PENDAHULUAN
Rinosinusitis kronik dapat disebabkan karena faktor non polip nasal dan
faktor polip nasal. Polip nasal adalah massa lunak yang mengandung banyak
cairan dalam rongga hidung berwarna putih keabu-abuan yang terjadi akibat
inflamasimukosa.3
1
BAB II
LAPORAN KASUS
2.2 Anamnesis
A. Keluhan Utama
Pasien datang ke poli THT dengan keluhan hidung tersumbat semakin
berat sejak ± 1 bulan yang lalu.
2
pasien tersumbat. Pasien juga merasakan ada lendir di tenggorokan dan
mengeluhkan suaranya bindeng dan tak kunjung membaik.
Riwayat Pengobatan
Pasien sebelumnya pernah berobat ke RS dan dikasih obat makan dan
obat semprot hidung, keluhan hidung tersumbat saat memakan obat
berkurang, dan setelah obatnya habis keluhan timbul kembali. Pasien tidak
tahu nama obat yang dikonsumsi.
3
Anamnesis Pasien
Muntah : -
4
A) Telinga
Daun Telinga Kanan Kiri
Anotia/mikrotia/makrotia - -
Keloid - -
Perikondritis - -
Kista - -
Fistel - -
Ott hematoma - -
Liang Telinga Kanan Kiri
Atresia - -
Serumen prop + +
Epidermis prop - -
Korpus alineum - -
Jaringan granulasi - -
Exositosis - -
Osteoma - -
Furunkel - -
Membrana Timpani Kanan Kiri
Hiperemis - -
Retraksi - -
Bulging - -
Atropi - -
Perforasi - -
Bula - -
Sekret - -
Retro-aurikular Kanan Kiri
Fistel - -
Kista - -
Abses - -
5
Pre-aurikular Kanan Kiri
Fistel - -
Kista - -
Abses - -
B) Hidung
RINOSKOPI ANTERIOR Kanan Kiri
- Vestibulum Nasi Hiperemis(-) Hiperemis(-)
- Kavum Nasi Sekret(-), Sekret(+),
Hiperemis(-), Sempit (+)
Edema(-) Hiperemis(-),
Sempit (-) Edema(-)
- Selaput Lendir Sekret (-) Sekret (+)
- Septum Nasi Dbn Dbn
- Lantai+Dasar Hidung Hiperemis (-) Hiperemis (-)
Edema (-) Edema (-)
- Konka Inferior Hiperemis(+) Hiperemis(-)
Hipertrofi(+) Hipertrofi(-)
- Meatus Inferior Sulit dinilai Sulit dinilai
- Konka Media Sulit dinilai Sulit dinilai
- Meatus Media Sulit dinilai Sulit dinilai
- Massa (-) Berwarna putih
keabu-abuan, dengan
permukaan licin dan
hampir memenuhi
seluruh rongga
hidung.
- Korpus Alienum - -
6
RINOSKOPI POSTERIOR Kanan Kiri
- Kavum Nasi Sulit dinilai Sulit dinilai
- Selaput Lendir Sulit dinilai Sulit dinilai
- Koana Sulit dinilai Sulit dinilai
- Septum Nasi Sulit dinilai Sulit dinilai
- Konka Superior Sulit dinilai Sulit dinilai
- Meatus Nasi Media Sulit dinilai Sulit dinilai
- Muara Tuba Sulit dinilai Sulit dinilai
- Adenoid Sulit dinilai Sulit dinilai
- Massa Tumor Sulit dinilai Sulit dinilai
TRANSLUMINASI Kanan Kiri
- Sinun Maxilarris Tidak dilakukan Tidak dilakukan
- Sinun Frontalis Tidak dilakukan Tidak dilakukan
7
C) Mulut
Hasil
Selaput Lendir Mulut Dalam batas normal
Bibir Dalam batas normal
Lidah gigi Gigi terdapat caries
Kelenjar Ludah Dalam batas normal
D) Faring
Hasil
Uvula Bentuk normal, terletak ditengah, permukaan rata,
edema (-), hiperemis (-)
Palatum mole Hiperemis (-)
Palatum durum Hiperemis (-)
Plika anterior Dalam batas normal
Tonsil Dekstra : tonsil T1, hiperemis (-)
E) Laringoskopi indirect
Hasil Hasil
Pangkal lidah Normal Aritenoid Sulit dilakukan
Epiglotis Sulit dilakukan Massa tumor Sulit dilakukan
Valekula Sulit dilakukan Sinus piriformis Sulit dilakukan
Plika ventikularis Sulit dilakukan Trakea Sulit dilakukan
Plika vokalis Sulit dilakukan
Komisura Anterior Sulit dilakukan
8
F) Kelenjar Getah Bening Leher
Kanan Kiri
Regio I Dbn Dbn
Regio II Dbn Dbn
Regio III Dbn Dbn
Regio IV Dbn Dbn
Regio V Dbn Dbn
Regio VI Dbn Dbn
area Parotis Dbn Dbn
Area postauricula Dbn Dbn
Area occipital Dbn Dbn
Area Dbn Dbn
supraclavicular
9
PEMERIKSAAN AUDIOLOGI
- Tes Berisik : Tidak dilakukan Tidak dilakukan
- Tes Rinne : + +
- Tes Weber : Tidak ada lateralisasi Tidak ada lateralisasi
- Tes Schwabah : Normal Normal
- Tes Barany : Tidak dilakukan Tidak dilakukan
- Tes Auropalpebra Reflek : Tidak dilakukan Tidak dilakukan
- Audiogram : Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Kesimpulan Tidak ada kelainan pada Kedua Telinga
PEMERIKSAAN VESTIBULAR :
Percobaan Kalori : Tidak dilakukan
2.4 Diagnosis
Rhinosinusitis Kronik dengan Polip Nasal Sinistra grade III.
2.6. Tatalaksana
Diagnostik
1. Transluminasi
2. CT-Scan Sinus Paranasal
3. Foto Polos : Posisi waters, PA, Lateral (Kelainan terlihat
perselubungan batas udara cairan, airfluid level/ penebalan mukosa)
10
4. Kultur Kuman dan Tes Resistensi ( Dilakukan dengan mengambil
sekret dari meatus media, untuk mendapatkan antibiotik tepat guna )
Terapi
Non-operatif
Polipektomi Medikamentosa:
- Metilprednisolon : Hari 1-5 4 x 8 mg
Hari 6-10 4 x 4 mg
Hari 11-20 4 x 2 mg
- Fluticasone propionate 50 mcg 1x1 spray/kavum nasi
- Cuci hidung dengan NaCl 0,9% 4-6x sehari
Rujuk ke Spesialis THT-KL
2.7 Monitoring
- Follow up keluhan pasien
- Monitoring tanda-tanda vital pasien
2.9 Prognosis
Quo et Vitam : dubia ad bonam
Quo et Fungtionam : dubia ad bonam
11
Quo et sanationam : dubia ad bonam
12
D= Hiperemis (-)
S=krusta ( cairan darah
yang sudah mengering)
bewarna merah kehitaman
4. Septum Nasi
D= Dbn
S= Hiperemis (+)
5. Lantai + Dasar Hidung
D= Hiperemis (-)
S= Hiperemis (+)
6. Konka Inferior
D= Hiperemis (+)
S= Hiperemis (+)
7. Meatus Nasi Inferior
D=Sulit dinilai
S= Sulit dinilai
8 . Konka Media
D= Sulit dinilai
S= Sulit dinilai
9. Meatus Nasi Media
D= Sulit dinilai
S= Sulit dinilai
10. Massa
D= tidak terdapat massa
S= tidak terdapat massa
Rhinoskopi Posterior
Sulit dinilai
Transluminasi
Tidak dilakukan
Mulut
1. Bibir = Kering
2. Lidah= dbn
13
3. Gigi= Caries (+)
4. Kelenjar Ludah =
dbn
Faring
1. Mukosa orofaring
= tidak terdapat
post nasal bleeding
Laring
Sulit dinilai
Pemeriksaan KGB
Tidak terdapat
pembesaran
Pemeriksaan N. Cranialis
N.Olfaktorius =
Normosmia hidung kiri
dan kanan
( bisa mengenali bau kopi
dan teh )
N.II- N.XII = dbn
Pemeriksaan Penala
Rinne = positif kira dan
kanan
Webber = Tidak terdapat
lateralisasi
Swabach= Sama dengan
pemeriksa.
14
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
Tiap kavum nasi mempunyai 4 buah dinding, yaitu dinding medial, lateral,
inferior dan superior. Dinding medial hidung ialah septum nasi. Septum dibentuk
oleh tulang dan tulang rawan. Bagian tulang adalah lamina perpendikularis os
etmoid, vomer, krista nasalis os maksila, krista nasalis os palatina. Bagian tulang
adalah kartilago septum (lamina kuadrangularis) dan kolumela. Septum dilapisi
15
oleh perikondrium pada bagian tulang rawan dan periosteum pada bagian tulang,
sedangkan diluarnya dilapisi oleh mukosa hidung.4
Pada dinding lateral terdapat 4 buah konka. Yang terbesar dan letaknya
paling bawah ialah konka inferior, kemudian yang lebih kecil ialah konka media,
lebih kecil lagi ialah konka superior, sedangkan yang terkecil disebut konka
suprema. Konka suprema ini biasanya rudimenter.4
16
Gambar 3.2 Anatomi Hidung bagian dalam6
Kompleks Otiomeatal
Pada sepertiga tengah dinding lateral hidung yaitu di meatus medius, ada
muara-muara saluran dari sinus maksila, sinus frontal dan sinus etmoid
anterior. Daerah ini rumit dan sempit dan dinamakan kompleks ostio-meatal
(KOM), terdiri dari infundibulum etmoid yang terdapat di belakang prosesus
unsinatus, resesus frontalis, bula etmoid dan sel-sel etmoid anterior dengan
ostiumnya dan ostium sinus maksila.4
Jika terjadi obstruksi pada celah yang sempit ini, maka akan terjadi
perubahan patologis yang signifikan pada sinus-sinus terkait.4
Pendarahan Hidung
17
Bagian depan hidung mendapat pendarahan dari cabang-cabang
a.fasialis.Pada bagian depan septum terdapat anastomosis dari cabang-cabang
a..sfenopalatina, a. etmoid, a. labialis superior, a. palatina mayor, yang disebut
pleksus Kiessebach(Little’s area) letaknya superfisial dan mudah cedera oleh
trauma, sehingga sering menjadi sumber epitaksis (perdarahan hidung), terutama
pada anak.4
Persarafan Hidung
Bagian depan dan atas rongga hidung mendapat persarafan sensoris dari
n.etmoidalis anterior, yang merupakan cabang dari n.nasosiliaris, yang berasal
dari n.oftalmikus (N.V-1).4
Nervus olfaktorius. Saraf ini turun melalui lamina kribrosa dari permukaan
bawah bulbus olfaktorius dan kemudian berakhir pada sel-sel reseptor penghidu
pada mukosa olfaktorius di daerah sepertiga atas hidung.4
18
Mukosa Hidung
Rongga hidung dilapisi oleh mukosa yang secara histologik dan fungsional
dibagi atas mukosa pernafasan (mukosa respiratori) dan mukosa penghidu
(mukosa olfaktorius).Mukosa pernafasan terdapat pada sebagian besar rongga
hidung dan permukaannya dilapisi oleh epitel torak berlapis semu
(pseudostratified columnar epithelium) yang mempunyai silia dan diantaranya
terdapat sel-sel goblet.Pada bagian yang lebih terkena aliran udara mukosanya
lebih tebal dan kadang-kadang terjadi metaplasia, menjadi epitel skuamosa.4
Dalam keadaan normal mukosa berwarna merah muda dan selalu basah
karena diliputi oleh palut lendir (mucous blanket) pada permukaannya. Palut
lendir ini dihasilkan oleh kelenjar mukosa dan sel-sel goblet.4
19
yang lebih dalam lalu ke venula. Dengan susunan demikian mukosa hidung
menyerupai sesuatu jaringan kavernosus yang erektil, yang mudah mengembang
dan mengerut. Vasodilatasi dan Vasokonstriksi pembuluh darah ini dipengaruhi
oleh saraf otonom.4
1. Sinus Maksila
20
Dari segi klinik yang perlu diperhatikan dari anatomi sinus maksila adalah:7
a. Dasar dari anatomi sinus maksila sangat berdekatan dengan akar gigi
rahang atas, yaitu premolar (P1 dan P2), molar (M1 dan M2), kadang-
kadang juga gigi taring (C) dan gigi molar M3, bahkan akar-akar gigi
tersebut dapat menonjol ke dalam sinus, sehingga infeksi gigi geligi
mudah naik ke atas menyebabkan sinusitis.
b. Sinusitis maksila dapat menyebabkan komplikasi orbita.
c. Ostium sinus maksila terletak lebih tinggi dari dasar sinus, sehingga
drainase hanya bergantung dari gerak, lagipula drainase juga harus melalui
infundibulum yang sempit. Infundibulum adalah bagian dari sinus etmoid
anterior dan pembengkakan akibat radang atau alergi pada daerah ini dapat
menghalangi drenase sinus maksila dan selanjutnya menyebabkan
sinusitus.
2. Sinus Frontal
Sinus frontal kanan dan kiri biasanya tidak simetris, satu lebih besar dari
pada lainnya dan dipisahkan oleh sekatt yang terletak di garis tengah. Kurang
lebih 15% orang dewasa hanya mempunyai satu sinus frontal dan kurang lebih 5%
sinus frontalnya tidak berkembang.7
21
ostiumnya yang terletak di resesus frontal, yang berhubungan dengan
infundibulum etmoid.7
3. Sinus Etmoid
Dari semua sinus paranasal, sinus etmoid yang paling bervariasi dan akhir-
akhir ini dianggap paling penting, karena dapat merupakan fokus infeksi bagi
sinus-sinus lainnya. Pada orang dewasa bentuk sinus etomid seperti piramid
dengan dasarnya di bagian posterior. Ukurannya dari anterior ke posterior 4-5 cm,
tinggi 2.4 cmn dan lebarnya 0.5 cm di bagian anterior dan 1.5 cm di bagian
posterior.7
4. Sinus Sfenoid
22
dan di sebelah posteriornya berbatasan dengan fosa serebri posterior di daerah
pons.7
23
3.2 Rhinosinusitis
3.2.1 Definisi
b. Infeksi
c. Alergi
d. Asma
e. Sensivitas Aspirin
g. Faktor Iatrogenik
3.2.3 Klasifikasi
24
Berdasarkan beratnya penyakit, rinosinusitis dapat dibagi menjadi ringan,
sedang dan berat berdasarkan total skor visual analogue scale (VAS) (0-10) :1
3.2.4 Patofisiologi
25
Jika terapi tidak berhasil (misalnya karena ada faktor predisposisi),
inflamasi berlanjut, terjadi hipoksia dan bakteri anaerob berkembang. Mukosa
makin membengkak dan ini merupakan rantai siklus yang terus berputar sampai
akhirnya perubahan mukosa menjadi kronik yaitu hipertrofi, polipoid atau
pembengkakan polip dan kista.7
3.2.5 Diagnosis
1. Anamnesis
a. Hidung tersumbat
b. Sekret pada hidung dan post nasal drip, sering mukopurulent
c. Nyeri/nyeri tekan pada wajah
d. Gangguan penghidu
2. Pemeriksaan Fisik
a. Rhinoskopi Anterior
Tanda khas adanya sekret di meatus media atau meatus superior,
edema mukosa atau konka, polip atau abnormalitas anatomi hidung.
b. Rhinoskopi Posterior
Ditemukannya post nasal drip
c. Nyeri tekan pada wajah
3. Pemeriksaan Penunjang
a. Transiluminasi sinus
Pada pemeriksaan transluminasi, sinus yang mengalami sinusitis akan
tampak suram atau gelap.
b. Nasal Endoskopi
2
meatus media dan meatus superior, serta nasofaring dan jalur drainase
mukosiliar.
c. Imaging
i. Foto Polos : posisi waters, PA, Lateral
Umumnya hanya mampu menilai kondisi sinur-sinus besar seperti
sinus maksila dan frontal. Kelainan akan terlihat perselubungan,
batas udara-cairan (air fluid level) atau penebalan mukosa.
ii. Ct-Scan
Merupakan gold standard diagnosis sinusitis karena mampu menilai
anatomi hidung dan sinus, adanya penyaki dalam hidung dan sinus
secara keseluruhan dan perluasannya. Namun, karena mahal hanya
dikerjakan sebagai penunjang diagnostik sinusitis kronis yang tidak
membaik dengan pengobatan atau pra-operasi sebagai panduan
operator untuk melakukan operasi.
d. Pemeriksaan mikrobiologik kultur kuman dan tes resistensi dilakukan
dengan mengambil sekret dari meatus medius atau superior untuk
mendapat antibiotik yang tepat guna.
Polip hidung adalah kondisi peradangan kronis hidung dan mukosa sinus
paranasal, ditandai dengan massa edema dan infiltrasi inflamasi sel . Polip hidung
merupakan massa lunak yang mengandung banyak cairan didalam rongga hidung,
berwarna putih keabu-abuan, yang terjadi akibat inflamasi mukosa. Secara
27
makroskopik polip merupakan massa bertangkai dengan permukaan licin,
berbentuk bulat atau lonjong, berwarna putih keabu-abuan, agak bening, lobular,
dapat tunggal atau multiple, dan tidak sensitive (bila ditekan tidak terasa sakit).
Warna polip yang pucat tersebut disebabkan karena mengandung banyak cairan
dan sedikitnya aliran darah ke polip. Bila terjadi iritasi kronis atau proses
peradangan warna polip dapat berubah menjadi kemerah-merahan dan polip yang
sudah menahun warnanya dapat menjadi kekuning-kuningan karena banyak
mengandung jaringan ikat.10
28
seperti deviasi septum hidung atau mukokel. Hidung tersumbat juga bisa
disebabkan oleh efek obat. 11
Gangguan mukosa
b. Rinosinusitis akut
29
c. Rinosinusitis Kronis
Rinosinusitis kronis tanpa polip hidung adalah subtipe yang paling umum,
terhitung sekitar 60% hingga 65% dari kasus CRS. Secara umum, orang-orang
dengan Rinosinusitis kronis tanpa polip hidung memiliki gejala-gejala yang lebih
menonjol dari nyeri wajah dan pengeluaran cairan bernanah.11
30
Gangguan Struktural
3.2.7 Penatalaksanaan
31
Selain dekongestan oral dan topical, terapi lain dapat diberikan jika
diperlukan, seperti analgetik, mukolitik, steroid oral/topikal, pencucian rongga
hidung dengan NaCl. Antihistamin tidak rutin diberikan, karena sifat
antikolinergiknya dapat menyebabkan secret menjadi lebih kental. Bila ada alergi
berat sebaiknya diberikan antihistamin generasi ke-2. Irigasi sinus maksila atau
Proetz displacement therapy juga merupakan terapi tambahan yang dapat
bermanfaat. Imunoterapi dapat dipertimbangkan jika pasien menderita kelainan
alergi yang berat.1
Tindakan operasi Bedah Sinus Endoskopi Fungsional (BSEF) merupakan
operasi terkini untuk rhinosinusitis kronik yang memerlukan operasi. Tindakan ini
telah menggantikan hampir semua jenis bedah sinus terdahulu karena memberikan
hasil yang lebih memuaskan dan tindakan lebih ringan dan tidak radikal.1
32
Gambar 3.5 Penatalaksanaan Rinosinusitis Kronis Tanpa Polip Nasi Pada Dewasa Untuk
Dokter Spesialis THT1
Gambar 3.6 Penatalaksanaan Rinosinusitis Kronis dengan Polip Nasi Pada Dewasa Untuk
Dokter Spesialis THT.1
33
Gambar 3.7 Penatalaksanaan Rinosinusitis Kronis Tanpa Polip Nasi Anak-anak Untuk
Dokter Spesialis THT.1
34
Gambar 3.8 Penatalaksaan Polip hidung dan Sinus Paranasal berdasarkan Guideline
Penyakit THT-KL di Indonesia (Dewasa)13
3.2.8 Komplikasi
1. Komplikasi Orbita.
35
a. Peradangan atau reaksi edema yang ringan.terjadi pada isi orbita akibat
infeksi sinus etmoidalis di dekatnya. Keadaan ini terutama ditemukan
pada anak, karena lamina papirasea yang memisahkan orbita dan sinus
etmoidalis seringkali merekah pada kelompok umur ini.
b. Selulitis orbita. Edema bersifat difus dan bakteri telah secara aktif
menginvasi isi orbita namun pus belum terbentuk.
c. Abses subperiosteal. Pus terkumpul diantra periorbita dan dinding
tulang orbita menyebabkan proptosis dan kemosis.
d. Abses orbita. Pada tahap ini, pus telah menembus periosteum dan
bercampur dengan isi orbita. Disertai gejala sisa neritis optik dan
kebutaan unilateral yang lebih serius. Keterbatasan gerak otot
ekstraokular mata yang terserang dan kemosis konjungtiva merupakan
tanda khas abses orbita, juga proptosis yang makin bertambah.
e. Sindrom fisura orbital superior
Gejala berupa nyeri pada mata bagian dalam,sakit kepala bagian depan,
dan paralisis nervus cranial VI, III, dan IV.
f. Sindrom apeks orbital
Terjadi gangguan pada nervus optikus dan nervus trigeminus cabang
maxillary
2. Osteomyelitis1,14
a. Osteomyelitis maxilla
b. Osteomyelitis os frontal
3. Komplikasi Intrakranial1,14
a. Meningitis Akut
36
b. Abses Dura
Adalah kumpulan pus diantara dura dan tabula interna kranium.
Seringkali mengikuti sinus frontalis. Proses ini mungkin timbul lambat
sehingga pasien hanya mengeluhkan sakit kepala, dan sebelum pus
yang terkumpul mampu meningkakan tekanan intrakranial yang
memadai, mungkin tidak terdapat gejala neurologik lain. Abses
subdural adalah kumpulan pus diantara durameter dan araknoid atau
permukaan otak. Gejala-gejala kondisi ini serupa dengan abses dura
yaitu nyeri kepala yang membandel dan dengan demam tinggi dengan
tanda-tanda rangsanganmeningen. Gejala utama tidak timbul sebelum
intrakranial meningkat atau sebelum abses memecah ke dalam ruang
subaraknoid.
c. Abses Otak
Abses otak biasanya terjadi melalui tromboflebitis yang meluas secara
langsung. Dengan demikian lokasi abses yang sering adalah pada
ujung vena yang pecah, meluas menembus dura dan araknoid hingga
ke perbatasan antara substansia alba dan grisea korteks serebri. Pada
ttitik inilah akhir saluran vena permukaan otak bergabung dengan akhir
saluran vena serebralis bagian sentral.
4. Infeksi Descenden14
- Otitis media
- faringitis dan tonsillitis
- Laringitis persisten dan trakeobronkitis
3.2.9 Prognosis
37
Polip nasi sering kambuh kembali, oleh karena itu pengobatannya juga
perlu ditujukan kepada penyebabnya, misalnya alergi. Tetapi yang paling ideal
pada rinitis alergi adalah menghindari kontak dengan alergen penyebab. Secara
medikamentosa dapat diberikan antihistamin, dengan atau tanpa dekongestan yang
berbentuk tetes hidung yang bisa mengandung kortikosteroid atau tidak. Dan
untuk alergi inhalan dengan gejala yang berat dan sudah berlangsung lama dapat
dilakukan imunoterapi dengan cara desensitisasi dan hiposensitisasi, yang menjadi
pilihan apabila pengobatan cara lain tidak memberikan hasil yang memuaskan.12
38
BAB IV
ANALISIS KASUS
Hal tersebut diatas sesuai dengan pemeriksaan fisik yang didapatkan pada
rinosinusitis dengan polip dimana menurut teori pada rinoskopi anterior
ditemukan adanya masa berwarna putih keabuan yaitu polip hidung dan juga
ditemukan hipertropi pada konka inferior.
39
Penyingkiran diagnosis banding rinosinusitis kronik tanpa polip yaitu
dengan pemeriksaan rinoskopi anterior dimana tidak ditemukannya massa
berwarna putih keabu-abuan yang menandakan tidak terdapatnya polip. Untuk
menyingkirkan diagnosa papiloma inversi dapat dilihat dari usia biasanya terkena
pada umur >40 tahun jarang terjadi pada anak-anak dan dewasa muda, dan tidak
ada perbaikan dengan pengobatan polipektomi medikamentosa. Dari
makroskopisnya papiloma inversi biasanya unilateral dan berasal dari prosesus
uncinatus pada meatus media bukan dari sinus paranasal, tampak masa berwarna
kemerahan sampai pucat dan permukaan bergerombol. Papiloma inversi bisa
menyebabkan struktur disekitarnya rusak (erosi tulang). Pada pemeriksaan
mikroskopis dapat ditemukan fokus-fokus karsinoma sel sekitar 10% kasus.
Diagnosis banding karsinoma hidung dapat disingkirkan dengan melihat dari
gejala klinis terbanyak yaitu terdapat epistaksis, tinnitus, dan pembesaran KGB.
Dari makroskopisnya tampak massa yang mudah berdarah dan terdapat nyeri pada
massa yang berada di hidung.
40
BAB V
KESIMPULAN
41
DAFTAR PUSTAKA
42
11. Christoper J, Ocampo, Leslie, Grammer. Chronic Rinosinusitis. J Allergy Clin
Immunol Volume 1, Number 3. May/June 2013. 205-211.
12. Budiman BJ, Asyari A. Diagnosis dan Penatalaksanaan Rinosinusitis dengan
Polip Nasi. Fakultas Kedokteran Universitas Andalas.
13. Perhati KL. Guideline Penyakit THT-KL di Indonesia. 2003-2007.
14. Elsevier. Disease of Ear, Nose, and Throath. Third Edition. India. 2004 hal
243-7.
15. Lahdji A, Novitasari A, Tajally A, Ratnaningrum K. Buku Ajar Sistim
Telinga, Hidung, dan Tenggorokan. Fakultas Kedokteran Universitas
Muhammadiyah Semarang. 2015.