EPISTAKSIS
Disusun oleh:
Umbu Muri Maramba Djawa
42210525
I. IDENTITAS PASIEN
Nama : BP. S
Tanggal lahir : 10/12/1953
Usia : 69 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Alamat : Mlati, Sleman
Pekerjaan : Ketua RT
No RM : 0114XXXX
Tanggal Pemeriksaan : 2 Februari 2022
II. ANAMNESIS
A. Keluhan Utama
Darah keluar dari hidung
B. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke poli THT-KL mengeluhkan darah keluar dari hidung
kanan dan kiri sejak 10 hari yang lalu. Keluhan ini tidak disertai nyeri,
biasanya sering keluar ketika pasien melakukan posisi sujud saat shalat.
Pasien dibawa ke IGD sejak 5 hari yang lalu karena darah keluar dari
hidung kanan dan kiri. Kondisi yang memperparah ketika pasien melakukan p
osisi sujud saat shalat. Kondisi yang memperingan saat pasien sedang istirahat.
Selain itu, 4 hari sebelumnya pasien mengeluhkan flu dan pusing. Tetapi suda
h membaik dengan penggunaan obat Neozep. Pasien mempunyai kebiasaan m
engorek-ngorek hidung.
C. Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat trauma : (-)
Asma : (-)
Maag : (-)
Jantung : (-)
Diabetes Mellitus : (-)
Hipertensi : (+)
D. Riwayat Penyakit Keluarga
Gejala serupa : (-)
Alergi : (-)
Diabetes Mellitus : (-)
Hipertensi : (+)
E. Riwayat Pengobatan
Riwayat operasi : (+), operasi prostat 2 tahun yang lalu
Riwayat penggunaan obat : (+), menggunakan obat hipertensi
seperti amlodiphine
F. Lifestyle
Merokok : (-) terakhir 5 tahun yang lalu, pemakaian lebih dari 15
tahun
Alkohol : (-)
Napza : (-)
Olahraga : Jarang
Aktivitas : Pasien saat ini tidak bekerja
Diet : pasien sangat menyukai makanan yang asin dan bermi
nyak seperti gorengan.
STATUS GENERALIS
A. Kepala
Ukuran kepala : normochepali
Wajah : kesan simetris, tidak ada deformitas, tidak ada luka dan jejas
Mata : konjungtiva anemis (-/-), injeksi konjungtiva (-/-), pupil tampa
k isokor (-/-), refleks cahaya (+/+), gerakan bola mata baik
Hidung : (sesuai status lokalis)
Mulut : (sesuai status lokalis)
Telinga : (sesuai status lokalis)
Leher : kesan simetris, tidak ada deformitas, tidak ada massa, perbesar
an KGB (-), nyeri tekan KGB (-), trismus (-), stridor (-)
B. Thorax
Pulmo
Inspeksi : kesan simetris, gerakan dada simetris, jejas (-), retraksi
(-), benjolan (-)
Palpasi : pengembangan paru simetris
Perkusi : sonor pada seluruh lapang paru kiri dan kanan
Auskultasi : vesikuler (+/+), wheezing (-/-), ronkhi (-/-)
Cor
Inspeksi : iktus cordis tidak tampak, tanda inflamasi (-), jejas (-)
Palpasi : iktus cordis teraba di SIC 5 linea axillaris anterior siini
stra
Perkusi : batas jantung dalam natas mormal
Auskultasi : S1 dan S2 reguler, bising jantung (-), bruit (-)
Abdomen
Ekstremitas
Atas : akral hangat, kuat angkat nadi cukup dan reguler, capilary refi
ll time < 2 detik, gerakan aktif, edema (-), sianosis (-), jejas (-), deform
itas (-).
Bawah : akral hangat, kuat angkat nadi cukup dan reguler, capilary refi
ll time < 2 detik, gerakan aktif, edema (-), sianosis (-), jejas (-), deform
itas (-)
STATUS LOKALIS
Pemeriksaan Telinga
HIDUNG
Dorsum Nasi Tanda inflamasi (-), deformitas (-), krepitasi (-), nyeri tekan (-)
Alae Nasi Tanda inflamasi (-), hiperemis (-), deformitas (-), edema (-)
Rhinoskopi Anterior:
Vestibulum Nasi Mukosa hiperemis (+) discharge (-), edema (-), hiperemis (-), krusta(-)
Meatus Nasi Inferior Hiperemis (-), Masa (-), Hiperemis (-), Masa (-),
discharge (+) minimal discharge (+) minimal
Konka Inferior Hiperemis (+), edema (+) Hiperemis (+), edema (+)
Meatus Nasi Media Hiperemis (-), discharge Hiperemis (-), discharge (+)
(+) minimal minimal
Konka Media Hiperemis (+), edema (+) Hiperemis (+), edema (+)
SINUS PARANASA
L
CAVUM ORIS-TONSIL-FARING
Gusi dan Gigi Warna merah muda, ulkus (-), karies dentis (-)
Lingua Simetris, atrofi papil (-), warna putih pekat (-), ulserasi (-)
Faring Hiperemis (-), discharge (-), granular (-), massa (-), darah (-)
Kesan Pada pemeriksaan mulut dan faring tidak terdapat tanda-tanda
epistaksis dan peradangan. Kesan: Normal
IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan darah Bleeding time clothing time
VII. PENATALAKSANAAN
Non-farmakologi
- Menghentikan perdarahan
Penekanan Langsung Pada Ala Nasi
Penekanan selama 5-30 menit. Setiap 5 – 10 menit sekali dievaluasi apakah p
erdarahan telah terkontrol atau belum. Penderita sebaiknya tetap tegak namun
tidak hiperekstensi untuk menghindari darah mengalir ke faring yang dapat m
engakibatkan aspirasi.
Kauterisasi
Perdarahan dapat ditangani dengan kauter menggunakan epinephrin,
albothyl, dan oksimetasolin. Dapat dievaluasi setiap 2-3 menit. Kauterisasi ti
dak dilakukan pada kedua septum karena dapat menimbulkan perforasi. Prose
dur elektrokauterisasi juga dapat dilakukan. Metode ini dilakukan pada perda
rahan yang lebih masif yang kemungkinan berasal dari daerah posterior, dan
kadang memerlukan anestesi lokal.
Tampon hidung
Tampon Anterior
Jika masih menetes, penggunaan tampon Boorzalf atau tampon sinonasal atau
tampon pita yang diberikan vaselin putih (petrolatum) dan menggunakan sale
p antibiotik, misalnya Oksitetrasiklin 1%. Pasang dengan menggunakan spek
ulum hidung dan pinset bayonet. Apabila tampon menggunakan boorzalf atau
salep antibiotik harus dilepas dalam 2 hari.
Farmakologi
VIII. EDUKASI
- Menjaga kesehatan dengan mengatur pola makan yaitu mengurangi makanan
asin dan berminyak. Selain itu melakukan olahraga ringan seperti jalan/lari 3
kali seminggu dengan durasi 30 menit.
- Tidak mengusap dan hidung dengan menggunakan tangan
- Rajin merawat dan menjaga kebersihan hidung
- Jauhi makanan dan minuman yang menyebabkan tingginya tekanan darah
IX. PLANNING
- Rutin kontrol ke poli THT-KL untuk mencegah epistaksis berulang
- Rutin kontrol ke poli Ilmu Penyakit Dalam untuk mengontrol hipertensi
X. PROGNOSIS
Ad Vitam : dubia ad bonam
Ad Fungsionam : dubia ad bonam
Ad Sanationam : dubia ad bonam
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
EPISTAKSIS
A. DEFINISI
Epistaksis berasal dari istilah yunani epistazein yang berarti perdarahan dari hi
dung. Epistaksis adalah perdarahan akut yang berasal dari vestibulum nasi, kavum nas
i atau nasofaring.
B. ANATOMI
Hidung
Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi oleh ku
lit, jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan atau menye
mpitkan lubang hidung. Kerangka tulang terdiri tulang hidung (os nasal), prosesus fro
ntalis os maksila, dan prosesus nasalis os frontal, sedangkan kerangka tulang rawan te
rdiri dari beberapa pasang tulang rawan yang terletak di bagian bawah hidung, yaitu s
epasang kartilago nasalis lateralis superior, sepasang kartilago nasalis lateralis inferior
yang disebut juga sebagai kartilago alar mayor, dan tepi anterior kartilago septum.
Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan ke belakang dip
isahkan oleh septum nasi di bagian tengahnya menjadi kavum nasi kanan dan kiri. Pin
tu atau lubang masuk kavum nasi bagian depan disebut nares anterior dan lubang bela
kang disebut nares posterior (koana) yang menghubungkan kavum nasi dengan nasofa
ring.
Bagian dari kavum nasi yang letaknya sesuai dengan ala nasi, tepat di belakang na
res anterior, disebut vetibulum. Vestibulum ini dilapisis oleh kulit yang mempunyai b
anyak kelenjar sebasea dan rambut-rambut panjang yang disebut vibrise. Tiap kavum
nasi mempunyai 4 buah dinding, yaitu dinding medial, lateral, inferior dan superior. D
inding medial hidung ialah septum nasi. Septum dibentuk oleh tulang dan tulang rawa
n. Bagian tulang adalah lamina perpendikularis os etmoid, vomer, krista nasalis os ma
ksila, dan krista nasalis os palatina. Bagian tulang rawan adalah kartilago septum (lam
ina kuadrangularis) dan kolumela. Septum dilapisi oleh mukosa hidung.
Pada dinding lateral terdapat 4 buah konka. Yang terbesar dan letaknya paling baw
ah ialah konka inferior, kemudian yang lebih kecil ialah konka media, lebih kecil lagi
ialah konka superior, sedangkan yang terkecil disebut konka suprema. Konka suprema
ini biasanya rudimenter. Konka inferior merupakan tulang tersendiri yang melekat pa
da os maksila dan 4 labirin etmoid, sedangkan konka media, superior, dan suprema m
erupakan bagian dari labirin etmoid. Diantara konka-konka dan dinding lateral hidung
terdapat rongga sempit yang disebut meatus. Ada tiga meatus yaitu meatus inferior, m
edius dan superior. Meatus inferior terletak diantara konka inferior dengan dasar hidu
ng dan dinding lateral rongga hidung. Pada meatus inferior terdapat muara (ostium) d
uktus nasolakrimalis. Meatus medius terletak di antara konka media dan dinding later
al rongga hidung. Pada meatus medius terdapat muara sinus frontal, sinus maksila dan
sinus etmoid anterior. Pada meatus superior yang merupakan ruang di antara konka su
perior dan konka media terdapat muara sinus etmoid posterior dan sinus sfenoid.
Dinding inferior merupakan dasar rongga hidung dan dibentuk oleh os maksila da
n os palatum. Dinding superior atau atap hidung sangat sempit dan dibentuk oleh lami
na kribriformis, yang memisahkan rongga tengkorak dari rongga hidung. Lamina krib
riformis merupakan lempeng tulang berasal dari os etmoid, tulang ini berlubang-luban
g (kribrosa = saringan) tempat masuknya serabut-serabut saraf olfaktorius. Di bagian
posterior, atap rongga hidung dibentuk oleh os sfenoid.
Vaskularisasi hidung
Bagian atas rongga hidung mendapat pendarahan dari a. etmoid anterior dan poste
rior yang merupakan cabang dari a. oftalmika dari a. karotis interna. Bagian bawah ro
ngga hidung mendapat pendarahan dari cabang a. maksilaris interna, di antaranya iala
h ujung a. palatina mayor dan a. sfenopalatina yang keluar dari foramen sfenopalatina
bersama n. sfenopalatina dan memasuki rongga hidung dibelakang ujung posterior ko
nka media. Bagian depan hidung mendapat pendarahan dari cabang-cabang a. fasialis.
Pada bagian depan septum terdapat anastomosis dari cabang-cabang a. sfenopalatina,
a. etmid anterior, a. labialis superior dan a. palatine mayor, yang disebut pleksus kiess
elbach (little‟s area). Pleksus kiesesselbach letaknya superficial dan mudah cedera ole
h trauma, sehingga sering menjadi sumber epistaksis (perdarahan hidung), terutama pa
da anak. Vena-vena hidung mempunyai nama yang sama dan brjalan berdampingan d
enga arterinya. Vena di vestibulum dan struktur luar hidung bermuara ke v. oftalmika
yang berhubungan dengan sinus kavernosus. Vena-vena dihidung tidak memiliki katu
p, sehingga merupakan faktor predisposisi untuk mudahnya penyeabaran infeksi samp
ai ke intrakranial.
C. ETIOLOGI
1. LOKAL
a. Trauma
Perdarahan dapat terjadi karena trauma ringan misalnya bersin, mengorek hidung, tr
auma seperti terpukul, jatuh dan sebagainya. Iritasi gas yang merangsang dan trauma pa
da saat pembedahan dapat juga menyebabkan epistaksis. Epistaksis juga sering terjadi k
arena adanya deviasi septum yang tajam. Perdarahan dapat terjadi di tempat deviasi itu
sendiri atau pada mukosa konka yang berhadapan.
b. Infeksi
Infeksi hidung seperti rinosinusitis serta granuloma spesifik, seperti lupus, sifilis da
n lepra dapat menyebabkan epistaksis.
c. Neoplasma
Epistaksis yang berhubungan dengan neoplasma biasanya sedikit dan intermitten, k
adang-kadang ditandai dengan mukus yang bernoda darah. Neoplasma yang dapat men
yebabkan epistaksis masif seperti hemangioma, karsinoma, serta angiofibroma nasofari
ng.
d. Kelainan kongenital
Kelainan kongenital yang sering menyebabkan epistaksis adalah perdarahan tela
ngiektasisherediter (hereditary hemorrhagic telangiectasis / Osler’s disease). Penyakit i
ni merupakan kelainan pembuluh darah dimana terjadi kerapuhan kapiler sehingga me
mudahkan terjadinya perdarahan.
e. Pengaruh lingkungan
Kelembaban udara yang rendah dapat menyebabkan iritasi mukosa. Epistaksis s
ering terjadi pada udara yang kering dan saat musim dingin.
f. Operasi
Perdarahan post operatif setelah bedah endoskopik memerlukan perhatian khusu
s.
2. SISTEMIK
Kelainan darah
i. Trombositopenia adalah keadaan dimana jumlah trombosit kurang dari 150.000/µl. T
rombositopenia akan memperpanjang waktu koagulasi dan memperbesar resiko terja
dinya perdarahan dalam pembuluh darah yang lebih kecil di seluruh tubuh
ii. Hemofilia adalah penyakit gangguan koagulasi herediter yang diturunkan secara X-
Linked resesif, yang mana gangguan terjadi pada jalur intrinsik mekanisme herediter,
yaitu adanya defisiensi atau defek dari faktor pembekuan VIII (hemofilia A) atau IX
(hemofilia B). Darah pada penderita hemofilia tidak dapat membeku secara normal, h
al ini dapat menyebabkan terjadinya epistaksis.
iii. Leukemia adalah jenis penyakit kanker yang menyerang sel-sel darah putih yang dipr
oduksi oleh sumsum tulang. Sumsum tulang dalam tubuh manusia memproduksi 3 tip
e sel darah diantaranya lekosit, eritrosit dan trombosit. Pada leukemia terjadi peningk
atan pembentukan sel leukosit sehingga menyebabkan penekanan pembentukan sel-s
el darah lain di sumsum tulang termasuk trombosit, sehingga terjadi trombositopenia
yang menyebabkan perdarahan mudah terjadi.
iv. Obat-obatan seperti: Menyebabkan trombositopeni: Obat kemoterapi, quinidine, golo
ngan sulfa, H2 blockers, obat-obat diabetes oral, alkohol. Mempengaruhi proses koag
ulasi darah: Warfarin, Heparin. Mempengaruhi fungsi platelet: Aspirin, clopidogrel,
OAINS. Obat-obatan herbal: Dong quai, Danshen, Feverfew, bawang, jahe, Gingko,
Ginseng.
a) Penyakit kardiovaskuler.
i. Hipertensi adalah peningkatan tekanan sistolik lebih dari 140 mmHg dan tekanand
iastolik lebih dari 90 mmHg. Perdarahan yang terjadi akibat kerapuhan pembuluh
darah dan kontraksi pembuluh darah terus menerus sehingga pembuluh darah yan
g rapuh mudah pecah.
Sesuai Kriteria Joint National Comitte (JNC-8), klasifikasi hipertensi sebagai beri
kut:
Klasifikasi TD Sistolik (mmHg) TD Diastolik (mmHg)
Normal < 120 < 80
Pre-hipertensi 120-139 80-89
Hipertensi grade I 140-159 89-99
Hipertensi grade II >160 >100
ii. Arteriosklerosis adalah terjadinya kekakuan pembuluh darah. Jika terjadi keadaan
tekanan darah meningkat, pembuluh darah yang tidak elastis akan mengalami rupt
ur.
E. DIAGNOSIS
Anamnesis
Pada anamnesis yaitu awal terjadi perdarahan, perdarahan pada satu sisi atau k
edua sisi hidung, riwayat perdarahan sebelumnya, durasi dan jumlah perdaraha
n, penyakit penyerta seperti hipertensi, leukemia, hemofilia, purpura, gagal jan
tung, pemakaian obat-obatan seperti Aspirin atau Warfarin, NSAID (Ibuprofe
n), Vitamin E dosis tinggi serta riwayat kelainan darah atau leukemia dalam ke
luarga. Kebanyakan perdarahan dari hidung disebabkan oleh trauma ringan pa
da septum nasi anterior. Riwayat perdarahan hidung yang sering berulang dise
rtai bagian tubuh lain yang mudah memar atau perdarahan lainnya memberika
n kecurigaan terhadap penyebab sistemik dan dianjurkan pemeriksaan hematol
ogis.
Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan fisik, setelah memeriksa keadaan umum pasien dan memast
ikan tanda vital stabil, perhatian diarahkan pada hidung. Pada pemeriksaan stat
us lokalis pada hidung ditemukan tampak hiperemis pada konka inferior dan
media dextra. Pada mulut dan orofaring ditemukan darah pada faring
Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan darah dan foto
F. PENATALAKSANAAN
Terdapat 3 prinsip utama dalam menanggulangi epistaksis yaitu menghentikan perdaraha
n, mencegah komplikasi, dan mencegah berulangnya epistaksis. Menghentikan perdarahan dapat
dilakukan dengan: penekanan langsung pada ala nasi, kauterisasi, pemasangan tampon hidung (an
terior dan posterior), ligasi arteri dan embolisasi. Pencegahan terhadap terjadinya komplikasi dapa
t dilakukan dengan: mengatasi dampak perdarahan yang banyak. Salah satu yang dilakukan adala
h; pemberian infus atau transfusi darah.
Menghentikan Perdarahan
Penanganan pertama dimulai dengan penekanan langsung ala nasi kiri dan kanan bersamaan sela
ma 5 – 30 menit. Setiap 5 – 10 menit sekali dievaluasi apakah perdarahan telah terkontrol atau bel
um. Penderita sebaiknya tetap tegak namun tidak hiperekstensi untuk menghindari darah mengalir
ke faring yang dapat mengakibatkan aspirasi.
2. Kauterisasi
Perdarahan yang berasal dari plexus Kiesselbach dapat ditangani dengan kauteriasi kimia Perak N
itrat 30%, Asam Triklorasetat 30%, atau Polikresulen pada pembuluh darah yang mengalami perd
arahan selama 2 – 3 detik. Kauterisasi tidak dilakukan pada kedua septum karena dapat menimbul
kan perforasi. Prosedur elektrokauterisasi juga dapat dilakukan. Metode ini dilakukan pada perdar
ahan yang lebih masif yang kemungkinan berasal dari daerah posterior, dan kadang memerlukan a
nestesi lokal.
3. Tampon Hidung
Tampon hidung dapat digunakan untuk menangani epistaksis yang tidak responsif terhadap kauter
isasi. Terdapat dua tipe tampon, tampon anterior dan tampon posterior. Pada keduanya, dibutuhka
n anestesi dan vasokonstriksi yang adekuat.
Tampon Anterior
Untuk tampon anterior dapat digunakan tampon Boorzalf atau tampon sinonasal atau tampon pita
(ukuran 1,2 cm x 180 cm), yaitu tampon yang dibuat dari kassa gulung yang diberikan vaselin put
ih (petrolatum) dan menggunakan salep antibiotik, misalnya Oksitetrasiklin 1%, tampon ini dapat
dipakai untuk membantu menghentikan epistaksis. Pasang dengan menggunakan spekulum hidun
g dan pinset bayonet, yang diatur secara bersusun dari inferior ke superior untuk memberikan teka
nan yang adekuat. Apabila tampon menggunakan boorzalf atau salep antibiotik harus dilepas dala
m 2 hari.
Tampon posterior.
Epistaksis yang tidak terkontrol menggunakan tampon rongga hidung anterior dapat ditambahkan
tampon posterior. Menggunakan tampon yang digulung, dikenal sebagai tampon Bellocq. Apabila
melakukan pemasangan tampon posterior, maka tampon anterior seyogyanya tetap dipasang. Anti
biotik intravena tetap diberikan untuk mencegah rinosinusitis dan syok septik.
4. Ligasi Arteri
Pemilihan pembuluh darah yang akan diligasi bergantung pada lokasi epistaksis. Secara umum, se
makin dekat ligasi ke lokasi perdarahan, maka kontrol perdarahan semakin efektif. Pembuluh dara
h yang dipilih antara lain: arteri karotis eksterna, arteri maksila interna atau arteri etmoidalis.
5. Embolisasi
Perdarahan yang berasal dari sistem arteri karotis eksterna dapat diembolisasi. Dilakukan angiogr
afi preembolisasi untuk mengevaluasi sistem arteri karotis eksterna dan arteri karotis interna. Emb
olisasi dilakukan pada arteri maxilaris interna dan externa. Angiografi postembolisasi dapat digun
akan untuk menilai tingkat oklusi.
G. KOMPLIKASI
Komplikasi dapat terjadi sebagai akibat dari epistaksisnya sendiri atau sebagai akibat
dari usaha penanggulangan epistaksis. Akibat perdarahan yang hebat dapat terjadi asp
irasi darah ke dalam saluran napas bawah, syok, anemia, dan gagal ginjal. Turunnya t
ekanan darah secara mendadak dapat menimbulkan hipotensi, hipoksia, iskemia sereb
ri, insufisiensi koroner sampai infark miokard sehingga dapat menyebabkan kematian.
Dalam hal ini pemberian infus atau transfusi darah harus dilakukan segera.
DAFTAR PUSTAKA
1) Ballenger JJ. Aplikasi Klinis Anatomi Hidung dan Sinus Paranasal. [pengar. buku] Ba
llenger JJ. Penyakit Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala dan Leher. Edisi 13. Jakarta:
Bina Rupa, 1994, Vol. 1, hal. 1-44, 551-52.
2) Herkner H, Laggner AN, Muller M, FormanekM, Hypertension in Patients Presenting
With mji Epistaxis. Annals of Emergency Medicine. 2002; 35(2): 126-30.
3) Knopfholz J, Lima JE, Neto DP, Faria NJR. 2009. Association between Epistaxis and
Hypertension: A one year Follow-up After an Index Episode of Nasal Bleeding in Hy
pertension Patients. International Journal of Cardiology. 2009; 134: 107-9.
4) Punagi AQ. Epistaksis Diagnosis dan Penatalaksanaan Terkini. Makassar: Digi Pustak
a, 2017.
5) Soetjipto, Damayanti dan Endang Mangunkusumo. Hidung dalam Buku Ajar IlmuKe
sehatan Telinga Hidung Tenggorokan Edisi Ketujuh, Efiaty A, Nurbaiti I (ed) Jakarta:
Badan Penerbit Fakultas kedokteran Universitas Indonesia, 2012. p.96-100.
6) Panduan Praktis Klinis Tindakan (PPKT) I, PP PERHATI-KL. 2015 Hal 28