Anda di halaman 1dari 69

1

CASE REPORT SESSION

*Program Profesi Dokter/ G1A219027/2019

** Pembimbing dr. Sondang Nora Harahap, Sp. B

Trauma Tumpul Thoraks & Trauma Tumpul Abdomen

oleh:

Wita Zahara*

G1A219027

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS JAMBI

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH RADEN MATTAHER

PROVINSI JAMBI

2019

LEMBAR PENGESAHAN
2

CASE REPORT SESSION

Trauma Tumpul Thoraks & Trauma Tumpul Abdomen

oleh:

Wita Zahara

Jambi, Oktober 2019

Pembimbing

dr. Sondang Nora Harahap, Sp. B

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS JAMBI

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH RADEN MATTAHER

PROVINSI JAMBI

2019
3

BAB I

PENDAHULUAN

Trauma toraks adalah luka atau cedera akibat benda tajam atau tumpul
yang mengenai rongga toraks dan dapat menyebabkan kerusakan baik dinding
toraks maupun isi kavum toraks yang berlanjut sebagai keadaan gawat toraks
akut. Bahaya utama berhubungan dengan trauma toraks biasanya berupa
perdarahan dalam dan tusukan terhadap organ.1

Penilaian dan tatalaksanan awal pasien dengan trauma thoraks terdiri


dari primary survey, resusitasi fungsi vital, secondary survey yang teliti dan
penanganan definitif. Mengingat hipoksia adalah manifestasi paling serius pada
trauma thoraks maka intervesi awal ditujukan untuk mencegah atau
memperbaiki hipoksia. 2

Trauma toraks merupakan penyebab kematian utama pada kelompok


umur dibawah 35 tahun. Trauma toraks terjadi hampir 50% dari seluruh kasus
kecelakaan. Trauma thorax kebanyakan disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas
yang umumnya berupa trauma tumpul (90%).3

Di Asia memiliki angka kematian trauma tertinggi di seluruh dunia,


berdasarkan World Health Organization (WHO) angka kematian pada tahun
2008 mencapai 90% dari seluruh kematian di dunia disebabkan oleh trauma
toraks. Trauma toraks semakin meningkat sesuai dengan kemajuan transportasi
dan kondisi sosial ekonomi masyarakat.3

Trauma abdomen menempati peringkat ketiga sebagai penyebab


kematian akibat trauma setelah cedera kepala dan cedera pada dada. Trauma
abdomen merupakan penyebab yang cukup signifikan bagi angka kesakitan
dan kematian di Amerika Serikat.4
4

Sebagai dokter umum yang akan menempati fasilitas kesehatan tingkat


pertama kita harus paham mengenai trauma thorak dan trauma abdomen. Oleh
karena itu penulis tertarik untuk membuat makalah mengenai trauma thorak.
5

BAB II

LAPORAN KASUS

2.1 Identitas Pasien

Nama : Tn. A
Umur : 36 Tahun
Berat badan : 80 kg
Jenis Kelamin : Laki-laki
Alamat : RT 03 JL. Wali Songo. Kota Jambi
Pekerjaan : Pegawai Swasta
MRS : 15 Oktober 2019
Tgl Pemeriksaan : 15 Oktober 2019
2.2 Anamnesis (Autoanamnesis)

Keluhan Utama :

Nyeri di dada sebelah kanan dan perut kanan atas sejak 30 menit SMRS

Riwayat Penyakit Sekarang :

 Pasien datang ke IGD rumah sakit Raden Mattaher Jambi mengeluh


nyeri dada sebelah kanan dan perut kanan atas setelah mengalami
kecelakaan motor (tunggal), pasien juga merasakan nafasnya sesak.
Pasien terjatuh sendiri dikarenakan terkejut ada mobil melintas dengan
sangat cepat. Pada saat terjatuh dari motor, bagian dada kanan dan perut
kanan atas pasien terkena pot bunga yang berada di pertengahan jalan.
Pasien dibawa ke RS dalam keadaan sadar, mual muntah tidak ada.

Riwayat Penyakit Dahulu :

 Riwayat DM (-)
 Riwayat Hipertensi (-)
6

Riwayat Penyakit Keluarga :

 Riwayat DM (-)
 Riwayat Hipertensi (-)
Riwayat Sosial Ekonomi :

Pasien sehari hari bekerja sebagai pegawai swasta. Pasien memiliki


kebiasaan merokok satu bungkus sehari sejak pasien duduk di Sekolah Dasar.

2.3 Pemeriksaan Fisik (15-10-2019)

Status Generalisata
Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos Mentis GCS :15 E=4 V=5 M=6
Vital Sign
TD : 120/80 mmHg HR : 90 x/menit

RR : 22 x/menit Suhu : 36,00 C

SpO2 : 98 %

Kepala
 Bentuk Kepala : Normocephal
 Mata : CA (-/-), SI (-/-), RC (+/+), isokor
 Hidung : Deviasi septum (-), Epistaksis (-/-)
 Mulut : Sianosis (-)
 Telinga : Otore (-/-), Otalgia (-/-), tinnitus (-/-)
Leher
 Perbesaran KGB : (-)
 Deviasi leher : (-)
 Jejas : (-)

Jantung
Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat
7

Palpasi : Tidak teraba ICS V linea midclavicula sinistra

Perkusi : Batas Atas : ICS II Linea parasternal sinistra


Batas Kiri : ICS V Lateral Linea midclavicula sinistra
Batas Kanan : ICS III Linea parasternal dextra
Batas Bawah : ICS IV Line parasternal dextra

Auskultasi : BJ I/II Reguler, Murmur (-), Gallop (-)

Pulmo
Inspeksi : Simetris kiri dan kanan, jejas di hemithorax dekstra dengan
ukuran 20x10.
Palpasi : Nyeri tekan (+) di hemithorax dektra ics 8-12, pergerakan
dinding dada simetris kiri dan kanan, fremitus taktil dada kanan = kiri.
Krepitasi (-)
Perkusi : Sonor pada thorax kanan dan kiri (+/+)
Auskultasi : Vesikuler kanan sama dengan kiri, Rhonki (-), Wheezing (-)

Abdomen
Inspeksi : Datar, tampak jejas di kuadran kanan atas.
Palpasi : Nyeri tekan pada kuadran kanan atas. Hepar dan lien tidak
teraba.
Perkusi : Timpani diseluruh lapangan abdomen (+)
Auskultasi : Bising Usus (+) Normal

Ekstremitas
Superior : akral hangat, CRT <2 Detik, Edem (-)
Inferior : akral hangat, CRT <2 Detik,Edem (-)
8

Rectal Toucher

Inspeksi : Inflamasi (-) pembengkakan (-) fistula ani (-)

Palpasi : -Tonus sfingter ani menjepit kuat, nyeri (-)

-Mukosa rectum dan anus licin

-Prostat arah jam 12 dengan permukaan rata, konsistensi


kenyal

-Ampulla recti terdapar feses

-Sarung tangan di dapatkan fases tidak ada darah dan lendir

2.4. Status Lokalisata

Regio hemitoraks dextra :

- Vulnus Kontusio 20x10 cm


9

2.5 Pemeriksaan Penunjang


Darah Rutin (15/10/2019) 07.00 pagi.
Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan
Darah rutin
WBC 11,59 109/L 4-10 109/L
RBC 4,58 1012/L 3,5-5,5 1012/L
HGB 15,6 g/dl 11-16 g/dl
HCT 44.9 % 35-50 %
PLT 259 x 109/L 100-300 x 109/L
MCV 98,1 fl 80,0-99,0 fl
MCH 34,1 pg 26,0-32,0 pg
MCHC 347 g/L 320-360 g/L
Elektrolit
Natrium 142,54 mmol/L 135-148 mmol/L
Kalium 3,59 mmol/L 3,5-5,3 mmol/L
Chlorida 103,50 mmol/L 98-110 mmol/L
Calcium 1,14 mmol/L 1,19-1,23 mmol/L
Faal Ginjal
Ureum 18 mg/dl 15-39 mg/dl
Kreatinin 0,9 mg/dl 0,9-1,3 mg/dl
Gula Darah Sewaktu 88 mg/dl <200 mg/dl

Darah Rutin (15/10/2019) 08.30 pagi.


Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan
Darah rutin
WBC 13,51 109/L 4-10 109/L
RBC 4,57 1012/L 3,5-5,5 1012/L
HGB 14,8 g/dl 11-16 g/dl
HCT 44.2 % 35-50 %
PLT 226 x 109/L 100-300 x 109/L
10

MCV 96,7 fl 80,0-99,0 fl


MCH 32,4 pg 26,0-32,0 pg
MCHC 335 g/L 320-360 g/L

Darah Rutin (15/10/2019) 10.00 pagi.


Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan
Darah rutin
WBC 10,5 109/L 4-10 109/L
RBC 4,62 1012/L 3,5-5,5 1012/L
HGB 14,5 g/dl 11-16 g/dl
HCT 45.7 % 35-50 %
PLT 200 x 109/L 100-300 x 109/L
MCV 98,9 fl 80,0-99,0 fl
MCH 31,4 pg 26,0-32,0 pg
MCHC 317 g/L 320-360 g/L

Darah Rutin (15/10/2019) 20.00

Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan


Darah rutin
WBC 9,01 109/L 4-10 109/L
RBC 3,98 1012/L 3,5-5,5 1012/L
HGB 13,3 g/dl 11-16 g/dl
HCT 39.7 % 35-50 %
PLT 183 x 109/L 100-300 x 109/L
MCV 99,7 fl 80,0-99,0 fl
MCH 33,4 pg 26,0-32,0 pg
MCHC 335 g/L 320-360 g/L
11

Darah Rutin (16/10/2019) 06.30 pagi.

Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan


Darah rutin
WBC 8,66 109/L 4-10 109/L
RBC 4,02 1012/L 3,5-5,5 1012/L
HGB 13,6 g/dl 11-16 g/dl
HCT 40,2 % 35-50 %
PLT 187 x 109/L 100-300 x 109/L
MCV 99,9 fl 80,0-99,0 fl
MCH 33,8 pg 26,0-32,0 pg
MCHC 338 g/L 320-360 g/L
Faal Hepar
Protein total 5,3 g/dl 6,4-8,4 mg/dl
Albumin 3,2 g/dl 3,5-5,0 mg/dl
Globulin 2,1 g/dl 3,0-3,6 mg/dl
SGOT 261 U/L <40 U/L
SGPT 168 U/L <41 U/L

Darah Rutin (17/10/2019) 07.00 pagi.

Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan


Darah rutin
WBC 7,4 109/L 4-10 109/L
RBC 4,12 1012/L 3,5-5,5 1012/L
HGB 13,2 g/dl 11-16 g/dl
HCT 40.5 % 35-50 %
PLT 201 x 109/L 100-300 x 109/L
MCV 98,3 fl 80,0-99,0 fl
MCH 32 pg 26,0-32,0 pg
MCHC 326 g/L 320-360 g/L
12

Foto Rontgen Thoraks AP

Kesan : Bronchopneumonia dan emfisema subkutis di dinding dada


lateral liri.

Foto BNO 3 Posisi

Kesan : Tidak tampak tanda-tanda ileus, pnemoperitoneum maupun


peritonitis.
13

USG Abdomen

Kesan : Perdarahan intraabdomen kanan dengan suspek kontusio hepar


lobus kanan. Lien, pancreas, kandung empedu, ginjal, vesika urinaria,
aorta dalam batas normal.

2.6 Diagnosa Kerja

Trauma Tumpul Thoraks & Trauma Tumpul Abdomen

2.7 Penatalaksana

- IVFD RL 30 Tpm
- Inj. Ketorolac 3x30 mg
- Inj. Ats 1 ampul
- Pemasangan kateter
- Konsul dokter Sp. B
14

2.8 Prognosis

 Quo Vitam : bonam


 Quo Functionam : bonam
 Quo Sanactionam : bonam

2.9 Follow Up

Tabel 2.1 Follow Up Pasien

Tanggal Perkembangan
16/10/2019 S: Nyeri (+) di hemithorax dektra dan kuadran kanan atas
abdomen
O: TD: 130/80 N : 80x/menit RR: 20x/menit T : 36,2 oC
SpO2 : 99% Uo : 1500cc/12 Jam
Status Lokalis
Paru
Inspeksi : Simetris kiri dan kanan, jejas di hemithorax
dekstra dengan ukuran 20x10.
Palpasi : Nyeri tekan (+) di hemithorax dektra ics 8-12,
pergerakan dinding dada simetris kiri dan kanan, fremitus taktil
dada kanan = kiri. Krepitasi (-)
Perkusi : Sonor pada thorax kanan dan kiri (+/+)
Auskultasi : Vesikuler kanan sama dengan kiri, Rhonki (-),
Wheezing (-)
Abdomen
Inspeksi : Datar, tampak jejas di kuadran kanan atas.
Palpasi : Supel di seluruh lapangan abdomen, nyeri
tekan pada kuadran kanan atas. Hepar dan lien tidak teraba.
Perkusi : Timpani diseluruh lapangan abdomen (+)
Auskultasi : Bising Usus (+) Normal
15

A: Trauma tumpul thorax dan abdomen


P: IVFD RL 30 Tpm
Inj.Ceftriaxone 1x2 gr
Inj.Asam traneksamat 3x500mg
Inj.Vitamin K 3x1gr

17/10/2019 S: Nyeri (+) di hemithorax dektra dan kuadran kanan atas


abdomen berkurang.
O: TD: 120/80 N : 91x/menit RR: 18x/menit T : 36,2 oC
SpO2 : 98% UO : 1550cc/ 12 jam
Status Lokalis
Paru
Inspeksi : Simetris kiri dan kanan, jejas di hemithorax
dekstra dengan ukuran 20x10.
Palpasi : Nyeri tekan (+) di hemithorax dektra ics 8-12,
pergerakan dinding dada simetris kiri dan kanan, fremitus taktil
dada kanan = kiri. Krepitasi (-)
Perkusi : Sonor pada thorax kanan dan kiri (+/+)
Auskultasi : Vesikuler kanan sama dengan kiri, Rhonki (-),
Wheezing (-)
Abdomen
Inspeksi : Datar, tampak jejas di kuadran kanan atas.
Palpasi : Supel di seluruh lapangan abdomen, nyeri
tekan pada kuadran kanan atas. Hepar dan lien tidak teraba.
Perkusi : Timpani diseluruh lapangan abdomen (+)
Auskultasi : Bising Usus (+) Normal

A: Trauma tumpul thorax + ruptur hepar ec trauma tumpul


abdomen
16

P: IVFD RL 20 Tpm
Inj.Ceftriaxone 1x2 gr
Inj.Asam traneksamat 3x500mg
Inj.Vitamin K 3x1gr
Bed rest total
18/10/2019 S: Nyeri (+) di hemithorax dektra dan kuadran kanan atas
abdomen berkurang.
O: TD: 130/80 N : 84x/menit RR: 18x/menit T : 36 oC
SpO2 : 99% UO : 1600cc/ 12 jam
Status Lokalis
Paru
Inspeksi : Simetris kiri dan kanan, jejas di hemithorax
dekstra dengan ukuran 20x10.
Palpasi : Nyeri tekan (+) di hemithorax dektra ics 8-12,
pergerakan dinding dada simetris kiri dan kanan, fremitus taktil
dada kanan = kiri. Krepitasi (-)
Perkusi : Sonor pada thorax kanan dan kiri (+/+)
Auskultasi : Vesikuler kanan sama dengan kiri, Rhonki (-),
Wheezing (-)
Abdomen
Inspeksi : Datar, tampak jejas di kuadran kanan atas.
Palpasi : Supel di seluruh lapangan abdomen, nyeri
tekan pada kuadran kanan atas. Hepar dan lien tidak teraba.
Perkusi : Timpani diseluruh lapangan abdomen (+)
Auskultasi : Bising Usus (+) Normal
A: Trauma tumpul thorax + ruptur hepar ec trauma tumpul
abdomen
P: IVFD RL 20 Tpm
Inj.Ceftriaxone 1x2 gr
Inj.Asam traneksamat 3x500mg
17

Inj.Vitamin K 3x1gr
Bed rest total
19/10/2019 S: Nyeri (+) di hemithorax dektra dan kuadran kanan atas
abdomen berkurang.
O: TD: 110/80 N : 80x/menit RR: 18x/menit T : 36,5 oC
SpO2 : 98% UO : 1400cc/ 12 jam
Status Lokalis
Paru
Inspeksi : Simetris kiri dan kanan, jejas di hemithorax
dekstra dengan ukuran 20x10.
Palpasi : Nyeri tekan (+) di hemithorax dektra ics 8-12,
pergerakan dinding dada simetris kiri dan kanan, fremitus taktil
dada kanan = kiri. Krepitasi (-)
Perkusi : Sonor pada thorax kanan dan kiri (+/+)
Auskultasi : Vesikuler kanan sama dengan kiri, Rhonki (-),
Wheezing (-)
Abdomen
Inspeksi : Datar, tampak jejas di kuadran kanan atas.
Palpasi : Supel di seluruh lapangan abdomen, nyeri
tekan pada kuadran kanan atas. Hepar dan lien tidak teraba.
Perkusi : Timpani diseluruh lapangan abdomen (+)
Auskultasi : Bising Usus (+) Normal

A: Trauma tumpul thorax + ruptur hepar ec trauma tumpul


abdomen
P: IVFD RL 20 Tpm
Inj.Ceftriaxone 1x2 gr
Inj.Asam traneksamat 3x500mg
Inj.Vitamin K 3x1gr
18

20/10/2019 S: Nyeri (+) di hemithorax dektra dan kuadran kanan atas


abdomen berkurang.

O: TD: 120/80 N : 75x/menit RR: 18x/menit T : 36,2 oC


SpO2 : 98% UO : 1600cc/ 12 jam
Status Lokalis
Paru
Inspeksi : Simetris kiri dan kanan, jejas di hemithorax
dekstra dengan ukuran 20x10.
Palpasi : Nyeri tekan (+) di hemithorax dektra ics 8-12,
pergerakan dinding dada simetris kiri dan kanan, fremitus taktil
dada kanan = kiri. Krepitasi (-)
Perkusi : Sonor pada thorax kanan dan kiri (+/+)
Auskultasi : Vesikuler kanan sama dengan kiri, Rhonki (-),
Wheezing (-)
Abdomen
Inspeksi : Datar, tampak jejas di kuadran kanan atas.
Palpasi : Supel di seluruh lapangan abdomen, nyeri
tekan pada kuadran kanan atas. Hepar dan lien tidak teraba.
Perkusi : Timpani diseluruh lapangan abdomen (+)
Auskultasi : Bising Usus (+) Normal

A: Trauma tumpul thorax + ruptur hepar ec trauma tumpul


abdomen

P: IVFD RL 20 Tpm
Inj.Ceftriaxone 1x2 gr
Inj.Asam traneksamat 3x500mg
Inj.Vitamin K 3x1gr
19

Pasien boleh pulang jika:


- Tidak ada perdarahan
- Up kateter
- Up infus
20

BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

3.1. Anatomi dinding toraks

Dinding toraks secara anatomis tersusun dari kulit, fascia, otot dada,
jurai neurovaskular pada dinding dada, serta kerangka dada. Kerangka dada
sendiri terdiri dati sternum, 12 pasang tulang iga beserta tulang rawan iga, dan
vertebra torakalis beserta diskus intervertebralis. Otot dada terdiri atas dua
bagian yaitu otot ektrinsik dan oto intrinsik. Otot intrinsikyang membentuk
dinding dada yang sesungguhnya, serta oto ekstrinsik yang berperan pada
gerakan dada, seperti otot ekstremitas superior, otot dinding abdomen dan
punggung. 5

Otot intrinsik terdiri dari 3 lapisan, yaitu lapisan luar, tengah dan dalam.
Lapisan luar tersusun atas m interkostalis eksternus dan m levator kostarum,
lapisan tengah hanya dibentuk oleh m interkostalis internus, sedangkan lapisan
dalam disusun oleh m interkostalis intimus, m subkostalis, dan m tranversus
kostalis. Jurai neurovaskular pada dinding dada terletak pada sulkus kosta
diantara m interkostalis internus dan m interkostalis intimus. Rongga dada di
atas dibatasi oleh thoraici outlet (pintu dada atas) yaitu bidang yang ibatasi oleh
tulang belakang, iga I, dan manubrium sternum, sedangkan dibawah, rongga
dada (kavum toraks) dipisahkan dari rongga perut oleh diafragma. Fungsi
dinding dada tidak hanya melindungi isi rongga dada tetapi juga menyediakan
fungsi mekanik pernapasan. Isi rongga dada adalah organ vial paru dan
jantung.5
21

3.2 Trauma Pada Dinding Toraks


a. Fraktur Iga5,6
Fraktur pada iga merupakan kelainan yang sering terjadi akibat trauma
tumpul pada dinding toraks. Trauma tajam lebih jarang mengakibatkan
fraktur iga, oleh karena luas permukaan trauma yang sempit, sehingga gaya
trauma dapat melalui sela iga. Fraktur iga sering terjadi pada iga IV-X. Dan
sering menyebabkan kerusakan pada organ intra toraks dan intra abdomen.
Fraktur pada iga VIII-XII sering menyebabkan kerusakan pada hati dan
limpa. Perlu di curigai adanya cedera neurovaskular seperti pleksus
brakhialis dan arteri atau vena subklavia, apabila terdapat fraktur pada iga
I-III maupun fraktur klavikula.
Penatalaksanaan:
 Fraktur yang mengenai 1 atau 2 iga tanpa adanya
penyulit/kelainan lain: konservatif dengan anti nyeri.
 Fraktur di atas 2 iga perlu di curigai adanya kelainan lain seperti:
edema paru, hematotoraks,dan pneumotoraks.
Pada fraktur iga multipel tanpa penyulit pneumotoraks, hematotoraks, atau
kerusakan organ intratoraks lain, adalah:
1) Analgetik yang adekuat (oral/ iv / intercostal block)
2) Bronchial toilet
3) Cek laboratorium berkala: Hemoglobin, Hematokrit,
Leukosit,Trombosit, dan Analisa gas darah
4) Cek foto toraks berkala

Penatalaksanaan fraktur iga multipel yang disertai penyulit lain seperti:


pneumotoraks dan hematotoraks, diikuti oleh penanganan pasca
operasi/tindakan yang adekuat dengan analgetik, bronchial toilet, cek
laboratorium dan foto toraks berkala, dapat menghindari morbiditas dan
mortalitas.
22

Komplikasi yang sering terjadi pada fraktur iga adalah atelektasis dan
pneumonia, yang umumnya disebabkan manajemen analgetik yang tidak
adekuat

b. Fraktur Klavikula6
Fraktur klavikula sering dijumpai tanpa disertai trauma toraks atau
trauma pada sendi bahu, fraktur klavikula umumnya dijumpai pada bagian
tengah atau sepertiga tengah dari tulang klavikula.
Manifestasi klinis dijumpai tanda-tanda peradangan seperti nyeri pada
daerah trauma, perubahan warna pada kulit, pembengkakan pada lokasi
trauma, peningkatan suhu pada daerah trauma, biasanya disertai dengan
deformitas dan krepitasi dilokasi trauma. Pada foto toraks dijumpai garis
fraktur di klavikula.
Penatalaksanaan :
 Konservatif: "Figure of eight bandage" sekitar sendi bahu dan
pemberian analgetik.
 Operatif: fiksasi internal
Komplikasi yang sering terjadi pada fraktur klavikula berupa malunion
fracture, dapat mengakibatkan penekanan pleksus brakhialis dan
pembuluh darah subklavia.

c. Fraktur Sternum5,6
Fraktur sternum jarang ditemukan pada trauma toraks. Biasanya
ditemukan pada trauma langsung dengan gaya trauma yang cukup
besar.Lokasi fraktur biasanya dijumpai pada bagian tengah atas sternum
dan sering disertai fraktur Iga.
Fraktur sternum dapat disertai beberapa kelainan seperti: kontusio atau
laserasi jantung, perlukaan bronkhus atau aorta. Pada anamnesis dan
pemerikasaan fisik biasanya dijumpai nyeri terutama di area sternum dan
disertai krepitasi.
23

Pada pemeriksaan penunjang foto toraks lateral ditemukan garis


fraktur pada daerah sternum atau gambaran sternum yang tumpang tindih.
61% kasus fraktur sternum memperlihatkan adanya perubahan pada
pemeriksaan elektrokardiogram (EKG) yang tidak normal, merupakan
tanda trauma jantung.
Penatalaksanaan :
 Untuk fraktur tanpa dislokasi fragmen fraktur dilakukan
pemberian analgetika dan observasi tanda-tanda adanya laserasi
atau kontusio jantung
 Untuk fraktur dengan dislokasi atau fraktur fragmented dilakukan
tindakan operatif untuk stabilisasi dengan menggunakan sternal
wire, sekaligus eksplorasi adanya perlukaan pada organ atau
struktur di mediastinum.

d. Dislokasi Sendi Sternoklavikula5


Kasus dislokasi sendi sternoklavikula jarang ditemukan. Dislokasi ini
dibagi menjadi dislokasi anterior dan posterior. Dislokasi anterior ditandai
dengan nyeri pada daerah trauma, nyeri tekan, dan terlihat bongkol
klavikula dari sendi sternoklavikula menonjol kedepan, sedangkan
dislokasi posterior tampak sendi tertekan kedalam. Penatalaksanaan
dislokasi sendi sternoklavikula berupa reposisi.

e. Flail Chest5,6
Menurut Sjamsuhidajat (2008), flail chest adalah area toraks yang
melayang, disebabkan adanya fraktur iga multipel berturutan lebih atau
sama dengan 3 iga, dan memiliki garis fraktur lebih atau sama dengan 2
pada tiap iganya.
Akibatnya adalah terbentuk area melayang atau flail yang akan
bergerak paradoksal dari gerakan mekanik pernapasan dinding toraks. Area
24

tersebut akan bergerak masuk pada saat inspirasi dan bergerak keluar pada
saat ekspirasi.
1) Karakteristik
 Gerakan "paradoksal" dari (segmen) dinding toraks saat
inspirasi/ekspirasi; tidak terlihat pada pasien dalam
ventilator
 Menunjukkan trauma hebat
 Biasanya selalu disertai trauma pada organ lain (kepala,
abdomen, ekstremitas)
Komplikasi utama adalah gagal napas, sebagai akibat adanya
ineffective air movement, yang seringkali diperberat oleh edema
atau kontusio paru, dan nyeri. Pada pasien dengan flail chest
tidak dibenarkan melakukan tindakan fiksasi pada daerah flail
secara eksterna, seperti melakukan splint atau bandage yang
melingkari toraks, oleh karena akan mengurangi gerakan
mekanik pernapasan secara keseluruhan.

2) Penatalaksanaan
 Sebaiknya pasien dirawat intensif bila ada indikasi atau
tanda-tanda kegagalan pernapasan atau karena ancaman
gagal napas yang biasanya dibuktikan melalui pemeriksaan
AGD (Analisa gas darah) berkala dan takipneu
 Pain control
 Stabilisasi area flail chest (memasukkan ke ventilator,
fiksasi internal melalui operasi)
 Bronchial toilet
 Fisioterapi agresif
 Tindakan bronkoskopi untuk bronchial toilet
25

3) Indikasi Operasi atau stabilisasi pada flail chest:


 Bersamaan dengan Torakotomi karena sebab lain, seperti
hematotoraks masif.
 Gagal atau sulit weaning ventilator.
 Menghindari cacat permanen.
 Indikasi relatif Menghindari prolong ICU stay dan prolong
hospital stay.
Tindakan operasi adalah dengan fiksasi fraktur iga sehingga
tidak didapatkan lagi area yang melayang atau flail.

3.3 Trauma pada Pleura dan Paru


a. Pneumotoraks7,8
Pneumotoraks adalah suatu kondisi adanya udara yang
terperangkap di rongga pleura akibat robeknya pleura visceral, dapat
terjadi spontan atau karena trauma, yang mengakibatkan terjadinya
peningkatan tekanan negatif intrapleura sehingga mengganggu proses
pengembangan paru.
Pneumotoraks terjadi karena trauma tumpul atau tembus
toraks.Dapat pula terjadi karena robekan pleura viseral yang disebut
dengan barotrauma, atau robekan pleura mediastinal yang disebut dengan
trauma trakheobronkhial.
Klasifikasi pneumotoraks atas dasar persentase pneumotoraks,
kecil bila pneumotoraks <20 %, sedang bila pneumotoraks 20 % - 40 %
dan besar bila pneumotoraks >40 %.
Pneumotoraks dibagi menjadi simple pneumotoraks, tension
pneumotoraks, dan open pneumotoraks.
1) Simple peumotoraks adalah pneumotoraks yang tidak disertai
peningkatan tekanan intra toraks yang progresif. Adapun
Manifestasi klinis yang dijumpai :
 Paru pada sisi yang terkena akan kolaps, parsial atau total
26

 Tidak dijumpai mediastinal shift


 Dijumpai hipersonorpada daerah yang terkena,
 Dijumpai suara napas yang melemah sampai menghilang
pada daerah yang terkena.
 Dijumpai kolaps paru pada daerah yang terkena.
 Pada pemeriksaan foto toraks dijumpai adanya gambaran
radiolusen atau gambaran lebih hitam pada daerah yang
terkena, biasanya dijumpai gambaran pleura line.
Penatalaksanaan simple pneumotoraks dengan Torakostomi atau
pemasangan selang intra pleural + WSD.

2. Tension pneumotoraks adalah pneumotoraks yang disertai


peningkatan tekanan intra toraks yang semakin lama semakin
bertambah atau progresif. Pada tension pneumotoraks ditemukan
mekanisme ventil atau udara dapat masuk dengan mudah, tetapi
tidak dapat keluar. Adapun manifestasi klinis yang dijumpai :
- Terjadi peningkatan intra toraks yang progresif, sehingga terjadi
kolaps total paru, mediastinal shift atau pendorongan mediastinum
ke kontralateral, deviasi trachea, hipotensi &respiratory distress
berat.
- Tanda dan gejala klinis: sesak yang bertambah berat dengan cepat,
takipneu, hipotensi, tekanan vena jugularis meningkat, pergerakan
dinding dada yang asimetris.
Tension pneumotoraks merupakan keadaan life-threatening,
maka tidak perlu dilakukan pemeriksaan foto toraks.
Penatalaksanaan tension pneumotoraks berupa dekompresi segera
dengan needle insertion pada sela iga II linea mid-klavikula pada
daerah yang terkena. Sehingga tercapai perubahan keadaan menjadi
suatu simple pneumotoraks dan dilanjutkan dengan pemasangan
Torakostomi + WSD.
27

3. Open pneumothorax (American College of Surgeons Commite on


Trauma, 2008) terjadi karena luka terbuka yang cukup besar pada
toraks sehingga udara dapat keluar dan masuk rongga intra toraks
dengan mudah. Tekanan intra toraks akan sama dengan tekanan
udara luar. Dikenal juga sebagai sucking-wound.
Penatalaksanaan open pneumotoraks :
 Luka tidak boleh di eksplore.
 Luka tidak boleh ditutup rapat yang dapat menciptakan
mekanisme ventil.
 Pasang plester 3 posisi.
 Torakostomi + WSD.
 Singkirkan adanya perlukaan atau laserasi pada paru-paru
atau organ intra toraks lain.
 Umumnya disertai dengan perdarahan atau hematotoraks.
Pada pneumotoraks kecil (<20 %), gejala minimal dan
tidak ada respiratory distress, serangan yang pertama kali, sikap
kita adalah observasi dan penderita istirahat 2-3 hari. Bila
pneumotoraks sedang, ada respiratory distress atau pada
observasi nampak progresif foto toraks, atau adanya tension
pneumothorax, dilakukan tindakan bedah dengan pemasangan
torakostomi + WSD untuk pengembangan paru dan mengatasi
gagal nafas.Tindakan torakotomi dilakukan bila:
 Kebocoran paru yang masif sehingga paru tak dapat
mengembang (bullae / fistel bronkopleura).
 Pneumotoraks berulang.
 Adanya komplikasi (Empiema, Hemotoraks, Tension
pneumothorax).
 Pneumotoraks bilateral.
 Indikasi social (pilot, penyelam, penderita yang tinggal di
daerah terpencil)
28

 Teknik bedah
Pendekatan melalui torakotomi anterior, torakotomi
posterolateral dan sternotomi mediana, selanjutnya dilakukan
reseksi bleb, bulektonomi, subtotal pleurektomi. Parietalis
dan Aberasi pleura melalui Video Assisted Thoracoscopic
surgery (VATS), dilakukan reseksi bleb, aberasi pleura dan
pleurektonomi.

b. Hematotoraks8
Terakumulasinya darah pada rongga toraks akibat trauma
tumpul atau tembus pada toraks. Sumber perdarahan umumnya berasal
dari A. interkostalis atau A. mamaria interna. Perlu diingat bahwa
rongga hemitoraks dapat menampung 3 liter cairan, sehingga pasien
hematotoraks dapat terjadi syok hipovolemik berat yang mengakibatkan
terjadinya kegagalan sirkulasi, tanpa terlihat adanya perdarahan yang
nyata oleh karena perdarahan masif yang terjadi, yang terkumpul di
dalam rongga toraks.
Manifestasi klinis yang ditemukan pada hematotoraks sesuai
dengan besarnya perdarahan atau jumlah darah yang terakumulasi.
Perlu diperhatikan adanya tanda dan gejala dari instabilitas
hemodinamik dan depresi pernapasan.
Pemeriksaan foto toraks boleh dilakukan bila keadaan pasien
stabil. Pada kasus hematotoraks terlihat bayangan difus radio-opak pada
seluruh lapangan paru, dijumpai bayangan air-fluid level pada kasus
hematopneumotoraks.
Penatalaksanaan hematotoraks
1) Penanganan hemodinamik segera untuk menghindari
kegagalan sirkulasi.
2) Pada 90 % kasus hematotoraks tindakan bedah yang dilakukan
hanya dengan Torakostomi + WSD.
29

3) Tindakan operasi torakotomi emergensi dilakukan untuk


menghentikan perdarahan apabila dijumpai :
 Dijumpai perdarahan massif atau inisial jumlah
produksi darah di atas 1500 cc.
 Bila produksi darah di atas 5 cc/kgBB/jam.
 Bila produksi darah 3-5 cc/kgBB selama 3 jam
berturut-turut.
Bila kita memiliki fasilitas, sarana, dan kemampuan tindakan
video assisted thoracic surgery atau VATS dapat dilakukan evakuasi
darah dan penjahitan fistula atau robekan paru pleura parieatalis.

c. Kontusio Paru8
Kontusio paru sering dijumpai pada kasus trauma tumpul toraks
dandapat pula terjadi pada trauma tajam dengan mekanisme perdarahan
dan edema parenkim konsolidasi. Patofisiologi yang terjadi adalah
kontusio atau cedera jaringan yang menyebabkan edema dan reaksi
inflamasi sehingga terjadinya lung compliance menurun, ventilation-
perfusion mismatch yang hipoksia dan work of breathing yang
meningkat.
Diagnosis dapat dilakukan dengan pemeriksaan foto toraks dan
pemeriksaan laboratorium analisa gas darah yang menunjukan
penurunan nilai PaO2. Penatalaksanaan dapat dilakukan dengan :
1) Mempertahankan oksigenasi
2) Mencegah/mengurangi edema
3) Tindakan: bronchial toilet, batasi pemberian cairan isotonik
atau hipotonik, terapi oksigen, pain control, diuretika, bila
perlu ventilator dengan tekanan positif (PEEP >5)
30

d. Laserasi Paru6
Robekan pada parenkim paru akibat trauma tajam atau trauma
tumpul keras yang disertai fraktur iga. Manifestasi klinik umumnya
dijumpai hemato + pneumotoraks. Penatalaksanaan umum dengan
Torakostomi + WSD
Indikasi operasi:
 Hematotoraks masif (lihat hematotoraks)
 Adanya continous buble pada torakostomi yang menunjukkan
adanya robekan paru
 Distress pernapasan berat yang dicurigai karena robekan luas

e. Ruptur Diafragma8
Ruptur diafragma pada trauma toraks biasanya disebabkan oleh
trauma tumpul pada daerah toraks inferior atau abdomen atas. Trauma
tumpul di daerah toraks inferior akan mengakibatkan peningkatan
tekanan intra abdominal yang diteruskan ke diafragma. Ruptur terjadi
bila diafragma tidak dapat menahan tekanan tersebut. Dapat pula terjadi
ruptur diafragma akibat trauma tembus pada daerah toraks inferior.
Pada keadaan ini trauma tembus juga akan melukai organ organ
intratoraks atau intraabdominal
Ruptur diafragma umumnya terjadi di puncak atau kubah
diafragma. Kejadian ruptur diafragma sebelah kiri lebih sering daripada
diafragma kanan. Pada ruptur diafragma akan terjadi herniasi organ
viseral abdomen ke toraks dan dapat terjadi ruptur ke intra perikardial.
Diagnostik dapat ditegakkan dari anamnesis, gejala klinis dan
pemeriksaan penunjang, yaitu riwayat trauma tumpul toraks inferior
atau abdomen. Tanda dan gejala klinis sesak atau respiratory distress,
mual-muntah, tanda-tanda akut abdomen. Dari pemeriksaan foto toraks
dengan NGT terpasang dijumpai pendorongan mediastinum
kontralateral dan terlihat adanya organ viseral di toraks.
31

Penatalaksanaan dapat dilakukan dengan torakotomi eksplorasi


emergensi dan dapat diikuti dengan laparotomi apabila diperlukan.

4 Trauma Esofagus
Trauma atau ruptur esofagus umumnya disebabkan oleh trauma tajam
atau tembus. Diagnostik dapat dilakukan dengan pemeriksaan foto toraks
yang menggambarakan pneumomediastinum atau efusi pleura dan dapat
dilakukan dengan esofagografi. Penatalaksanaannya dapat berupa
torakotomi eksplorasi.

5 Trauma Jantung
Kecurigaan terjadinya suatu trauma jantung dapat dinilai apabila dijumpai:
1. Trauma tumpul di daerah anterior
2. Fraktur pada sternum
3. Trauma tembus atau tajam pada area prekordial yaitu parasternal
kanan, sela iga II kiri, garis mid-klavikula kiri, arkus kosta kiri
Diagnostik dapat ditegakkan dari pemerikasan EKG, pemeriksaan enzim
jantung atau CK-CKMB, Troponin T. Pada foto toraks dijumpai
pembesaran mediastinum, gambaran doublecontour pada mediastinum
yang menunjukkan kecurigaan efusi pericardium. Dapat juga dilakukan
Echocardiography untuk memastikan adanya suatu effusi atau tamponade
jantung.
Penatalaksanaan trauma jantung dapat dilakukan apabila dijumpai:
1. Luka tembus pada area prekordial merupakan indikasi dilakukannya
torakotomi eksplorasi emergency
2. Tamponade dengan riwayat trauma toraks merupakan indikasi
dilakukannya torakotomi eksplorasi.
3. Kecurigaan trauma jantung yang mengharuskan perawatan dengan
observasi ketat untuk mengetahui adanya tamponade.
32

Salah satu komplikasi adanya kontusio jantung adalah terbentuknya


aneurisma ventrikel beberapa bulan atau tahun pasca trauma.

6 Empiema8
Empiema adalah efusi pleura yang terinfeksi oleh mikroba. Empiema
paling sering terjadi karena pneumonia atau infeksi paru yang
penanganannya tidak sempurna, dapat juga terjadi karena trauma, ruptur
esophagus, ekstensi infeksi sub diaphragma seperti abses hepar.
Prinsip penanggulangan empiema adalah:
1. Drainase atau mengeluarkan nanah sebanyak-banyaknya.
2. Pemberian antibiotika yang adekuat baik jenis, dosis dan waktu
3. Obliterasi rongga empiema.
Penanggulangan empiema tergantung dari fase empiema.

7 Chylothorax6
Chylothorax adalah akumulasi cairan limphe yang berlebihan di dalam
rongga pleura karena kebocoran dari duktus torasikus atau cabang-cabang
utamanya. Obstruksi atau laserasi duktus torasikus yang paling sering
disebabkan oleh keganasan, trauma, tuberkulosa dan trombosis vena.
Cairan chylus khas putih seperti susu tidak berbau dan bersifat alkalis,
pada kondisi puasa produksi minimal dan menjadi produktif setelah makan
makanan berlemak. Komposisi terutama adalah fat 14-210 mmol/L (60 %-
70% lemak yang diserap usus masuk ke dalam duktus torasikus) protein
dan elektrolit.
Penatalaksanaan Chylothorax:
1. Konservatif, dengan cara: pemberian diet dan nutrisi yang adekuat
atau rendah lemak), koreksi cairan dan elektrolit dan closed
Thoracostomy + WSD.
2. Intervensi bedah
33

Tindakan bedah dilakukan bila lebih dari 14 hari tindakan


konservasif tidak berhasil, dari kepustakaan 25 % kebocoran akan
menutup secara sepontan dalam interval waktu 14 hari dan 75 %
butuh intervensi bedah.
3. Teknik bedah
a. Ligasi langsung pada duktus toraksikus.
b. Supra diaphragmatic mass ligaton.
c. Pleuroperitoneal shunting.
d. Pleurodesis dan pleurectomi.
e. Anastomosis duktus ke V. azygos.
f. Dekortikasi.
g. Fibrine glue.
h. VATS (Video assisted thoracic surgery)

3.4 Anatomi Abdomen


Abdomen terletak antara diaphragma di bagian superior dan pintu
masuk pelvis dibagian inferior. Untuk kepentingan klinis, biasanya abdomen
dibagi menjadi sembilan regio oleh dua garis vertical yakni linea subcosta dan
linea intertubercularis, dan dua garis horizontal yakni linea midclavicularis
dextra dan sinistra. Pembagian regio pada abdomen yaitu : hipokondriaka
dextra, epigastric dan hipokondriaka sinistra di bagian superior; lumbal dextra,
umbilical dan lumbar sinistra pada bagian media; serta inguinal/iliaca dextra,
hipogastrik dan inguinal/iliaka sinistra pada bagian inferior.8,10
34

Kemudian ada pula pembagian abdomen menjadi empat kuadran


dengan menggunakan satu garis vertikal dan satu garis horisontal yang saling
berpotongan pada umbilicus. Kuadran tersebut adalah kuadran kanan atas,
kuadran kiri atas, kuadran kanan bawah dan kuadran kiri bawah.10

Lapisan Dinding Abdomen11


1. Cutis
2. Subcutis (fascia abdominalis superficialis)
 Lamina superficialis (fascia camperi)
 Lamina profunda (fascia scarpae)
3. Otot – otot dinding perut dan fascia profunda
a. External obliquus
b. Internal obliquus
c. Tranversus abdominis
4. Fascia transversalis
5. Panniculus adiposus preperitonealis
6. Peritoneum parietale
35

Anatomi abdomen luar


Abdomen anterior
Abdomen anterior adalah area antara margo costal di bagian superior,
kemudian di bagian inferior dibatasi oleh ligament inguinal dan simpisis pubis
serta pada bagian lateral dibatasi oleh linea axilaris anterior. Sebagian besar
organ berlumen yang sering terlibat dalam trauma abdomen terletak di bagian
abdomen anterior.12
Thoraco-abdomen
Thoraco-abdomen dibatasi di bagian anterior oleh area yang berada di bawah
dari linea trans-papilari. Pada bagian posterior oleh linea infra-scapular dan
bagian superior oleh margo costalis. Area thoraco-abdomen ini dilindungi oleh
tulang iga, kemudian organ didalamnya adalah diafragma, hepar, lien, dan
gaster.12
Flank
Flank atau pinggang adalah area yang terletak antara linea aksilaris anterior
dan posterior dari sela iga ke-enam hingga ke Krista iliaka. Area flank atau
pinggang ini memiliki dinding yang lebih tebal terdiri dari otot-otot dinding
abdomen yang berfungsi sebagai barrier terhadap luka tembus (penetrating
wounds) khususnya luka tusukan.12
Back
Area ini terletak posterior dari linea aksilaris posterior dari ujung scapula
hingga ke Krista iliaka. Sama seperti otot dinding abdomen di pinggang, otot-
otot punggung dan paraspinal yang tebal berfungsi sebagai barrier terhadap
luka tembus (penetrating wounds). Area flank dan back berisi organ-organ
retroperitoneal. Cedera pada organ retroperitoneal sulit untuk dijangkau ketika
pemeriksaan fisik dan juga cedera pada area retroperitoneal tidak menimbulkan
tanda dan gejala dari peritonitis. Area retroperitoneal tidak diperiksa dalam
DPL (Diagnostic Peritoneal Lavage) dan tidak terlihat jelas dalam pemeriksaan
FAST (Focused Assesment Sonography in Trauma).12
36

Anatomi Abdomen Dalam


Rongga Intraperitoneum. Rongga intraperitoneum dapat dibagi dalam bagian
atas dan bagian bawah. Abdomen atas atau daerah torakoabdominal yang
ditutup oleh bagian bawah dari bagian toraks yang bertulang, meliputi
diafragma, hati, limpa, lambung dan kolon transversum. Karena diafragma naik
ke ruang interkostal ke-4 saat ekspirasi penuh, patahan iga bawah atau luka
tembus daerah itu juga dapat mencederai isi abdomen atas berupa usus halus
dan colon sigmoid.11
Rongga Pelvis. Rongga pelvis dikelilingi tulang pelvis, berada di bagian
bawah dari ruang retroperitoneum dan berisikan rectum, kandung kemih,
pembuluh-pembuluh illiaka, dan genitalia interna wanita. Sama sepeti daerah
torakoabdominal, pemeriksaan untuk mengetahui cedera pada struktur pelvis
dipersulit oleh tulang-tulang diatasnya.11
Rongga Retroperitoneum. Daerah ini meliputi aorta abdominalis, vasa cava
inferior, sebagian besar dari duodenum, pankreas, ginjal dan saluran kencing,
kolon ascendens dan kolon descenden. Cedera ini sangat sulit dikenali dengan
pemeriksaan fisik maupun pencucian (lavage) peritoneum.11
37

Organ pencernaan11
A. Gaster
Gaster (lambung) merupakan bagian saluran pencernaan yang melebar.
Lambung terdiri dari bagian atas fundus yang berhubungan dengan esofagus
melalui ostium cardiacum. 10
Lambung terbagi menjadi beberapa regio, yaitu :
1. Fundus gastricum, bagian yang menonjol keatas terletak sebelah kiri
dari ostium cardium dan biasanya penuh berisi udara.
2. Korpus gastricum, terbentang dari ostium cardiacum sampai incisura
angularis.
3. Incisura angularis, suatu lekukan yang selalu ada pada bagian bawah
curvature minor.
4. Antrum piloricum, bagian lambung berbentuk tubular mempunyai otot
yang tebal membentuk sphincter pylorus.
5. Curvatura minor, terdapat di sebelah kanan lambung, terbentang dari
ostium cardiacum sampai ke pylorus.
6. Curvatura major, lebih panjang dari curvatura minor, terbentang dari
sisi kiri ostium cardiacum sepanjang sisi kiri gaster sampai ke pylorus.
38

Omentum menempel pada curvature minor dan curvatura mayor. Pada


omentum terdapat pembuluh darah dan system limfatik.
Perdarahan gaster secara eksklusif berasal dari percabangan arteri
coeliaca Truncus coeliacus kemudian bercabang menjadi beberapa arteri
sebagai berikut.
1. Arteri gastrica sinistra
2. Arteri gastrica dextra
3. Arteri gastrica brevis
4. Arteri gastroomentalis sinistra
5. Arteri gastroomentalis dextra
Drainase vena menuju ke system porta. Vena gastrica sinistra dan
dextra bermuara langsung ke vena porta. Vena gastrica brevis dan vena
gastroomentalis sinistra bermuara ke vena lienalis. Vena gastroomentalis
dextra bermuara ke vena mesenterica superior.
Persarafan termasuk serabut-serabut simpatis yang berasal dari pleksus
coeliacus dan serabut- serabut parasimpatis dari nervus vagus dextra dan
sinistra. Truncus vagalis anterior yang dibentuk di dalam thorax, terutama
berasal dari nervus vagus sinistra, memasuki abdomen pada permukaan
anterior esophagus. Kemudian bercabang-cabang mempersarafi permukaan
anterior gaster.
Truncus vagalis posterior, yang dibentuk di dalam thorax, terutama
berasal dari nervus vagus dextra, memasuki abdomen pada permukaan
posterior esophagus. Selanjutnya bercabang-cabang mempersarafi permukaan
posterior gaster.

B. Intestinum Tenue (Usus Halus)


Intestinum tenue merupakan bagian yang terpanjang dari saluran
pencernaan dan terbentang dari pylorus pada gaster sampai ileocaecalis
junction. Panjang intestinum tenue kurang lebih 6 meter. Sebagian besar
pencernaan dan absorbsi makanan berlangsung di dalam intestinum tenue.
Intestinum tenue terbagi atas 3 bagian: duodenum, jejunum, ileum.
39

1. Duodenum
Duodenum adalah bagian pertama dari usus halus. Memiliki panjang 25 cm
dan melengkung di sisi caput pancreas. Sekitar 2 cm pertama duodenum
terletak intraperitoneal dan selebihnya retroperitoneal. Fungsi utama dari
duodenum adalah absorbsi produk pencernaan. Duodenum adalah organ
penting karena merupakan tempat bermuara dari ductus choledochus dan
ductus pancreaticus.
Setengah bagian atas duodenum diperdarahi oleh arteri
pancreaticoduodenalis superior, cabang arteri gastroduodenalis. Setengah
bagian bawah diperdarahi oleh arteri pancreaticoduodenalis inferior, cabang
arteri mesenterica superior. Drainase vena berasal dari vena
pancreaticoduodenalis superior yang bermuara ke vena porta dan vena
pancreaticodeuodenalis inferior yang bermuara ke vena mesenterica superior.

2. Jejunum dan Ileum


Jejunum dan memiliki panjang 2,5 meter dan ileum 3,6 meter. Lengkung-
lengkung jejunum dan ileum dapat bergerak dengan bebas dan melekat pada
dinding posterior abdomen dengan perantaraan lipatan peritoneum yang
berbentuk kipas dan dikenal sebagai mesenterium.
Pembuluh arteri yang memperdarahi jejunum dan ileum berasal dari
cabang-cabang arteri mesenterica superior. Pembuluh-pembuluh ini
beranastomosis satu dengan yang lain untuk membentuk serangkaian arcade.
Pembuluh vena sesuai dengan cabang-cabang arteri mesenterica
superior dan mengalirkan darahnya ke vena mesenterica superior.
40

Hepar
Hepar merupakan kelenjar terbesar didalam tubuh, menempati hampir
seluruh regio hypochondrica dextra, sebagian besar epigastrium dan seringkali
meluas sampai ke regio hypochondrica sinistra sejauh linea mammilaria.

Bentuknya seperti suatu pyramid bersisi tiga dengan basis menunjuk ke


kanan sedangkan apeks (puncak) nya ke kiri. Pada laki – laki dewasa beratnya
1400 – 1600 gram, perempuan 1200 – 1400 gram.ukuran melintang
(transversal) 20 – 22,5 cm, vertikal 15 – 17,5 cm sedangkan ukuran
dorsoventral yang paling besar adalah 10 - 12,5 cm.
Vascularisasi hepar, yaitu :
 Arteri hepatica
 Vena porta
 Vv. hepaticae
Dalam perjalanannya ke dalam parenkim hepar A. Hepatica dan V. Porta
terbungkus didalam capsula fibrosa Glissoni.
Sedangkan persarafan hepar berasal dari :

 Nn. Vagi dextra et sinistra


41

 Plexus symphaticus coeliacus

LIEN

Lien Terletak di kuadran kiri atas dorsal abdomen, setinggi costa IX-X
sinistra region hypochondriaca sinistra. Bentuk: piramis 3 sisi (facies).
Ukurannya sekepal tangan dan berwarna merah kebiruan. Panjang: 10-12 cm.
Lebar: 6-8 cm. Tebal 3-4cm. Berat: 75-100 gram.

Terdiri dari beberapa fasies yaitu Facies diafragmatika, yaitu facies


yang mengarah ke sisi kranial, ke arah diafragma dengan permukaan yang
cembung. Facies gastrika, terletak pada sisi cranial. Facies renalis, terletak
pada sisi caudo dorsal. Facies colica, terletak disebelah caudo ventral.
Perdarahan lien berasal dari arteri lienalis yang Berkelok-kelok di
sepanjang tepi pankreas kemudian bercabang menjadi 6 pembuluh darah,
masuk ke hilus lienalis. Pembuluh vena Terdapat m.sphincter yang jika
berkontakrsi akan mengalirkan darah ke pulpa merah, V. lienalis berjalan
meninggalakn hillus berjalan ke posterior corpus pancreatis dan cauda
pankreatis kemudian Bersatu dengan v. mesenterica superior dan bermuara ke
v. porta hepatica.
42

PANKREAS
Pankreas merupakan suatu organ berupa kelenjar dengan panjang dan
tebal sekitar 12,5 cm dan tebal + 2,5 cm (pada manusia). Pankreas terbentang
dari atas sampai ke lengkungan besar dari perut dan biasanya dihubungkan
oleh dua saluran ke duodenum (usus 12 jari), terletak pada dinding posterior
abdomen di belakang peritoneum sehingga termasuk organ retroperitonial
kecuali bagian kecil caudanya yang terletak dalam ligamentum lienorenalis.
Strukturnya lunak dan berlobulus.
1. Vaskularisasi
a. Arteriae
 A.pancreaticoduodenalis superior (cabang A.gastroduodenalis )
 A.pancreaticoduodenalis inferior (cabang A.mesenterica cranialis)
 A.pancreatica magna dan A.pancretica caudalis dan inferior
cabang A.lienalis
b. Venae
Venae yang sesuai dengan arteriaenya mengalirkan darah ke sistem
porta.
2. Aliran Limfatik
Kelenjar limfe terletak di sepanjang arteria yang mendarahi kelenjar.
Pembuluh eferen akhirnya mengalirkan cairan limfe ke nodi limfe coeliaci dan
mesenterica superiores.
3. Inervasi
Berasal dari serabut-serabut saraf simpatis (ganglion seliaca) dan
parasimpatis (vagus).
43

Ginjal
Ginjal kanan terletak sedikit lebih rendah dibandingkan dengan ginjal kiri
(karena massa lobus hepar dextra yang besar). Dalam keadaan berbaring ginjal
terletak di T12 (bagian superiornya), hingga L3 (bagian inferiornya). Ginjal
kanan terletak lebih rendah dibanding kiri yakni rusuk ke 12, sedangkan ginjal
kiri terletak sejajar dengan rusuk ke 11 dan berbentuk lebih panjang, lebih kecil
dan lebih dekat dengan midline di banding yang kanan.

Vaskularisasi ginjal
44

Innervasi ginjal
Plexus symphaticus renalis. Serabut-serabut aferen yang berjalan melalui
plexus renalis masuk medulla spinalis melalui nervus thoracicus X, XI, dan
XII.3

3.5 TRAUMA TUMPUL ABDOMEN


3.5.1 Definisi
Trauma adalah keadaan yang disebabkan oleh luka atau cidera. Trauma
terbagi dua yakni trauma tumpul dan trauma tajam. Trauma tajam terjadi bila
terdapat penetrasi kedalam jaringan tubuh sehingga menimbulkan luka.
Trauma tumpul adalah trauma yang tanpa disertai penetrasi ke jaringan tubuh.
Trauma abdomen adalah keadaan pada abdomen baik bagian dalam ataupun
luar yang disebabkan oleh luka atau cidera. Trauma tumpul abdomen yaitu
trauma abdomen tanpa penetrasi ke dalam rongga peritoneum, dapat
diakibatkan oleh pukulan, benturan, ledakan, deselarasi, kompresi.14,
3.5.2 Etiologi
Penyebab utama dari trauma tumpul abdomen adalah kecelakan
kendaraan bermotor, penyebab lain yakni jatuh dari ketinggian, jatuh dari
sepeda, cedera ketika berolahraga dan pada anak, penyebab tersering adalah
kecelakaan kendaraan bermotor, cedera akibat mengendarai sepeda serta
kekerasan pada anak.14
3.5.3 Epidemiologi
Trauma tumpul abdomen dapat terjadi pada semua kalangan umur dan
sering dikaitkan dengan morbiditas yang tinggi. Setiap tahun ada pasien
dengan trauma tumpul abdomen di unit gawat darurat.5 Trauma tumpul
abdomen memiliki presentasi sebanyak 80 persen dari seluruh cedera
abdominal yang ada di unit gawat darurat. Sebagian besar dari kasus trauma
tumpul abdomen (75%) terkait dengan kecelakaan antara kendaraan bermotor
atau kecelakaan antara pejalan kaki dengan kendaraan bermotor. Pukulan
langsung ke abdomen dan jatuh dari ketinggian memiliki persentase masing-
45

masing 15% dan 6-9 %. Prevalensi dari cedera intra-abdomen disebabkan


trauma tumpul abdomen yang ada di unit gawat darurat sekitar 13%. Lien dan
hepar adalah organ padat yang paling sering cedera di kasus trauma tumpul
abdomen. Cedera pancreas, usus dan mesenterium, kandung kemih, dan
diafragma serta organ retroperitoneal (ginjal, aorta abdominal) jarang terjadi
namun harus tetap di pertimbangkan.5
3.5.4 Patofisiologi
Mekanisme Cedera pada trauma tumpul abdomen secara umum dapat
dibedakan sebagai berikut : 13,14,15
1. Trauma Deselerasi
Merupakan bentuk trauma yang terjadi oleh karena gerakan yang berbeda dari
bagian badan yang bergerak dan yang tidak bergerak, misalnya sering terjadi
pada hepar dan lien. Deselerasi terjadi bila bagian yang menstabilasi organ,
seperti pedikel ginjal, ligamentum teres tidak bergerak, sedangkan organ yang
distabilisasi tetap bergerak. Shear force terjadi bila pergerakan ini terus
berlanjut, contoh pada ginjal dan limpa denga pedikelnya, pada hati terjadi
laserasi hati bagian sentral, terjadi jika deselerasi lobus kanan dan kiri sekitar
ligamentum teres
2. Crush injury
Isi organ intraabdominal tertekan diantara dinding abdomen dan columna
vertebra. Dapat pula terjadi bila komponen alat penahan (sabuk pengaman)
dipakai dengan cara yang salah.
3. Trauma Kompresi
Gaya kompresi eksternal yang menyebabkan peningkatan tekanan intra-
abdomen yang tiba-tiba dan mencapai puncaknya pada ruptur organ
berongga. Organ yang paling sering dilaporkan mengalami cedera pada kasus
trauma tumpul abdomen adalah hati dan limpa diikuti oleh usus halus dan
usus besar.
46

3.2.5 Manifestasi klinis14


Tanda dan gejala: Penilaian klinis awal pasien dengan trauma abdomen
tumpul seringkali sulit dan terutama tidak akurat. Tanda-tanda dan gejala yang
paling dapat diandalkan pada pasien adalah sebagai berikut:
 Nyeri pada area abdomen
 Nyeri tekan abdomen
 Hipovolemia
 Tanda-tanda peritonitis
Namun, sejumlah besar darah dapat terakumulasi di rongga peritoneum dan
pelvis tanpa perubahan signifikan atau awal dalam temuan pemeriksaan fisik.
Pada pemeriksaan fisik, pola cedera berikut memprediksi potensi trauma intra-
abdomen:
 Tanda bekas sabuk: Korelasi dengan ruptur usus halus
 Memar berbentuk setir
 Ekimosis yang melibatkan panggul (tanda Gray Turner) atau umbilikus
(tanda Cullen): Menunjukkan perdarahan retroperitoneal, tetapi
biasanya tertunda selama beberapa jam sampai berhari-hari
 Distensi abdomen
 Auskultasi bunyi usus di thorax: Dapat mengindikasikan cedera
diafragma
 Abdominal bruit: Dapat mengindikasikan penyakit vaskular yang
mendasari atau fistula arteriovenosa traumatis
 Kelembutan lokal atau umum, menjaga, kekakuan, atau nyeri tekan
lepas: Mengindikasikan cedera peritoneal
 Perkusi redup dan konsistensi abdomen padat pada palpasi: Dapat
menunjukkan perdarahan intra-abdomen
 Krepitasi atau ketidakstabilan dari costae bawah: Mengindikasikan
potensi cedera limpa atau hati
Berdasaran jenis organ yang cedera dapat dibagi dua:
47

1. Pada organ padat seperti hepar dan limpa dengan gejala utama
perdarahan
2. Pada organ berongga seperti usus dan saluran empedu dengan gejala
utama adalah peritonitis
Berdasarkan daerah organ yang cedera dapat dibagi dua, yaitu:
1. Organ Intraperitoneal: Ruptur Hati, Ruptur Limpa, Ruptur Usus
Halus
2. Organ Retroperitoneal: Retroperitoneal abdomen terdiri dari ginjal,
ureter, pancreas, aorta, dan vena cava. Trauma pada struktur ini sulit
ditegakkan diagnosis berdasarkan pemeriksaan fisik. Evaluasi regio ini
memerlukan CT scan, angiografi, dan intravenous pyelogram. Trauma
pada daerah ini menyebabkan ruptur Ginjal, ruptur Pankreas,ruptur
Ureter

CEDERA ORGAN SPESIFIK


1. DIAFRAGMA
Insidensi. Cedera akibat trauma tumpul pada diafragma memiliki
persentase sebanyak 1-8% dengan ssepertiganya terjadi rupture di
sebelah kiri.Penyebab umum dari cedera diafragma ini adalah tabrakan
kendaraan bermotor dengan kecepatan tinggi (90%).
Anatomi. Bagian anterior dari diafragma melekat ke bagian posterior
dari sternum dan margo costalis. Bagian posterior melekat pada iga ke
11 dan 12. Bagian tengah dari diafragma melekat ke pericardium.
Innervasi oleh nervus phrenikus (c3-c5).

Diagnosis Tatalaksana Prognosis


Sulit untuk menilai diagnosis klinis dari cedera diafragma. Untuk kasus cedera Angka kematian
a. Dapat ditemukan suara nafas yang menghilang pada sisi akut dapat dilakukan sekita 40% dan
yang terkena benturan, terdengar suara usus di daerah laparotomi. Lakukan angka kesakitan
hemithorax atau abdomen skapoid. Pasien mungkin penjahitan matras sekitar 80%. Bila
48

akan mengeluhkan ada sesak nafas, nyeri dada atau horizontal dengan cedera dikenali dan
nyeri bagian abdomen. benang absorbable. diperbaiki dengan
b. Foto rontgen thorax dapat menunjukkan adanya Irigasi kavitas thorax cepat, angka
hemopneumothorax dan peningkatan hemidiafragma dan pasang chest tube. kesakitan dapat
dengan gelembung ussu ataugas usus terlihat di Lakukan perbaikan ditekan.
hemithorax. Pada cedera diafragma 40% foto rontgen melalui thorakotomi
menunjukkan temuan pasti adanya rupture, sementara untuk kasus delayed
40% lagi abnormal namun tak dapat digunakan sebagai (cedera yang baru
dasar diagnosis dan 20% sisanya normal. Pemasangan muncul beberapa
NGT lalu dilakukan lagi foto rongen thorax ulang dapat tahun setelah
mengkonfirmasi displacement dari gaster pada rupture kejadian).
diafragma.
c. Uji DPL tidak snsitif, dan uji pada CT-scan sering tidak
terlihat
d. Pada kasus yang meragukan dapat digunakan
pemeriksaan ultrasound, laparoskopi, thorakoskopi atau
laparotomy

2. Gaster
Insidensi. Cedera gaster akibat trauma tumpul jarang terjadi dengan
angka kejadian 0,9 -1,8%
Anatomi. Secara histologis lapisan dinding gaster memiliki mukosa,
subnukosa, serosa dan otot halus. Perdarahan dari arteri gastrika dekstra
dan sinistra, arteri gastroepiploic dextra dan sinistra dan arteri gastrika
brevis. Normalnya gaster mengandung bakteri karena tingkat keasaman
yang tinggi
Diagnosis Tatalaksana Prognosis
a. Ditemukan tanda-tanda - Beri antibiotic Umumnya baik.
peritonitis kimiawi (pH asam) - Lakukan laparotomi melalui insisi panjang
di pemeriksaan fisik midline
b. Pada rontgen thorax - Debridemen dan perbaiki dinding gaster
ditemukan udara bebas di dengan 2 lapis jahitan. Lapis
49

subdiafragma pertama/dalam dengan benang absorbable,


c. Temuan di DPL dan CT-scan kemudian lapisan luar dengan benang
nonabsorbable. Irigasi dan hilangkan isi
perut dari kavum peritoneal

3. Usus halus
Insidensi. Angka kejadian pada trauma tumpul jarang terjadi sekitar 5-
15%. Umumnya disebabkan dari cedera akibat sabuk pengaman
Diagnosis. Pada pemeriksaan fisik nyeri tekan tidak dapat dipastikan
pada fase awal cedera. Pemeriksaan CT-scan ditemukan
pneumoperitoneum, cairan bebas terutama bila tidak ada cedera organ
padat. Sebagian besar, perlukaan yang merobek dinding usus halus
karena trauma tumpul menciderai usus dua belas jari. Dari pemeriksaan
fisik didapatkan gejala ‘burning epigastric pain’ yang diikuti dengan
nyeri tekan dan defans muskuler pada abdomen. Perdarahan pada usus
besar dan usus halus akan diikuti dengan gejala peritonitis secara umum
pada jam berikutnya. Sedangkan perdarahan pada usus dua belas jari
biasanya bergejala adanya nyeri pada bagian punggung. Diagnosis
ruptur usus ditegakkan dengan ditemukannya udara bebas dalam
pemeriksaan Rontgen abdomen. Sedangkan pada pasien dengan
perlukaan pada usus dua belas jari dan colon sigmoid didapatkan hasil
pemeriksaan pada Rontgen abdomen dengan ditemukannya udara
dalam retroperitoneal.
Tatalaksana. Beri antibiotic preoperative laparotomi. Debridement
laserasi sederhana dan tutup secara transversal untuk menghindari
stenosis.
4. Ruptur Hati
Hati dapat mengalami laserasi dikarenakan trauma tumpul ataupun
trauma tembus. Hati merupakan organ yang sering mengalami laserasi,
sedangkan empedu jarang terjadi dan sulit untuk didiagnosis. Pada
50

trauma tumpul abdomen dengan ruptur hati sering ditemukan adanya


fraktur costa VII – IX. Pada pemeriksaan fisik sering ditemukan nyeri
pada abdomen kuadran kanan atas. Nyeri tekan dan Defans muskuler
tidak akan tampak sampai perdarahan pada abdomen dapat
menyebabkan iritasi peritoneum (± 2 jam post trauma). Kecurigaan
laserasi hati pada trauma tumpul abdomen apabila terdapat nyeri pada
abdomen kuadran kanan atas. Jika keadaan umum pasien baik, dapat
dilakukan CT Scan pada abdomen yang hasilnya menunjukkan adanya
laserasi. Jika kondisi pasien syok, atau pasien trauma dengan kegawatan
dapat dilakukan laparotomi untuk melihat perdarahan intraperitoneal.
Ditemukannya cairan empedu pada lavase peritoneal menandakan
adanya trauma pada saluran empedu.

5. Ruptur limpa
Limpa merupakan organ yang paling sering cedera pada saat
terjadi trauma tumpul abdomen. Ruptur limpa merupakan kondisi yang
membahayakan jiwa karena adanya perdarahan yang hebat. Limpa
terletak tepat di bawah rangka thorak kiri, tempat yang rentan untuk
mengalami perlukaan. Limpa membantu tubuh kita untuk melawan
infeksi yang ada di dalam tubuh dan menyaring semua material yang
tidak dibutuhkan lagi dalam tubuh seperti sel tubuh yang sudah rusak.
Limpa juga memproduksi sel darah merah dan berbagai jenis dari sel
darah putih. Robeknya limpa menyebabkan banyaknya darah yang ada
di rongga abdomen. Ruptur pada limpa biasanya disebabkan hantaman
pada abdomen kiri atas atau abdomen kiri bawah. Kejadian yang paling
sering meyebabkan ruptur limpa adalah kecelakaan olahraga,
perkelahian dan kecelakaan mobil. Perlukaan pada limpa akan menjadi
robeknya limpa segera setelah terjadi trauma pada abdomen.

Pada pemeriksaan fisik, gejala yang khas adanya hipotensi


karena perdarahan. Kecurigaan terjadinya ruptur limpa dengan
51

ditemukan adanya fraktur costa IX dan X kiri, atau saat abdomen


kuadran kiri atas terasa sakit serta ditemui takikardi. Biasanya pasien
juga mengeluhkan sakit pada bahu kiri, yang tidak termanifestasi pada
jam pertama atau jam kedua setelah terjadi trauma. Tanda peritoneal
seperti nyeri tekan dan defans muskuler akan muncul setelah terjadi
perdarahan yang mengiritasi peritoneum. Semua pasien dengan gejala
takikardi atau hipotensi dan nyeri pada abdomen kuadran kiri atas harus
dicurigai terdapat ruptur limpa sampai dapat diperiksa lebih lanjut.
Penegakan diagnosis dengan menggunakan CT scan. Ruptur pada limpa
dapat diatasi dengan splenectomy, yaitu pembedahan dengan
pengangkatan limpa. Walaupun manusia tetap bisa hidup tanpa limpa,
tapi pengangkatan limpa dapat berakibat mudahnya infeksi masuk
dalam tubuh sehingga setelah pengangkatan limpa dianjurkan
melakukan vaksinasi terutama terhadap pneumonia dan flu diberikan
antibiotik sebagai usaha preventif terhadap terjadinya infeksi.

6. Ruptur ginjal
Trauma pada ginjal biasanya terjadi karena jatuh dan kecelakaan
kendaraan bermotor. Dicurigai terjadi trauma pada ginjal dengan
adanya fraktur pada costa ke XI – XII atau adanya tendensi pada flank.
Jika terjadi hematuri, lokasi perlukaan harus segera ditentukan. Laserasi
pada ginjal dapat berdarah secara ekstensif ke dalam ruang
retroperitonial. Gejala klinis : Pada ruptur ginjal biasanya terjadi nyeri
saat inspirasi di abdomen dan flank, dan tendensi CVA. Hematuri yang
hebat hampir selalu timbul, tapi pada mikroscopic hematuri juga dapat
menunjukkan adanya ruptur pada ginjal.
Diagnosis, membedakan antara laserasi ginjal dengan memar pada
ginjal dapat dilakukan dengan pemeriksaan IVP atau CT scan. Jika
suatu pengujian kontras seperti aortogram dibutuhkan karena adanya
alasan tertentu, ginjal dapat dinilai selama proses pengujian tersebut.
Laserasi pada ginjal akan memperlihatkan adanya kebocoran pada zat
52

warna, sedangkan pada ginjal yang memar akan tampak gambaran


normal atau adanya gambaran warna kemerahan pada stroma ginjal.
Tidak adanya visualisasi pada ginjal dapat menunjukkan adanya ruptur
yang berat atau putusnya tangkai ginjal. Terapi : pada memar ginjal
hanya dilakukan pengamatan. Beberapa laserasi ginjal dapat diterapi
dengan tindakan non operatif. Terapi pembedahan wajib dilakukan
pada ginjal yang memperlihatkan adanya ekstravasasi.

7. Ruptur pancreas
Trauma pada pankreas sangat sulit untuk di diagnosis.
Kebanyakan kasus diketahui dengan eksplorasi pada pembedahan.
Perlukaan harus dicurigai setelah terjadinya trauma pada bagian tengah
abdomen, contohnya pada benturan stang sepeda motor atau benturan
setir mobil. Perlukaan pada pankreas memiliki tingkat kematian yang
tinggi. Perlukaan pada duodenum atau saluran kandung empedu juga
memiliki tingkat kematian yang tinggi. Gejala klinis, kecurigaan
perlukaan pada setiap trauma yang terjadi pada abdomen. Pasien dapat
memperlihatkan gejala nyeri pada bagian atas dan pertengahan
abdomen yang menjalar sampai ke punggung. Beberapa jam setelah
perlukaan, trauma pada pankreas dapat terlihat dengan adanya gejala
iritasi peritonial.
Diagnosis, penentuan amilase serum biasanya tidak terlalu membantu
dalam proses akut. Pemeriksaan CT scan dapat menetapkan diagnosis.
Kasus yang meragukan dapat diperiksa dengan menggunakan ERCP
(Endoscopic Retrogade Canulation of the Pancreas) dan MRCP
(Magnetic Resonance chilangiopancreatography) untuk melihat
kebocoran dari duktus pankreatikus dan ketika perlukaan yang lain
telah dalam keadaan stabil. Terapi, penanganan dapat berupa tindakan
operatif atau konservatif, tergantung dari tingkat keparahan trauma, dan
adanya gambaran dari trauma lain yang berhubungan. Konsultasi
pembedahan merupakan tindakan yang wajib dilakukan.
53

8. Ruptur Ureter
Trauma pada ureter jarang terjadi tetapi berpotensi
menimbulkan luka yang mematikan. Trauma sering kali tak dikenali
pada saat pasien datang atau pada pasien dengan multipel trauma.
Kecurigaan adanya cedera ureter bisa ditemukan dengan adanya
hematuria paska trauma. Mekanisme trauma tumpul pada ureter dapat
terjadi karena keadaan tiba-tiba dari deselerasi/ akselerasi yang
berkaitan dengan hiperekstensi, benturan langsung pada Lumbal 2 – 3,
gerakan tiba-tiba dari ginjal sehingga terjadi gerakan naik turun pada
ureter yang menyebabkan terjadinya tarikan pada ureteropelvic
junction. Pada pasien dengan kecurigaan trauma tumpul ureter biasanya
didapatkan gambaran nyeri yang hebat dan adanya multipel trauma.
Gambaran syok timbul pada 53% kasus, yang menandakan terjadinya
perdarahan lebih dari 2000 cc. Diagnosis dari trauma tumpul ureter
seringkali terlambat diketahui karena seringnya ditemukan trauma lain,
sehingga tingkat kecurigaan tertinggi ditetapkan pada trauma dengan
gejala yang jelas. Pilihan terapi yang tepat tergantung pada lokasi, jenis
trauma, waktu kejadian, kondisi pasien, dan prognosis penyelamatan.
Hal terpenting dalam pemilihan tindakan operasi adalah mengetahui
dengan pasti fungsi ginjal yang kontralateral dengan lokasi trauma

Diagnosis13,14
Pada penderita dengan trauma tumpul abdomen, penilaian berdasarkan pada :
1. Anamnesis dan Riwayat Trauma
Riwayat trauma sangat penting untuk menilai penderita yang cedera.
Misalnya dalam tabrakan kendaraan bermotor meliputi kecepatan
kendaraan, ”mechanism of injury”nya, posisi dan keadaan penderita saat
dan setelah kejadian, dsb. Setelah itu secara anamnesis dilakukan evaluasi,
baik pada penderita sendiri yang sadar, atau pada keluarga penderita dan
orang lain bila penderita tidak sadar. Riwayat AMPLE berguna untuk
melengkapi anamnesis. AMPLE adalah mnemonic untuk Alergi, Medikasi
54

(obat-obatan yang diminum saat ini), Past illness (penyakit sebelmnya),


Last meal (makanan terakhir), Events/Environment yang berhubungan
dengan trauma.
2. Pemeriksaan Tanda-tanda vital
Untuk menilai apakah ada suatu problem pada ”primary survey”nya
terutama adanya problem pada sirkulasi. Gunakan pendekatan sistematis
berdasarkan ABCDE untuk menilai dan mengobati pasien cedera akut.
Sebagian besar pasien dengan trauma abdomen umumnya hadir dengan
jalan napas paten. Perubahan yang ditemukan dalam pernapasan, sirkulasi
dan penilaian disability umumnya sesuai dengan derajat syok. Tujuannya
adalah untuk mengelola setiap ancaman terhadap nyawa pasien dan
mengidentifikasi setiap masalah yang muncul yang mungkin memerlukan
penanganan lebih lanjut.
A – Airway
Nilai untuk stabilitas saluran napas
Berusaha mendapatkan respon dari pasien. Cari tanda-tanda obstruksi jalan
nafas (penggunaan otot-otot aksesori, gerakan dada yang paradoks, see-
saw respirations). Dengarkan suara saluran napas atas, suara nafas.
Apakah hilang, berkurang atau berisik? Suara nafas bising
mengindikasikan obstruksi saluran udara parsial baik oleh lidah atau benda
asing.
Nilai saluran udara apakah bersih atau tidak
Perdarahan dan muntah adalah penyebab umum obstruksi saluran napas
pada pasien trauma. Ini harus dihapus dengan suction.
Usahakan manuver saluran udara sederhana jika diperlukan
Buka jalan napas menggunakan chin-lift dan jaw-thrust. Suction saluran
napas jika terdapat sekresi berlebih atau jika pasien tidak dapat
membersihkan jalan napas mereka secara mandiri. Masukkan saluran
napas orofaringeal (OPA) jika diperlukan. Jika jalan napas terhambat,
manuver pembukaan jalan napas sederhana harus dilakukan seperti yang
55

dijelaskan di atas. Perawatan harus dilakukan agar tulang cervical tidak


terlalu ekstensi.
Amankan jalan napas jika perlu (anggap obstruksi jalan napas
sebagai kedaruratan medis)
Pertimbangkan intubasi lebih awal jika ada tanda-tanda:
- Tingkat kesadaran yang menurun GCS <9, jalan nafas yang tidak
terlindungi, pasien tidak kooperatif / agresif yang menyebabkan
risiko cedera lebih lanjut.
- Hipoventilasi, hipoksia atau obstruksi jalan napas yang tertunda:
stridor, suara serak.
- Bantu ventilasi dengan ambu-bag dan masker saat penyedia sedang
menyiapkan untuk intubasi.
Pertahankan tindakan pencegahan cedera tulang belakang jika
diindikasikan
Dugaan cedera tulang belakang pada pasien polytrauma, terutama di mana
ada tingkat kesadaran yang berubah. Pastikan cervical collar, head blocks
atau imobilisasi in-line dipertahankan selama perawatan pasien.

B-Breathing
Pernapasan dan ventilasi
Pasien dengan syok fase awal atau kompensasi mengalami peningkatan
ringan pada laju pernapasan, namun pasien dengan syok hipovolemik yang
lebih berat akan menunjukkan tachypnea.
Nilai thorax
Hitung tingkat pernapasan pasien dan perhatikan kedalaman dan
kecukupan pernapasan mereka. Auskultasi dada untuk bunyi napas dan
menilai adanya wheezing, stridor atau penurunan masuknya udara.
Ingatlah bahwa dalam trauma abdomen, kemungkinan cedera toraks
mungkin terjadi juga. Pecahnya hemidiafragma sering menyebabkai
56

kompensasi fungsi pernafasan dan suara usus dapat terdengar di atas


thorax ketika suara nafas auskultasi.
Catat saturasi oksigen (SpO2)
Oksigenasi yang memadai ke otak adalah elemen penting dalam
menghindari cedera otak sekunder. Pantau SpO2 dan pertahankan di atas
95%. Kegagalan untuk menjaga saturasi di atas angka ini dikaitkan dengan
hasil yang lebih buruk. Pastikan oksigen aliran tinggi diberikan untuk
mempertahankan saturasi di atas 95%.
C- Circulation
Sirkulasi dengan kontrol perdarahan
Nilailah sirkulasi dan perfusi.
Memeriksa:
• Denyut jantung.
• Tekanan darah.
• Sirkulasi perifer dan kulit (pucat, dingin, berkeringat).
Syok dari perdarahan intra-abdomen dapat berkisar dari takikardia ringan
dengan beberapa temuan lain hingga takikardia berat, hipotensi yang
ditandai dan kulit yang pucat, dingin, dan berkeringat. Indikator
perdarahan intraabdominal yang paling dapat diandalkan adalah adanya
syok hipovolemik dari sumber yang tidak diketahui. Tujuan dalam
penanganan trauma adalah agar tekanan darah sistolik lebih dari 90 mmHg
atau indeks syok kurang dari 1 (HR / SBP).
Mulai resusitasi cairan seperti yang diindikasikan
Perawatan awal hipovolemia dengan cairan kristaloid (normal saline)
direkomendasikan, hingga 20–30 mL / kg. Tekanan darah ideal untuk
trauma tembus atau perdarahan tak terkendali umumnya lebih rendah
daripada trauma tumpul tanpa cedera kepala berat. (Nilai SBP kurang dari
90 mmHg dapat diterima jika perfusi serebral dipertahankan - yaitu, jika
keadaan sadar normal). Konsultasi awal tentang pasien dengan keadaan ini
sangat diperlukan. Paparkan dada/perut dan cari tanda-tanda yang jelas
57

dari perdarahan eksternal dari trauma tembus. Jika ditemukan, lakukan


kompresi kuat dan langsung untuk membendung pendarahan dan jika
mungkin menerapkan kompresi perban secara melingkar di atas luka.
Pastikan untuk memantau tanda-tanda perdarahan tak terkendali. Jika
benda tembus ditemukan insitu, jangan keluarkan. Cari tanda-tanda memar
yang jelas di seluruh perut. Pemeriksaan yang lebih menyeluruh akan
dilakukan di survei sekunder.

D - Disability: Status neurologis


Nilai tingkat kesadaran. Gunakan Skala Koma Glasgow . Periksa ukuran
pupil dan reaktivitas jika keadaan sadar diubah. Uji kadar gula darah.
Pastikan bahwa setiap perubahan dalam tingkat kesadaran tidak terkait
dengan penyebab metabolik.

E – Exposure dan Environment


Pada akhir survei primer, pasien seharusnya sudah sepenuhnya dipastikan
tidak ada cedera yang mengancam jiwa yang terlewatkan saat
pemeriksaan. Pertimbangan harus diberikan kepada usia, jenis kelamin,
dan budaya pasien saat mengekspos mereka untuk pemeriksaan trauma.
Pasien trauma rentan terhadap hipotermia, sehingga setelah menyelesaikan
survei utama, mereka harus ditutupi dengan selimut kering dan hangat.
Alat pemanasan eksternal mungkin diperlukan jika pasien bahkan
mengalami hipotermia ringan. Semua cairan intravena atau darah harus
dihangatkan sebelum pemberian jika cairan pemanas tersedia

Laparotomi Darurat
Indikasi untuk laparotomi darurat
• Hemodinamik tidak stabil dengan tekanan sistolik <90mHg dengan
FAST positif.
58

• Bukti peritonitis (nyeri pada palpasi, defans muskular dan nyeri


ketok saat perkusi).
• Trauma diafragma traumatis dengan herniasi.
• Cedera organ padat yang parah (misalnya ginjal dan limpa).
• Infark karena pasca oklusi traumatis suplai darah.
• Robekan mesenterika.
• Jumlah cairan bebas intraperitoneal yang tidak terjelaskan ke dalam
jumlah besar (200-≥500mls).
• Manajemen non-operatif yang gagal.

3. Secondary survey
Inspeksi
Perut bagian depan dan belakang harus diobservasi secara teliti apabila ada
goresan, robekan, hematom, atau jejas-jejas yang lain, dan apabila terlihat
bertambah kembung atau tidak.
Palpasi
Berupa perabaan pada dinding abdomen, untuk mendapatkan adanya dan
menentukan tempat dari nyeri, baik nyeri tekan superfisial, nyeri tekan
dalam, atau nyeri lepas. Bila sampai terjadi suatu defans muskuler dan
nyeri tekan seluruh perut mungkin sudah terjadi suatu iritasi pada
peritoneumnya. Selain itu dapat pula digunakan untuk menentukan adanya
cairan dalam rongga abdomen (dengan tes undulasi)
• Palpasi perut yang terluka harus dimulai di daerah di mana pasien
tidak mengeluh sakit.
• Perhatikan jika ada penjaga perut, baik secara sukarela dan tidak
disadari, serta kelembutan rebound.
• Kepenuhan ke perut dapat menunjukkan perdarahan, krepitasi tulang
rusuk bawah mungkin terkait dengan cedera hepar atau limpa yang
mendasari.
59

Nyeri abdomen yang signifikan pada palpasi dan pengawetan tidak


disengaja adalah tanda-tanda peritonitis dan sugestif adanya kebocoran isi
usus tetapi mungkin memerlukan waktu beberapa jam untuk berkembang.
Perkusi
Bisa suara timpani atau apakah suara redup, yang mungkin menandakan
apakah ada suatu perdarahan di kavum intra abdomen. Selain itu juga
menilai apakah ada suatu perforasi usus, yang biasanya ditandai dengan
hilangnya pekak hepar. Gerakan peritoneum yang sedikit terjadi pada
perkusi dan mungkin menunjukkan tanda-tanda iritasi peritoneum
Auskultasi
Melalui auskultasi dapat ditentukan bahwa bising usus ada atau tidak.
Darah intraperitoneum yang bebas atau akibat adanya kebocoran
(ektravasasi) abdomen dapat menimbulkan ileus, yang mengakibatkan
hilangnya bunyi usus. Cedera pada struktur yang berdekatan misalnya
costae, vertebra, atau pelvis juga secara langsung dan tidak langsung dapat
menyebabkan paralitik ileum. Sebuah ileus (penghentian peristaltik)
menyebabkan perut yang tenang karena perdarahan atau tumpahan isi
usus. Temuan ini lebih signifikan ketika ada perubahan dari penilaian
awal.
4. Pemeriksaan fisik lain : Evaluasi stabilitas pelvis
Pemeriksaan pada Genital, perineal, rektal
Kepala dan wajah
Periksa wajah dan kulit kepala. Carilah luka dan memar. Gerakkan dengan
hati-hati untuk mencari jejas dan fraktur di tengkorak dan rahang. Uji
refleks pupil.
Leher
Jika cervical collar insitu maka harus dibuka, kepala dipegang dengan
stabilisasi in-line manual dan leher diperiksa. Jika tidak ada cervical collar,
pertimbangkan mekanisme cedera dan apakah cedera serviks mungkin bisa
terjadi. Meraba vertebra serviks dengan lembut. Perhatikan semua nyeri
60

tulang belakang leher, nyeri tekan atau deformitas. Periksa jaringan lunak
untuk memar, laserasi, emfisema, nyeri dan nyeri tekan.
Perhatikan juga yang berikut ini
• Pembuluh darah: cari distensi - distensi vena leher dapat terlihat
pada tension pneumothorax atau pericardial tamponade.
• Esophagus: minta pasien untuk menelan - cedera esofagus dapat
dicurigai jika pasien mengalami nyeri atau kesulitan menelan.
Pasang kembali kerah serviks dengan hati-hati setelah memeriksa leher -
tulang belakang leher umumnya akan dibersihkan setelah dipindahkan ke
layanan trauma besar dan penilaian spesialis.
Thorax
Dada harus dipalpasi untuk melihat nyeri tekan dan deformitas. Auskultasi
lapangan paru-paru; catat adanya kelainan perkusi, suara nafas hilang,
bunyi wheezing atau krepitasi. Jika suara usus terdengar di dada selama
auskultasi, mungkin ada ruptur diafragma. Periksa bunyi jantung: ketukan
apeks dan keberadaan dan kualitas bunyi jantung.
Anggota badan
Periksa semua anggota badan dan sendi, palpasi untuk nyeri tulang dan
jaringan lunak. Perhatikan adanya luka memar, laserasi, otot, dan saraf
atau tendon. Carilah deformitas, luka tembus atau patah tulang terbuka.
Nilai warna distal, kehangatan, gerakan, sensasi dan pengisian kapiler.
Punggung
Gulingkan pasien secara log-rol. Menjaga stabilisasi in-line di seluruh.
Periksa seluruh bagian belakang dan perhatikan adanya deformitas, memar
dan laserasi. Lakukan palpasi tulang belakang untuk setiap kelembutan
atau langkah di antara vertebra. Sertakan pemeriksaan serviks pada tahap
ini.
Pantat dan perineum
Cari cedera jaringan lunak seperti memar atau laserasi. Luka tembus ke
daerah ini memiliki korelasi tinggi cedera intra-abdominal. Pemeriksaan
61

colok dubur dapat dilakukan jika ada cedera yang dicurigai mencari darah
kotor yang menunjukkan perforasi usus dan untuk menilai nada dan posisi
prostat.
Alat kelamin
Cedera jaringan lunak seperti memar atau laserasi harus diperhatikan.
Periksa apakah ada darah di meatus yang dapat mengindikasikan cedera
uretra. Laserasi ke vagina dapat terjadi karena fragmen tulang dari cedera
panggul.
5. Pemeriksaan Penunjang
a. Foto Rontgen
Pada kasus-kasus multitrauma, prioritas utama dapat dilakukan
pemeriksaan rontgen servikal lateral, toraks anteroposterior, dan pelvis.
Foto BOF anteroposterior digunakan untuk mengetahui adanya udara
ekstraluminal di retroperitoneum atau udara bebas di bawah
subdriafragma. Selain itu dalam posisi LLD dapat digunakan untuk
mengetahui udara bebas intraperitoneal. Pada pasien trauma,
serangkaian utama pemeriksaan x-rays yang harus dilakukan: Thorax:
mengidentifikasi haemothoraks, pneumotoraks, dan memar paru. AP
Pelvis: identifikasi fraktur pelvis.
b. Foto kontras
Sistografi (untuk mengetahui robekan buli-buli), Urethrografi (untuk
mengetahui robekan urethra), IVP (untuk mengetahui ruptur ginjal)
c. Studi Diagnostik Khusus
Pasien dengan hemodinamik yang tidak stabil diperlukan evaluasi cepat
yang dapat dilakukan dengan pemeriksaan FAST (Focused Assesment
Sonography in Trauma) atau dengan pemeriksaan DPL (Diagnostic
Peritoneal Lavage). Kontraindikasi untuk pemeriksaan khusus ini
apabila adanya indikasi laparotomi.
i. Diagnostic Peritoneal Lavage (DPL)
62

Merupakan suatu prosedur yang dilakukan dengan cepat akan tetapi


invasif, dan digunakan untuk menentukan perdarahan
intraperitoneum. Dikerjakan dengan anestesi lokal, membuka
dinding perut sedikit di bawah umbilikus, memasukkan cairan RL
dalam perut sebanyak 1 liter, kemudian dikeluarkan kembali dan
dilihat apakah bercampur dengan darah, serat-serat, sisa makanan,
cairan empedu. Dan dilakukan tes laboraturium secara cepat dan
positif bila RBC >100.000 / mm3 dan WBC >500 / m3, dan bila
terdapat bakteri pada pewarnaan Gram.

Indikasi : Pasien dengan trauma tumpul yang


hemodinamiknya stabil ketika ultrasound atau
CT-Scan tidak tersedia.
Ragu-ragu dalam menentukan sikap apakah ada
perdarahan di dalam rongga perut pada trauma
tumpul.
Kontraindikasi : Riwayat operasi pada bagian abdomen
Obesitas
Riwayat koagulopati
Pada indikasi laparotomi, misalnya : jelas ada
internal bleeding, perforasi saluran cerna,
peritonitis, obstruksi ileus
ii. Ultrasonography (USG)
Pertimbangkan kebutuhan FAST jika tersedia dan staf dilatih dalam
penggunaannya. FAST lebih akurat daripada temuan pemeriksaan
fisik untuk mendeteksi cedera intra-abdomen karena kebanyakan
berhubungan dengan perdarahan ke dalam rongga peritoneum.
Setiap cairan pada pasien trauma di USG harus dianggap sebagai
darah.
Pemindaian FAST pada pasien yang tidak stabil secara
hemodinamik harus menentukan kebutuhan laparotomi. Hasil
63

FAST yang negatif pada pasien yang tidak stabil secara


hemodinamik secara langsung menyingkirkan abdomen sebagai
sumber perdarahan. Penting untuk diingat bahwa scan FAST tidak
dapat digunakan untuk memberikan diagnosis spesifik, hanya untuk
mengkonfirmasi keberadaan darah yang mungkin memerlukan
penyelidikan operasi. Jika status hemodinamik pasien berubah
FAST dapat diulang. Jika pasien hemodinamik stabil dan tidak
menunjukkan tanda-tanda perdarahan internal yang signifikan
maka dapat ditunda sampai survei sekunder.
Pemeriksaan ultrasound dapat dilakukan disebelah tempat tidur
pasien (bedside) sehingga bisa didapatkan hasil yang cepat serta
tidak invasif. Digunakan untuk mengetahui adanya intrnal bleeding,
yang disertai dengan adanya ruptura organ padat, dan buli-buli.
Pemeriksaan dilakukan di 4 tempat yakni
1. Sakus pericardial
2. Fossa hepatorenal
3. Fossa splenorenal
4. Pelvis atau pouch of douglass
64

Setelah pemeriksaan scanning pertama, scanning ke dua dilakukan


dengan interval 30 menit untuk mendeteksi progresivitas
hemoperitoneum

iii. CT – Scan

Merupakan sarana diagnostik yang paling akurat karena bisa


memberi informasi yang berhubungan dengan cedera organ tertentu
dan tingkat beratnya, dan juga dapat mendiagnosis cedera
retroperitoneum dan organ panggul yang sukar diakses melalui
pemeriksaan fisik maupun sarana diagnostik yang lain. Akan tetapi
pemeriksaan ini memerlukan waktu dan sukar dilaksanakan pada
kasus dengan tingkat emergensi yang tinggi. Dikarenakan prosedur
yang memakan waktu, CT-scan hanya dilakukan pada pasien
dengan hemodinamik yang normal dimana tidak terdapat indikasi
laparotomi.

Tabel Perbandingan DPL, USG, dan CT-Scan

DPL USG CT-Scan


Indikasi Menentukan Adanya Menentukan adanya Menentukan organ-organ
perdarahan, dilakukan cairan, dilakukan bila yang cedera, dilakukan
bila tekanan darah tekanan darah menurun. bila tekanan darah
menurun. normal.
Keuntungan - Diagnosis cepat - Diagnosis cepat - Paling spesifik untuk
- Sensitif (akurasi 98 - Tidak invasif dan cedera (akurasi 92 –
%) dapat diulang 98 %)
- Dapat mendeteksi (akurasi 86 – 97 %) - Tidak invasif
cedera usus - Pasien tidak perlu
- Pasien tidak perlu dipindahkan
dipindahkan
Kerugian - Invasif, - Tergantung operator, - Biaya mahal, waktu
65

- Tidak bisa - Dapat terdistorsi oleh lama,


mengetahui cedera gas usus dan udara di - Tidak bisa
pada diafragma bawah kulit, selain mengetahui cedera
atau pada itu pada diafragma,
retroperitoneal. - Tidak bisa usus, dan pankreas.
mendeteksi jejas - Pasien perlu
diafragma, usus, dan dipindahkan
páncreas.

ALUR PENANGANAN SECARA UMUM

Tatalaksana12,13
Perawatan trauma tumpul abdomen dimulai di tempat cedera dan
diteruskan saat pasien tiba di unit gawat darurat rumah sakit. Penatalaksanaan
mungkin melibatkan tindakan nonoperatif atau perawatan bedah, yang sesuai.
Indikasi Laparotomi pada trauma tumpul abdomen:
Berdasarkan Evaluasi Klinik :
1. Trauma tumpul dengan hasil DPL (+) dan USG adanya internal bleeding
66

2. Trauma tumpul dengan hipotensi terus menerus walaupun dilakukan


resusitasi adekuat
3. Adanya tanda-tanda peritonitis

Berdasarkan Evaluasi Radiologis (rontgen)


1. Adanya udara bebas (air sickle) atau ruptura diafragma
2. CT-Scan dengan kontras memperlihatkan adanya ruptur organ – organ
berongga intraabdominal.
Dalam trauma perut tumpul, termasuk cedera organ padat yang parah,
manajemen nonoperatif selektif telah menjadi standar perawatan. Strategi
manajemen nonoperatif didasarkan pada diagnosis CT scan dan stabilitas
hemodinamik pasien, sebagai berikut:
- Untuk sebagian besar, pasien anak dapat diresusitasi dan diobati secara
nonoperatif; beberapa ahli bedah anak sering mentransfusikan hingga
40 mL / kg produk darah dalam upaya menstabilkan pasien anak.
- Orang dewasa stabil secara hemodinamik dengan cedera organ padat,
terutama yang ke hati dan limpa, mungkin diindikasikan untuk
manajemen nonoperatif.
Manajemen nonoperatif melibatkan pemantauan ketat tanda-tanda vital dan
sering mengulangi pemeriksaan fisik. Intervensi bedah diindikasikan pada
pasien dengan adanya tanda-tanda peritonitis berdasarkan temuan pemeriksaan
fisik. Perawatan operatif tidak diindikasikan pada setiap pasien dengan hasil
scan FAST positif. Pasien yang stabil secara hemodinamik dengan temuan
FAST positif mungkin memerlukan computed tomography (CT) scan untuk
lebih mendefinisikan sifat dan tingkat cedera mereka. Operasi pada setiap
pasien dengan temuan scan FAST positif dapat menyebabkan tingkat
laparotomi yang tinggi.
Torakotomi resuscitative tidak dianjurkan pada pasien dengan trauma
thoracoabdominal tumpul yang tidak memiliki tanda-tanda vital pada saat tiba
di unit gawat darurat . Tingkat kelangsungan hidup dalam situasi ini hampir
67

0%. Pasien-pasien ini dapat diizinkan torakotomi di UGD hanya jika mereka
memiliki tanda kehidupan pada saat kedatangan.

Prognosis12,13
Prognosis secara keseluruhan untuk pasien yang mengalami trauma
tumpul abdomen cukup baik. Angka kematian untuk pasien rawat inap adalah
sekitar 5-10%. National Pediatric Trauma Registry melaporkan bahwa 9%
pasien anak dengan trauma tumpul abdomen meninggal.
Sebuah survey dari Australia tentang cedera usus pada trauma tumpul
melaporkan bahwa 85% cedera terjadi akibat kecelakaan kendaraan. Angka
kematian adalah 6%. Pada seluruh laporan kematian di ruang operasi di mana
trauma tumpul terjadi sebanyak 61% dari semua cedera, trauma abdomen
adalah penyebab utama kematian pada 53,4% kasus.
68

BAB V
KESIMPULAN
Pasien an Tn. A, laki-laki, berusia 36 tahun datang dirujuk ke IGD
RSUD Raden Mattaher dengan keluhan nyeri dada sebelah kanan dan perut
sebelah kanan atas sejak 30 menit SMRS.

Dari pemeriksaan fisik ditemukan jejas di hemithorax dextra dan kuadran


kanan atas abdomen. Dan didapatkan nyeri pada hemithotax dextra dan
kuadran kanan atas abdomen. Dari pemeriksaan laboratorium didapatkan
leukositosis (11,59) untuk itu pasien diobservasi secara rutin. Pemeriksaan
penunjang yang dilakukan antara lain foto thorax untuk melihat kelainan pada
tulang iga apakah terdapat fraktur atau tidak, foto BNO 3 posisi untuk melihat
abdomen dari pasien serta melihat adanya tanda-tanda peritonitis dan rupture
organ. Dilakukan juga pemeriksaan USG dan ditemukannya perdarahan
intraabdomen kanan dengan suspek kontusio hepar lobus kanan. Lien,
pancreas, kandung empedu, ginjal, vesika urinaria, aorta dalam batas normal.
Setelah dilakukan observasi selama beberapa hari, terjadi penurunan kadar
leukosit dan nyeri pada dada dan perut berkurang.

Tidak dilakukan tindakan operatif laparotomi pada pasien karena tidak


ditemukan tanda-tanda peritonitis dan keadaan pasien terus membaik hari demi
hari.
69

DAFTAR PUSTAKA

1. Brunicardi F Charles. Et all. Schwartz’s. Principle of surgery. Tenth


edition. Mc Graw Hill Education. 2010
2. Komisi Trauma IKABI. Advanced Trauma Life Support Untuk Dokter.
Jakarta:Komisi Trauma IKABI. 2014 ; 112-131
3. Pitojo G, Kevin. Pola trauma tumpul toraks non penetrans, penanganan,
dan hasil akhir di Instalasi Rawat Darurat Bedah RSUP Prof. Dr. R. D.
Kandou Manado periode Januari 2014 – Juni 2016. Manado: Jurnal e-
Clinic (eCl), Volume 4, Nomor 2, Juli-Desember 2016. Fakultas
Kedokteran Universitas Sam Ratulangi Manado. 2016.
4. Kolegium Ilmu Bedah Indonesia & Komisi Trauma Perhimpunan Dokter
Spesialis Bedah Indonesia. Trauma tumpul abdomen, trauma tajam abdomen. In:
Definitive Surgical Trauma Care. Indonesia. 2003.
5. Sjamsuhidajat & de jong. Buku Ajar Ilmu Bedah.Edisi 3. Jakarta:
EGC.2010. Brunicardi, F. C., Onan, B., Oz, K., (2006) Chest wall, lung,
mediastinum, and pleura. Dalam Schwartz’s Manual Of Surgery 8th
edition. USA: Mc-Graw Hill.
6. Brunicardi, F. C., Onan, B., Oz, K., (2006) Chest wall, lung, mediastinum,
and pleura. Dalam Schwartz’s Manual Of Surgery 8th edition. USA: Mc-
Graw Hill.
7. American College Of Surgeons Commitee On Trauma. (2008) Trauma
toraks. Dalam ATLS Student Course Manual 8th edition. USA.
8. Willimas, N. S., Bulstrode, C. J. K., O’connel, P. R. (2013) The thorax.
Dalam Bailey & Love’s Short Practice of Surgery 26th Edition. India:
CRC Press.
9. Alagappa, R. 2010. Manual of Clinical medicine fourth edition. India:
Jaypee Brothers Med
10. Singh V. 2010. Textbook of Anatomy Abdomen and Lower Limb Second
Edition. USA: Elsevier
11. Snell R. 2006. Anatomi klinis berdasarkan sistem Edisi 6. Jakarta:EGC
12. Saladin, Kenneth S. Anatomy & Physiology: The Unity of Form and
Function, 2nd.
13. Abdominal and pelvic trauma in Advanced Trauma Life Support Student
Course Manual 9th Ed. USA: College of surgeon.
14. Legome, E. 2017. Blunt abdominal Trauma.
http://emedicine.medscape.com diakses maret 2018
15. Major trauma guidelines & education - victorian state trauma system.
http://trauma.reach.vic.gov.au/guidelines/abdominal-trauma/introduction.
Diakses Maret 2018

Anda mungkin juga menyukai