Anda di halaman 1dari 34

LEMBAR PENGESAHAN

Telah Dilakukan Field Trip Luka Bakar Di Rsup Sanglah Bali

Pada Hari SabtuSampaiDengan Hari Rabu

Tanggal 13 Sampai 17 Juli 2019

Tempat Rsup Sanglah BalI

KOORDINATOR FIELD TRIP NAMA MAHASISWA/KELOMPOK

……………………………… ..............................................

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT karena atas rahmat dan hidayah-Nya
penulis dapat menyelesaikan pembuatan laporan Field Trip Pusat Penanganan
Luka Bakar RSUP Sanglah Bali, sebagai salah satu laporan untuk mata kuliah
peminatan program studiprofesi nurse.

Laporan Field Trip ini berisi tentang materi tentang luka bakar dan disusun
dengan maksud dapat memberikan pengetahuan dan menambah khasah ilmu bagi
dunia keperawatan.

Dalam penyusunan laporan ini penulis mengucapkan banyak terimakasih


kepada semua pihak yang telah membantu sehingga dapa tmenyelesaikannya
dengan baik.

Penulis menyadari dalam penulisan laporanini, masih banyak terdapat


kekurangan. Maka dengan kerendahan hati dimohon kritik dan saran demi
kesempurnaan laporan ini. Semoga laporan ini dapat bermanfaat dan
dipergunakan sebagaimana mestinya

2
Kelompok

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL............................................................................... i
HALAMAN PENGESAHAN................................................................. ii
KATA PENGANTAR............................................................................. iii
HALAMAN PERSEMBAHAN.............................................................. iv
DAFTAR ISI........................................................................................... v
DAFTAR GAMBAR.............................................................................. vi
BAB I PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG................................................................. 2
B. TUJUAN..................................................................................... 2
C. MANFAAT................................................................................. 2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. TINJAUAN TEORI.................................................................... 3
B. KLASIFIKASI LUKA BAKAR................................................. 13
C. PERTOLONGAN PERTAMA LUKA BAKAR........................
D. PRINSIP PENANGANAN LUKA BAKAR..............................
E. INDIKASI TINDAKAN.............................................................
F. KONTRA INDIKASI.................................................................
G. PERAWATAN KONDISI AKUT.............................................. 38
H. PERAWATAN LANJUT LUKA BAKAR................................. 38

3
I. ETIKA PENELITIAN................................................................. 44

BAB III EVIDENCE BASE PRACTICE


A. MANAGEMENT JALAN NAFAS............................................ 49
B. RUMUS RESUSITASI LUKA BAKAR………...…………….
C. PENANGANAN LUKA BAKAR MINOR...............................
D. DIFFICULT AIR WAY.............................................................
E. SOFA SCORE............................................................................. 55
BAB IV PENUTP
A. KESIMPULAN .......................................................................... 56
B. SARAN ...................................................................................... 57
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN

4
DAFTAR GAMBAR

5
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
RSUP Sanglah berdiri pada tahun 1956 dan RSUP sanglah berkedudukan
sebagai UPT Kemenkes yang berada dibawah dan bertanggung jawab kepada
Direktorat Pelayanan Kesehatan Kementrian Kesehatan RI.
RSUP Sanglah bali memiliki beberapa beberapa pelayanan unggulan salah
satunya adalah perawatan luka bakar dan mempunyai ruangan khusus luka
bakar. Hal tersebut sangat membantu untuk meningkatkan kwalitas perawatan
pada luka bakar yang angka mortalitasnya cukup tinggi, dari data di sebutkan
bahwa 1% penduduk Australia dan Selandia Baru menderita luka bakar dan
membutuhkan perawatan medis setiap tahunnya. 10% memerlukan rawat inap,
dan 10% dari tergolong luka bakar berat yang mengancam jiwa. 50% pasien
mengalami cacat.
Luka bakar lebih sering dialami oleh laki-laki. Sebagai contoh, dari 593
kasus luka bakar yang ditangani RSUP Sanglah, Denpasar, sebanyak 68,68
persen penderitanya adalah laki-laki, dan hanya 31,32 persen perempuan.
Laki-laki tersebut mayoritas berusia produktif, antara 20-40 tahun, dan
umumnya terkena luka bakar karena kecelakaan kerja. Luka bakar di wajah,
misalnya, bisa menyebabkan cedera inhalasi. Selain itu, luka bakar di dada
dan perut mengganggu pernapasan dan mengakibatkan sebanyak 2,84 persen

6
pasien penderita luka bakar di RSUP Sanglah berakhir dengan kematian
( RSUP sanglah Bali, 2018).
. Jumlah terbanyak kasus luka bakar 2018 Api (Bensin, Minyak tanah,
Gas LPG Cairan panas (air, minyak, kuah) Listrik (PLN, Petir ) Zat kimia
(Asam, Basa, Kosmetik ) Radiasi (Matahari, Radioterapi, Bom) (RSUP
Sanglah bali, 2018).
B. Tujuan Umum
Sebagai khasanah ilmu untuk meningkatkan pengetahuan tentang luka bakar.
C. Tujuan Khusus
1. Mengetahui pengertian luka bakar
2. Mengetahui macam macam luka bakar
3. Mengetahui cara perawatan dan penanganan luka bakar khususnya pada
cedera inhalasi
D. Manfaat Penelitian .
1. Bagi Perawat (Tenaga Kesehatan)
Manfaat bagi perawat yaitu sebgai sumber reverensi untuk penanganan
luka bakar secara tepat.

7
BAB II

KONSEP TEORI

A. DEFINISI
Trauma inhalasi atau cedera inhalasi merupakan kerusakan pada
saluran pernafasan yang disebabkan karena menghirup gas berbahaya, uap dan ko
mponen partikel yang terdapat dalam asap pembakaran. Hal ini
bermanifestasi sebagai cederatermal, cedera kimia dan toksisitas sistemik, ataupun
kombinasi dari semuanya (Gill& Rebecca. 2015).Trauma inhalasi dapat
menunjukkan cedera termal supraglottik, iritasi
kimia pada saluran pernapasan, toksisitas sistemik karena agen seperti karbon mo
noksida(CO) dan sianida. Respons inflamasi yang dihasilkan dapat menyebabkan
volumeresusitasi cairan yang lebih tinggi, disfungsi pulmonal progresif,
penggunaanventilator yang berkepanjangan, peningkatan risiko pneumonia, dan
sindromgangguan pernapasan akut (ARDS) (Walker,et all.,2015)

B. ETIOLOGI
Kebanyakan trauma inhalasi terjadi akibat kerusakan langsung pada
permukaan epitel yang dapat menyebabkan konjungtivitis, rhinitis, faringitis,
laryngitis, trakeitis, bronchitis dan alveolitis. Absorbsi sistemik dari toksin juga
terjadi. Susah untuk membedakan apakah insufisiensi pernafasan disebabkan oleh
trauma langsung pada paru atau akibat pengaruh metabolik, hemodinamik dan
komplikasi lanjut dari suatu infeksi permukaan luka bakar (Rajpura A, 2011)
Trauma inhalasi disebabkan oleh berbagai inhalan. Inhalan dibedakan atas
4 macam yaitu:
1. Gas iritan : bekerja dengan melapisi mukosa saluran nafas dan
menyebabkan reaksi inflamasi. Amonia, klorin, kloramin lebih larut air
sehingga dapat menyebabkan luka bakar pada saluran nafas atas dan
menyebabkan iritasi pada mata, hidung, dan mulut. Gas iritan lain yaitu
sulfur dioksida, nitrogen dioksida, yang kurang larut air sehingga
menyebabkan trauma paru dan distress pernafasan.

8
2. Gas asfiksian : karbon dioksida, gas dari bahan bakar (metana, etena,
propane, asetilana), gas-gas ini mengikat udara dan oksigen sehingga
menyebabkan asfiksia.
3. Gas yang bersifat toksik sistemik : CO yang merupakan komponen
terbesar dari asap, hidrogen sianida merupakan komponen asap yang
berasal dari api, hidrogen sulfide. Gas-gas ini berhubungan dengan
pengangkutan oksigen untuk produksi energi bagi sel. Sedangkan toksin
sistemik seperti hidrokarbon halogen dan aromatik menyebabkan
kerusakan lanjut dari hepar, ginjal, otak, paru-paru, dan organ lain.
4. Gas yang menyebabkan alergi, dimana jika asap terhirup, partikel dan
aerosol menyebabkan bronkospasme dan edema yang menyerupai asma
(Emily, 2011)
C. ANATOMI DAN FISIOLOGI
Menurut Price SA, Wilson LM, 2010, anatomi pernafasan agar udara bisa
mencapai paru-paru adalah hidung, laring, trakhea, bronkhus dan bronkhiolus.
Fungsi masing-masing bagian ini sebagai berikut:
1. Hidung : Bulu-bulu hidung berguna untuk menyaring udara yang masuk,
debu dengan diameter > 5 mikron akan tertangkap, selaput lendir hidung
berguna untuk menangkap debu dengan diameter lebih besar, kemudian
melekat pada dinding rongga hidung. Anyaman vena (Plexus venosus)
berguna untuk menyamakan kondisi udara yang akan masuk paru dengan
kondisi udara yang ada di dalam paru. Konka (tonjolan dari tulang rawan
hidung) untuk memperluas permukaan, agar proses penyaringan, pelembaban
berjalan dalam suatu bidang yang luas, sehingga proses diatas menjadi lebih
efisien.
2. Pharing, terdapat persimpangan antara saluran napas dan saluran pencernaan.
Bila menelan makanan, glotis dan epiglotis menutup saluran napas untuk
mencegah terjadinya aspirasi. Pada pemasangan endotrakeal tube glotis tidak
dapat menutup sempurna, sehingga mudah terjadi aspirasi laring. Terdapat
pita suara / plika vokalis, bisa menutup dan membuka saluran napas, serta
melebar dan menyempit. Gunanya adalah membantu dalam proses mengejan,

9
membuka dan menutup saluran napas secara intermitten pada waktu batuk.
Pada waktu mau batuk plika vokalis menutup, saat batuk membuka, sehingga
benda asing keluar. Secara reflektoris menutup saluran napas pada saat
menghirup udara yang tidak dikehendaki dan untuk proses bicara.
3. Trakea. Dikelilingi tulang rawan berbentuk tapal kuda (otot polos dan
bergaris) sehingga bisa mengembang dan menyempit. Trakea bercabang
menjadi 2 bronkus utama.
4. Bronkus. Merupakan percabangan trakea, terdiri dari bronkus kanan dan kiri.
Antara percabangan ini terdapat karina yang memiliki banyak saraf dan dapat
menyebabkan bronkospasme dan batuk yang kuat jika dirangsang. Bronkus
kiri dan kanan tak simetris. Yang kanan lebih pendek, lebih lebar dan arahnya
hampir vertikal. Yang kiri lebih panjang dan lebih sempit dengan sudut lebih
tajam. Bronkus ini kemudian bercabang menjadi bronkus lobaris, bronkus
segmentasi, bronkus terminalis, asinus yang terdiri dari bronkus respiratorius
yang terkadang mengandung alveoli, duktus alveolaris dan sakus alveolaris
terminalis.
5. Paru. Terdiri dari paru kanan dan kiri yang kanan terdiri dari 3 lobus, kiri 2
lobus. Dibungkus oleh selaput yang disebut pleura visceralis sebelah dalam
dan pleura parietalis sebelah luar yang menempel pada rongga dada. Diantara
kedua pleura terdapat kavum interpleura yang berisi cairan. Di dalam saluran
napas selain terdapat lendir, juga bulu-bulu getar / silia yang berguna untuk
menggerakkan lendir dan kotoran ke atas.8,9,10

10
Fisiologi pernapasan menurut Guyton dkk, respirasi meliputi 2 bidang
yakni respirasi eksterna dan respirasi interna. Respirasi eksterna adalah
pengangkutan oksigen dari atmosfer sampai ke jaringan tubuh dan pengangkutan
karbon dioksida dari jaringan sampai ke atmosfer. Sementara bagaimana oksigen
digunakan oleh jaringan dan bagaimana karbon dioksida dibebaskan oleh jaringan
disebut respirasi internal. Proses respirasi merupakan proses yang dapat dibagi
menjadi 5 tahap yaitu :
1. Ventilasi. Udara bergerak masuk dan keluar paru-paru karena ada selisih
tekanan yang terdapat antara atmosfer dan alveolus akibat kerja mekanik dari
otot-otot. Selama inspirasi, volume toraks bertambah besar karena diafragma
turun dan iga terangkat akibat kontraksi beberapa otot yaitu otot
sternokleidomastoideus mengangkat sternum ke atas dan otot seratus,
skalenus dan interkostalis eksternus mengangkat iga-iga. Toraks membesar ke
tiga arah : anteroposterior, lateral dan vertikal. Peningkatan volume ini
menyebabkan penurunan tekanan intrapleura, dari sekitar -4 mmHg (relatif
terhadap tekanan atmosfer) menjadi sekitar -8 mmHg bila paru-paru
mengembang pada waktu inspirasi. Tekanan saluran udara menurun sampai
sekitar -2 mmHg (relatif terhadap tekanan atmosfer) dari 0 mmHg pada waktu
mulai inspirasi. Selisih tekanan antara saluran udara dan atmosfer

11
menyebabkan udara mengalir ke dalam paru-paru sampai tekanan saluran
udara pada akhir inspirasi sama lagi dengan tekanan atmosfer. Selama
pernapasan tenang, ekspirasi merupakan gerakan pasif akibat elastisitas
dinding dada dan paru-paru atau saat ekspirasi dinding dada turun dan
lengkung diafragma naik ke atas menyebabkan volume toraks berkurang.
Pengurangan volume toraks ini meningkatkan tekanan intrapleura maupun
tekanan intrapulmonal. Selisih tekanan antara saluran udara dan atmosfer
menjadi terbalik, sehingga udara mengalir keluar dari paru-paru sampai
tekanan saluran udara dan tekanan atmosfer menjadi sama kembali pada akhir
ekspirasi.
2. Difusi Tahap kedua dari proses pernapasan mencakup proses difusi gas-gas
melintasi membran alveolus-kapiler yang tipis (tebalnya kurang dari 0,5 m).
Kekuatan pendorong untuk pemindahan ini adalah selisih tekanan parsial
antara darah dan fase gas. Pada waktu oksigen diinspirasi dan sampai di
alveolus maka tekanan parsial ini akan mengalami penurunan sampai sekitar
103 mmHg.8,9,10,11 Penurunan tekanan parsial ini terjadi berdasarkan fakta
bahwa udara inspirasi tercampur dengan udara dalam ruang sepi anatomik
saluran udara dan dengan uap air. Ruang sepi anatomik ini dalam keadaan
normal mempunyai volume sekitar 1 ml udara per pound berat badan. Hanya
udara bersih yang mencapai alveolus yang merupakan ventilasi efektif,
tekanan parsial oksigen dalam darah vena campuran (PVO2) di kapiler paru
kira-kira sebesar 40 mmHg. Karena tekanan parsial oksigen dalam kapiler
lebih rendah daripada tekanan dalam alveolus (PAO2 = 103 mmHg), maka
oksigen dapat dengan mudah berdifusi ke dalam aliran darah. Perbedaan
tekanan CO2 antara darah dan alveolus yang jauh lebih rendah (6 mm Hg)
menyebabkan karbon dioksida berdifusi ke dalam alveolus. Karbon dioksida
ini kemudian dikeluarkan ke atmosfer, dimana konsentrasinya pada
hakekatnya nol kendatipun selisih CO2 antara darah dan alveolus amat kecil.
3. Hubungan antara ventilasi-perfusi. Pemindahan gas secara efektif antara
alveolus dan kapiler paru-paru membutuhkan distribusi merata dari udara
dalam paru-paru dan perfusi (aliran darah) dalam kapiler. Dengan perkataan

12
lain, ventilasi dan perfusi dari unit pulmonar harus sesuai. Nilai rata-rata rasio
antara ventilasi terhadap perfusi (V/Q) adalah 0,8. Angka ini didapatkan dari
rasio rata-rata laju ventilasi alveolar normal (4 L/menit). Ketidak-seimbangan
antara proses ventilasi-perfusi terjadi pada kebanyakan penyakit pernapasan.8
Tiga unit pernapasan abnormal secara teoritis menggambarkan unit ruang sepi
yang mempunyai ventilasi normal, tetapi tanpa perfusi, sehingga ventilasi
terbuang percuma (V/Q = tidak terhingga). Unit pernapasan abnormal yang
kedua merupakan unit pirau, dimana tidak ada ventilasi tetapi perfusi normal,
sehingga perfusi terbuang sia-sia (V/Q = 0). Unit yang terakhir merupakan
unit diam, dimana tidak ada ventilasi dan perfusi.
4. Transpor oksigen dalam darah Oksigen dapat diangkut dari paru-paru ke
jaringan-jaringan melalui dua jalan: secara fisik larut dalam plasma atau
secara kimia berikatan dengan hemoglobin sebagai oksihemoglobin (HbO2).
Ikatan kimia oksigen dengan hemoglobin ini bersifat reversibel. Dalam
keadaan normal jumlah O2 yang larut secara fisik sangat kecil karena daya
larut oksigen dalam plasma yang rendah. Hanya sekitar 1% dari jumlah
oksigen total yang diangkut. Cara transpor seperti ini tidak memadai untuk
mempertahankan hidup.8 Sebagian besar oksigen diangkut oleh hemoglobin
yang terdapat dalam sel-sel darah merah. Dalam keadaan tertentu (misalnya :
keracunan karbon monoksida atau hemolisis masif dimana terjadi insufisiensi
hemoglobin) maka oksigen yang cukup untuk mempertahankan hidup dapat
ditranspor dalam bentuk larutan fisik dengan memberikan oksigen dengan
tekanan yang lebih tinggi dari tekanan atmosfer (ruang oksigen hiperbarik).
Satu gram hemoglobin dapat mengikat 1,34 ml oksigen. 8
Pada tingkat
jaringan, oksigen akan berdisosiasi dari hemoglobin dan berdifusi ke dalam
plasma. Dari plasma, oksigen berdifusi ke sel-sel jaringan tubuh untuk
memenuhi kebutuhan jaringan yang bersangkutan. Meskipun kebutuhan
jaringan bervariasi, namun sekitar 75% dari hemoglobin masih berikatan
dengan oksigen pada waktu hemoglobin kembali ke paru-paru dalam bentuk
darah vena campuran. Jadi sesungguhnya hanya sekitar 25% oksigen dalam
darah arteria yang digunakan untuk keperluan jaringan.

13
5. Pengendalian Pernapasan. Yang disebut pusat pernapasan adalah suatu
kelompok neuron yang terletak bilateral di dalam substansia retikularis
medula oblongata dan pons. Dibagi menjadi 3 daerah utama yaitu :
1. Kelompok neuron medula oblongata dorsalis, yang merupakan area
inspirasi. Letak neuronnya sangat dekat dan berhubungan rapat dengan
traktus solitarius yang merupakan ujung sensorik nervus vagus dan
glosofaringeus. Sebaliknya masing-masing saraf ini menghantarkan
isyarat-isyarat sensorik dari kemoreseptor perifer, dengan cara ini
membantu ventilasi paru.
2. Kelompok neuron medula oblongata ventralis, yang merupakan area
ekspirasi. Merupakan kelompok neuron respirasi ventralis yang bila
terangsang merangsang otot-otot ekspirasi. Area ekspirasi selama
pernapasan tenang dan normal bersifat pasif. Bila dorongan ekspirasi
menjadi jauh lebih besar dari normal maka isyarat-isyarat tertumpah ke
area ekspirasi dari mekanisme osilasi dasar area inspirasi, meningkatkan
tenaga kontraktil yang kuat ke proses ventilasi paru.
3. Area di dalam pons yang membantu kecepatan pernapasan yang disebut
area pneumotaksis. Pusat pneumotaksis menghantarkan isyarat
penghambat ke area inspirasi, yang mempunyai efek membatasi isyarat
inspirasi. Efek sekundernya terjadi bila pembatasan inspirasi
memperpendek masa pernapasan, maka siklus pernapasan berikut akan
terjadi lebih dini. Jadi isyarat pneumotaksis yang kuat dapat
meningkatkan kecepatan pernapasan 30-40 x per menit. Sementara yang
lemah hanya beberapa kali per menit. 8,11
D. PATOFISIOLOGI
Trauma inhalasi terjadi melalui kombinasi dari kerusakan epitel jalan nafas
oleh panas dan zat kimia, atau akibat intoksikasi sistemik dari hasil pembakaran
itu sendiri. Hasil dari pembakaran tidak hanya terdiri dari udara saja, tetapi
merupakan campuran dari udara, partikel padat yang terurai di udara (melalui
suatu efek iritasi dan sitotoksik). Aerosol dari cairan yang bersifat iritasi dan
sitotoksik serta gas toksik dimana gabungan tersebut bekerja sistemik. Partikel

14
padat yang ukurannya lebih dari 10 mikrometer tertahan di hidung dan nasofaring.
Partikel yang berukuran 3-10 mikrometer tertahan pada cabang trakeobronkial,
sedangkan partikel berukuran 1-2 mikrometer dapat mencapai alveoli.
Gas yang larut air bereaksi secara kimia pada saluran nafas atas,
sedangkan gas yang kurang larut air pada saluran nafas bawah. Adapun gas yang
sangat kurang larut air masuk melewati barier kapiler dari alveolus dan
menghasilkan efek toksik yang bersifat sistemik. Kerusakan langsung dari sel-sel
epitel, menyebabkan kegagalan fungsi dari apparatus mukosilier dimana akan
merangsang terjadinya suatu reaksi inflamasi akut yang melepaskan makrofag
serta aktivitas netrofil pada daerah tersebut. Selanjutnya akan dibebaskan oksigen
radikal, protease jaringan, sitokin, dan konstriktor otot polos (tromboksan A2,
C3A, C5A). Kejadian ini menyebabkan peningkatan iskemia pada saluran nafas
yang rusak, selanjutnya terjadi edema dari dinding saluran nafas dan kegagalan
mikrosirkulasi yang akan meningkatkan resistensi dinding saluran nafas dan
pembuluh darah paru. Komplians paru akan turun akibat terjadinya edema paru
interstitial sehingga terjadi edema pada saluran nafas bagian bawah akibat
sumbatan pada saluran nafas yang dibentuk oleh sel-sel epitel nekrotik, mukus
dan sel-sel darah ( Emily, 2011)
Trauma inhalasi diklasifikasikan menjadi 3, antara lain :
1. Trauma pada saluran nafas bagian atas ( trauma supraglotis)
Trauma saluran nafas atas dapat menyebabkan ancaman hidup melalui
obstruksi jalan nafas sesaat setelah trauma. Jika proses ini ditangani secara
benar, edema saluran nafas dapat hilang tanpa sekuele beberapa hari.
2. Trauma pada saluran nafas bawah dan parenkim paru (trauma subglotis)
Trauma ini dapat menyebabkan lebih banyak perubahan signifikan dalam
fungsi paru dan mungkin akan susah ditangani. Trauma subglotis
merupakan trauma kimia yang disebabkan akibat inhalasi hasil-hasil
pembakaran yang bersifat toksik pada luka bakar. Asap memiliki kapasitas
membawa panas yang rendah, sehingga jarang didapatkan trauma termal
langsung pada jalan nafas bagian bawah dan parenkim paru, trauma ini
terjadi bila seseorang terpapar uap yang sangat panas.

15
3. Toksisitas sistemik akibat inhalasi gas toksik seperti karbon monoksida
(CO) dan sianida.
Inhalasi dari gas toksik merupakan penyebab utama kematian cepat akibat
api, meskipun biasanya trauma supraglotis, subglotis dan toksisitas
sistemik terjadi bersamaan. Intoksikasi CO terjadi jika afinitas CO
terhadap hemoglobin lebih besar dari afinitas oksigen terhadap
hemoglobin, sehingga ikatan CO dan hemoglobin membentuk suatu
karboksihemoglobin dan menyebabkan hipoksia (Rajpura A., 2011)
E. GAMBARAN KLINIS
Oleh karena onset terjadinya tidak segera dan sering tidak ditangani
sesegera mungkin, maka perlu diketahui tanda-tanda yang dapat mengarahkan kita
untuk bertindak dan harus mencurigai bahwa seseorang telah mengalami trauma
inhalasi antara lain :
- Luka bakar pada wajah
- Alis mata dan bulu hidung hangus
- Adanya timbunan karbon dan tanda-tanda inflamasi akut di dalam
orofaring
- Sputum yang mengandung arang atau karbon
- Wheezing, sesak dan suara serak
- Adanya riwayat terkurung dalam kepungan api
- Ledakan yang menyebabkan trauma bakar pada kepala dan badan
- Tanda-tanda keracunan CO (karboksihemoglobin lebih dari 10% setelah
berada dalam lingkungan api) seperti kulit berwarna pink sampai merah,
takikardi, takipnea, sakit kepala, mual, pusing, pandangan kabur,
halusinasi, ataksia, kolaps sampai koma.
F. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Laboratorium
 Pulse oximetry
Digunakan untuk mengukur saturasi hemoglobin yang meningkat
palsu akibat ikatan CO terhadap hemoglobin sehingga kadar
karboksihemoglobin seringkali diartikan sebagai oksihemaglon

16
 Analisa Gas Darah
Untuk mengukur kadar karboksihemoglobin, keseimbangan asam
basa dan kadar sianida. Sianida dihasilkan dari kebakaran rumah
tangga dan biasanya terjadi peningkatan kadar laktat plasma
 Elektrolit
Untuk memonitor abnormalitas elektrolit sebagai hasil dari
resusitasi cairan dalam jumlah besar
 Darah lengkap
Hemokonsentrasi akibat kehilangan cairan biasanya terjadi sesaat
setelah trauma. Hematokrit yang menurun secara progresif akibat
pemulihan volume intravaskular. Anemia berat biasanya terjadi
akibat hipoksia atau ketidakseimbangan hemodinamik.
Peningkatan sel darah putih untuk melihat adanya infeksi.
2. Foto Thoraks
Biasanya normal dalam 3-5 hari, gambaran yang dapat muncul sesudahnya
termasuk atelektasis, edema paru, dan ARDS
3. Laringoskopi dan bronkoskopi fiberoptik
Keduanya dapat digunakan sebagai alat diagnostik maupun terapeutik.
Pada bronkoskopi biasanya didapatkan gambaran jelaga, eritema, sputum
dengan arang, petekie, daerah pink sampai abu-abu karena nekrosis,
ulserasi, sekresi, mukopurulen. Bronkoskopi serial berguna untuk
menghilangkan debris dan sel-sel nekrotik pada kasus-kasus paru atau jika
suction dan ventilasi tekanan positif tidak cukup memadai.
(Rajpura A.,2011)
G. PENATALAKSANAAN
Diagnosis yang cepat terhadap trauma inhalasi adalah penting untuk
penanganan cepat agar terhindar dari gagal nafas yang berakibat kematian.
Pengobatan untuk trauma inhalasi adalah bersifat suportif.
1. Airway
Jika dicurigai seseorang dengan trauma inhalasi maka sebelum dikirim ke
pusat luka bakar sebaiknya dilakukan intubasi cepat untuk melindungi

17
jalan nafas sebelum terjadi pembengkakan wajah dan faring yang biasanya
terjadi 24-48 jam setelah kejadian, dimana jika terjadi edema maka yang
diperlukan adalah trakeostomi atau krikotiroidotomi jika intubasi oral
tidak dapat dilakukan.2,4,15,16,17
2. Breathing
Jika didapatkan tanda-tanda insufisiensi pernapasan, susah bernapas,
stridor, batuk, retraksi suara nafas bilateral atau tanda-tanda keracunan CO
maka dibutuhkan oksigen 100% atau oksigen tekanan tinggi yang akan
menurunkan waktu paruh dari CO dalam darah.1,2,3
3. Circulation
Pengukuran tekanan darah dan nadi untuk mengetahui stabilitas
hemodinamik. Untuk mencegah syok hipovolemik diperlukan resusitasi
cairan intravena. Pada pasien dengan trauma inhalasi biasanya dalam 24
jam pertama digunakan cairan kristaloid 40-75% lebih banyak
dibandingkan pasien yang hanya luka bakar saja.1,3
4. Neurologik
Pasien yang berespon/sadar membantu untuk mengetahui kemampuan
mereka untuk melindungi jalan nafas dan merupakan indikator yang baik
untuk mengukur kesuksesan resusitasi. Pasien dengan kelainan neurologik
seringkali memerlukan analgetik poten.2
5. Luka bakar
Periksa seluruh tubuh untuk mengetahui adanya trauma lain dan luka
bakar. Cuci NaCl kulit yang tidak terbakar untuk menghindari sisa zat
toksik yang bermakna.2
6. Medikasi1,2
 Kortikosteroid : digunakan untuk menekan inflamasi dan
menurunkan edema
 Antibiotik : Mengobati infeksi sekunder yang biasanya disebabkan
oleh Staphylococcus Aureus dan Pseudomonas Aeruginosa pada
pasien-pasien dengan kerusakan paru

18
 Amyl dan Sodium Nitrit untuk mengobati keracunan sianida tetapi
harus berhati-hati jika ditemukan pula tanda-tanda keracunan CO
karena obat ini dapat menyebabkan methahemoglobinemia.
Oksigen dan Sodium tiosulfat juga dapat sebagai antidotum
sianida, antidotum yang lain adalah hidroksikobalamin dan EDTA.
 Bronkodilator untuk pasien-pasien dengan bronkokonstriksi. Pada
kasus-kasus berat bronkodilator digunakan secara intavena.
H. KOMPLIKASI1,2
1. Trauma paru berat, edema, dan ketidakmampuan untuk oksigenasi atau
ventilasi yang adekuat dapat menyebabkan kematian
2. Keracunan CO dan inhalasi dari hasil pembakaran yang lain secara
bersamaan dapat menyebabkan hipoksemia, trauma organ dan morbiditas.
I. PROGNOSIS
Pada trauma inhalasi ringan biasanya self limited dalam 48-72 jam. Berat
ringannya trauma langsung pada parenkim paru tergantung pada luas dan lamanya
paparan serta jenis inhalan yang diproduksi secara bersamaan.

BAB III

EVIDENCE BASED PRACTICE

1. Air way management

Semua pasien dengan luka bakar dilakukan penilaian awal (initial


assesment) terutama luka bakar bagaian atas yang meliputi kepala sampai dada
dan harus dilakukan tindakan sesuai tatalaksana Advanced trauma Life Support.
Diawali dengan penilaian :

Airway :

19
1. Anamnesa : terkurung dalam ruang tertutup berasap kita harus curiga
adanya trauma inhalasi. Ajak pasien bicara maka kita dapat mengetahui
adanya sumbatan jalan nafas (nafas stridor).
2. Objective : Lihat tanda klinis trauma inhalasi dengan :

Look :

a. Luka bakar pada wajah.


b. Alis dan bulu hidung terbakar.
c. Bibir, mukasa intraoral edema.
d. Lidah bengkak.
e. Jika ragu lakukan Laryngoscopy melihat tanda edema atau
hiperemis pada jalan nafas.

Listen : Suara berubah (hoarseness), wheezing (suara mengi), gargling (suara


seperti kumur-kumur).

Feel : penurunan atau tidak adanya aliran udara.

Tindakan : amankan jalan nafas.

 Absolute : C, D, E
 Relative : A, B > observation
 Jika ragu : pasang endotracheal tube atau inhalasi.

Intubasi dan Trakeostomi

Pilihan utama : intubasi. Bila intubasi gagal dilakukan :

1. Ganti ukuran ETT lebih kecil (mulai dari no.7 – 6,5/6)


2. Trakeostomi

Berbagai macam jenis endotracheal tube :

1. Endotracheal tube : defenitif airway


2. Nasotracheal tube

20
3. Laryngeal mask airway : digunakan jika ventilasi sungkup sulit dilakukan
dan merupakan teknik resusitasi jika intubasi gagal. Bukan proteksi
defenitif airway.
4. Double lumen airway : untuk blind intubation. Keuntungan : konversi ke
ETT dan relatif lebih mudah dibanding ETT. Kerugian : relatif lebih
mudah dibanding ETT, segera cari pertolongan defenitif airway secure.

Kontraindikasi : pasien dengan obstruksi jalan nafas sentral, reflex laringeal atau
refleks faringeal, tertelan benda asing.

Kondisi Darurat :

 Apabila sarana, prasarana, sumber daya manusia dan kompetensi tidak


tersedia/memadai yang bisa dilakukan.
 Posisiskan pasien ½ duduk, elevasi 30-45%, titrasi dan monitor cairan
ketat.

21
Gambar 3.1 Algoritma air way management

(UK sosiety air way management, 2015)

2. Breathing

Perhatikan adanya keracunan Copada pasien. Adanya tanda depressed


respiratory drive : depresi sitem saraf pusat akibat intoksikasi CO.

a. Penuruan usaha pernapasan : kelmahan dinding otot, kerusakan saraf


dan kordaspinalis, nyeri, dan fraktur tulang iga adaya eskar melingkar di
dinding dada.
b. Look :sianosis, gangguan penurunan kesadaran, tracheal tug, penggunaan
otot-otot aksesoris bantu nafas, gangguan pola nafas, gangguan laju
respirasi, simetris dan kedalam nafas, dan saturasi oksigen.
c. Listen :sesak nafas, tidak dapat berbicara, pernapasan berisik, saat perkusi
ditemukam redup, auskultasi suara napas tambahan.
d. Feel : pergerakan dan pengembangan dinding paru, adanya deviasi
trachea, krepitasi dan distensi abdominal.
e. ASSESMENT : Jika ada eskar melingkar di dinding dada maka lakukan
eskarotomi. Jika eskarotomi dilakukan, namun tidak ada perbaikan
pertimbangkan ventilasi mekanik (non-invasive possitive pressure
ventilation). Berikan oksigen 100% menggunakan non rebreathing face
mask 12-15 liter/menit
3. RESUSITASI CAIRAN
sangat penting pada pasien luka bakar untuk memenuhi kebutuhan cairan
ataupun resusitasi cairan luka bakar ada beberapa protocol america burn
assosiation 2015:
a. Cara Evans
Luas luka bakar (%) x BB (kg) menjadi mL NaCl per 24 jam
Luas luka bakar (%) x BB (kg) menjadi mL plasma per 24 jam
2.000 cc glukosa 5% per 24 jam

22
Separuh dari jumlah 1+2+3 diberikan dalam 8 jam pertama. Sisanya
diberikan dalam 16 jam berikutnya. Pada hari kedua diberikan setengah
jumlah cairan hari pertama.Pada hari ketiga diberikan setengah jumlah
cairan hari kedua.
b. Cara Baxter
Luas luka bakar (%) x BB (kg) x 4 mL Separuh dari jumlah cairan
diberikan dalam 8 jam pertama. Sisanya diberikan dalam 16 jam
berikutnya. Pada hari kedua diberikan setengah jumlah cairan hari
pertama.Pada hari ketiga diberikan setengah jumlah cairan hari kedua.

4. PENGUKURAN LUAS LUKA BAKAR


Gambar 3.2 role of nine

23
Gambar 3.3 Motode Palmar

Emegency Management of Severe Burns (EMSB). The Australian and New


Zealand burn association. 2013

2. PENILAIAN SEPSIS
Pada luka bakar sangat mungkin untuk terjadinya infeksi selama
perawatan di ruang intensif, deteksi dini sangat penting untuk mencegah
mortalitas semakin tinggi, salah satunya dengan kunggunakan instrumen sofa
score:
Gambar 1.2 Penilaian Sepsis

24
(Vincent, 2015)

BAB IV
PEMBAHASAN

A. Hasil observasi

25
Dari hasil observasi yang dilakukan di RSUP Sanglah bali ada beberapa hal yang
penting yang bisa menjadika reverensi untuk penanganan atau perawatan luka
bakar:

1. Di RSUP Sanglah memiliki alur atau pun penanganan cedera atau trauma
inhalasi akibat luka bakar, berikut guidelines tatalaksana trauma inhalasi di
RSUP Sanglah:
a. ANAMNESIS
Riwayat terbakar di ruang tertutup atau adanya ledakan bahan bakar
(bensin, gas), ledakan bom harus dicurigai adanya cedera inhalasi.
b. Pemeriksaan fisik

Airways
 Cek patensi jalan napas.
Jika jalan napas tidak paten, bersihkan jalan napas dari benda asing dan
buka jalan napas dengan manuever sederhana seperti chin lift/jaw
thrust.
• Evaluasi adanya tanda-tanda trauma inhalasi (misal : rambut terbakar, alis
terbakar, bulu mata terbakar, bulu hidung terbakar, sputum berjelaga, fish
mouth, suara serak, luka bakar perioral, batuk produktif).
• Pertimbangkan pemasangan alat bantu seperti oropharyngeal atau
nasopharyngeal airway. Bila alat bantu tidak berhasil, pertimbangkan
intubasi/ trakeostomi.
• Pertahankan pergerakan tulang belakang servikal seminimal mungkin dan
jangan pernah melakukan hiperfleksi atau hiperekstensi kepala dan leher,
dapat menggunakan collar sercikal atau imobilisasi manual.

26
• Inspeksi, palpasi, auskultasi dada
• Periksa cepat pernapasan, kedalaman, asimetri dan usaha pernapasan
• Pasang pulse oxymetri
• Berikan suplemental oksigen 100% aliran tinggi via sungkup non
breathing
• Perhatikan adanya luka bakar melingkar pada dada yang mungkin
membutuhkan escharotomi. Bila ada, segera lakukan escharotomi.
• Perhatikan tanda keracunan karbon monoksida yang membuat
penampakan ‘ceri merah muda’ yang mungkin tidak dikenali sebagai
hipoksia.
Kemudian juga Algoritma managemen air way yang di gunakan di RSUP
sanglah bali

2. Di RSUP Sanglah menerapkan beberapa perawatan atau membagi perawatan


pasien luka bakar sesuai fase luka bakar ( akut atau lanjut):
a. Fase akut
1. Luka bakar dicuci dengan menggunakan larutan chlorhexidine 0.1%
atau 0.2%. Apabila tidak tersedia, dapat menggunakan cairan normal
saline. Selama pembersihan penting untuk menggunakan alat-alat yang
steril dan sarung tangan steril. Dikondisikan lembab, diberikan tulle dan

27
silver sulfadiazin lalu ditutup dengan kassa steril dan dibalut dengan
elastic bandage. Jangan mengkonstriksi tungkai menggunakan balutan
yang ketat terutama pada ekstremitas yang dengan gangguan sirkulasi.
2. Setelah resusitasi cairan 24 jam, pasien diberikan cairan infus
maintenance sesuai dengan kebutuhan cairan per harinya.
3. Diberikan analgetik yang adekuat untuk penanganan nyeri luka bakar.
4. Diberikan antioxidant untuk mempercepat penyembuhan luka bakar.
5. Diberikan mucoprotektor : sucralfat, ranitidin atau omeprazole.
6. Diberikan nebulizer ventolin + bisolvon pada pasien yang dicurigai
cedera inhalasi atau dengan cedera inhalasi.
7. Pengambilan kultur dasar luka dapat dilakukan saat perawatan luka atau
saat operasi debridement atau excisi tangential dan skin graft.
8. Pengambilan kultur darah.
9. Lakukan penanganan bila ditemui kondisi dibawah ini
10. Anemia à dapat dilakukan transfusi PRC hingga Hb > 10 g/dL atau
pemberian SF oral.
11. Hipoalbumin (dilakukan transfusi Albumin 1 flash/ hari/ albumin oral
12. Hiponatremia à dapat dilakukan koreksi
13. Hipokalemia à dapat dilakukan koreksi
14. Jika terjadi kondisi yang memerlukan alat bantu napas, dilakukan intubasi
dan penggunaan ventilator mekanik.
15. Pada hari ke 3-5 paska kejadian, dilakukan debridement kalau perlu excisi
tangential dan penutupan defek dengan skin graft.
16. Jika tidak ada indikasi dilakukan debridement atau excisi tangential dan
skin graft, dapat dilakukan perawatan luka bakar bekerjasama dengan TS
APS untuk sedasi.
b. Fase lanjut
1. Perawatan dan evaluasi luka bakar dilakukan setiap tiga hari atau bila
balutan jenuh disesuaikan dengan kondisi luka.
2. Perawatan luka dilakukan bekerjasama dengan TS Anestesi untuk
pemberian sedasi .

28
3. Dilakukan operasi excisi tangential + skin graft jika ada luka bakar dermal
dalam dan luka bakar dengan seluruh ketebalan kulit.
4. Dilakukan kultur dasar luka (bahan diambil saat perawatan luka) dan
kultur darah sesuai dengan indikasi.
5. Fisioterapi jika pasien telah stabil. Chest fisioterapi dilakukan pada pasien
yang dicurigai cedera inhalasi atau dengan cedera inhalasi atau pada
pasien yang tirah baring lama. Untuk area yang dikerjakan skin graft,
fisioterapi dimulai hari ke 10-14 paska operasi.
6. Jika terjadi kondisi yang memerlukan alat bantu napas, dilakukan intubasi
dan penggunaan ventilator mekanik.
7. Lakukan penanganan bila ditemui kondisi dibawah ini
8. Anemia à dapat dilakukan transfusi PRC hingga Hb > 10 g/dL atau
pemberian SF oral.
9. Hipoalbumin (Alb < 2,5)à dilakukan transfusi Albumin 1 flash/ hari.
10. Hipoalbumin (Alb 2,5-3,5) à diberikan vipalbumin
11. Hiponatremia à dapat dilakukan koreksi
12. Hipokalemia à dapat dilakukan koreksi
13. Waspadai tanda dan gejala sepsis. Jika terdapat tanda dan gejala sepsis,
cari tau sumber infeksi, atasi sumber infeksi, pemberian antibiotika sesuai
hasil kultur atau jika hasil kultur belum keluar dapat diberikan antibiotik
empiris.
3. Untuk mewaspadai maningkatnya mortalitas akibat infeksi RSUP sanglah
menggunakan sistem SOFA score seperti item di atas, hal tersebut untuk
memantau secara intensive perkembangan kaitanya dengan infeksi selama
perawatan dan menentukan tindakan selanjutnya terkait infeksi pasien
tersebut.
4. Kemuadian untuk perhitungan luas luka bakar di rumah sakit Sanglah
menggunakan 2 furmula yaitu role of nine dan palmar. Palmar digunakan
untuk luka bakar yang luas sehingga mempermudah pengukuran luas luka
bakar.
B. Pembahasan

29
1. Untuk menagemen jalan nafas di rumah sakit sanglah sudah sesuai evidance
based yang ada di karenakan tersedianya sumber daya manusia dan alat
sehingga semua guide lines yang ada bisa dilaksanakan sebagai contoh dokter
anastesi dan bedah selalu standbay dan sudah tersedia ruang bedah khusus
sehingga jika sewaktu waktu pasien memerlukan tindakan pembebasan jalan
nafas secara operative dapat dilaksanakan sesegera mungkin dan menurunkan
angka mortalitas atau kematian abikat gangguan pada jalan nafas. Tetapi di
beberapa rumah sakit belum berjalan karena kurangnya SDM dan alat
sehingga otomatis guide lines air way management tidak terlaksana dalam
waktu yang singkat dan tepat sehingga mortalitas pasien juga semakir
meningkat.

2. Kemudian untuk perawatan luka bakar di SRUP sanglah di bagi menjadi 2


fase dan berkesinambungan tetapi untuk di rumah sakit lain blm bisa
terlaksana karena terkendala blm semua rumah sakit memiliki dokter bedah
plastik dan sumber daya lain yang mumpuni untuk melakukan perawatan
seperti di RS Sanglah bali sebagai contoh pemberian sedasi untuk pasien yang
akan di lakukan GV yang di berikan oleh dokter anestesi tetapi banyak
rumah sakit yang blm memiliki SDM yang cukup sehingga dokter anestesi
tidak standbay.

3. Untuk penanganan iinfeksi RSUP Sanglah telah menggunakan instrumen


moderen yang berupa SOFA SCORE tetapi untuk di terapkan di rumah sakit
lain belum dapat di terapkan karena membutuhkan alat alat canggih seperti
alat AGD dan setiap rumah sakitpun belum tentu ada alat AGD sehingga
istrumen tersebut tidak dapat digunakan akibatnya pementauan infeksi pasien
akan kurang efektif sehingga meningkatkan angka terjadinya sepsis dan
meningkatkan angka mortalitas pasien.

4. Penilaian luka bakar secara cepat dan tepat adalah kunci penangan awal luka
bakar sehingga rumah sakit Sanglah membuat SOP menggunakan role of nine
dan palmar secara kombinasi untuk mempercepat penilaian dan agar lebih

30
efektif tetapi jika di terapkan di rumah sakit lain belum tentu bisa berjalan
karena kurangnya perawat yang ahli atau kompeten di bidang luka bakar atau
perawat khusus menangani luka bakar sehingga hanya meng hitung luas luka
bakar akan memakan waktu yang lama.

BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Luka bakar merupakan respons kulit dan jaringan subkutan
terhadap trauma suhu atau termal. Luka bakar dengan ketebalan parsial
merupakan luka bakar yang tidak merusak epitel kulit maupun hanya
merusak sebagian dari epitel. Biasanya dapat pulih dengan penanganan
konservatif. Luka bakar dengan ketebalan penuh merusak semua sumber-
sumber pertumbuhan kembali epitel kulit dan bisa membutuhkan eksisi

31
dan cangkok kulit jika luas (Grace P.A & Neil, 2006). Luka bakar adalah
suatu bentuk kerusakan atau kehilangan jaringan yang disebabkan kontak
dengan sumber panas seperti api, air panas, bahan kimia, listrik, dan
radiasi (Hardisman, 2014).
B. Implikasi dalam keperawatan
1. Sebagai rujukan atau referensi untuk memberikan perawatan kepada
pasien secara holistik dan komperhensif
2. sebagai masukan cara penanganan luka bakar secara moderen
3. memberikan khasanah ilmu untuk institusi pendidikan untuk
menambah wawasan tentang luka bakar.

32
American Burn Association-Advanced Burn Life Support Course. 2015.
American Burn Association - Advanced Burn Life Support Course –
Provider Manual 2011. American Burn Association: p. 41 – 49.

Baughman, C. Diane & Hackley JoAnn,2010, Keperawatan Medikal bedah


Buku Saku untuk Brunner dan Suddarth, Edisi 1, Alih bahasa :
Yasmin Asih, Editor Monica Ester, Jakarta : EGC

33
Chang K, Ma H, Liao W, Lee C, Lin C, Chen C. The optimal time forearly
burn wound excision to reduce pro-inflammatory cytokine production
in a murine burn injury model. Burns 2010;36:1059-66.

Emegency Management of Severe Burns (EMSB). The Australian and New


Zealand burn association. 2013

et al. Operative wound management. In: Herndon DN, editor. Total burn
care. 4th ed. USA: Elsevier Saunders; 2012. p. 157-61.

Grace A. Pierce, Borley R. Nier. (2011). Ata Glace Ilmu Bedah Edisi 3. Pt
Gelora Aksara Pratama Jackson, D. (2014). Keperawatan Medikal
Bedah edisi 1. Yogyakarta, Rapha Pubising

Morgan GE, Mikhail SM, Murray JM. Airway management. Dalam:

Clinical Anesthesiology. Edisi Keempat. New York: McGraw-HillCompany;


2013.

Rahayuningsih, T., 2012, Penatalaksanaan Luka Bakar (Combustio),Jurnal Profesi


Volume 08/Februari-September 2012

Vincent JL, Moreno R, Takala J, Willatts S, Mendonca D, et al., 1998. Use of the
SOFA Score to Assess the Incidence of Organ Dysfunction/Failure in
Intensive Care Units: Results of a Multicenter, Prospective Study, Crit
Care Med., 26, p: 1793-800.

lampiran

34

Anda mungkin juga menyukai