Anda di halaman 1dari 19

LAPORAN KASUS

CLINICAL EXPOSURE III

PUSKESMAS BINONG

Girvan Gunawan

01071170126

PEMBIMBING

dr. Patricia Untoro

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS PELITA HARAPAN

2019
BAB I - ILUSTRASI KASUS
Data Pasien
Nama pasien :M
Usia : 65 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Pekerjaan : Wiraswasta
Status : Sudah menikah
Alamat : Binong
Tgl pemeriksaan : Selasa, 26 Februari 2019
Anamnesis
Wawancara medis dilakukan secara autoanamnesa yang dilakukan pada hari Selasa, 26
Februari 2019 di Puskesmas Binong pada pukul 9.00 pagi

Keluhan Utama
Hidung tersumbat sejak 5 bulan yang lalu.
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien M, laki-laki berusia 65 tahun datang dengan keluhan hidung tersumbat sejak 5 bulan
yang lalu. Pasien mengaku keluhan tersebut disertai dengan keluarnya cairan lendir ingus berwarna
bening kekuningan. Terkadang cairan lendir tersebut dapat masuk kedalam rongga mulut dan
tertelan pasien terutama saat posisi berbaring yaitu malam hari, pasien dapat merasakan aliran
lendir tersebut hingga pasien mengeluh sulit untuk tidur. Menurut pasien, terpaparnya udara dingin
waktu malam hari dan minum minuman dingin menyebabkan sumbatan hidung bertambah berat
dan akan berpindah-pindah antara hidung kanan dan kiri, pasien terpaksa bernafas melalui mulut.
Selain hidung tersumbat, gejala juga disertai dengan batuk, napas yang bau, dan pasien juga
merasakan nyeri pada pipi kanannya jika menunduk atau hendak mengeluarkan ingusnya. Nyeri
yang dirasakan hilang timbul. Pasien mengaku keluhan ini mengganggu aktivitas, dan penciuman
pasien terasa menurun. Nyeri yang dirasakan pasien berskala sekitar 3 dari 10. Pasien menyangkal
mengalami demam, dan batuk. Pasien sudah mengonsumsi obat-obatan pilek dekongestan, namun
hanya memperingan gejala untuk sementara.
Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien tidak pernah mengalami gejala yang sama sebelumnya. Pasien tidak memiliki
riwayat penyakit seperti hipertensi, diabetes, TB, asam urat tinggi, riwayat trauma maupun operasi,
riwayat stroke, ataupun riwayat hipertensi dan penyakit jantung. Pasien juga tidak memiliki
riawayat alergi pada substansi tertentu.

Riwayat Penyakit Keluarga


Pasien menyatakan bahwa keluarga pasien tidak ada yang memiliki keluhan serupa. Pasien
maupun keluarga pasien yang lain tidak memiliki riwayat penyakit keluarga lainnya seperti
hipertensi, diabetes, kolestrol tinggi, riwayat trauma maupun operasi, riwayat stroke, ataupun
penyakit jantung.

Riwayat Kebiasaan & Sosial


Pasien bekerja sebagai pemilik warung sembako. Pasien memiliki kebiasaan meminum
minuman dingin. Pasien menyangkal memiliki kebiasaan merokok, mengonsumsi alkohol,
menggunakan obat-obatan terlarang.

PEMERIKSAAN UMUM
Kesadaran dan Tanda Fisik
Keadaan Umum : Pasien tampak sakit ringan
Kesadaran : GCS 15
Berat Badan : 59 kg
Tinggi Badan : 164 cm BMI= 21.9 (Normal)
Tanda-tanda vital : Tekanan Darah = 120/80 mmHg
: Denyut Jantung = 88x/menit
: Laju Nafas = 14x/menit
: Suhu Tubuh = 36.7 derajat
Pemeriksaan Generales
Kulit Keseluruhan • Tidak ada sianosis/ kebiruan
• Tidak ada ikteris/ jaundice/ kekuningan
• Tidak ada edema

Kepala dan Wajah Kulit kepala • Tidak ada lesi


• Tidak ada ruam
• Tidak ada bekas luka
• Tidak ada massa
• Tidak ada deformitas
• Tidak ada sianosis/ kebiruan
• Tidak ada ikteris/ jaundice/
kekuningan
• Tidak ada kemerahan
• Tidak ada edema
Fungsi • Tidak ada keterbatasan gerak
Mata • Konjungtiva tidak anemis
• Tidak ada sklera ikteris
• Tidak ada bekas luka
• Pupil bulat, sama besar dan bentuk isokor, diameter
3mm/3mm
• Jarak antar mata simetris
Telinga • Tidak ada bekas luka
• Tidak ada deformitas
• Tidak ada pus
• Tidak ada pendarahan
Leher • Tidak ada bekas luka
• Tidak ada ruam
• Trakea intak di tengah, tidak ada deviasi
• Tidak ada pembesaran tiroid
• Tidak ditemukan perbesaran kelenjar getah bening
Thorax
Jantung Inspeksi iktus kordis tidak terlihat
Palpasi iktus kordis tidak teraba
heave (-) thrill (-)
Perkusi batas jantung tidak melebar
batas jantung kanan ICS 4 linea
parasternal dextra
batas jantung kiri ICS 4 linea
midclavicularis sinistra
Auskultasi S1 dan S2 reguler
murmur (-) gallop (-)
Paru-paru Inspeksi • Pergerakan kedua lapang paru
simetris pada keadaan statis
dan dinamis
• Tidak ada barrel chest
• Tidak ada pectus excavatum
maupun pectus carinatum
• Tidak ada pelebaran inter
costa space
• Tidak ada massa
• Tidak ada diskolorasi
• Tidak ada spider naevi
• Tidak ada bekas luka
• Tidak ada bekas operasi
• Tidak ada retraksi intercostal
• Tidak ada retraksi
supraclavicular
• Tidak ada penggunaan otot
pernapasan abdomen
Palpasi • Taktil fremitus simetris kanan
dan kiri
• Pengembangan dada simetris
Perkusi • Perkusi paru sonor di kedua
lapang paru
Auskultasi • Suara vesikuler pada seluruh
lapang paru
• Wheezing (-) ronchi (-) rales
(-)
Abdomen Inspeksi • Bentuk abdomen simetris
• Tidak ada bekas luka dan
operasi
• Tidak ada diskolorasi
• Tidak ada caput medusae
Auskultasi • Bising usus (+) ; frekuensi
8/menit
• Bruits (-)
Perkusi • Timpani pada seluruh regio
• Tidak ada ascites
Palpasi • Tidak ada nyeri tekan
abdomen
• Tidak ada massa
• Tidak ditemukan perbesaran
hati dan limpa
• Ballotement test (-)
• Palpasi titik McBurney (-)
Ekstremitas Tangan • Akral teraba hangat
• Tidak ada cyanosis
• Tidak ada clubbing finger
• Tidak ada edema
• CRT < 2 detik

Kaki • Tidak terdapat pitting edema

Status lokalis e.r Hidung :


Pemeriksaan Hidung Kanan Hidung Kiri
Inspeksi Hiperemis (-) Hiperemis (-)
Massa pada hidung luar (-) Massa pada hidung luar (-)
Palpasi Sinus Paranasal Sinus Maxillaris (+) Sinus Maxillaris (+)
Ethmoidalis (-) Ethmoidalis (-)
Frontalis (-) Frontalis (-)
Rhinoskopi Anterior Mukosa hiperemis (+) Mukosa hiperemis (+)
Septum deviasi (+) Septum deviasi (-)
Konka hipertrofi (+) Konka hipertrofi (-)
Sekret (+) Sekret (+)
Massa (-) Massa (-)
RESUME
Bapak M berusia 65 tahun, datang dengan keluhan hidung tersumbat sejak 5 bulan yang
lalu dan disertai nyeri pada pipi kanan. Dari hasil anamnesis didapati rhinorrhea dan post nasal
drip, batuk, dan halitosis. Gejala akan menjadi tambah berat ketika terpapar udara dan konsumsi
minuman dingin. Sumbatan hidung dapat berpindah-pindah antara hidung kanan dan kiri, hingga
pasien terpaksa bernafas melalui mulut. Selain hidung tersumbat, pasien juga merasakan nyeri
pada pipi kanannya. Nyeri yang dirasakan hilang timbul. Pasien mengaku keluhan ini mengganggu
aktivitas, dan hyposmia. Nyeri yang dirasakan pasien berskala sekitar 3 dari 10. Pasien sudah
mengonsumsi obat-obatan pilek dekongestan, namun hanya memperingan gejala untuk sementara.
Dari pemeriksaan fisik yang telah dilakukan, pasien merasakan nyeri tekan pada sinus maxillaris
kanan dan kiri. Melalui pemeriksaan rhinoskopi anterior, didapati mukosa pasien hiperemis,
hipertrofi pada hidung kanan, septum yang deviasi dan kedua lubang hidung terhalang sekret.
SARAN PEMERIKSAAN PENUNJANG

• Nasoendoskopi
• Tes alergi
• Radiologi : Paranasal sinus X-ray facial & Water’s view

Diagnosis Utama : Chronic Rhinosinusitis


Diagnosis Banding : Acute rhinosinusitis, Nasal polyps, Rhinitis alergi, Tumor sinus paranasal
TATALAKSANA
Medikamentosa:

• Amoksisilin Klavulanat 250mg 3x1 selama 14 hari


• Dekongestan Pseudoefedrin Oral 30mg 3x1
• Fluticasone nasal spray 2x1
Edukasi pasien:

• Perlu konsul ke spesialis THT untuk melakukan pemeriksaan penunjang


• Hindari alergen dan faktor yang dapat memperberat keluhan seperti debu, udara
dingin AC

PROGNOSIS
Ad vitam : dubia ad bonam
Ad Functionam : dubia ad bonam
Ad Sanactionam : dubia ad bonam
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

DEFINISI
Sinusitis kronis merupakan proses inflamasi yang berada pada paranasal sinus dan
memiliki jangka waktu lebih dari 12 minggu atau 3 bulan. Pada beberapa literatur menyebutkan
bahwa sinusitis kronis selalu disertai dengan inflamasi pada rongga hidung dan menyebabkan
timbulnya gejala rhinitis, maka penamaan sinusitis kronis telah berkembang menjadi rhinosinusitis
kronis.

Untuk memahami patofisiologi terjadinya chronic sinusitis,


penting untuk mengenali anatomi dari paranasal sinus. Paranasal
sinus dilapisi oleh ciliated pseudostratified columnar epithelium.
Empat pasang paranasal sinus yaitu: maxillary, frontal, ethmoid, dan
sphenoid. Fungsi paranasal sinus adalah sebagai pengatur udaram
peringan cranium, resonansi suara, serta membantu memproduksi
mukus.

Klasifikasi Durasi
Akut 7 hari – 4 minggu
Subakut 4 – 12 minggu
Kronik >12 minggu

FAKTOR RISIKO DAN EPIDEMIOLOGI


Prevalensi terjadinya chronic rhinosinusitis adalah 146 per 1000 populasi. Peningkatan
insiden penyakit ini meningkat setiap tahunnya. Chronic sinusitis termasuk salah satu lima
penyakit yang seringkali diobati oleh antibiotik. Di United States, sinusitis menyerang 1 dari 7
orang dewasa dengan lebih dari 30 juta individu yang didiagnosis setiap tahunnya. Individu dengan
riwayat alergi atau asma berisiko tinggi terjadi rhinosinusitis. Prevalensi tertinggi pada usia 18 –
70 tahun dan kemudian anak-anak berusia 15 tahun. Sinus maxilla paling sering terjadi daripada
sinusitis paranasal lainnya karena ukuran sinus paranasal tersebut yang terbesar, letak dasar
maxilla berbatasan langsung dengan dasar akar gigi sehingga infeksi gigi dapat menyebabkan
sinus maxilla.1 Berikut kondisi yang merupakan faktor predisposisi pada penyakit chronic
sinusitis:

Allergic rhinitis Asma


Nasal Polip Obstruksi karena tumor
Cystic fibrosis Merokok
Periodontitis AIDS
Infeksi virus berulang Immunologic disorders

ETIOLOGI
Etiologi dari sinusitis kronis berfokus pada obstruksi pada osteomeatal complex, alergi,
polyps, maupun infeksi dental. Mikroorganisme juga menjadi etiologi yang sering terjadi pada
sinusitis.2

Bakteri Jamur
Staphylococcus aureus Aspergillus
H influenza Cryptococcus neoformans
Pseudomonas aeruginosa Sporothrix schenckii
Streptococcus pneumoniae Alternaria

PATOFISIOLOGI
Sinus normal biasanya dalam keadaan yang steril. Bakteri yang masuk ke sinus dapat
dieliminasi dengan cepat melalui sekresi mukus yang dikeluarkan oleh sel epitel kolumnar bersilia.
Mukus itu sendiri dihasilkan oleh sel goblet dan kelenjar submukosa. Oleh karena itu, jika ada
kelainan pada silia, maka proses eliminasi bakteri pun terhambat.3 Baik atau tidak baiknya keadaan
sinus dipengaruhi oleh 2 hal, yaitu patensi ostium-ostium sinus dan lancarnya mucocilliary
clearance di dalam kompleks ostio-meatal (KOM). Mukus sangat bermanfaat dalam menjaga
kesehatan sinus karena mengandung substansi antimikrobial (immunoglobulin) dan zat-zat yang
berfungsi sebagai mekanisme pertahanan tubuh terhadap kuman yang masuk bersama-sama
dengan udara pernafasan. Alergi sangat berperan penting pada kejadian rinosinusitis. Reaksi
antigenantibodi pada keadaan alergi menyebabkan pelepasan mediator inflamasi, termasuk
histamin. Mediator-mediator ini meningkatkan permeabilitas vaskular, edema mukosa, dan pada
akhirnya mengakibatkan obstruksi ostia. Walaupun agen infeksius dapat menjadi penyebab utama
inflamasi sinus, mereka juga ditemukan sebagai infeksi sekunder pada individu yang mengalami
rinitis alergi. Berbeda dengan rinosinusitis akut, patofisiologi rinosinusitis kronik masih belum
dapat diketahui secara jelas, namun faktor predisposisi lebih berperan penting, misalnya seperti
penyakit sistemik dan lingkungan. Pada pasien rinosinusitis kronis yang penyebabnya bakteri
patogen, organisme terbanyak adalah Staphylococcus sp. (55%) dan Staphylococcus aureus
(20%). Beberapa studi lain menyebutkan prevalensi yang tinggi ditemukan dengan infeksi
enterobakter, bakteri anaerob, bakteri gram-negatif, dan jamur.

GAMBARAN KLINIS
Keluhan utama rinosinusitis akut adalah hidung tersumbat disertai nyeri/rasa tekanan pada
muka dan ingus purulen, yang seringkali turun ke tenggorok (post nasal drip). Dapat disertai gejala
sistemik seperti demam dan lesu. Keluhan nyeri atau rasa tekanan di daerah sinus yang terkena
merupakan ciri khas sinusitis akut, serta kadang – kadang nyeri juga terasa di tempat lain (referred
pain). Nyeri pipi menandakan sinusitis maksila, nyeri di antara atau di belakang kedua bola mata
menandakan sinusitis etmoid, nyeri di dahi atau seluruh kepala menandakan sinusitis frontalis.
Pada sinusitis sfenoid, nyeri dirasakan di verteks, oksipital, belakang bola mata, dan daerah
mastoid. Pada sinusitis maksila, kadang – kadang ada nyeri alih ke gigi dan telinga. Gejala lain
adalah sakit kepala, hiposmia/anosmia, halitosis, post nasal drip yang menyebabkan batuk dan
sesak pada anak.

Keluhan sinusitis kronik tidak khas sehingga sulit didiagnosis. Kadang – kadang hanya 1
atau 2 dari gejala – gejala seperti sakit kepala kronik, post nasal drip, batuk kronik, gangguan
tenggorok, gangguan telinga akibat sumbatan kronik muara tuba eustachius, gangguan ke paru
seperti bronkitis (sinobronkitis), bronkiektasis dan yang penting adalah serangan asma yang
meningkat dan sulit diobati. Pada anak, mukopus yang tertelan dapat menyebabkan gastroenteritis.
Menurut Task Force on Rhinosinusitis (TFR) yang disponsori oleh American Academy of
Otolaryngology / Head and Neck Surgery (AAO-HNS), rinosinusitis kronik berlangsung > 12
minggu dan diagnosa dikonfirmasi dengan kompleks faktor klinis mayor dan minor dengan atau
tanpa adanya hasil pada pemeriksaan fisik. Tabel dibawah menunjukkan faktor klinis mayor dan
minor yang berkaitan dengan diagnosis rinosinusitis kronik. Bila ada dua atau lebih faktor mayor
atau satu faktor mayor disertai dua atau lebih faktor minor maka kemungkinan besar rinosinusitis
kronik. Bila hanya satu faktor mayor atau hanya dua faktor minor maka rinosinusitis perlu menjadi
diferensial diagnosa.4

Major factors Minor factors


Facial pain, pressure (alone does not constitute a suggestive Headache
history for rhinosinusitis in absence of another major
symptom) Fever

Facial congestion, fullness (all nonacute)

Nasal obstruction/blockage Halitosis

Nasal discharge/ purulence/ discolored nasal drainage Fatigue

Hyposmia/anosmia Dental pain

Purulence in nasal cavity on examination Cough

Fever (acute rhinosinusitis only) in acute sinusitis alone does Ear pain/pressure/
not constitute a strongly supportive history for acute in the fullness
absence of another major nasal symptom or sign

DIAGNOSIS

Berdasarkan gejala, pemeriksaan radiologis tidak dibutuhkan (foto polos sinus paranasal
tidak direkomendasikan). Gejala kurang dari 12 minggu, yakni berupa onset tiba-tiba dari dua atau
lebih gejala, salah satunya termasuk hidung tersumbat/ obstruksi/ kongesti atau pilek (sekret
hidung anterior/ posterior) dengan atau tanpa nyeri wajah/ rasa tertekan di wajah dengan atau tanpa
penurunan/ hilangnya penghidu dengan interval bebas gejala bila terjadi rekurensi, alergi, seperti
bersin, ingus encer seperti air, hidung gatal dan mata gatal serta berair, dan adanya tanda – tanda
endoskopi dari polip nasal dan atau sekret mukopurulen utamanya dari meatus medius dan atau
obstruksi mukosa/edema utamnaya di meatus medius; dan atau perubahan CT scan yakni
perubahan mukosa dalam kompleks ostio – meatal dan atau sinus.
Diagnosis klinik rinosinusitis kronik ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik
dan pemeriksaan penunjang meliputi transiluminasi, pemeriksaan radiologi, endoskopi nasal, CT-
scan dan lainnya.

Diagnosis rinosinusitis kronik tanpa polip nasi (pada dewasa) berdasarkan EP3OS 2012
ditegakkan berdasarkan penilaian subyektif, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang
lainnya. Penilaian subyektif berdasarkan pada keluhan, berlangsung lebih dari 12 minggu:

1) Buntu hidung, kongesti atau sesak


2) Sekret hidung / post nasal drip, umumnya mukopurulen
3) Nyeri wajah / tekanan, nyeri kepala dan
4) Penurunan / hilangnya penciuman
Pemeriksaan fisik yang dilakukan mencakup rinoskopi anterior dan posterior. Yang
menjadi pembeda antara kelompok rinosinusitis kronik tanpa dan dengan nasal polip adalah
ditemukannya jaringan polip/jaringan polipoid pada pemeriksaan rinoskopi anterior. Pemeriksaan
penunjang yang dilakukan antara lain endoskopi nasal, sitologi dan bakteriologi nasal, pencitraan
(foto polos sinus, transiluminasi, CT-scan dan MRI), pemeriksaan fungsi mukosiliar, penilaian
nasal airway, fungsi penciuman dan pemeriksaan laboratorium.

Anamnesis yang cermat dan teliti sangat diperlukan terutama dalam menilai gejala-gejala
yang ada pada kriteria diatas, mengingat patofisiologi rinosinusitis kronik yang kompleks. Adanya
penyebab infeksi baik bakteri maupun virus, adanya latar belakang alergi atau kemungkinan
kelainan anatomis rongga hidung dapat dipertimbangkan dari riwayat penyakit yang lengkap.
Informasi lain yang perlu berkaitan dengan keluhan yang dialami penderita mencakup durasi
keluhan, lokasi, faktor yang memperingan atau memperberat serta riwayat pengobatan yang sudah
dilakukan. Menurut EP3OS 2012, keluhan subyektif yang dapat menjadi dasar rinosinusitis kronik
adalah:5

1. Obstruksi nasal
Keluhan buntu hidung pasien biasanya bervariasi dari obstruksi aliran udara mekanis
sampai dengan sensasi terasa penuh daerah hidung dan sekitarnya
2. Sekret / discharge nasal
Dapat berupa anterior atau posterior nasal drip
3. Abnormalitas penciuman
Fluktuasi penciuman berhubungan dengan rinosinusitis kronik yang mungkin disebabkan
karena obstruksi mukosa fisura olfaktorius dengan / tanpa alterasi degeneratif pada
mukosa olfaktorius
4. Nyeri / tekanan fasial
Lebih nyata dan terlokalisir pada pasien dengan rinosinusitis akut, pada rinosinusitis
kronik keluhan lebih difus dan fluktuatif.
Pemeriksaan Fisik

Rinoskopi anterior dengan cahaya lampu kepala yang adekuat dan kondisi rongga hidung
yang lapang (sudah diberi topikal dekongestan sebelumnya). Dengan rinoskopi anterior dapat
dilihat kelainan rongga hidung yang berkaitan dengan rinosinusitis kronik seperti edema konka,
hiperemi, sekret (nasal drip), krusta, deviasi septum, tumor atau polip. Rinoskopi posterior bila
diperlukan untuk melihat patologi di belakang rongga hidung.

Pemeriksaan Penunjang

Transiluminasi, merupakan pemeriksaan sederhana terutama untuk menilai kondisi sinus


maksila. Pemeriksaan dianggap bermakna bila terdapat perbedaan transiluminasi antara sinus
kanan dan kiri. Endoskopi nasal, dapat menilai kondisi rongga hidung, adanya sekret, patensi
kompleks ostiomeatal, ukuran konka nasi, udem disekitar orifisium tuba, hipertrofi adenoid dan
penampakan mukosa sinus. Indikasi endoskopi nasal yaitu evaluasi bila pengobatan konservatif
mengalami kegagalan.18 Untuk rinosinusitis kronik, endoskopi nasal mempunyai tingkat
sensitivitas sebesar 46 % dan spesifisitas 86 %.

Radiologi, merupakan pemeriksaan tambahan yang umum dilakukan, meliputi X-foto


posisi Water, CT-scan, MRI dan USG. CT-scan merupakan modalitas pilihan dalam menilai proses
patologi dan anatomi sinus, serta untuk evaluasi rinosinusitis lanjut bila pengobatan
medikamentosa tidak memberikan respon. Ini mutlak diperlukan pada rinosinusitis kronik yang
akan dilakukan pembedahan.

Pemeriksaan penunjang lain yang dapat dilakukan antara lain:


1. Sitologi nasal, biopsi, pungsi aspirasi dan bakteriologi
2. Tes alergi
3. Tes fungsi mukosiliar : kliren mukosiliar, frekuensi getar siliar, mikroskop elektron dan
nitrit oksida
4. Penilaian aliran udara nasal (nasal airflow): nasal inspiratory peakflow, rinomanometri,
rinometri akustik dan rinostereometri
5. Tes fungsi olfaktori: threshold testing
6. Laboratorium : pemeriksaan CRP ( C-reactive protein)
TATALAKSANA
Tujuan terapi sinusitis adalah mempercepat penyembuhan, mencegah komplikasi, dan
mencegah perubahan menjadi kronik. Prinsip pengobatan adalah membuka sumbatan di KOM
sehingga drainase dan ventilasi sinus – sinus pulih secara alami. Antibiotika, merupakan modalitas
tambahan pada rinosinusitis kronik mengingat terapi utama adalah pembedahan. Jenis antibiotika
yang digunakan adalah antibiotika spektrum luas antara lain:

a. Amoksisilin + asam klavulanat


b. Sefalosporin: cefuroxime, cefaclor, cefixime
c. Florokuinolon : ciprofloksasin
d. Makrolid : eritromisin, klaritromisin, azitromisin
e. Klindamisin
f. Metronidazole
Antiinflamatori dengan menggunakan kortikosteroid topikal atau sistemik.
Kortikosteroid topikal : beklometason, flutikason, mometason
Kortikosteroid sistemik, banyak bermanfaat pada rinosinusitis kronik dengan polip nasi dan
rinosinusitis fungal alergi.
Terapi penunjang lainnya meliputi:
a. Dekongestan oral/topikal yaitu golongan agonis α-adrenergik
b. Antihistamin
c. Stabilizer sel mast, sodium kromoglikat, sodium nedokromil
d. Mukolitik
e. Antagonis leukotrien
f. Imunoterapi
g. Lainnya: humidifikasi, irigasi dengan salin, olahraga, avoidance terhadap iritan dan nutrisi
yang cukup
Tindakan operasi berupa bedah sinus endoskopi fungsional (Functional Endoscopy Sinus
Surgery) merupakan operasi terkini untuk sinusitis kronik yang memerlukan operasi. Tindakan ini
telah menggantikan hampir semua jenis bedah sninus terdahulu karena memberikan hasil yang
lebih memuaskan dan tindakan lebih ringan dan tidak radikal. Indikasinya berupa sinusitis kronik
yang tidak membaik setelah terapi adekuat, sinusitis kronik disertai kista atau kelainan yang
ireversibel, polip ekstensif, adanya komplikasi sinusitis.6

PROGNOSIS
Jika sinusitis kronis tidak ditangani dengan tuntas, penyakit ini bisa menurunkan kualitas
hidup dan produktifitas penderita. Sinusitis kronis memiliki komplikasi yang serius seperti
meningitis, sinobronkitis, gangguan visus, dan abses otak. Pengobatan sesegera mungkin lewat
obat-obatan secara agresif dapat menghasilkan perkembangan yang memuaskan. Sekitar 80-90%
pasien yang menjalani endoscopic sinus surgery dilaporkan mengalami peringanan gejala secara
signifikan. 7
BAB III
ANALISA KASUS
Dari hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik yang telah dilakukan, Bapak M berusia 65
tahun, mengeluhkan hidung tersumbat sejak 5 bulan yang lalu dan disertai nyeri pada pipi kanan.
Cairan lendir ingus berwarna bening kekuningan (rhinorrhea) yang dapat masuk kedalam rongga
mulut (post nasal drip), batuk, dan napas yang bau (halitosis. Hidung tersumbat hingga penciuman
yang menurun (Hyposmia). Nyeri tekan pada pipi (sinus maxillaris kanan dan kiri). Melalui
pemeriksaan rhinoskopi anterior, didapati mukosa pasien hiperemis, hipertrofi pada hidung kanan,
septum yang deviasi dan kedua lubang hidung terhalang sekret. Gejala-gejala tersebut merujuk
pada diagnosis kerja rhinosinusitis kronik. Walaupun begitu, beberapa pemeriksaan penunjang
perlu dilakukan untuk mencari tahu etiologi dari rhinosinusitis yang dialami pasien. Menurut Task
Force on Rhinosinusitis (TFR) dan American Academy of Otolaryngology / Head and Neck
Surgery (AAO-HNS), rinosinusitis kronik yang berlangsung > 12 minggu dikonfirmasi dengan
kompleks faktor klinis mayor dan minor dengan atau tanpa adanya hasil pada pemeriksaan fisik.
Menurut tabel informasi gejala tersebut menunjukkan faktor klinis mayor dan minor yang
berkaitan dengan diagnosis rinosinusitis kronik. Bila ada dua atau lebih faktor mayor atau satu
faktor mayor disertai dua atau lebih faktor minor maka kemungkinan besar rinosinusitis kronik.
Pasien memenuhi kriteria tersebut dan menguatkan diagnosis kerja rhinosinusitis kronis.
Terapi yang telah diberikan berupa Amoksisilin Klavulanat 250mg 3x1 selama 14 hari,
Dekongestan Pseudoefedrin 30mg 3x1, Fluticasone nasal spray 2x1. Amoksisilin diberikan
sebagai antibiotik karena umumnya penyebab dari rhinosinusitis adalah mikroorganisme bakteri.
Dekongestan untuk meredakan kongesti nasal dan hidung yang tersumbat, serta Fluticasone untuk
menghambat mediator inflamasi. Jika terapi medikamentosa tidak menunjukkan perbaikan yang
signifikan, terapi pembedahan menjadi pertimbangan selanjutnya untuk menangani kasus
rhinosinusitis kronis.
Untuk terapi pembedahan, prosedurnya dinamakan Functional Endoscopic Sinus Surgery
(FESS). FESS mampu menghilangkan penyakit dengan cara mengembalikan aerasi dan drainase
yang adekuat pada pasien, menguatkan komplek osteomeatal, namun tidak meninggalkan jejas dan
rasa tidak nyamandalam bernapas. FESS mampu mengembalikan kesehatan sinus dengan gejala
kekambuhan kurang dari 10% pasien.
Tabel berikut menjelaskan perbandingan antara rhinosinusitis kronik dengan diagnosis lain yang
memiliki gejala yang serupa:
Rhinosinusitis kronis Rhinorrhea yang banyak berwarna putih, kuning, sampai
kehijauan. Berlangsung lebih dari 12 minggu dan disertai dengan
nyeri wajah yang tidak terlalu dominan. Gejala rhinosinusitis
kronik umumnya disertai batuk, dan post nasal drainage.
Rhinits alergi Rhinorrhea berwarna bening tidak berwarna, rasa gatal yang berat,
pasien seringkali bersin, occular irritation, biasanya memiliki
alergi jenis lain seperti asma, tidak ada napas berbau, dan keluhan
muncul disaat yang tidak pasti karena kambuh jika terdapat
pajanan alergen.
Polip nasal Gejala yang sama dengan rhinosinusitis kronik , hidung yang
tersumbat, pilek, sakit kepala karena tekanan dari polip dan
keluhan tenggorokan. pada pemeriksaan rhinoskopi anterior
biasanya didapati massa kenyal baik unilateral maupun bilateral.
Tumbuhnya polip nasal memang seringkali disertai dengan
sinusitis. Namun, pada pemeriksaan fisik tidak ditemukan adanya
massa pada rongga hidung pasien.
Tumor sinus paranasal Rhinorrhea yang dikeluarkan karena adanya tumor pada rongga
(malignansi) sinus biasanya disertai darah (epitaksis). Selain itu gejala yang
dihasilkan juga tergantung pada perluasan tumor.
Gejala orbital: diplopia, proptosis atau penonjolan bola mata.
Gejala oral: mengeluhkan nyeri pada gigi, tetap tidak sembuh
walau sudah dicabut.
Gejala fasial: penonjolan pipi disertai nyeri
Gejala intrakranial: sakit kepala yang hebat
Untuk menyingkirkan diagnosis banding adanya tumor pada
rongga sinus pasien, memang dibutuhkan pemeriksaan penunjang
serperti radiologi. Namun dari gejala yang dihasilkan pasien,
kemungkinan pasien menderita tumor atau keganasan pada sinus
rendah.
REFERENCE

1. Report of the Rhinosinusitis Task Force Committee Meeting. Alexandria, Virginia, August 17, 1996. Otolaryngol Head
Neck Surg.
2. Brook I. Acute and chronic bacterial sinusitis. Infect Dis Clin North Am. 2007 Jun. 21
3. Benninger MS, Ferguson BJ, Hadley JA, et al. Adult chronic rhinosinusitis: definitions, diagnosis, epidemiology, and
pathophysiology.
4. https://www.entnet.org/content/clinical-practice-guideline-adult-sinusitis
5. EPOS 2012: European position paper on rhinosinusitis and nasal polyps 2012. A summary for otorhinolaryngologists.
Wytske J. Fokkens, Valerie J. Lund, Joachim Mullol, Claus Bachert, Isam Alobid, Fuad Baroody, Noam Cohen, Anders
Cervin, Richard Douglas, Philippe Gevaert, et al.
Rhinology.
6. Mangunkusumo E., Wardani RS. Polip Nasi. Dalam: Soepardi E. A. dkk, eds. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung
Tenggorok Kepala Leher. Edisi keenam. Jakarta: Balai Penerbit FK UI: 2012; hal. 101-03.
7. Osguthorpe JD. Adult rhinosinusitis: diagnosis and management. American Family Physician, 2001; 63:69-74.

Anda mungkin juga menyukai