Anda di halaman 1dari 15

EKSTRAPYRAMIDAL SYNDROME

I. PENDAHULUAN

Berdasarkan penggunaan klinik, psikoterapi dibagi menjadi 4 golongan yaitu: (1)

antipsikotik; (2) antianxietas; (3) antidepresi; dan (4) psikotogenik Antipsikotik merupakan

kelompok terbesar yang dipakai untuk mengobati gangguan mental. Secara khusus, obat-

obat ini memperbaki proses pikir dan perilaku dengan gejala-gejala psikotik. Obat-obat ini

tidak dipakai untuk mengobati anxietas atau depresi.(1)

Antipsikotik dibedakan atas antipsikotik tipikal (antipsikotik generasi pertama)

antara lain klorpromazin, flufenazin, tioridazin, haloperidol; serta antipsikotik atipikal

(antipsikotik generasi kedua) seperti klozapin, olanzapin, risperidon dan lain sebagainya.

Semua obat dalam kelompok antipsikotik tipikal mempunyai efikasi yang

sama,obat-obat antipsikotik tipikal hanya bervariasi pada potensi dan efek samping.

Semua obat ini menimbulkan efek ekstrapiramidal, yang mencakup parkinsonisme,

akatisia, dan diskinesia tardif. (2, 3)

Berdasarkan kategori pengobatan dapat dilihat bahwa pengobatan dengan

antipsikotik tipikal lebih banyak digunakan daripada antipsikotik atipikal dan kombinasi

tipikal-atipikal. (4)

II. DEFINISI

Sindrom ekstrapiramidal merupakan suatu gejala atau reaksi yang ditimbulkan

oleh penggunaan jangka pendek atau jangka panjang dari medikasi antipsikotik golongan

tipikal dikarenakan terjadinya inhibisi transmisi dopaminergik di ganglia basalis. Adanya

1
gangguan transmisi di korpus striatum yan mengandung banyak reseptor D1 dan D2

dopamin menyebabkan depresi fungsi motorik sehingga bermanifestasi sebagai sindrom

ekstrapiramidal. (5)

Sindrom ekstrapiramidal adalah suatu kondisi yang menimbulkan gerakan otot

tak sadar atau kejang yang biasanya terjadi pada wajah dan leher. Hal ini terjadi ketika

terjadi gangguan pengaturan pelepasan dan re-uptake neurotransmitter dopamin. Seorang

individu dapat menderita sindrom ekstrapiramidal sebagai akibat dari cedera kepala atau

penyakit Parkinson, meskipun penyebab utamanya adalah efek samping obat

antipsikotik. Pengobatan diperlukan untuk mencegah perburukan gejala, dan tindakan

pengobatan biasanya diarahkan untuk mengidentifikasi dan menanggulangi

penyebabnya.(6)

III. EPIDEMIOLOGI
Sindrom ekstrapiramidal yang terdiri dari reaksi distonia akut, akhatisia, dan

sindrom parkinsonism umumnya terjadi akibat penggunaan obat-obat antipsikotik. Lebih

banyak diakibatkan oleh antipsikotik tipikal terutama yang mempunyai potensi tinggi.

Reaksi distonia akut terjadi pada kira-kira 10% pasien, biasanya pada pria muda. Tardive

dyskinesia berupa gerakan involunter otot seperti mulut, rahang, umumnya terjadi akibat

penggunaan antipsikotik golongan tipikal jangka panjang. Sekitar 20-30% pasien telah

menggunakan antipsikotik tipikal dalam kurun waktu 6 bulan atau lebih, berkembang

menjadi tardive dyskinesia. Sindrom parkinson umumnya timbul 1-3 minggu setelah

pengobatan awal, lebih sering pada dewasa muda, dengan perbandingan perempuan:laki-

laki = 2:1.1,3,5

IV. ETIOLOGI

2
Gejala ekstrapiramidal (EPSS), seperti akatisia, distonia, psuedoparkinsonism,

dan tardive, efek samping obat-induced yang dapat menjadi masalah bagi orang-orang

yang menerima obat antipsikotik (APMS) atau agen dopamin-blocking lainnya.(7)

Sindrom ekstrapiramidal terjadi akibat pemberian obat antipsikotik yang

menyebabkan adanya gangguan keseimbangan antara transmisi asetilkolin dan dopamine

pusat. Obat antispikotik dengan efek samping gejala ekstrapiramidalnya sebagai berikut:

Antipsikosis Dosis (mg/hr) Gej. ekstrapiramidal


Chlorpromazine 150-1600 ++

Thioridazine 100-900 +

Perphenazine 8-48 +++

trifluoperazine 5-60 +++

Fluphenazine 5-60 +++

Haloperidol 2-100 ++++

Pimozide 2-6 ++

Clozapine 25-100 -

Zotepine 75-100 +

Sulpride 200-1600 +

Risperidon 2-9 +

Quetapine 50-400 +

Olanzapine 10-20 +

Aripiprazole 10-20 +

V. PATOFISIOLOGI

3
Susunan ekstrapiramidal terdiri atas korpus striatum, globus palidus, inti-inti

talamik, nukleus subtalamikus, subtansia nigra, formatio retikularis batang

otak,serebelum berikut dengan korteks motorik tambahan, yaitu area 4, area 6 dan area

8. komponen-komponen tersebut dihubungkan satu dengan yang lain oleh akson

masing-masing komponen itu. Dengan demikian terdapat lintasan yang melingkar yang

dikenal sebagai sirkuit. Oleh karena korpus striatum merupakan penerima tunggal dari

serabut-serabut segenap neokorteks, maka lintasan sirkuit tersebut dinamakan sirkuit

striatal yang terdiri dari sirkuit striatal utama (principal) dan 3 sirkuit striatal penunjang

(aksesori).
Sirkuit striatal prinsipal tersusun dari tiga mata rantai, yaitu (a) hubungan segenap

neokorteks dengan korpus striatum serta globus palidus, (b) hubungan korpus

striatum/globus palidus dengan thalamus dan (c) hubungan thalamus dengan korteks

area 4 dan 6. Data yang tiba diseluruh neokorteks seolah-olah diserahkan kepada

korpus striatum/globus paidus/thalamus untuk diproses dan hasil pengolahan itu

merupakan bahan feedback bagi korteks motorik dan korteks motorik tambahan. Oleh

karena komponen-komponen susunan ekstrapiramidal lainnya menyusun sirkuit yang

pada hakekatnya mengumpani sirkuit striata utama, maka sirkuit-sirkuit itu disebut

sirkuit striatal asesorik.


Sirkuit striatal asesorik ke-1 merupakan sirkuit yang menghubungkan stratum-

globus palidus-talamus-striatum. Sirkuit-striatal asesorik ke-2 adalah lintasan yang

melingkari globus palidus-korpus subtalamikum-globus palidus. Dan akhirnya sirkuit

asesorik ke-3, yang dibentuk oleh hubungan yang melingkari striatum-subtansia nigra-

striatum.
Umumnya semua neuroleptik menyebabkan beberapa derajat disfungsi

ekstrapiramidal dikarenakan inhibisi transmisi dopaminergik di ganglia basalis. Pada

pasien skizofrenia dan pasien dengan gangguan psikotik lainnya terjadi disfungsi pada

sitem dopamin sehingga antipsikotik tipikal berfungsi untuk menghambat transmisi

4
dopamin di jaras ekstrapiramidal dengan berperan sebagai inhibisi dopaminergi yakni

antagonis reseptor D2 dopamin. Namun penggunaan zat-zat tersebut menyebabkan

gangguan transmisi di korpus striatum yang mengandung banyak reseptor D1 dan D2

dopamin. Gangguan jalur striatonigral dopamin menyebabkan depresi fungsi motorik

sehingga bermanifestasi sebagai sindrom ekstrapiramidal. Beberapa neuroleptik tipikal

(seperti haloperidol, fluphenazine) merupakan inhibitor dopamin ganglia basalis yang

lebih poten, dab sebagai akibatnya menyebabkan efek samping gejala ekstrapiramidal

yang lebih menonjol.

VI. GAMBARAN KLINIS

Manifestasi klinis termasuk sejumlah kontraksi otot tak sadar atipikal yang

mempengaruhi cara berjalan, gerakan, dan postur. Gejala dapat mengembangkan akut,

tertunda, atau tumpang tindih membuat mendiagnosis tantangan. Intervensi Pencegahan

termasuk resep selektif APMS, pemantauan ketat gerakan seperti biasanya melalui

penggunaan instrumen skrining, manajemen cepat gejala, dan pendidikan klien

menyeluruh. Praktisi perawat yang tidak berlatih di kejiwaan perawatan kesehatan

mental secara teratur atau yang jarang meresepkan obat psikotropika harus berhati-hati

dengan ini potensial gejala yang mengancam jiwa. (7)

Gejala ekstrapiramidal sering dibagi dalam beberapa kategori yaitu reaksi

distonia, tardive dyskinesia, akatisia, dan Sindrom Parkinson. (8)

5
Reaksi Distonia

Reaksi distonia merupakan spasme atau kontraksi involunter satu atau lebih otot

skelet yang timbul beberapa menit dan dapat pula berlangsung lama, biasanya

menyebabkan gerakan atau postur yang abnormal. Kelompok otot yang paling sering

terlibat adalah otot wajah, leher, lidah atau otot ekstraokuler, bermanifestasi sebagai

tortikolis, disastria bicara, krisis okulogirik dan sikap badan yang tidak biasa hingga

opistotonus (melibatkan seluruh otot tubuh). Hal ini akan menggangu pasien, dapat

menimbulkan nyeri hingga mengancam nyawa seperti distonia laring atau diafragmatik.

Reaksi distonia akut sering terjadi dalam satu atau dua hari setelah pengobatan dimulai,

tetapi dapat terjadi kapan saja. Distonia lebih banyak diakibatkan oleh psikotik tipikal

terutama yang mempunyai potensi tinggi dan dosis tinggi seperti haloperidol,

trifluoroperazin dan fluphenazine. Terjadi pada kira-kira 10% pasien, lebih lazim pada

pria muda. (8, 9)

Otot-otot yang sering mengalami spasme adalah otot leher (torticolis dan

retrocolis), otot rahang (trismus, gaping, grimacing), lidah (protrusionI, memuntir) atau

spasme pada seluruh otot tubuh (opistotonus). Pada mata terjadi krisis okulogirik.

Distonia glosofaringeal yang menyebabkan disartri, disfagia, kesulitan bernafas hingga

sianosis bahkan kematian. Spasme otot dan postur yang abnormal, umumnya yang

dipengaruhi adalah otot-otot di daerah kepala dan leher tetapi terkadang juga daerah

batang tubuh dan ekstremitas bawah. (9)

Kriteria diagnostik dan riset untuk distonia akut akibat neuroleptik menurut

DSM-IV adalah sebagai berikut:

1. Posisi abnormal atau spasme otot kepala, leher, anggota gerak, atau batang

tubuh yang berkembang dalam beberapa hari setelah memulai atau menaikkan

6
dosis medikasi neuroleptik (atau setelah menurunkan medikasi yang

digunakan untuk mengobati gejala ekstrapiramidal).

a. Satu (atau lebih) tanda atau gejala berikut yang berkembang berhubungan dengan

medikasi neuroleptik:

1) Posisi abnormal kepala dan leher dalam hubungannya dengan tubuh

(misalnya tortikolis)

2) Spasme otot rahang (trismus, menganga, seringai)

3) Gangguan menelan (disfagia), bicara, atau bernafas (spasme laring-faring,

disfonia)

4) Penebalan atau bicara cadel karena lidah hipertonik atau membesar (disartria,

makroglosia)

5) Penonjolan lidah atau disfungsi lidah

6) Mata deviasi ke atas, ke bawah, ke arah samping (krisis okulorigik)

7) Posisi abnormal anggota gerak distal atau batang tubuh.

b. Tanda atau gejala dalam kriteria A berkembang dalam tujuh hari setelah memulai atau

dengan cepat menaikkan dosis medikasi neuroleptik, atau menurunkan medikasi yang

digunakan untuk mengobati (atau mencegah) gejala ekstrapiramidal akut (misalnya

obat antikolinergik).

c. Gejala dalam kriteria A tidak diterangkan lebih baik oleh gangguan mental (misalnya

gejala katatonik pada skizofrenia). Tanda-tanda bahwa gejala lebih baik diterangkan

7
oleh gangguan mental dapat berupa berikut : gejala mendahului pemaparan dengan

medikasi neuroleptik atau tidak sesuai dengan pola intervensi farmakologis (misalnya

tidak ada perbaikan setelah menurunkan neuroleptik atau pemberian antikolinergik).

d. Gejala dalam kriteria A bukan karena zat nonneuroleptik atau kondisi neurologis atau

medis umum. Tanda-tanda bahwa gejala adalah karena kondisi medis umum dapat

berupa berikut : gejala mendahului pemaparan dengan medikasi neuroleptik, terdapat

tanda neurologis fokal yang tidak dapat diterangkan, atau gejala berkembang tanpa

adanya perubahan medikasi.

Akatisia

Manifestasi berupa keadaan gelisah, gugup atau suatu keinginan untuk tetap

bergerak, atau rasa gatal pada otot. Manifestasi klinis berupa perasaan subjektif

kegelisahan (restlessness) yang panjang, dengan gerakan yang gelisah, umumnya kaki

yang tidak bisa tenang. Penderita dengan akatisia berat tidak mampu untuk duduk

tenang, perasaannya menjadi cemas atau iritabel. Akatisia sering sulit dinilai dan

sering salah diagnosis dengan anxietas atau agitasi dari pasien psikotik, yang

disebabkan dosis antipsikotik yang kurang. Pasien dapat mengeluh karena anxietas

atau kesukaran tidur yang dapat disalah tafsirkan sebagai gejala psikotik yang

memburuk. Sebaliknya akatisia dapat menyebabkan eksaserbasi gejala psikotik akibat

perasaan tidak nyaman yang ekstrim. Agitasi, pemacuan yang nyata, atau manifesatsi

fisik lain dari akatisia hanya dapat ditemukan pada kasus yang berat. (8, 9)

8
Sindrom Parkinson

Faktor risiko antipsikotik menginduksi parkinsonism adalah peningkatan usia,

dosis obat, riwayat parkinsonism sebelumnya, dan kerusakan ganglia basalis.

Terdiri dari akinesia, tremor, dan bradikinesia. Akinesia meliputi wajah topeng, jedaan

dari gerakan spontan, penurunan ayunan lengan saat berjalan, penurunan kedipan, dan

penurunan mengunyah yang dapat menimbulkan pengeluaran air liur. Pada suatu

bentuk yang lebih ringan, akinesia hanya terbukti sebagai suatu status perilaku dengan

jeda bicara, penurunan spontanitas, apati dan kesukaran untuk memulai aktifitas

normal, kesemuanya dapat dikelirukan dengan gejala skizofrenia negatif. Tremor

dapat ditemukan pada saat istirahat dan dapat pula mengenai rahang. Gaya berjalan

dengan langkah kecil dan menyeret kaki diakibatkan karena kekakuan otot. (3, 8, 9)

Tardive Dyskinesia

Disebabkan oleh defisiensi kolinergik yang relatif akibat supersensitif reseptor

dopamin di puntamen kaudatus. Merupakan manifestasi gerakan otot abnormal,

involunter, menghentak, balistik, atau seperti tik mempengaruhi gaya berjalan,

berbicara, bernafas, dan makan pasien dan kadang mengganggu. Faktor predisposisi

dapat meliputi umur lanjut, jenis kelamin wanita, dan pengobatan berdosis tinggi atau

jangka panjang. Gejala hilang dengan tidur, dapat hilang timbul dengan berjalannya

waktu dan umumnya memburuk dengan penarikan neuroleptik. Diagnosis banding

jika dipertimbangkan diskinesia tardive meliputi penyakit Hutington, Khorea

Sindenham, diskinesia spontan, tik dan diskinesia yang ditimbulkan obat seperti

Levodova, stimulant, dan lain-lain. (9)

9
Perlu dicatat bahwa tardive diskinesia yang diduga disebabkan oleh

kesupersensitivitasan reseptor dopamin pasca sinaptik akibat blockade kronik dapat

ditemukan bersama dengan sindrom parkinson yang diduga disebabkan karena

aktifitas dopaminergik yang tidak mencukupi. Pengenalan awal perlu karena kasus

lanjut sulit diobati. Banyak terapi yang diajukan tetapi evaluasinya sulit karena

perjalanan penyakit sangat beragam dan kadang-kadang terbatas. Diskinesia tardive

dini atau ringan mudah terlewatkan dan beberapa merasa bahwa evaluasi sistemik,

Skala Gerakan Involunter Abnormal (AIMS) harus dicatat setiap enam bulan untuk

pasien yang mendapatkan pengobatan neuroleptik jangka panjang. (8)

10
VII. DIAGNOSIS BANDING

EPSS dapat dengan mudah keliru untuk gangguan lainnya, termasuk kecemasan,

depresi berat, episode manik dari gangguan bipolar, psikosis(7)

Sindrom ekstrapiramidal dapat didiagnosis banding sebagai berikut:

1. Sindroma putus obat


2. Parkinson disease
3. Tetanus
4. Gangguan gerak ekstrapiramidal primer
5. Distonia primer
6. Pada pasien dengan tardive diskinesia dapat pula didiagnosis banding

meliputi penyakit Hutington, Khorea Sindenham

VIII. PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan umum untuk sindrom ekstrapiramidal yakni dengan mulai

menurunkan dosis antipsikotik, kemudian pasien diterapi dengan antihistamin seperti

difenhidramine, sulfas atropine atau antikolinergik seperti trihexyphenidil ((THP), 4-

6mg per hari selama 4-6 minggu. Setelah itu dosis diturunkan secara perlahan-lahan,

yaitu 2 mg setiap minggu, untuk melihat apakah pasien telah mengembangkan suatu

toleransi terhadap efek samping sindrom ekstrapiramidal ini. Dosis antipsikotik

diturunkan hingga mencapai dosis minimal yang efektif. Antihistamin yang dapat

digunakan seperti difenhidramin pada pasien yang mengalami distonia. Selain itu

epinefrin dan norepinefrin juga memberikan efek menurunkan konsentrasi

antipsikotik dalam plasma sehingga absorbsi reseptor dopamin berkurang dan efek

gejala ekstrapiramidal dari antipsikotik dapat berkurang. (8)


Gejala ekstrapiramidal dapat sangat menekan sehingga dianjurkan untuk

memberikan terapi profilaktik. Gejala ini penting terutama pada pasien dengan

riwayat pernah mengalami sindrom ekstrapiramidal sbelumnya atau pada pasien yang

mendapat neuroleptik poten dosis tinggi. (9)

11
Umumnya disarankan bahwa suatu usaha dilakukan setiap enam bulan untuk

menarik medikasi anti-ekstrapiramidal sindrom pasien dengan pengawasan seksama

terhadap kembalinya gejala.(9)


Pasien yang mengalami reaksi distonia akut harus segera ditangani. Penghentian

obat-obatan psikotik yang sangat dicurigai sebagai penyebab reaksi harus dilakukan

sesegera mungkin. Pemberian terapi antikolinergik merupakan terapi primer yang

diberikan. Bila reaksi distonia akut berat harus mendapatkan penanganan cepat dan

agresif. Umumnya lebih praktis untuk memberikan difenhidramin 50 mg IM atau bila

obat ini tidak tersedia gunakan benztropin 2 mg IM. (8)


Penatalaksanaan akatisia dengan memberikan anti kolinergik dan amanditin, dan

pemberian proanolol dan benzodiazepine seperti klonazepam dan lorazepam.2

Untuk sindrom parkinson diberikan agen antikolinergik. Sementara untuk tardive

dyskinesia ditangani dengan pemakaian obat neuroleptik secara bijaksana untuk dosis

medikasinya. Levadopa yang dipakai untuk pengobatan penyakitan Parkinson

idiopatik umumnya untuk tidak efektif akibat efek sampingnya yang berat. Namun

penggunaan golongan Benzodiazepin dapat mengurangi gerakan involunter pada

banyak pasien.

IX. PROGNOSIS
Prognosis pasien dengan sindrom ekstrapiramidal yang akut akan lebih baik bila

gejala langsung dikenali dan ditanggulangi. Sedangkan prognosis pada pasien dengan

sindrom ekstrapiramidal yang kronik lebih buruk, pasien dengan tardive distonia hingga

distonia laring dapat menyebabkan kematian bila tidak diatasi dengan cepat. Sekali

terkena, kondisi ini biasanya menetap pada pasien yang mendapat pengobatan

neuroleptik selama lebih dari 10 tahun (7)

X. KOMPLIKASI

12
Gangguan gerak yang dialami penderita akan sangat mengganggu sehingga

menurunkan kualitas penderita dalam beraktivitas dan gaangguan gerak saat berjalan

dapat menyebabkan penderita terjatuh dan mengalami fraktur. Pada distonia laring

dapat menyebabkan asfiksia dan kematian. Medikasi anti-EPS mempunyai efek

sampingnya sendiri yang dapat menyebabkan komplikasi yang buruk. Anti kolinergik

umumnya menyebabkan mulut kering, penglihatan kabur, gangguan ingatan, konstipasi

dan retensi urine. Amantadine dapat mengeksaserbasi gejala psikotik. (7)

13
KESIMPULAN

Sindrom ekstrapiramidal merupakan kumpulan gejala yang dapat diakibatkan oleh

penggunaan antipsikotik. Antipsikotik yang menghambat transmisi dopamine di jalur

striatonigral juga memberikan inhibisi transmisi dopaminergik di ganglia basalis. Adanya

gangguan transmisi di korpus striatum menyebabkan depresi fungsi motorik. Umumnya

terjadi pada pemakaian jangka panjang antipsikotik tipikal dan penggunaan dosis tinggi.

Manifestasi sindrom ini dapat berupa reaksi distonia, sindrom parkinsonisme, dan tardive

dyskinesia. Gejala ekstrapiramidal dapat sangat menekan sehingga dianjurkan memberikan

terapi profilaktik. Sindrom ekstrapiramidal ditangani dengan mulai menurunkan dosis

antipsikotik, kemudian pasien diterapi dengan antihistamin dan antikolinergik seperti

trihexyphenidil (THP) dan difenhidrami. Bila reaksi distonia akut berat harus mendapatkan

penanganan cepat umumnya diberikan Beztropin secara IV atau difenhidramin secara IM.

Untuk akatisia diberikan antikolinergik dan amantadin, dan pemberian proanolol dan

benzodiazepine seperti klonazepam dan lorazepam.

Pengenalan gejala dengan cepat dan penatalaksanaan yang baik dapat memperbaiki

prognosis. Namun penangan yang terlambat dapat memberikan komplikasi mulai dari gejala

yang irreversibel hingga kematian.

14
DAFTAR PUSTAKA

1. Kee JH, Evelyn. Farmakologi Pendekatan Proses Keperawatan. Jakarta: EGC; 1996.

2. Stinger JL. Konsep Dasar Farmakologi: Panduan Untuk Mahasiswa. 3 ed. Jakarta:

EGC; 2008. 143-8 p.

3. Yulia M. Efek Samping Penggunaan Antipsikotik terhadap Sindrom Parkinson pada

Pasien Schizophrenia di RSJ. Prof. HB. Sa'Anin Padang. Universitas Andalas Padang. 2011.

4. Jarut YFW, Weny. Tinjauan Penggunaan Antipsikotik pada Pengobatan Skizofrenia di

Rumah Sakit Prof. Dr. V. L. Ratumbuysang Manado Periode Januari 2013-Maret 2013.

Pharmacon Unsrat. 2013;2:54-7.

5. Barry Guze SR, Daniel J. Siegel. Buku Saku Psikiatri. Jakarta: EGC; 1997.

6. Shigenoiharuki. Sindrom Ekstrapiramidal. 2011.

7. courey T. Detection, Prevention, and Management of Extrapyramidal Symptoms.

Medscape. 2007;3:464-9.

8. Kamin JM, Sumita. Hughes, Douglas. Extrapyramidal Side Effect in the Psychiatric

Emergency Service. Emergency Psychiatry. 2000;51:287-9.

9. Davies TC, TKJ. ABC Kesehatan Mental. Jakarta: EGC; 2009.

15

Anda mungkin juga menyukai