Anda di halaman 1dari 41

REFLEKSI KASUS

PERDARAHAN UTERI ABNORMAL

Disusun oleh:
Hosiana Oktaviany Winaris
42180258

Dosen Pembimbing Klinik:


dr. Diana Fitri, Sp.OG

KEPANITERAAN KLINIK
ILMU OBSTETRI DAN GINEKOLOGI
RSPAU DR. S. HARDJOLUKITO
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN DUTA WACANA
YOGYAKARTA

2019
BAB I
DATA KASUS

I. IDENTITAS
Nama : Ny. YS
No. RM : 09--70
Tanggal lahir : Cilacap, 10 Agustus 1977
Usia : 41 Tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Alamat : Bakungan, Wedomartani, Ngemplak, Sleman
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Status Perkawinan : Menikah
Masuk RS : 27 Mei 2019

II. ANAMNESIS
Anamnesis dilakukan di bangsal pada tanggal 28 Mei 2019 pukul 08.00 WIB dan
data didapatkan dari anamnesis dan rekam medis pasien.
a. Keluhan Utama
Pasien mengatakan adanya darah yang keluar seperti menstruasi.
b. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke Poliklinik Obsgin RSPAU dr. S. Hardjolukito
Yogyakarta dengan keluhan masih ada darah yang keluar. Pasien mulai
mengeluhkan mentruasi yang tidak teratur sejak bulan Mei 2019. Pasien
mengatakan mulai menstruasi pada tanggal 2 April 2019 yang kemudian
berhenti pada tanggal 26 April 2019. Kemudiam pada tanggal 5 Mei 2019
pasien mulai mentruasi kembali sampai 16 Mei 2019. Kemudian pasien
memeriksakan ke Poliklinik Obsgin RSPAU dr. S. Hardjolukito Yogyakarta,
kemudian mendapatkan obat dan sempat berhenti lalu mulai keluar darah
kembali sejak tanggal 27 Mei 2019. Pasien mengatakan perdarahan yang
dialami cukup banyak, dalam 1 hari bisa mengganti pembalut lebih dari 5 kali,
dan terkadang pasien menggunakan kain sebagai pengganti pembalut. Pasien
mengeluhkan adanya nyeri pada bagian perut dan punggung namun tidak
terlalu sering muncul. Biasanya saat pasien kelalahn dan akan sembuh jika
sudah istirhat. Pasien mengatakan meskipun mengalami perdarahan cukup
banyak tapi tidak lemas dan tidak mengganggu aktivitas. Pola makan pasien
baiik , BAB dan BAK juga normal.

2
c. Riwayat Penyakit Dahulu
Tumor (-) Penyakit (-)
jantung
Kista (+) pada tahun 2014 Asma (-)
Hipertensi (-) Alergi (-)
Diabetes (-)

d. Riwayat Penyakit Keluarga


Pasien mengatakan bahwa di keluarga pasien tidak ada yang memiliki
gejala yang sama dengan pasien sebelumnya serta tidak ada yang memiliki
riwayat penyakit tertentu seperti hipertensi, tumor, kista, DM, penyakit
jantung, asma erta alergi.
e. Riwayat Menstruasi
• Usia menarche : 14 Tahun
• Siklus : 28-30 hari
• Durasi : 5-6 hari
• Disminorrhea : (-)
• Fluor Albus : (-)
• HPHT : 2 April 2019

f. Riwayat Perkawinan
• Status : Menikah 1 kali
• Lama menikah : 20 Tahun
• Usia menikah : 21 Tahun

g. Riwayat Kehamilan
G0P2A0H2

No Tahu Usia Cara Penolon Jenis BBL Hidup/Mati Penyulit


n Kehamila persalinan g Kelamin
n
1. 2000 38 minggu Normal Dokter Perempuan 3700 Hidup Tidak ada
Spontan
2. 2008 37 minggu Normal Dokter Perempuan 3000 Hidup Tidak ada
Spontan

h. Riwayat Kontrasepsi

3
Pasien mengatakan menggunakan kontrasepsi IUD setelah melahirkan
anak pertama sampai tahun 2006, kemudian tidak menggunakan kontrasepsi
kondom sejak melahirkan anak kedua sampai sekarang.
i. Riwayat Pengobatan
Pasien mengaku tidak pernah mengonsumsi obat-obatan tertentu maupun
memperoleh pengobatan dalam jangka panjang.
j. Gaya Hidup
Merokok : Tidak merokok
Konsumsi alcohol : Tidak mengonsumsi alcohol
Pola makan : Pasien mengatakan makan teratur 3 kali
sehari dengan menu nasi, daging dan sayur.
Aktivitas sehari-hari : Pasien merupakan ibu rumah tangga dengan
sebagian besar aktivitas di lakukan di rumah.
Pasien mengaku sering olahraga yaitu lari dan
senam.

III. PEMERIKSAAN FISIK


Keadaan Umum : Baik

Kesadaran : Compos Mentis; GCS: E4 V5 M6

BB : 74 kg TB : 155 cm

Vital Sign

Tekanan Darah : 120/70 mmHg

Nafas : 20 x/menit

Nadi : 109 x/menit

Suhu : 36,9˚C
Status Generalis

Kepala:

CA (-), SI (-), mata cekung (-), pupil isokhor 3mm/3mm, refleks cahaya (+/+),

Leher:

Pembengkakan limfonodi (-)

Thorax:

4
Simetris, retraksi dinding dada (-), perkusi sonor, vesikuler (+/+), ronkhi (-/-), wheezing (-/-)

S1/S2 jantung dbn, bising jantung (-)

Abdomen:

Inspeksi → tanda peradangan (-), bekas operasi (-).

Auskultasi → bising usus (+)

Perkusi → timpani

Palpasi → normal
Ekstremitas:
Akral hangat, Capillary Refill < 2 detik, nadi kuat, edema (-)
Status Pemeriksaan Ginekologi

Pemeriksaan genital eksterna

 Inspeksi : tampak darah di labio mayor dan minor serta klitoris.


Pemeriksaan dengan inspekulo
 Vulva/vagina : Tampak tenang
 Portio : Tampak mencucu, tidak tampak massa atau benjolan
 Ostium : Tampak darah (+) , tidak ada lesi (-)

Pemeriksaan bimanual :

 Palpasi : nyeri (-)

IV. DIAGNOSA BANDING


- PUA
- Endometriosis
- Mioma uteri

V. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan Laboratorium
Nama Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Rujukan
Hemoglobin 10,8 g/dl 11,0 – 15,0
Leukosit 7.110 mm3 4.600 – 10.000
Hematokrit 33,5 % 36 – 57
Eritrosit 4,24 jt/mm3 3,7 – 5,4

5
Trombosit 238.000 mm3 150.000 – 400.000
MCV 78,9 FL 82,0 – 95,0
MCH 25,5 PG 27,0 – 31,0
MCHC 32,9 g/dl 32,0 – 36,0
LED 28 mm/jam < 20
HBsAg Kualitatif Non Reaktif Non Reaktif

2. Pemeriksaan USG

6
VI. DIAGNOSIS
Diagnosis utama : PUA dengan kista
Diagnosis tambahan : Suspek Tumor padat Ovari

VII. TATA LAKSANA


Rencana tindakan :
- Dilatasi dan Kuretase
- Pemeriksaan Patologi Anatomi

Rencana terapi :
- RL 20 tpm
- R/ EEK tab 2,5 mg No IV
s.o.6.h tab 1
- R/ Prometasin tab 25 mg No IV
s.o.6.h tab 1
- R/ Asam traneksamat tab 500 mg no VI
s.3.d.d tab 2

7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

1. Definisi dan Terminologi


Perdarahan uterus abnormal meliputi semua kelainan haid baik dalam hal jumlah
maupun lamanya. Manifestasi klinis dapat berupa perdarahan banyak, sedikit, siklus haid
yang memanjang atau tidak beraturan. Terminologi menoragia saat ini diganti dengan
perdarahan haid banyak atau heavy menstrual bleeding (HMB) sedangkan perdarahan
uterus abnormal yang disebabkan faktor koagulopati, gangguan hemostasis lokal
endometrium dan gangguan ovulasi merupakan kelainan yang sebelumnya termasuk
dalam perdarahan uterus disfungsional (PUD).
1. Perdarahan uterus abnormal akut didefinisikan sebagai perdarahan haid yang banyak
sehingga perlu dilakukan penanganan yang cepat untuk mencegah kehilangan darah.
Perdarahan uterus abnormal akut dapat terjadi pada kondisi PUA kronik atau tanpa
riwayat sebelumnya.
2. Perdarahan uterus abnormal kronik merupakan terminologi untuk perdarahan uterus
abnormal yang telah terjadi lebih dari 3 bulan. Kondisi ini biasanya tidak memerlukan
penanganan yang cepat dibandingkan PUA akut.
3. Perdarahan tengah (intermenstrual bleeding) merupakan perdarahan haid yang terjadi
di antara 2 siklus haid yang teratur. Perdarahan dapat terjadi kapan saja atau dapat
juga terjadi di waktu yang sama setiap siklus. Istilah ini ditujukan untuk
menggantikan terminologi metroragia.

2. Sistem Klasifikasi
Berdasarkan International Federation of Gynecology and Obstetrics (FIGO),
terdapat sembilan kategori utama yang disusun sesuai dengan akronim “PALM-COEIN”
yakni; polip, adenomiosis, leiomioma, malignancy and hyperplasia, coagulopathy,
ovulatory dysfunction, endometrial, iatrogenik dan not yet classified. Kelompok “PALM”
merupakan kelainan struktur yang dapat dinilai dengan berbagai teknik pencitraan dan
atau pemeriksaan histopatologi. Kelompok COEIN merupakan kelainan non struktur

8
yang tidak dapat dinilai dengan teknik pencitraan atau histopatologi.Sistem klasifikasi
tersebut disusun berdasarkan pertimbangan bahwa seorang pasien dapat memiliki satu
atau lebih faktor penyebab PUA. Dengan pendekatan ini, diharapkan tata laksana untuk
pasien dengan PUA dapat menjadi lebih komprehensif.

A. Polip (PUA-P)
 Polip biasanya bersifat asimptomatik, tetapi dapat pula menyebabkan PUA.
 Lesi umumnya jinak, namun sebagian kecil atipik atau ganas.
 Diagnosis polip ditegakkan berdasarkan pemeriksaan USG dan atau histeroskopi,
dengan atau tanpa hasil histopatologi.
B. Adenomiosis (PUA-A)
 Kriteria adenomiosis ditentukan berdasarkan kedalaman jaringan endometrium
pada hasil histopatologi.

9
 Adenomiosis dimasukkan dalam sistem klasifikasi berdasarkan pemeriksaan MRI
dan USG.
 Mengingat terbatasnya fasilitas MRI, pemeriksaan USG cukup untuk
mendiagnosis adenomiosis.
 Hasil USG menunjukkan jaringan endometrium heterotopik pada miometrium dan
sebagian berhubungan dengan adanya hipertrofi miometrium.

C. Leiomioma (PUA-L)
 Mioma uteri umumnya tidak memberikan gejala dan biasanya bukan penyebab
tunggal PUA.
 Pertimbangan dalam membuat sistem klasifikasi mioma uteri yakni hubungan
mioma uteri dengan endometrium dan serosa lokasi, ukuran, serta jumlah mioma
uteri.
Berikut adalah klasifikasi mioma uteri :
 Primer : ada atau tidaknya satu atau lebih mioma uteri;
 Sekunder : membedakan mioma uteri yang melibatkan endometrium (mioma
uteri submukosum) dengan jenis mioma uteri lainnya;
 Tersier : klasifikasi untuk mioma uteri submukosum, intramural dan
subserosum.

D. Malignancy and hyperplasia (PUA-M)


 Meskipun jarang ditemukan, namun hiperplasia atipik dan keganasan merupakan
penyebab penting PUA.
 Klasifikasi keganasan dan hiperplasia menggunakan sistem klasifikasi FIGO dan
WHO.

E. Coagulopathy (PUA-C)
 Terminologi koagulopati digunakan untuk kelainan hemostasis sistemik yang
terkait dengan PUA.

10
 Tiga belas persen perempuan dengan perdarahan haid banyak memiliki kelainan
hemostasis sistemik, dan yang paling sering ditemukan adalah penyakit von
Willebrand.

F. Ovulatory dysfunction (PUA-O)


 Gangguan ovulasi merupakan salah satu penyebab PUA dengan manifestasi
perdarahan yang sulit diramalkan dan jumlah darah yang bervariasi.
 Dahulu termasuk dalam kriteria perdarahan uterus disfungsional (PUD).
 Gejala bervariasi mulai dari amenorea, perdarahan ringan dan jarang, hingga
perdarahan haid banyak.
 Gangguan ovulasi dapat disebabkan oleh sindrom ovarium polikistik (SOPK),
hiperprolaktinemia, hipotiroid, obesitas, penurunan berat badan, anoreksia atau
olahraga berat yang berlebihan.

G. Endometrial (PUA-E)
 Perdarahan uterus abnormal yang terjadi pada perempuan dengan siklus haid
teratur.
 Penyebab perdarahan pada kelompok ini adalah gangguan hemostasis lokal
endometrium.
 Adanya penurunan produksi faktor yang terkait vasokonstriksi seperti endothelin-
1 dan prostaglandin F2 serta peningkatan aktifitas fibrinolisis.
 Gejala lain kelompok ini adalah perdarahan tengah atau perdarahan yang berlanjut
akibat gangguan hemostasis lokal endometrium.
 Diagnosis PUA-E ditegakkan setelah menyingkirkan gangguan lain pada siklus
haid yang berovulasi.

H. Iatrogenik (PUA-I)
 Perdarahan uterus abnormal yang berhubungan dengan intervensi medis seperti
penggunaan estrogen, progestin, atau AKDR.

11
 Perdarahan haid di luar jadwal yang terjadi akibat penggunaan estrogen atau
progestin dimasukkan dalam istilah perdarahan sela atau breakthrough bleeding
(BTB).
 Perdarahan sela terjadi karena rendahnya konsentrasi estrogen dalam sirkulasi
yang dapat disebabkan oleh sebagai berikut :
 Pasien lupa atau terlambat minum pil kontrasepsi;
 Pemakaian obat tertentu seperti rifampisin;
 Perdarahan haid banyak yang terjadi pada perempuan pengguna anti koagulan
(warfarin, heparin, dan low molecular weight heparin) dimasukkan ke dalam
klasifikasi PUA-C.

I. Not yet classified (PUA-N)


 Kategori not yet classified dibuat untuk penyebab lain yang jarang atau sulit
dimasukkan dalam klasifikasi.
 Kelainan yang termasuk dalam kelompok ini adalah endometritis kronik atau
malformasi arteri-vena.
 Kelainan tersebut masih belum jelas kaitannya dengan kejadian PUA.

3. Penulisan
Kemungkinan penyebab PUA pada individu bisa lebih dari satu karena itu dibuat
sistem penulisan.
 Angka 0 : tidak ada kelainan pada pasien;
 Angka 1 : terdapat kelainan pada pasien;
 Tanda tanya (?) : belum dilakukan penilaian.

Sistem penulisan pada pasien yang mengalami PUA karena gangguan ovulasi dan
mioma uteri submukosum adalah PUA P0 A0 L1(SM) M0 – C0 O1 E0 I0 N0. Pada
praktek sehari-hari gangguan di atas dapat ditulis PUA L(SM); O.

12
4. Panduan Investigasi
A. Anamnesis
 Anamnesis dilakukan untuk menilai kemungkinan adanya kelainan uterus, faktor
risiko kelainan tiroid, penambahan dan penurunan BB yang drastis, serta riwayat
kelainan hemostasis pada pasien dan keluarganya (Rekomendasi B). Perlu

13
ditanyakan siklus haid sebelumnya serta waktu mulai terjadinya perdarahan uterus
abnormal.
 Prevalensi penyakit von Willebrand pada perempuan perdarahan haid rata-rata
meningkat 10% dibandingkan populasi normal. Karena itu perlu dilakukan
pertanyaan untuk mengidentifikasi penyakit von Willebrand (Rekomendasi B).
 Pada perempuan pengguna pil kontrasepsi perlu ditanyakan tingkat kepatuhannya
dan obat-obat lain yang diperkirakan mengganggu koagulasi.
 Penilaian jumlah darah haid dapat dinilai menggunakan piktograf (PBAC) atau
skor “perdarahan”. Data ini juga dapat digunakan untuk diagnosis dan menilai
kemajuan pengobatan PUA (Rekomendasi C).
 Anamnesis terstruktur dapat digunakan sebagai penapis gangguan hemostasis
dengan sensitifitas 90%. Perlu dilakukan pemeriksaan lebih lanjut pada perempuan
dengan hasil penapisan positif.
 Perdarahan uterus abnormal yang terjadi karena pemakaian antikoagulan
dimasukkan ke dalam klasifikasi PUA-C1.

14
Diagnosis Banding PUA

B. Pemeriksaan Umum
 Pemeriksaan fisik pertama kali dilakukan untuk menilai stabilitas keadaan
hemodinamik.
 Pastikan bahwa perdarahan berasal dari kanalis servikalis dan tidak berhubungan
dengan kehamilan.
 Pemeriksaan indeks massa tubuh, tanda tanda hiperandrogen, pembesaran
kelenjar tiroid atau manifestasi hipotiroid/hipertiroid, galaktorea
(hiperprolaktinemia), gangguan lapang pandang (adenoma hipofisis), purpura dan
ekimosis wajib diperiksa.
C. Pemeriksaan Ginekologi
 Pemeriksaan ginekologi yang teliti perlu dilakukan termasuk pemeriksaan pap
smear.
 Harus disingkirkan pula kemungkinan adanya mioma uteri, polip, hiperplasia
endometrium atau keganasan.

D. Penilaian Ovulasi
 Siklus haid yang berovulasi berkisar 22-35 hari.
 Jenis perdarahan PUA-O bersifat ireguler dan sering diselingi amenorea.

15
 Konfirmasi ovulasi dapat dilakukan dengan pemeriksaan progesteron serum fase
luteal madya atau USG transvaginal bila diperlukan.

E. Penilaian Endometrium
 Pengambilan sampel endometrium tidak harus dilakukan pada semua pasien PUA.
 Pengambilan sampel endometrium hanya dilakukan pada:
 Perempuan umur > 45 tahun
 Terdapat faktor risiko genetik
 USG transvaginal menggambarkan penebalan endometrium kompleks
yang merupakan faktor risiko hiperplasia atipik atau kanker endometrium
 Terdapat faktor risiko diabetes mellitus, hipertensi, obesitas, nulipara
 Perempuan dengan riwayat keluarga nonpolyposis colorectal cancer
memiliki risiko kanker endometrium sebesar 60% dengan rerata umur saat
diagnosis antara 48-50 tahun
 Pengambilan sampel endometrium perlu dilakukan pada perdarahan uterus
abnormal yang menetap (tidak respons terhadap pengobatan).
 Beberapa teknik pengambilan sampel endometrium seperti D & K dan biopsi
endometrium dapat dilakukan.

F. Penilaian Kavum Uteri


 Bertujuan untuk menilai kemungkinan adanya polip endometrium atau mioma
uteri submukosum.
 USG transvaginal merupakan alat penapis yang tepat dan harus dilakukan pada
pemeriksaan awal PUA.
 Bila dicurigai terdapat polip endometrium atau mioma uteri submukosum
disarankan untuk melakukan SIS atau histeroskopi. Keuntungan dalam
penggunaan histeroskopi adalah diagnosis dan terapi dapat dilakukan bersamaan.

G. Penilaian Miometrium
 Bertujuan untuk menilai kemungkinan adanya mioma uteri atau adenomiosis.

16
 Miometrium dinilai menggunakan USG (transvaginal, transrektal dan abdominal),
SIS, histeroskopi atau MRI.
 Pemeriksaan adenomiosis menggunakan MRI lebih unggul dibandingkan USG
transvaginal.
Pemeriksaan fisik yang dapat menyebabkan PUA

5. Manifestasi Klinis
1. Perdarahan uterus abnormal akut
A. Jika perdarahan aktif dan banyak disertai dengan gangguan hemodinamik dan atau
Hb< 10 g/dl perlu dilakukan rawat inap.
B. Jika hemodinamik stabil, cukup rawat jalan (kemudian ke langkah D).
C. Pasien rawat inap, berikan infus cairan kristaloid, oksigen 2 liter/menit dan transfuse
darah jika Hb < 7 g/dl, untuk perbaikan hemodinamik.
D. Stop perdarahan dengan estrogen ekuin konyugasi (EEK) 2.5 mg (rek B) per oral

17
setiap 4-6 jam, ditambah prometasin 25 mg peroral atau injeksi IM setiap 4-6 jam
(untuk mengatasi mual). Asam traneksamat 3 x 1 gram (rek A) atau anti inflamasi
non-steroid 3 x 500 mg diberikan bersama EEK. Untuk pasien dirawat, dapat dipasang
balon kateter foley no. 10 ke dalam uterus dan diisi cairan kurang lebih 15 ml,
dipertahankan 12-24 jam.
E. Jika perdarahan tidak berhenti dalam 12-24 jam lakukan dilatasi dan kuretase (D&K)
(rek B).

F. Jika perdarahan berhenti dalam 24 jam, lanjutkan dengan kontrasepsi oral kombinasi
(KOK)(rek B) 4 kali 1 tablet perhari (4 hari), 3 kali 1 tablet perhari (3 hari), 2 kali 1
tablet perhari (2 hari) dan 1 kali 1 tablet sehari (3 minggu), kemudian stop 1 minggu,
dilanjutkan KOK siklik 3 minggu dengan jeda 1 minggu sebanyak 3 siklus atau LNG-
IUS (rek A).
G. Jika terdapat kontraindikasi KOK, berikan medroksi progesteron asetat (MPA) 10 mg
perhari (7 hari) (rek A), siklik, selama 3 bulan.
H. Untuk riwayat perdarahan berulang sebelumnya, injeksi gonadotropin-releasing
hormone (GnRH) agonis (rek A) dapat diberikan bersamaan dengan pemberian KOK
untuk stop perdarahan (langkah D). GnRH diberikan 2-3 siklus dengan interval 4
minggu.
I. Ketika hemodinamik pasien stabil, perlu upaya diagnostik untuk mencari penyebab
perdarahan. Lakukan pemeriksaan USG transvaginal (TV)/transrektal (TR) (rek B),
periksa darah perifer lengkap (DPL) (rek C), hitung trombosit (rek C), prothrombin
time (PT)(rek C), activated partial thromboplastin time (aPTT) (rek C) dan thyroid
stimulating hormone (TSH). Saline-infused sonohysterogram (SIS) dapat dilakukan
jika endometrium yang terlihat tebal, untuk melihat adanya polip endometrium atau
mioma submukosum. Jika perlu dapat dilakukan pemeriksaan histeroskopi “office”
(rek A).
J. Jika terapi medikamentosa tidak berhasil atau ada kelainan organik, maka dapat
dilakukan terapi pembedahan seperti ablasi endometrium (rek A), miomektomi,
polipektomi, histerektomi (rek A).

18
2. Perdarahan uterus abnormal kronik
 Jika dari anamnesis yang terstruktur ditemukan bahwa pasien mengalami satu
atau lebih kondisi perdarahan yang lama dan tidak dapat diramalkan dalam 3
bulan terakhir.
 Pemeriksaan fisik berikut dengan evaluasi rahim, pemeriksaan darah perifer
lengkap wajib dilakukan.
 Pastikan fungsi ovulasi dari pasien tersebut. Tanyakan pada pasien adakah
penggunaan obat tertentu yang dapat memicu PUA dan lakukan pula pemeriksaan
penyakit koagulopati bawaan jika terdapat indikasi.
 Pastikan apakah pasien masih menginginkan keturunan.
 Anamnesis dilakukan untuk menilai ovulasi, kelainan sistemik, dan penggunaan
yang mempengaruhi kejadian PUA. Keinginan pasien untuk memiliki keturunan
dapat menentukan penanganan selanjutnya. Pemeriksaan tambahan meliputi

19
pemeriksaan darah perifer lengkap, pemeriksaan untuk menilai gangguan ovulasi
(fungsi tiroid, prolaktin, dan androgen serum) serta pemeriksaan hemostasis.

3. Penanganan perdarahan uterus abnormal berdasarkan penyebabnya


A. Polip (PUA-P)
Penanganan polip endometrium dapat dilakukan dengan :
1. Reseksi secara histeroskopi (Rekomendasi C);
2. Dilatasi dan kuretase;
3. Kuret hisap;
4. Hasil dikonfirmasi dengan pemeriksaan histopatologi.
B. Adenomiosis (PUA-A)
1. Diagnosis adenomiosis ditegakkan berdasarkan pemeriksaan USG atau MRI;
2. Tanyakan pada pasien apakah menginginkan kehamilan;
3. Bila pasien menginginkan kehamilan dapat diberikan analog GnRH + add-
back therapy atau LNG IUS selama 6 bulan (Rekomendasi C);
4. Adenomiomektomi dengan teknik Osada merupakan alternatif pada pasien
yang ingin hamil (terutama pada adenomiosis > 6 cm);
5. Bila pasien tidak ingin hamil, reseksi atau ablasi endometrium dapat
dilakukan (Rekomendasi C). Histerektomi dilakukan pada kasus dengan
gagal pengobatan.

20
C. Leiomioma uteri (PUA-L)
1. Diagnosis mioma uteri ditegakkan berdasarkan pemeriksaan USG;
2. Tanyakan pada pasien apakah menginginkan kehamilan;
3. Histeroskopi reseksi mioma uteri submukosum dilakukan terutama bila pasien
menginginkan kehamilan (Rekomendasi B).
a. Pilihan pertama untuk mioma uteri submukosum berukuran < 4 cm,
b. Pilihan kedua untuk mioma uteri submukosum derajat 0 atau 1
(Rekomendasi B),
c. Pilihan ketiga untuk mioma uteri submukosum derajat 2 (Rekomendasi
C).
4. Bila terdapat mioma uteri intra mural atau subserosum dapat dilakukan
penanganan sesuai PUA-E / O) (Rekomendasi C). Pembedahan dilakukan
bila respon pengobatan tidak cocok;
5. Bila pasien tidak menginginkan kehamilan dapat dilakukan pengobatan untuk
mengurangi perdarahan dan memperbaiki anemia (Rekomendasi B).
6. Bila respon pengobatan tidak cocok dapat dilakukan pembedahan. Embolisasi
arteri uterina merupakan alternatif tindakan pembedahan (Rekomendasi A).

21
D. Malignancy and hyperplasia (PUA-M)
1. Diagnosis hiperplasia endometrium atipik ditegakkan berdasarkan penilaian
histopatologi;
2. Tanyakan apakah pasien menginginkan kehamilan;
3. Jika pasien menginginkan kehamilan dapat dilakukan D & K dilanjutkan
pemberian progestin, analog GnRH atau LNG-IUS selama 6 bulan
(Rekomendasi C);
4. Bila pasien tidak menginginkan kehamilan tindakan histerektomi merupakan
pilihan (Rekomendasi C);
5. Biopsi endometrium diperlukan untuk pemeriksaan histologi pada akhir bulan
ke-6 pengobatan;
6. Jika keadaan hyperplasia atipik menetap, lakukan histerektomi.

E. Coagulopathy (PUA-C)
1. Terminologi koagulopati digunakan untuk kelainan hemostasis sistemik yang
terkait dengan PUA;

22
2. Penanganan multidisiplin diperlukan pada kasus ini
3. Pengobatan dengan asam traneksamat, progestin, kombinasi pil estrogen-
progestin dan LNG-IUS pada kasus ini memberikan hasil yang sama bila
dibandingkan dengan kelompok tanpa kelainan koagulasi;
4. Jika terdapat kontraindikasi terhadap asam traneksamat atau PKK dapat
diberikan LNG-IUS atau dilakukan pembedahan bergantung pada umur pasien
(Rekomendasi B)
5. Terapi spesifik seperti desmopressin dapat digunakan pada penyakit von
Willebrand (Rekomendasi C).

F. Ovulatory dysfunction (PUA-O)


1. Gangguan ovulasi merupakan salah satu penyebab PUA dengan manifestasi
klinik perdarahan yang sulit diramalkan dan jumlah darah yang bervariasi.
2. Pemeriksaan hormon tiroid dan prolaktin perlu dilakukan terutama pada
keadaan oligomenorea. Bila dijumpai hiperprolaktinemia yang disebabkan
oleh hipotiroid maka kondisi ini harus diterapi.
3. Pada perempuan umur > 45 tahun atau dengan risiko tinggi keganasan
endometrium perlu dilakukan pemeriksaan USG transvaginal dan
pengambilan sampel endometrium.

23
4. Bila tidak dijumpai faktor risiko untuk keganasan endometrium lakukan
penilaian apakah pasien menginginkan kehamilan atau tidak.
5. Bila menginginkan kehamilan dapat langsung mengikuti prosedur tata laksana
infertilitas.
6. Bila pasien tidak menginginkan kehamilan dapat diberikan terapi hormonal
dengan menilai ada atau tidaknya kontra indikasi terhadap PKK.
7. Bila tidak dijumpai kontra indikasi, dapat diberikan PKK selama 3 bulan
(rekomendasi A).
8. Bila dijumpai kontra indikasi pemberian PKK dapat diberikan preparat
progestin selama 14 hari, kemudian stop 14 hari. Hal ini diulang sampai 3
bulan siklus (rekomendasi A).
9. Setelah 3 bulan dilakukan evaluasi untuk menilai hasil pengobatan.
10. Bila keluhan berkurang pengobatan hormonal dapat dilanjutkan atau distop
sesuai keinginan pasien.
11. Bila keluhan tidak berkurang, lakukan pemberian PKK atau progestin dosis
tinggi (naikkan dosis setiap 2 hari sampai perdarahan berhenti atau dosis
maksimal). Perhatian terhadap kemungkinan munculnya efek samping seperti
sindrom pra haid. Lakukan pemeriksaan ulang dengan USG TV atau SIS
untuk menyingkirkan kemungkinan adanya polip endometrium atau mioma
uteri (rekomendasi A). Pertimbangkan tindakan kuretase untuk
menyingkirkan keganasan endometrium. Bila pengobatan medikamentosa
gagal, dapat dilakukan ablasi endometrium, reseksi mioma dengan
histeroskopi atau histerektomi. Tindakan ablasi endometrium pada perdarahan
uterus yang banyak dapat ditawarkan setelah memberikan informed consent
yang jelas pada pasien. Pada uterus dengan ukuran < 10 minggu.

24
G. E
ndometrial (PUA-E)
1. Perdarahan uterus abnormal yang terjadi pada perempuan dengan siklus haid
yang teratur .
2. Pemeriksaan fungsi tiroid dilakukan bila didapatkan gejala dan tanda
hipotiroid atau hipertiroid pada anamnesis dan pemeriksaan fisik

25
(rekomendasi C). Pemeriksaan USG transvaginal atau SIS terutama dapat
dilakukan untuk menilai kavum uteri (rekomendasi A).
3. Jika pasien memerlukan kontrasepsi lanjutkan ke G, jika tidak lanjutkan ke 4.
4. Asam traneksamat 3 x 1 g dan asam mefenamat 3 x 500 mg merupakan
pilihan lini pertama dalam tata laksana menoragia (rekomendasi A).
5. Lakukan observasi selama 3 siklus menstruasi.
6. Jika respons pengobatan tidak adekuat, lanjutkan ke
7. Nilai apakah terdapat kontra indikasi pemberian PKK.
8. PKK mampu mengurangi jumlah perdarahan dengan menekan pertumbuhan
endometrium. Dapat dimulai pada hari apa saja, selanjutnya pada hari pertama
siklus menstruasi (rekomendasi A).
9. Jika pasien memiliki kontra indikasi terhadap PKK maka dapat diberikan
preparat progestin siklik selama 14 hari diikuti dengan 14 hari tanpa obat.
(rekomendasi A) Kemudian diulang selama 3 siklus. Dapat ditawarkan
penggunaan LNG-IUS.
10. Jika setelah 3 bulan, respons pengobatan tidak adekuat dapat dilakukan
penilaian USG transvaginal atau SIS untuk menilai kavum uteri.
11. Jika dengan USG TV atau SIS didapatkan polip atau mioma submukosum
segera pertimbangkan untuk melakukan reseksi dengan histeroskopi
(rekomendasi B).
12. Jika hasil USG TV atau SIS didapatkan ketebalan endometrium > 10 mm,
lakukan pengambilan sampel endometrium untuk menyingkirkan hiperplasia
(rekomendasi B).
13. Jika terdapat adenomiosis dapat dilakukan pemeriksaan MRI, terapi dengan
progestin, LNG IUS, GnRHa atau histerektomi.
14. Jika hasil pemeriksaan USG TV dan SIS menunjukkan hasil normal atau
terdapat kelainan tetapi tidak dapat dilakukan terapi konservatif maka
dilakukan evaluasi terhadap fungsi reproduksinya.
15. Jika pasien sudah tidak menginginkan fungsi reproduksi dapat dilakukan
ablasi endometrium atau histerektomi. Jika pasien masih ingin

26
mempertahankan fungsi reproduksi anjurkan pasien untuk mencatat siklus
haidnya dengan baik dan memantau kadar Hb.

H. Iatrogenik (PUA-I)
H.1. Perdarahan karena efek samping PKK
1. Penanganan efek samping PUA-E disesuaikan dengan algoritma PUA-
E.

27
2. Perdarahan sela (breakthrough bleeding) dapat terjadi dalam 3 bulan
pertama atau setelah 3 bulan penggunaan PKK.
3. Jika perdarahan sela terjadi dalam 3 bulan pertama maka penggunaan
PKK dilanjutkan dengan mencatat siklus haid.
4. Jika pasien tidak ingin melanjutkan PKK atau perdarahan menetap > 3
bulan lanjutkan ke 5.
5. Lakukan pemeriksaan Chlamydia dan Neisseria (endometritis), bila
positif berikan doksisiklin 2 x 100 mg selama 10 hari. Yakinkan pasien
minum PKK secara teratur. Pertimbangkan untuk menaikkan dosis
estrogen. Jika usia pasien lebih dari 35 tahun dilakukan biopsi
endometrium
6. Jika perdarahan abnormal menetap lakukan TVS, SIS atau histeroskopi
untuk menyingkirkan kelainan saluran reproduksi.
7. Jika perdarahan sela terjadi setelah 3 bulan pertama penggunaan PKK,
lanjutkan ke 5.
8. Jika efek samping berupa amenorea lanjutkan ke 9.
9. Singkirkan kehamilan.
10. Jika tidak hamil, naikkan dosis estrogen atau lanjutkan pil yang sama.

28
.3. Perdarahan karena efek samping kontrasepsi progestin
1. Jika terdapat amenorea atau perdarahan bercak, lanjutkan ke 2.
2. Konseling bahwa kelainan ini merupakan hal biasa.
3. Jika efek samping berupa PUA-O, lanjutkan ke 4.
4. Jika usia pasien > 35 tahun dan memiliki risiko tinggi keganasan
endometrium, lanjutkan ke 5, jika tidak lanjutkan ke 6.
5. Biopsi endometrium.
6. Jika dalam 4-6 bulan pertama pemakaian kontrasepsi, lanjutkan ke 7.
Jika tidak lanjutkan ke 9.
7. Berikan 3 alternatif sebagai berikut :
a) Lanjutkan kontrasepsi progestin dengan dosis yang sama;
b) Ganti kontrasepsi dengan PKK (jika tidak ada kontra indikasi);
c) Suntik DMPA setiap 2 bulan (khusus akseptor DMPA).

29
8. Bila perdarahan tetap berlangsung setelah 6 bulan, lanjutkan ke 9
9. Berikan estrogen jangka pendek (EEK 4 x 1.25 mg / hari selama 7 hari)
yang dapat diulang jika perdarahan abnormal terjadi kembali.
Pertimbangkan pemilihan metoda kontrasepsi lain

.3. Perdarahan karena efek samping penggunaan AKDR


1. Jika pada pemeriksaan pelvik dijumpai rasa nyeri, lanjutkan ke 2.
2. Berikan doksisiklin 2x100 mg sehari selama 10 hari karena perdarahan
pada pengguna AKDR dapat disebabkan oleh endometritis. Jika tidak
ada perbaikan, pertimbangkan untuk mengangkat AKDR.
3. Jika tidak dijumpai rasa nyeri dan AKDR digunakan dalam 4-6 bulan
pertama, lanjutkan ke 4. Jika tidak, lanjutkan ke 5.
4. Lanjutkan penggunaan AKDR, jika perlu dapat ditambahkan AINS.
Jika setelah 6 bulan perdarahan tetap terjadi dan pasien ingin diobati,
lanjutkan ke 5.

30
5. Berikan PKK untuk 1 siklus.
6. Jika perdarahan abnormal menetap lakukan pengangkatan AKDR. Bila
usia pasien > 35 tahun lakukan biopsi endometrium.

31
6. P e m i l i h a n
NON-HORMONAL)
a) Asam Traneksamat
Obat ini bersifat inhibitor kompetitif pada aktivasi plasminogen. Plasminogen
akan diubah menjadi plasmin yang berfungsi untuk memecah fibrin menjadi fibrin
degradation products (FDPs). Oleh karena itu obat ini berfungsi sebagai agen anti

32
fibrinolitik. Obat ini akan menghambat faktor-faktor yang memicu terjadinya
pembekuan darah, namun tidak akan menimbulkan kejadian trombosis. Perdarahan
menstruasi melibatkan pencairan darah beku dari arteriol spiral endometrium, maka
pengurangan dari proses ini dipercaya sebagai mekanisme penurunan jumlah darah
mens. Efek samping : gangguan pencernaan, diare dan sakit kepala. Dosisnya untuk
perdarahan mens yang berat adalah 1g (2x500mg) dari awal perdarahan hingga 4 hari.

b) Obat anti inflamasi non steroid (AINS)


Kadar prostaglandin pada endometrium penderita gangguan haid akan meningkat.
AINS ditujukan untuk menghambat siklooksigenase, dan akan menurunkan sintesa
prostaglandin pada endometrium. Prostaglandin mempengaruhi reaktivitas jaringan
lokal dan terlibat dalam respon inflamasi, jalur nyeri, perdarahan uterus, dan kram
uterus. AINS dapat mengurangi jumlah darah haid hingga 20-50 persen. Pemberian
AINS dapat dimulai sejak perdarahan hari pertama atau sebelumnya hingga hingga
perdarahan yang banyak berhenti. Efek samping : gangguan pencernaan, diare,
perburukan asma pada penderita yang sensitif, ulkus peptikum hingga kemungkinan
terjadinya perdarahan dan peritonitis

33
.

7. Pemilihan obat-obatan pada perdarahan uterus abnormal (HORMONAL)


a. Estrogen
Sediaan ini digunakan pada kejadian perdarahan akut yang banyak.
Sediaan yang digunakan adalah EEK, dengan dosis 2.5 mg per oral 4x1 dalam
waktu 48 jam. Pemberian EEK dosis tinggi tersebut dapat disertai dengan
pemberian obat anti-emetik seperti promethazine 25 mg per oral atau intra
muskular setiap 4-6 jam sesuai dengan kebutuhan. Mekanisme kerja obat ini
belum jelas, kemungkinan aktivitasnya tidak terkait langsung dengan
endometrium. Obat ini bekerja untuk memicu vasospasme pembuluh kapiler

34
dengan cara mempengaruhi kadar fibrinogen, faktor IV, faktor X, proses
agregasi trombosit dan permeabilitas pembuluh kapiler. Pembentukan reseptor
progesteron akan meningkat sehingga diharapkan pengobatan selanjutnya
dengan menggunakan progestin akan lebih baik. Efek samping berupa gejala
akibat efek estrogen yang berlebihan seperti perdarahan uterus, mastodinia
dan retensi cairan.

b. PKK
Perdarahan haid berkurang pada penggunaan pil kontrasepsi kombinasi
akibat endometrium yang atrofi. Dosis yang dianjurkan pada saat perdarahan
akut adalah 4 x 1 tablet selama 4 hari, dilanjutkan dengan 3 x 1 tablet selama
3 hari, dilanjutkan dengan 2 x 1 tablet selama 2 hari, dan selanjutnya 1 x 1
tablet selama 3 minggu. Selanjutnya bebas pil selama 7 hari, kemudian
dilanjutkan dengan pemberian pil kontrasepsi kombinasi paling tidak selama 3
bulan. Apabila pengobatannya ditujukan untuk menghentikan haid, maka obat
tersebut dapat diberikan secara kontinyu, namun dianjurkan setiap 3-4 bulan
dapat dibuat perdarahan lucut. Efek samping dapat berupa perubahan mood,
sakit kepala, mual, retensi cairan, payudara tegang, deep vein thrombosis,
stroke dan serangan jantung.

c. Progestin
Obat ini akan bekerja menghambat penambahan reseptor estrogen serta
akan mengaktifkan enzim 17-hidroksi steroid dehidrogenase pada sel-sel
endometrium, sehingga estradiol akan dikonversi menjadi estron yang efek
biologisnya lebih rendah dibandingkan dengan estradiol. Meski demikian
penggunaan progestin yang lama dapat memicu efek anti mitotik yang
mengakibatkan terjadinya atrofi endometrium. Progestin dapat diberikan
secara siklik maupun kontinyu. Pemberian siklik diberikan selama 14 hari
kemudian stop selama 14 hari, begitu berulang-ulang tanpa memperhatikan
pola perdarahannya.

35
Apabila perdarahan terjadi pada saat sedang mengkonsumsi progestin,
maka dosis progestin dapat dinaikkan. Selanjutnya hitung hari pertama
perdarahan tadi sebagai hari pertama, dan selanjutnya progestin diminum
sampai hari ke 14. Pemberian progestin secara siklik dapat menggantikan
pemberian pil kontrasepsi kombinasi apabila terdapat kontra-indikasi
(misalkan : hipersensitivitas, kelainan pembekuan darah, riwayat stroke,
riwayat penyakit jantung koroner atau infark miokard, kecurigaan keganasan
payudara ataupun genital, riwayat penyakit kuning akibat kolestasis, kanker
hati). Sediaan progestin yang dapat diberikan antara lain MPA 1 x 10 mg,
noretisteron asetat dengan dosis 2-3 x 5 mg, didrogesteron 2 x 5 mg atau
nomegestrol asetat 1 x 5 mg selama 10 hari per siklus.
Apabila pasien mengalami perdarahan pada saat kunjungan, dosis
progestin dapat dinaikkan setiap 2 hari hingga perdarahan berhenti. Pemberian
dilanjutkan untuk 14 hari dan kemudian berhenti selama 14 hari, demikian
selanjutnya berganti-ganti. Pemberian progestin secara kontinyu dapat
dilakukan apabila tujuannya untuk membuat amenorea. Terdapat beberapa
pilihan, yaitu :
 pemberian progestin oral : MPA 10-20 mg per hari
 Pemberian DMPA setiap 12 minggu
 Penggunaan LNG IUS
Efek samping : peningkatan berat badan, perdarahan bercak, rasa begah,
payudara tegang, sakit kepala, jerawat dan timbul perasaan depresi

d. Androgen
Danazol adalah suatu sintetik isoxazol yang berasal dari turunan 17a-etinil
testosteron. Obat tersebut memiliki efek androgenik yang berfungsi untuk
menekan produksi estradiol dari ovarium, serta memiliki efek langsung
terhadap reseptor estrogen di endometrium dan di luar endometrium.
Pemberian dosis tinggi 200 mg atau lebih per hari dapat dipergunakan untuk
mengobati perdarahan menstrual hebat. Danazol dapat menurunkan hilangnya
darah menstruasi kurang lebih 50% bergantung dari dosisnya dan hasilnya

36
terbukti lebih efektif dibanding dengan AINS atau progestogen oral. Dengan
dosis lebih dari 400mg per hari dapat menyebabkan amenorea. Efek
sampingnya dialami oleh 75% pasien yakni: peningkatan berat badan, kulit
berminyak, jerawat, perubahan suara.

e. Agonis Gonadotropine Releasing Hormone (GnRH)


Obat ini bekerja dengan cara mengurangi konsentrasi reseptor GnRH pada
hipofisis melalui mekanisme down regulation terhadap reseptor dan efek
pasca reseptor, yang akan mengakibatkan hambatan pada pelepasan hormon
gonadotropin. Pemberian obat ini biasanya ditujukan pada wanita dengan
kontraindikasi untuk operasi. Obat ini dapat membuat penderita menjadi
amenorea. Dapat diberikan leuprolide acetate 3.75 mg intra muskular setiap 4
minggu, namun pemberiannya dianjurkan tidak lebih dari 6 bulan karena
terjadi percepatan demineralisasi tulang. Apabila pemberiannya melebihi 6
bulan, maka dapat diberikan tambahan terapi estrogen dan progestin dosis
rendah (add back therapy). Efek samping biasanya muncul pada penggunaan
jangka panjang, yakni: keluhan-keluhan mirip wanita menopause (misalkan
hot flushes, keringat yang bertambah, kekeringan vagina), osteoporosis
(terutama tulang-tulang trabekular apabila penggunaan GnRH agonist lebih
dari 6 bulan).

37
38
39
DAFTAR PUSTAKA

Munro MG, Critchley HO, Broder MS, Fraser IS. FIGO classification system (PALM-COEIN)
for causes of abnormal uterine bleeding in nongravid women of reproductive age.
International journal of gynaecology and obstetrics: the official organ of the International
Federation of Gynaecology and Obstetrics. 2011 Apr; 113(1): 3-13.

The Royal College of Obstetricians and Gynecologist. The management of heavy menstrual
bleeding ; Nice Guideline, 2007.

Marret H, Fauconnier A, Chabbert-Buffet N, Cravello L, Golfier F, Gondry J, et al. Clinical


practice guidelines on menorrhagia: management of abnormal uterine bleeding before
menopause. European journal of obstetrics, gynecology, and reproductive biology. 2008
Oct;152(2): 133-7.

Oehler MK, Rees MC. Menorrhagia: an update. Acta obstetricia et gynecologica Scandinavica.
2003 May;82(5): 405-22.

Schorge, Schaffer, Halvorson, Hoffman, Bradshow, Cunningham. (2008) Williams Gynecology.


McGraw-Hill : China.

40
41

Anda mungkin juga menyukai