Anda di halaman 1dari 43

BAB I

PENDAHULUAN

Rinosinusitis merupakan suatu penyakit inflamasi mukosa yang melapisi


hidung dan sinus paranasalis. Rinosinusitis adalah istilah yang lebih tepat karena
sinusitis jarang tanpa didahului rinitis, sehingga disebut rhinosinusitis. Inflamasi
sering bermula akibat infeksi bakteri, virus, jamur, serta dapat pula terjadi akibat
tumor dan fraktur. 1,2

European Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal Polyps (EPOS)


tahun 2012 mendefinisikan rhinosinusitis secara klinis pada orang dewasa
merupakan inflamasi pada hidung dan sinus paranasal dengan karakteristik 2
gejala atau lebih, salah satunya adalah hidung tersumbat/ obstruksi/ kongesti atau
nasal discharge (anterior/posterior nasal drip) nyeri pada wajah, atau menurunnya
fungsi penghidu dan temuan endoskopi yaitu polip nasi, discharge mukopurulen
yang berasal dari meatus media dan atau edema/ obstruksi mukosa di meatus
media dan atau gambaran tomografi komputer perubahan mukosa di kompleks
ostiomeatal dan atau sinus.1

EPOS tahun 2012 membagi jenis rinosinusitis berdasarkan lama terjadinya


penyakit yaitu akut (<12 minggu) dengan perbaikan gejala secara menyeluruh dan
kronik (≥12 minggu) tanpa perbaikan gejala secara menyeluruh.1

Angka prevalensi rinosinusitis kronik pada penduduk dewasa di AS


berkisar antara 13-16 %. Dengan kata lain sekitar 30 juta penduduk dewasa AS
mengidap rinosinusitis kronik. Di Kanada tahun 2003 diperoleh angka prevalensi
rinosinusitis kronik sekitar 5 % dengan rasio wanita berbanding pria yaitu 6
berbanding 4 dimana lebih tinggi pada kelompok wanita.3

Rinosinusitis kronik dapat disebabkan karena faktor non polip nasal dan
faktor polip nasal. Polip nasal adalah massa lunak yang mengandung banyak
cairan dalam rongga hidung berwarna putih keabu-abuan yang terjadi akibat
inflamasimukosa.3

1
BAB II
LAPORAN KASUS

2.1 Identitas Pasien


- Nama : Tn. S
- No. Registrasi Medik : 926049
- Umur : 57 tahun
- Jenis kelamin : Laki-laki
- Alamat : Kelurahan Sukadamai, Kecamatan
Rimbo Ulu RT. 032. No. 02
- Agama : Islam
- Pendidikan : Tidak Sekolah
- Pekerjaan : Petani

2.2 Anamnesis
A. Keluhan Utama
Pasien datang ke poli THT dengan keluhan hidung tersumbat semakin
berat sejak ± 1 bulan yang lalu.

B. Riwayat Perjalanan Penyakit


Pasien datang dengan keluhan hidung sebelah kiri tersumbat ± 1
tahun yang lalu. Keluhan timbul setiap saat. Pasien merasakan cairan
kental keluar terus menerus dari hidung sebelah kiri. Cairan tersebut cukup
kental, bewarna kekuningan. Pasien juga mengeluh seperti ada yang
mengganjal dihidung sebelah kiri, dan sering mencium bau busuk pada
hidung sebelah kiri.
± 1 bulan SMRS keluhan hidung tersumbat semakin memberat.
Pasien mengeluh tidak dapat mencium bau-bauan pada hidung sebelah kiri
tetapi pada hidung sebelah kanan masih mampu untuk mengenali bau.
Pasien juga mengeluhkan bernafas melalui mulut, dikarenakan hidung

2
pasien tersumbat. Pasien juga merasakan ada lendir di tenggorokan dan
mengeluhkan suaranya bindeng dan tak kunjung membaik.

Riwayat Pengobatan
Pasien sebelumnya pernah berobat ke RS dan dikasih obat makan dan
obat semprot hidung, keluhan hidung tersumbat saat memakan obat
berkurang, dan setelah obatnya habis keluhan timbul kembali. Pasien tidak
tahu nama obat yang dikonsumsi.

Riwayat Penyakit Dahulu

- Riwayat keluhan serupa (+), ± 5 tahun yang lalu, pasien berobat ke


dokter dan di operasi dihidung sebelah kiri.
- Riwayat keluhan serupa (+), ± 2 tahun yang lalu, pasien berobat ke
dokter dan di operasi dihidung sebelah kiri
- Riwayat asma (-)
- Riwayat alergi (-)
- Riwayat kongenital (-)
- Hipertensi (-)
- Diabetes melitus (-)

C. Riwayat Penyakit Keluarga


- Riwayat keluhan serupa (-), Riwayat Asma (-), Riwayat alergi (-),
Riwayat kongenital (-), Hipertensi (-), Diabetes melitus (-)

3
Anamnesis Pasien

TELINGA HIDUNG TENGGOROK LARING

Gatal : -/- Rinore : -/+ Sukar Menelan : - Suara parau : -

Dikorek : -/- Buntu : -/+ Sakit Menelan : - Afonia : -

Nyeri : -/- Bersin : - Trismus :- Sesak napas : -

Bengkak : -/- Dingin/Lembab : -/- Ptyalismus : - Rasa sakit : -

Otore :-/- Debu Rumah :- Rasa Ngganjal : - Rasa ngganjal : -

Tuli :-/- Berbau : -/+ Rasa Berlendir : +

Tinitus :-/- Mimisan : -/- Rasa Kering : -

Vertigo :-/- Nyeri Hidung : -/-

Mual :- Suara sengau : +

Muntah : -

2.3 Pemeriksaan Fisik


- Keadaan Umum : Tampak Sakit Ringan
- Kesadaran : Compos mentis
- TD : 110/70 mmHg
- Nadi : 84 x/menit
- RR : 23 x/menit
- Suhu : 36,6 °C
- Anemia :-
- Sianosis :-
- Stridor Inspirasi :-
- Retraksi Suprasternal :-
- Intercostal :-
- Epigastial :-

4
A) Telinga
Daun Telinga Kanan Kiri
Anotia/mikrotia/makrotia - -
Keloid - -
Perikondritis - -
Kista - -
Fistel - -
Ott hematoma - -
Liang Telinga Kanan Kiri
Atresia - -
Serumen prop + +
Epidermis prop - -
Korpus alineum - -
Jaringan granulasi - -
Exositosis - -
Osteoma - -
Furunkel - -
Membrana Timpani Kanan Kiri
Hiperemis - -
Retraksi - -
Bulging - -
Atropi - -
Perforasi - -
Bula - -
Sekret - -
Retro-aurikular Kanan Kiri
Fistel - -
Kista - -
Abses - -

5
Pre-aurikular Kanan Kiri
Fistel - -
Kista - -
Abses - -

B) Hidung
RINOSKOPI ANTERIOR Kanan Kiri
- Vestibulum Nasi Hiperemis(-) Hiperemis(-)
- Kavum Nasi Sekret(-), Sekret(+),
Hiperemis(-), Sempit (+)
Edema(-) Hiperemis(-),
Sempit (-) Edema(-)
- Selaput Lendir Sekret (-) Sekret (+)
- Septum Nasi Dbn Dbn
- Lantai+Dasar Hidung Hiperemis (-) Hiperemis (-)
Edema (-) Edema (-)
- Konka Inferior Hiperemis(+) Hiperemis(-)
Hipertrofi(+) Hipertrofi(-)
- Meatus Inferior Sulit dinilai Sulit dinilai
- Konka Media Sulit dinilai Sulit dinilai
- Meatus Media Sulit dinilai Sulit dinilai
- Massa (-) Berwarna putih
keabu-abuan, dengan
permukaan licin dan
hampir memenuhi
seluruh rongga
hidung.

- Korpus Alienum - -

6
RINOSKOPI POSTERIOR Kanan Kiri
- Kavum Nasi Sulit dinilai Sulit dinilai
- Selaput Lendir Sulit dinilai Sulit dinilai
- Koana Sulit dinilai Sulit dinilai
- Septum Nasi Sulit dinilai Sulit dinilai
- Konka Superior Sulit dinilai Sulit dinilai
- Meatus Nasi Media Sulit dinilai Sulit dinilai
- Muara Tuba Sulit dinilai Sulit dinilai
- Adenoid Sulit dinilai Sulit dinilai
- Massa Tumor Sulit dinilai Sulit dinilai
TRANSLUMINASI Kanan Kiri
- Sinun Maxilarris Tidak dilakukan Tidak dilakukan
- Sinun Frontalis Tidak dilakukan Tidak dilakukan

Pemeriksaan Rhinoskopi Anterior

7
C) Mulut
Hasil
Selaput Lendir Mulut Dalam batas normal
Bibir Dalam batas normal
Lidah gigi Gigi terdapat caries
Kelenjar Ludah Dalam batas normal

D) Faring
Hasil
Uvula Bentuk normal, terletak ditengah, permukaan rata,
edema (-), hiperemis (-)
Palatum mole Hiperemis (-)
Palatum durum Hiperemis (-)
Plika anterior Dalam batas normal
Tonsil Dekstra : tonsil T1, hiperemis (-)

Sinistra : tonsil T1, hiperemis (-)

Plika posterior Hiperemis (-)


Mukosa orofaring Hiperemis (-), granula (-)

E) Laringoskopi indirect
Hasil Hasil
Pangkal lidah Normal Aritenoid Sulit dilakukan
Epiglotis Sulit dilakukan Massa tumor Sulit dilakukan
Valekula Sulit dilakukan Sinus piriformis Sulit dilakukan
Plika ventikularis Sulit dilakukan Trakea Sulit dilakukan
Plika vokalis Sulit dilakukan
Komisura Anterior Sulit dilakukan

8
F) Kelenjar Getah Bening Leher
Kanan Kiri
Regio I Dbn Dbn
Regio II Dbn Dbn
Regio III Dbn Dbn
Regio IV Dbn Dbn
Regio V Dbn Dbn
Regio VI Dbn Dbn
area Parotis Dbn Dbn
Area postauricula Dbn Dbn
Area occipital Dbn Dbn
Area Dbn Dbn
supraclavicular

PEMERIKSAAN NERVUS CRANIALIS :


I. Nervus Olfactory : Gangguan penghidu pada hidung
sinistra (Anosmia)
II. Nervus Opticus : Normal
III. Nervus Occulomotorius : Normal
IV. Nervus Trochlearis : Normal
V. Nervus Trigeminus : Normal
VI. Nervus Abducent : Normal
VII. Nervus Facialis : Normal
VIII. Nervus Vestibularis : Normal
IX. Nervus Glosopharyngeus : Normal
X. Nervus Vagus : Normal
XI. Nervus Accesorius : Normal
XII. Nervus Hypoglossus : Normal

9
PEMERIKSAAN AUDIOLOGI
- Tes Berisik : Tidak dilakukan Tidak dilakukan
- Tes Rinne : + +
- Tes Weber : Tidak ada lateralisasi Tidak ada lateralisasi
- Tes Schwabah : Normal Normal
- Tes Barany : Tidak dilakukan Tidak dilakukan
- Tes Auropalpebra Reflek : Tidak dilakukan Tidak dilakukan
- Audiogram : Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Kesimpulan Tidak ada kelainan pada Kedua Telinga

PEMERIKSAAN VESTIBULAR :
Percobaan Kalori : Tidak dilakukan

Percobaan Statistik : Percobaan tunjuk jari = tepat

Percobaan Jalan = tidak dilakukan

2.4 Diagnosis
Rhinosinusitis Kronik dengan Polip Nasal Sinistra grade III.

2.5 Diagnosis Banding


- Rhinosinusitis Kronis tanpa polip nasal
Dignosis banding polip nasi :
- Karsinoma Hidung
- Papiloma Inversi

2.6. Tatalaksana
Diagnostik
1. Transluminasi
2. CT-Scan Sinus Paranasal
3. Foto Polos : Posisi waters, PA, Lateral (Kelainan terlihat
perselubungan batas udara cairan, airfluid level/ penebalan mukosa)

10
4. Kultur Kuman dan Tes Resistensi ( Dilakukan dengan mengambil
sekret dari meatus media, untuk mendapatkan antibiotik tepat guna )
Terapi
 Non-operatif
Polipektomi Medikamentosa:
- Metilprednisolon : Hari 1-5 4 x 8 mg
Hari 6-10 4 x 4 mg
Hari 11-20 4 x 2 mg
- Fluticasone propionate 50 mcg 1x1 spray/kavum nasi
- Cuci hidung dengan NaCl 0,9% 4-6x sehari
 Rujuk ke Spesialis THT-KL

2.7 Monitoring
- Follow up keluhan pasien
- Monitoring tanda-tanda vital pasien

2.8 KIE (Komunikasi, Informasi dan Edukasi)


 Menjelaskan kepada pasien dan keluarga mengenai penyakit yang
diderita.
 Menjelaskan kepada pasien dan keluarga tatalaksana yang diberikan
 Menjelaskan kepada pasien dan keluarga mengenai prognosis penyakit
pasien
 Memberitahukan pasien untuk menjaga kebersihan rongga hidung dan
mulut.
 Menjelaskan kepada pasien jika membutuhkan tindakan lebih lanjut
yang yaitu operatif dan menjelaskan bagaimana tindakan operatif,
tujuan operatif

2.9 Prognosis
 Quo et Vitam : dubia ad bonam
 Quo et Fungtionam : dubia ad bonam

11
 Quo et sanationam : dubia ad bonam

3.0 Lembar follow up pasien THT


S O A P
(20/09/2019) TD = 130/80 mmgh Post OP FESS Terapi Post Op
Keluhan Suhu = 36,3ͦ°c + Ekstraksi -Injeksi Tranexamat
pasca Operasi : Nadi = 84x/m Polip nasi amp 3x1gr
-Sakit kepala RR= 22x/m sinistra E.C -IV.FD RL + 1 amp
-Nyeri post RSK + Polip Ketorolac 20 tpm.
operasi Telinga Nasi Sinistra
-Daun telinga = Dbn Pasien boleh pulang
-Liang telina = Serumen jika:
prop (+) - Tidak ada
-Membran timpani = Dbn perdarahan
Retro auricular & - Lepas kateter
preauricular = Dbn - Lepas infus
Tuba Eustachius =
tidak dilakukan Pemberian terapi
untuk pasien pulang:
Hidung 1.Cuci hidung
Inspeksi dengan NaCL 0,9%
-Tidak terdapat deviasi 2.Berikan antibiotik
Palpasi 3.Berikan analgetik
-Nyeri tekan (+) 4.Menyuruh pasien
kontrol kembali 1
Rhinoskopi Anterior minggu post operasi.
1. Vestibulum nasi
D/S = sekret (-) , hiperemis
(-)
2. Kavum nasi
D= Hiperemis (-)
S= Hiperemis (+)
3. Selaput lendir

12
D= Hiperemis (-)
S=krusta ( cairan darah
yang sudah mengering)
bewarna merah kehitaman
4. Septum Nasi
D= Dbn
S= Hiperemis (+)
5. Lantai + Dasar Hidung
D= Hiperemis (-)
S= Hiperemis (+)
6. Konka Inferior
D= Hiperemis (+)
S= Hiperemis (+)
7. Meatus Nasi Inferior
D=Sulit dinilai
S= Sulit dinilai
8 . Konka Media
D= Sulit dinilai
S= Sulit dinilai
9. Meatus Nasi Media
D= Sulit dinilai
S= Sulit dinilai
10. Massa
D= tidak terdapat massa
S= tidak terdapat massa

Rhinoskopi Posterior
Sulit dinilai
Transluminasi
Tidak dilakukan
Mulut
1. Bibir = Kering
2. Lidah= dbn

13
3. Gigi= Caries (+)
4. Kelenjar Ludah =
dbn
Faring
1. Mukosa orofaring
= tidak terdapat
post nasal bleeding
Laring
Sulit dinilai

Pemeriksaan KGB
Tidak terdapat
pembesaran

Pemeriksaan N. Cranialis
N.Olfaktorius =
Normosmia hidung kiri
dan kanan
( bisa mengenali bau kopi
dan teh )
N.II- N.XII = dbn

Pemeriksaan Penala
Rinne = positif kira dan
kanan
Webber = Tidak terdapat
lateralisasi
Swabach= Sama dengan
pemeriksa.

14
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3. 1 Anatomi dan Fisiologi Hidung dan Sinus Paranasal

3.1.1 Anatomi Hidung

Hidung luar berbentuk piramid dengan bagian-bagiannya dari atas ke


bawah, pangkal hidung (bridge), batang hidung (dorsum nasi), puncak hdung
(tip), ala nasi, kolumela dan lubang hidung (nares anterior). Hidung luar dibentuk
oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi oeh kulit, jaringan ikat dan
beberapa otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan atau menyempitkan lubang
hidung, kerangka tulang terdiri atas: tulang hidung(os nasal), prosesus frontalis os
maksila dan prosesus nasalis os frontal. Sedangkan kerangka tulang rawan terdiri
dari beberapa pasang tulang rawan yang terletak di bagian bawah hidung, yaitu
sepasang kartilago nasalis lateralis superior, sepasang kartilago nasalis lateralis
inferior yang disebut juga sebagai kartilago ala mayor dan tepi anterior kartilago
septum.4

Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan ke


belakang dipisahkan oleh septum nasi dibagian tengahnya menjadi kavum nasi
kiri dan kanan. Pintu atau lubang masuk kavum nasi bagian depan disebut nares
anterior dan lubang belakang disebut nares posterior (koana) yang
menghubungkan kavum nasi dengan nasofaring. Bagian dari kavum nasi yang
letaknya sesuai dengan ala nasi, tepat dibelakang nares anterior disebut
vestibulum. Vestibulum ini dilapisi oleh kulit yang mempunyai banyak kelenjar
sebasea dan rambut-rambut panjang yang disebut vibrise.4

Tiap kavum nasi mempunyai 4 buah dinding, yaitu dinding medial, lateral,
inferior dan superior. Dinding medial hidung ialah septum nasi. Septum dibentuk
oleh tulang dan tulang rawan. Bagian tulang adalah lamina perpendikularis os
etmoid, vomer, krista nasalis os maksila, krista nasalis os palatina. Bagian tulang
adalah kartilago septum (lamina kuadrangularis) dan kolumela. Septum dilapisi

15
oleh perikondrium pada bagian tulang rawan dan periosteum pada bagian tulang,
sedangkan diluarnya dilapisi oleh mukosa hidung.4

Pada dinding lateral terdapat 4 buah konka. Yang terbesar dan letaknya
paling bawah ialah konka inferior, kemudian yang lebih kecil ialah konka media,
lebih kecil lagi ialah konka superior, sedangkan yang terkecil disebut konka
suprema. Konka suprema ini biasanya rudimenter.4

Diantara konka-konka dan dinding lateral hidung terdapat rongga sempit


yang disebut meatus. Tergantung dari letak meatus, ada tiga meatus yaitu meatus
inferior, medius dan superior. Meatus inferior terletak diantara konka inferior
dengan dasar hidung dan dinding lateral rongga hidung. Pda meatus inferior
terdapat muara duktus lakrimalis. Meatus medius terletak diantara konka media
dan dinding lateral rongga hidung. Pada meatus medius terdapat muara sinus
frontaal, sinus maksila dan sinus etmoid anterior. Pada meatus superior yang
merupakan ruang di antara konka superior dan konka media terdapat muara sinus
etmoid posterior dan sinus sfenoid.4

Gambar 3.1 Anatomi Hidung bagian luar5

16
Gambar 3.2 Anatomi Hidung bagian dalam6

Kompleks Otiomeatal

Pada sepertiga tengah dinding lateral hidung yaitu di meatus medius, ada
muara-muara saluran dari sinus maksila, sinus frontal dan sinus etmoid
anterior. Daerah ini rumit dan sempit dan dinamakan kompleks ostio-meatal
(KOM), terdiri dari infundibulum etmoid yang terdapat di belakang prosesus
unsinatus, resesus frontalis, bula etmoid dan sel-sel etmoid anterior dengan
ostiumnya dan ostium sinus maksila.4

Jika terjadi obstruksi pada celah yang sempit ini, maka akan terjadi
perubahan patologis yang signifikan pada sinus-sinus terkait.4

Pendarahan Hidung

Bagian atas rongga hidung mendapat perdarahan dari a.etmoid anterior


dan posterior yang merupakan cabang dari a.oftalmika, sedangkan a.oftalmika
berasal dari a.karotis interna.4

Bagian bawah rongga hidung mendapat perdarahan dari cabang a.


maksilaris interna, diantaranya ialah ujung a.palatina mayor dan a. sfenopalatina
yang keluar dari foramen sfenopalatina bersama n.sfenopalatina dan memasuki
rongga hidung di belakang ujung posterior konka media.4

17
Bagian depan hidung mendapat pendarahan dari cabang-cabang
a.fasialis.Pada bagian depan septum terdapat anastomosis dari cabang-cabang
a..sfenopalatina, a. etmoid, a. labialis superior, a. palatina mayor, yang disebut
pleksus Kiessebach(Little’s area) letaknya superfisial dan mudah cedera oleh
trauma, sehingga sering menjadi sumber epitaksis (perdarahan hidung), terutama
pada anak.4

Vena-vena hidung mempunyai nama yang sama dan berjalan


berdampingan dengan arterinya. Vena di vestibulum dan struktur luar hidung
bermuara ke vestibulum dan struktur luar hidung bermuara ke v.oftalmika yang
berhubungan dengan sinus kavernosus. Vena-vena di hidung tidak memiliki
katup, sehingga merupakan faktor predisposisi untuk mudahnya penyebaran
infeksi sampai ke intrakranial.4

Persarafan Hidung

Bagian depan dan atas rongga hidung mendapat persarafan sensoris dari
n.etmoidalis anterior, yang merupakan cabang dari n.nasosiliaris, yang berasal
dari n.oftalmikus (N.V-1).4

Rongga hidung lainnya, sebagian besar mendapat persarafan sensoris dari


n.maksila melalui ganglion sfenopalatina.Ganglion sfenopalatina, selain
memberikan persarafan sensoris, juga memberikan persarafan vasomotor atau
otonom untuk mukosa hidung. Ganglion ini menerima serabut-serabut sensoris
dari n.maksila (n.V-2), serabut parasimpatis dari n.petrosus superfisialis mayor
dan serabut-serabut simpatis dari n.petrosus profundus. Ganglion sfenopalatina
terletak di belakang dan sedikit di atas ujung posterior konka media.4

Nervus olfaktorius. Saraf ini turun melalui lamina kribrosa dari permukaan
bawah bulbus olfaktorius dan kemudian berakhir pada sel-sel reseptor penghidu
pada mukosa olfaktorius di daerah sepertiga atas hidung.4

18
Mukosa Hidung

Rongga hidung dilapisi oleh mukosa yang secara histologik dan fungsional
dibagi atas mukosa pernafasan (mukosa respiratori) dan mukosa penghidu
(mukosa olfaktorius).Mukosa pernafasan terdapat pada sebagian besar rongga
hidung dan permukaannya dilapisi oleh epitel torak berlapis semu
(pseudostratified columnar epithelium) yang mempunyai silia dan diantaranya
terdapat sel-sel goblet.Pada bagian yang lebih terkena aliran udara mukosanya
lebih tebal dan kadang-kadang terjadi metaplasia, menjadi epitel skuamosa.4

Dalam keadaan normal mukosa berwarna merah muda dan selalu basah
karena diliputi oleh palut lendir (mucous blanket) pada permukaannya. Palut
lendir ini dihasilkan oleh kelenjar mukosa dan sel-sel goblet.4

Silia yang terdapat pada permukaan epitel mempunyai fungsi yang


penting. Dengan gerakan silia yang teratur, palut lendir di dalam kavum nasi akan
didorong ke arah nasofaring. Dengan demikian mukosa mempunyai daya untuk
membersihkan dirinya sendiri dan juga untuk mengeluarkan benda asing yang
masuk ke dalam rongga hidung.4

Gangguan pada fungsi silia akan menyebabkan banyak sekret terkumpul


dan menimbulkan keluhan hidung tersumbat. Gangguan gerakan silia dapat
disebabkan oleh pengeringan udara yang berlebihan, radang, sekret kental dan
obat-obatan.4

Di bawah epitel terdapat tunika propria yang banyak mengandung pembuluh


darah, kelenjar mukosa dan jaringan limfoid.4

Pembuluh darah pada mukosa hidung mempuyai susunan yang khas.


Arteriol terletak pada bagian yang lebih dalam dari tunika propria dan tersusun
secara pararel dan longitudinal. Arteriol ini memberikan pendarahan pada
anyaman kapiler periglanduler dan subepitel. Pembuluh eferen dari anyaman
kapiler ini membuka ke rongga sinusoid vena yang besar yang dindingnya dilapisi
oleh jaringan elastis dan otot polos. Pada bagian ujungnya sinusoid ini mempuyai
sfingter otot. Selanjutnya sinusoid akan mengalirkan darahnya ke pleksus vena

19
yang lebih dalam lalu ke venula. Dengan susunan demikian mukosa hidung
menyerupai sesuatu jaringan kavernosus yang erektil, yang mudah mengembang
dan mengerut. Vasodilatasi dan Vasokonstriksi pembuluh darah ini dipengaruhi
oleh saraf otonom.4

Pada bagian bawah, mukosa melekat erat pada periostium atau


perikondrium.Mukosa sinus paranasal berhubungan langsung dengan mukosa
rongga hidung di daerah ostium. Mukosa sinus menyerupai mukosa hidung, hanya
lebih tipis dan pembuluh darahnya juga lebih sedikit. Tidak ditemukan rongga-
rongga vaskuler yang besar. Sel-sel goblet dan kelenjar juga lebih sedikit dan
terutama ditemukan dekat ostium. Palut lendir di dalam sinus dibersihkan oleh
silia dengan gerakan menyerupai spiral ke arah ostium. Mukosa penghidu terdapat
pada atap rongga hidung, konka superior dan sepertiga bagian atas septum.
Mukosa dilapisi oleh epitel torak berlapis semu dan tidak bersilia (pseusostratified
columnar non ciliated epithelium). Epitelnya dibentuk oleh tiga macam sel, yaitu
sel penunjang, sel basal dan sel reseptor penghidu. Daerah mukosa penghidu
berwarna coklat kekuningan.4

3.1.2 Anatomi Sinus Paranasal

1. Sinus Maksila

Merupakan sinus paranasal yang terbesar, saat lahir sinus maksila


bervolume 6-8 ml, sinus kemudian berkembang dengan cepat dan akhirnya
mencapai ukuran maksimal yaitu 15 ml saat dewasa.7

Sinus maksila berbentuk piramid. Dinding anterior sinus ialah permukaan


fasial os maksila yang disebut fosa kanina, dinding posterirnya adalah permukaan
infra-temporal maksila, dinding medialnya ialah dinding lateral rongga hidung,
dinding superiornya ialah dasar orbita dan dinding inferiornya ialah prosesu
alveolaris dan palatum. Ostium sinus maksila berada disebelah superior dinding
medial sinus sinus dan bermuara ke hiatus semilunaris melalui infindibulum
etmoid.7

20
Dari segi klinik yang perlu diperhatikan dari anatomi sinus maksila adalah:7

a. Dasar dari anatomi sinus maksila sangat berdekatan dengan akar gigi
rahang atas, yaitu premolar (P1 dan P2), molar (M1 dan M2), kadang-
kadang juga gigi taring (C) dan gigi molar M3, bahkan akar-akar gigi
tersebut dapat menonjol ke dalam sinus, sehingga infeksi gigi geligi
mudah naik ke atas menyebabkan sinusitis.
b. Sinusitis maksila dapat menyebabkan komplikasi orbita.
c. Ostium sinus maksila terletak lebih tinggi dari dasar sinus, sehingga
drainase hanya bergantung dari gerak, lagipula drainase juga harus melalui
infundibulum yang sempit. Infundibulum adalah bagian dari sinus etmoid
anterior dan pembengkakan akibat radang atau alergi pada daerah ini dapat
menghalangi drenase sinus maksila dan selanjutnya menyebabkan
sinusitus.

2. Sinus Frontal

Sinus frontal yang terletak di os frontal mulai terbentuk sejak bulan ke


empat fetus, berasal dari sel-sel resesus frontal atau dari sel-sel infundibulum
etmoid. Sesudah lahir, sinus frontal mulai berkembang pada usia 8-10 tahun dan
akan mencapai ukuran maksimal sebelum usia 20 tahun.7

Sinus frontal kanan dan kiri biasanya tidak simetris, satu lebih besar dari
pada lainnya dan dipisahkan oleh sekatt yang terletak di garis tengah. Kurang
lebih 15% orang dewasa hanya mempunyai satu sinus frontal dan kurang lebih 5%
sinus frontalnya tidak berkembang.7

Ukuran sinus frontal adalah 2.8 cm tingginya, lebarnya 2.4 cm dan


dalamnya 2 cm. Sinus frontal biasanya bersekat-sekat dan tepi sinus berleku-
lekuk. Tidak adanya gambaran septumn-septum atau lekuk-lekuk dinding sinus
pada foto Rontgen menunjukkan adanya infeksi sinus. Sinus frontal dipisakan
oleh tulang yang relatif tipis dari orbita dan fosa serebri anterior, sehingga infeksi
dari sinus frontal mudah menjalar ke daerah ini. Sinus frontal berdrainase melalui

21
ostiumnya yang terletak di resesus frontal, yang berhubungan dengan
infundibulum etmoid.7

3. Sinus Etmoid

Dari semua sinus paranasal, sinus etmoid yang paling bervariasi dan akhir-
akhir ini dianggap paling penting, karena dapat merupakan fokus infeksi bagi
sinus-sinus lainnya. Pada orang dewasa bentuk sinus etomid seperti piramid
dengan dasarnya di bagian posterior. Ukurannya dari anterior ke posterior 4-5 cm,
tinggi 2.4 cmn dan lebarnya 0.5 cm di bagian anterior dan 1.5 cm di bagian
posterior.7

Sinus etmoid berongga-rongga, terdiri dari sel-sel yang menyerupai sarang


tawon, yang terdapat di dalam massa bagian lateral os etmoid, yang terletak di
antara konka media dan dinding medial orbita, karenanya seringkali disebut sel-
sel etmoid. Berdasarkan letaknya, sinus etmoid dibagi menjadi sinus etmoid
anterior yang bermuara di meatus medius dan sinus etmoid posterior yang
bermuara di meatus superior. Sel-sel sinus etmoid anterior biasanya kecil-kecil
dan banyak, letaknya di bawah perlekatan konka media, sedangkan sel-sel sinus
etmoid posterior biasanya lebih besar dan lebih sedikit jumlahnya dan terletak di
postero-superior dari perlekatan konka media.7

4. Sinus Sfenoid

Sinus sfenoid terletak dalam os sfenoid di belakang sinus etmoid posterior.


Sinus sfenoid dibagi dua oleh sekat yang disebut septum intersfenoid. Ukurannya
adalag 2 cmn tingginya, dalamnya 2.3 cm dan lebarnya 1.7 cm. Volumenya
bervariasi dari 5-7.5 ml. Saat sinus berkembang, pembuluh darah dan nerbus di
bagian lateral os sfenoid akan menjadi sangat berdekatan dengan rongga sinus dan
tampak sebagai indentasi pada dinding sinus etmoid.7

Batas-batasnya ialah, sebelah superior terdapat fosa serebri media dan


kelenjar hipofisa, sebelah inferiornya atap nasofaring, sebelah lateral berbatasan
dengan sinus kavernosus dan a.karotis interna (sering tampak sebagai indentasi)

22
dan di sebelah posteriornya berbatasan dengan fosa serebri posterior di daerah
pons.7

Gambar 3.3 Anatomi Sinus Paranasal8

3.1.3 Fisiologi Hidung dan Sinus Paranasal

Berdasarkan teori struktural, teori evolusioner dan teori fungsional, fungsi


fisiologis hidung dan sinus paranasal adalah : 7

1. Fungsi respirasi untuk mengatur kondisi udara (air conditioning),


penyaring udara, humidifikasi, penyeimbang dalam pertukaran tekanan
dan mekanisme immunologik lokal.
2. Fungsi penghidu karena terdapatnya mukosa olfaktorius dan reservoir
udara untuk menampung stimulus penghidu
3. Fungsi fonetik yang berguna untuk resonansi udara, membantu proses
bicara dan mencegah hantaran suara sendiri melalui konduksi tulang
4. Fungsi statik dan mekanik untuk meringankan beban kepala, proteksi
terhaadap trauma dan pelindung panas
5. Refleks nasal

23
3.2 Rhinosinusitis
3.2.1 Definisi

Definisi rhinosinusitis secara klinis pada orang dewasa ialah inflamasi


pada hidung dan sinus paranasal dengan karakteristik 2 gejala atau lebih, yang
salah satunya adalah hidung tersumbat/ obstruksi/ kongesti/ nasal discharge
anterior/posterior nasal drip) nyeri pada wajah, atau menurunnya fungsi penghidu,
dan tanda endoskopi yaitu polip nasi, discharge yang mukopurulen yang berasal
dari meatus media dan atau edema/obstruksi mukosa yang berawal dari meatus
media dan atau atau tomografi computer terdapat perubahan mukosa di kompleks
osteomeatal dan/atau sinus.1

3.2.2 Etiologi dan Faktor predisposisi

Beberapa etiologi dan faktor predisposisi dari rhinosinusitis kronik yaitu :1

a. Penurunan fungsi siliar

b. Infeksi

c. Alergi

d. Asma

e. Sensivitas Aspirin

f. Faktor host lokal

g. Faktor Iatrogenik

3.2.3 Klasifikasi

Menurut European Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal Polyps


2012,berdasarkan waktunya rhinosinusitis dapat terbagi atas:1

1. Rhinosinusitis akut : gejala berlangsung < 12 minggu


2. Rhinosinusitis kronik : gejala berlangsung > 12 minggu tanpa resolusi
lengkap

24
Berdasarkan beratnya penyakit, rinosinusitis dapat dibagi menjadi ringan,
sedang dan berat berdasarkan total skor visual analogue scale (VAS) (0-10) :1

1. Ringan = VAS 0-3


2. Sedang = VAS >3-7
3. Berat = VAS >7-10

Untuk menilai beratnya penyakit, pasien diminta untuk menentukan


dalam VAS jawaban dari pertanyaan: Berapa besar gangguan dari gejala
rinosinusitis saudara.

3.2.4 Patofisiologi

Kesehatan sinus dipengaruhi oleh patensi ostium-ostium sinus dan


lancarnya klirens mukosiliar (mucocilliary clearance) didalam kompleks
ostiomeatal (KOM). Mukus mengandung substansi antimikrobial dan zat-zat yang
berfungsi sebagai mekanisme pertahanan tubuh terhadap kuman yang masuk
bersama udara pernafasan.7

Organ-organ yang membentuk KOM letaknya berdekatan dan bila terjadi


edema, mukosa yang berdekatan akan saling bertemu sehingga silia tidak dapat
bergerak dan ostium tersumbat. Akibatnya terjadi tekanan negatif didalam rongga
sinus yang menyebabkan terjadinya transudasi, mula-mula serous. Kondisi ini
bisa dianggap sebagai rinosinutis non-bakterial dan biasanya sembuh dalam
beberapa hari tanpa pengobatan. 7
Bila kondisi ini menetap, sekret yang terkumpul dalam sinus merupakan
media yang baik untuk tumbuhnya dan multipikasi bakteri. Sekret menjadi
purulen. Keadaan ini disebut sebagai rinosinusitis akut bakterial dan memerlukan
terapi antibiotik. 7

25
Jika terapi tidak berhasil (misalnya karena ada faktor predisposisi),
inflamasi berlanjut, terjadi hipoksia dan bakteri anaerob berkembang. Mukosa
makin membengkak dan ini merupakan rantai siklus yang terus berputar sampai
akhirnya perubahan mukosa menjadi kronik yaitu hipertrofi, polipoid atau
pembengkakan polip dan kista.7

3.2.5 Diagnosis

Diagnosis rhinosinusitis kronik ditegakkan berdasarkan anamnesis,


pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.1,3,7,9

1. Anamnesis
a. Hidung tersumbat
b. Sekret pada hidung dan post nasal drip, sering mukopurulent
c. Nyeri/nyeri tekan pada wajah
d. Gangguan penghidu

Gejala diatas berlangsung > 12 minggu

2. Pemeriksaan Fisik
a. Rhinoskopi Anterior
Tanda khas adanya sekret di meatus media atau meatus superior,
edema mukosa atau konka, polip atau abnormalitas anatomi hidung.
b. Rhinoskopi Posterior
Ditemukannya post nasal drip
c. Nyeri tekan pada wajah
3. Pemeriksaan Penunjang
a. Transiluminasi sinus
Pada pemeriksaan transluminasi, sinus yang mengalami sinusitis akan
tampak suram atau gelap.
b. Nasal Endoskopi

Endoskopi hidung memberikan pencahayaan dan visualisasi yang jauh


lebih baik dibandingkan dengan rhinoskopi anterior untuk pemeriksaan

2
meatus media dan meatus superior, serta nasofaring dan jalur drainase
mukosiliar.

c. Imaging
i. Foto Polos : posisi waters, PA, Lateral
Umumnya hanya mampu menilai kondisi sinur-sinus besar seperti
sinus maksila dan frontal. Kelainan akan terlihat perselubungan,
batas udara-cairan (air fluid level) atau penebalan mukosa.
ii. Ct-Scan
Merupakan gold standard diagnosis sinusitis karena mampu menilai
anatomi hidung dan sinus, adanya penyaki dalam hidung dan sinus
secara keseluruhan dan perluasannya. Namun, karena mahal hanya
dikerjakan sebagai penunjang diagnostik sinusitis kronis yang tidak
membaik dengan pengobatan atau pra-operasi sebagai panduan
operator untuk melakukan operasi.
d. Pemeriksaan mikrobiologik kultur kuman dan tes resistensi dilakukan
dengan mengambil sekret dari meatus medius atau superior untuk
mendapat antibiotik yang tepat guna.

Untuk menegakkan diagnostik dari Rhinosinusitis kronik, harus ada 2 atau


lebih gejala, yang salah satunya berupa hidung tersumbat/ostruksi/kongesti atau
pilek (keluarnya cairan/sekret hidung di anterior/posterior nasal drip) ± nyeri pada
wajah/nyeri tekan pada wajah, ± penurunan/ hilangnya penggidu, dan harus
ditemukannya salah satu dari temuan endoskopi, yaitu polip, discharge/sekret
mukopurulent dari meatus media dan atau edema/ obstruksi mukosa di meatus
medius, dan atau perubahan yang tampak pada ct-scan perubahan mukosa di
kompleks ostiomeatal dan/ atau sinus.1

Polip hidung adalah kondisi peradangan kronis hidung dan mukosa sinus
paranasal, ditandai dengan massa edema dan infiltrasi inflamasi sel . Polip hidung
merupakan massa lunak yang mengandung banyak cairan didalam rongga hidung,
berwarna putih keabu-abuan, yang terjadi akibat inflamasi mukosa. Secara

27
makroskopik polip merupakan massa bertangkai dengan permukaan licin,
berbentuk bulat atau lonjong, berwarna putih keabu-abuan, agak bening, lobular,
dapat tunggal atau multiple, dan tidak sensitive (bila ditekan tidak terasa sakit).
Warna polip yang pucat tersebut disebabkan karena mengandung banyak cairan
dan sedikitnya aliran darah ke polip. Bila terjadi iritasi kronis atau proses
peradangan warna polip dapat berubah menjadi kemerah-merahan dan polip yang
sudah menahun warnanya dapat menjadi kekuning-kuningan karena banyak
mengandung jaringan ikat.10

Tempat asal tumbuhnya polip terutama dari kompleks osteomeatal di


meatus medius dan sinus etmoid. Bila ada fasilitas pemeriksaan dengan
endoskopi, mungkin tempat asal tangkai polip dapat dilihat. Ada polip yang
tunbuh ke arah belakang dan membesar di arah nasofaring, disebut polip koana.
Polip koana kebanyakan berasal dari dalam sinus maksila dan disebut juga polip
anterokoana. Ada juga sebagian kecil polip koana yang berasal dari sinus
etmoid.10

Stadium Polip Hidung


Menurut Mackay terdapat 4 stadium dari polip nasi yaitu:10
a. Stadium 0 : tidak ada polip
b. Stadium 1: polip terbatas dalam meatus media tidak keluar ke rongga
hidung tidak tampak dengan pemeriksaan rinoskopi anterior hanya terlihat
dengan nasoendoskopi.
c. Stadium 2: polip sudah keluar dari meatus media dan tampak dirongga
hidung tetapi tidak memenuhi /menutupi rongga hidung.
d. Stadium 3: polip sudah memenuhi rongga hidung

3.2.6 Diagnosis Banding


Diagnosis banding untuk hidung tersumbat sangat luas Penyebab hidung
tersumbat dapat dibagi menjadi gangguan mukosa: rinitis (alergi dan non alergi),
rinosinusitis (akut dan kronis, dengan beberapa subtipe), dan gangguan struktural

28
seperti deviasi septum hidung atau mukokel. Hidung tersumbat juga bisa
disebabkan oleh efek obat. 11

Gangguan mukosa

a. Rinitis alergi dan non alergi

Awalnya, pasien memiliki gejala rinitis persisten, yang ditandai dengan


setidaknya satu dari yang berikut: hidung tersumbat, rinore, bersin, dan pruritus.
Komponen penting dari sejarah adalah mengidentifikasi pemicu gejala, karena
rhinitis dapat disebabkan oleh rangsangan alergi dan non alergi. Penting untuk
memperbaiki rinitis alergi pada orang dengan Rinosinusitis Kronis, karena
prevalensi RA diperkirakan 60% pada RSK. Namun, penting untuk dicatat bahwa
hubungan RSK dengan RA tidak menyiratkan sebab-akibat, karena penelitian
telah gagal menunjukkan kausalitas. Evaluasi untuk kemungkinan pemicu alergi
untuk gejala rinitis meliputi riwayat menyeluruh dan pemeriksaan fisik, dengan uji
tusuk kulit diagnostik konfirmasi untuk IgE spesifik ke panel alergen lingkungan
yang relevan. Pasien memiliki tes tusukan kulit negatif terhadap alergen
lingkungan dan kondisi tersebut pada awalnya didiagnosis sebagai rinitis non
alergi, yang dapat meniru RA, karena gejalanya dapat serupa dan menetap atau
periodik.11

b. Rinosinusitis akut

Rinosinusitis akut (RSA) didefinisikan sebagai timbulnya gejala HIdung


tersumbat atau keluarnya sekret hidung secara tiba-tiba, bersamaan dengan nyeri /
tekanan wajah atau hiposmia / anosmia selama <12 minggu. Anak-anak mungkin
mengalami demam dan batuk. Diagnosis RSA dibuat secara klinis berdasarkan
anamnesis dan pemeriksaan fisik. Dalam kebanyakan kasus, RSA berasal dari
virus, dengan hanya sekitar 0,5% - 2% mengembangkan infeksi bakteri sekunder;
rinosinusitis bakterial akut dapat terjadi ketika infeksi saluran pernapasan atas
telah bertahan lebih dari 10 hingga 14 hari.11

29
c. Rinosinusitis Kronis

RSK didefinisikan sebagai peradangan pada hidung dan sinus paranasal


yang berlangsung 12 minggu atau lebih. Perkiraan prevalensi RSK berkisar dari
5% hingga 15% dari populasi orang dewasa di Amerika Serikat dan Eropa.
Prevalensi penyakit yang didiagnosis dokter dengan penggunaan kriteria obyektif
diperkirakan hanya 2%. 4 tanda dan gejala RSK yang khas adalah hidung
tersumbat, nyeri / tekanan wajah, drainase hidung anterior atau posterior, dan
hyposmia atau anosmia. Setidaknya 2 dari gejala ini harus ada selama 12 minggu
atau lebih, ketika mempertimbangkan diagnosis RSK. Langkah-langkah obyektif,
seperti pemeriksaan endoskopi langsung atau studi pencitraan CT sinus khusus,
dapat digunakan untuk mengkonfirmasi diagnosis RSK. Namun, pencitraan
khusus dan rhinoskopi harus digunakan hanya setelah perawatan awal gagal atau
dengan kambuhnya gejala.11

Rinosinusitis kronis tanpa polip hidung.

Rinosinusitis kronis tanpa polip hidung adalah subtipe yang paling umum,
terhitung sekitar 60% hingga 65% dari kasus CRS. Secara umum, orang-orang
dengan Rinosinusitis kronis tanpa polip hidung memiliki gejala-gejala yang lebih
menonjol dari nyeri wajah dan pengeluaran cairan bernanah.11

Rinosinusitis jamur alergi.

Kriteria histopatologis yang diperlukan untuk diagnosis rinosinusitis jamur


alergi (AFRS) adalah (1) mucin alergi hadir pada pemeriksaan kotor dan / atau
histopatologis; (2) salah satu (a) noda perak methenamine dari alergi mucin positif
untuk hifa jamur tetapi tidak ada hifa jamur terlihat pada mukosa (dengan atau
tanpa kultur jamur positif) atau (b) noda perak kultur jamur negatif dan positif; (3)
karakteristik pewarnaan H&E mukosa sinus untuk AFRS; dan (4) pengecualian
penyakit jamur histopatologis lainnya. Proses akut penting yang harus dikeluarkan
adalah rinosinusitis jamur invasif akut pada inang yang immunocompromised. Ini
terjadi selama <4 minggu dan dianggap darurat karena invasi vaskular jamur
dominan terjadi.11

30
Gangguan Struktural

Gangguan struktural seringkali unilateral. Septum hidung


membentuk struktur penyangga sentral untuk hidung; karena itu,
kelainan bentuk struktur ini dapat menyebabkan gejala signifikan
obstruksi hidung. 11

Diagnosis banding polip


Diagnosis banding polip nasi termasuk tumor - tumor jinak yang dapat
tumbuh dihidung seperti kondroma, neurofibroma, angiofibroma dan lain - lain.
Papiloma inversi (Inverted papiloma) adalah tumor hidung yang secara histologis
jinak tapi perangai klinisnya ganas dapat menyebabkan pendesakan / destruksi
dan sering kambuh kembali, penampakannya sangat merupai polip. Tumor ganas
hidung seperti karsinoma atau sarkoma biasanya unilateral, ada rasa nyeri dan
mudah berdarah, sering menyebabkan destruksi tulang.Diagnosis banding lain
adalah meningokel / meningoen sefalokel pada anak. Biasanya akan menjadi lebih
besar pada saat mengejan atau menangis.12

3.2.7 Penatalaksanaan

Tujuan terapi sinusitis adalah 1) mempercepat penyembuhan, 2) mencegah


komplikasi, dan 3) mencegah perubahan menjadi kronik. Prinsip pengobatan ialah
membuka sumbatan di KOM sehingga drainase dan ventilasi sinus-sinus pulih
secara alami.1
Antibiotik dan dekongestan merupakan terapi pilihan pada sinusitis akut
bakterial, untuk menghilangkan infeksi dan pembengkakan mukosa serta
membuka sumbatan ostium sinus. Antibiotik yang dipilih adalah golongan
penisilin seperti amoksisilin. Jika diperkirakan kuman telah resisten atau
memproduksi beta-laktamase, maka dapat diberikan amoksisilin-klavulanat atau
jenis sefalosporin generasi ke-2. Pada sinusitis antibiotic diberikan selama 10-14
hari meskipun gejala klinik sudah hilang.1
Pada sinusitis kronik diberikan antibiotik yang sesuai untuk kuman gram
negatif dan anaerob.1

31
Selain dekongestan oral dan topical, terapi lain dapat diberikan jika
diperlukan, seperti analgetik, mukolitik, steroid oral/topikal, pencucian rongga
hidung dengan NaCl. Antihistamin tidak rutin diberikan, karena sifat
antikolinergiknya dapat menyebabkan secret menjadi lebih kental. Bila ada alergi
berat sebaiknya diberikan antihistamin generasi ke-2. Irigasi sinus maksila atau
Proetz displacement therapy juga merupakan terapi tambahan yang dapat
bermanfaat. Imunoterapi dapat dipertimbangkan jika pasien menderita kelainan
alergi yang berat.1
Tindakan operasi Bedah Sinus Endoskopi Fungsional (BSEF) merupakan
operasi terkini untuk rhinosinusitis kronik yang memerlukan operasi. Tindakan ini
telah menggantikan hampir semua jenis bedah sinus terdahulu karena memberikan
hasil yang lebih memuaskan dan tindakan lebih ringan dan tidak radikal.1

Penatalaksanaan untuk rhinosinusitis dapat dilihat melalui skema yang


telah ditetapkan oleh The European position paper on rhinosinusitis and nasal
polyps (EPOS).1

Gambar 3.4 Penatalaksanaan Rinosinusitis Kronis Pada Dewasa Untuk Pelayanan


Kesehatan Primer bukan dokter spesialis THT.1

32
Gambar 3.5 Penatalaksanaan Rinosinusitis Kronis Tanpa Polip Nasi Pada Dewasa Untuk
Dokter Spesialis THT1

Gambar 3.6 Penatalaksanaan Rinosinusitis Kronis dengan Polip Nasi Pada Dewasa Untuk
Dokter Spesialis THT.1

33
Gambar 3.7 Penatalaksanaan Rinosinusitis Kronis Tanpa Polip Nasi Anak-anak Untuk
Dokter Spesialis THT.1

34
Gambar 3.8 Penatalaksaan Polip hidung dan Sinus Paranasal berdasarkan Guideline
Penyakit THT-KL di Indonesia (Dewasa)13

3.2.8 Komplikasi

1. Komplikasi Orbita.

Disebabkan oleh sinus paranasal yang berdekatan dengan mata (orbita).


Yang paing sering ialah sinusitis etmoid, kemudian sinusitis frontal dan maksila.
Penyebaran infeksi terjadi melalui tromboflebitis dan perkontinuitatum. Terdapat
lima tahapan pada komplikasi maksila.1,14

35
a. Peradangan atau reaksi edema yang ringan.terjadi pada isi orbita akibat
infeksi sinus etmoidalis di dekatnya. Keadaan ini terutama ditemukan
pada anak, karena lamina papirasea yang memisahkan orbita dan sinus
etmoidalis seringkali merekah pada kelompok umur ini.
b. Selulitis orbita. Edema bersifat difus dan bakteri telah secara aktif
menginvasi isi orbita namun pus belum terbentuk.
c. Abses subperiosteal. Pus terkumpul diantra periorbita dan dinding
tulang orbita menyebabkan proptosis dan kemosis.
d. Abses orbita. Pada tahap ini, pus telah menembus periosteum dan
bercampur dengan isi orbita. Disertai gejala sisa neritis optik dan
kebutaan unilateral yang lebih serius. Keterbatasan gerak otot
ekstraokular mata yang terserang dan kemosis konjungtiva merupakan
tanda khas abses orbita, juga proptosis yang makin bertambah.
e. Sindrom fisura orbital superior
Gejala berupa nyeri pada mata bagian dalam,sakit kepala bagian depan,
dan paralisis nervus cranial VI, III, dan IV.
f. Sindrom apeks orbital
Terjadi gangguan pada nervus optikus dan nervus trigeminus cabang
maxillary
2. Osteomyelitis1,14
a. Osteomyelitis maxilla
b. Osteomyelitis os frontal
3. Komplikasi Intrakranial1,14
a. Meningitis Akut

Infeksi dari sinus paranasalis dapat menyebar sepanajang saluran vena


atau langsung dari sinus yang berekatan, seperti lewat dinding
posterior sinus frontalis atau melalui lamina kribiformis di dekat
sistem udara etmoidalis.

36
b. Abses Dura
Adalah kumpulan pus diantara dura dan tabula interna kranium.
Seringkali mengikuti sinus frontalis. Proses ini mungkin timbul lambat
sehingga pasien hanya mengeluhkan sakit kepala, dan sebelum pus
yang terkumpul mampu meningkakan tekanan intrakranial yang
memadai, mungkin tidak terdapat gejala neurologik lain. Abses
subdural adalah kumpulan pus diantara durameter dan araknoid atau
permukaan otak. Gejala-gejala kondisi ini serupa dengan abses dura
yaitu nyeri kepala yang membandel dan dengan demam tinggi dengan
tanda-tanda rangsanganmeningen. Gejala utama tidak timbul sebelum
intrakranial meningkat atau sebelum abses memecah ke dalam ruang
subaraknoid.
c. Abses Otak
Abses otak biasanya terjadi melalui tromboflebitis yang meluas secara
langsung. Dengan demikian lokasi abses yang sering adalah pada
ujung vena yang pecah, meluas menembus dura dan araknoid hingga
ke perbatasan antara substansia alba dan grisea korteks serebri. Pada
ttitik inilah akhir saluran vena permukaan otak bergabung dengan akhir
saluran vena serebralis bagian sentral.
4. Infeksi Descenden14
- Otitis media
- faringitis dan tonsillitis
- Laringitis persisten dan trakeobronkitis

3.2.9 Prognosis

 Ad vitam, menunjukkan pada pengaruh penyakit terhadap proses


kehidupan : ad bonam15
 Ad Functionam, menunjukkan pada pengaruh penyakit terhadap fungsi
organ atau fungsi manusia dalam melakukan tugasnya : ad bonam15
 Ad sanationam, menunjukkan pada penyakit yang dapat sembuh total
sehingga dapat beraktivitas seperti biasa : ad bonam15

37
Polip nasi sering kambuh kembali, oleh karena itu pengobatannya juga
perlu ditujukan kepada penyebabnya, misalnya alergi. Tetapi yang paling ideal
pada rinitis alergi adalah menghindari kontak dengan alergen penyebab. Secara
medikamentosa dapat diberikan antihistamin, dengan atau tanpa dekongestan yang
berbentuk tetes hidung yang bisa mengandung kortikosteroid atau tidak. Dan
untuk alergi inhalan dengan gejala yang berat dan sudah berlangsung lama dapat
dilakukan imunoterapi dengan cara desensitisasi dan hiposensitisasi, yang menjadi
pilihan apabila pengobatan cara lain tidak memberikan hasil yang memuaskan.12

38
BAB IV
ANALISIS KASUS

Tn. S, usia 57 tahun, datang ke RSUD Raden Mattaher pada tanggal 18


September 2019 dengan keluhan hidung tersumbat sejak ± 1 tahun yang lalu dan
semakin memberat sejak ± 1 bulan SMRS. Os mengeluh cairan kental keluar terus
menerus dari hidung sebelah kiri, cairan tersebut cukup kental, bewarna
kekuningan dan berbau busuk. Terkadang os juga merasakan adanya lendir di
tenggorokan. Os juga mengeluh seperti ada yang mengganjal dan tidak dapat
mencium bau-bauan pada hidung sebelah kiri.

Hal tersebut sesuai dengan keluhan rhinosinusitis kronis dengan polip


hidung. Menurut teori rhinosinusitis dicirikan harus ada 2 gejala dari gejala
tersebut, yaitu hidung tersumbat, keluarnya sekret hidung yang mukopurulen, dan
gangguan fungsi penciuman disertai nyeri/nyeri tekan pada wajah. Dikatakan
rhinosinusitis kronis karena gejala dirasakan pasien lebih dari 12 minggu.

Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum tampak sakit ringan,


kesadaran compos mentis, pada pemeriksaan otoskop telinga kanan dan kiri dalam
batas normal, ditemukan serumen prop pada liang telinga kanan dan kiri. Pada
pemeriksaan rhinoskopi anterior didapatkan kavum nasi kiri menyempit dan
tampak sekret, konka inferior kanan hiperemis dan hipertrofi. Terdapat massa
bertangkai berwarna putih keabuan pada cavum nasi sinistra. Pada pemeriksaan
faring didapatkan mukosa faring normal, uvula berada ditengah, tonsil T1-T1.
Pada pemeriksaan leher tidak didapatkan ada benjolan. Dari pemeriksaan nervus
olfaktorius, didapatkan penurunan fungsi penghidu sebelah kiri berupa anosmia.

Hal tersebut diatas sesuai dengan pemeriksaan fisik yang didapatkan pada
rinosinusitis dengan polip dimana menurut teori pada rinoskopi anterior
ditemukan adanya masa berwarna putih keabuan yaitu polip hidung dan juga
ditemukan hipertropi pada konka inferior.

39
Penyingkiran diagnosis banding rinosinusitis kronik tanpa polip yaitu
dengan pemeriksaan rinoskopi anterior dimana tidak ditemukannya massa
berwarna putih keabu-abuan yang menandakan tidak terdapatnya polip. Untuk
menyingkirkan diagnosa papiloma inversi dapat dilihat dari usia biasanya terkena
pada umur >40 tahun jarang terjadi pada anak-anak dan dewasa muda, dan tidak
ada perbaikan dengan pengobatan polipektomi medikamentosa. Dari
makroskopisnya papiloma inversi biasanya unilateral dan berasal dari prosesus
uncinatus pada meatus media bukan dari sinus paranasal, tampak masa berwarna
kemerahan sampai pucat dan permukaan bergerombol. Papiloma inversi bisa
menyebabkan struktur disekitarnya rusak (erosi tulang). Pada pemeriksaan
mikroskopis dapat ditemukan fokus-fokus karsinoma sel sekitar 10% kasus.
Diagnosis banding karsinoma hidung dapat disingkirkan dengan melihat dari
gejala klinis terbanyak yaitu terdapat epistaksis, tinnitus, dan pembesaran KGB.
Dari makroskopisnya tampak massa yang mudah berdarah dan terdapat nyeri pada
massa yang berada di hidung.

Penatalaksanaan pada pasien ini diberikan Steroid oral berupa


metilprednisolone hari ke 1-5 dengan dosis 4 x 8mg, hari ke 6-10 dengan dosis 4 x
4mg, dan hari ke 11-20 dengan dosis 4 x 2mg, dan diberikan steroid topical
berupa fluticasone propionate 50 mcg 1x1 spray/kavum nasi, dan cuci hidung
dengan NaCL 0,9% 4-6x sehari. Dimana berdasarkan guidline penatalaksanaan
rinosinusitis dengan polip nasi adalah pemberian steroid oral dan topical dan cuci
hidung. Setelah pemberian steroid oral dan topical, dievaluasi setelah 1 bulan,
apabila tidak membaik maka dipertimbangkan terapi bedah. Penatalaksanaan
bertujuan untuk mengatasi obstruksi sinus, dan mengangkat polip yang ada yaitu
dengan operasi Bedah Sinus Endoskopi Fungsional (BSEF).

40
BAB V
KESIMPULAN

Secara umum rinosinusitis kronis adalah suatu inflamasi pada (mukosa)


hidung dan sinus paranasal, berlangsung selama dua belas minggu atau lebih.
Penyebab rinosinusitis kronik bersifat multifaktorial antara lain inflamasi kronis,
gangguan patensi Kompleks Osteomeatal (KOM), gangguan klirens mukosilier.

Gejala umum rhinosinusitis yaitu hidung tersumbat disertai dengan


nyeri/rasa tekanan pada muka dan ingus purulent, yang seringkali turun ke
tenggorok (post nasal drip). Klasifikasi dari rhinosinusitis berdasarkan klinis yatu
rhinosinusitis akut dan kronik, Bahaya dari rhinosinusitis adalah komplikasinya ke
orbita dan intrakranial.
Tatalaksana berupa terapi steroid oral dan topikal serta cuci hidung dengan
NaCl 0,9%. Jika tidak ada perbaikan setelah diberikan obat, perlu dirujuk ke
spesialis THT dan dilakukan tindakan operasi.

41
DAFTAR PUSTAKA

1. Fokkens W, Lund V, Mullol J. And et all. European Position Paper on


Rhinosinusitis and Nasal Polyps. 2012.
2. Trihastuti H, Budiman BJ, Edison. Profil Pasien Rinosinusitis Kronik di
Poliklinik THT-KL RSUP DR.M.Djamil Padang. Jurnal Kesehatan
Andalas 2015.
3. Kristyono I, Selvianti. Patofisiologi, Diagnosis, dan Penatalaksanaan
Rinosinusitis Kronik Tanpa Polip Nasi Pada Orang Dewasa. Journal
Unair. Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga/RSUD Dr.Soetomo
Surabaya.
4. Soetjipto D, Mangunkusumo E, Wardani RS. Hidung. Buku ajar ilmu
kesehatan telinga, hidung, tenggorok, kepala dan leher. Edisi ketujuh.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2012. Hal. 96-100
5. Saladin. Anatomy and physiology: the unity of form and function 5th
edition. America: Mc Graw Hill. 2009.
6. Putz, R dan Pabst, R. Atlas Anatomi Manusia Sobotta Jilid 1 edisi 21.
Jakarta: EGC. 2003.
7. Soetjipto D, Mangunkusumo E. Sinus Paranasal. Buku ajar ilmu
kesehatan telinga, hidung, tenggorok, kepala dan leher. Edisi ketujuh.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2012. Hal. 122-130.
8. Mc Kinley, Michael P. Human anatomy third edition. New York: Mc Graw Hill.
2012.
9. Ballenger JJ. Infeksi Sinus Paranasal, Penyakit Telinga Hidung Tenggorok
Kepala dan Leher, Binarupa Aksara. Edisi 13. Jilid I. 1994. hal 232-246.
10. Endang M. Retno SW. Polip Hidung. Buku ajar ilmu kesehatan telinga,
hidung, tenggorok, kepala dan leher. Edisi ketujuh. Jakarta: Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. 2012. Hal. 101-103.

42
11. Christoper J, Ocampo, Leslie, Grammer. Chronic Rinosinusitis. J Allergy Clin
Immunol Volume 1, Number 3. May/June 2013. 205-211.
12. Budiman BJ, Asyari A. Diagnosis dan Penatalaksanaan Rinosinusitis dengan
Polip Nasi. Fakultas Kedokteran Universitas Andalas.
13. Perhati KL. Guideline Penyakit THT-KL di Indonesia. 2003-2007.
14. Elsevier. Disease of Ear, Nose, and Throath. Third Edition. India. 2004 hal
243-7.
15. Lahdji A, Novitasari A, Tajally A, Ratnaningrum K. Buku Ajar Sistim
Telinga, Hidung, dan Tenggorokan. Fakultas Kedokteran Universitas
Muhammadiyah Semarang. 2015.

Anda mungkin juga menyukai