Anda di halaman 1dari 23

REFERAT

GAMBARAN RADIOLOGIS PADA PNEUMOCONIOSIS

Disusun Oleh :
Ellen Fernanda
01073180029

Pembimbing :
dr. Mira Yuniarti, Sp.Rad (K)

KEPANITERAAN KLINIK ILMU RADIOLOGI


SILOAM HOSPITAL LIPPO VILLAGE – RSU SILOAM
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PELITA HARAPAN
PERIODE MEI - JUNI 2020
TANGERANG

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI .................................................................................................................2

DAFTAR TABEL & GAMBAR ...................................................................................3

BAB I. PENDAHULUAN ............................................................................................4

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA...................................................................................5

1. Pneumoconiosis .................................................................................................5

1.1. Klasifikasi .....................................................................................................5

1.2. Etiopatogenesis .............................................................................................5

1.3. Diagnosis.......................................................................................................6

1.4. Tatalaksana dan Prognosis ............................................................................8

2. Gambaran Radiologis pada Pneumoconiosis ....................................................8

2.1. Silikosis ....................................................................................................... 11

2.1.1. Silikosis Akut (Silikoproteinosis)........................................................12

2.1.2. Silikosis Klasik Sederhana ..................................................................13

2.1.3. Silikosis Klasik Kompleks .................................................................14

2.2. Coal Worker Pneumoconiosis .....................................................................17

2.2.1. Coal Worker Pneumoconiosis Sederhana............................................17

2.2.2. Coal Worker Pneumoconiosis Kompleks ............................................18

2.3. Asbestosis....................................................................................................18

BAB III. KESIMPULAN ............................................................................................21

DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................................22

!2
DAFTAR TABEL & GAMBAR

Tabel 1. Perbedaan Gambaran Radiologis pada Berbagai Jenis Pneumoconiosis5 ......9

Gambar 1. Silikosis akut .............................................................................................12

Gambar 2. Silikosis pada pasien pria berusia 56 tahun yang memiliki riwayat peker-
jaan sebagai pemotong batu selama 25 tahun .............................................................13

Gambar 3. Kalsifikasi ‘eggshell’ pada nodus limfatik hilar dan subkarinal sugestif
terhadap silikosis 5,17 .................................................................................................14

Gambar 4. Silikosis dan fibrosis progresif masif pada pasien pria, 58 tahun dengan
riwayat pekerjaan sebagai pekerja batu selama 30 tahun ............................................15

Gambar 5. Silikotuberkulosis pada pasien, pria 52 tahun dengan riwayat pekerjaan


sebagai pekerja batu selama 30 tahun .........................................................................16

Gambar 6. Coal worker pneumoconiosis ....................................................................17

Gambar 7. Progressive massive fibrosis ......................................................................18

Gambar 8. Asbestosis pada pasien, pria 58 tahun dengan riwayat pekerjaan sebagai
konstruktor bangunan selama 25 tahun .......................................................................19

Gambar 9. Asbestosis, potongan aksial CT scan (ketebalan 0.1 mm) pada ketinggian
inferior vena cava suprahepatik ...................................................................................20

!3
BAB I. PENDAHULUAN

Pneumoconiosis merupakan salah satu penyakit akibat kerja (occupational


disease) yang paling sering terjadi di dunia, terutama pada negara berkembang. Ter-
dapat peningkatan kasus sebesar 81.1% pada tahun 1990 hingga 2017 pada kedua je-
nis kelamin dengan prevalensi yang lebih tinggi pada laki-laki secara signifikan. Insi-
densi penyakit ini juga meningkat bersamaan dengan usia.1
Berdasarkan studi oleh the Global Burden of Disease di tahun 2010, pneumo-
coniosis menjadi penyebab pada 125.000 kematian. The Global Burden of Disease
memperkirakan adanya kematian sebanyak 3495 kasus oleh asbestosis pada tahun
2016.2 Prevalensi dari pneumoconiosis menunjukan kecenderungan terhadap pekerja
yang terpapar oleh debu selama kerja. Pada provinsi Jiangsu, China, 9243 kasus dila-
porkan pada tahun 2006 hingga 2017 dengan silikosis dan coal worker’s pneumoco-
niosis sebagai mayoritas kasus. Pada negara maju seperti Inggris, asbestosis menjadi
mayoritas kasus.3 Penyakit ini dapat mengarah pada angka kesakitan yang serius. Pa-
paran terhadap silika, sebagai contoh, dapat meningkatkan risiko terhadap tuberkulo-
sis, keganasan, dan emfisema.
Diagnosis dari pneumoconiosis ditentukan berdasarkan riwayat paparan
pasien terhadap agen atau inhalan dan gambaran radiologis yang mendukung, sehing-
ga penting dalam mengenal dan mengetahui perbedaan dari gambaran radiologis pada
pneumoconiosis guna mengarahkan diagnosis yang cepat dan tepat.

!4
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

1. Pneumoconiosis
Pneumoconiosis merupakan penyakit paru yang disebabkan oleh inhalasi debu
dan serat organik maupun non organik di udara. Pasien seringkali menghadapi in-
halan ini pada lingkungan kerja, sehingga dikenal sebagai penyakit akibat kerja (oc-
cupational diseases). Jenis pneumoconiosis yang paling sering dihadapi adalah as-
bestosis, silikosis, dan coal worker’s pneumoconiosis. Partikel ini menyebabkan in-
flamasi dan fibrosis pada paru membentuk penyakit paru yang ireversibel.4

1.1. Klasifikasi
Pneumoconiosis dapat diklasifikasikan sebagai fibrotik dan non fibrotik,
berdasarkan dari ada atau tidaknya fibrosis. Silikosis, coal worker’s pneumoconiosis,
asbestosis, beryliosis, dan talkosis merupakan contoh jenis fibrotik. Siderosis, stanno-
sis, dan baritosis merupakan contoh jenis non fibrotik dari pneumoconiosis yang
disebabkan oleh inhalan besi oksida, timah oksida, dan barium sulfat secara berturu-
tan. Silikosis, coal worker’s pneumoconiosis, dan asbestosis merupakan tiga jenis
pneumoconiosis yang paling sering ditemukan, sedangkan berylliosis, siderosis, stan-
nosis, dan baritosis jarang ditemukan.5

1.2. Etiopatogenesis
Pneumoconiosis terbentuk oleh akumulasi partikel halus yang terhirup dan
menyebabkan reaksi inflamasi dalam paru. Penyakit paru ini memiliki karakteristik
berupa perubahan fibrotik dan granulomatosa non neoplastik pada paru.5 Saat inhalan
masuk ke dalam paru, partikel yang lolos dari mekanisme mukosiliar (dibawah 5
mikron) akan terdeposisi pada bronkiolus terminal dan alveoli. Partikel yang terhirup
memicu sel makrofag, limfosit, dan epitelial untuk melepaskan IL-1, TNF-α , matrix

!5
metalloproteinase, dan TGF-β. Terdapat produksi berlebih dari fibronectin dan kola-
gen, menyebabkan pembentukan jaringan parut.6 Fibroblas kemudian terstimulasi un-
tuk bereplikasi, berkembang, dan mengelilingi partikel membentuk nodul-nodul.
Nodul ini kemudian menyebabkan fibrosis yang masif, seperti yang terjadi pada coal
worker’s pneumoconiosis dan silikosis.7

1.3. Diagnosis
Riwayat pasien biasanya menunjukan adanya paparan terhadap inhalan berba-
haya dalam jangka waktu panjang karena penyakit paru okupasional bersifat laten.
Paparan terhadap inhalan ini biasanya terjadi di tempat kerja, sehingga durasi dan
lama waktu kerja berhubungan dengan risiko terjadinya pneumoconiosis.8
Diagnosis ditegakkan berdasarkan adanya paparan terhadap inhalan dalam
waktu lama dan kadar yang tinggi, disertai dengan bukti radiologis akan adanya fi-
brosis pulmoner. Tiga kriteria utama adalah paparan terhadap inhalan, gambaran khas
pada foto polos dada, dan tidak adanya penyakit yang dapat menyerupai pneumoco-
niosis.9
Gejala dari pneumoconiosis bersifat non spesifik dan dapat tumpang tindih
dengan komorbiditas pulmoner lainnya seperti bronkitis kronik, COPS, dan emfise-
ma. Riwayat pekerjaan yang menyeluruh diperlukan untuk dapat menyelidiki paparan
terhadap inhalan berbahaya. Pasien dapat mengeluhkan adanya sesak napas, toleransi
aktivitas yang berkurang, batuk non produktif yang bersifat gradual atau hanya
asimptomatik dengan foto polos dada yang abnormal.
Pada pemeriksan fisik dapat ditemukan takipnea dan ronki pada akhir inspi-
rasi. Dapat juga ditemukan adanya friction rub atau wheezing pada auskultasi.9
Auskultasi pada jantung dapat ditemukan penekanan suara P2 (menutupnya katup
pulmonik) pada tepi kiri atas sternal. Pemeriksaan fungsional paru dapat meunjukan
gambaran restriktif dengan obstruksi aliran udara kronik, serta penurunan kapasitas

!6
vital paksa atau forced vital capacity (FVC) dengan rasio FEV1/FVC normal.10 Fi-
brosis pulmoner yang berat dapat mengarah pada hipoksemia, hipertensi pulmoner,
dan gagal jantung kanan.
The International Labour Organization (ILO) telah menetapkan sistem stan-
dar dalam klasifikasi kelainan radiografis pada pneumoconiosis berdasarkan adanya
kelainan dalam parenkim paru dan pleura berupa: opasitas kecil berbentuk bulat, opa-
sitas kecil yang iregular, opasitas yang berlimpah, zona distribusi opasitas (atas, ten-
gah, dan/atau bawah), serta penebalan pleura (difus atau terbatas). Namun, foto polos
dada bersifat relatif insensitif dan non spesifik sebagai alat diagnostik untuk pneumo-
coniosis, karena silikosis dan CWP sesungguhnya tidak dapat dibedakan berdasarkan
gambaran radiologi. Sehingga, tanpa adanya riwayat pasien yang jelas, diagnosis
penyakit paru akibat kerja tidak dapat ditegakkan hanya dengan penemuan gambaran
radiologis.5
Pemeriksaan menggunakan Computerized Tomography (CT) scan lebih sensi-
tif dan spesifik dibanding foto polos dada, dan lebih berguna dalam mengidentifikasi
penyakit paru lain seperti keganasan, emfisema, dan atelektasis, yang dapat menyertai
pasien dengan risiko terhadap pneumoconiosis. CT dan High-resolution Computer-
ized Tomography (HRCT) berguna dalam mengidentifikasi lesi luas dan konfluens
yang dapat luput dalam foto polos dada. Kekurangan utama dari CT dan HRCT
adalah tidak adanya standardisasi dari teknik dan skoring. Sehingga pada pasien yang
mungkin memiliki silikosis atau gambaran foto polos dada yang meragukan, pe-
meriksaan CT dada perlu dilakukan disertai dengan HRCT pada beberapa level di
lobus paru atas dan tengah.11,12

1.3. Komplikasi
Pneumoconiosis dapat mengarah pada komplikasi yang lebih berat. Silikosis
dapat mengarah pada komplikasi berat seperti karsinoma dan tuberkulosis. Indvidu

!7
dengan coal worker’s pneumoconiosis juga berisiko tinggi terhadap tuberkulosis, dan
COPD.5 Asbestosis berhubungan dengan efusi pleura ringan dan plak, mesothelioma
maligna, dan karsinoma bronkogenik.6 Komplikasi yang paling penting adallah fibro-
sis pulmoner dan keganasan pleuropulmoner. Terdapat periode laten selama kurang
lebih 20 tahun antara paparan awal asbestos dan perkembangan mesotelioma.

1.4. Tatalaksana dan Prognosis


Tidak ada pengobatan yang dapat diberikan pada pneumoconiosis, dan prog-
nosis yang diberikan rendah pada keadaan fibrotik. Individu dengan pneumoconiosis
memiliki risiko lebih besar untuk morbiditas respiratorik dan kematian prematur. Per-
tama, pasien perlu menghindari paparan lebih lanjut terhadap inhalan. Pasien dengan
pneumoconiosis juga berisiko terjadinya tumpang tindih terhadap terjadinya emfise-
ma dan COPD sehingga pasien yang merokok perlu dihimbau untuk berhenti
merokok.
Terapi yang diberikan berupa rehabilitasi pulmoner berbasis komunitas atau
keluarga untuk menangani gejala dan meningkatkan toleransi aktivitas. Program re-
habilitasi pulmoner biasanya mencakup latihan bernapas, olahraga dengan intensitas
rendah atau tinggi, latihan ketahanan, dan latihan kekuatan. Program ini juga dapat
mencakup edukasi kesehatan, dukungan psikososial untuk gejala mood, dan edukasi
dalam nutrisi. Program ini seringkali berjalan selama delapan minggu. Tenaga medis
perlu memantau perkembangan pasien dan menyediakan terapi simptomatik.13 Pada
tahap akhir dari penyakit, pasien dapat dipertimbangkan untuk menerima transplan.14

2. Gambaran Radiologis pada Pneumoconiosis


Diagnosis dari pneumoconiosis ditentukan berdasarkan riwayat pasien dan
gambaran radiologis. Biopsi jarang diperlukan. Secara keseluruhan, gambaran radiol-

!8
ogis pada pasien dengan pneumoconiosis didapatkan adanya opasitas yang tersebar
luas pada paru, namun dominan pada zona bagian atas.15

Tabel 1. Perbedaan Gambaran Radiologis pada Berbagai Jenis Pneumoconiosis5


Gambaran Radiologis
Pneumoconiosis Agen
Chest X-Ray CT & HRCT

Silikosis

Opasitas ground-glass difus, kon-


solidasi bilateral
Nodul centrilobular atau opasitas
Silikosis Akut
ground-glass, pola crazy-paving

Opasitas bulat berbatas tegas, diam-


eter 1-10 mm, dominan pada lobus
superior posterior, kalsifikasi dis-
trofik sekitar nodus limfatik (kalsi- Nodul perilimfatik, kalsifikasi
fikasi ‘eggshell’) ‘eggshell', dominan pada lobus
superior posterior

Silikosis Klasik
(Sederhana)

Kristal silikon
dioksida !

!
Lesi konglomerat, opasitas simetris
bilateral, diameter > 1 cm, tepi ireg- Massa jaringan lunak fokal (diame-
ular ter >1 cm), iregular, kalsifikasi
dikelilingi perubahan emfise-
matosa sikatrial, dominan pada
lobus superior segmen apikal
Silikosis Klasik
(Kompleks)

!
!

!9
Coal Worker
Pneumoconiosis

Opasitas bulat pola retikular, batas


lebih tidak tegas dan granular ,
kalsifikasi pada sentral nodul Nodul difus, dominan pada lobus
superior dengan distribusi perilim-
fatik

Sederhana

Debu batu bara !


(coal dust)
Massa fibrotik berbatas tidak tegas,
dapat dikelilingi emfisema
Massa dengan diameter >1 cm,
iregular, dominan pada lobus supe-
rior dan media

Kompleks

!
!

Opasitas curvilinear subpleural,


Opasitas iregular pola retikular, opasitas ground-glass, penebalan
fibrosis peribronkiolar, penebalan septum intralobular dan interlobu-
pleur, plak pleural lar, plak pleural, honeycombing

Asbestosis Serat asbestos

!
!

!10
Opasitas multipel, berbentuk bulat, Nodul dengan distribusi perilim-
dapat terkalsifikasi, jaringan parut fatik, penebalan septum interlobu-
pada lobus superior, bulla lar bersifat nodular, opasitas
ground-glass

Berylliosis Beryllium

! !

Opasitas bulat, dominan pada lobus


superior

Talkosis Talk

Nodul centrilobular berbatas tidak


Opasitas bulat berbatas tidak tegas
tegas tersebar difus, atenuasi
ground-glass, tanpa dominansi
area

Siderosis Besi oksida

!
!

2.1. Silikosis
Silikosis merupakan pneumoconiosis yang disebabkan oleh inhalasi kristal
silikon dioksida. Pekerjaan yang berisiko tinggi antara lain pekerja perbaikan jalan,
pembuatan beton, penambangan batu bara, penggalian dan pengerjaan batu, bata,
baja, dan ekstraksi minyak bumi.16 Pada silikosis, gejala mulai timbul setelah paparan
selama 10 sampai 20 tahun. Penyakit ini terjadi dalam dua bentuk klinis: silikosis
akut, yang dimanifestasikan sebagai silikoproteinosis alveolar; dan silikosis klasik,

!11
yang dimanifestasikan sebagai penyakit paru intersitial retikulonodular kronik, dan
diklasifikasikan lebih lanjut sebagai bentuk sederhana atau bentuk kompleks dengan
fibrosis masif.5

2.1.1. Silikosis Akut (Silikoproteinosis)


Paparan akut terhadap debu silika, dapat menyebabkan terisinya rongga udara
dalam paru dengan bahan proteinaseus. Gambaran radiologis terdiri atas konsolidasi
bilateral dan/atau opasitas ground-glass, yang cenderung muncul pada regio perihilar.
Penemuan pada potongan CT antara lain sejumlah opasitas ground-glass yang bilat-
eral, centrilobular, dan nodular, opasitas ground-glass multifokal, dan konsolidasi.
Gambaran ini menggambarkan adanya akumulasi bahan proteinaseus secara in-
traalveolar. Terkadang dapat ditemukan gambaran crazy-paving (pengisian rongga
udara dan penebalan septum interlobular) yang disebabkan oleh adanya jaringan
edematosa atau fibrosa. Perjalanan penyakit dalam silikosis akut biasanya bersifat
progresif dan berujung pada kematian akibat cor pulmonale dan gagal napas bila
tidak adanya terapi kortikosteroid.5

! !
Gambar 1. Silikosis akut
Tampak gambaran opasitas ground-glass dan penebalan septum interlobular ringan pada lobus media
dan inferior paru kanan5

!12
2.1.2. Silikosis Klasik Sederhana
Pada rontgen dada, silikosis bentuk sederhana memiliki karakteristik adanya
opasitas nodular multipel berbatas tegas, berbentuk serasi dengan diameter 1 hingga
10 mm. Nodul ini terdistribusi pada kedua lapang paru, namun lebih dominan pada
lobus superior posterior. Pada gambaran radiografis juga dapat ditemukan adanya
kalsifikasi distrofik disekitar nodus limfatik dan dideskripsikan sebagai kalsifikasi
‘eggshell’. Gambaran CT scan terdiri dari nodul multipel kecil berukuran diameter 2-
5 mm disertai kalsifikasi, seringkali ditemukan pada regio sentrilobular, paraseptal,
dan subpleural dengan distibusi perilimfatik. Nodul pada silikosis sederhana cen-
derung lebih berbatas tegas dibandingkan dalam CWP, namun sulit dibedakan pada
potongan tipis CT.5

(a) (b)
!
Gambar 2. Silikosis pada pasien pria berusia 56 tahun yang memiliki riwayat pekerjaan se-
bagai pemotong batu selama 25 tahun
(a) Rontgen dada dengan gambaran lesi nodular multipel dengan ukuran bervariasi pada kedua lapang
paru, dominan pada lobus superior dan media
(b) Potongan aksial CT scan (ketebalan 1.0mm) pada ketinggian arkus azygos, menunjukan nodul ke-
cil multipel dengan distribusi perilimfatik pada lobus superior kedua paru5

!13


 

Gambar 3. Kalsifikasi ‘eggshell’ pada nodus limfatik hilar dan subkarinal sugestif terhadap
silikosis 5,17

2.1.3. Silikosis Klasik Kompleks


Silikosis kompleks, dikenal juga sebagai fibrosis masif progresif atau pro-
gressive massive fibrosis (PMF), terbentuk dari ekspansi dan gabungan nodul silikotik
individual. Gambaran ini dideskripsikan sebagai lesi konglomerat yang luas memben-
tuk opasitas simetris bilateral dengan diameter lebih dari 1 cm dan tepi iregular, ser-
ingkali berada pada lobus media atau perifer.5 Opasitas ini bermigrasi secara gradual
menuju hilum, meninggalkan jaringan paru emfisematosa diantara jaringan fibrotik

!14
dengan permukaan pleura. Bentuk ini lebih sering ditemukan pada silikosis dibanding
CWP.

(a) (b)
!

!
Gambar 4. Silikosis dan fibrosis progresif masif pada pasien pria, 58 tahun dengan riwayat
pekerjaan sebagai pekerja batu selama 30 tahun
(a) Rontgen dada menggambarkan nodul kecil multipel dan massa pada kedua lapang paru, dominan
pada lobus superior dan media, serta kalsifikasi eggshell pada hilum dan mediastinum.
(b) Potongan aksial CT scan (ketebalan 1.0 mm) pada ketinggian arkus aorta, menunjukkan opasitas
simetris bilateral dengan tepi iregular sugestif terhadap fibrosis progresif masif, dan beberapa nodul
kecil serta penebalan septum.5

Gambaran CT pada fibrosis progresif masif adalah adanya massa jaringan lu-
nak fokal, bersifat bilateral, iregular, lens-shaped, dengan tepi berbatas tegas dan
kalsifikasi yang dikelilingi oleh perubahan emfisematosa sikatrial. Penebalan lemak

!15
ekstrapleural yang berdekatan umum ditemukan. Massa dengan diameter lebih besar
dari 4 cm dapat memberikan gambaran nekrosis sentral. Bila didapati adanya nekrosis
atau kavitasi pada PMF, dan pembesaran nodul yang cepat, infeksi mycobacterial atau
silikotuberkulosis harus selalu dipertimbangkan. PMF dapat salah didiagnosis sebagai
karsinoma bronkogenik bila tidak didapati adanya karakteristik yang patognomonik
seperti atenuasi bilateral berbentuk ‘lens-shaped’, tepi yang berbatas tegas, kalsifikasi
iregular, dan nodul pada paru.18 Untuk dapat membedakan PMF dari keganasan paru,
MRI dapat dikerjakan. Pada gambaran T2-weighted, keganasan paru tampak sebagai
lesi dengan intensitas tinggi sedangkan PMF dengan intensitas rendah.5

(a) (b)

Gambar 5. Silikotuberkulosis pada pasien, pria 52 tahun dengan riwayat pekerjaan sebagai
pekerja batu selama 30 tahun
(a) Potongan aksial CT scan (ketebalan 1.0 mm) menunjukkan gambaran lesi kavitas dengan dinding
tebal iregular pada lobus superior paru kiri sugestif terhadap tuberkulosis pulmoner
(b) Gambaran massa konglomerat bilateral, nodul multipel pada regio centrilobular dan subpleural,
serta nodus limfatik mediastinal yang membesar.5

!16
2.2. Coal Worker Pneumoconiosis
Coal Worker Pneumoconiosis (CWP) disebabkan oleh paparan terhadap debu
batu bara (coal dust).5

2.2.1. Coal Worker Pneumoconiosis Sederhana


Bagi pekerja batu bara, debu ditemukan pada seluruh lapang paru namun cen-
derung terdeposisi di sekitar bronkiolus respiratorik. Pada dan sekitar area ini, rongga
udara menjadi mengalami dilatasi. Secara radiologis, CWP memiliki gambaran seper-
ti silikosis. Pola radiografisnya memiliki karakteristik berupa opasitas nodular
berbentul bulat yang dapat memiliki opasitas retikular. Nodul ini memiliki diameter
1-5 mm dan dapat memiliki batas yang lebih tidak tegas dan granular dibandingkan
dengan nodul pada silikosis. Kalsifikasi dapat terbentuk sebagai titik pada sentral
nodul, dimana pada silikosis cenderung bersifat difus. Selain itu, kalsifikasi eggshell
yang merupakan pola patognomonik dari silikosis sederhana jarang ditemukan pada
coal worker pneumoconiosis (1.3%).5
Gambaran CT pada CWP serupa dengan gambaran pada silikosis. Nodul dap-
at ditemukan secara difus pada paru, terutama dengan distribusi perilimfatik namun
dapat juga dengan pola centrilobular dengan dominansi lobus superior paru.5

! !
Gambar 6. Coal worker pneumoconiosis
menunjukkan beberapa nodus sentrilobular dan subpleural pada kedua lapang paru.5

!17
2.2.2. Coal Worker Pneumoconiosis Kompleks
Massa fibrotik pada bentuk kompleks dari CWP terdiri dari kolagen yang ter-
susun secara serampangan dengan makrofag berpigmen terutama pada regio sentral.
Fokus dari nekrosis yang nyata, celah kolesterol, dan infiltrat selular inflamatorik
yang kronik juga dapat ditemukan.

!
Gambar 7. Progressive massive fibrosis
(a) Gambaran massa dengan tepi iregular pada lobus superior paru kanan dan nodul multipel pada re-
gio subpleural dan fissural di kedua lapang paru
(b) Gambaran area nekrotik sentral pada massa5

2.3. Asbestosis
Asbestosis merupakan fibrosis interstitial pulmoner yang difus akibat inhalasi
dari serat asbestos. Berdasarkan kriteria oleh American Thoracic Society, asbestosis
dapat didiagnosis tanpa biopsi jaringan paru dengan adanya tiga gejala klinis yaitu
penurunan fungsi paru yang bersifat restriktif, kapasitas difusi dibawah batas normal,

!18
dan ronki bilateral pada basal paru posterior; riwayat paparan yang relevan; dan pen-
emuan gambaran radiologi yang mendukung diagnosis.
Secara radiologis, asbestosis memiliki gambaran yang serupa dengan fibrosis
interstitial pulmoner difus lainnya. Rontgen dada awal menggambarkan opasitas ireg-
ular dengan pola retikular halus yang menggambarkan fibrosis peribronkiolar dan in-
terstitial alveoli disekitarnya. Selain itu, dapat juga ditemukan penebalan pleura atau
plak.6 Pada kasus asbestosis, plak pleura merupakan gambaran patognomonik pada x-
ray. Plak tersebut menggambarkan respon inflamasi terhadap paparan serat yang
membentuk kalsifikasi distrofik tanpa disertai badan asbes.

!
Gambar 8. Asbestosis pada pasien, pria 58 tahun dengan riwayat pekerjaan sebagai konstruk-
tor bangunan selama 25 tahun
Rontgen dada menggambarkan opasitas retikular pada sulkus kostofrenikus di kedua lapang paru
bagian bawah5

Pada tahap awal penyakit, pada rontgen dada dapat ditemukan abnormalitas
yang minimal atau nihil. Namun pada CT scan dapat terlihat adanya penebalan garis
intralobular dan interlobular, garis curvilinear subpleural, dan nodul iregular. Honey-

!19
combing sering ditemukan pada tahap akhir di regio perifer dan posterior paru.
Adanya penebalan pleura parietal yang berhubungan dengan fibrosis pulmoner meru-
pakan tanda yang penting untuk membedakan fibrosis oleh asbestos dengan penyebab
idiopatik, gambaran ini bersifat sangat sugestif terhadap asbestosis pada pasien den-
gan riwayat paparan. Selain itu, penemuan adanya badan asbes pada cairan lavage
bronkoalveolar bersifat sangat spesifik.5

(a) (b)

Gambar 9. Asbestosis, potongan aksial CT scan (ketebalan 0.1 mm) pada ketinggian inferior
vena cava suprahepatik
(a) Gambaran konsolidasi subpleural pada lobus inferior paru kiri, disertai dengan retikulasi, opasitas
ground-glass, dan honeycombing
(b) Gambaran konsolidasi subpleural, penebalan pleura, dan efusi5

!20
BAB III. KESIMPULAN

Pneumoconiosis merupakan salah satu penyakit akibat kerja (occupational


disease) yang paling sering terjadi di dunia, terutama pada negara berkembang den-
gan jenis yang paling sering dihadapi adalah asbestosis, silikosis, dan coal worker’s
pneumoconiosis. Partikel ini menyebabkan inflamasi dan fibrosis pada paru memben-
tuk penyakit paru yang ireversibel, serta tidak dapat diobati. Secara keseluruhan,
gambaran radiologis pada pasien dengan pneumoconiosis didapatkan adanya opasitas
yang tersebar luas pada paru, namun dominan pada zona bagian atas.

!21
DAFTAR PUSTAKA

1. Xie M, Liu X, Cao X, Guo M, Li X. Trends in prevalence and incidence of chron-


ic respiratory diseases from 1990 to 2017. Respir. Res. 2020 Feb 11;21(1):49
2. Furuya S, Chimed-Ochir O, Takahashi K, David A, Takala J. Global Asbestos
Disaster. Int J Environ Res Public Health. 2018 May 16;15(5)
3. Cullinan P, Reid P. Pneumoconiosis. Prim Care Respir J. 2013 Jun;22(2):249-52.
4. Farzaneh MR, Jamshidiha F, Kowsarian S. Inhalational lung disease. Int J Occup
Environ Med. 2010 Jan;1(1):11-20.
5. Chong S, Lee KS, Chung MJ, Han J, Kwon OJ, Kim TS. Pneumoconiosis: com-
parison of imaging and pathologic findings. Radiographics. 2006 Jan-Feb;26(1):
59-77.
6. Fujimura N. Pathology and pathophysiology of pneumoconiosis. Curr Opin Pulm
Med. 2000 Mar;6(2):140-4
7. Li J, Liang C, Zhang ZK, Pan X, Peng S, Lee WS, Lu A, Lin Z, Zhang G, Leung
WN, Zhang BT. TAK1 inhibition attenuates both inflammation and fibrosis in ex-
perimental pneumoconiosis. Cell Discov. 2017;3:17023.
8. Perlman DM, Maier LA. Occupational Lung Disease. Med. Clin. North Am. 2019
May;103(3):535-548.
9. Yang HY. Prediction of pneumoconiosis by serum and urinary biomarkers in
workers exposed to asbestos-contaminated minerals. PLoS ONE.
2019;14(4):e0214808.
10. Perret JL, Plush B, Lachapelle P, Hinks TS, Walter C, Clarke P, Irving L, Brady P,
Dharmage SC, Stewart A. Coal mine dust lung disease in the modern era.
Respirology. 2017 May;22(4):662-670.
11. Kim JS, Lynch DA. Imaging of nonmalignant occupational lung disease. J Thorac
Imaging. 2002 Oct. 17(4):238-60.

!22
12. Reichert M, Bensadoun ES. PET imaging in patients with coal workers pneumo-
coniosis and suspected malignancy. J Thorac Oncol. 2009 May. 4(5):649-51.)
13. Tsang EW, Kwok H, Chan AKY, Choo KL, Chan KS, Lau KS, Chan CCH. Out-
comes of community-based and home-based pulmonary rehabilitation for pneu-
moconiosis patients: a retrospective study. BMC Pulm Med. 2018 Aug 09;18(1):
133
14. Laney AS, Weissman DN. Respiratory diseases caused by coal mine dust. J. Oc-
cup. Environ. Med. 2014 Oct;56 Suppl 10:S18-22.
15. McBean R, Tatkovic A, Edwards R, Newbigin K. What does coal mine dust lung
disease look like? A radiological review following re-identification in Queens-
land. J Med Imaging Radiat Oncol. 2020 Apr;64(2):229-235.
16. Mlika M, Adigun R, Gossman WG. Silikosis (Coal Worker Pneumoconiosis)
[Updated 2020 Jan 28]. In: StatPearls [Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls
Publishing; 2020 Jan-
17. DeLight N, Sachs H. Pneumoconiosis. [Updated 2020 Mar 24]. In: StatPearls
[Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2020 Jan-
18. Lopes AJ, Mogami R, Camilo GB, Machado DC, Melo PL, Carvalho AR. Rela-
tionships between the pulmonary densitometry values obtained by CT and the
forced oscillation technique parameters in patients with silikosis. Br J Radiol.
2015 May. 88 (1049):20150028.

!23

Anda mungkin juga menyukai