Anda di halaman 1dari 23

LITERATURE REVIEW

ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF


KRONIS (PPOK)

HALAMAN COVER
Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Keperawatan Medikal Bedah I Prodi D3
Keperawatan Fakultas Keperawatan Universitas Jember Kampus Lumajang

Oleh :

1. Risma Wahyu Khandidah 182303101021


2. Retri Adinda K. I. 182303101002
3. Dharmayanti Putri Jaladri 182303101018
4. Qori’atur Rohimah 182303101033
5. Maharani Cahyo Putri 182303101027

PRODI D3 KEPERAWATAN KAMPUS LUMAJANG


FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS JEMBER
2019
LEMBAR PENGESAHAN

LAPORAN INI TELAH DISAHKAN PADA


TANGGAL ................................. 2019

FASILITATOR

Ns. SYAIFUDDIN KURNIANTO, M.Kep


NRP 760017253

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN COVER .................................................................................................................. i

LEMBAR PENGESAHAN ........................................................................................................ii

DAFTAR ISI .............................................................................................................................iii

DAFTAR GAMBAR ................................................................................................................. iv

DAFTAR TABEL ...................................................................................................................... v

KONSEP PENYAKIT ................................................................................................................ 1

A. Definisi ............................................................................................................................ 1

B. Etiologi ............................................................................................................................ 1

C. Patofisiologi dan Pathway ............................................................................................... 3

D. Manifestasi Klinis ............................................................................................................ 5

E. Pemeriksaan Penunjang ................................................................................................... 6

F. Penatalaksanaan ............................................................................................................... 7

G. Komplikasi ...................................................................................................................... 9

KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN ................................................................................. 10

A. Pengkajian ..................................................................................................................... 10

B. Prioritas Masalah Keperawatan (Sesuai dengan Pathway) ........................................... 14

C. Intervensi Keperawatan ................................................................................................. 14

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................... 18

iii
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1 Pathway PPOK .......................................................................................................... 4

iv
DAFTAR TABEL

Tabel 1 Klasifikasi tingkat keparahan GOLD berdasarkan hasil pengukuran spirometri .Error!
Bookmark not defined.
Tabel 2 Rencana Tindakan Gangguan Pertukaran Gas ............ Error! Bookmark not defined.
Tabel 3 Rencana Tindakan Ketidakefektifan Bersihan Jalan Nafas........ Error! Bookmark not
defined.

v
KONSEP PENYAKIT

A. Definisi
Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) adalah penyakit paru kronik yang ditandai
dengan hambatan aliran udara di saluran nafas yang tidak sepenuhnya reversibel, progresif
dan berhubungan dengan respons inflamasi yang abnormal terhadap partikel dan gas
berbahaya (Abidin, 2016 dalam Nabella, 2018).
PPOK adalah nama yang diberikan untuk gangguan ketika dua penyakit paru terjadi
pada waktu bersamaan yaitu bronkitis kronis dan emfisema. Asma kronis yang
dikombinasikan dengan emfisema atau bronkitis juga dapat menyebabkan PPOK (Hurst,
2016).

B. Etiologi
Faktor-faktor yang menyebabkan Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) diantaranya :
a. Pajanan dari partikel, terdiri dari :
1. Merokok : Pada tahun 1964, Advisor Committee dari Surgeon General of the United
States menyimpulkan bahwa merokok merupakan faktor resiko utama kematian akibat
bronkitis kronis dan emfisema. Hubungan dosis-respons antara penurunan fungsi paru dan
intensitas merokok ini menjadi penyebab lebih tingginya prevalensi PPOK seiring dengan
bertambahnya usia. Walaupun menghisap cerutu dan menggunakan rokok pipa juga
mungkin berkaitan dengan timbulnya PPOK, bukti yang menunjang keterkaitan ini tidak
terlalu kuat , mungkin karena lebih rendahnya dosis tembakau yang terhirup sewaktu
menghisap cerutu atau menggunakan rokok pipa . janin dan mempengaruhi pertumbuhan
paru-parunya (Oemiati, 2013).
Komponen-komponen asap rokok juga merangsang terjadinya peradangan kronik
pada paru. Mediator-mediator peradangan secara progresif merusak struktur-struktur
penunjang di paru. Akibat hilangnya elastisitas saluran udara dan kolapsnya alveolus,
maka ventilasi berkurang (Rahmadi, 2015).
2. Pajanan di Tempat Kerja : Meningkatnya gejala pernafasan dan obstruksi aliran
udara telah dikemukakan sebagai dari pajanan debu dan asap di tempat kerja. Beberapa
pajanan tertentu di tepat kerja seperti tambang batubara, tambang emas, dan debu tekstil
katun, diduga merupakan faktor risiko abstruksi kronis aliran udara. Penelitian baru-baru
ini menemukan bahwa pajanan debu tambang batubara merupakan faktor risiko signifikan
untuk emfisema baik bagi perokok maupun bukan perokok (Lestari, 2015)
1
3. Polusi Udara Lingkungan : Beberapa peniliti melaporkan peningkatkan gejala
pernafaan pada mereka yang tinggal di perkotaan dibandingkan pedesaan, yang
disebabkan oleh meningkatnya polusi di perkotaan. Namun, hubungan polusi udara
dengan obstruksi kronis aliran udara masih belum terbukti. Pajanan berkepanjangan ke
asap yang dihasilkan oleh pembakaran biomassa suatu cara memasak yang banyak
dilakukan di beberapa negara juga tampaknya menjadi faktor resiko signifikan PPOK
pada wanita (Lestari, 2015)
b. Genetik
Faktor Genetik : Meskipun merokok adalah faktor risiko lingkungan yang utama untuk
timbulnya PPOK, terjadinya obstruksi aliran udara pada perokok sangatlah bervariasi.
Defisiensi Alpha 1-antitrypsin terbukti merupakan faktor resiko genetik PPOK; semakin
banyak bukti yang menyatakan keterlibatan determinan genetik lainnya (Lestari, 2015)
a. Defisiensi Alpha 1-antitrypsin : Walaupun sangat jarang, ada beberapa orang yang
mewarisi alel nol melelui koneksi heterogen mutasi, yang menyebabkan tidak
terbentunya Alpha 1-antitrypsin sama sekali, disebut Piz, yaitu bentuk tersering
defisiensi Alpha 1-antitrypsin berat. Pasien-pasien ini memperlihatkan bahwa faktor
genetik dapat berpengaruh besar pada kerentanan untuk mengidap PPOK. Perokok
dengan defisiensi berat Alpha 1-antitrypsin lebih besar kemungkinan mengalami PPOK
pada usia dini. Asma dan jenis kelamin pria tampaknya meningkatkan risiko PPOK pada
orang-orang Piz.
b. Faktor risiko genetik lainnya : Studi-studi tentang pengukuran fungsi paru yang
dilakukan pada sampel populasi umu memberi pendapat bahwa faktor genetik di luar tipe
PI memengaruhi variasi dalam fungsi paru juga dijumpai agregasi familial pada obstruksi
aliran udara di dalam keluarga pasien PPOK.
c. Riwayat infeksi saluran nafas berulang
Infeksi Pernafasan : Dampak penyakit pernafasan masa anak pada terjadinya PPOK di
masa mendatang sulit dinilai karena kurangnya data longitudinal yang adekuat. Karena
itu, meskipun infeksi pernafasan merupakan penyebab penting eksaserbasi PPOK,
keterkaitan antara infeksi pernafasan , baik pada dewasa maupun anak, dan terjadinya
PPOK masih perlu dibuktikan (Lestari, 2015)
d. Usia.
Usia : Fungsi paru mengalami kemunduran dengan datangnya usia yang disebabkan
elastisitas jaringan paru dan dinding dada makin berkurang. Dalam usia yang lebih lanjut,
kekuatan kontraksi otot pernapasan dapat berkurang sehingga sulit bernafas.
2
e. Faktor lain.
Faktor Lain : Adanya keadaan pemicu (tertawa, stress, menangis), olahraga, perubahan
suhu dan bau-bau menyengat (Dosen Keperawatan Medikal Bedah Indonesia, 2017).
Keadaan ini merupakan pencetus kekambuhan pada pasien asma. Pada laporan “The
Tucso Epidemiological Study” didapatkan bahwa orang dengan asma 12 kali lebih tinggi
risiko terkena PPOK daripada bukan asma meskipun telah berhenti merokok. Penelitian
lain 20% dari asma akan berkembang menjadi PPOK dengan ditemukannya obstruksi
jalan nafas irreversibel (PDPI, 2011).

C. Patofisiologi dan Pathway


1. Patofisiologi
Hambatan aliran udara merupakan perubahan fisiologi utama pada PPOK yang
diakibatkan oleh adanya perubahan yang khas pada saluran nafas bagian proksimal,
perifer, parenkim dan vaskularisasi paru yang dikarenakan adanya suatu inflamasi yang
kronik dan perubahan struktural pada paru. Terjadinya peningkatan penebalan pada
saluran nafas kecil dengan peningkatan formasi folikel limfoid dan deposisi kolagen
dalam dinding luar saluran nafas mengakibatkan restriksi pembukaan jalan nafas. Lumen
saluran nafas kecil berkurang akibat penebalan mukosa yang mengandung eksudat
inflamasi, yang meningkat sesuai berat sakit
Dalam keadaan normal radikal bebas dan antioksidan berada dalam keadaan
seimbang. Apabila terjadi gangguan keseimbangan maka akan terjadi kerusakan di paru.
Radikal bebas mempunyai peranan besar menimbulkan kerusakan sel dan menjadi dasar
dari berbagai macam penyakit paru. Pengaruh gas polutan dapat menyebabkan stress
oksidan, selanjutnya akan menyebabkan terjadinya peroksidasi lipid. Peroksidasi lipid
selanjutnya akan menimbulkan kerusakan sel dan inflamasi. Proses inflamasi akan
mengaktifkan sel makrofag alveolar, aktivasi sel tersebut akan menyebabkan
dilepaskannya faktor kemotaktik neutrofil seperti interleukin 8 dan leukotrien B4, tumuor
necrosis factor (TNF), monocyte chemotactic peptide (MCP)-1 dan reactive oxygen
species (ROS). Faktor-faktor tersebut akan merangsang neutrofil melepaskan protease
yang akan merusak jaringan ikat parenkim paru sehingga timbul kerusakan dinding
alveolar dan hipersekresi mukus. Rangsangan sel epitel akan menyebabkan dilepaskannya
limfosit CD 8, selanjutnya terjadi kerusakan seperti proses inflamasi. Pada keadaan
normal terdapat keseimbangan antara oksidan dan antioksidan. Penurunan fungsi paru
terjadi sekunder setelah perubahan struktur saluran nafas. Kerusakan struktur berupa

3
destruksi alveoli yang menuju ke arah emfisema karena produksi radikal bebas yang
berlebihan oleh leukosit dan polusi juga asap rokok (Khairani, 2013 dalam Astika &
Fahlevie, 2017)

2. Pathway
Gambar 1 Pathway PPOK

Idiopatik

Faktor Risiko : Merokok, pajanan di


tempat kerja, polusi udara
Reaksi Inflamasi lingkungan, genetik, riwayat infeksi
saluran nafas berulang, usia, faktor
lain.

Bronkus Parenkim

Perubahan
struktur jaringan

Obstruksi

Progresif Berulang

Lama

PPOK

4
D. Manifestasi Klinis
Dyspnea d’effort (dispneu saat beraktivitas), Dyspneu d’effort, yang sering
diungkapkan pasien sebagai peningkatan upaya bernapas, rasa berat, kehabisan napas,
atau terengah-engah, dapat muncul perlahan-lahan. Aktivitas yang melibatkan kerja
lengan berat, terutama setinggi bahu atau keatas, akan sulit bagi pasien PPOK.
Sebaliknya, aktivitas yang memungkinkan pasien mengistirahatkan lengan dan
menggunakan otot-otot bantu napas dapat ditoleransi lebih baik. Contohnya mendorong
kereta belanjaan, berjalan di treadmill. Seiring dengan memburuknya PPOK gambaran
yang utama ditemukan adalah dyspneu d’effort yang memberat disertai bertambah sulitnya
pasien melakukan aktivitas keterampilan. Pada stadium paling lanjut, pasien mengalami
sesak saat melakukan aktivitas sehari-hari. Meskipun obstruksi aliran udara merupakan
proses yang gradual, banyak pasien yang mengalami awitan penyakit dalam bentuk
kondisi akut atau eksaserbasi akut (Lestari, 2015).
Orang dengan PPOK terkadang mengalami gagal pernafasan. Ketika ini terjadi,
sianosis, perubahan warna kebiruan pada bibir yang disebabkan oleh kekurangan oksigen
dalam darah, bisa terjadi. Kelebihan karbon dioksida dalam darah dapat menyebabkan
sakit kepala, mengantuk atau kedutan (asterixis). Salah satu komplikasi dari PPOK parah
adalah cor pulmonale, kejang pada jantung karena pekerjaan tambahan yang diperlukan
oleh jantung untuk memompa darah melalui paru-paru yang terkena dampak (Putra &
Artika, 2015).
Tanda dan gejala penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) adalah sebagai berikut
(Douglas, 2004 dalam Dianasari, 2014):
a. Kelemahan Badan.
b. Batuk.
c. Sesak nafas.
d. Sesak nafas saat aktivitas dan nafas berbunyi.
e. Mengi atau wheeze.
f. Ekspirasi yang memanjang.
g. Bentuk dada tong (Barrel Chest) pada penyakit lanjut.
h. Penggunaan otot bantu pernapasan.
i. Suara nafas melemah.
j. Kadang ditemukan pernapasan paradoksal.
k. Edema kaki, asites dan jari tabuh.

5
Klasifikasi derajat PPOK menurut Global initiative for chronic Obstructif Lung Disease
(GOLD) (2011) dalam Rahmadi (2015).
a. Derajat I (PPOK Ringan).
Gejala batuk kronik dan produksi sputum ada tetapi tidak sering. Pada derajat ini
pasien sering tidak menyadari bahwa menderita PPOK.
b. Derajat II (PPOK Sedang).
Gejala sesak mulai dirasakan saat aktivitas dan kadang ditemukan gejala batuk dan
produksi sputum. Pada derajat ini biasanya pasien mulai memeriksakan kesehatannya.
c. Derajat III (PPOK Berat).
Gejala sesak lebih berat, penurunan aktivitas, rasa lelah dan serangan eksaserbasi
semakin sering dan berdampak pada kualitas hidup pasien.
d. Derajat IV (PPOK Sangat Berat).
Gejala di atas ditambah tanda-tanda gagal nafas atau gagal jantung kanan dan
ketergantungan oksigen. Pada derajat ini kualitas hidup pasien memburuk dan jika
eksaserbasi dapat mengancam jiwa biasanya disertai gagal nafas kronik.

E. Pemeriksaan Penunjang
a. Spirometri : Spirometri merupakan pemeriksaan penunjang yang definitif yang
digunakan untuk mendiagnosis pasien PPOK, dimana hasil darri pengukuran FEV / FVC
<0,7.
b. Analisis Gas Darah : Digunakan untuk mengetahui kadar pH dalam darah.
c. Radiografi : Dilakukan untuk membantu menentukan diagnosis PPOK.
d. Computed Tomography : Dilakukan untuk melihat adanya emfisema pada alveoli.

Klasifikasi PPOK berdasarkan hasil pengukuran FEV dan FVC dengan spirometri setelah
pemberian bronkodilator dibagi menjadi GOLD 1, 2, 3, dan 4. Pengukuran spirometri
harus memenuhi kapasitas udara yang dikeluarkan secara paksa dari titik inspirasi
maksimal (Forced Vital Capacity (FVC)). Kapasitas udara yang dikeluarkan pada detik
pertama (Forced Expiratory Volume in one secon (FEC)) dan rasio FEV1/FVC. Pada
tabel berikut diperlihatkan klasifikasi tingkat keparahan keterbatasan aliran udara pada
pasien dengan PPOK.

6
Tabel 1 Klasifikasi tingkat keparahan GOLD berdasarkan hasil pengukuran spirometri
Pada pasien dengan FEV/FVC<0,7
GOLD 1 Ringan FEV ≥ 80% prediksi
GOLD 2 Sedang 50% ≤ FEV1 < 80% prediksi
GOLD 3 Berat 30% ≤ FEV1 < 50% prediksi
GOLD 4 Sangat Berat FEV1 < 30% prediksi
(Astika & Fahlevie, 2017)
F. Penatalaksanaan
1. Non Farmakologi
a. Berhenti Merokok : Telah terbukti bahwa perokok berusia paruh baya yang mampu
berhenti merokok total akan mengalami perbaikan signifikan laju penurunan fungsi paru,
kembali ke perubahan tahunan yang serupa dengan bukan perokok. Semua pasien PPOK
harus didesak dengan keras untuk berhenti merokok dan diedukasi tentang manfaatnya.
Makin banyak bukti yang menunjukan bahwa kombinasi farmakoterapi dengan
pendekatan suportif tradisional sangat meningkatkan kemungkinan keberhasilan berhenti
merokok. Terdapat 3 pendekatan farmakologis utama masalah ini : buproprion, yang
semula dikembangkan sebagai obat antidepresan; terapi sulih nikotin yang tersedia dalam
bentuk permen karet, transdermal patch, inhalasi dan semprot hidung ; dan vareniklin,
suatu agonis/antagonis reseptor asam nikotinat Rekomendai dari US Surgeon General,
semua perokok dewasa yang tidak hamil dan mempertimbangkan untuk berhenti
merokok perlu ditawarkan farmakoterapi selama tidak ada kontraindikasi (Lestari, 2015).
b. Rehabilitasi Paru : Hal ini merujuk pada program pengobatan yang mengikutsertakan
edukasi dan pengondisian kardiovaskuler. Pada PPOK, rehabilitasi paru terbukti
memperbaiki kualitas hidup terkait kesehatan, dispneu dan kemampuan olahraga serta
terbukti mengurangi angka rawat inap selama periode 6-12 bulan (Lestari, 2015).
c. Oksigen : Suplementasi oksigen merupakan terapi farmakologis yang terbukti mampu
menurunkan angka kematian pasien PPOK. Pasien yang memenuhi kriteria ini perlu
diberi suplementasi oksigen kontinu karena manfaat terhadap mortalitas setara dengan
jumlah jam penggunaan oksigen per hari (Lestari, 2015).
d. Nutrisi : Malnutrisi sering terjadi pada PPOK, kemungkinan karena bertambahnya
kebutuhan energi akibat kerja muskulus respirasi yang meningkat karena hipoksemia
kronik dan hiperkapni menyebabkan terjadi hipermetabolisme. Kondisi malnutrisi akan

7
menambah mortaliti PPOK karena berkorelasi dengan derajat penurunan fungsi paru dan
perubahan analisis gas darah (PDPI, 2011)
2. Farmakologi
a. Bronkodilator : Diberikan secara tunggal atau kombinasi dari ketiga jenis
bronkodilator dan disesuaikan dengan klasifikasi derajat berat penyakit. Pemilihan bentuk
obat diutamakan inhalasi, nebuliser tidak dianjurkan pada penggunaan jangka panjang.
Pada derajat berat diutamakan pemberian obat lepas lambat (slow release) atau obat
berefek panjang (long acting).
Macam-macam bronkodilator :
1. Golongan antikolinergik
Digunakan pada derajat ringan sampai berat, disamping sebagai bronkodilator juga
mengurangi sekresi lendir.
2. Golongan agonis β-2
Bentuk inhaler digunakan untuk mengatasi sesak, peningkatan jumlah penggunaan
dapat sebagai monitor timbulnya eksaserbasi. Sebagai obat pemeliharaan sebaiknya
digunakan bentuk tablet yang berefek panjang. Bentuk nebuliser dapat digunakan
untuk mengatasi eksaserbasi akut, tidak dianjurkan untuk penggunaan jangka panjang.
Bentuk injeksi subkutan atau drip untuk mengatasi eksaserbasi berat.
3. Kombinasi antikolinergik dan agonis β-2
Kombinasi kedua golongan obat ini akan memperkuat efek bronkodilatasi, karena
keduanya mempunyai tempat kerja yang berbeda. Disamping itu penggunaan obat
kombinasi lebih sederhana dan mempermudah penderita.
4. Golongan xantin
Dalam bentuk lepas lambat sebagai pengobatan pemeliharaan jangka panjang,
terutama pada derajat sedang dan berat. Bentuk tablet biasa atau puyer untuk
mengatasi sesak (pelega nafas), bentuk suntikan bolus atau drip untuk mengatasi
eksaserbasi akut. (Susanti, 2015)
b. Perawatan medis umum : pasien PPOK perlu mendapat vaksinasi influenza setiap
tahun. Vaksin pneumokokos polivalen juga dianjurkan meskipun bukti evikasi terhadap
populasi ini masih belum pasti (Lestari, 2015).
c. Bedah Reduksi Volume Paru (Lung volume Reduction Surgery, LVRS) :
pembedahan untuk mengurangi volume paru pada pasien emfisema pertama kali
diperkenalkan dengan keberhasilan minimal pada tahun 1950an dan diperkenalkan
kembali pada tahun 1990an. Pasien dieklusi jika diketahui mengidap penyakit pleura
8
yang signifikan, tekanan sistolik arteri pulmonalis ›45 mmHg, penurunan kebugaran yang
ekstrem, gagal jantung kongestif. Pasien dengan FEV ‹20% prediksi dan yang memiliki
emfisema difus ada CT scan/kapasitas difusi paru untuk karbon manoksidanya prediksi
memiliki resiko kematian lebih tinggi dank arena itu bukan kandidat untuk prosedur ini.
(Lestari, 2015).

G. Komplikasi
a. Hipoksemia : Hipoksemia adalah penurunan nilai PaO2 < 55 mmhg dengan nilai
saturasi oksigen < 85%. Pada awalnya klien akan mengalami perubahan mood, penurunan
konsentasi dan menjadi pelupa. Pada tahap lanjut akan timbul sianosis. (Somantri, 2012)
b. Asidosis Respiratori : Timbul akibat dari peningkatan nilai PaCO2 [hiperkapnea].
Tanda yang muncul antara lain yeri kepala , atigue, letargi, dizzines dan takipnea.
(Somantri, 2012)
c. Infeksi respiratori : Infeksi pernafasan akut disebabkan karena peningkatan produksi
mukus dan rangsangan otot polos bronkial serta edema mukosa. Terbatasnya aliran udara
akan menyebabkan peningkatan kerja napas dan timbunya dispnea. (Somantri, 2012)
d. Gagal jantung : Terutama kor pulmonal [gagal jantung kanan akibat penyakit paru],
harus diobservasi terutama pada klien dengn dispnea berat. Komplikasi ini sring kali
berhubungan dengan bronkitis kronis, tetapi klien dengan emfisema berat juga dapat
mengalami masalah ini. (Somantri, 2012)
e. Kardiak disritmia : Timbul karena hipoksemia, penyakit jantung lain, efek obat atau
asidosis respiratori. (Somantri, 2012)
f. Status Asmatikus : Merupakankomplikasi mayor yang berhubungan dengan asma
bronkial. Penyakit ini sangat berat, potensial mengancam kehidupan. Dan sering kali tidak
berspons terhadap terapi yang diberikan. Penggunaan otot bantu pernaasan dan distrnsi
vena leher sering kali terlihat pada klien dengan asma. (Somantri, 2012)

9
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN

A. Pengkajian
a. Anamnesa.
1) Identitas Pasien.
PPOK seringkali timbul pada usia pertengahan atau usia diatas 40 tahun (PDPI,
2011). Hal ini bisa dihubungkan bahwa terdapat penurunan fungsi respirasi pada usia
diatas 40 tahun (Oemiati, 2013). PPOK ini sering menyerang laki-laki dari pada
perempuan, hal ini dikarenakan adanya faktor merokok dan tempat pekerjaan yang
mengandung banyak polusi udara (Yulianawati, 2013). Akan tetapi, dengan meningkatnya
jumlah perokok perempuan, prevalensi PPOK pada perempuan meningkat (Harrison,
2015).
2) Keluhan utama
Keluhan yang sering dikeluhkan pada orang yang mengalami Penyakit Paru
Obstruktif Kronik (PPOK) adalah sesak, batuk kering atau dengan dahak yang produktif,
nyeri dada, kesulitan bernafas, demam, terjadinya kelemahan (Rohmad Walid, 2009
dalam Rahayu, 2016).
3) Riwayat kesehatan sekarang
Dikembangkan dari keluhan utama, yaitu pasien biasanya mengeluh sesak nafas
ketika melakukan aktivitas dan berkurang saat istirahat, tetapi pada keadaan parah sesak
tidak berkurang meskipun pada kondisi istirahat. Pasien juga akan mengatakan bahwa
sesaknya disertai batuk, baik kering maupun adanya dahak yang produktif dan pasien akan
mengalami kelelahan dengan cepat (Rohmad dan walid, 2009 dalam Rahayu, 2016)
4) Riwayat Kesehatan Masa Lalu
Riwayat penyakit yang diderita pasien yang berhubungan dengan penyakit saat ini
atau penyakit yang mungkin dapat dipengaruhi atau memengaruhi penyakit yang diderita
pasien saat ini (Rohman dan walid, 2009 dalam Rahayu, 2016). Riwayat penyakit dahulu
merupakan faktor pencetus timbulnya PPOK, seperti: Infeksi saluran nafas, adanya
riwayat alergi, lama penggunaan obat-obatan sebelumnya misalnya bronkodilator atau
mukolitik, riwayat Asma ataupun ada faktor keturunan terhadap alergi (Wahid, 2013)
5) Riwayat kesehatan keluarga
Riwayat kesehatan keluarga dihubungkan dengan kemungkinan adanya penyakit
keturunan, kecenderungan alergi dalam satu keluarga, penyakit yang menular akibat

10
kontak langsung antara anggota keluarga (Rohman dan Walid, 2009 dalam Rahayu,
2016).
6) Pola Fungsi Kesehatan.
Pola fungsi kesehatan yang dapat dikaji pada pasien dengan PPOK menurut (Wahid,
2013) adalah sebagai berikut:
a) Pola Nutrisi dan Metabolik.
Gejala: Mual dan muntah, nafsu makan menurun, ketidakmampuan untuk makan,
penurunan atau peningkatan berat badan.
Tanda: Turgor kulit >2 detik, edema dependen, berkeringat.
b) Aktivitas/Istirahat.
Gejala: Keletihan, kelelahan, malaise, ketidakmampuan sehari-hari, ketidakmampuan
untuk tidur, dispnea pada saat aktivitas atau istirahat.
Tanda: Keletihan, gelisah, insomnia, kelemahan umum/kehilangan massa otot.
c) Sirkulasi.
Gejala: pembengkakan pada ekstremitas bawah.
Tanda: Peningkatan tekanan darah, peningkatan frekuensi jantung/takikardi berat,
distensi vena leher, edema dependent, bunyi jantung redup, warna kulit/membran
mukosa normal/cyanosis, pucat, dapat menunjukkan anemia.
d) Integritas Ego.
Gejala: peningkatan faktor resiko, dan perubahan pola hidup.
Tanda: Ansietas, ketakutan, peka rangsangan.
e) Hygiene.
Gejala: Penurunan kemampuan untuk memenuhi kebutuhan hygiene.
Tanda: Kebersihan buruk, bau badan.
f) Pernapasan.
Gejala: Batuk menetap dengan atau tanpa produksi sputum selama minimum 3 bulan
berturut-turut tiap tahun sedikitnya 2 tahun, episode batuk hilang timbul.
Tanda: pernapasan bisa cepat, penggunaan otot bantu pernapasan, bentuk dada barel
chest atau normo chest, gerakan diafragma minimal, bunyi nafas ronchi, perkusi
hypersonan pada area paru, warna pucat dengan sianosis bibir dan kuku, abu-abu
keseluruhan.
g) Keamanan.
Gejala: riwayat reaksi alergi terhadap zat/faktor lingkungan, adanya/berulangnya
infeksi.
11
h) Seksualitas.
Gejala: Penurunan libido
i) Interaksi Sosial.
Gejala: hubungan ketergantungan, kegagalan dukungan terhadap pasangan/orang
terdekat, ketidakmampuan membaik karena penyakit lama.
Tanda: ketidakmampuan untuk mempertahankan suara karena disstres pernapasan,
keterbatasan mobilitas fisik, kelalaian hubungan dengan anggota keluarga lain.
b. Pemeriksaan Fisik.
Pemeriksaan Fisik yang dapat dilakukan pada pasien dengan PPOK menurut (Wahid,
2013) adalah sebagai berikut:
1) Pernapasan.
a) Inspeksi.
Terlihat adanya peningkatan usaha dan frekuensi pernafasan serta penggunaan otot bantu
nafas. Bentuk dada barrel chest (akibat udara yang tertangkap) atau bisa juga normo
chest, penipisan massa otot, dan pernapasan dengan bibir dirapatkan. Pernapasan
abnormal tidak fektif dan penggunaan otot-otot bantu nafas (sternocleidomastoideus).
Pada tahap lanjut, dispnea terjadi saat aktivitas bahkan pada aktivitas kehidupan sehari-
hari seperti makan dan mandi. Pengkajian batuk produktif dengan sputum purulen
disertai demam mengindikasikan adanya tanda pertama infeksi pernafasan.
b) Palpasi.
Pada palpasi, ekspansi meningkat dan taktil fremitus biasanya menurun.
c) Perkusi.
Pada perkusi didapatkan suara normal sampai hiper sonor sedangkan diafrgama menurun.
d) Auskultasi.
Sering didapatkan adanya bunyi nafas ronchi dan wheezing sesuai tingkat beratnya
obstruktif pada bronkiolus. Pada pengkajian lain, didapatkan kadar oksigen yang rendah
(hipoksemia) dan kadar karbondioksida yang tinggi (hiperkapnea) terjadi pada tahap
lanjut penyakit. Pada waktunya, bahkan gerakan ringan sekalipun seperti membungkuk
untuk mengikat tali sepatu, mengakibatkan dispnea dan keletihan (dispnea eksersorial).
Paru yang mengalami emfisematosa tidak berkontraksi saat ekspirasi dan bronkiolus
tidak dikosongkan secara efektif dari sekresi yang dihasilkannya. Pasien rentan terhadap
reaksi inflamasi dan infeksi akibat pengumpulan sekresi ini. Setelah infeksi terjadi, pasien
mengalami mengi yang berkepanjangan saat ekspirasi.
2) Kardiovaskuler.
12
Sering didapatkan adanya kelemahan fisik secara umum. Denyut nadi takikardi. Tekanan
darah biasanya normal. Batas jantung tidak mengalami pergeseran. Vena jugularis mungkin
mengalami distensi selama ekspirasi. Kepala dan wajah jarang dilihat adanya sianosis.
a) Persyarafan.
Kesadaran biasanya compos mentis apabila tidak ada komplikasi penyakit yang serius.
b) Perkemihan.
Produksi urin biasanya dalam batas normal dan tidak ada keluhan pada sistem
perkemihan. Namun perawat perlu memonitor adanya oliguria yang merupakan salah satu
tanda awal dari syok.
c) Pencernaan.
Pasien biasanya mual, nyeri lambung dan menyebabkan pasien tidak nafsu makan.
Kadang disertai penurunan berat badan.
d) Tulang, otot dan integumen.
Kerena penggunaan otot bantu nafas yang lama pasien terlihat keletihan, sering
didapatkan intoleransi aktivitas dan gangguan pemenuhan ADL (Activity Day Living)
e) Psikososial.
Pasien biasanya cemas dengan keadaan sakitnya.
c. Pemeriksaan Penunjang.
Rahayu (2016) menjelaskan, bahwa pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk
menegakkan diagnosis medis PPOK diantaranya adalah sebagai berikut:
1) Pengukuran Fungsi Paru:
a) Kapasitas inspirasi menurun
b) Volume residu : meningkat pada emfisema, bronkhitis, dan asma.
c) FEV1 selalu menurun = derajat obstruksi progresif penyakit paru obstruktif kronik.
d) FVC awal normal : menurun pada bronkhitis dan asma.
e) TLC normal sampai meningkat sedang (predominan pada emfisema)
2) Analisa Gas Darah:
PaO2 menurun, PCO2 meningkat, sering menurun pada asma. Nilai pH normal, asidosis,
alkalosis respiratorik ringan sekunder.
3) Pemeriksaan Laboratorium:
a) Hemoglobin (Hb) dan hematokrit (Ht) meningkat pada polisetimia sekunder.
b) Jumlah darah merah meningkat
c) Eosinofil dan total IgE serum meningkat
d) Pulse oksimetri : SaO2 oksigenasi menurun.
13
e) Elektrolit menurun karena pemakaian obat diuretik
4) Pemeriksaan Sputum:
Pemeriksaan gram kuman / kultur adanya infeksi campuran. Kuman patogen yang biasa
ditemukan adalah streptococcus pneumoniae, hemophylus influenzae, dan moraxella
catarrhalis.
5) Pemeriksaan Radiologi Thoraks Foto (AP dan lateral)
Menunjukan adanya hiperinflasi paru, pembesaran jantung, dan bendungan area paru.
Pada emfisema paru didapatkan diagfragma dengan letak yang rendah dan mendatar, ruang
udara retrosternal ˃ (foto lateral), jantung tampak bergantung, memanjang dan menyempit.
6) Pemeriksaan Bronkhogram.
Menunjukan dilatasi bronkus, kolaps bronkhiale pada ekspirasi kuat.
7) EKG.
Kelainan EKG yang paling awal terjadi adalah rotasi clock wise jantung. Bila sudah
terdapat kor pulmonal, terdapat deviasi aksis ke kanan dan P-pulmonal pada hantaran II, III,
dan aVF. Voltase QRS rendah. Di V1 rasio R/S lebih dari 1 dan di V6 V1 rasio R/S kurang
dari 1. Sering terdapat RBBB inkomplet (Arif Mutaqin, 2009 dalam Rahayu, 2016).

B. Prioritas Masalah Keperawatan (Sesuai dengan Pathway)


1. Gangguan pertukaran gas
2. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas
3. Intoleransi Aktivitas
4. Gangguan Pola Tidur
5. Ketidakseimbangan Nutrisi : Kurang dari Kebutuhan Tubuh

C. Intervensi Keperawatan
1. Masalah Keperawatan 1 ( Gangguan pertugaran gas)
a. Definisi
Kelebihan atau defisit oksigenasi dan/atau eliminasi karbon dioksida pada membran
alveolar-kapiler (Herdman, 2018).
b. Batasan karakteristik
a) Gas darah arteri abnormal
b) pH arteri abnormal
c) pola pernafasan abnormal
d) warna kulit abnormal
14
e) Konfusi
f) Penurunan karbon dioksida
g) Diaforesis
h) Dispnea
i) Sakit kepla saat bangun
j) Hiperkapnia
k) Hipoksemia
l) Hipoksia
m) Iritabilitas
n) Nafas cuping hidung
o) Gelisah
p) Somnolen
q) Takikardia
r) Gangguan penglihatan
(Herdman, 2018) .
c. Faktor yang berhubungan
Akan dikembangkan (Herdman, 2018)..
d. Rencana tindakan
Tabel 2 Rencana Tindakan Gangguan Pertukaran Gas
NOC NIC
1) Tujuan Terapi Oksigen
Status pernafasan : pertukaran gas 1. Bersihkan mulut, hidung dan sekresi
dengan skala....(1-5) setelah trakea dengan tepat
diberikan perawatan selama...hari 2. Pertahankan kepatenan jalan nafas
dengan kriteria hasil 3. Berikan oksigen tambahan seperti yan
2) Kriteria hasil diperintahkan
a) Tekanan parsial oksigen di 4. Monitor kemampuan pasien untuk
darah arteri (PaO2) skala 5 mentolerir pengangkatan oksigen ketika
b) Tekanan parsial makan
karbondioksida di darah arteri 5. Pantau adanya tanda-tanda keracunan
(PaCO2) oksigen dan kejadian etelektasis
c) pH arteri skala 5 6. Atur dan ajarkan pasien mengenai
d) Saturasi oksigen skala 5 penggunaan perangkat oksigen yang

15
e) Tidak ada dispnea saat memudahka mobilitas
istirahat 7. Rubah kepada pilihan peralatan
f) Tidak ada dispnea dengan pemberian oksigen lainnya untuk
aktivitas ringan meningkatkan kenyamanan dengan tepat.
g) Tidak ada sianosis (Bulechek, 2013)
h) Tidak ada gangguan
kesadaran
(Moorhead Sue, 2013)

2. Masalah Keperawatan 2 ( Ketidakefektifan bersihan jalan nafas )


a. Definisi
Ketidakmampuan membersihkan sekresi atau obstruksi dari saluran napas untuk
mempertahankan bersihan jalan napas. (Herdman, 2018)
b. Batasan karakteristik
a) Tidak ada batuk
b) Suara nafas tambahan
c) Perubahan pola nafas
d) Perubahan frekuensi nafas
e) Sianosis
f) Kesulitan verbalisasi
g) Penurunan bunyi nafas
h) Dispnea
i) Sputum dalam jumlah yang berlebihan
j) Batuk yang tidak efektif
k) Ortopnea
l) Gelisah
m) Mata terbuka lebar
(Herdman, 2018)
c. Faktor yang berhubungan
a) Mukus berlebihan
b) Terpajan asap
c) Benda asing dalam jalan napas
d) Sekresi yang tertahan
e) Perokok pasif
16
f) Perokok
(Herdman, 2018)
d. Rencana tindakan
Tabel 3 Rencana Tindakan Ketidakefektifan Bersihan Jalan Nafas
NOC NIC
3) Tujuan l) Manajemen jalan nafas :
Status pernafasan : kepatenan 1. Buka jalan nafas dengan teknik chin lift
jalan napas dengan skala... (1-5) atau jaw thrust, sebagaimana mestinya
setelah diberikan perawatan 2. Posisikan pasien untuk memaksimalkan
selama.. hari, dengan kriteria : ventilasi
4) Kriteria hasil 3. identifikasi kebutuhan aktual/potensial
a) Frekuensi pernafasan skala 5 pasien untuk memasukkann alat membuka
b) Irama pernafasan skala 5 jalan nafas
c) Kedalaman inspirasi skala 5 4. Masukan alat nashopharingeal airway
d) Kemampuan untuk (NPA) atau oropharingeal airway (OPA)
mengeluarkan sekret skala 5 sebagaimana mestinya
e) Tidak ada ansietas 5. Lakukan fisioterapi dada
f) Tidak ada suara nafas 6. Buang sekret dengan memotivasi pasien
tambahan untuk melakukan batuk atau menyedot
g) Tidak ada pernafasan cuping lendir.
hidung 7. Instruksikan bagaimana agar bisa
h) Tidak ada dispnea saat melakukan batuk efektif
istirahat 8. Auskultasi suara nafas, catat area yang
i) Tidak ada dispnea saat ventilasinya menurun atau tidak ada dan
aktivitas ringan adanya suara tambahan
j) Tidak ada penggunaan otot 9. Kelola pemberian bronkodilator
bantu nafas sebagaimana mestinya
k) Tidak ada batuk 10. Monitor status pernafasan dan
(Moorhead Sue, 2013) oksigenasi sebagaimana mestinya.
(Bulechek, 2013)

17
DAFTAR PUSTAKA

1. Astika, N. & Fahlevie, A., 2017. PPOK Eksaserbasi Akut Ec Community Aquired
Penumonia PSI Class III.
2. Bulechek, M. d., 2013. Nursing Interventions Classification (NIC). 6th Indonesian
Editions ed. Indonesia: Mocomedia.
3. Herdman, T., 2018. NANDA-I Diagnosis Keperawatan : Definisi dan Klasifikasi
2018-2020. 11 ed. Jakarta: EGC.
4. Hurst, M., 2016. Belajar Mudah Keperawatan Medikal-Bedah, Vol 1.. Jakarta: EGC.
5. Lestari, W. A., 2015. Penyakit Paru Obstruktif Kronis. In: J. Loscalzo, ed. Harrison
Pulmonologi dan Penyakit Kritis. Jakarta: EGC, p. 167.
6. Moorhead Sue, d., 2013. Nursing Outcomes Classifications (NOC). 5th Indonesian
Edition ed. Indonesia: Mocomedia.
7. Muttaqin, A., 2009. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan Sistem
Pernafasan. Jakarta: Salemba Medika.
8. Nabella, V. O., 2018. Asuhan Keperawatan Pasien Penyakit Paru Obstruktif Kronik
(PPOK) Pada Tn.S dan Ny.P di Ruang Melati RSUD dr. Haryoto Lumajang.
9. PDPI, 2011. ( Penyakit Paru Obstruktif Kronik ), Diagnosis dan Penatalaksanaan.
Revisi Pertama. Jakarta: PDPI.
10. Somantri, I., 2012. Asuhan Keperawatan pada Klien dengan Gangguan Sistem
Pernapasan. 2 ed. Jakarta: Salemba Medika.
11. Susanti, P. F. E., 2015. Influence Of Smoking In Chronic Obstructive Pulmonary
Disease ( COPD ). J Majority, 4(5).
12. Wahid, A., 2013. Asuhan Keperawatan Pada Gangguan Sistem Respirasi. Jakarta: CV
Trans Info Media.

18

Anda mungkin juga menyukai