PENDAHULUAN
1
BAB II
LAPORAN KASUS
I. IDENTITAS PASIEN
- Nama : Nn. I
- Umur : 17 tahun
- Jenis kelamin : Perempuan
- Alamat : Mendalo
- Agama : Islam
- Pekerjaan : Mahasiswi
- Pendidikan : SLTA
- Pekerjaan ayah/ibu : Pedagang
- Pendidikan ayah/ibu : SD
II. ANAMNESIS
(Autoanamnesis Tanggal : 11 Agustus 2017)
1. Keluhan Utama
Bersin-bersin.
2. Riwayat Perjalanan Penyakit
Pasien datang ke poliklinik THT RSUD Raden Mattaher Jambi dengan
keluhan bersin-bersin berulang yang dirasakan sekitar lebih kurang 7
bulan sebelum pemeriksaan. Bersin bersambung dan terus-menerus
bahkan lebih dari lima kali. Keluhan disertai keluar ingus yang encer,
hidung tersumbat, hidung dan mata gatal yang kadang-kadang disertai
dengan banyak air mata keluar. Keluhan dirasakan semakin memberat
terutama ketika malam hari dan ketika terpapar suhu udara dingin.
Keluhan dialami pasien lebih dari empat hari dalam seminggu. Keluhan
yang dirasakan cukup mengganggu tidur pasien pada malam hari.
Keluhan lain seperti nyeri tenggorokan tidak ada. Keluhan telinga
seperti rasa penuh, nyeri, atau mendenging juga tidak ada. Tidak terdapat
riwayat demam sebelumnya. Pasien tidak memiliki riwayat sesak nafas
sebelumnya. Status alergi terutama obat dan makanan tidak diketahui.
2
3. Riwayat Pengobatan
Saat ini pasien tidak sedang mengonsumsi obat-obatan
3
a) Telinga
Daun Telinga Kanan Kiri
Anotia/mikrotia/makrotia - -
Keloid - -
Perikondritis - -
Kista - -
Fistel - -
Ott hematoma - -
Liang Telinga Kanan Kiri
Atresia - -
Serumen prop Minimal (+) Minimal (+)
Epidermis prop - -
Korpus alineum - -
Jaringan granulasi - -
Exositosis - -
Osteoma - -
Furunkel - -
Membrana Timpani Kanan Kiri
Hiperemis - -
Retraksi - -
Bulging - -
Atropi - -
Perforasi - -
Bula - -
Sekret - -
Retro-aurikular Kanan Kiri
Fistel - -
Kista - -
Abses - -
Pre-aurikular Kanan Kiri
Fistel - -
4
Kista - -
Abses - -
b) Hidung
Rinoskopi Anterior Kanan Kiri
Vestibulum nasi Sekret (-), Hiperemis (-), Sekret (-), Hiperemis (-),
bisul(-), krusta (-), polip (-), bisul (-), krusta (-), polip (-),
edema (-) edema (-)
Kavum nasi Sekret (+), pucat (+), edema Sekret (+), pucat (+), edema
mukosa (+) mukosa (+)
Selaput lender Dbn Dbn
Septum nasi Deviasi (-) Deviasi (-)
Lantai + dasar hidung Dbn Dbn
Konka inferior Hipertrofi (+), pucat (+) Hipertrofi (+), pucat (+)
Meatus nasi inferior Sekret (+) Sekret (+)
Konka media Hipertrofi (+), pucat (+) Hipertrofi (+), pucat (+)
Meatus nasi media Sekret (+) Sekret (+)
Polip - -
Korpus alineum - -
Massa tumor - -
Rinoskopi Posterior Kanan Kiri
5
c) Mulut
Hasil
Selaput lendir mulut Dbn
Bibir Sianosis (-) raghade (-), sudur bibir (N), gerakan bibir (N)
Lidah Atropi papil (-),aptae (-),tumor (-), parese (-)
Gigi Karies (-)
Kelenjar ludah Dbn
d) Faring
Hasil
Uvula Bentuk normal, terletak ditengah, permukaan rata. Edema (-),
hiperemis (+)
Palatum mole Hiperemis (-)
Palatum durum Hiperemis (-)
Plika anterior Dbn
Tonsil Dekstra : tonsil hipertrofi T3, hiperemis (-), permukaan rata,
kripta melebar (-), detritus (-), mobilitas normal
Sinistra : tonsil hipertropi T3, hiperemis (-), permukaan rata,
kripta melebar (-), detritus (-), mobilitas normal
Plika posterior Hiperemis (-)
Mukosa Hiperemis (-), granula (-)
orofaring
e) Laringoskopi indirect
Hasil
Pangkal lidah Hiperemis (-), edema (-)
Epiglottis Hiperemis (-), edema (-)
Aritenoid Dbn
Plika vocalis Hiperemis (-), edema (-)
Massa -
6
f) Kelenjar Getah Bening Leher
Kanan Kiri
Regio I Dbn Dbn
Regio II Dbn Dbn
Regio III Dbn Dbn
Regio IV Dbn Dbn
Regio V Dbn Dbn
Regio VI Dbn Dbn
area Parotis Dbn Dbn
Area postauricula Dbn Dbn
Area occipital Dbn Dbn
Area supraclavicula Dbn Dbn
V. PEMERIKSAAN AUDIOLOGI
Tes Pendengaran Kanan Kiri
Tes rinne (+) (+)
Tes weber Tidak ada lateralisasi Tidak ada lateralisasi
Tes schwabach Sama dg pemeriksa/N Sama dg pemeriksa/N
7
IX. PENATALAKSANAAN
a. Non-farmakologi
Menjauhi paparan dari suspek alergen (pada kasus ini suhu dingin)
b. Farmakologi
- Antihistamin H-1 : Triprolidine HCl 2 x 2,5 mg
- Oral dekongestan : Pseudoephedrine HCl 2 x 60 mg
- Oral kortikosteroid : Methylprednisolone 2 x 4 mg
X. MONITORING
Kontrol ulang dalam 1 bulan lagi atau dapat datang kembali jika
ada keluhan. Lihat apakah ada perbaikan dari keluhan yang dialami pasien,
yaitu buntu, bersin, gatal pada mata dan keluarnya sekret dari hidung.
8
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
9
antara konka superior dan konka media terdapat muara sinus etmoid posteior dan
sinus sfenoid.1,3
Batas rongga hidung. Dinding inferior merupakan dasar rongga hidung
dan dibentuk oleh os maksila dan os palatum. Dinding superior atau atap hidung
sangat sempit dan dibentuk oleh lamina kribriformis, yang memisahkan rongga
tegkorak dari rongga hidung. Lamina kribriformis merupakan lempeng tulang
berasal dari os etmoid, tulang ini berlubang-lubang (kribrosa=saringan) tempat
masuknya serabut-serabut saraf olfaktorius. Di bagian posterior, atap rongga
hidung dibentuk oleh os sfenoid.1,3
10
3.2 Definisi
Definisi menurut WHO ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on
Asthma) tahun 2010, rinitis alergi adalah suatu peradangan pada mukosa hidung
setelah terpapar alergen yang diperantarai oleh IgE. Ditandai dengan gejala-gejala
hidung yaitu rinore (hidung beringus yang encer dan banyak), bersin-bersin,
hidung tersumbat, hidung gatal, bersin paroksimal, mengorok, dan juga terkadang
disertai gatal di langit-langit, faring, mata, dan telinga, mata kemerahan dan
berair. Gejala ini paling tidak terjadi selama dari 1 hari berturut-turut selama > 1
jam sehari. Penegakan diagnosis rinitis alergi ditegakkan berdasarkan anamnesis,
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang.
3.3 Epidemiologi
Rinitis alergi tersebar di seluruh negara maju maupun negara berkembang.
Dengan prevalensi 10-15% dari seluruh populasi dunia menurut Allergic Rhinitis
and its Impact on Asthma (ARIA). Menurut American Academy of Allergy Asthma
& Immunology (AAAAI) berdasarkan dataWorld Health Organization (WHO)
rinitis alergi menyerang 10% - 30% populasi di dunia.
3.4 Klasifikasi
Saat ini ARIA (Initiative Allergic Rhinitis and its Impact ons Astma 2000)
mengubah klasifikasi tersebut menjadi tipe intermiten dan persisten. Dikatakan
intermiten apabila gejala timbul kurang dari 4 hari seminggu atau lamanya gejala
kurang dari 4 minggu. Sedangkan persisten apabila gejala lebih dari 4 hari per
minggu dan lamanya lebih dari 4 minggu.
Berdasarakan berat ringannya penyakit menurut WHO ARIA (Allergic
Rhinitis and its Impact on Asthma) tahun 2008, berdasarkan berat ringanya
penyakit dibagi menjadi jenis serangannya mild (ringan) dan moderate-severe
(sedang-berat). Dikatakan ringan apabila gejala rinitis alergi bila tidak terdapat
gejala gangguan tidur, gangguan pada aktivitas sehari-hari, saat bersantai,
olahraga, belajar atau bekerja, dan hal-hal lain yang menggu. Sedang sampai berat
apabila sudah terdapat satu atau lebih gangguan seperti gangguan tidur, belajar,
dan bekerja
11
3.5 Etiologi
Rinitis alergi melibatkan interaksi antara lingkungan dengan predisposisi
genetik dalam perkembangan penyakitnya.1,2 Faktor genetik dan herediter sangat
berperan pada ekspresi rinitis alergi.1,2 Penyebab rinitis alergi tersering adalah
alergen inhalan pada dewasa dan ingestan pada anak-anak. Pada anak-anak sering
disertai gejala alergi lain, seperti urtikaria dan gangguan pencernaan.3 Penyebab
rinitis alergi dapat berbeda tergantung dari klasifikasi. Beberapa pasien sensitif
terhadap beberapa alergen. Alergen yang menyebabkan rinitis alergi musiman
biasanya berupa serbuk sari atau jamur.1,4
Rinitis alergi perenial (sepanjang tahun) diantaranya debu tungau, terdapat
dua spesies utama tungau yaitu Dermatophagoides farinae dan Dermatophagoides
pteronyssinus, jamur, binatang peliharaan seperti kecoa dan binatang pengerat.
Faktor resiko untuk terpaparnya debu tungau biasanya karpet serta sprai tempat
tidur, suhu yang tinggi, dan faktor kelembaban udara.1 Kelembaban yang tinggi
merupakan faktor resiko untuk untuk tumbuhnya jamur. Berbagai pemicu yang
bisa berperan dan memperberat adalah beberapa faktor nonspesifik diantaranya
asap rokok, polusi udara, bau aroma yang kuat atau merangsang dan perubahan
cuaca.
12
Berdasarkan cara masuknya allergen dibagi atas:
1. Alergen Inhalan, yang masuk bersama dengan udara pernafasan, misalnya
debu rumah, tungau, serpihan epitel dari bulu binatang serta jamur.
2. Alergen Ingestan, yang masuk ke saluran cerna, berupa makanan, misalnya
susu, telur, coklat, ikan, udang, dan kacang-kacangan.
3. Alergen Injektan, yang masuk melalui suntikan atau tusukan, misalnya
penisilin atau sengatan lebah.
4. Alergen Kontaktan, yang masuk melalui kontak dengan kulit atau jaringan
mukosa, misalnya bahan kosmetik atau perhiasan.1
1. Penyebab spesfik
a. Inhalan (parenial dan seasonal)
Alergen parenial biasanya ada sepanjang tahun dan sulit untuk
dihindari, contohnya: debu rumah tangga, tungau, serpihan kulit
binatang, jamur, kecoa. Sedangkan untuk alergen seasonal biasanya
dari serbuk sari tanaman, atau rumput-rumputan
2. Penyebab non spesifik
a. Iklim (udara lembab, perubhaan suhu, angin)
b. Hormonal (wanita yang mempunyai bakat alergi dapat kambuh gejala
alerginya klau sedang hamil karena minum pil KB atau menderita
Hipertiroid.
c. Psikis (miningkatnya emosi dan ketegangan jiwa pada orang yang
berbakat alergi memudahkan kambuhnya manifestasi alergi.
d. Infeksi
e. Iritasi (rangsangan dari luar dapat menyebabkan kambuhnya alergi
misalnya asap rokok, dan bhan-bahan polutan lainnya).
f. Pekerjaan (paparan alergi timbul berasal dari lingkungan kerja).
g. Genetik (berdasarkan beberapa penelitia mengatakan besarnya faktor
genetik terhadap penyakit alergi, resiko untuk menderita penyakit
13
alergi lebih besar pada orang yang memiliki orang tua dengan riwayat
atopi sebanyak 30%.
3.6 Patofisiologi
Rinitis alergi merupakan suatu penyakit inflamasi yang diawali dengan
tahap sensitisasi dan diikuti dengan reaksi alergi. Reaksi alergi terdiri dari 2 fase
yaitu :
1. Immediate Phase Allergic Reaction atau Reaksi Alergi Fase Cepat (RAFC)
yang berlangsung sejak kontak dengan alergen sampai 1 jam setelahnya.
Munculnya segera dalam 5-30 menit, setelah terpapar dengan alergen spesifik
dan gejalanya terdiri dari bersin-bersin, rinore karena hambatan hidung dan
atau bronkospasme. Hal ini berhubungan dengan pelepasan amin vasoaktif
seperti histamin.1
2. Late Phase Allergic Reaction atau Reaksi Alergi Fase Lambat (RAFL)
yang berlangsung 2-4 jam dengan puncak 6-8 jam (fase hiperreaktifitas)
setelah pemaparan dan dapat berlangsung sampai 24-48 jam. Muncul dalam 2-
8 jam setelah terpapar alergen tanpa pemaparan tambahan. Hal ini
berhubungan dengan infiltrasi sel-sel peradangan, eosinofil, neutrofil, basofil,
monosit dan CD4 + sel T pada tempat deposisi antigen yang menyebabkan
pembengkakan, kongesti dan sekret kental.1
14
Gambar 3.2 Patofisiologi Rinitis Alergi
(Sumber : http://www.medscape.com)
15
3.7 Diagnosis Banding
1. Rinitis Vasomotor
Rinitis vasomotor adalah terdapatnya gangguan fisiologik lapisan mukosa
hidungyang disebabkan oleh bertambahnya aktivitas parasimpatis. Kelainan
inimerupakan keadaan yang non-infektif dan non-alergi. Rinitis
vasomotor mempunyai gejala yang mirip dengan rinitis alergi sehingga sulit
untuk dibedakan. Pada umumnya pasien mengeluhkan gejala hidung tersumbat,
ingusyang banyak dan encer serta bersin-bersin walaupun jarang. Etiologi yang
pasti belum diketahui, tetapi diduga sebagai akibat gangguan keseimbangan
fungsivasomotor dimana sistem saraf parasimpatis relatif lebih dominan.
Keseimbangan vasomotor ini dipengaruhi oleh berbagai faktor yang berlangsung
temporer,seperti emosi, posisi tubuh, kelembaban udara, perubahan suhu luar,
latihan jasmani dansebagainya, yang pada keadaan normal faktor-faktor tadi
tidak dirasakan sebagai gangguan oleh individu tersebut.
16
Tabel. Diagnosis banding rhinitis alergika dan rhinitis vasomotor.
17
Istilah NARES digunakan untuk kondisi klinis dengan etiologi
yang tidak diketahui, dengan gejala mendukung rinitis alergi, dimana test
IgE normal dan skin test terhadap allergen sesuai letak geografi negative.
Terapi antihistamin atau dekongestan tidak mengurangi gejala
secara signifikan tapi steroid yang diberikan pada hidung umumnya
menghasilkan perubahan. Repon terhadap steroid menimbulkan dugaan
bahwa kondisi ini mungkin disebabkan allergen yang tidak dikenal.
3.8 Diagnosis
Diagnosis rinitis alergi ditegakkan berdasarkan:
a. Anamnesis
Anamnesis sangat penting, karena sering kali serangan tidak terjadi
dihadapan pemeriksa. Hampir 50% diagnosis dapat ditegakkan dari
anamnesis. Anamnesis yang cermat mengenai spektrum dan saat
timbulnya gejala serta pemeriksaan fisik merupakan aspek penting untuk
menegakkan diagnosis. Gejala rinitis alergi yang khas ialah terdpatnya
serangan bersin berulang. Gejala lain ialah keluar ingus yang encer dan
banyak (rinore), hidung tersumbat, hidung dan mata gatal, yang kadang-
kadang disertai lakrimasi, hiposmia/anosmia, post nasal drip. Batuk
kronik, dan juga perlu pertanyakan variasi diurnal yaitu memburuk pada
pagi hari-siang hari dan membaik saat malam hari. Kadang-kadang
keluhan hidung tersumbat merupakan keluhan utama atau satu-satunya
gejala yang diutarakan pasien.1,2
Menurut WHO ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma)
tahun 2008, rinitis alergi dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis, bila
terdapat 2 atau lebih gejala seperti adanya ingus encr dan berair, bersin-
bersin biasanya pada pagi hari, hidung tersumbat, hidung gatal dan mata
merah serta berair lebih dari 1 jam sehari selama berhari-hari maka
kemungkinan dinyatakan positif gejala rinitis alergi. Selain itu perlu juga
ditanyakan riwayat atopi pada keluarga serta manifestasi penyakit alergi
lain sebelum atau bersamaan dengan rinitis seperti asma brokial,
dermatitis atopi, urtikaria dan alergi terhadap makananan. Keadaan
18
lingkungan juga perlu dipertanyakan apakah kualitas udara dan sistem
ventilasi dirumah maupun lingkungan kerja baik. Adanya keadaan
hiperaktivitas hidung terhadap iritan nin spesifik seperti asap rokok,
udara dingin, bau merangsang seperti bau parfum, masakan dan polutan
juga dapat memicu serta memperberat rintis.1,2
b. Pemeriksaan Fisik
Pada rinoskopi anterior tampak mukosa edema, basah, berwarna
pucat disertai adanya secret yang banyak, pada konka inferior atau media
terlihat pucat/livid, diliputi sekret hidung seromukoid, dan hipertrofi.
Kemudian bisa juga diperhatikan daerah septum nasi (lurus, deviasi,
spina/krista) serta adakah polip nasi. Bila fasilitas tersedia dapat
dilakukan nasoendoskopi, apakah ada gambaran konka bulosa atau polip
kecil di daerah meatus serta keadaan kompleks osteomeatal. Gejala
spesifik lain yang sering terjadi pada anak yaitu ditemukannya bayangan
atau lingkaran gelap didaerah bawah mata yang terjadi akibat adanya
sumbatan aliran darah vena akibat obstruksi di saluran hidung atau sinus,
penumpukan aliran darah tersebutlah yang menyebabkan timbulnya tanda
allergic shiner yang biasa terjadi pada anak-anak ataupun pada orang
dewasa. Selain itu anak-anak juga terlihat sering menggosok hidung pada
saat hidung terasa gatal, keadaan ini disebut sebagi allergi salute, lama
keadaan kebiasaan menggosok hidung ini akan mengakibatkan timbulnya
garis melintang pada daerah dorsum nasi bagian sepertiga bawah, yang
disebut allergic crease. Mulut sering terbuka dengan lengkung langit-
langit yang tinggi, sehingga akan menyebabkan gangguan pertumbuhan
gigi-geligi (fades adenoid). Dinding posterior faring tampak granuler dan
edema (cobblestone appearance), serta dinding Jateral faring menebal.
Lidah tampak seperti gambaran peta (geographic tongue).1
19
c. Pemeriksaan Penunjang
In vitro
Hitung eosinofil dalam darah tepi dapat normal atau meningkat.
Demikian pula pemeriksaan IgE total (prist-paper radio imunosorbent
test) sering kali menunjukkan nilai normal, kecuali bila tanda alergi pada
pasien lebih dari satu macam penyakit, misalnya selain rinitis alergi juga
menderita asma bronkial atau urtikaria. Lebih bermakna adalah dengan
RAST (Radio Immuno Sorbent Test) atau ELISA (Enzym Linked Immuno
Sorbent Assay Test). Pemeriksaan sitologi hidung, walaupun tidak dapat
memastikan diagnosis, tetap berguna sebagai pemeriksaan pelengkap.
Ditemukan eosinofil dalam jumlah banyak menunjukkan kemungkinan
alergi inhalan. Jika basofil (>5 sel/lap) mungkin disebabkan alergi
makanan, sedangkan jika ditemukan sel PMN menunjukan adanya
infeksi bakteri.1
In vivo
Penyebab dapat dicari dengan cara pemeriksaan tes cukit kulit, uji
intrakutan atau intradermal yang tunggal atau berseri (Skin end-point
titration/SET). SET dilakukan untuk alergen inhalan dengan
menyuntikan alergen ddalam berbagai konsentrasi yang bertingkat
kepekatannya. Keuntungan SET, selain alergen penyebab juga derajat
alergi serta dosis inisial untuk desensitisasi dapat diketahui.1
20
3.8 Penatalaksanaan
1. Terapi non-farmakologi
Terapi non-farmakologi yang paling ideal adalah dengan menghindari
alergen penyebabnya (avoidance) dan eliminasi.
2. Terapi farmakologi
a. Medikamentosa
Terapi medikamentosa yaitu antihistamin, obat-obatan
simpatomimetik, kortikosteroid dan antikolinergik topikal.
Antihistamin yang dipakai adalah antagonis H-1. Antagonis reseptor
histamin H1 berikatan dengan reseptor H1 tanpa mengaktivasi
reseptor, yang mencegah ikatan dan kerja histamin. Merupakan
preparat farmakologik yang paling sering dipakai sebagai lini pertama
pengobatan rinitis alergi. Pemberian dapat dalam kombinasi atau
tanpa kombinasi dengan dekongestan secara peroral. Antihistamin
dibagi dalam 2 golongan yaitu golongan antihistamin generasi-1
21
(klasik) dan generasi -2 (non sedatif). Antihistamin generasi-1 bersifat
lipofilik, sehingga dapat menembus sawar darah otak (mempunyai
efek pada SSP) dan plasenta serta mempunyai efek kolinergik.1
Generasi kedua lebih bersifat lipofobik dan memiliki ukuran
molekul lebih besar sehingga lebih banyak dan lebih kuat terikat
dengan protein plasma dan berkurang kemampuannya melintasi otak.
Generasi kedua AH1 mempunyai rasio efektivitas, keamanan dan
farmakokinetik yang baik, dapat diminum sekali sehari, serta bekerja
cepat (kurang dari 1 jam) dalam mengurangi gejala hidung dan mata,
namun obat generasi terbaru ini kurang efektif dalam mengatasi
kongesti hidung.1
Preparat simpatomimetik golongan agonis adrenergik alfa dipakai
dekongestan hidung oral dengan atau tanpa kombinasi dengan
antihistamin atau topikal. Namun pemakaian secara topikal hanya
boleh untuk beberapa hari saja untuk menghindari terjadinya rinitis
medikamentosa.1 Beraksi pada reseptor adrenergik pada mukosa
hidung untuk menyebabkan vasokonstriksi, menciutkan mukosa yang
membengkak, dan memperbaiki pernapasan.1
Dekongestan oral seperti efedrin, fenilefrin, dan pseudoefedrin,
merupakan obat simpatomimetik yang dapat mengurangi gejala
kongesti hidung. Penggunaan obat ini pada pasien dengan penyakit
jantung harus berhati-hati. Efek samping obat ini antara lain
hipertensi, berdebar-debar, gelisah, agitasi, tremor, insomnia, sakit
kepala, kekeringan membran mukosa, retensi urin, dan eksaserbasi
glaukoma atau tirotoksikosis. Dekongestan oral dapat diberikan
dengan perhatian terhadap efek sentral. Pada kombinasi dengan
antihistamin-H1 oral efektifitasnya dapat meningkat, namun efek
samping juga bertambah.1
Dekongestan intranasal (misalnya epinefrin, naftazolin,
oksimetazolin, dan xilometazolin) juga merupakan obat
simpatomimetik yang dapat mengurangi gejala kongesti hidung. Obat
ini bekerja lebih cepat dan efektif daripada dekongestan oral.
22
Penggunaannya harus dibatasi kurang dari 10 hari untuk mencegah
terjadinya rinitis medikamentosa. Efek sampingnya sama seperti
sediaan oral tetapi lebih ringan. Pemberian vasokonstriktor topikal
tidak dianjurkan untuk rinitis alergik pada anak di bawah usia l tahun
karena batas antara dosis terapi dengan dosis toksis yang sempit. Pada
dosis toksik akan terjadi gangguan kardiovaskular dan sistem saraf
pusat.1
Kortikosteroid digunakan sangat luas dalam pengobatan berbagai
penyakit alergi oleh karena sifat anti inflamasinya yang kuat. Beragam
kerja anti inflamasi kortikosteroid diperantarai oleh pengaturan
ekspresi dari bermacam gen target spesifik. Telah diketahui bahwa
kortikosteroid menghambat sintesis sejumlah sitokin seperti
interleukin IL-1 sampai IL-6, tumor nekrosis factor- (TNF-), dan
granulocyte-macrophage colony stimulating factor (GM-CSF).
Kortikosteroid juga menghambat sintesis khemokin IL-8, regulated
on activation normal T cell expressed and secreted (RANTES),
eotaxin, macrophage inflammatory protein- 1 (MIP-1), dan
monocyt chemoattractant protein-1.
Selain itu, terdapat pula beberapa obat yang dapat dipertimbangkan
antara lain : 1
Sodium Kromolin adalah sebagai suatu penstabil sel mast sehingga
mencegah degranulasi sel mast dan pelepasan mediator termasuk
histamin dengan cara memblokade pengangkutan kalsium yang
dirangsang antigen melewati membran sel mast.
Preparat antikolinergik topikal adalah ipratropium bromida,
bermanfaat untuk mengatasi rinore, karena aktifitas inhibisi
reseptor kolinergik permukaan sel efektor.
Anti-leukotrien seperti montelukast, pranlukast, dan zafirlukast,
akan memblok reseptor CystLT, dan merupakan obat yang
menjanjikan baik dipakai sendiri ataupun dalam kombinasi dengan
antihistamin-H1 oral, namun masih diperlukan banyak data
23
mengenai obat-obat ini. Efek sampingnya dapat ditoleransi tubuh
dengan baik.
b. Operatif
Konkotomi (pemotongan konka inferior) perlu dipikirkan bila
konka inferior hipertrofi berat dan tidak berhasil dikecilkan dengan
cara kauterisasi memakai AgNO3 25 % atau troklor asetat.1
c. Imunoterapi
Imunoterapi atau hiposensitisasi digunakan ketika pengobatan
medikamentosa gagal mengontrol gejala atau menghasilkan efek
samping yang tidak dapat dikompromi. Imunoterapi menekan
pembentukan IgE. Imunoterapi juga meningkatkan titer antibodi IgG
spesifik. Jenisnya ada desensitisasi, hiposensitisasi & netralisasi.
Desensitisasi dan hiposensitisasi membentuk blocking antibody.
Keduanya untuk alergi inhalan yang gejalanya berat, berlangsung
lama dan hasil pengobatan lain belum memuaskan. Netralisasi tidak
membentuk blocking antibody dan untuk alergi inhalan.2 Ada 2
metode imunoterapi yang umum dilakukan yaitu intradermal dan
sublingual.1
24
25
26
27
28
3.9 Komplikasi Rinitis Alergi
Komplikasi rinitis alergi yang sering adalah :
1. Polip hidung yang memiliki tanda patognomonis: inspisited mucous
glands, akumulasi sel-sel inflamasi yang luar biasa banyaknya (lebih
eosinofil dan limfosit T CD4+), hiperplasia epitel, hiperplasia goblet,
dan metaplasia skuamosa.
2. Otitis media yang sering residif, terutama pada anak-anak
3. Rhinosinusitis merupakan inflamasi mukosa hidung dan sinus
paranasal. Terjadi akibat edema ostia sinus atau pun hipertrofi konka
pada hidung oleh proses alergis dalam mukosa yang menyebabkan
sumbatan ostia sehingga terjadi penurunan oksigenasi dan tekanan
udara rongga sinus. Hal tersebut akan menyuburkan pertumbuhan
bakteri terutama bakteri anaerob dan akan menyebabkan rusaknya
fungsi barier epitel antara lain akibat destruksi mukosa oleh mediator
protein basa yang dilepaskan sel eosinofil (MBP) dengan akibat
sinusitis akan semakin parah.
4. Asma bronkhial
29
BAB IV
ANALISIS KASUS
Keluhan dialami pasien lebih dari Saat ini ARIA (Initiative Allergic
empat hari dalam seminggu. Keluhan Rhinitis and its Impact ons Astma 2000)
yang dirasakan cukup mengganggu membagi klasifikasi menjadi tipe
tidur pasien pada malam hari. intermiten dan persisten. Dikatakan
intermiten apabila gejala timbul kurang
dari 4 hari seminggu atau lamanya
gejala kurang dari 4 minggu.
Sedangkan persisten apabila gejala
30
lebih dari 4 hari per minggu dan
lamanya lebih dari 4 minggu.
Berdasarakan berat ringannya
penyakit menurut WHO ARIA
(Allergic Rhinitis and its Impact on
Asthma) tahun 2008, berdasarkan berat
ringanya penyakit dibagi menjadi jenis
serangannya mild (ringan) dan
moderate-severe (sedang-berat).
Dikatakan ringan apabila gejala rinitis
alergi bila tidak terdapat gejala
gangguan tidur, gangguan pada
aktivitas sehari-hari, saat bersantai,
olahraga, belajar atau bekerja, dan hal-
hal lain yang menggu. Sedang sampai
berat apabila sudah terdapat satu atau
lebih gangguan seperti gangguan tidur,
belajar, dan bekerja
Pada pasien ini diberikan KIE bahwa Prinsip terapi dari rinitis alergi
penyakit yang diderita adalah utamanya adalah menghindari paparan
kemungkinan penyakit kronis yang ulang dengan suspek allergen. Selain
31
disebabkan oleh alergi, yang apabila itu dapat diberikan terapi sesuai gejala
terpapar ulang oleh allergen tersebut yaitu pamberian antihistamin,
maka akan kembali mencetuskan gejala dekongestan, dan antiinflamasi
seperti yang dikeluhkan saat ini, oleh kortikosterid
karena itu sangat penting untuk
menghindari paparan ulang dari
allergen. Dianjurkan juga kepada pasien
untuk melakukan uji cukit kulit.
Pasien juga diberikan terapi
farmakologi berupa :
Triprolidine HCl 2 x 2,5 mg,
Pseudoephedrine HCl 2 x 60 mg,
Methylprednisolone 2 x 4 mg.
32
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Rinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi
pada pasien atopi yang sebelumnya sudah tersensitisasi dengan alergen yang sama
serta dilepaskannya suatu mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan
alergen spesifik tersebut.
Rinitis alergi melibatkan interaksi antara lingkungan dengan predisposisi
genetik dalam perkembangan penyakitnya. Faktor genetik dan herediter sangat
berperan pada ekspresi rinitis alergi. Penyebab rinitis alergi tersering adalah
alergen inhalan pada dewasa dan ingestan pada anak-anak. Pada anak-anak sering
disertai gejala alergi lain, seperti urtikaria dan gangguan pencernaan.
Prinsip terapi dari rinitis alergi berupa terapi non-farmakologi dan
farmakologi. Terapi non-farmakologi yang paling ideal adalah dengan
menghindari alergen penyebabnya (avoidance) dan eliminasi. Terapi
medikamentosa yaitu antihistamin, obat-obatan simpatomimetik, kortikosteroid
dan antikolinergik topikal. Selain itu dapat dipertimbangkan tindakan
pembedahan dan imunoterapi.
33
DAFTAR PUSTAKA
34