Anda di halaman 1dari 11

PORTOFOLIO

DOKTER INTERNSIP

Topik
DOC ec HIPOGLIKEMI+LOW INTAKE

Penyusun
dr. Anisa Devianda Fidiandari

Narasumber
dr.Ardhi Bustami, Sp.PD

Pendamping
dr. Ifit Bagus A.
Portofolio
Nama Peserta : dr. Anisa Devianda Fidiandari
Nama Wahana : RS Prima Husada Malang
Topik :DOC ec Hipoglikemi+Low Intake Tanggal Kasus : 05/08/2022
Nama Pasien : Ny D, 67 tahun Nomor RM :
Tanggal Presentasi : Nama Pendamping : dr. Ifit Bagus A.

Tempat Presentasi :
Objek Presentasi :
Keilmuan Keterampilan Penyegaran Tinjauan Pustaka
Diagnostik Masalah Manajemen Istimewa
Neonatus Bayi Anak Remaja Dewasa Lansia Bumil
Deskripsi :
Tujuan :
Bahan Bahasan : Tinjauan Pustaka Riset Kasus Audit
Cara Membahas : Diskusi Presentasi dan Diskusi Email Pos
Data Pasien Nama Pasien : Ny D Nomor RM :
Nama Klinik : Terdaftar Sejak :
Data Utama untuk Bahan Diskusi
Keluhan utama : Penurunan Kesadaran
Riwayat penyakit sekarang :
Keluarga pasien mengatakan pasien tidak sadar sejak tadi subuh. Sebelumnya
pasien mengeluh sering menggigil dan kedinginan sejak 1 minggu ini. Setiap hari
pasien makan hanya sedikit. Demam(-) mual(-) muntah(-) BAK dan BAB normal.

Riwayat penyakit dahulu :


DM + terkontrol, HT -,jantung -
Riwayat Pengobatan:
Glimepirid

Riwayat faktor risiko dan keluarga :


Penyakit serupa di keluarga di sangkal.

Riwayat sosial :
Pasien bekerja sebagai ibu rumah tangga

Pemeriksaan Fisik:
Keadaan umum : Coma
Kesadaran :
GCS E1V1M1 = coma

Tanda – tanda vital


TD : 149/89
RR: 20
Nadi : 100
S :36
SpO2 : 98%
GDA awal datang 29 mg/dl post terapi 290 mg/dl

Status Generalis
Mata : Konjungtiva pucat -/- ; Sklera ikterik -/- ; Edema palpebra -/-
Leher : distensi vena jugular -/-; pembesaran KGB (-)
Jantung : Bunyi jantung I-II regular; murmur (-); gallop (-)
Paru : Suara nafas vesikuler menurun dikedua lapang paru; ronkhi -/- ;
wheezing -/-
Abdomen : Datar; soepel; nyeri tekan (-); defans muskular (-); hepar-lien tidak
teraba membesar; Bising usus (+) 5x/menit; Shifting dullness (-)
Ekstremitas : Akral dingin, kering; Edema ekstremitas (-); capillary refilling time
kurang dari 2 detik.

Pemeriksaan penunjang :
Laboratorium :
Laboratory Result Normal Value Laborat Result Normal Value
ory
P: 13,3 – 17,7
Hb 13,8 Ureum - 10-50 mg/dl
g/dL
Creatinin
RBC 4,72 4,0-6,5 /µL - 0.6-1.1 mg/dl
e
4.000-10.000
WBC 9.220 GDS - 29 mg/dL
cell/cmm
Hct 42,2% 40 – 54 % Swab
142.000- Antigen Negatif Negatif
PLT 17.600
424.000/µL Covid19
Eos/Bas/
0 / 1 / 36 / 2-4/0-1/50-70/ Total
Neu/ - 6,5 – 8,0 g/dL
45 / 18 25-40/2-8% Protein
Lymp/Mono
MCV 78 80 – 97 fl
Albumin - 3,5 – 5,2 g/dL
MCH 25,6 27 – 34 pg
CRP - <5 mg/L Globulin - 2,5 – 5,5 g/dL
SGOT 24 <43 U/L
SGPT 33 <43 U/L

Radiologi :
Kesan hasil foto rongten thorax AP pada pasien adalah :
 Cor : dalam batas normal
 Pulmo : tidak tampak infiltrate, nodul, massa. Trachea di tengah. Sinus dan
diafragma normal
Kesimpulan : Ro Thorax Normal

Diagnosis
Diagnosis Kerja : DOC ec Hipoglikemi+Low Intake
Diagnosis Banding :
 KAD dd KHONK

Tatalaksana IGD:
 IVFD Loading D40% 3 flash
 Inf D10% 24 tpm
 Inj omeprazole 40 mg iv
 Observasi keluhaN dan tanda vital
 Pro konsul dokter Spesialis penyakit dalam

Tatalaksana Ruangan :
 IVFd D10 20 tpm
 Cek gda per 4 jam
 Jika gda < 70 inj d40 2 flash
 Jika gda > 200 ivfd ganti NS
 Inj omeprazole 2x40 mg
Pembahasan :
Definisi
Hipoglikemia adalah suatu keadaan dimana kadar glukosa dalam darah mengalami
penurunan dibawah nilai normal dan merupakan kondisi klinik yang membutuhkan
penanganan yang bersifat emergensi (1). Batasan ―kadar glukosa darah rendah‖
untuk menetapkan seseorang mengalami hipoglikemia sangat bervariasi. American
Diabetes Association (ADA 2005) menggunakan batasan 70 mg/dl atau kurang,
sedangkan European Medicine agency (EMA 2010) menggunakan patokan
hipoglikemia bila kadar glukosa darah kurang dari 54 mg/dl. Penyebab terjadinya
hipoglikemia adalah multi faktorial, penyebab utama adalah iatrogenik (pemberian obat-
obatan pada pasien diabetes melitus), penyakit infeksi yang disertai sepsis, tumor,
stres, defisiensi hormon dan penyakit autoimmun. Penyebab lain yang sering
ditemukan adalah asupan makanan yang tidak adekuat, konsumsi alkohol yang
berkepanjangan, interaksi obat, penyakit kronik pada hati dan ginjal.
Hipoglikemia juga sering ditemukan pada usia lanjut dan usia neonates. Hipoglikemia
dapat terjadi pada pasien diabetes melitus dan disebut iatrogenic hypoglycemia,
sedangkan hipoglikemia yang terjadi pada pasien non-diabetes disebut hipoglikemia
spontan. Tata cara diagnosis hipoglikemia spontan relatif sulit dan memerlukan
serangkaian pemeriksaan laboratorium yang rumit untuk menentukan secara pasti
penyebab terjadinya hipoglikemia. Sedangkan pada pasien diabetes melitus penyebab
utama terjadinya hipoglikemia adalah pemberian terapi insulin dan atau obat yang
merangsang peningkatan sekresi insulin pankreas (insulin secretogouge).
Etiologi
Hipoglikemia pada pasien DM tipe 2 awalnya dari Diabetes melitus tipe 2 yang
merupakan penyakit kronik yang bersifat progresif yang ditandai peningkatan kadar
glukosa dalam darah (hiperglikemia) dan terjadi akibat adanya kelainan yang multipel
diantaranya gangguan sekresi insulin pankreas, peningkatan produksi glukosa hati,
hiperglukagonemia dan terjadinya resistensi insulin pada jaringan perifer (24,25).
Hingga saat ini terdapat berbagai macam obat yang secara farmakologis yang dapat
digunakan sebagai modalitas terapi untuk mengontrol glukosa darah pada penderita
DM tipe 2 baik yang diberikan secara oral maupun melalui suntikan. Golongan obat oral
anti diabetes yaitu biguanide (metformin), sulfonilurea, meglitinide, alfa-glukosidase
inhibitor (acarbose), derivat thiozolidindion, dipeptidil peptidase 4 (DPP4) inhibitor,
serum glucosidase co-transporters 2 (SGLT2) inhibitor, colesevelam dan bromokriptin.
Sedangkan golongan anti diabetes yang pemberiannya melalui suntikan adalah insulin,
glucagon-like peptide 1 receptor agonist (GLP-1 RA) dan amylin mimetic (Pramlitides).
Insulin dan golongan anti diabetes oral dengan mekanisme kerja merangsang sekresi
insulin pankreas dapat menimbulkan risiko hipoglikemia yang dapat membahayakan
kelangsungan hidup pasien DM tipe 2. Risiko hipoglikemia juga meningkat bila
dilakukan terapi kombinasi 2 atau tiga macam obat dengan mekanisme kerja yang
berbeda, walaupun obat-obatan tersebut tidak merangsang sekresi insulin pancreas
Patofisiologi
Glukosa adalah sumber energi utama tubuh, oleh karena itu dalam menjalankan fungsi
fisiologis dari organ-organ tubuh, maka tubuh harus mempertahankan kadar glukosa
darah dalam batas-batas normal. Glukosa darah berasal dari karbohidrat yang dimakan
dan produksi glukosa endogen. Jenis-jenis makanan yang mengandung banyak
karbohidrat diantaranya: nasi, kentang, roti, tepung, susu, cokelat, buah-buahan dan
berbagai jenis makanan manis lainnya. Pengaturan kadar glukosa darah akan
melibatkan berbagai hormon dan neuropeptida yang pada umumnya dihasilkan oleh
otak, pankreas, saluran cerna dan juga jaringan lemak serta otot. Organ utama yang
mengatur regulasi glukosa darah adalah pankreas yang terletak dibelakang lambung
pada bagian kiri atas dari kavum abdominalis. Pankreas mempunyai fungsi eksokrin
dan endokrin. Fungsi eksokrin pankreas dilakukan oleh sel acinar yang melepaskan
ensim-ensim pencernaan seperti amilase, lipase dan tripsinogen kedalam duktus
pankreatikus dan selanjutnya ke duodenum. Sedangkan fungsi endokrin dilakukan oleh
pulau–pulau Langerhans, suatu struktur yang berbentuk pulau-pulau kecil dan terletak
didalam sel-sel eksokrin dan jumlahnya hanya sekitar 1-2% dari volume total pankreas
dengan melepaskan hormon-hormon secara langsung ke dalam darah. Terdapat lima
jenis hormon yang dihasilkan oleh pankreas yaitu: sel α yang mengsekresikan
glukagon, sel β menghasilkan insulin dan C-peptida, sel γ menghasilkan polipeptida, sel
δ menghasilkan somatostatin dan hormon ghrelin dihasilkan oleh sel ε. Diantara
hormon-hormon yang dihasilkan oleh pankreas, maka insulin dan glukagon merupakan
regulator utama yang mengatur dan mempertahankan kadar glukosa darah dalam
batas-batas normal yaitu sekitar 4-6 mmol/dl atau sekitar 72-108 mg/dl. Kedua hormon
ini bekerja saling berlawanan. Insulin berfungsi menurunkan kadar glukosa darah
sebaliknya glukagon akan meningkatkan kadar glukosa darah .
Insulin suatu hormon anabolik, menekan produksi glukosa hati, meningkatkan ambilan
(uptake) glukosa pada otot dan jaringan lemak serta meningkatkan pembentukan
protein dan lemak, sedangkan glukagon adalah hormon katabolik dan berfungsi untuk
meningkatkan produksi glukosa pada hati. Fungsi utama dari kedua hormon tersebut
adalah:
1. Glikogenolisis. Adalah proses sintesis dan pemecahan glikogen. Glikogen, suatu
cadangan karbohidrat tubuh siap pakai. Glikogen umumnya terdapat pada hati dan
jaringan otot. Proses pemecahan glikogen dihati akan dapat memenuhi kebutuhan
glukosa seluruh jaringan tubuh, sebaliknya proses pemecahan glikogen di otot akan
menyebabkan pembentukan asam laktat.
2. Glukoneogenesis. Adalah proses pembentukan glukosa pada hati. Prekusor dari
proses glukoneogenesis tersebut adalah gliserol, asam laktat dan asam amino
(terutama alanin). Glukoneogenesis juga dapat terjadi pada organ ginjal, namun
glukoneogenesis yang terjadi pada ginjal tersebut tidak memegang peranan penting
pada kondisi fisiologis.
3. Glikolisis. Adalah proses uptake (ambilan) dan metabolisme glukosa oleh otot dan
jaringan lemak. Efek metabolik dari insulin dan glukagon inilah yang dapat menjelaskan
kenapa kadar glukosa darah seseorang tetap stabil dalam kisaran yang normal dan
tidak terjadi hipoglikemia walaupun orang itu dalam keadaan puasa serta tidak terjadi
lonjakan glukosa darah (hiperglikemia) setelah makan.

Dalam keadaan puasa/tidak makan, maka kadar insulin akan menurun dan kadar
glukagon akan mengalami peningkatan, akibatnya akan terjadi penurunan ambilan
glukosa pada jaringan perifer (otot dan jaringan lemak) dan peningkatan glikogenolisis
di jaringan perifer serta peningkatan produksi glukosa di hati. Pemenuhan kebutuhan
glukosa darah yang normal akan dilakukan melalui proses glikogenolisis dan
glukoneogenesis sehingga kebutuhan energi tidak diperoleh dari asupan glukosa dari
luar tubuh, namun melalui produksi glukosa endogen. Bila seseorang berpuasa dalam
waktu singkat (misalnya puasa semalaman), maka untuk menjaga agar kadar glukosa
darah tetap berada pada kisaran nilai normal dibutuhkan produksi glukosa endogen
sebesar 5-6 gram/jam yang diperoleh melalui proses glikogenolisis sebesar 60-80%
dan 20-40% sisanya diperoleh melalui proses glukoneogenesis. Bila seseorang
berpuasa dalam jangka waktu yang lama, maka jumlah glikogen tubuh akan mengalami
penurunan dan kebutuhan produksi glukosa endogen sebagian besar akan diperoleh
melalui proses glukoneogenesis di hati. Dalam keadaan puasa yang ekstrim dan
berkepanjangan proses, glukoneogenesis pada ginjal dapat membantu pemenuhan
produksi glukosa endogen hingga 45%.
Dengan demikian proses glikogenolisis akan berperan dalam pemenuhan kebutuhan
energi untuk jangka waktu singkat (emergency), sedangkan proses glukoneogenesis
akan berperan untuk pemenuhan kebutuhan energi dalam keadaan puasa yang
berkepanjangan. Bila seseorang makan, maka akan terjadi peningkatan kadar glukosa
dalam darah yang selanjutnya akan merangsang peningkatan sekresi insulin dan
menekan produksi glukagon pankreas. Perubahan keseimbangan hormon insulin dan
glukagon yang terjadi setelah makan ini akan menyebabkan terjadinya peningkatan
ambilan glukosa pada jaringan perifer, penurunan produksi glukosa endogen dan
peningkatan cadangan glikogen. Bila jumlah makanan yang dikonsumsi berlebih, maka
kelebihan tersebut akan disimpan dalam bentuk glikogen, protein dan jaringan lemak
sebagai cadangan energy.
Gejala dan Tanda
Hipoglikemia akan menyebabkan gejala dan keluhan yang berlangsung progresif ,
mulai gejala yang ringan dan tidak khas seperti penglihatan kabur, penurunan daya
konsentrasi, perasaan lemas, pusing dan sakit kepala sampai terjadinya kejang-kejang,
penurunan kesadaran dan bahkan kematian. Gejala-gejala yang timbul tersebut
dipengaruhi oleh berat dan lamanya hipoglikemia. Gejala-gejala dan keluhan
hipoglikemia dikelompokkan atas gejala neurogenik/autonomik dan gejala
neuroglikopenik. Gejala neurogenik/autonomik berupa terjadinya perubahan persepsi
psikologis oleh karena keadaan hipoglikemia akan merangsang sistim simpato-adrenal
(aktivasi sistim saraf otonom).
Gejala neurogenik/autonomik akan terjadi bila konsentrasi/kadar glukosa darah
mencapai sekitar 60 mg/dl. Sedangkan gejala neuroglikopenik akan dialami bila kadar
glukosa darah mencapai sekitar 50 mg/dl atau lebih rendah dan terjadi akibat
berkurangnya suplai glukosa ke otak. Gejala neurogenik sendiri dikelompokkan dalam
dua kelompok: 1. Gejala adrenergik berupa palpitasi, tahikardia, gelisah, kecemasan
dan tremor. 2. Gejala kolinergik berupa keringat yang berlebihan, pucat, teraba hangat,
parastesi, mual perasaan lapar yang berlebihan. Sedangkan gejala neuroglikopenik
bervariasi mulai dari perasaan lemas, pusing, sakit kepala, perubahan perilaku,
kebingungan, penurunan fungsi kognitif, kejang-kejang sampai penurunan kesadaran
dan koma. Hipoglikemia berat yang berlangsung berkepanjangan dapat menyebabkan
kematian dan kerusakan otak permanen Konsensus PERKENI tahun 2015
mengelompokkan gejala dan tanda hipoglikemik sebagai tanda dan gejala autonomik
dan neuroglikopenik.
Pemeriksaan Penunjang dan Diagnosis

Pemeriksaan penunjang awal yang dilakukan untuk menegakkan trias Whipple pada
diagnosis hipoglikemia adalah kadar glukosa darah. Kadar Glukosa Darah
Kadar glukosa darah ≤ 70 mg/dL merupakan suatu nilai waspada hipoglikemia
sebagaimana direkomendasikan menurut klasifikasi hipoglikemia oleh International
Hypoglycemia Study Group (IHSG). Ini merupakan ambang batas perlunya pemberian
karbohidrat kerja cepat dan penyesuaian dosis terapi penurun glukosa darah pada
pasien dengan DM. Kemudian,  kadar glukosa darah < 54 mg/dL menggambarkan
suatu hipoglikemia yang bermakna secara klinis. Apabila hipoglikemia disertai dengan
suatu gangguan kognitif berat yang memerlukan bantuan orang lain untuk pemulihan
gejala, maka ini dikenal dengan sebutan hipoglikemia berat. 

Periode terbaik melakukan pemeriksaan  kadar glukosa darah adalah ketika gejala
hipoglikemia mulai muncul pada pasien. Apabila kadar glukosa darah normal, maka
peluang gejala yang bermanifestasi pada pasien disebabkan oleh hipoglikemia sangat
kecil. Jika  kadar glukosa darah rendah dan gejala membaik ketika kadar glukosa
meningkat pasca pemberian tata laksana, hal tersebut mengkonfirmasi hipoglikemia
sebagai penyebab gejala yang ada. Namun, jika penyebab hipoglikemia masih belum
jelas, pemeriksaan penunjang lainnya seperti kadar insulin plasma, peptida C,
proinsulin, dan kadar beta hidroksibutirat perlu dipertimbangkan. Ini terutama
disarankan pada individu hipoglikemik tanpa disertai penyakit penyerta dan
komorbiditas serta faktor risiko hipoglikemia sebelumnya.

Diagnosis Banding
Pada penatalaksanaan hipoglikemia, diagnosis banding diarahkan pada penyebab
dasar hipoglikemia. Apabila pasien sebelumnya tidak memiliki riwayat hipoglikemia
maupun penyakit penyerta yang berkaitan dengan hipoglikemia, maka kemungkinan
diagnosis bandingnya mencakup hipoglikemia insidental, hipoglikemia yang
disamarkan, maupun hipoglikemia akibat hiperinsulinisme eksogen.
Hipoglikemia Insidental
Hipoglikemia insidental biasanya terjadi akibat perubahan regimen terapi yang tidak
diketahui sebelumnya (contoh: penggantian sulfonilurea menjadi obat diabetes oral
golongan lain) maupun kesalahan dalam pemberian dosis insulin.
Hipoglikemia Disamarkan
Hipoglikemia yang disamarkan artinya hipoglikemia yang sengaja dirahasiakan oleh
pasien dari tenaga medis. Hal tersebut biasanya terjadi pada individu yang memiliki
pemahaman yang sangat fasih tentang penggunaan obat-obatan penurun kadar
glukosa darah.
Hiperinsulinemia Eksogen
Hiperinsulinisme eksogen biasanya terjadi pada pasien yang mendapat pemberian
insulin atau sekretagog insulin tanpa adanya riwayat diabetes.
Penyakit Lain yang Mendasari
Di sisi lain, pada individu dengan penyakit penyerta seperti diabetes mellitus, gagal
ginjal, gagal jantung, maupun defisiensi hormon, diagnosis banding penyebab
hipoglikemia biasanya lebih sulit diidentifikasi. Hal ini disebabkan oleh kemungkinan
adanya kaitan antara satu penyakit dengan entitas penyakit lainnya yang membuat
identifikasi penyebab hipoglikemia menjadi kompleks. Sebagai contoh, agak sulit
membedakan penyebab pasti hipoglikemia pada pasien diabetes mellitus tipe 2 (T2DM)
disertai komorbiditas berupa gagal ginjal kronik yang mendapat terapi insulin.
Namun, secara umum, obat-obatan dan senyawa lainnya yang berpengaruh pada
metabolisme glukosa merupakan penyebab tersering hipoglikemia. Selain insulin dan
sekretagognya, sejumlah bukti ilmiah melaporkan adanya kaitan antara penggunaan
gatifloxacin, quinine, glucagon, pentamidine, artesunate, dan litium. Risiko ini terutama
meningkat pada pasien yang dirawat di RS akibat kesalahan dalam sistem. Kealpaan
dalam menyamakan daftar instruksi pemberian obat di rawat inap dengan daftar obat
sebelum saat pasien di unit gawat darurat, frekuensi transfer antar unit rawat yang
berbeda yang tinggi, pemindahan pasien untuk prosedur bedah maupun radiologis
yang sering, serta penggunaan skala luncur insulin yang tidak tepat dapat berkontribusi
pada kejadian hipoglikemia imbas obat di RS.
Tatalaksana
Berbagai rekomendasi tentang terapi hipoglikemia pada pasien diabetes telah
dikemukakan. Pada umumnya rekomendasi tersebut disesuaikan dengan kadar
glukosa darah dan tingkat kesadaran pasien. Penatalaksanaan hipoglikemia pada
dewasa dapat dibedakan sesuai derajat hipoglikemia.

Hipoglikemia Ringan-Sedang
Pemberian karbohidrat sebanyak 15 gram dalam bentuk tablet atau larutan glukosa
maupun sukrosa diperlukan sebagai pertolongan pertama hipoglikemia ringan hingga
sedang pada orang dewasa. Terapi awal ini cukup untuk memicu kenaikan glukosa
darah hingga 38 mg/dL dalam 20 menit dan perbaikan gejala pada sebagian besar
individu dengan hipoglikemia ringan-sedang. Pilihan rejimen terapi awal lainnya seperti
susu dan jus jeruk kurang cepat dalam menaikkan  kadar glukosa darah dan
memperbaiki gejala.
Apabila pasien memiliki riwayat DM, pengukuran kadar glukosa dilakukan dalam 15
menit sejak pemberian terapi glukosa awal. Jika kadar glukosa darah masih di bawah
70 mg/dL, pemberian 15 gram glukosa atau sukrosa dapat diulang. Apabila tablet
glukosa tidak tersedia, sediaan karbohidrat 15 gram oral lainnya yang ekivalen adalah
15 mL gula pasir yang dilarutkan dalam air, 5 kubus kecil gula, dan 15 mL madu. [1,35]
Hipoglikemia Berat
Apabila pasien mengalami hipoglikemia berat namun masih sadar penuh dan memiliki
riwayat diabetes, pemberian karbohidrat oral 20 gram dilakukan dalam bentuk glukosa
tablet dan sediaan lain yang ekivalen.  kadar glukosa darah kemudian diperiksa dalam
kurun waktu 15 menit setelah pemberian terapi glukosa awal. Pemberian glukosa 15
gram dapat diulang apabila kadar glukosa darah masih < 70 md/dL. 
Jika pasien mengalami hipoglikemia berat dan tidak sadarkan diri, pemberian 10-25
gram glukosa atau 20-50 mL dekstrosa 50% dalam air (D50W) dapat diberikan secara
intravena selama 1-3 menit apabila pasien memiliki akses intravena. Jika pasien tidak
memiliki akses intravena, 1 mg glukagon dapat diberikan secara subkutan atau
intramuskular. Pedoman klinis di Amerika Serikat dan Kanada menyarankan agar
pasien dengan DM dan keluarga yang merawat memiliki sediaan glukagon serta
mampu memberikan obat tersebut sesuai indikasi. Namun, sediaan glukagon saat ini
belum tersedia di Indonesia dan bahkan di negara maju harganya masih sangat mahal.
Jika Hipoglikemia telah Teratasi
Apabila hipoglikemia telah teratasi, pasien harus mendapatkan makanan atau kudapan
yang semestinya dia dapatkan sesuai jadwal makan harian guna mencegah
hipoglikemia berulang. Apabila jadwal makan lebih dari 1 jam sejak kejadian
hipoglikemia, kudapan (termasuk karbohidrat 15 gram dan protein) perlu diberikan bagi
pasien. 

Pencegahan
1. Periksa kadar gula secara teratur
2. Makan secara teratur sesuai aktifitas
3. Kenali gejala hipoglikemia yang muncul
Prognosis

Tanpa memandang status diabetes melitus pada diri suatu individu, prognosis
hipoglikemia kurang baik sebab berkaitan langsung dengan peningkatan risiko
kematian secara umum maupun yang terkait dengan luaran kardiovaskuler.

Daftar Pustaka
1. Roder PV, Wu B, Liu Y, Han W. Pancreatic regulation of glucose hoemostasis. Exp
Mol. Med 2017; 46:e219
2. Chandra R, Liddle AR. Neural and hormonal regulation of pancreatic secretion. Curr
Opin Gastroenterol 2018; 25 (5): 441–446.
3. Brissova M, Fowler MJ, Nicholson WE, Chu A et al. Assessment of human pancreatic
islet architecture and composition by laser scanning confocal microscopy. J Histochem
Cytochem 2020; 53:1087–1097.
4. Wierup N, Svensson H, Mulder H, Sundler F. The ghrelin cell: a novel
developmentally regulated islet cell in the human pancreas. Regul Pept 2019; 107: 63–
69.
5. Macdonald IA, King P. Normal Glucose metabolism and responses to
hypoglycaemia. In Hypoglycaemia in Clinical Diabetes. Frier MB,Heller RS, McCrimmon
JR (eds). 3rd Ed. 1-22, 2017.
6. Drucker DJ. The role of gut hormone in glucose hoemostasis. J Clin Invest 2020;117:
24-32.
Pendamping 1

dr. Ifit Bagus A.

Anda mungkin juga menyukai