Disusun Oleh :
Ellen Fernanda
01073180029
Pembimbing :
dr. Mira Yuniarti, Sp.Rad (K)
1. Pneumoconiosis .................................................................................................5
1.3. Diagnosis.......................................................................................................6
2.3. Asbestosis....................................................................................................18
!2
DAFTAR TABEL & GAMBAR
Gambar 2. Silikosis pada pasien pria berusia 56 tahun yang memiliki riwayat peker-
jaan sebagai pemotong batu selama 25 tahun .............................................................13
Gambar 3. Kalsifikasi ‘eggshell’ pada nodus limfatik hilar dan subkarinal sugestif
terhadap silikosis 5,17 .................................................................................................14
Gambar 4. Silikosis dan fibrosis progresif masif pada pasien pria, 58 tahun dengan
riwayat pekerjaan sebagai pekerja batu selama 30 tahun ............................................15
Gambar 8. Asbestosis pada pasien, pria 58 tahun dengan riwayat pekerjaan sebagai
konstruktor bangunan selama 25 tahun .......................................................................19
Gambar 9. Asbestosis, potongan aksial CT scan (ketebalan 0.1 mm) pada ketinggian
inferior vena cava suprahepatik ...................................................................................20
!3
BAB I. PENDAHULUAN
!4
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
1. Pneumoconiosis
Pneumoconiosis merupakan penyakit paru yang disebabkan oleh inhalasi debu
dan serat organik maupun non organik di udara. Pasien seringkali menghadapi in-
halan ini pada lingkungan kerja, sehingga dikenal sebagai penyakit akibat kerja (oc-
cupational diseases). Jenis pneumoconiosis yang paling sering dihadapi adalah as-
bestosis, silikosis, dan coal worker’s pneumoconiosis. Partikel ini menyebabkan in-
flamasi dan fibrosis pada paru membentuk penyakit paru yang ireversibel.4
1.1. Klasifikasi
Pneumoconiosis dapat diklasifikasikan sebagai fibrotik dan non fibrotik,
berdasarkan dari ada atau tidaknya fibrosis. Silikosis, coal worker’s pneumoconiosis,
asbestosis, beryliosis, dan talkosis merupakan contoh jenis fibrotik. Siderosis, stanno-
sis, dan baritosis merupakan contoh jenis non fibrotik dari pneumoconiosis yang
disebabkan oleh inhalan besi oksida, timah oksida, dan barium sulfat secara berturu-
tan. Silikosis, coal worker’s pneumoconiosis, dan asbestosis merupakan tiga jenis
pneumoconiosis yang paling sering ditemukan, sedangkan berylliosis, siderosis, stan-
nosis, dan baritosis jarang ditemukan.5
1.2. Etiopatogenesis
Pneumoconiosis terbentuk oleh akumulasi partikel halus yang terhirup dan
menyebabkan reaksi inflamasi dalam paru. Penyakit paru ini memiliki karakteristik
berupa perubahan fibrotik dan granulomatosa non neoplastik pada paru.5 Saat inhalan
masuk ke dalam paru, partikel yang lolos dari mekanisme mukosiliar (dibawah 5
mikron) akan terdeposisi pada bronkiolus terminal dan alveoli. Partikel yang terhirup
memicu sel makrofag, limfosit, dan epitelial untuk melepaskan IL-1, TNF-α , matrix
!5
metalloproteinase, dan TGF-β. Terdapat produksi berlebih dari fibronectin dan kola-
gen, menyebabkan pembentukan jaringan parut.6 Fibroblas kemudian terstimulasi un-
tuk bereplikasi, berkembang, dan mengelilingi partikel membentuk nodul-nodul.
Nodul ini kemudian menyebabkan fibrosis yang masif, seperti yang terjadi pada coal
worker’s pneumoconiosis dan silikosis.7
1.3. Diagnosis
Riwayat pasien biasanya menunjukan adanya paparan terhadap inhalan berba-
haya dalam jangka waktu panjang karena penyakit paru okupasional bersifat laten.
Paparan terhadap inhalan ini biasanya terjadi di tempat kerja, sehingga durasi dan
lama waktu kerja berhubungan dengan risiko terjadinya pneumoconiosis.8
Diagnosis ditegakkan berdasarkan adanya paparan terhadap inhalan dalam
waktu lama dan kadar yang tinggi, disertai dengan bukti radiologis akan adanya fi-
brosis pulmoner. Tiga kriteria utama adalah paparan terhadap inhalan, gambaran khas
pada foto polos dada, dan tidak adanya penyakit yang dapat menyerupai pneumoco-
niosis.9
Gejala dari pneumoconiosis bersifat non spesifik dan dapat tumpang tindih
dengan komorbiditas pulmoner lainnya seperti bronkitis kronik, COPS, dan emfise-
ma. Riwayat pekerjaan yang menyeluruh diperlukan untuk dapat menyelidiki paparan
terhadap inhalan berbahaya. Pasien dapat mengeluhkan adanya sesak napas, toleransi
aktivitas yang berkurang, batuk non produktif yang bersifat gradual atau hanya
asimptomatik dengan foto polos dada yang abnormal.
Pada pemeriksan fisik dapat ditemukan takipnea dan ronki pada akhir inspi-
rasi. Dapat juga ditemukan adanya friction rub atau wheezing pada auskultasi.9
Auskultasi pada jantung dapat ditemukan penekanan suara P2 (menutupnya katup
pulmonik) pada tepi kiri atas sternal. Pemeriksaan fungsional paru dapat meunjukan
gambaran restriktif dengan obstruksi aliran udara kronik, serta penurunan kapasitas
!6
vital paksa atau forced vital capacity (FVC) dengan rasio FEV1/FVC normal.10 Fi-
brosis pulmoner yang berat dapat mengarah pada hipoksemia, hipertensi pulmoner,
dan gagal jantung kanan.
The International Labour Organization (ILO) telah menetapkan sistem stan-
dar dalam klasifikasi kelainan radiografis pada pneumoconiosis berdasarkan adanya
kelainan dalam parenkim paru dan pleura berupa: opasitas kecil berbentuk bulat, opa-
sitas kecil yang iregular, opasitas yang berlimpah, zona distribusi opasitas (atas, ten-
gah, dan/atau bawah), serta penebalan pleura (difus atau terbatas). Namun, foto polos
dada bersifat relatif insensitif dan non spesifik sebagai alat diagnostik untuk pneumo-
coniosis, karena silikosis dan CWP sesungguhnya tidak dapat dibedakan berdasarkan
gambaran radiologi. Sehingga, tanpa adanya riwayat pasien yang jelas, diagnosis
penyakit paru akibat kerja tidak dapat ditegakkan hanya dengan penemuan gambaran
radiologis.5
Pemeriksaan menggunakan Computerized Tomography (CT) scan lebih sensi-
tif dan spesifik dibanding foto polos dada, dan lebih berguna dalam mengidentifikasi
penyakit paru lain seperti keganasan, emfisema, dan atelektasis, yang dapat menyertai
pasien dengan risiko terhadap pneumoconiosis. CT dan High-resolution Computer-
ized Tomography (HRCT) berguna dalam mengidentifikasi lesi luas dan konfluens
yang dapat luput dalam foto polos dada. Kekurangan utama dari CT dan HRCT
adalah tidak adanya standardisasi dari teknik dan skoring. Sehingga pada pasien yang
mungkin memiliki silikosis atau gambaran foto polos dada yang meragukan, pe-
meriksaan CT dada perlu dilakukan disertai dengan HRCT pada beberapa level di
lobus paru atas dan tengah.11,12
1.3. Komplikasi
Pneumoconiosis dapat mengarah pada komplikasi yang lebih berat. Silikosis
dapat mengarah pada komplikasi berat seperti karsinoma dan tuberkulosis. Indvidu
!7
dengan coal worker’s pneumoconiosis juga berisiko tinggi terhadap tuberkulosis, dan
COPD.5 Asbestosis berhubungan dengan efusi pleura ringan dan plak, mesothelioma
maligna, dan karsinoma bronkogenik.6 Komplikasi yang paling penting adallah fibro-
sis pulmoner dan keganasan pleuropulmoner. Terdapat periode laten selama kurang
lebih 20 tahun antara paparan awal asbestos dan perkembangan mesotelioma.
!8
ogis pada pasien dengan pneumoconiosis didapatkan adanya opasitas yang tersebar
luas pada paru, namun dominan pada zona bagian atas.15
Silikosis
Silikosis Klasik
(Sederhana)
Kristal silikon
dioksida !
!
Lesi konglomerat, opasitas simetris
bilateral, diameter > 1 cm, tepi ireg- Massa jaringan lunak fokal (diame-
ular ter >1 cm), iregular, kalsifikasi
dikelilingi perubahan emfise-
matosa sikatrial, dominan pada
lobus superior segmen apikal
Silikosis Klasik
(Kompleks)
!
!
!9
Coal Worker
Pneumoconiosis
Sederhana
Kompleks
!
!
!
!
!10
Opasitas multipel, berbentuk bulat, Nodul dengan distribusi perilim-
dapat terkalsifikasi, jaringan parut fatik, penebalan septum interlobu-
pada lobus superior, bulla lar bersifat nodular, opasitas
ground-glass
Berylliosis Beryllium
! !
Talkosis Talk
!
!
2.1. Silikosis
Silikosis merupakan pneumoconiosis yang disebabkan oleh inhalasi kristal
silikon dioksida. Pekerjaan yang berisiko tinggi antara lain pekerja perbaikan jalan,
pembuatan beton, penambangan batu bara, penggalian dan pengerjaan batu, bata,
baja, dan ekstraksi minyak bumi.16 Pada silikosis, gejala mulai timbul setelah paparan
selama 10 sampai 20 tahun. Penyakit ini terjadi dalam dua bentuk klinis: silikosis
akut, yang dimanifestasikan sebagai silikoproteinosis alveolar; dan silikosis klasik,
!11
yang dimanifestasikan sebagai penyakit paru intersitial retikulonodular kronik, dan
diklasifikasikan lebih lanjut sebagai bentuk sederhana atau bentuk kompleks dengan
fibrosis masif.5
! !
Gambar 1. Silikosis akut
Tampak gambaran opasitas ground-glass dan penebalan septum interlobular ringan pada lobus media
dan inferior paru kanan5
!12
2.1.2. Silikosis Klasik Sederhana
Pada rontgen dada, silikosis bentuk sederhana memiliki karakteristik adanya
opasitas nodular multipel berbatas tegas, berbentuk serasi dengan diameter 1 hingga
10 mm. Nodul ini terdistribusi pada kedua lapang paru, namun lebih dominan pada
lobus superior posterior. Pada gambaran radiografis juga dapat ditemukan adanya
kalsifikasi distrofik disekitar nodus limfatik dan dideskripsikan sebagai kalsifikasi
‘eggshell’. Gambaran CT scan terdiri dari nodul multipel kecil berukuran diameter 2-
5 mm disertai kalsifikasi, seringkali ditemukan pada regio sentrilobular, paraseptal,
dan subpleural dengan distibusi perilimfatik. Nodul pada silikosis sederhana cen-
derung lebih berbatas tegas dibandingkan dalam CWP, namun sulit dibedakan pada
potongan tipis CT.5
(a) (b)
!
Gambar 2. Silikosis pada pasien pria berusia 56 tahun yang memiliki riwayat pekerjaan se-
bagai pemotong batu selama 25 tahun
(a) Rontgen dada dengan gambaran lesi nodular multipel dengan ukuran bervariasi pada kedua lapang
paru, dominan pada lobus superior dan media
(b) Potongan aksial CT scan (ketebalan 1.0mm) pada ketinggian arkus azygos, menunjukan nodul ke-
cil multipel dengan distribusi perilimfatik pada lobus superior kedua paru5
!13