukan dengan menggunakan
ultrasonografi jika tidak dapat diperiksa secara oftalmoskopi . Vitrektomi
dilakukan segera apabila teridentifikasi. Jika pemeriksaan segmen
posterior tidak dapat dilakukan, maka dapat dilakukan pembatasan
kegiatan dan saat tidur kepala dapat ditinggikan 30-45 ° sehingga
memungkinkan darah untuk turun ke inferior agar dapat terlihat periferal
fundus superior. Robekan retina dapat dilihat dengan kriotherapi atau laser
fotokoagulasi.
185
V. KATARAK
Definisi
Penyebab terjadinya katarak senilis hingga saat ini belum diketahui secara pasti.
Patofisiologi di balik terjadinya katarak senilis amat kompleks dan belum
sepenuhnya dimengerti. Namun ada beberapa kemungkinan di antaranya
terkait usia lensa mata yang membuat berat dan ketebalannya bertambah,
sementara kekuatannya menurun. Kerusakan lensa pada katarak senilis
juga dikaitkan dengan kerusakan oksidatif yang progresif. Beberapa
penelitian menunjukkan peningkatan produk oksidasi seperti oxidized
glutathione dan penurunan antioksidan (vitamin) dan enzim superoksidase.
Teori stres oksidatif pada katarak disebut kataraktogenesis.
Klasifikasi Katarak
Katarak secara umum diklasifikasikan berdasarkan: Morfologi, Maturitas,
dan Age of Onset.
Morfologi
Katarak Nuklear
Pada katarak nuklear terjadi sklerosis pada nukleus lensa dan
menjadikan nukleus lensa menjadi berwarna kuning dan opak.
186
Katarak Kortikal
Pada katarak kortikal terjadi perubahan komposisi ion dari korteks
lensa serta komposisi air dari serat-serat pembentuk lensa.
Katarak subcapsularis
Kekeruhan mulai dari kecil, daerah opak hanya dibawah capsul,
dan biasanya ada di belakang lensa. Pasien merasa sangat
terganggu saat membaca di cahaya yang terang dan biasanya
melihat halo pada malam hari.
Katarak Capsularis
Dibagi menjadi 2 jenis:
Anterior Capsular
1. Congenital : Kelainannya di membran pupil yang tidak dapat
lepas pada waktu lahir.
2. Acquired : Pseudoexfloation syndromes, Chlorpromazine, yang
disertai dengan sinekia posterior
Posterior Capsular
Congenital : Persisten hyaloid membran. Seperti ada
hubungan kapsul posterior dengan retina yang seharusnya
menghilang sejak lahir.
Katarak Lammelar
Katarak Sutural
Maturitas
187
utuh, meninggalkan lensa yang mengkerut dengan kapsul
yang keriput.
Katarak Morgagni : Katarak hipermatur yang nukleus
lensanya mengambang dengan bebas di dalam kantung
kapsulnya.
Manisfestasi Klinis
a. Penurunan visus, merupakan keluhan yang paling sering
dikeluhkan pasien dengan katarak senilis.
b. Silau, Keluhan ini termasuk seluruh spectrum dari penurunan
sensitivitas kontras terhadap cahaya terang lingkungan atau silau
pada siang hari hingga silau ketika endekat ke lampu pada malam
hari.
c. Perubahan miopik, Progesifitas katarak sering meningkatkan
kekuatan dioptrik lensa yang menimbulkan myopia derajat sedang
hingga berat. Sebagai akibatnya, pasien presbiop melaporkan
peningkatan penglihatan dekat mereka dan kurang membutuhkan
kaca mata baca, keadaan ini disebut dengan second sight. Secara
188
khas, perubahan miopik dan second sight tidak terlihat pada
katarak subkortikal posterior atau anterior.
d. Diplopia monocular. Kadang-kadang, perubahan nuclear yang
terkonsentrasi pada bagian dalam lapisan lensa, menghasilkan
area refraktil pada bagian tengah dari lensa, yang sering
memberikan gambaran terbaik pada reflek merah dengan
retinoskopi atau ophtalmoskopi langsung. Fenomena seperti ini
menimbulkan diplopia monocular yang tidak dapat dikoreksi
dengan kacamata, prisma, atau lensa kontak
e. Penglihatan seakan-akan melihat asap/kabut dan lensa mata
tampak berwarna keputihan
f. Ukuran kacamata sering berubah
Diagnosis
Penatalaksanaan
Katarak hanya dapat diatasi melalui prosedur operasi. Akan tetapi jika
gejala katarak tidak mengganggu, tindakan operasi tidak diperlukan.
189
Kadang kala cukup dengan mengganti kacamata. Sejauh ini tidak ada
obat-obatan yang dapat menjernihkan lensa yang keruh.
Penatalaksanaan definitif untuk katarak senilis adalah ekstraksi lensa.
Lebih dari bertahuntahun, tehnik bedah yang bervariasi sudah berkembang
dari metode yang kuno hingga tehnik hari ini phacoemulsifikasi. Hampir
bersamaan dengan evolusi IOL yang digunakan, yang bervariasi dengan
lokasi, material, dan bahan implantasi. Bergantung pada integritas kapsul
lensa posterior, ada 2 tipe bedah lensa yaitu intra capsuler cataract
ekstraksi (ICCE) dan ekstra capsuler cataract ekstraksi (ECCE). Berikut ini
akan dideskripsikan secara umum tentang tiga prosedur operasi pada
ekstraksi katarak yang sering digunakan yaitu ICCE, ECCE, dan
phacoemulsifikasi.
190
Pasca operasi, pasien diberikan tetes mata steroid dan antibiotik jangka
pendek. Kacamata baru dapat diresepkan setelah beberapa minggu, ketika
bekas insisi telah sembuh. Rehabilitasi visual dan peresepan kacamata
baru dapat dilakukan lebih cepat dengan metode phacoemulsification.
Karena pasien tidak dapat berakomodasi maka pasien membutuhkan
kacamata untuk pekerjaan jarak dekat meski tidak dibutuhkan kacamata
untuk jarak jauh. Saat ini digunakan lensa intraokuler multifokal, lensa
intraokuler yang dapat berakomodasi sedang dalam tahap pengembangan.
Prognosis
Pencegahan
191
terhadap hal-hal yang memperberat seperti mengontrol penyakit metabolik,
mencegah paparan langsung terhadap sinar ultraviolet dengan
menggunakan kacamata gelap, dan sebagainya. Pemberian intake
antioksidan seperti vitamin A, C, dan E secara teori bermanfaat.
W. DIPLOPIA
Definisi
Istilah diplopia berasal dari bahasa Latin: diplous yang berarti ganda, dan
ops yang berarti mata. Diplopia atau penglihatan ganda adalah keluhan
berupa melihat dua gambaran dari satu objek.
Diplopia Binokuler
Anamnesis
192
jika mata kiri yang ditutup. Namun, perlu diingat bahwa diplopia
monokuler dapat terjadi pada kedua mata secara simultan (disebut
diplopia monokuler bilateral).
2. Apakah deviasi sama pada semua arah gaze (pandangan) atau
oleh penekukan dan pemutaran kepala dalam berbagai posisi? Hal
ini menentukan deviasi komitan, dengan tanpa perbedaan dalam
pemisahan objek-objek pada semua arah gaze. Jika taraf deviasi
berubah (dan mungkin hilang pada arah tertentu) maka deviasinya
inkomitan dan diperkirakan ada masalah inervasi, paling mungkin
adalah parese otot.
3. Apakah objek kedua terlihat horizontal (bersisian) atau vertikal (atas
dan bawah)? Diplopia obliks (terpisah secara horizontal dan
vertikal) dapat dipertimbangkan sebagai manifestasi diplopia
vertikal.
Dalam anamnesis juga perlu memasukkan elemen-elemen yang dapat
membantu melokalisasikan sumber masalah. Seperti biasa pemeriksa
harus mengumpulkan informasi mengenai onset, durasi, frekuensi, gejala-
gejala yang berhubungan, dan faktor yang menimbulkan atau
menghilangkan keluhan. Pasien harus ditanya dengan spefisik mengenai
penurunan visus, trauma, strabismus masa kanak-kanak, ambliopia, dan
pembedahan mata atau strabismus sebelumnya. Yang juga penting adalah
meninjau seluruh sistem neurologis dan oftalmis.
Fungsi palpebra dan posisinya juga harus diperiksa. Posisi palpebra atas
harus sedikit berada di bawah puncak iris. Jika kelopak atas berada di atas
iris dan sklera tampak, didiagnosis sebagai retraksi palpebra, dan jika
palpebra ketinggalan di belakang mata dengan gaze ke bawah disebut lid
lag. Kedua tanda ini sangat umum pada pasien dengan oftalmopati terkait-
tiroid. Penyakit pada otak tengah dorsal dapat menyebabkan retraksi
palpebra tapi tidak lid lag. Ptosis timbul bila jarak antara reflex cahaya
kornea di tengah pupil (terlihat saat pasien fiksasi pada cahaya yang
diarahkan padanya) dan palpebra atas kurang dari 4 mm. Penyebab
neurologis ptosis berasal dari disfungsi otot levator palpebra, yang dikontrol
oleh saraf kranial III, atau dari disfungsi otot Muller, yang dikontrol oleh
inervasi simpatis. Ptosis dari kelemahan otot Muller disebabkan oleh
sindrom Horner selalu minimal dan seringkali palpebra bawah sedikit
193
terangkat. Foto-foto lama membantu diferensiasi proses akut vs kronik
yang melibatkan bola mata, orbita, dan kelopak.
194
ekstraokuler fatigable, dan kelemahan otot orbicularis oculi merupakan
dugaan kuat miastenia.
Saraf kranial III menginervasi otot rectus superior, inferior, dan medial; otot
obliks inferior; otot sfingter pupil; dan levator palpebra superior. Lesi pada
saraf III memiliki gejala: supraduksi terbatas, infraduksi, dan adduksi;
midriasis dan paralisis pupil total atau parsial; dan ptosis total atau parsial
dari mata yang terkena. Ketika mata yang normal fiksasi pada target yang
jauh pada gaze primer, mata yang sakit biasanya akan ke bawah dan
keluar karena kerja otot rektus obliks superior dan rectus lateral yang
diinervasi saraf IV dan VI yang tidak dapat dilawan. Paralisis total otot
ekstraokuler dan palpebra tanpa keterlibatan pupil paling karena iskemia
saraf III. Pada kasus palsi saraf III, Maddox rod atau tes kaca merah
diperlukan untuk memverifikasi diagnosis. Maddox rod memperlihatkan
hiperdeviasi pada mata yang sakit pada gaze ke bawah dan hiperdeviasi
mata yang sehat pada gaze ke atas dikenal sebagai hiperdeviasi alternatif.
Ada juga eksodeviasi yang memburuk saat mata yang sakit diadduksi.
195
5. Pemeriksaan batang otak
Supaya dapat mengetahui fungsi batang otak, saraf III, IV, dan VI –juga
saraf kranial lain- harus dites. Tes kekuatan dan sensasi fasial, sensasi
kornea, kekuatan maseter, pendengaran, elevasi palatum dan uvula,
kekuatan sternokleidomastoid dan trapezius, refleks muntah, dan posisi
dan kekuatan lidah akan melengkapi pemeriksaan saraf kranial.
7. Lain-lain
Individu yang histeris mungkin mengeluh diplopia. Photopsia dan skotoma
yang terjadi selama aura migraine klasik mungkin dapat dikira sebagai
diplopia. Karena axis visual hanya dapat bertempat di satu lokasi pada
ruang 3D, objek yang yang berada di depan atau belakang tampak ganda.
Hal ini dapat didemonstrasikan dengan fokus pada satu jari sejauh lengan.
Objek yang berada di belakang jari tampak kabur dan ganda. Pemindahan
fokus ke objek pada arah yang sama namun di belakang jari menyebabkan
objek jadi tunggal, sedang jari tampak kabur dan ganda. Jika seseorang
tiba-tiba sadar akan diplopia ini menunjukkan kelainan fungsi serebral yang
lebih tinggi.
Penatalaksanaan
1. Klinis
- Menutup satu mata: menutup mata sering diperlukan, karena
pasien harus terus beraktivitas sambil menunggu intervensi.
- Lensa oklusif stick-on dapat dipakaikan ke kacamata untuk
meminimalkan handicap pada penggunaan tutup mata, sambil
196
mengaburkan satu mata untuk meminimalkan penglihatan ganda yang
mengganggu.
- Prisma Fresnel: prisma ini dapat melekat ke kacamata. Meski
prisma ini hanya cocok untuk deviasi stabil yang ada di semua arah gaze,
prisma ini mengaburkan gambar dari mata itu dan berfungsi dalam banyak
hal seperti lensa oklusif.
- Pengobatan miastenia gravis: mestinon atau agen antikolinergik
kerja lama, serta kortikosteroid.
2. Pembedahan
- Pembedahan strabismus kadang-kadang diperlukan. Resesi/
reseksi khas jarang diindikasikan karena satu otot yang sering lemah
permanen, dan pembedahan standar apapun akan kehilangan efek pada
akhirnya. Pengecualian pada fraktur blow out saat dilakukan pelepasan
pada penjepitan jaringan lunak dari fraktur di dasar orbita dapat sangat
efektif.
- Pembedahan transposisi (pembedahan Hummelsheim). Dengan
paralisis permanen otot rectus lateral, mengatasi kerja otot rectus medial
yang tidak dilawan, mungkin dilakukan dengan membagi otot rectus
superior dan inferior dan dengan memasukkan setengah lateral dari kedua
otot itu ke insersio otot rectus lateral. Jika tidak, resesi otot rectus medial
yang tercapai hanya dalam waktu sementara. Meskipun dapat melihat
tunggal pada pandangan lurus, diplopia tetap ada dengan pandangan ke
otot yang paralisis.
- Paralisis otot obliks superior Knapp
Dengan kelemahan permanen otot obliks superior, mungkin dapat
dilakukan pelemahan otot yoke mata yang lain (otot rectus superior) juga
yang merupakan antagonis direk (otot obliks inferior) pada mata yang
sama, bersama-sama dengan pemendekan otot yang terkena, dapat
meminimalkan deviasi.
- Kemodenervasi
Membantu mencegah kontraktur di mata dengan paresis otot ekstraokuler,
khususnya saat kembalinya fungsi diharapkan. Injeksi multipel selama
beberapa bulan dengan toxin botulinum ke otot rectus medial mengurangi
kontraktur karena kelemahan otot rectus lateral akibat paralisis saraf VI.
Efeknya lebih permanen dibanding dengan yang diharapkan, otot yang
tidak disuntik malah membantu pemendekan dan kontraktur.
Komplikasi
Pada bayi dan balita, diplopia dapat menyebabkan supresi atau ambliopia
Prognosis
Penyebab diplopia bervariasi dari yang ringan hingga kondisi yang memiliki
konsekuensi kesehatan yang besar.
197
Sebagai patokan, pasien dengan multipleks mononeuritis
diabetik yang sembuh spontan dalam 6 minggu.
Penyebab optikal (misal dislokasi lensa, kelainan korneal) dapat
diperbaiki.
Fraktur blow out memiliki prognosis berbeda tergantung jumlah
jaringan yang rusak
Pusat (neurologik) menyebabkan diplopia dapat memiliki
konsekuensi yang serius dan dalam hal tumor primer atau
sekunder, prognosisnya jelek.
X. ABLASIO RETINA
DEFINISI
a. Malignancy hypertensi
b. Choriodal tumor
c. Chorioditis
d. Retinopati
a. Trauma
b. Degenerasi
c. Kelainan vitreus
ETIOLOGI
Penyakit ablasio retina dapat pula disebabkan oleh penyakit lain seperti
tumor,peradangan hebat,akibat trauma atau sebagai komplikasi dari
diabetes. Ablasio retina dapat terjadi secara spontan atau sekunder setelah
trauma, akibat adanya robekan pada retina, cairan masuk kebelakang dan
198
mendorong retina (rhematogen) atau terjadi penimbunan eksudat dibawah
retina sehingga retina terangkat (non rhegmatogen), atau tarikan jaringan
parut pada badan kaca (traksi). Penimbunan eksudat terjadi akibat penyakit
koroid, misalnya skleritis, koroiditis, tumor retrobulbar, uveitis dan toksemia
gravidarum. Jaringan parut pada badan kaca dapat disebabkan DM,
proliferatif, trauma, infeksi atau pasca bedah.
MANIFESTASI KLINIK
PENATALAKSANAAN
UsahaPre-operatif :
UsahaPost-operatif :
199
tergantung posisi/keadaan sewaktu operasi yaitu kearah mana punksi
cairan subretina dilakukan. Pada robekan yang sangat besar, posisi kepala
dan badan dipertahankan sedikitnya 12 hari. Pergerakan mata, bila operasi
dilakukan dengan kombinasi cryo atau diathermi koagulasi dengan suatu
implant atau scleral buckling, maka kedua mata ditutup selama 48 – 72 jam
sedang badan boleh bergerak untuk mencegah pergerakan matanya. Bila
hanya menggunakan cryo atau diathermi saja mata ditutup selama 48 jam
samapai cairan subretina diabsobsi. Bila robekan belum semua tertutup,
maka kedua mata harus ditutup selama 12 – 14 hari, retina menempel
kembali dengan kuat pada akhir minggu ketiga setelah operasi, karena itu
selama periode 3 minggu itu diberikan instruksi sebagai berikut :
- Jangan membaca.
Obat–obat:
Selama 24 jam post-operasi diberikan obat anti nyeri (analgesik) 3 X 500
mg, bila mual muntah berikan obat anti muntah. Sesudah 24 jam tidak
perlu diberikan obat-obat, kecuali bila merasa sakit. Penggantian balut
dilakukan setelah 24 jam, saat itu mata ditetesi dengan Atropin tetes steril 1
%. Bila kelopak mata bengkak, diberikan Kortikosteroid lokal disertai babat
tindih (druk verban) dan kompres dingin.
KOMPLIKASI
PROGNOSIS
200
DAFTAR PUSTAKA
1. Ilyas S, dkk. Ablasio retina. In: Sari ilmu penyakit mata. Cetakan ke-
4. Gaya Baru Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia;
2004: 9,10,183-6.
2. Vaughan DG, Asbury T, Eva PR. Ablasi retina. In: Oftalmologi
umum. 14th ed. Widya Medika. Jakarta; 2006:197, 207-9.
3. Olsen TW. Retina. In: Primary care ophtahalmology. Palay DA,
Krachmer JH. Pr, editors. 2nd ed. Elsevier Mosby. Philadelphia;2005.
183-6.
PERDARAHAN RETINA
201
Gambar : a) fundus retina normal, b) fundus dengan perdarahan flame
shape retina
Retinopati diabetik
Diabetes melitus merupakan penyakit endokrin yang dapat menimbulkan
manifestasi pada mata berupa retinopati diabetika. Retinopati diabetika
adalah suatu mikroangiopati yang ditandai oleh kerusakan dan
penyumbatan pembuluh darah halus meliputi arteriol prekapiler , vena
maupun kapiler-kapiler retina. Kelainan ini berkaitan dengan lamanya
terpapar hiperglikemia yang akan menyebabkan perubahan fisiologis dan
biokimia sehingga terjadi kerusakan endotel pembuluh darah.
202
hiperglikemia juga dapat mengaktivasi transduksi sinyal intraseluler protein
kinase C (PKC). Vascular endothelialgrowth factor (VEGF) dan faktor
pertumbuhan lain diaktivasi oleh PKC. VEGF menstimulasi ekspresi
intracellular adhesionmolecule-1 (ICAM-1) yang memicu terbentuknya
ikatan antara leukosit dan endotel pembuluh darah. Ikatan tersebut
menyebabkan kerusakan sawar darah retina, serta trombosis dan oklusi
kapiler retina.
Perdarahan retina pada retinopati diabetika dapat berupa flame shape, dot
and blot shape, tergantung letak maupun ukuran pembuluh darah yang
terkena. Biasanya selain perdarahan retina, terdapat juga adanya soft atau
hard exudates, maupun daerah iskemik yang tampak sebagai cotton wool
spot.
Retinopati hipertensif
Retinopati hipertensif merupakan kelainan retina dan pembuluh darah
retina akibat tekanan darah tinggi. Respon pembuluh darah pada hipertensi
yaitu berupa vasospasme, selain itu pada adanya ateroskerosis juga
menjadi penyebab sekunder dari penebalan dinding pembuluh darah
sehingga ukurannya menjadi tidak teratur.
Perdarahan retina dapat terjadi primer akibat oklusi primer arteri atau
sekunder akibat arteroskerose yang mengakibatkan oklusi vena. Pada
hipertensi yang berat dapat terlihat perdarahan retina pada lapisan dekat
papil dan sejajar dengan permukaan retina. Perdarahan retina akibat
diapedesis biasanya kecil dan berbentuk lidah api (flame shaped).
Retinopati leukemia
Retinopati leukemia merupakan kelainan retina dan pembuluh
darah retina akibat adanya neoplasma ganas sel darah putih. Retinopati
leukemia ini dapat terjadi akibat leukemia jenis apapun seperti akut-kronik,
limfoid-mieloid, dengan tanda yang khusus seperti vena melebar, berkelok-
kelok, dan memberi refleks yang mengkilat sehingga susah dibedakan
arteri dengan vena. Terdapat perdarahan tersebar dengan bagian di
tengah berintik putih akibat penimbunan leukosit, dapat terjadi eksudat
kecil, mikroaneurisma dan pada stadium lanjut fundus berwarna pucat dan
jingga. Sel darah putih menyerbuki retina yang tertimbun di daerah
perivaskuler. Terdapat perdarahan dan eksudat subretina dan edema papil.
203
dan papil. Kelainan yang lanjut tampak sebagai perdarahan berbentuk
nyala api dengan bintik putih di tengah (Roth‘s spot).
DEFINISI
EPIDEMIOLOGI
204
ETIOLOGI
Oklusi arteri retina sentral terjadi akibat dari trombosis pada lamina
sklerosis, mungkin berasal dari arteriosklerosis komplikasi atau dari
kejadian emboli. Saat retina menjadi iskemik, retina akan membengkak,
dan kehilangan transparansi. Penyumbatan arteri retina sentral dapat
disebabkan oleh:
FAKTOR RISIKO
Ada sejumlah faktor risiko umum untuk terjadinya oklusi arteri dan vena.
Faktor-faktor tersebut hampir sama dengan faktor yang mencetuskan
masalah pembuluh darah yang dapat menyebabkan masalah lain seperti
serangan jantung dan stroke. Faktor risiko utama tersebut adalah:
Usia. Oklusi pembuluh darah retina paling sering terjadi pada orang
dengan usia di atas 65 tahun, walaupun pada oklusi arteri retina dapat
juga terjadi pada usia dibawah 30 tahun.
Tekanan darah tinggi
Diabetes Mellitus
Hiperlipidemia (kolesterol > 6,5 mmol/L)
Penyakit arteri koroner
Merokok
Kegemukan
Glaukoma
Hiperkoagulabilitas
Arteriosklerosis
Papil edema
Diet yang tidak sehat (kurang vitamin dan antioksidan)
205
GEJALA KLINIS
Gejala yang timbul pada oklusi vena retina mulai dari penurunan
penglihatan yang memburuk pada pagi hari, tepat setelah bangun pagi
hingga penurunan penglihatan yang nyata yang dijumpai pertama kali saat
bangun pagi dan dapat sampai kepada kebutaan yang menetap. Gejala
biasanya timbul pada satu mata. Onset timbulnya gejala pada oklusi vena
retina dapat kurang akut dari onset oklusi arteri retina. Penurunan
penglihatan tidak disertai rasa nyeri.
PEMERIKSAAN
206
Oklusi Arteri Retina
Defek pupil aferen dapat muncul dalam beberapa detik setelah sumbatan
arteri retina. Pupil mata yang terkena menjadi lebar dan reaksi pupil
terhadap sinar langsung menjadi lemah disebabkan tajam penglihatan
yang berkurang, sehingga terjadi pupil anisokoria. Defek pupil ini biasanya
timbul mendahului kelainan fundus selama satu jam.
Sesudah beberapa jam retina akan tampak pucat, keruh keabu-abuan yang
disebabkan edema lapisan dalam retina dan lapisan sel ganglion. Pada
keadaan ini akan terlihat gambaran merah ceri (cherry red spot) pada
makula lutea. Hal ini disebabkan tidak adanya lapisan ganglion di makula,
sehingga makula mempertahankan warna aslinya. Lama-kelamaan papil
warnanya pucat dan batasnya kabur. Secara klinis, kekeruhan retina
menghilang dalam 4-6 minggu, meninggalkan sebuah diskus optikus pucat
sebagai temuan okular pertama.
207
cabang arteri yang menyempit, segmentasi dari kolum arteri, dan kadang-
kadang dapat terlihat emboli pada cabang arterinya. Pemeriksaan lapang
pandang (Perimetri) dapat ditemukan adanya defek lapang pandang
sebagian.
208
Gambar. Non-ischemic CRVO
TERAPI
Kerusakan retina yang ireversibel terjadi setelah oklusi total arteri sentarlis
retina selama 90 menit sehingga hanya tersedia sedikit waktu untuk
memulai terapi. Oleh sebab itu merupakan suatu keadaan emergensi,
penanganan yang segera untuk mengembalikan aliran darah pada retina
kemungkinan akan sangat bermanfaat bila dilakukan sedini mungkin.
2. Ocular massage.
Dilakukan dengan gerakan berputar selama 10 detik pada bola mata
dan dilepas kemudian dilakukan berulang-ulang. Diharapankan
terjadi perpindahan emboli ke distal menuju pembuluh darah dengan
kaliber kecil dan menyelamatkan sebagian daerah retina.
209
Dapat juga dengan memberikan isosorbid dinitrat sublingual.
PROGNOSIS
Individu juga berada pada risiko terjadinya glaukoma di mata yang terkena
karena pertumbuhan berlebih dari pembuluh darah baru di retina atau iris.
Jika tekanan darah tinggi (hipertensi) atau peningkatan tekanan mata
(glaukoma) tidak terkontrol, individu terus berada pada risiko komplikasi
oklusi vena retina seperti ablasio retina atau gangguan terkait lainnya.
210
DEGENERASI MAKULA
DEFINISI
ETIOLOGI
211
KLASIFIKASI
Rata-rata 90% kasus degenerasi makula terkait usia adalah tipe kering.
Kebanyakan kasus Ini bisa memberikan efek berupa kehilangan
penglihatan yang sedang. Pada gambaran fundus, macula tampak lebih
kuning atau pucat dikelilingi oleh bercak-bercak dan pembuluh darah
tampak melebar. Bercak-bercak ini disebut drusen iaitu bangunan khas
yang berbentuk bulat, berwarna kekuningan. Secara histopatologi drusen
terdiri atas kumpulan materi eosinofilik yang terletak diantara epitel pigmen
dan membran Bruch sehingga drusen dapat menyebabkan pelepasan fokal
dari epitel pigmen.
Bentuk ini muncul dalam bentuk timbulnya drusen serta kelainana EPR.
Drusen merupakan suatu timbunan material ekstraseluler yang terletak
diantara membrane basal EPR denganmembran Bruch. Secara klinis,
drusen tampak sebagai lesi kekuningan yang terletak pada lapisan luar
retina, di polus posterior. Drusen mempunyai ukuran yang sangat
bervariasi. Ukuran drusen dapat diperkirakan dengan membandingkannya
dengan caliber vena besar disekitar papil iaitu sekirat 125 mikron. Menurut
ukurannya, drusen dibagi menjadi:
212
- Kecil (kurang dari 64 um)
- Sedang (antara 64 -125 um)
- Besar (lebih dari 125 um)
Menurut bentuknya, drusen dibagi menjadi keras dan lunak.
Beberapa drusen dapat bergabung menjadi satu yang disebut drusen
confluent. Drusen keras merupakan residual bodies yang
bertanggungjawab terhadap penebalan membrane Bruch, yang
berhubungan dengan adanya deposit laminar basal yang terdiri dari hialin.
Drusen lunak merupakan timbunan membranosa dan vesicular yang
berhubungan dengan deposit laminar basal. Biasanya ukurannya lebih
besar dari drusen keras dan batasnya kurang tegas. Pada angiografi
fluoresin, drusen keras akan tampak sebagai bercak-bercak
hiperfluoresensi yang cemerlang pada stadium midvena, dan memudar
setelah memudarnya corakan latar belakang fluoresin koroid, sedangkan
drusen lunak akan muncul sebagai daerah hiperfluoresensi lebih lambat
dan kurang cemerlang disbanding drusen keras.
Drusen keras ditemukan pada 95,5% individu berumur lebih dari 49 tahun,
tetapi sebagian besar hanya brupa drusen kecil yang jumlahnya tidak
banyak. Drusen keras bisa mengalami regresi spontan, dapat membesar
atau menyatu dengan drusen disebelahnya atau menimbulkan atrofi sel
EPR yang ada diatasnya, yang dapat menimbulkan atrofi geografk EPR
apabila daerahnya luas, sehingga corak pembuluh darah koroid
dibawahnya dapat terlihat, serta retina diatasnya tampak tipis, yang
berlanjut menjadi atrofi fotoreseptor, dan menyebabkan atrofi geografik
retina, atau berkembang membentuk neovaskularisasi koroid CNV.
213
2. Degenerasi Makula tipe eksudatif ( tipe basah) atau neovaskular
Degenerasi makula tipe ini adalah jarang terjadi namun lebih berbahaya di
bandingkan dengan tipe kering. Kira kira didapatkan adanya 10% dari
semua degenerasi makula terkait usia dan 90% dapat menyebabkan
kebutaan. Tipe ini ditandai dengan adanya neovaskularisasi subretina
dengan tanda-tanda degenerasi makula terkait usia yang mendadak atau
baru mengalami gangguan penglihatan sentral termasuk penglihatan
kabur, distorsi atau suatu skotoma baru.
Pada keadaan ini terjadi pembentukan pembuluh darah baru subretinal dan
terjadi kerusakan macula yang disertai eksudat. Cairan serosa dari koroid
bocor melalui defek pada membrane bruch sehingga menyebabkan
pelepasan epitel pigmen. Pemeriksaan fundus menunjukkan adanya
pendarahan dan eksudat subretina, lesi berwarna hijau keabu-abuan pada
macula dan tampak adanya neovaskularisasi.
- Ablasi EPR
- Robekan EPR
214
- Pendarahan subretina
- Pendarahan vitreus
- Sikatrik disiforms
Adanya kerusakan pada membrane Bruch memungkinkan pembuluh darah
neovaskularisasi yang berasal dari kapiler koroid menembus membrane
Bruch. Pembuluh darah neovaskular ini diserai oleh jaringan fibrosa,
membentuk satu kompleks fibrovaskular yang dapat mengganggu dan
merusak membrane Bruch, kapiler koroid, serta EPR.
Gejala yang dialami oleh pasien dengan CNV saja, berupa gangguan
penglihatan sentral seperti penurunan visus, mikropsia, makropsia ataupun
skotoma sentral. Walaupun demikian apabila kelainan terjadi diluar fovea,
maka dapat tanpa gejala penglihatan sentral sama sekali. Pada fundus
tampak adanya bayangan hijau keabu-abuan dengan ablasi EPR
diatasnya. Walaupun demikian CNV kadang hanya memberikan tanda
berupa ablasi EPR yang datar saja.
GEJALA KLINIS
DIAGNOSIS
1. Test Amsler Grid, dimana pasien diminta suatu halaman uji yang mirip
dengan kertas milimeter grafis untuk memeriksa luar titik yang
terganggu fungsi penglihatannya. Kemudian retina diteropong melalui
lampu senter kecil dengan lensa khusus.
2. Test penglihatan warna, untuk melihat apakah penderita masih dapat
membedakan warna, dan tes-tes lain untuk menemukan keadaan yang
dapat menyebabkan kerusakan pada makula.
3. Kadang-kadang dilakukan angiografi dengan zat warna fluoresein.
Dokter spesialis mata menyuntikan zat warna kontras ini ke lengan
penderita yang kemudian akan mengalir ke mata dan dilakukan
215
pemotretan retina dan makula. Zat warna ini memungkinkan melihat
kelainan pembuluh darah dengan lebih jelas.
DIAGNOSIS BANDING
1. Makroneurisme
4. Kasus inflamasi
PENATALAKSANAAN
216
atasnya tetapi bermanfaat apabila membrane subretina dapat dihentikan
tanpa mengenai fovea.
217
PROGNOSIS
DAFTAR PUSTAKA
RETINOPATI
DEFINISI
Klasifikasi penyakit
a. Retinopati Diabetik
b. Retinopati Hipertensi
218
Etiologi
a. Retinopati Diabetik
4. Asupan Makanan
5. Obesitas
b. Retinopati Hipertensi
c. terkena Hipertensi
Manifestasi Klinis
b) Bayangan abu-abu
c) Mata kabur
219
e) Ada titik gelap atau kosong ditengah lapangan pandang
g) Nyeri mata
j) Buta
Komplikasi
b. Glaukoma
c. Ablasio retina
Pemeriksaan Penunjang
1. Indirect of Thalamoskop
220
2. Foto fundus
Ada dua macam atropi nervus optikus yaitu atrofi optik akuisita dan
atropi optik heredodegeneratif (kongenital).1
A. Definisi
B. Etiologi1
Oklusi vaskular
221
Proses degenerasi
Setelah menderita papil edema
Setelah menderita neuritis optik
Pada adanya tekanan nervus optikus oleh apapun
Karena glaukoma
Gangguan metabolisme misalnya diabetes melitus
Karena toksin
Karena kelainan kongenital
Karena trauma
Karena degenerasi retina
C. Klasifikasi1
Pada atropi optik ada istilah atropi primer yang ditandai pupil pucat dan
batas tegas, atropi sekunder yang ditandai papil pucat dengan batas kabur
karena adanya bekas pembengkakan papil dan atropi konsekutif yaitu
atropi papil yang terjadi karena kelainan retina, misalnya pada retinitis
pigmentosa.
Gejala dan tanda atropi papil tentunya juga tergantung dari penyakit yang
mendasari. Gejala dan tanda umum adalah sebagai berikut:
Penurunan visus
Gangguan persepsi warna
Gangguan lapangan pandang yang beraneka ragam tergantung
penyebabnya.
Bentuk kelainan pada lapangan pandang dapat berupa
membesarnya bintik buta fisiologik , bisa terjadi ;
Skotoma Busur (arkuata) : dapat terlihat pada glaucoma, iskemia
papil saraf optic, dan oklusi arteri retina sentral
Skotoma Sentral : pada retinitis sentral
Hemianopsia bitemporal : hilangnya setengah lapang pandang
temporal kedua mata, khas pada kelainan kiasma optic, meningitis
basal, kelainan sphenoid dan trauma kiasma.
Hemianopsia binasal : defek lapang pandang setengah nasal akibat
tekanan bagian temporal kiasma optic kedua mata atau atrofi papil
saraf optic sekunder akibat TIK meninggi.
Hemianopsia heteronym : bersilang, dapat binasal atau bitemporal
Hemianopsia homonym : hilang lapang pandang pada sisi yang
sama pada kedua mata, pada lesi temporal
Hemianopsia altitudinal : hilang lapang pandang sebagian atas atau
bawah, dapat terjadi pada iskemik optic neuropati, kerusakan saraf
optic, kiasma dan kelainan korteks .
222
Penemuan oftalmoskopis juga tergantung dari penyebabnya (papil
pucat bisa dengan batas tegas atau batas kabur, demikian juga bisa
bersifat datar, cekung, atau menonjol)
Atropi optik bisa bersifat difus dan sektoral, bisa total atau parsial,
bisa ringan atau berat. Atropi optik difus yang khas adalah
disebabkan oleh retinitis pigmentosa yang berupa atropi optik
primer berbatas tegas dan berwarna putih mengkilat seperti lilin.
Atropi sektoral polus superior atau inferior terjadi setelah neuropati
optik iskemik anterior.
Atropi bentuk bow tie (dasi kupu) bilateral khas pada lesi khiasma
optikum.
Atropi bentuk bow tie diskus kanan dan atropi diskus kiri khas lesi
traktus optikus dan korpus genikulatum lateral kiri, dan sebaliknya.
Atropi temporal bentuk baji adalah khas pada post neuritis
retrobulbar, neuropati optik toksis dan neuropati optik kompresif.
Perubahan vasa yang terjadi pada atropi optik adalah ditemukan
vasa yang menjadi lebih jelas, mengalami pengecilan dan
mengalami sheating. Pada atropi optik yang masih menyisakan
fungsi penglihatan sehingga dapat dianalisis dengan pemeriksaan
lapang pandang akan memberikan perkiraan letak lesi yang lebih
tepat.
DAFTAR PUSTAKA
223
NEURITIS OPTIK
PENDAHULUAN
Nervus opticus adalah saraf yang membawa informasi visual dari retina ke
otak. Nervus opticus terdiri dari sekitar 1 juta akson yang berasal dari
ganglion sel retina. Serat sarafnya menjadi bermielin saat meninggalkan
mata. Nervus opticus bergabung membentuk chiasma opticum.1
ETIOLOGI
Demielinisasi
Idiopatik
Sklerosis multipel
Neuromyelitis optica (Devic’s disease)
Immune mediated
Neuritis optik setelah infeksi virus1,2
Neuritis optik setelah imunisasi
Acute disseminated encephalomyelitis
Guillain Barre syndrome
Lupus eritematosus sistemik
Infeksi langsung
Herpes zoster, syphilis, tuberculosis, cryptococcosis,
cytomegalovirus
Granulomatous optic neuropathy
Sarcoidosis
Idiopatik
Contiguous inflammatory disease
Peradangan dalam bola mata
Peradangan intracranial: meningitis, encephalitis 1
EPIDEMIOLOGI
224
KLASIFIKASI
DIAGNOSA
Anamnesa
Riwayat
Pasien dengan sklerosis multipel dapat mempunyai riwayat neuritis optik
yang berulang, dapat ditanyakan apakah pernah terjadi sebelumnya
keluhan yang sama.
Pemeriksaan
Dilakukan pemeriksaan untuk melihat gejala objektif.
Langkah-langkah pemeriksaan:
1. Pemeriksaan visus
Didapatkan penurunan visus yang bervariasi mulai dari ringan sampai
kehilangan total penglihatan.
2. Pemeriksaan segmen anterior
Pada pemeriksaan segmen anterior, palpebra, konjungtiva, maupun kornea
dalam keadaan wajar. Refleks pupil menurun pada mata yang terkena dan
defek pupil aferen relatif atau Marcus Gunn pupil umumnya ditemukan.
Pada kasus yang bilateral, defek ini bisa tidak ditemukan.1,2,4,5
3. Pemeriksaan segmen posterior
Pada neuritis optik akut sebanyak dua pertiga dari kasus merupakan
bentuk retrobulbar, maka papil tampak normal, dengan berjalannya waktu,
nervus optikus dapat menjadi pucat akibat atrofi. Pada kasus neuritis optik
bentuk papilitis akan tampak edema diskus yang hiperemis dan difus,
225
dengan perubahan pada pembuluh darah retina, arteri menciut dan vena
melebar. Jika ditemukan gambaran eksudat star figure, mengarahkan
diagnosa kepada neuroretinitis. 1,2,5
Pemeriksaan Tambahan
- Tes konfrontasi
- Tes ishihara untuk melihat adanya penglihatan warna yang
terganggu2,4,5, umumnya warna merah yang terganggu.5
Pemeriksaan Anjuran
- Untuk membantu mencari penyebab neuritis optik biasanya
dilakukan pemeriksaan foto sinar X kanal optik, sela tursika, atau dilakukan
pemeriksaan CT orbita dan kepala.
- Dengan MRI dapat dilihat tanda-tanda sklerosis multipel.1,4,5
DIAGNOSIS BANDING
TERAPI
KOMPLIKASI
PROGNOSA
226
defisit dalam penglihatan warna, kontras, serta sensitivitas adalah hal yang
umum.4
DAFTAR PUSTAKA
227
BAB III
A. Telinga
Etiologi
Di Amerika Utara, 98% kasus otitis eksterna akut disebabkan oleh
bakteri. Bakteri penyebab yang paling umum adalah Pseudomonas
aeruginosa dan Staphylococcus aureus. Namun, berbagai bakteri aerob
dan anaerob lainnya juga bisa menyebabkan timbulnya kasus otitis
eksterna akut. Patogen jamur, terutama spesies Aspergillus dan Candida,
lebih sering menjadi penyebab otitis eksterna akut di lingkungan tropis atau
subtropis serta pasien yang sebelumnya diobati dengan antibiotik.
Gangguan kulit dan reaksi alergi dapat menyebabkan otitis eksterna akut
berubah menjadi otitis eksterna kronis.(2) Otitis eksterna akut juga dapat
terjadi sekunder pada otitis media supuratif kronis.(1)
Faktor Predisposisi
Faktor yang mempermudah radang telinga luar ialah perubahan pH
di liang telinga, yang biasanya normal atau asam. Bila pH menjadi basa,
proteksi terhadap linfeksi menurun. Pada keadaan udara yang hangat,
kuman dan jamur mudah tumbuh. Predisposisi otitis eksterna yang lain
adalah trauma ringan ketika mengorek telinga.(1)
Faktor Predisposis Otitis Eksterna(2)
Anatomic Abnormalities Dermatology condition
Canal stenosis Eczema
Exostoses Psoriasis
Hairy ear canals Seborrhea
Other inflammatory
dermatoes
Canal Obstruction Water in Canal
Cerumen obstruction Humidity
Foreign body Sweating
Sebaceous cyst Swimming or other
prolonged water exposure
Cerumen/Epithelial integrity Miscellaneous
228
Cerumen removal Purulent otorrhea from
Earplugs otitis media
Hearing aids Soap
Instrumental/itching Stress
Type A blood
Gejala Klinis
Terdapat dua kemungkinan otitis eksterna akut yaitu otitis eksterna
sirkumskripta dan otitis eksterna difus.(1)
229
Otitis Eksterna Sirkumskripta (Furunkel)
230
Penatalaksanaan
Pengobatan otitis eksterna akut tergantung dari bentuk otitis
eksterna itu sendiri. Terapi otitis eksterna sikumskripta bergantung pula
pada keadaan furunkel. Bila sudah menjadi abses, diaspirasi secara steril
untuk mengeluarkan nanahnya. Lokal diberikan antibiotika dalam bentuk
salep, seperti polymixin B atau bacitracin, atau antiseptik (asam asetat 2-
5% dalam alkohol). Kalau dinding furunkel tebal, dilakukan insisi, kemudian
dipasang salir (drain) untuk mengalirkan nanahnya. Biasanya tidak perlu
diberikan antibiotika secara sistemik, hanya diberikan obat simptomatik
seperti analgetik dan obat penenang.(1)
Sementara itu, pengobatan otitis eksterna difus dengan
membersihkan liang telinga, memasukkan tampon yang mengandung
antibiotika ke liang telinga supaya terdapat kontak yang baik antara obat
dengan kulit yang meradang. Kadang-kadang diperlukan antibiotika
sistemik.(1)
Pengobatan Topikal
Pemberian antibiotik topikal baik disertai atau tanpa disertai
pemberian topikal kortikosteroid merupakan terapi utama pada otitis
eksterna akut tanpa kompilkasi. Contoh antibiotik topikal yang aman dan
telah banyak diteliti ialah polymixin B, aminoglikosida, quinolon. Pemberian
antibotik topikal harus memperhatikan efek samping pemberian seperti
reaksi hipersensitivitas yang mungkin terjadi. Pilihan antibiotika yang paling
jarang menyebabkan hipersensitivitas ialah neomisin. Pemberian
antibiotika topikal beserta kortikosteroid topikal lebih cepat mengurangi
gejala seperti nyeri, edema, eritema.(2)
Selain pemberian obat-obat topikal di atas, kebersihan liang telinga
juga patut diperhatikan. Jika terdapat benda asing penyebab otitis eksterna
dalam liang telinga, maka benda asing tersebut harus dikeluarkan terlebih
dahulu.
Antibiotik Oral
Pemberian antibiotik topikal sebenarnya sudah cukup bagi
penderita otitis eksterna yang tidak disertai dengan komplikasi. Pemberian
antibiotik sistemik hanya digunakan pada keadaan khusus yakni apabila
infeksi bakteri telah meluas dan menyebar ke luar liang telinga, atau jika
pasien memiliki penyakit lain seperti diabetes mellitus yang tidak terkontrol,
pasien imunukompromise dan riwayat radioterapi lokal.(4) Disarankan
pemberian antibiotika untuk pasien otitis eksterna disesuaikan dengan
tingkat kepekaan bakteri.(5)
231
Antiinflamasi
Pemberian antiinflamasi golongan non steroid juga untuk
mengurangi keluhan nyeri pada pasien-pasien otitis ekstena akut.(2)
Komplikasi
Otitis eksterna akut yang tidak diobati dengan baik dapat
berkembang menjadi infeksi di luar liang telinga seperti selulitis aurikular,
adenopati servikal, atau parotitis.(3)
DAFTAR PUSTAKA
1. Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD. Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher. 6th ed.
Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2010. p. 60-3.
2. Schaefer P, Baugh RF. Acute Otitis Externa : An Update. American
Family Physician Vol. 86, No. 11. Ohio: 2012. p.1055-61.[Internet]
(diakses pada tanggal 6 April
2016)http://www.aafp.org/afp/2012/1201/p1055.html.
232
3. Osguthorpe JD, Nielsen DR. Otitis Externa: Review and Clinical
Update. American Family Physician Vol. 74, No. 9. Virginia: 2006.
p.1510-16.[Internet] (diakses pada tanggal 6 April 2016)
http://www.aafp.org/afp/2006/1101/p1510.html.
4. Abdullah F. Anatomi Telinga dalam Uji Banding Klinis Pemakaian
Larutan Burruwi Saring dengan Salep Ichthyol (Ichthammol) pada
Otitis Eksterna Akut. Departemen Telinga Hidung Tenggorokan
Kepala Leher Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
Medan; 2003. p.4-11.
5. Suwu P, Kountul C, Waworuntu O. Pola Kuman dan Uji
Kepekaannya Terhadap Antibiotika pada Penderita Otitis Eksterna di
Poliklinik THT-KL BLU RSU Prof. Dr. R. D. Kandou Manado. Bagian
Mikrobiologi Fakultas Kedokteran Universitas Sam
Ratulangi.Manado; 2013. p. 20-25.
Definisi
Otitis media adalah peradangan sebagian atau seluruh mukosa
telinga tengah, tuba Eustachius, antrum mastoid dan sel-sel mastoid.(1)
Otitis media akut didefiniskan bila proses peradangan pada telinga tengah
yang terjadi secara cepat dan singkat (dalam waktu kurang dari 3 minggu)
yang disertai dengan gejala lokal dan sistemik.(2)
Klasifikasi
Banyak ahli membuat pembagian dan klasifikasi otitis media.
Secara mudah, otitis media terbagi atas otitis media supuratif dan otitis
media non supuratif (=otitis media serosa, otitis media sekretoria, otitis
media musinosa, otitis media efusi).(1)
Masing-masing penggolongan mempunyai bentuk akut dan kronis,
yaitu otitis media supuratif akut dan otitis media supuratif kronis. Begitu
pula otitis media serosa terbagi menjadi otitis media serosa akut
(barotrauma = aerotitis) dan otitis media serosa kronis.(1)
Etiologi
Sumbatan pada tuba Eustachius merupakan penyebab utama dari
otitis media. Pertahanan tubuh pada silia mukosa tuba Eustachius
terganggu, sehingga pencegahan invasi kuman ke dalam telinga tengah
terganggu juga. Selain itu infeksi saluran pernapasan merupakan salah
satu faktor penyebab yang paling sering.(6)
Otitis media akut bisa disebabkan oleh bakteri dan virus.Kuman
penyebab utama pada otitis media akut adalah bakteri piogenik, seperti
Streptococcushemolyticus, Staphylococcus aureus, Pneumococcus. Selain
itu kadang-kadang ditemukan juga Haeemophilus influenza, Escherchia
colli dan Streptococcus anhhemolitcus, Proteus vulgaris dan Pseudomonas
233
aeroginosa.Diantara bakteri tersebut, Haeemophilus influenza merupakan
mikroorganisme yang paling berbahaya.(1)
Virus terdeteksi pada sekret pernafasan pada 40-90% anak dengan
OMA, dan terdeteksi pada 20-48% cairan telinga tengah anak dengan
OMA. Virus yang sering sebagai penyebab OMA adalah respiratory
syncytial virus. Selain itubisa disebabkan virus parainfluenza (tipe 1,2, dan
3), influenza A dan B, rinovirus, adenovirus, enterovirus, dan koronavirus.
Penyebab yang jarang yaitu sitomegalovirus dan herpes simpleks. Infeksi
bisa disebabkan oleh virus sendiri atau kombinasi dengan bakteri lain. (2)
234
Aspek paling mencolok pada peradangan akut ialah pembengkakan
lokal yang dihasilkan oleh cairan dan sel-sel yang berpindah dari
aliran darah ke jaringan interstitial.
Fungsio laesa (perubahan fungsi)
Fungsio laesa, atau perubahan fungsi merupakan bagian yang
lazim pada reaksi peradangan. Sepintas mudah dimengerti bagian
yang bengkak, nyeri disertai sirkulasi abnormal seharusnya
berfungsi abnormal.
Penegakkan Diagnosa
Diagnosis OMA harus memenuhi tiga hal berikut:(2)
1. Penyakitnya muncul mendadak (akut);
2. Ditemukannya tanda efusi di telinga tengah. Efusi dibuktikan
dengan adanya salah satu di antara tanda berikut:
menggembungnya gendang telinga, terbatas/tidak adanya gerakan
gendang telinga, adanya bayangan cairan di belakang gendang
telinga, cairan yang keluar dari telinga;
3. Adanya tanda/gejala peradangan telinga tengah, yang dibuktikan
dengan adanya salah satu di antara tanda berikut: kemerahan pada
gendang telinga, nyeri telinga yang mengganggu tidur dan aktivitas
normal.
Diagnosis OMA dapat ditegakkan dengan anamnesis dan
pemeriksaan fisik yang cermat. Gejala yang timbul bervariasi bergantung
pada stadium dan usia pasien. Pada anak – anak umumnya keluhan
berupa rasa nyeri di telinga dan demam. Biasanya ada riwayat infeksi
saluran pernafasan atas sebelumnya. Pada remaja atau orang dewasa
biasanya selain nyeri terdapat gangguan pendengaran dan telinga terasa
penuh. Pada bayi gejala khas adalah panas yang tinggi, anak gelisah dan
sukar tidur, diare, kejang-kejang dan sering memegang telinga yang
sakit.(2)
Beberapa teknik pemeriksaan dapat digunakan untuk menegakkan
diagnosis OMA, seperti otoskop, otoskop pneumatik, timpanometri, dan
timpanosintesis. Dengan otoskop dapat dilihat adanya gendang telinga
yang menggembung, perubahan warna gendang telinga menjadi
kemerahan atau agak kuning dan suram, serta cairan di liang telinga. Jika
konfirmasi diperlukan, umumnya dilakukan dengan otoskopi pneumatik.
Gerakan gendang telinga yang berkurang atau tidak ada sama sekali dapat
dilihat dengan pemeriksaan ini. Pemeriksaan ini meningkatkan sensitivitas
diagnosis OMA. Namun umumnya diagnosis OMA dapat ditegakkan
dengan otoskop biasa.(2)
Menurut beratnya gejala, OMA dapat diklasifikasi menjadi OMA
berat dan tidak berat. OMA berat apabila terdapat otalgia sedang sampai
berat, atau demam dengan suhu lebih atau sama dengan 39 oC oral atau
39,5oC rektal, atau keduanya. Sedangkan OMA tidak berat apabila terdapat
otalgia ringan dan demam dengan suhu kurang dari 39 oC oral atau 39,5oC
rektal, atau tidak demam.(2)
235
Otitis Media Serosa Akut
Otitis media serosa akut adalah keadaan terbentuknya sekret di
telinga secara tiba-tiba disebabkan oleh gangguan fungsi tuba. Keadaan
akut ini dapat disebabkan antara lain oleh : (1) sumbatan tuba, pada
keadaan tersebut terbentuk cairan di telinga tengah disebabkan oleh
tersumbatnya tuba secara tiba-tiba seperti pada barotrauma, (2) virus,
terbentuknya cairan telinga tengah yang berhubungan dengan infeksi virus
pada jalan napas atas, (3) alergi, terbentuknya cairan di telinga tengah
yang berhubungan dengan keadaan alergi pada jalan napas atas, (4)
idiopatik.(1)
Gejala yang menonjol pada otitis media serosa akut biasanya
pendengaran berkurang. Selain itu pasien juga dapat mengeluh rasa
tersumbat pada telinga atau suara sendiri terdengar lebih nyaring atau
berbeda pada telinga yang sakit (diplacusis binauralis). Kadang-kadang
terasa seperti ada cairan yang bergerak dalam telinga pada saat posisi
kepala berubah. Rasa sedikit nyeri dalam telinga dapat terjadi pada saat
awal tuba terganggu yang menyebabkan timbul tekanan negative pada
telinga tengah (misalnya pada barotrauma), tetapi setelah sekret terbentuk
tekanan negative ini pelan-pelan hilang. Rasa nyeri dalam telinga tidak
pernah ada bila penyebab timvulnya sekret adalah virus atau alergi.
Tinnitus, vertigo, atau pusing kadang-kadang ada dalam bentuk yang
ringan.(1)
Pada otoskopi terlihat membrane timpani retraksi. Kadang-kadang
tampak gelembung udara atau permukaan cairan dalam cavum timpani.
Tuli konduktif dapat dibuktikan dengan garpu tala.
Pengobatan dapat secara medikamentosa dan pembedahan. Pada
pengobatan medikal diberikan obat vasokonstriktor lokal (tetes hidung),
antihistamin, serta paerasat Valsava, bila tidak ada tanda-tanda infeksi di
jalan napas atas. Setelah satu atau dua minggu bila gejala-gejala masih
meneyap dilakukan miringotomi dan bila masih belum sembuh maka
dilakukan miringotomi serta pemasangan pipa ventilasi (Grommet).
Penalaksanaan
Tujuan penatalaksanaan otitis media akut adalah untuk mengurangi
gejala dan mencegah rekurensi. Pada fase inisial, penatalaksanaan
ditujukan pada penyembuhan gejala yang berhubungan dengan nyeri dan
demam dan mencegah komplikasi supuratif seperti mastoiditis atau
meningitis. Penatalaksanaan otitis media akut menjadi kompleks
disebabkan perubahan patogen penyebab.(2)
Pengobatan otitis media akut tergantung pada stadium penyakitnya.
Pada stadium oklusi pengobatan terutama bertujuan untuk membuka
kembali tuba Eustachius sehingga tekanan negatif di telinga tengah
hilang.(1,2)
1. Stadium Oklusi : diberikan obat tetes hidung HCL efedrin 0,5%, dan
pemberian antibiotik.
236
2. Stadium Presupurasi : analgetika, antibiotika (biasanya golongan
ampicillin atau penisilin) dan obat tetes hidung.
3. Stadium Supurasi : diberikan antibiotika dan obat-obat simptomatik.
Dapat juga dilakukan miringotomi bila membran timpani menonjol
dan masih utuh untuk mencegah perforasi.
4. Stadium Perforasi : Diberikan H2O2 3% selama 3-5 hari dan
diberikan antibiotika yang adekuat.
Medikamentosa
Anti Inflamasi
Penatalaksanaan OMA harus dengan pemberian anti
inflamasi. Jika terdapat nyeri, harus memberikan terapi untuk
mengurangi nyeri tersebut. Penanganan otitis media harus
dilakukan terutama dalam 24 jam pertama onset otitis media akut
tanpa memperhatikan penggunaan antibiotik. Penanganan otitis
media akut dapat menggunakan anti inflamasigolongan NSAID
seperti: natrium diklofenak, paracetamol, asetaminofen, ibuprofen. (2)
Antibiotik
Keberhasilan pengobatan penyakit infeksi bakteri dengan
antibiotik pada dasarnya merupakan hasil akhir dari 3 komponen,
yaitu penderita, bakteri dan antibiotika. Hal ini disebabkan karena
penyakit infeksi bakteri adalah manifestasi klinik dari interaksi
antara penderita dan bakteri. Adapun untuk pengobatan infeksi
dibutuhkan antibiotika yang tepat dan daya tahan tubuh penderita
itu sendiri. Memilih antibiotika yang tepat dapat dilakukan
berdasarkan pengetahuan tentang jenis bakteri penyebab penyakit
dan akan lebih baik lagi apabila disertai adanya hasil uji kepekaan
pemeriksaan mikrobiologi. Ketidakpatuhan penderita dalam
perawatan, kuman yang resisten, bentuk anatomi telinga, adanya
komplikasi, menyebabkan kesulitan dalam hal pengobatan dan
(8)
perawatan penderita otitis media.
Antibiotika diberikan apabila penyebab penyakit adalah
kuman, bukan oleh virus atau alergi. Antibiotika yang dianjurkan
ialah dari golongan penisilin atau ampisllin. Terapi awal diberikan
penisilin intramuscular agar didapatkan konsentrasi yang adekuat di
dalam darah sehingga tidak terjadi mastoiditis terselubung,
gangguan pendengaran sebagai gejala sisa, dan kekambuhan.
Pemberian antibiotika dianjurkan minimal selama 7 hari.(1)
Sementara itu sumber lain menyebutkan standar terapi terkini pada
pasien otitis media akut mengharuskan pasien yang didiagnosa
menderita suatu infeksi telinga tengah harus mendapatkan terapi
antimikroba 10-14 hari. Terapi dimulai berdasarkan empiris dengan
tujuan memberantas bakteri yang dijumpai pada otitis media akut. (9)
Antibiotik direkomendasikan untuk semua anak di bawah 6
bulan, 6 bulan–2 tahun jika diagnosis pasti, dan untuk semua anak
besar dari dua tahun dengan infeksi berat (otalgia sedang atau
237
berat atau suhu tubuh lebih dari 39 oC). Jika diputuskan perlunya
pemberian antibiotik, lini pertama adalah amoksisilin dengan dosis
80-90 mg/kg/hari. Pada pasien dengan penyakit berat dan bila
mendapat infeksi β-laktamase positif Haemophilus influenzae dan
Moraxella catarrhalis terapi dimulai dengan amoksisilin-klavulanat
dosis tinggi (90 mg/kg/hari untuk amoksisilin, 6,4 mg/kg/hari
klavulanat dibagi 2 dosis). Jika pasien alergi amoksisilin dan reaksi
alergi bukan reaksi hipersensitifitas (urtikaria atau anafilaksis),
dapat diberi cefdinir (14 mg/kg/hari dalam 1 atau 2 dosis),
cefpodoksim (10 mg/kg/hari 1 kali/hari) atau cefuroksim (20
mg/kg/hari dibagi 2 dosis). Pada kasus reaksi tipe I
(hipersensitifitas), azitromisin (10 mg/kg/hari pada hari 1 diikuti 5
mg/kg/hari untuk 4 hari sebagai dosis tunggal harian) atau
klaritromisin (15 mg/kg/hari dalam 2 dosis terbagi). Obat lain yang
bisa digunakan eritromisin-sulfisoksazol (50 mg/kg/hari eritromisin)
atau sulfametoksazol-trimetoprim (6-10 mg/kg/hari trimethoprim.(2)
Jika pasien tidak menunjukkan respon pada terapi inisial
dalam 48 -72 jam, harus diperiksa ulang untuk mengkonfirmasi
OMA dan menyingkirkan penyebab lain. Jika OMA terkonfirmasi
pada pasien yang pada awalnya diterapi dengan observasi, harus
dimulai pemberian antibiotik. Jika pasien pada awalnya sudah diberi
antibiotik, harus diganti dengan antibiotik lini kedua, seperti
amoksisilin-klavulanat dosis tinggi, sefalosporin, dan makrolid.
Waktu yang optimum dalam terapi OMA masih kontroversi. Terapi
jangka pendek (3 hari azitromisin, 5 hari antibiotik lain) adalah
pilihan untuk anak umur diatas 2 tahun dan terapi paket penuh (5
hari azitromisin, 7-10 hari antibiotik lain) lebih baik untuk anak yang
lebih muda. Terdapat beberapa keuntungan dari terapi jangka
pendek yaitu: kurangnya biaya, efek samping lebih sedikit, komplian
lebih baik dan pengaruh terhadap flora komensal dapat diturunkan.
Terapi antibiotik jangka panjang dapat mencegah rekurensi dari
OMA. Pertanyaan antibiotik apa yang akan digunakan, untuk
berapa lama, dan berapa episode OMA untuk menilai terapi belum
dievaluasi secara adekuat.(2)
Sementara itu, berdasarkan hasil penelitian Rumimpunu dkk
di Poliklinik THT-KL BLU RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado
periode Desember 2012 – Januari 2013 disimpulkan bahwa
sebagian besar memperlihatkan adanya pertumbuhan kuman dan
bakteri yang diidentifikasi ialah Staphylococcus aureus,
Enterobacter Aerogenes, Staphylococcus Epidermitis, Proteus
vulgaris, Cibrobacter divertus, Alcaligenes falcelus, dan
Pseudomonas aeruginosa. Hampir semua jenis bakteri yang diuji
peka terhadap levofloxacin dan ciprofoxacin sedangkan clindamycin
dan eritromycin telah menunjukkan tingkat resistensi yang cukup
tinggi.(8)
238
Dekongestan
Dekongestan oral berguna untuk mengurangi sumbatan hidung.
Tetapi baik antihistamin maupun dekongestan tidak memperbaiki
penyembuhan atau meminimalisir komplikasi dari OMA, sehingga
tidak rutin direkomendasikan.(2)
Antihistamin
Antihistamin dapat membantu mengurangi gejala pada pasien
dengan alergi hidung.(2)
Steroid
Manfaat pemberian kortikosteroid pada OMA juga masih
kontroversi. Dasar pemikiran untuk menggunakan kortikosteroid
dan antihistamin adalah: obat tersebut dapat menghambat sintesis
atau melawan aksi mediator inflamasi, sehingga membantu
meringankan gejala pada OMA. Kortikosteroid dapat menghambat
perekrutan leukosit dan monosit ke daerah yang terkena,
mengurangi permeabilitas pembuluh darah, dan menghambat
sintesis atau pelepasan mediator inflamasi dan sitokin.(2)
Non-Medikamentosa
Walaupun pemberian obat merupakan pendekatan pertama dalam
terapi OMA, terapi pembedahan perlu dipertimbangkan pada anak dengan
OMA rekuren, otitis media efusi (OME), atau komplikasi supuratif seperti
mastoiditis dengan osteitis. Beberapa terapi bedah yang digunakan untuk
penatalaksanaan OMA termasuk timpanosintesis, miringotomi, dan
adenoidektomi.(2)
Timpanosintesis adalah pengambilan cairan dari telinga tengah
dengan menggunakan jarum untuk pemeriksaan mikrobiologi. Risiko dari
prosedur ini adalah perforasi kronik membran timpani, dislokasi tulang-
tulang pendengaran, dan tuli sensorineural traumatik, laserasi nervus
fasialis atau korda timpani. Oleh karena itu, timpanosintesis harus dibatasi
pada: anak yang menderita toksik atau demam tinggi, neonatus risiko tinggi
dengan kemungkinan OMA, anak di unit perawatan intensif, membran
timpani yang menggembung (bulging) dengan antisipasi ruptur spontan
(indikasi relatif), kemungkinan OMA dengan komplikasi supuratif akut, OMA
refrakter yang tidak respon terhadap paket kedua antibiotik.(2)
Timpanosintesis dapat mengidentifikasi patogen pada 70-80%
kasus. Walaupun timpanosintesis dapat memperbaiki kepastian diagnostik
untuk OMA, tapi tidak memberikan keuntungan terapi dibanding antibiotik
sendiri. Timpanosintesis merupakan prosedur yang invasif, dapat
menimbulkan nyeri, dan berpotensi menimbulkan bahaya sebagai
penatalaksanaan rutin.
Miringotomi adalah tindakan insisi pada membran timpani untuk
drainase cairan dari telinga tengah.Pada miringotomi dilakukan
pembedahan kecil di kuadran posterior-inferior membran timpani. Untuk
tindakan ini diperlukan lampu kepala yang terang, corong telinga yang
sesuai, dan pisau khusus (miringotom) dengan ukuran kecil dan steril.
239
Miringotomi hanya dilakukan pada kasus-kasus terpilih dan dilakukan oleh
ahlinya. Disebabkan insisi biasanya sembuh dengan cepat (dalam 24-48
jam), prosedur ini sering diikuti dengan pemasangan tabung timpanostomi
untuk ventilasi ruang telinga tengah. Indikasi untuk miringotomi adalah
terdapatnya komplikasi supuratif, otalgia berat, gagal dengan terapi
antibiotik, pasien imunokompromis, neonatus, dan pasien yang dirawat di
unit perawatan intensif.(2)
Selain dengan pemberian obat-obat dan tindakan bedah, edukasi
kepada pasien agar tetap memelihara telinga tetap kering, tidak mengorek-
ngorek telinga, dan menghindari pajanan asap rokok juga penting
dilakukan.
Komplikasi
Sebelum ada antibiotika, otitis media akut dapat menimbulkan
komplikasi yaitu abses sub-periosteal sampai komplikasi yang berat
(meningitis dan abses otak). Sekarang setelah ada antibiotika, semua jenis
komplikasi itu biasanya didapatkan sebagai komplikasi dari OMSK. (1)
Otitis media akut dengan perforasi membrane timpani menjadi otitis
media supuratif kronis apabila prosesnya sudah lebih dari 2 bulan.
Beberapa faktor yang menyebabkan otitis media akut menjadi otitis media
supuratif kronis ialah terapi yang terlambat diberikan, terapi yang tidak
adekuat, daya tahan tubuh pasien rendah (gizi kurang) atau hygiene
buruk.(1)
Otitis media supuratif, baik yang akut maupun kronis mempunyai
potensi untuk menjadi serius karena komplikasinya yang dapat
mengancam kesehatan dan dapat menyebabkan kematian. Bentuk
komplikasi tergantung pada kelainan patologik yang menyebabkan otore. (1)
Komplikasi otitis media terjadi apabila sawar (barrier) pertahanan
telinga tengah yang normal dilewati sehingga memungkinkan infeksi
menjalar ke struktur sekitarnya. Pertahanan pertama ini ialah mukosa
kavum timpani yang juga seperti mukosa saluran napas, mampu
melokalisasi infeksi. Bila sawar ini runtuh, masih ada sawar kedua, yaitu
dinding tulang cavum timpani dan sel mastoid. Bila sawar ini runtuh, maka
struktur lunak di sekitarnya akan terkena. Runtuhnya periosteum akan
menyebabkan terjadinya abses sub periosteal, suatu komplikasi yang relatif
tidaak berbahaya. Apabila infeksi mengarah ke dalam, ke tulang temporal
maka akan menyebabkan paresis n. fasialis atau labirintis. Bila ke arah
kranial akan menyebabkan abses ekstradural, tromboflebitis sinus lateralis,
meningitis dan abses otak. Bila sawar tulang terlampaui, suatu dinding
pertahanan ketiga yaitu jaringan granulasi akan terbentuk. Pada otitis
media supuratif akut atau suatu eksaserbasi akut penyebaran biasanya
melalui osteotromoflebitis (hematogen).(1)
Prognosis
Pada stadium resolusi, maka membrane timpani berangsur normal
kembali, sekret tidak ada lagi dan perforasi membrane timpani menutup.
240
Bila tidak terjadi resolusi biasanya akan tampak sekret mengalir di liang
telinga luar melalui perforasi di membrane timpani. Keadaan ini dapat
disebabkan karena berlanjutnya edema mukosa telinga tengah. Pada
keadaan demikian antibiotika dapat dilanjutkan sampai 3 minggu. Bila 3
minggu setelah pengobatan sekret masih tetap banyak, kemungkinan yang
terjadi adalah mastoiditis.(1)
Sebelum ada antibiotika, otitis media akut dapat menimbulkan
komplikasi. Sekarang setelah ada antibitoika, semua jenis komplikasi
biasanya didaptkan sebagai komplikasi dari otitis media supuratif kronis. (1)
DAFTAR PUSTAKA
TINITUS
Definisi1-3
Tinitus adalah salah satu bentuk gangguan pendengaran berupa
sensasi suara tanpa adanya rangsangan dari luar, dapat berupa sinyal
mekano akustik maupun listrik. Keluhan suara yang didengar sangat
bervariasi, dapat berupa bunyi mendenging, menderu, mendesis,
mengaum, atau berbagai macam bunyi lainnya. Suara yang didengar dapat
bersifat stabil atau berpulsasi. Keluhan tinitus dapat dirasakan unilateral
dan bilateral. Serangan tinitus dapat bersifat periodik ataupun menetap.
Kita sebut periodik jika serangan yang datang hilang timbul. Episode
periodik lebih berbahaya dan mengganggu dibandingkandengan yang
berifat menetap. Hal ini disebabkan karena otak tidak terbiasa atau tidak
dapat mensupresi bising ini. Tinitus pada beberapa orang dapat sangat
mengganggu kegiatan sehari-harinya. Terkadang dapat menyebabkan
timbulnya keinginan untuk bunuh diri.
Tinitus dapat dibagi atas tinnitus objektif dan tinnitus subjektif.
Dikatakan tinnitus objektif jika suaranya juga dapat di dengar oleh
pemeriksa dan dikatakan tinnitus subjektif jika tinnitus hanya dapat
didengar oleh penderita
Etiologi1, 2, 4
Tinitus paling banyak disebabkan karena adanya kerusakan dari telinga
dalam. Terutama kerusakan dari koklea. Secara garis besar, penyebab
tinitus dapat berupa kelainan yang bersifat somatik, kerusakan N.
Vestibulokoklearis, kelainan vaskular, tinitus karena obat-obatan, dantinitus
yang disebabkan oleh hal lainnya.
1. Tinitus karena kelainan somatik daerah leher dan rahang.
241
a. Trauma kepala dan Leher
Pasien dengan cedera yang keras pada kepala atau leher
mungkin akan mengalami tinitus yang sangat mengganggu. Tinitus
karena cedera leher adalah tinitus somatik yang paling
umumterjadi. Trauma itu dapat berupa Fraktur tengkorak,
Whisplash injury.
b. Artritis pada sendi temporomandibular (TMJ)
Berdasarkan hasil penelitian, 25% dari penderita tinitus di
Amerika berasal dari artritis sendi temporomandibular. Biasanya
orang dengan artritis TMJ akan mengalami tinitus yang berat.
Hampir semua pasien artritis TMJ mengakui bunyi yang di dengar
adalah bunyi menciut. Tidak diketahui secara pasti hubungan
antara artritis TMJ dengan terjadinya tinitus.
242
gangguan pendengaran. Ini merupakangejala yang penting pada
tumor glomus jugulare.
243
9. Tinitus akibat gangguan konduksi
Gangguan konduksi suara seperti infeksi telinga luar (sekret dan
oedem), serumen impaksi, efusi telinga tengah dan otosklerosis juga dapat
menyebabkan tinitus. Biasanya suara tinitusnya bersifat suara dengan
nada rendah.
b. Presbiakusis
Tuli saraf sensorineural tinggi, umumnya terjadi mulai usia 65 tahun,
simetris kanan dan kiri, presbikusis dapat mulai pada frekuensi 1000Hz
atau lebih. Umumnya merupakan akibat dari proses degenerasi. Diduga
berhubungan dengan faktor-faktor herediter, pola makanan,metabolisme,
aterosklerosis, infeksi, bising, gaya hidup atau bersifat multifaktor.
Menurunnya fungsi pendengaran berangsur dan kumulatif. Progresivitas
penurunan pendengaran lebih cepat pada laki-laki disbanding perempuan.
c. Sindrom Meniere
Penyakit ini gejalanya terdiri dari tinitus, vertigo dan tuli sensorineural.
Etiologi dari penyakitini adalah karena adanya hidrops endolimf, yaitu
penambahan volume endolimfa, karenagangguan biokimia cairan
endolimfa dan gangguan klinik pada membrane labirin.
Diagnosis1
Untuk mendiagnosis pasien dengan tinitus, diperlukan anamnesis,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang yang baik.
a. Anamnesis
Anamnesis adalah hal yang sangat membantu dalam penegakan
diagnosis tinitus. Dalamanamnesis banyak sekali hal yang perlu
ditanyakan, diantaranya:
- Kualitas dan kuantitas tinitus
- Lokasi, apakah terjadi di satu telinga ataupun di kedua telinga
- Sifat bunyi yang di dengar, apakah mendenging, mendengung,
menderu, ataupun mendesis danbunyi lainnya
- Apakah bunyi yang di dengar semakin mengganggu di siang atau
malam hari
244
- Gejala-gejala lain yang menyertai seperti vertigo dan gangguan
pendengaran serta gangguanneurologik lainnya.
- Lama serangan tinitus berlangsung, bila berlangsung hanya dalam satu
menit dan setelah ituhilang, maka ini bukan suatu keadaan yang
patologik, tetapi jika tinitus berlangsung selama 5 menit, serangan ini
bias dianggap patologik
- Riwayat medikasi sebelumnya yang berhubungan dengan obat-obatan
dengan sifat ototoksik
- Kebiasaan sehari-hari terutama merokok dan meminum kopi
- Riwayat cedera kepala, pajanan bising, trauma akustik
- Riwayat infeksi telinga dan operasi telinga
Umur dan jenis kelamin juga dapat memberikan kejelasan dalam
mendiagnosis pasien dengan tinitus. Tinitus karena kelainan vaskuler
sering terjadi pada wanita muda, sedangkan pasiendengan myoklonus
palatal sering terjadi pada usia muda yang dihubungkan dengan kelainan
neurologi.
Pada tinitus subjektif unilateral perlu dicurigai adanya kemungkinan
neuroma akustik atautrauma kepala, sedangkan bilateral kemungkinan
intoksikasi obat, presbikusis, trauma bising dan penyakit sistemik. Jika
pasien susah untuk mendeskripsikan apakah tinitus berasal dari
telingakanan atau telinga kiri, hanya mengatakan di tengah kepala,
kemungkinan besar terjadi kelainan patologis di saraf pusat, misalnya
serebrovaskuler, siringomelia dan sklerosis multipel.
Pemeriksaan fisik pada pasien dengan tinitus dimulai dari
pemeriksaan auskultasi dengan menggunakan stetoskop pada kedua
telinga pasien. Hal ini dilakukan dengan tujuan untuk menentukan apakah
tinitus yang didengar pasien bersifat subjektif atau objektif. Jika suara
tinitus juga dapat didengar oleh pemeriksa, artinya bersifat subjektif, maka
harus ditentukan sifat darisuara tersebut. jika suara yang didengar serasi
dengan pernapasan, maka kemungkinan besar tinitus terjadi karena tuba
eustachius yang paten. Jika suara yang di dengar sesuai dengan denyut
nadi dan detak jantung, maka kemungkinan besar tinitus timbul karena
aneurisma, tumor vaskular, vascular malformation, dan venous hum. Jika
suara yang di dengar bersifat kontinua,maka kemungkinan tinitus terjadi
karena venous hum atau emisi akustik yang terganggu.
Pada tinitus subjektif, yang mana suara tinitus tidak dapat didengar
oleh pemeriksa saatauskultasi, maka pemeriksa harus melakukan
pemeriksaan audiometri. Hasilnya dapat beragam,di antaranya:
- Normal, tinitus bersifat idiopatik atau tidak diketahui penyebabnya.
- Tuli konduktif, tinitus disebabkan karena serumen impak, otosklerosis
ataupun otitis kronik.
- Tuli sensorineural, pemeriksaan harus dilanjutkan dengan BERA
(Brainstem Evoked Response Audiometri). Hasil tes BERA, bisa normal
ataupun abnormal. Jika normal, maka tinitus mungkindisebabkan
karena terpajan bising, intoksikasi obat ototoksik, labirinitis, meniere,
fistula perilimfe atau presbikusis. Jika hasil tes BERA abnormal, maka
245
tinitus disebabkan karenaneuroma akustik, tumor atau kompresi
vaskular.
Penatalaksanaan1, 7
Pengobatan tinitus merupakan masalah yang kompleks dan
merupakan fenomena psikoakustik murni, sehingga tidak dapat diukur.
Perlu diketahui penyebab tinitus agar dapat diobati sesuai dengan
penyebabnya. Misalnya serumen impaksi cukup hanya dengan ekstraksi
serumen. Tetapi masalah yang sering di hadapi pemeriksa adalah
penyebab tinitus yang terkadang sukar diketahui.
Ada banyak pengobatan tinitus objektif tetapi tidak ada pengobatan
yang efektif untuk tinitussubjektif. Pada umumnya pengobatan gejala tinitus
dapat dibagi dalam 4 cara yaitu :
1. Elektrofisiologik yaitu dengan membuat stimulus elektro akustik
dengan intensitas suara yang lebih keras dari tinitusnya, dapat
dengan alat bantu dengar atau tinitus masker.
2. Psikologik, dengan memberikan konsultasi psikologik untuk
meyakinkan pasien bahwa penyakitnya tidak membahayakan dan
dengan mengajarkan relaksasi setiap hari.
3. Terapi medikamentosa, sampai saat ini belum ada kesepakatan
yang jelas diantaranya untuk meningkatkan aliran darah koklea,
tranquilizer, antidepresan, sedatif, neurotonik, vitamin, dan
mineral. Sebuah penelitian oleh Gananca dkk (2011) menunjukan
bahwa dosis betahistine 48 mg/hari selama 120 hari dapat
menurunkan atau mengilangkan tinnitus pada pasien dengan
gangguan vestibular. Mekanisme betahistine melaui perbaikan
sirkulasi mikrovaskuler dan kompensasi dari koklea.
4. Tindakan bedah dilakukan pada tinitus yang telah terbukti
disebabkan oleh akustik neuroma.Pada keadaan yang berat,
dimana tinitus sangat keras terdengar dapat dilakukan Cochlear
nerve section. Cochlear nerve section merupakan tindakan yang
paling terakhir yang dapat dilakukan.
Penatalaksanaan terkini yang dikemukakan oleh Jastreboff, berdasar
pada modelneurofisiologinya adalah kombinasi konseling terpimpin, terapi
akustik dan medikamentosa biladiperlukan. Metode ini disebut dengan
Tinnitus Retraining Therapy. Tujuan dari terapi ini adalah memicu dan
menjaga reaksi habituasi dan persepsi tinitus dan atau suara lingkungan
yangmengganggu. Habituasi diperoleh sebagai hasil modifikasi hubungan
system auditorik ke sistem limbik dan system saraf otonom. TRT walau
tidak dapat menghilangkan tinitus dengan sempurna, tetapi dapat
memberikan perbaikan yang bermakna berupa penurunan toleransi
terhadap suara.
TRT biasanya digunakan jika dengan medikasi tinitus tidak dapat
dikurangi atau dihilangkan. TRT adalah suatu cara dimana pasien diberikan
suara lain sehingga keluhan telinga berdengingtidak dirasakan lagi. Hal ini
bisa dilakukan dengan mendengar suara radio FM yang sedang tidak
246
siaran, terutama pada saat tidur. Bila tinitus disertai dengan gangguan
pendengaran dapatdiberikan alat bantu dengar yang disertai dengan
masking. TRT dimulai dengan anamnesis awal untuk mengidentifikasi
masalah dan keluhan pasien. Menentukan pengaruh tinitus dan penurunan
toleransi terhadap suara sekitarnya, mengevakuasikondisi emosional
pasien, mendapatkan informasi untuk memberikan konseling yang tepat
dan membuat data dasar yang akan digunakan untuk evaluasi terapi
Edukasi yang lainnya adalah dengan menghindari bising. Bising
yang merupakan salah satu penyebab tinnitus dimana menyebabkan tuli
konduktif sehingga pengetahuan akan bising merupakan hal yang sangat
penting. Berikut ini adalah batas ambang kebisingan untuk mencegah
kerusakan telinga akibat bising.
247
- Tetap biasakan berolah raga, istarahat yang cukup dan hindari
kelelahan
DAFTAR PUSTAKA
3. Bailey JJ, Thompson JJ. Tinnitus. In: Newlands SD, Ryan MW,
Ferguson BJ, editors. Head and Neck Surgery Otolaryngology. New
York: Lipponolt Williams&Wilkins; 2006.
VERTIGO
Definisi
Klasifikasi
248
fasikulus longitudinalis medialis), serebelum (lobus flokulonodularis atau
traktus vestibulosereberalis) dan korteks lobus temporalis.
Diagnosis Banding
Cause Description
Peripheral causes
Inflammation of the labyrinthine organs caused by
Acute labyrinthitis
viral or bacterial infection
Acute vestibular
Inflammation of the vestibular nerve, usually
neuronitis (vestibular
caused by viral infection
neuritis)*
Benign positional Transient episodes of vertigo caused by
paroxysmal vertigo stimulation of vestibular sense organs by canalith;
(benign positional affects middle-age and older patients; affects
vertigo) twice as many women as men
Cyst-like lesion filled with keratin debris, most
Cholesteatoma
often involving the middle ear and mastoid
Herpes zoster oticus
Vesicular eruption affecting the ear; caused by
(Ramsay Hunt
reactivation of the varicellazoster virus
syndrome)
Ménière‘s disease
Recurrent episodes of vertigo, hearing loss,
(Ménière‘s syndrome,
tinnitus, or aural fullness caused by increased
endolymphatic
volume of endolymph in the semicircular canals
hydrops)
Abnormal growth of bone in the middle ear,
leading to immobilization of the bones of
Otosclerosis conduction and a conductive hearing loss; this
process also may affect the cochlea, leading to
tinnitus, vertigo, and sensorineural hearing loss
Breach between middle and inner ear often
Perilymphatic fistula
caused by trauma or excessive straining
Central causes
Vestibular schwannoma (i.e., acoustic
Cerebellopontine angle neuroma) as well as infratentorial
tumor ependymoma, brainstem glioma,
medulloblastoma, or neurofibromatosis
Cerebrovascular disease Arterial occlusion causing cerebral ischemia or
such as transient ischemic infarction, especially if affecting the
attack or stroke vertebrobasilar system
Episodic headaches, usually unilateral, with
throbbing accompanied by other symptoms
Migraine
such as nausea, vomiting, photophobia, or
phonophobia; may be preceded by aura
249
Demyelinization of white matter in the central
Multiple sclerosis
nervous sistem
Other causes
Vertigo triggered by somatosensory input from
Cervical vertigo
head and neck movements
Drug-induced vertigo Adverse reaction to medications
Mood, anxiety, somatization, personality, or
Psychological
alcohol abuse disorders
Vertigo Perifer
250
2) Penyakit Meniere7,8
3) Neuritis Vestibular
Vertigo Sentral9
251
Diagnosis
1) Anamnesis
Table 2.5. Onset vertigo dan gejala penyerta lain pada beberapa
penyakit1
2) Pemeriksaan Fisik
252
penurunan daya dengar maka dapat dilakukan tes Weber, Rinne dan
Swabach atau dilakukan pemeriksaan dengan menggunakan audiometri.
- Tes kobrak
Pasien tidur terlentang dengan kepala fleksi 30 derajat atau duduk
dengan ekstensi 60 derajat.Digunakan semprit 5 atau 10 ml, ujung
jarum disambung dengan kateter. Perangsangan dilakukan dengan
mengalirkan air es ( 0 derajat celcius) sebanyak 5 ml, selama 20
detik. Nilai dihitung dengan mengukur lama nistagmus, dihitung
sejak mulai air dialirkan sampai nistagmus berhenti. Harga normal
120 – 150 detik.Harga yang kurang dari 120 detik disebut paresis
kanal.
- Tes kalori bitermal
Tes kalori ini dianjurkan oleh Dick and Hallpike. Pada cara ini
dipakai 2 macam air, dingin dan panas. Suhu air dingin adalah 30
derajat Celsius, sedangkan air panas adalah 44 derajat celcius.
Volume air yang dialirkan ke dalam liang telinga masing – masing
250 ml dalam waktu 40 detik. Setelah air dialirkan dicatat lama
nistagmus yang timbul.Setelah telinga kiri diperiksa dengan air
dingin, diperiksa telinga kanan dengan air dingin juga.Kemudian
telinga kiri dialirkan air panas, lalu telinga kanan.Pada tiap – tiap
selesai pemeriksaan pasien diistirahatkan selama 5
253
menit.Kemudian dihitung selisih waktu nistagmus kiri dan kanan.
Bila selisih lebih dari 40 detik maka akan berarti kedua fungsi
vestibuler dalam keadaan seimbang. Tetapi bila selisih ini lebih
besar dari 40 detik, maka berarti yang mempunyai waktu nistagmus
lebih kecil mengalami paresis kanal.
- Elektronistomografi (ENG)
ENG berfungsi untuk memonitor gerakan bola mata.Prinsipnya yaitu
kornea mata selalu bermuatan positif. Muatan positif ini sifatnya
sama dengan muatan positif listrik atau magnet yang selalu
mengimbas ke daerah sekitarnya. Dengan meletakan elektroda
pada kulit kantus lateral mata kanan dan kiri, maka kekuatan
muatan kornea kanan dan kiri bisa direkam. Rekaman muatan ini
disalurkan pada sebuah galvanometer.Hasilnya dihitung dengan
rumus.Bila hasilnya kurang dari 20 % maka kedua fungsi vestibular
dalam keadaan normal.
- Tes nistagmus spontan
Nylen memberikan kriteria dalam menentukan kuatnya nistagmus
ini. Bila nistagmus spontan ini hanya timbul ketika mata melirik
searah dengan nistagmusnya, maka kekuatan nistagmus sama
dengan Nylen – 1. Bila nistagmus timbul sewaktu mata melihat ke
depan, maka disebut Nylen - 2, dan bila nistagmus tetap ada meski
mata melirik kearah berlawanan dengan arah nistagmus maka
kekuatannya Nylen - 3.
- Tes nistagmus posisi
Tes nistagmus posisi (Perasat Hallpike) dilakukan dengan cara
pasien duduk, kemudian pasien tidur terlentang sampai kepala
menggantung di pinggir meja periksa, lalu kepala diputar ke kiri dan
setelah itu kepala diputar ke kanan. Pada setiap posisi nistagmus
diperhatikan, terutama pada posisi akhir. Nistagmus yang terjadi
dicatat masa laten dan intensitasnya. Juga ditanyakan kekuatan
vertigonya secara subjektif.Tes posisi ini dilakukan berkali – kali dan
diperhatikan ada tidaknya kelelahan, dengan tes posisi ini dapat
diketahui kelainan sentral atau perifer. Pada kelainan perifer
ditemukan masa laten dan terdapat kelelahan dan vertigo biasanya
terasa berat. Pada kelainan sentral sebaliknya, tidak ada kelelahan
dan vertigo ringan saja.
Nistagmus posisi yang berasal dari perifer dibedakan dari
nistagmus yang disebabkan oleh debris ( nistagmus paroksismal
tipe jinak ) atau kelainan pada servikal.
254
Gambar 2.4 Perasat Hallpike10
255
Bila ada kecurigaan penyebab pada gangguan sentral pemeriksaan
dapat mencakup foto rontgen kranium, foto rontgen servikal, CT / MRI
scan, angiografi, transcranial Doppler (TCD).
256
Tabel 2.7.Pemeriksaan penunjang untuk beberapa penyakit.9
Penatalaksanaan
1) Neuronitis Vestibular
2) BPPV
257
Gambar 2.5 . Manuver Epley10
3) Penyakit Menierre
258
Medikasi13
a) Antikolinergik
b) Antihistamin
c) Histaminergik
d) Antidopaminergik
259
Beberapa antagonis dopamin digunakan sebagai antiemetik, seperti
domperidon dan metoklopramid. Efek samping dari antagonis dopamin ini
terutama adalah hipotensi ortostatik, somnolen, serta beberapa keluhan
yang berhubungan dengan gejala ekstrapiramidal, seperti diskinesia tardif,
parkinsonisme, distonia akut, dan sebagainya.
e) Benzodiazepin
f) Antagonis kalsium
g) Simpatomimetik
h) Asetileusin
260
neurotransmisi. Beberapa efek samping penggunaan asetilleusin ini di
antaranya adalah gastritis (terutama pada dosis tinggi) dan nyeri di tempat
injeksi.
Prognosis12
DAFTAR PUSTAKA
261
7. Lalwani, Anil K. Current Diagnosis & Treatment in
Otolaryngology—Head & Neck Surgery. 2007. America : Mc. Graw
Hill.
8. Soepardi, Efiati Arsyat, Nurbaiti Iskandar, dkk. Buku Ajar Ilmu
Kesehatan THT. 2007. Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia.
9. Goets, Christopher G. Textbook of Clinical Neurology. 2007.
Philadelphia : Elsevier Inc.
10. Bintoro, Aris Catur. Kecepatan Rerata ADO Sistem Vertebrobasilar
pada Pasien Vertigo Sentral. 2000. Semarang : Universitas
Diponegoro.
11. Samy,Hesham M, Robert A Egan. Dizziness, Vertigo, and
Imbalance Clinical Presentation. Update : 15 Feb 2013. Didapat
dari www.emedicine.com.
12. Wahyudi, Kupiya Timbul. Vertigo dalam Cermin Dunia Kedokteran
Vol. 39 No. 10. 2012. Jakarta : Medical Department.
TRAUMA AURIKULAR
Definisi
Othematom merupakan hematoma daun telnga akibat suatu
rudapaksa yang menyebabkan tertimbunnya darah dalam ruangan antara
perikondriom dan kartilago. Keadaan ini biasanya terdapat pada remaja
atau orang dewasa yang mempunyai kegiatan memerlukan kekerasan
namun bisa saja dijumpai pada usia lanjut dan anak-anak (Boies, 2008).
Insidensi
Penderita othematom di RSU Ulin Banjaramasin berasarkan usia
sekitar 22 laki-laki (100%) diantaranya anak 1 orang (5%) dan dewasa 20
orang (90%) sedang penderita diatas 50 hanya tahun 1 orang (5%)
(Sosialisman, dkk. 2007).
Othematom berdasarkan lokasi anatomis 12 orang (60%) murni
pada daerah konka.Sedang Priyono dkk (1983) mendapatkan 80 % pada
konka.Lima orang (25%) menderita perluasan dan daerah konka kearah
bagian superior aurikula (1983), mendapatkan hanya 16%. Perluasan ke
arah lateral ada 2 orang (10%) (Sosialisman, dkk. 2007).
Patofisiologi
Secara normal cedera jaringan atau adanya bahan asing mnejadi
pemicu kejadian yang mengikut sertakan enzim, mediator, cairan
ekstravasasi, migrasi sel, kerusakan jaringan dan mekanisme
penyembuhan. Hal tersebut menimbulkan tanda inflamasi berupa
kemerahan, pembengkakan, panas, nyeri dan hilangnya fungsi
(Buckingham R.A, 2004).
262
Terjadi 3 proses utama selama reaksi inflamasi ini yaitu, aliran
darah kedaerah itu meningkat, permeabilitas kapiler meningkat, leukosit
mula-mula neutrophil dan makrofag, lalu limfosit keluar dari kapiler menuju
ke jaringan. Selanjutnya bergerak ketempat cedera dibawah pengaruh
stimulus – stimulus kemotaktik. Bila ada antigen tersebut, mulu-mula
respon imun non spesifik bekerja untuk mengeliminasi antigen tersebut.Bila
ini berhasil, inflamasi akut berhenti.Apabila respon imun non spsifik tidak
berhasil, maka respon imun spesifik diaktivasi untuk menangkis antigen
tersebut.Inflamasi berhenti apabila usaha ini berhasil. Bila tidak maka
inflamasi ini menjadi kronik dan sering kali menyebabkan destruksi yang
irreversible pada jaringan (Buckingham R.A, 2004).
Gejala Klinis
Pada othematom aurikula dapat terbentuk penumpukan bekuan
darah diantara prikondrium dan tulang rawan.Bila bekuan darah ini tidak
segera dikeluarkan maka dapat terjadi organisasi dari hematoma, sehingga
tonjolan menjadi padat dan permanen serta dapat berakibat terbentuknya
telinga bunga kol. Penampilan karakteristik telinga kembang kol adalah
konsekuensi dari fibrosis berikutnya, kontraktur dan pembentukan
neokartilage (Buckingham R.A, 2004).
Hematoma daun telinga ditandai dengan daun telinga yang terlihat
membengkak, garis lipatan konka menghilang, terjadi pembengkakan
besar kebiru-biruan yang biasanya dapat mengenai seluruh daun telinga,
meskipun kadangkadang terbatas hanya pada setengah bagian atas saja
(Primrose W.J, 1992).
Tidak dijumpai nyeri pada daun telinga, namun bila ada nyeri tidak
begitu nyata, daun telinga terasa panas dan adanya rasa tidak nyaman
(Primrose W.J, 1992).
Bila tidak segera diobati, darah ini akan terkumpul menjadi jaringan
ikat yang menyebabkan nekrosis tulang rawan, karena adanya gangguan
nutria. Massa jaringan parut yang berlekuk-lekuk ini, terutama dari tyrauma
yang berulang, akan menimbulkan deformitas yang disebut cauliflower ear.
Bila dijumpai oklusi total liang telinga akan menyebabkan kehilangan
pendengaran (Primrose W.J, 1992).
263
Hematoma Auricular
Pemeriksaan Penunjang
A. Pemeriksaan dengan Garpu Tala
Pada tes dengan garpu tala menunjukkan adanya tuli sensorineural.
Tes Batas Atas & Batas Bawah : Hasilnya menunjukan batas atas
menurun. Tes Rinne: Menunjukkan hasil positif. Tes Weber: Lateralisasi ke
arah telinga dengan pendengaran lebib baik. Tes Schwabach : Hasil
menuajukkan schwabach memendek (Sosialisman, dkk. 2007).
B. Pemeriksaan Audiometri
Pada pemeriksaan audiometri nada murni terdapat audiogram
hantaran udara dan hantaran tulang. Kegunaan audiogram hantaran udara
adalah untuk mengukur kepekaan seluruh mekanisme pendengaran,
telinga luar dan tengah serta mekanisme sensorineural koklea dan nervus
auditori. Audiogram hantaran udara diperoleh dengan memperdengarkan
pulsa nada murni melalui earphone ke telinga. Kegunaan audiometri
hantaran tulang adalah untuk mengukur kepekaan mekanisme
sensorineural saja. Audiogram hantaran tulang diperoleh dengan
memberikan bunyi penguji langsung ke tengkorak pasien menggunakan
vibrator hantaran tulang. Dua pemeriksaan ini penting untuk membedakan
antara tuli sensorineural atau tuli konduktif (Sosialisman, dkk. 2007).
Diagnosis
Anamnesa
Dari anamnesa dijumpai adanya riwayat trauma.Misalnya karena
hantaman atau pukulan saat berolahraga seperti gulat dan lainnya.Telinga
dapat terasa nyeri dan bengkak. Jika pembengkakan berlanjut, pasien
sering kali mengeluhkan pendengarannya terganggu (Mansjoer Arif, 2001).
Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik, dari inspeksi dijumpai benjolan kemerahan
pada daun telinga.Pada palpasi terdapat fluktuasi tanpa adanya nyeri tekan
atau nyeri tekan yang ringan.Pada kasus yang telah lama dan berulang
dapat timbul pengerutan pada daun telinga (cauliflower ear). Kemudian
264
dilakukan aspirasi dan dijumpai cairan serohemoragis (Mansjoer Arif,
2001).
Diagnosa Banding
Perikondritis
Radang pada tulang rawan yang menjadi kerangka daun telinga.
Biasnya terjadi karena trauma akibat kecelakaan, operasi daun telinga
yang terinfeksi (Timothy, 2002).
Pseudokista
Terdapat benjolan didaun telinga yang disebabkan oleh adanya
kumpulan cairan kekuningan diantara lapisan perikondrium dan tulang
rawan telinga (Timothy, 2002).
Penatalaksanaan
Tujuan pengobatan adalah sepenuhnya untuk mengevakuasi darah
subperikondrial dan untuk mencegah reakumulasi.Dahulu dilakukan
aspirasi sederhana pada hematoma, namu kini kebanyakan dokter
menganjurkan terapi yang lebih ekstensif dengan insisi dan drainase
kumpulan darah dalam kondisi steril, diikuti dengan pemasangan balutan
tekan khusunya pada konka. Tekanan setempat akan lebih baik bila
membuat jahitan menembus diatas dental roll atau materi serupa. Terapi
paling baik dilakukan setelah cedera, sebelum terjadi organisasi
hematoma. Para pegulat perlu diingatkan untuk memakai pelindung kepala,
juga pada saat berlatih (Mansjoer Arif, 2001).
Indikasi :
Anterior aurikularis bengkak setelah trauma, yang mrusak bentuk
anatomi normal dari pinna.
Presentasi dalam waktu 7 hari setelah trauma (setelah 7 hari ,
pembentukan jaringan granulasi dapat menyulitkan prosedur. Pada
saat itu pasien harus dirujuk kespesialis) (Mansjoer Arif, 2001).
Kontra indikasi
Hematoma yang lebih dari 7 hari
Hematoma berulang atau hematoma kronis (dalam kasus ini, buja
debridement bedah oleh dokter spesialis diindikasikan karena
hematom, granulasi jaringan atau keduanya dapat ditemukan didalam
tulang rawan dan bukan di subperichondrial) (Mansjoer Arif, 2001).
Hal yang perlu diperhatikan pada penanganan hematoma daun telinga
antara lain (Timothy, 2002):
Aspirasi dilakukan dalam kondisi yang steril dan setelah aspirasi
penting diberikan antibiotic yang adekuat.
Pemantauan yang ketat diperlukan untuk memastikan hematom tidak
berulang kembali dan dapat berkembang terbentuknya deposit fibrous
ataupun infeksi.
Untuk mencegah reakumulasi maka setelah aspirasi atau insisi perlu
dilakukan penekanan.
265
Instrumren dan bahan yang disediakan :
Spuilt 5 ml dengan jarum ukuran 20 G
Scalpel No. 11 dan No. 15 dengan pemegangnya
Curved hemostat (mosquito)
Penrose drain
Salep betadine
Betadin scrub
Kain kassa steril
2-0 nylon atau prolene
Lidokain 1 % (dengan atau tanpa epinefrin)
Peralatan irigasi (spuilt, normal salin)
Bahan untuk penekanan
Balut tekan sederhana : kapas kering, kass dengan vasselin, kassa
dengan elastic bandage
Balut tekan khusus : dental rolls (cotton bolsters, slicon slint, plaster
mold), balut tekan dengan kancing banjo yang difiksasi dengan nilon
atau benang prolen dan penekanan dengan gips.
Anestesi
Dilakukan anestesi local dengan lidokain 1% dengan 1:100.000
epinefrin atau tanpa epinefrin, dan diinfiltrasi secara langsung pada
daerah yang akan diinsisi dan drainase.
Banyak penulis mendukung penggunaan lidokain tanpa disertai
pemberian agen vasokontriktif seperti epinefrin. Namun demikian,
beberapa literature menyetujui keamanan penggunaan agen
vasokonstriktor pada lokasi seperti hidung dan daun telinga.
Dengan persiapan : bersihkan kulit dengan betadine dan alcohol,
dapat juga digunakan betadine scrub, dengan anestesi local lidokain
1%.
Teknik yang digunakan
Aspirasi Jarum
Walaupun secara luas masih sering digunakan, metode ini tidak lagi
direkomendasikan karena dapt menyebabkan reakumulasi hematoma.
Aspirasi sering kali tidak ade kuat dan hematoma memerlukan
penanganan yang lebih lanjut. Beberapa sumber merekomendasikan
aspirasi terlebih dahulu yang diikuti dengan metode insisi jika terjadi
reakumulasi.
Gunakan jarum ukuran 18 atau 20 G untuk aspirasi darah dari daerah
yang paling berfluktiasi atau daerah yang paling bengkak.
266
Aspirasi Othematoma
267
Insisi dan drainase hematoma auricular
268
o Letakkan kapas kering pada kanal eksternal
Isi celah aurikuler eksternal dengan kassa yang lembab (yang telah
direndam dengan salin atau vasselin)
269
Kompresi dengan meletakkan kasa pada belakang telinga
Tutup telinga dengan kassa berlapis
270
Kompresi kasa dengan perban elastic.
Pemasangan balut tekan khusus pada konka, seperti silicon splint atau
dental rolls, ke bagian anterior dan posterior telinga (Timothy, 2002).
Komplikasi
Bila tindakan tidak steril, bisa timbul komplikasi yaitu perikondritis.
Perikondritis adalah radang pada tulang rawan daun telinga, yang terjadi
akibat trauma, pasca operasi telinga, serta sebagai komplikasi hematoma
daun telinga, otitis eksterna kronik, otitis media kronik,
pseudokista.Pengobatan dengan antibiotika sering gagal.Dapat terjadi
komplikasi, yaitu tulang rawan hancur dan menciut serta keriput, sehingga
terjadi telinga lingsut.Selain itu bisa juga terjadi reakumulasi dari hematom,
luka parut dan site infeksi (Timothy, 2002).
271
DAFTAR PUSTAKA
272
B. HIDUNG
RHINITIS ALERGI
Definisi
Etiologi
1. Alergen inhalan
Alergen ini memicu rinitis tipe perennial (bulu binatang) dan tipe
seasonal (serbuk sari). Pengembangan hipersensitivitas diasosiasikan
dengan keberadaan sekresi dari tungau debu rumah. Bulu, kulit, liur, dan
urin binatang peliharaan (khususnya kucing dan anjing) juga menjadi
sumber alergen yang penting. Bulu binatang ternak seperti kuda dan sapi
dapat menjadi alergen yang berperan dalam alergi yang terkait dengan
perkerjaan. Eksaserbasi gejala alergi selama musim tertentu berhubungan
dengan serbuk sari dari tanaman tertentu yang berbunga pada musim
tersebut. Penyerbukan tanaman yang dibantu oleh serangga memproduksi
serbuk sari dengan jumlah relatif sedikit dan hanya dapat memicu gejala
dengan kontak dekat (Jenerowicz et al., 2012).
2. Alergen Ingestan
273
IDAI (2010) menyebutkan bahwa alergen ingestan lebih berperan pada
masa bayi dan anak.
3. Alergen Kontaktan
4. Alergen Injektan
Gejala Klinis
1. Bersin
2. Watery Rhinorrhea
274
Klasifikasi
Berdasarkan Waktu
Berdasarkan Gejala
Rinitis alergi dapat dibagi berdasarkan gejala dominan yang timbul yaitu
bersin dan rhinorrhea, hidung tersumbat, dan kombinasi keduanya.
Klasifikasi ini ditentukan oleh tingkat keparahan gejala, hasil tes, dan
inspeksi pada mukosa hidung. Secara umum, tingkat keparahan gejala
ditentukan berdasarkan gejala yang dominan (Okubo et al., 2011). Greiner,
Hellings, Ratiroti, et al. (2011) menyebutkan bahwa klasifikasi rinitis alergi
berdasarkan ARIA (2001) ditentukan berdasarkan frekuensi terjadinya
gejala dan HRQL pasien (Gambar 2.2)
275
Diagnosis
Riwayat lengkap dan hasil pemeriksaan fisik pasien sangat berguna dalam
memberi petunjuk pada kemungkinan alergen yang menyebabkan rinitis
alergi (Dhingra dan Dhingra, 2010). Riwayat atopi dalam keluarga
merupakan faktor predisposisi rinitis alergi yang terpenting. Pada anak,
terdapat tanda karakteristik pada muka seperti allergic salute, allergic
crease, Dennie’s line, dan allergic face.
Pemeriksaan Penunjang
c. Uji alergi pada kulit membantu identifikasi alergen spesifik (Okubo et al.,
2011).
Penatalaksanaan
Terapi Nonfarmakologi
a. Edukasi
276
mengurangi gejala atau mengganggu kerja sistem imun untuk mengurangi
hipersensitivitas, atau keduanya. Selain itu, pasien juga harus diberikan
informasi mengenai keuntungan dan efek samping yang mungkin terjadi
untuk mencegah ekspektasi yang salah dan meningkatkan kepatuhan
pasien terhadap obat yag diresepkan (Greiner, Hellings, Ratiroti, et al.,
2011).
Terapi Farmakologi
a. Topikal
i. Kortikosteroid
ii. Antihistamin
Azelastine, Olopatadine
Keuntungan: efektif dan aman untuk mengatasi gatal pada hidung, bersin,
dan rhinorrhea, onset cepat (15 menit)
iii. Chromone
lemah
iv. Antikolonergik
Ipratropium bromide
277
Keuntungan: efek baik hanya pada gejala rhinorrhea
v. Dekongestan
b. Sistemik
i. Antihistamin
ii. Kortikosteroid
Hydrocortisone, prednisolone
iii. Antileukotrien
278
Efek samping: sakit kepala, gejala pada sistem pencernaan, ruam, dan
sindrom Churg-Strauss
iv. Dekongestan
Pseudoephedrine
Komplikasi
Sinusitis berulang
Polip hidung
Iritasi yang terjadi pada mukosa hidung secara berulang pada rinitis alergi
dapat memicu pertumbuhan polip pada hidung.
Kondisi ini dapat terjadi karena adanya penyumbatan berulang pada tuba
Eustachius.
Masalah orthodontic
Asma bronkial
DAFTAR PUSTAKA
279
3. Sheikh J, Kaliner M. Allergic Rhinitis. USA: Medscape. 2013.
Available from: http://emedicine.medscape.com/article.134852.html.
tanggal akses : 3 Oktober 2013
RHINITIS VASOMOTOR
Definisi
Etiologi
Gejala Klinis
Rinitis vasomotor memiliki gejala yang mirip dengan rinitis alergi
namun gejala yang dominan adalah hidung tersumbat bergantian kiri dan
kanan, selain itu terdapat rinore yang mukoid atau serosa dan jarang
disertai dengan gejala pada mata. Dengan adanya perubahan suhu yang
ekstrim maka gejala yang dialami dapat memburuk misalnya pada waktu
bangun tidur di pagi hari. Selain perubahan suhu, dapat juga diperberat
dengan udara lembab, asap rokok, dan sebagainya.Berdasarkan survei
yang dilakukan pada 678 pasien rinitis, hidung tersumbat merupakan gejala
tersering yang dikeluhkan oleh pasien rinitis vasomotor.
280
Berdasarkan gejala yang menonjol, kelainan ini dibedakan dalam tiga
golongan yaitu:
1. Golongan bersin (sneezers)
2. Golongan rinore (runners)
3. Golongan tersumbat (blockers)
Diagnosis
Diagnosis umumnya ditegakan dengan cara eksklusi yaitu
menyingkirkan adanya rinitis infeksi, alergi, okupasi, hormonal dan akibat
obat.
Pemeriksaan fisis dengan rinoskopi anterior tampak gambaran yang
khas yaitu edema mukosa hidung, konka berwarna merah gelap atau
merah tua. Permukaan konka dapat licin atau berbenjol-benjol (hipertrofi)
dan rongga hidung terdapat sekret yang mukoid atau serosa.Pemeriksaan
laboratorium dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan rinitis alergi.
Test kulit (skin test) biasanya negatif, demikian pula test RAST, serta kadar
Ig E total dalam batas normal. Kadang- kadang ditemukan juga eosinofil
pada sekret hidung, akan tetapi dalam jumlah yang sedikit. Gambaran
laboratories pada usap hidung (nasal swab) menunjukan bahwa eosinofil
menjadi sel dominant pada rinitis alergi. Namun Infeksi sering menyertai
yang ditandai dengan adanya sel neutrofil dalam sekret.
Diferensial Diagnosis
Rinitis vasomotor sangat mirip gejalanya dengan rinitis alergi,
namun ada ada beberapa hal yang dapat digunakan untuk membedakan
antara keduanya.
281
Penatalaksanaan
Pengobatan rinitis vasomotor bervariasi, tergantung kepada faktor
penyebab dan gejala yang menonjol. Secara garis besar, pengobatan
dibagi dalam :
1.
Menghindari penyebab/pencetus (Avoidance therapy)
Ketika pasien telah didiagnosis dengan rinitis vasomotor, pasien
harus segera menghindari faktor-faktor yang memicu terjadinya
rinitis vasomotor. Misalnya bau-bauan seperti parfum, asap rokok,
formalin, koran, tinta, makanan pedas dan lain sebagainya.
2. Irigasi dengan saline
Irigasi dengan saline (NaCl) sangat penting karena dengan hal ini
akan meningkatkan efisiensi dari penggunaan obat topikal
intranasal dan memperbaiki fungsi siliar.
3. Pengobatan simptomatis
a. Dekongestan
Dekongestan oral maupun topikal efektif mengatasi
kongesti. Pseudoefedrin oral merupakan dekongestan yang
dapat dberikan pada pasien kronik. Namun efek samping
dapat timbul seperti stimulasi neurogenik dan cardiogenik,
palpitasi, insomnia. Obat ini dikontraindikasikan pada pasien
hipertensi. Selain itu dapat digunakan phenylephrine.
Topikal dekongestan seperti oxymetazoline dan
phenylephrine memiliki kerja yang cepat sebagai
dekongestan lokal. Obat-obatan ini tidak boleh diberikan
dalam jangka waktu lama melebihi 3-10 hari karena dapat
menyebabkan rinitis medikamentosa.
b. Kortikosteroid
Kortikosteroid dapat digunakan untuk mengatasai inflamasi
yang terjadi. Kortikosteroid sangat berguna pada pasien
rinitis. Kortikosteroid topikal mengurangi keluhan hidung
tersumbat, rinore dan bersin-bersin dengan menekan respon
inflamasi lokal yang disebabkan oleh mediator vasoaktif.
Obat seperti budesonide, fluticason, flunisolide, mometason
dan beclomethason dapat memperbaiki keluhan pada
hidung akibat rinitis vasomotor. Biasanya setelah pemakaian
paling sedikit dua minggu barulah hasilnya akan terlihat.
Berdasarkan pemakaiannya, kortikosteroid dibagi menjadi 2
yaitu topikal dan sistemik. Studi meta-analisis oleh Weiner
JM dkk, seperti dilansir dari British Medical Journal,
menyimpulkan bahwa kortikosteroid intranasal lebih
baikdigunakan sebagai terapi lini pertama rinitis daripada
antihistamin, ditilik dari segikeamanan dan cost-effective-
nya.Kortikosteroid sistemik hanya digunakan untuk terapi
jangka pendek padapenderita rinitis berat yang refrakter
terhadap terapi pilihan pertama.
282
c. Anti histamin
Pengobatan dengan antihistamin pada pasien rinitis
vasomotor jarang diteliti penggunaannya. Beberapa studi
yang dilakukan menunjukkan antihistamin generasi pertama
memperbaiki gejala dengan mengurangi rinore, sedangakan
antihistamin generasi kedua mempunyai efek antikolinergik
yang kecil. Obat seperti azelastine selain sebagai
antihistamin juga memiliki efek antiinflamasi dan
neuroinflamatori bloker yang membuat obat ini sangat
berguna pada pasien rinitis vasomotor.
d. Antikolinergik
Ipratropium bormide merupakan intranasal antikolinergik
yang dapat mengatasi rinore pada rinitis vasomotor. Obat ini
bekerja baik terutama pada rinore yang berat
2. Terapi operatif (dilakukan bila pengobatan konservatif gagal)
Kauterisasi konka yang hipertrofi dengan larutan AgNO3 25% atau
triklorasetat pekat (chemical cautery) maupun secara elektrik
(electrical cautery). Selain itu dapat juga dilakukan neurektomi
n.Vidianus yaitu dengan melakukan pemotongan pada n.vidianus.
Prognosis
DAFTAR PUSTAKA
283
SINUSITIS
Definisi
Sinusitis didefinisikan sebagai inflamasi mukosa sinus paranasal.
Umumnya disertai atau dipicu oleh rhinitis sehingga sering disebut
rinosinusitis. Penyebab utamanya ialah selesma (common cold) yang
merupakan infeksi virus, yang selanjutnya dapat diikuti oleh infeksi bakteri
(FK UI, 2007).
Bila mengenai beberapa sinus disebut multisinusitis, sedangkan bila
mengenai semua sinus paranasal disebut pansinusitis. Yang paling sering
terkena dalah sinus etmoidalis dan maksila, sedangkan sinus frontal lebih
jarang dan sinus sphenoid lebih jarang lagi (FK UI, 2007).
Sinus maksila disebut juga antrum highmore, letaknya dekat akar
gigi rahang atas, maka infeksi gigi mudah menyebar ke sinus, disebut sinus
dentogen. Sinusitis dentogen merupakan salah satu penyebab penting
sinusitis kronik. Sinusitis dapat menjadi berbahaya karena menyebabkan
komplikasi ke orbita dan intracranial, serta menyebabkan peningkatan
serangan asma yang sulit diobati (Hilger, dkk,1997).
Etiologi
Beberapa faktor etiologi dan faktor predisposisi antara lain ISPA
akibat virus, bermacam rhinitis terutama rhinitis alergi, rhinitis hormonal
pada wanita hamil, polip hidung, kelainan anatomi seperti deviasi septum
atau hipertrofi konka, sumbatan kompleks osteomeatal (KOM), infeksi
tonsil, infeksi gigi yaitu dikarenakan bakteri anaerob yang ditemukan
sebagai penyebab sinusitis maksilaris, terkait dengan infeksi pada gigi
premolar, kelainan imunologi, diskinesia silia seperti pada sindrom
kartagener dan diluar negri adalah penyakit fibrosis kistik.
Patofisiologi
Kesehatan sinus dipengaruhi oleh potensi ostium-ostium sinus dan
lancarnya klirens mukosiliar didalam KOM. Mucus juga mengandung
substansi antimicrobial dan zat-zat yang berfungsi sebagai mekanisme
pertahanan tubuh terhadap kuman yang masuk bersama udara
pernapasan. Organ-organ yang membentuk KOM letaknya berdekatan dan
bila terjadi edema, mukosa yang berhadapan akan saling bertemu
sehingga silia tidak dapat bergerak dan ostium tersumbat. Akibatnya terjadi
tekanan negatif didalam rongga sinus yang menyebabkan terjadinya
transudasi, mula-mula serous.
Kondisi ini bisa dianggap sebagai rinosinusitis non bacterial dan
biasanya sembuh dalam beberapa hari tanpa pengobatan. Sampai Bila
kondisi ini menetap, secret yang terkumpul dalam sinus merupakan media
yang baik untuk pertumbuhan bakteri. Secret menjadi purulen. Keadaan ini
disebut sebagi rinosinusitis akut bacterial dan memerlukan terapi antibiotic.
Jika terapi tidak berhasil, inflamasi berlanjut, terjadi hipoksia dan bakteri
anaerob berkembang. Mukosa makin membengkak dan ini merupakan
284
rantai siklus yang terus berputar. Sampai akhirnya perubahan mukosa
menjadi kronik yaitu hipertrofi, polipoid atau pembentukan polip dan kista.
Etiologi sinusitis adalah sangat kompleks. Hanya 25% disebabkan
oleh infeksi, selebihnya 75% disebabkan oleh alergi dan
ketidakseimbangan pada sistim saraf otonom yang menimbulkan
perubahan-perubahan pada mukosa sinus.
Sinusitis bisa disebabkan oleh:
1. Alergi misalnya rinitis alergi.
2. Non alergi: trauma, paparan zat kimia, imunodefisiensi,
fibrosis kistik, sindrom kartagener, granulomatosa, infeksi
virus maupun bakteri (Dharmabakti, 2003).
Alergen
Odem
Vasodilatasi Pe permeabilitas kapiler
Rinore
Odem
Gangguan ventilasi
pH sinus
Nyeri
285
Klasifikasi
Berdasarkan konsensus tahun 2004, sinusitis dibagi menjadi tiga
berdasarkan waktunya, yaitu:
1. Rinosinusitis akut: gejala terjadi selama 4 minggu atau kurang
dari 4 minggu
2. Rinosinusitis subakut: gejala terjadi lebih dari 4 minggu dan
kurang dari 12minggu
3. Rinosinusitis kronik: gejala lebih dari 12 minggu
Manifestasi Klinis
Keluhan utama sinusitis akut ialah hidung tersumbat disertai nyeri/
rasa tekanan pada muka dan ingus purulen yang seringkali turun ke
tenggorok (post nasal drip). Dapat disertai gejala sistemik seperti demam
dan lesu.
Keluhan nyeri atau rasa tekanan didaerah sinus yang terkena merupakan
ciri khas sinusitis akut, serta nyeri juga terasa ditempat lain.
• Sinusitis maksila : nyeri pada pipi
• Sinusitis etmoid : nyeri diantara atau dibelakang kedua bola
mata
• Sinusitis frontal : nyeri didahi atau seluruh kepala
• Sinusitis sfenoid : nyeri di verteks, oksipital, belakang bola
mata, daerah mastoid
Gejala lain adalah sakit kepala, hipoosmia/anosmia, halitosis, post
nasal drip yang menyebabkan batuk dan sesak pada anak. Keluhan
sinusitis kronik tidak khas, kadang-kadang hanya satu atau 2 dari gejala
berikut seperti sakit kepala kronik, post nasal drip, batuk kronik, gangguan
tenggorok, gangguan telinga akibat sumbatan kronik muara tuba
eustacheus, gangguan ke paru seperti bronkhitisdan serangan asma yang
meningkat dan sulit diobati. Pada anak, mukopus yang tertelan dapat
menyebabkan gastroenteritis
Gejala subjektif
• Gejala hidung dan nasofaring, berupa sekret di hidung dan sekret
pasca nasal.
286
• Gejala faring, yaitu rasa tidak nyaman dan gatal di tenggorok
• Gejala telinga, berupa pendengaran terganggu
• Nyeri / sakit kepala
• Gejala mata karena penjalaran infeksi melalui duktus naso-
lakrimalis
• Gejala saluran napas, berupa batuk dan kadang terdapat
komplikasi di paru
• Gejala saluran cerna,karena mukopus yang tertelan.
Gejala objektif
• Gejala objektif→berupa pembengkakan di daerah muka.
o Sinusitis maksilaris→di pipi dan kelopak mata bawah
o Sinusitis frontal→di dahi dan kelopak mata atas
o Sinusitis etmoid→jarang bengkak,kecuali bila ada
komplikasi
• Pada rinoskopi anterior tampak konka hiperemis dan edema
o Sinusitis maksila,frontal dan etmoid anterior tampak
mukopus di meatus medius
o Sinusitis etmoid poterior dan sfenoid tampak nanah keluar
dari meatus superior
• Pada rinoskopi posterior tampak mukopus di nasofaring (post
nasal drip)
Diagnosa
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis,pemeriksaan fisik,
dan pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan fisik dengan rinoskopi anterior
dan posterior, pemeriksaan nasoendoskopi sangat dianjurkan untuk
diagnosis yang lebih tepat dan dini. Tanda khas adalah adanya pus
dimeatus medius atau didaerah meatus superior.
Kriteria Rinosinusitis akut menurut American Academy of Otolaringology &
American Rhinologic Society
287
Pemeriksaan pembantu yang penting adalah foto polos atau CT
scan. Foto polos posisi waters, PA atau lateral , umumnya hanya mampu
menilai kondisi-kondisi sinus-sinus besar. Kelainan akan terlihat berupa
perselubungan, batas udara cairan atau penebalan mukosa. CT scan sinus
merupakan gold standar diagnosis sinusitis karena mampu menilai anatomi
hidung dan sinus, adanya penyakit dalam hidung dan sinus secara
keseluruhan dan perluasannya. Namun, karena mahal hanya dikerjakan
sbagai penunjang diagnosis sinusitis kronik yang tidak membaik dengan
pengobatan atau praoperasi sebagai panduan operator saat melakukan
operasi sinus.
Pada pemeriksaan transiluminasi sinus yang sakit akan menjadi
suram atau gelap. Pemeriksaan mikrobiologi dan tes resistensi dilakukan
dengan mengambil secret dari meatus medius/superior, untuk mendapat
antibiotic yang tepat guna. Lebih baik lagi bila diambil dari pungsi sinus
maksila
Diagnosis Banding
Diagnosis banding sinusitis adalah luas, karena tanda dan gejala
sinusitis tidak sensitif dan spesifik. Infeksi saluran nafas atas, polip nasal,
penyalahgunaan kokain, rinitis alergika, rinitis vasomotor, dan rinitis
medikamentosa dapat datang dengan gejala pilek dan kongesti nasal.
Rhinorrhea cairan serebrospinal harus dipertimbangkan pada
pasien dengan riwayat cedera kepala. Pilek persisten unilateral dengan
epistaksis dapat mengarah kepada neoplasma atau benda asing nasal.
Tension headache, cluster headache, migren, dan sakit gigi adalah
diagnosis alternatif pada pasien dengan sefalgia atau nyeri wajah. Pasien
dengan demam memerlukan perhatian khusus, karena demam dapat
merupakan manifestasi sinusitis saja atau infeksi sistem saraf pusat yang
berat, seperti meningitis atau abses intrakranial.
Pengobatan
Sinusitis maxillaris akut umumnya di terapi dengan:
1. Antibiotik spektrum luas, seperti: amoxicillin, ampicillin, atau
eritromisin. Alternatif lain berupa amoxicillin/klavulanat,
sefaklor, sefuroksim, dan trimetoprim plus sulfonamid.
2. Dekongestan, seperti: pseudoefedrin, tetes hidung fenilefrin
(neosynephrine) atau oksimetazolin dapat diberikan selama
beberapahari pertama infeksi namun kemudian harus
dihentikan.
3. Analgetik untuk meringankan gejala, seperti aspirin dan
asetaminofen.
4. Kompres air hangat pada wajah untuk meringankan gejala.
Dengan terapi tersebut, pasien biasanya memperlihatkan tanda-
tanda perbaikan dalam dua hari dan proses penyakit biasanya menyembuh
dalam 10 hari meskipun konfirmasi radiologis dalam hal kesembuhan total
memerlukan waktu 2 minggu atau lebih. Kegagalan penyembuhan dengan
288
suatu terapi aktif menunjukan organisme tidak lagi peka terhadap antibiotik
atau antibiotik tersebut gagal mencapai lokulasi infeksi. Pada kasus
demikian, ostium sinus dapat odem sehingga drainase sinus terhambat dan
terbentuk abses sejati. Bila demikian, terdapat indikasi irigasi antrum
segera
Pengobatan yang diberikan ditujukan untuk infeksi dan faktor-faktor
penyebab Infeksi secara bersama-sama. Di samping pemberian antibiotik
dan dekongestan, juga perlu diperhatikan predisposisi kelainan obstruksi
yang disebabkan karena rinitis alergi. Pengobatan untuk rinitis alergi terdiri
atas 5 bagian utama , yaitu :
1. Menghindari alergen penyebab.
Dapat dilakukan dengan mengisolasi penderita dari alergen,
menempati suatu sawar antara penderita dan alergen atau menjauhkan
dari penderita alergen. Untuk pencegahan ini, diperlukan identifikasi
alergen dan menghindari aleregn penyebab (avoidance). Dalam
pengelolaan penderita alergi inhalan, menganjurkan penderita untuk
menghindari alergen penyebab tidaklah mudah, sehingga poliklinik THT
RSUD Dr. Soetomo telah mengadakan kegiatan penyuluhan kesehatan
masyarakat rumah sakit (PKMRS) mengenai debu rumah kepada penderita
dan keluarganya.
2. Pengobatan simptomatis.
Diberikan bila pencegahan terhadap alergen penyebab tidak
memberikan hasil yang memuaskan. Ada 4 golongan obat yang dapat di
berikan, yaitu golongan antihistamin, simpatomimetik, kortikosteroid dan
stabilisator mastosit.
Antihistamin
Antihistamin merupakan senyawa kimia yang dapat melawan kerja
histamin dengan mekanisme inhibisi kompetitif pada lokasi reseptor
histamin. Ada dua macam antihistamin, yaitu antihistamin
penghambat reseptor H1 (AH1) dan antihistamin penghamb at
reseptor H2 (AH2).48 Antihistamin H1 sampai saat ini dikenal 2
macam, yaitu antihistamin klasik dan antihistamin generasi kedua
atau baru. Golongan antihistamin H1 klasik yang sering digunakan
adalah etanolamin, etilendiamin, alkelamin, fenotiazin,
siproheptadin, hidroksizin, pirezin. Efek antihistamin klasik, yaitu
antihistaminik, yaitu menghilangkan gejala-gejala alergi dan
antikolinergik, yaitu mengurangi sekresi kelenjar eksorin, sekresi
saliva sehingga dapat mengurangi gejala rinore, tetapi dapat juga
menyebabkan keringnya mukosa mulut dan tenggorok serta sedatif,
yaitu merupakan efek samping yang paling sering terjadi.
Golongan antihistamin generasi baru yang beredar di pasaran ,
yaitu terfenadin, loratidin, astemizol, oxatomide, mequitazine dan
cetirizine. Golongan ini tidak mempunyai hubungan kimia yang
langsung dengan histamin, hanya mempunyai suatu struktur
nitrogen aromatik yang sama dalam bentuk piperidin, piperazin atau
piridin. Efek antihistamin baru, yaitu sebagai antihistaminic long
289
action, dimana waktu paruhnya lama, sehingga cukup diberika 1 x
sehari. Hal ini karena ikatannya dengan reseptor H1 lebih sukar
lepas, sehingga efek terapinya lebih lama, selain dari itu efek
antikolinergiknya lebih ringan dari non sedatif karena tidak
menembus sawar otak serta stabiliator sel mastosit, sehingga dapat
mencegah terjadinya degranulasi atau penglepasan mediator
amine-vasoaktif dengan mencegah influk ion Ca kedalam sel
mastosit. Dengan demikian antihistamin generasi kedua ini dapat
mencegah gejala-gejala yang ditimbulkan, baik oleh mediator yang
sudah terbentuk (preformed) maupun yang belum terbentuk (newly
generated)
Antihistamin H2 seperti simetidin dan ranitidin dapat berguna bila
diberikan bersama antihistamin H1 sumbatan hidung, tetapi untuk
pengobatan polip hidung tidak memberikan hasil Golongan
simpatomimetik (dekongestan). Penggunaan obat ini mengurangi
edema mukosa hidung melalui rangsangan reseptor alfa dan
menghambat penglepasan histamin dari mastosit melalui
rangsangan reseptor beta.
Dekongestan
Obat –obat dekongestan dapat dibedakan menjadi dekongestan
sistemik, biasanya peroral, misalnya fenil propanolamin, efedrin HCI
dan pseudeoefedrin HCI, dan dekongestan lokal yang terdiri dari
derivat imidazolin (oxymetazoline, xylometazoline), derivat
simpatomimetik (fenilefrin, fenil propanolamine, efedrin HCI). Suatu
dekongestan dapat diberikan secara tunggal atau kombinasi
dengan antihistamin H1 lokalisata peroral pada pengobatan rinitis
alergi.
Pemakain lama antihistamin lokal dan dekongestan tidak
dianjurkan, karena antihistamin lokal dapat menimbulkan sensitisasi
dan dekongestan lokal dapat menimbulkan iritasi dan ―rebound
phenomenon‖ seperti pada rinitis medikamentosa, sehingga
pemakaian obat ini dibatasi 3 – 4 hari.
Kortikosteroid.
Bila hasil pengobatan antihistamin dan dekongestan belum berhasil
maka dapat diberikan kortikosteroid secara sistemik maupun
intranasal. Pengobatan lokal dengan beklometason atau flunisolid
lebih disukai, karena kerjanya langsung dan efek sampingnya yang
rendah. Untuk pemberian yang efektif biasanya memerlukan
beberapa hari sampai beberapa minggu. Efek kortikosteroid ialah
menghambat aktifitas histamin dan zat kinin vasoaktif, menstabilkan
membran sehingga penglepasan zat mediator dihambat, tetapi tidak
menghambat interaksi antar antigen dan antibodi. Di laporkan
pemberian kortikosteroid dapat mengurangi besarnya polip
hidung.48 Stabilisator mastosit, yang termasuk dalam golongan ini
adalah natrium kromolin dan ketotifen. Efek natrium kromolin
(sodium kromoglikat) ialah menurunkan pengelepasan zat mediator,
290
sehingga dianggap sebagai pengobtan pencegahan dan diberikan
sebelum terjadi kontak dengan alergen. Efek sampingnya minimal,
terutama berupa iritasi lokal. Pemakaian pada polip hidung belum
dapat dibuktikan keberhasilannya. Ketotifen, sebagai stabilisator sel
mastosit, diserap dalam saluran cerna dan dalam bentuk utuh
keluar lewat urine dan tinja. Efek sampingnya sama seperti
antihistamin H1. Trombosit secara reversibel, sehingga
penggunaan kombinasi kedua obat tersebut sebaiknya dihindari.
291
pengobatan konservatif tidak berhasil dan dipertimbangkan
pengobatan secara operatif.
Pengobatan operatif radikal.
Dengan operasi Calddwell-Luc bila kerusakan mukosa sudah
ireversibel dan gagal dengan pengobatan konservatif. Operasi ini
dilakukan dengan membuat sayatan sublabial kurang lebih dari 2
cm diatas sulkus ginggivobukalis dari insisivus 2 samapi molar 1.
Sayatan dilanjutkan sampai periosteum, kemudian periosteum
dilepaskan dan mukosa pipi tarik ke atas. Selanjutnya dibuat lubang
pada fosa kanina dan melalui lubang tersebut mukosa yang
inversibel dibersihkan
Prognosis
Prognosis sinusitis sangat baik dengan kurang lebih 70% pasien
sembuh tanpa pengobatan. Prognosis untuk penderita sinusitis akut yaitu
sekitar 40 % akan sembuh secara spontan tanpa pemberian antibiotik.
Terkadang juga penderita bisa mengalami relaps setelah pengobatan
namun jumlahnya sedikit yaitu kurang dari 5 %. Komplikasi dari penyakit ini
bisa terjadi akibat tidak ada pengobatan yang adekuat yang nantinya akan
dapat menyebabkan sinusitis kronik, meningitis, brain abscess, atau
komplikasi extra sinus lainnya (Piccirillo, dkk, 1997). Sedangkan prognosis
untuk sinusitis kronik yaitu jika dilakukan pengobatan yang dini maka akan
mendapatkan hasil yang baik. Untuk komplikasinya bisa berupa orbital
cellulitis, cavernous sinus thrombosis, intracranial extension (brain
abscess, meningitis) dan mucocele formation.
DAFTAR PUSTAKA
1. Broek, P., dkk, Buku saku ilmu kesehatan tenggorok hidung dan
telinga. Ed. 12. Jakarta: EGC. 2010, p. 113 – 117.
2. Highler, A, Boies. Buku ajar penyakit THT.
3. Soepardi, E, dkk, Telinga Hidung Tenggorok Ed. 6. Jakarta : Buku
kedokteran EGC. 1997, p. 240 – 259., Kepala & Leher. Ed. 6. Jakarta:
Balai penerbiut FKUI. 2009, p. 139 – 154.
4. Virginia, M,. Referat Siunusitis. Jakarta: 2012.
5. Widiastama, R. Mengeakkan diagnosis sinusitis. Semarang: 2001.
EPISTAKSIS
Definisi
Epistaksis adalah perdarahan yang berasal dari hidung. Epistaksis
sering kali menjadi gejala atau manifestasi dari penyakit lain. Epistaksis
anterior merupakan salah satu jenis epistaksis (perdarahan hidung) yang
berasal dari pleksus Kisselbach di septum bagian anterior atau arteri
etmoidalis anterior.1
292
Gambar 1.1. Vaskularisasi Hidung2
Etiologi
Epistaksis dapat disebabkan oleh kelainan lokal pada hidung atau kelainan
sistemik.
Bacterial sinusitis
Allergic rhinitis
Pyogenic granuloma
Granulomatous diseases (Wegener's granulomatosis, tuberculosis,
sarcoidosis, syphilis)
Environmental irritants (cigarette smoking, chemicals, pollution)
293
Tumors/vascular malformations
Angiofibroma
Aneurysms
Epidermoid carcinomas
Nasal papilloma
Adenocarcinoma
Encephalocele
Esthesioneuroblastoma
Hemangioma
294
Patofisiologi 3
Diagnosis
a) Anamnesis
Tanyakan secara spesifik tentang keparahan, frekuensi, dan durasi
dari perdarahan yang dialami. Tanyakan juga kapan perdarahan terjadi,
misalnya setelah beraktivitas atau selama tidur atau berhubungan dengan
migraine. Terkadang terdapat hematemesis atau melena dikarenakan
perdarahan dari bagian posterior.
295
b) Pemeriksaan Fisik
Sebelum mengevaluasi pasien dengan epistaksis, pastikan
pemeriksa memiliki cahaya yang cukup, spekulum hidung, alat suction,
obat – obatan topikal (adrenalin, anestesi lokal), kauter, dan tampon. 4 Bila
pasien datang dengan adanya sumbatan pada hidung maka dilepas dahulu
sumbatannya, bekuan darah juga dibersihkan (disedot atau ditarik dengan
forsep bayonet) sehingga dapat dilakukan pemeriksaan yang lebih jelas.
Periksa juga kulit untuk melihat ada tidaknya memar atau petekhie
yang dapat mengarah adanya abnormalitas darah. Pemeriksaan tanda –
tanda vital tetap dilakukan untuk mengidentifikasi hipertensi, tachycardia,
atau tanda – tanda syok. 4
c) Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium sebaiknya dilakukan pada pasien
dengan epistaksis yang berat atau berulang. Pemeriksaan darah lengkap
dapat menunjukan adanya anemia pada pasien dengan epistaksis kronik
atau berat. Analisa waktu pembekuan darah dan lama perdarahan perlu
dilakukan bila ada kelainan pada trombosit. 2,4
Radiologi
Pada umumnya pemeriksaan radiologi tidak rutin dilakukan. Bila
dari pemeriksaan awal dicurigai adanya kelainan patologi maka
pemeriksaan radiologi sangat berfungsi. 4Misalnya seorang remaja laki –
laki memiliki riwayat sering epistaksis dan perdarahannya berat bila maka
dicurigai adanya angiofibroma nasofaring. Jika dari pemeriksaan fisik sulit
diindetifikasi maka pemeriksaan radiologi sangat diperlukan. Dalam hal ini
dapat dipakai dengan pemeriksaan CT – scan, MRI, angiography, atau
carotid angiography. Bila pasien memiliki riwayat HHT (hereditary
hemorrhagic telangiectasia) dengan aktif epistaksis dan hemoptisis maka
foto rontgen thorax.4
296
Penatalaksanaan
297
Gambar 1.5. Manajemen Epistaksis 2
298
jika menderita alergi berikan obat anti alergi untuk
mengurangi gatal pada hidung,
stop pemakaian aspirin karena akan memudahkan
terjadinya mimisan dan membuat mimisan berkepanjangan.
Prognosis
Secara umum prognosis dari epistaksis anterior adalah baik namun
dapat bervariasi pada setiap orang. Bila penangannya adekuat dan telah
diatasi masalah medis yang mendasari maka sebagian besar pasien tidak
lagi menunjukan perdarahan yang berulang. Beberapa yang lain dapat
terjadi pengulangan perdarahan namun dapat membaik sendiri. 4
299
C. TENGGOROKKAN
TONSILITIS
Definisi
a. Tonsilitis Viral
Penyebab tersering tonsillitis virus adalah virus Eipstein Barr.
Hemofilus influenza merupakan penyebab tonsillitis akut supuratif.
Jika terjadi infeksi virus Coxschakie, maka pada pemeriksaan
rongga mulut akan tampak luka-luka kecil pada palatum dan tonsil
yang sangat nyeri dirasakan pasien.
Gejala yang timbul pada tonsillitis viras umumnya menyerupai
common cold yang disertai rasa nyeri tenggorok.
b. Tonsilitis Bakterial
Radang akut pada tonsil dapat disebabkan kuman grup A
Streptokokus β hemolitikus yang dikenal sebagai strep throat,
Pneumokokus, Streptokokus viridian dan Streptokokus piogenes.
Infiltrasi bakteri pada lapisan epitel jaringan tonsil akan
menimbulkan reaksi radang berupa keluarnya leukosit
polimorfonuklear sehingga terbentuk detritus. Detritus ini
merupakan kumpulan leukosit, bakteri yang mati dan epitel yang
terlepas. Secara klinis detritus ini mengisi kriptus tonsil dan tampak
sebagai bercak kuning.
300
detritus dapat melebar sehingga terbentuk membrane semu
(pseudomembrane) yang menutupi tonsil.
Manifestasi klinik
Keluhan utama yang paling sering adalah sakit tenggorokan dan infeksi
saluran nafas atas. Penyebab utama yang paling banyak pada tonsilitis
akut adalah bakteri grup A streptococcus B hemoliticus, disamping itu
penyebab terbanyak biasanya disebabkan oleh virus.
301
Gambar 7. Tonsillitis akut disertai detritus Gambar 8. Tonsilitis
virus Eipstein Barr
Diagnosis
302
Penatalaksanaan Tonsilitis
1. Indikasi Absolut
a. Pembengkakan tonsil yang menyebabkan obstruksi saluran
napas, disfagia berat, gangguan tidur dan komplikasi
kardiopulmoner
b. Abses peritonsil yang tidak membaik dengan pengobatan
medis dan drainase
c. Tonsillitis yang menimbulkan kejang demam
d. Tonsillitis yang membutuhkan biopsy untuk menentukan
patologi anatomi
2. Indikasi relatif
a. Terjadi 3 episode atau lebih infeksi tonsil pertahun dengan
terapi antibiotic yang adekuat
b. Halitosis akibat tonsillitis kronik yang tidak membaik dengan
pemberian terapi medis
c. Tonsillitis kronik yang berulang pada karier streptokokus yang
tidak membaik dengan pemberian antibiotik β-laktamase
resisten.
303
Komplikasi Tonsilitis
a. Abses Peritonsiler
Terjadi diatas tonsil dalam jaringan pilar anterior dan palatum mole.
Abses ini terjadi beberapa hari setelah infeksi akut dan biasanya
disebabkan oleh streptokokuas grup A.
c. Mastoiditis Akut
Rupture spontan membrane timpani lebih jauh menyebar infeksi ke
dalam sel-sel mastoid.
Prognosis Tonsilitis
Pencegahan Tonsilitis
304
atau beberapa anak pada kelas yang sama datang dengan keluhan yang
sama, khususnya bila Streptokokus pyogenase adalah penyebabnya.
Risiko penularan dapat diturunkan dengan mencegah terpapar dari
penderíta Tonsilitis atau yang memiliki keluhan sakit menelan. Gelas
minuman dan perkakas rumah tangga untuk makan tidak dipakai bersama
dan sebaiknya dicuci dengan menggunakan air panas yang bersabun
sebelum digunakan kembali. Sikat gigi yang talah lama sebaiknya diganti
untuk mencegah infeksi berulang. Orang-orang yang merupakan karier
Tonsilitis semestinya sering mencuci tangan mereka untuk mencegah
penyebaran infeksi pada orang lain.
DAFTAR PUSTAKA
305
MODUL TUTORIAL
306
TUGAS MAHASISWA :
1. Setelah membaca dengan teliti skenario diatas, mahasiswa
mendiskusikannya dalam satu kelompok diskusi yang dipimpin oleh
seorang ketua dan memilih seorang notulen untuk mencatat semua
hasil diskusi.
2. Melakukan aktivitas pembelajaran individual dengan mencari bahan
informasi yang mendukung diskusi.
3. Melakukan diskusi kelompok mandiri (tanpa tutor).
4. Berkonsultasi pada narasumber yang ahli pada permasalahan
dimaksud untuk memperoleh pengertian yang lebih mendalam.
5. Mengikuti kuliah (kuliah pakar) dalam kelas untuk masalah yang belum
jelas.
JADWAL KEGIATAN
1. Pertemuan pertama dalam kelas besar dengan tatap muka satu arah
dan tanya jawab. Tujuan : menjelaskan tentang modul dan cara
menyelesaikan modul, dan membagi kelompok diskusi. Pada
pertemuan pertama buku modul dibagikan.
2. Pertemuan kedua : diskusi mandiri. Tujuan :
Memilih ketua dan sekretaris kelompok
Brainstorming untuk proses 1 – 3
Membagi tugas
3. Pertemuan ketiga : diskusi tutorial dipimpin oleh mahasiswa yang
terpilih menjadi ketua dan penulis kelompok, serta difasilitasi oleh tutor.
Tujuan : untuk melaporkan hasil diskusi mandiri dan menyelesaikan
proses sampai langkah 5.
307
4. Anda belajar mandiri baik sendiri-sendiri. Tujuan : untuk mencari
informasi baru yang diperlukan
5. Pertemuan keempat : adalah diskusi tutorial. Tujuan : untuk
melaporkan hasil diskusi lalu dan mensintese informasi yang baru
ditemukan. Bila masih diperlukan informasi baru dilanjutkan lagi seperti
no. 2 dan 3.
6. Pertemuan terakhir : dilakukan dalam kelas besar dengan bentuk
diskusi panel untuk melaporkan hasil diskusi masing-masing kelompok
dan menanyakan hal-hal yang belum terjawab pada ahlinya (temu
pakar).
SUMBER BACAAN
A. Buku Ajar
1. Fitzpetrick (Dermatology In General Medicine)
2. Mosechella (Dermatology)
3. Ilmu Penyakit Kulit (FK-UNHAS)
B. Sumber Lain
1. Internet
2. VCD
3. Journal
4. Majalah-majalah ilmiah lainnya
308
SKENARIO 1
GATAL
CAPAIAN PEMBELAJARAN:
Setelah mempelajari modul ini diharapkan mahasiswa dapat :
1. Menyebutkan organ-organ yang berkaitan dengan sistem
penginderaan khususnya organ kulit.
2. Menjelaskan histologi kulit
3. Menjelaskan fisiologi
4. Menjelaskan mekanisme terjadinya penyakit radang kulit
5. Menjelaskan penyakit-penyakit yang menimbulkan radang kulit
6. Menjelaskan gambaran klinik penyakit radang kulit
7. Menjelaskan patomekanisme penyakit-penyakit radang kulit
8. Menjelaskan pemeriksaan-pemeriksaan penunjang yang bisa
membantu diagnosa penyakit radang kulit
9. Menjelaskan penatalaksanaan yang diberikan pada penderita
penyakit-penyakit dengan radang kulit
10. Menjelaskan promotif dan preventif penyakit radang kulit.
KASUS
SKENARIO :
Seorang wanita 20 tahun datang ke Rumah sakit dengan keluhan gatal dan
bercak kemerahan disertai sisik pada daerah badan yang telah dialami
sejak 2 minggu yang lalu. Riwayat keluarga menderita penyakit yang sama
tidak ada. Hasil pemeriksaan laboratorium dalam batas normal.
309
PROBLEM TREE
Penyakit-penyakit Radang
Kulit :
Penyebab dan - Psoriasis
patomekanisme - Dermatitis seboroik
- Pityriasis rosea
- Parapsoriasis
- Eritroderma
- Anatomi
- Liken planus
- Histologi
- Fisiologi radang kulit DIAGNOSIS
GATAL
Epidemiologi Penatalaksanaan
Preventif Promotif
310
SKENARIO II
“BINTIL KEMERAHAN PADA KULIT”
CAPAIAN PEMBELAJARAN:
Setelah mempelajari modul ini, mahasiswa diharapkan dapat :
1. Menyebutkan organ-organ yang berkaitan dengan sistem penginderaan
khususnya organ kulit.
2. Menjelaskan histologi kulit.
3. Menjelaskan fisiologi.
4. Menjelaskan mekanisme terjadinya bercak hitam pada kulit.
5. Menjelaskan penyakit-penyakit yang menimbulkan bercak hitam pada
kulit.
6. Menjelaskan gambaran klinik bercak hitam pada kulit.
7. Menjelaskan patomekanisme bercak hitam pada kulit.
8. Menjelaskan pemeriksaan-pemeriksaan penunjang yang bisa
membantu diagnosa bercak hitam pada kulit.
9. Menjelaskan penatalaksanaan yang diberikan pada penderita bercak
hitam pada kulit.
10. Menjelaskan promotif dan preventif bercak hitam pada kulit.
KASUS :
Skenario :
Seorang laki-laki 17 tahun datang ke rumah sakit dengan keluhan bintil
kemerahan pada daerah wajah yang telah dialami sejak 1 bulan yang lalu.
Riwayat keluarga menderita penyakit yang sama tidak ada. Hasil
pemeriksaan laboratorium dalam batas normal.
311
PROBLEM TREE
Penyakit-penyakit Radang
Kulit :
Penyebab dan - Akne Vulgaris
patomekanisme - Rosasea
- Dematitis Perioral
- Erupsi Akneiformis
- Anatomi
- Histologi
DIAGNOSIS
BINTIL DI WAJAH
Epidemiologi Penatalaksanaan
Preventif Promotif
312
SKENARIO III
“BERCAK HITAM PADA KULIT”
CAPAIAN PEMBELAJARAN:
Setelah mempelajari modul ini, mahasiswa diharapkan dapat :
1. Menyebutkan organ-organ yang berkaitan dengan sistem
penginderaan khususnya organ kulit.
2. Menjelaskan histologi kulit.
3. Menjelaskan fisiologi.
4. Menjelaskan mekanisme terjadinya bercak hitam pada kulit.
5. Menjelaskan penyakit-penyakit yang menimbulkan bercak hitam pada
kulit.
6. Menjelaskan gambaran klinik bercak hitam pada kulit.
7. Menjelaskan patomekanisme bercak hitam pada kulit.
8. Menjelaskan pemeriksaan-pemeriksaan penunjang yang bisa
membantu diagnosa bercak hitam pada kulit.
9. Menjelaskan penatalaksanaan yang diberikan pada penderita bercak
hitam pada kulit.
10. Menjelaskan promotif dan preventif bercak hitam pada kulit.
KASUS :
Skenario :
Seorang wanita 35 tahun datang ke Rumah Sakit dengan keluhan bercak
hitam pada daerah pipi kiri dan kanan yang telah dialami sejak 4 bulan
yang lalu. Riwayat keluarga menderita penyakit yang sama tidak ada.
Hasil pemeriksaan laboratorium dalam batas normal.
313
PROBLEM TREE
Penyakit-penyakit Radang
Kulit :
- Melasma
Penyebab dan - Lentigo
patomekanisme - Nevis pigmentosus
- Xeroderma pigmentosus
- Hiperpigmentasi Post
Inflamasi
- Anatomi
- Melanoma
- Histologi
DIAGNOSIS
BERCAK HITAM
Epidemiologi Penatalaksanaan
Preventif Promotif
314