Anda di halaman 1dari 46

BAB I

PENDAHULUAN

Nyeri kronik merupakan masalah umum yang tersebar luas di dunia. Survei yang
dilakukan World Health Organization (WHO) terhadap pasien di pelayanan kesehatan
tingkat pertama pada 14 negara di Asia, Afrika, Eropa, dan Amerika menemukan bahwa
22% pasien melaporkan nyeri kronik. Prevalensi nyeri kronik meningkat sesuai usia dan
lebih sering dialami wanita daripada pria.1

Nyeri muskuloskeletal dapat menurunkan kualitas hidup dan meningkatkan


penggunaan pelayanan kesehatan. Namun, banyak pasien dengan penyakit reumatik yang
tidak mendapat terapi nyeri secara efektif. Survei nyeri terhadap sekitar 46.000 individu
pada 15 negara Eropa dan Israel menunjukkan bahwa hampir 1 dari 5 pasien menderita
nyeri kronik dengan skala nyeri lebih dari 5. Nyeri disebabkan oleh artritis reumatoid dan
osteoartritis pada 42% responden, sementara nyeri karena kanker hanya dilaporkan 1%.
Secara keseluruhan, 40% responden tidak puas dengan kontrol nyerinya dan 38% kurang
puas dengan dokternya. Sampai 40% responden mengatakan bahwa mereka yakin dokter
lebih cenderung mengobati penyakitnya daripada rasa nyeri, 20% yakin dokter tidak
melihat nyeri sebagai masalah, dan 30% yakin dokter tidak tahu bagaimana cara
mengontrol nyeri.2

Selama ribuan tahun, opioid dipandang sebagai salah satu obat yang paling efektif
untuk mengatasi nyeri. Obat ini berperan utama dalam terapi nyeri derajat sedang sampai
berat terkait kanker atau penyakit medis berat lainnya. Oleh karena itu, muncul pemikiran
apakah pasien dengan nyeri kronik non kanker juga bisa mendapat manfaat dari terapi
opioid.3 Sampai akhir tahun 1990an sebenarnya penggunaan terapi opioid jangka panjang
untuk nyeri kronik non kanker dilarang di mayoritas negara bagian Amerika Serikat.
Kemudian berdasarkan laporan beberapa seri kasus, ditemukan bahwa pasien dengan
nyeri kronik non kanker yang diseleksi baik dapat menggunakan opioid jangka panjang
secara aman dan hanya sedikit masalah serius daripada perkiraan sebelumnya.4

1
Penggunaan opioid cenderung meningkat di seluruh dunia walaupun bervariasi
sesuai wilayah geografis. Penggunaan opioid kuat lebih banyak di Amerika Utara
dibanding negara maju lain. Hal ini sebagian karena respon terhadap undertreatment bagi
pasien dengan kanker, perawatan paliatif, maupun nyeri akut. Namun, terapi opioid untuk
nyeri muskuloskeletal kronik juga meningkat.5 Pada satu survei besar di Amerika Serikat,
proporsi kunjungan praktek dokter untuk nyeri kronik muskuloskeletal dengan peresepan
opioid naik dua kali lipat dari 8% tahun 1980 menjadi 16% tahun 2000.6

WHO berkomitmen dalam mengembangkan kebebasan maksimal dari nyeri untuk


setiap pasien dengan terapi opioid melalui Access to Controlled Medication Program dan
sedang merevisi “analgesic ladder” menurut ilmu farmakologi baru dan terapi ajuvan.2
Kongres Amerika Serikat mendeklarasikan “Decade of Pain Control and Research”
mulai tahun 2001.6 Pada tahun 2000, Joint of Commission on Accreditation of Healthcare
Organizations (JCAHO) mempublikasikan standar manajemen nyeri pada fasilitas
kesehatan rawat inap dan rawat jalan dengan perhatian khususnya akan hak pasien untuk
terbebas dari nyeri dan diakuinya skrining nyeri sebagai tanda vital kelima. Hal ini
ditambah juga oleh banyaknya dokter dan organisasi yang mendukung penggunaan opioid
untuk terapi nyeri kronik non kanker serta pemasaran agresif oleh industri farmasi.4,7

Penggunaan opioid untuk nyeri kronik non kanker, bagaimanapun juga, tidak
menunjukkan hasil yang pasti. Beberapa pasien tidak mengalami perbaikan signifikan
dalam nyeri atau fungsi, bahkan dengan opioid dosis tinggi. Sampai 50% pasien opioid-
naive yang diberi opioid kuat melaporkan tidak ada perubahan, malah mengalami
perburukan, dari nyeri kroniknya. Efek samping sering terjadi pada pasien yang diberikan
opioid untuk nyeri kronik non kanker. Sekitar 50% pasien yang dirandomisasi untuk
opioid melaporkan efek samping dan hampir 25% mengundurkan diri karena efek
samping.6

Epidemi global dari nyeri kronik, terapi opioid, dan fatalitas terkait opioid
menjadi isu penting. Penggunaan eksplosif dari opioid terapeutik diikuti oleh peningkatan
efek samping dan mortalitas (Gambar 1).8 Pada kelompok yang paling berisiko tinggi
(35-54 tahun), kematian akibat peresepan opioid telah melampaui kematian akibat
kecelakaan kendaraan bermotor dan senjata api.4 Selain itu, penyalahgunaan opioid terus
meningkat pada kecepatan yang mengkhawatirkan sejak tahun 1990an.7

2
Gambar 1. Grafik penjualan, perawatan rumah sakit, dan overdosis dari opioid pain
reliever (OPR) di Amerika Serikat tahun 1999-20108

Publikasi New England Journal of Medicine tahun 2015 menunjukkan hasil yang
cukup melegakan, di mana penyalahgunaan obat opioid yang meningkat antara tahun
2002 dan 2010 tampaknya mulai mengalami plateau sampai menurun antara tahun 2011
dan 2013. Temuan ini menunjukkan bahwa Amerika Serikat mulai menunjukkan
kemajuan dalam kontrol penyalahgunaan analgesik opioid.9

Jadi, walaupun terapi opioid untuk nyeri kronik pada kanker sudah diakui secara
umum, penggunaannya untuk nyeri kronik non kanker tetap kontroversial. Konsensus dari
spesialis nyeri untuk menjadikan opioid sebagai pilihan terapi nyeri derajat sedang
sampai berat dapat dipertimbangkan, namun yang menjadi perhatian adalah pendulum
telah mengayun dari undertreatment ke overtreatment. Pada kondisi ini, sebaiknya fokus
diskusi tentang terapi opioid berpindah dari “too little or too much” kepada penetapan dan
pelatihan terapi yang terbaik untuk pasien.3

3
BAB II

PATOFISIOLOGI NYERI

Definisi

Nyeri didefinisikan oleh International Association for the Study of Pain (IASP) sebagai
pengalaman tidak menyenangkan baik sensoris maupun emosional yang berhubungan
dengan kerusakan jaringan aktual atau potensial. Menurut IASP, nyeri disebut kronik bila
nyeri menetap lebih dari waktu normal penyembuhan jaringan yang diasumsikan terjadi
dalam tiga bulan.6

Tipe nyeri

Dari sudut pandang klinis, klasifikasi nyeri sebagai akut atau kronik sangat penting
karena diagnosis banding, asesmen, terapi, dan prognosisnya berbeda. Nyeri akut
merupakan respon pertahanan tubuh terhadap cedera jaringan atau proses penyakit yang
akan menghilang seiring adanya penyembuhan. Sebaliknya, nyeri kronik tidak
mempunyai peran fungsional dan tidak menghilang dengan perbaikan cedera jaringan.
Nyeri kronik persisten setelah cedera sembuh tidak bermanfaat, malah justru dapat
menyebabkan penurunan kesehatan fisik dan mental.10,11 Pada nyeri akut, pasien dapat
mendeskripsikan dengan jelas onset dan situasi yang berhubungan, misalnya trauma.
Biasanya nyeri akut juga memiliki sumber yang dapat diidentifikasi dan dilokalisir
(contoh: insisi bedah, luka bakar, fraktur), serta berespon baik terhadap analgesik dan
istirahat. Ketika nyeri menjadi kronik, pasien menjadi lebih sulit dalam mendeskripsikan
onset dan karakter nyeri secara tepat. Nyeri akut mencetuskan respon sistem saraf otonom
berupa takikardi, peningkatan tekanan darah, ansietas, dan perilaku stereotipik (menarik
diri, menggosok, atau menyeringai), sedangkan nyeri kronik tidak mencetuskan
overaktivitas otonom, namun menyebabkan disfungsi fisik, ansietas, depresi, dan
perubahan kepribadian sehingga kualitas hidup menurun.10

Pada beberapa pasien, nyeri menjadi kronik karena kondisi patologis yang
mendasarinya bersifat kronik, contoh : artritis reumatoid, osteoartritis, penyakit sendi
degeneratif, fraktur osteoporotik, dan spondilitis ankilosa. Nyeri kronik terkait penyakit

4
muskuloskeletal merupakan kombinasi nyeri kronik persisten dengan eksaserbasi akut
intermiten. Nyeri biasanya berhubungan dengan pergerakan (nyeri insiden), tekanan
(hiperalgesia atau nyeri tekan), maupun sentuhan ringan (allodinia).10,12

Dari gambar 2, dapat dilihat bahwa dalam nyeri kronik terdapat peran nosiseptif,
neuropatik, psikogenik yang bisa saling berkaitan satu sama lain dan perlu dikaji dan
ditatakelola secara komprehensif untuk perbaikan yang nyata bagi pasien.10

Gambar 2. Mekanisme nyeri kronik10

Nyeri nosiseptif disebabkan oleh stimulasi reseptor nyeri terus-menerus akibat


kerusakan jaringan, sedangkan nyeri neuropatik berhubungan dengan cedera yang terjadi
pada sistem saraf baik perifer maupun sentral. Peran sitokin dan mediator inflamasi sudah
diketahui dengan jelas pada nyeri nosiseptif seperti artritis, namun data baru
menunjukkan bahwa ternyata ada peran serupa dalam nyeri neuropatik yang berhubungan
dengan sensitisasi sentral jalur saraf setelah cedera perifer.3 Kelainan muskuloskeletal
sering memiliki mekanisme nyeri nosiseptif maupun neuropatik. Sebagai contoh,
penyakit diskus intervertebralis dapat memiliki nyeri nosiseptif mekanik pada bagian
posterior vertebra dan nyeri neuropatik radikular karena kompresi akar saraf.2

Nyeri neuropatik dapat berupa hiperalgesia maupun allodinia. Hiperalgesia adalah


rasa nyeri dengan intensitas yang lebih tinggi dari stimulasi termal yang berbahaya
(hiperalgesia termal) atau stimulasi mekanik yang berbahaya (hiperalgesia mekanik).
Sedangkan allodinia adalah rasa nyeri akibat stimulus yang normalnya berada di bawah
ambang nyeri. Pada allodinia, menyentuh kulit dengan sikat lembut saja dapat
menyebabkan rasa nyeri yang intens.12

5
Pada nyeri kronik, aspek psikogenik juga perlu diperhatikan selain faktor
nosiseptif dan neuropatik. Nyeri kronik jarang mempunyai penyebab murni dari
psikogenik, namun aspek ini harus diidentifikasi untuk mencegah evaluasi dan terapi
yang tidak perlu. Selain itu, kebanyakan pasien dengan nyeri kronik akan timbul ansietas
dan depresi yang memerlukan deteksi dan terapi. Istilah sindrom nyeri kronik perlu
dibedakan dari nyeri kronik. Sindrom nyeri kronik merupakan kondisi nyeri yang tidak
proporsional dengan penyakit dasar atau bahkan tidak memiliki proses fisik patologis
yang bisa diidentifikasi.10 Berlawanan dengan nyeri kronik, pada sindrom nyeri kronik
terdapat pengaruh psikologis dan sosioekonomik yang dapat dikenali dan memberikan
pola perilaku spesifik. Kondisi ini pada beberapa kasus dapat jelas dibedakan, namun
pada kondisi lain bisa saling tumpang tindih dalam banyak aspek.7

Proses pembentukan, transmisi, dan modulasi nyeri

Nosiseptor telah diteliti berada di banyak bagian tubuh, seperti di kulit, otot, tulang, sendi,
dan organ dalam. Nosiseptor perifer merupakan neuron aferen yang badan selnya berada
di ganglion akar dorsalis pada korda spinalis. Serabut saraf C yang tidak bermielin dan
paling kecil mentransmisi sinyal dengan kecepatan rendah, sedangkan serabut saraf A-
delta bermielin tipis dan lebih besar mentransmisi dengan kecepatan tinggi. Beberapa
serabut C bersifat polimodal sehingga dapat merespon baik stimulus mekanik, termal,
maupun kimia secara tidak selektif.10

Nosiseptor disensitisasi oleh produk-produk inflamasi (seperti asam


arakidonat/prostaglandin) yang berikatan dengan reseptor-reseptor spesifik di
membrannya (contoh : prostaglandin berikatan dengan reseptor prostaglandin E).
Selanjutnya reseptor-reseptor tersebut mengaktivasi protein kinase yang pada akhirnya
menurunkan ambang aktivasi dan memperpanjang aktivitas neuron. Neuron nosiseptif
sendiri melepaskan stimulan kimia (substansi P, calcitonin gene related peptide/CGRP,
neurokinin A) yang mengamplifikasi respon inflamasi lokal melalui interaksi dengan sel
inflamasi dan pembuluh darah yang berdekatan (dikenal sebagai inflamasi neurogenik).
Reseptor peptida inhibitor (seperti opioid, somatostatin, neuropeptida Y) juga ada pada
neuron nosiseptif. Opioid bekerja menurunkan sinyal saraf dan pelepasan substansi P
serta transmiter lain (Gambar 3).10

6
Gambar 3. Pembentukan nyeri di nosiseptor perifer10

Pada terminal sentral dari neuron aferen primer di dorsal korda spinalis, terdapat
neurotransmiter yang bersifat eksitasi (seperti glutamat dan aspartat), namun juga terdapat
reseptor yang dapat memodulasi pelepasan transmiter (seperti opioid dan GABA-B).
Neuron nosiseptif di korda spinalis menyilang dan membuat jalur ascenden menuju area
yang lebih tinggi di otak, yaitu sistem limbik dan korteks somatosensoris. Nyeri
kemudian bisa dimodulasi melalui sistem analgesia yang berjalan descenden dari sistem
limbik, korteks, thalamus, dan hipothalamus. Ikatan dengan reseptor opioid dari zat
endogen maupun eksogen akan mengaktivasi jalur analgesia descenden ini sampai ke
korda spinalis (Gambar 4).10

7
Gambar 4. Jalur ascenden dan descenden untuk nyeri10

Nosiseptor artikular dan periartikular serupa dengan nosiseptor kutaneus. Pada


sendi, nosiseptor mempersarafi terutama kapsul fibrosa, ligamen, jaringan lemak, dan
menisci, dan lapisan sinovial menunjukkan beberapa serabut. Kartilago normalnya tidak
dipersarafi (Gambar 5). Nosiseptor sendi umumnya diaktivasi oleh tekanan kuat pada
sendi (contoh : memukul sendi) dan pergerakan berbahaya (rotasi yang menimbulkan
nyeri melawan resistensi jaringan).10,12

Implikasi patofisiologi nyeri terhadap penanganan pasien

Titik awal bagi klinisi untuk mengambil keputusan dalam penanganan nyeri adalah asal
nyerinya dari somatogenik atau psikologis. Jika somatogenik, maka klinisi harus
menentukan apakah sumber nyerinya nosiseptif, neuropatik, atau kombinasi. Jika nyeri
neuropatik, apakah berasal dari perifer atau sentral. Evaluasi termasuk pengulangan dari
rontgen 2-3 bulan sebelumnya, dan jika normal dilakukan bone scan, MRI, atau CT scan

8
sesuai indikasi. Jika penyebab yang mendasari paling mungkin neuropatik, EMG dan
studi konduksi saraf memberikan informasi diagnosis segera tentang gangguan
neuromuskular.10

Jika nyeri predominan dari psikologis, klinisi harus menentukan apakah


psikopatologi ini bersifat primer atau sekunder. Psikopatologi primer berarti mendahului
problem nyeri kronik, seperti hipokondria, somatisasi, dan depresi mayor. Sedangkan
psikopatologi sekunder terjadi pada pasien dengan yang sehat secara psikologis sebelum
nyeri namun kemudian timbul disfungsi signifikan akibat nyeri. Pasien ini sering merasa
cemas, depresi, marah, dan putus asa. Untuk pasien dengan predominan nyeri psikologis
nonsomatogenik, evaluasi dan terapi psikiatri harus menjadi strategi sejak awal
pengobatan.10

Gambar 5. Proses nosiseptif pada inflamasi sendi10

9
BAB III

ASPEK FARMAKOLOGI OPIOID

Sejarah opioid

Bangsa Sumeria di Mesopotamia adalah yang pertama diidentifikasi memanen tanaman


opium sekitar 3400 tahun sebelum Masehi. Mereka menamakannya Hul Gil, “joy plant”.
Kemudian tanaman ini menyebar ke setiap peradaban besar kuno di Eropa dan Asia untuk
digunakan sebagai salah satu pengobatan nyeri. Istilah opium sebenarnya merujuk pada
campuran alkaloid dari tanamannya. Opiat adalah alkaloid yang terjadi secara alamiah
seperti morfin atau kodein.13 Pada tahun 1803, morfin pertama kali diekstraksi dari opium
oleh Friedrich Serturner di Jerman.3 Selanjutnya Candace Pert pada tahun 1973
menggunakan morfin radioaktif untuk mengevaluasi tempat kerja morfin di tubuh. Beliau
menemukan secara mengejutkan bahwa obat tersebut melekat pada area yang sangat
spesifik di otak, disebut reseptor morfin. Sekarang, opioid adalah istilah yang digunakan
luas untuk mendeskripsikan semua zat yang bekerja pada reseptor opioid.13

Klasifikasi opioid

Opioid diklasifikasikan sebagai endogen atau eksogen berdasarkan asalnya. Opioid


endogen termasuk endomorfin dan endorfin (berikatan dengan reseptor mu), enkefalin
dan deltorfin (berikatan dengan reseptor delta), dan dinorfin (berikatan dengan reseptor
kappa).2 Menurut aktivitasnya, opioid dapat diklasifikasikan menjadi agonis, agonis
parsial, atau antagonis. Klasifikasi ini berdasarkan perbedaan afinitas dan efikasi obat
pada reseptornya. Afinitas adalah kekuatan interaksi antara obat dengan reseptornya,
sedangkan efikasi adalah kekuatan efek dari obat pada reseptornya. Agonis memiliki baik
afinitas maupun efikasi, agonis parsial memiliki afinitas namun efikasi hanya parsial,
sementara antagonis memiliki afinitas tetapi sama sekali tidak mempunyai efikasi.13

10
Reseptor opioid

Lokasi reseptor opioid tersebar luas, baik dalam sistem saraf pusat maupun sepanjang
jaringan perifer.13 Reseptor opioid diekspresikan pada terminal perifer saraf aferen
primer, badan sel ganglion akar dorsalis, korda spinalis, dan otak.2 Ada tiga reseptor
opioid yang diketahui, yaitu:13

 Reseptor mu () : ditemukan terutama pada batang otak dan thalamus medial.
Reseptor ini disebut juga OP3 atau MOR (morphine opioid receptors).
 Reseptor kappa () : ditemukan di limbik dan area diensefalik lain, batang otak, dan
korda spinalis. Reseptor ini disebut juga OP2 atau KOR (kappa opioid receptors).
 Reseptor delta () : ditemukan sebagian besar di otak. Reseptor ini disebut juga OP1
atau DOR (delta opioid receptors).

Reseptor opioid normalnya distimulasi oleh peptida endogen yang dihasilkan


tubuh saat berespon terhadap stimulus berbahaya. Hasil dari stimulasi masing-masing
reseptor opioid dapat serupa maupun berlainan (Tabel 1).13 Walaupun ada beberapa tipe
reseptor opioid, obat opioid umumnya menghasilkan efek analgesia melalui aktivasi
reseptor mu, sehingga analgesik opioid sering disebut sebagai agonis mu.3

Tabel 1. Efek analgesik dari reseptor opioid13

11
Mekanisme kerja opioid

Reseptor opioid berlokasi pada ujung presinaps serabut C dan A-delta dari saraf
nosiseptif. Saat diaktivasi agonis opioid, terjadi penghambatan secara tidak langsung
kanal kalsium, penurunan kadar cAMP, dan blokade pelepasan neurotransmiter nyeri
(seperti glutamat, substansi P, CGRP) yang hasil akhirnya analgesia (gambar 6).13

Ketika opioid berikatan dengan reseptornya, efek analgesia dapat disertai berbagai
efek samping yang berhubungan juga dengan aktivasi reseptor. Hal ini termasuk
kombinasi efek perifer dan sentral (seperti peristalsis menurun yang mengakibatkan
konstipasi) atau efek sentral primer (seperti miosis, somnolen, depresi pernafasan).3

Agonis opioid murni (morfin, hidromorfon, fentanil) menstimulasi reseptor mu


dan merupakan analgesik yang paling poten. Dari semuanya, fentanil memiliki afinitas
tertinggi terhadap reseptor mu. Saat dosis ditingkatkan, analgesia secara teoritis terjadi
secara log linear. Derajat analgesia hanya dibatasi oleh efek samping terkait obat yang
tidak bisa ditolerir. Sebaliknya, agonis/antagonis opioid dan agonis parsial opioid
mempunyai ceiling effect pada derajat analgesianya.13

Beberapa obat tidak bekerja hanya melalui reseptor opioid. Metadon dan tramadol
juga menghambat reuptake serotonin dan norepinefrin serta sebagai antagonis jalur
eksitasi dari asam amino N-metil-D-aspartat (NMDA).2 Tramadol merupakan opioid
atipikal, sebagai analog kodein 4-fenil-piperidin. Obat ini memiliki aktivitas agonis
parsial mu, selain aktivitas pada GABA, katekolamin, dan serotonergik.13

Gambar 6. Mekanisme kerja opioid13

12
Opioid dibagi menjadi kerja panjang dan kerja pendek. Hal ini dapat dilihat dari
waktu paruhnya (Tabel 2).14 Yang perlu diperhatikan, metabolit aktif dari morfin, kodein,
oksikodon, hidromorfon dapat berakumulasi dengan penggunaan kronik, peningkatan
dosis, dehidrasi, dan gagal ginjal. Hasilnya adalah peningkatan analgesia dan atau efek
samping.2

Tabel 2. Perbandingan waktu paruh opioid14

Metabolisme opioid

Banyak efek samping opioid berhubungan dengan metabolitnya. Kebanyakan opioid


dimetabolisme oleh glukoronidasi atau sistem CYP450. Enzim CYP450 merupakan
enzim mikrosomal yang berfungsi penting dalam biosintesis dan degradasi zat endogen,
kimia, toksin, dan obat.13

Kodein, sebagai prodrug, dikonversi menjadi morfin oleh enzim CYP2D6. Pasien
yang mengalami defisiensi enzim ini atau yang mengkonsumsi penghambat CYP2D6
(seperti amiodaron, fluoxetin, haloperidol) tidak akan merasakan efek analgesia dari
kodein oral.10,12 Kadar enzim CYP2D6 sangat bervariasi pada populasi. Ditemukan bahwa
6-10% ras Kaukasia mengalami defisiensi CYP2D6, sementara populasi lain dapat
mempunyai enzim ini dalam kadar tinggi yang mengakibatkan metabolisme cepat obat-
obatan.13

Mengenai interaksi obat, terdapat laporan bahwa penggunaan opioid bersama


penghambat H2 (cimetidin dan ranitidin) bisa menyebabkan gangguan pernafasan,
konfusio, dan fasikulasi otot. Metadon dapat meningkatkan kadar antidepresi trisiklik.

13
Metadon khususnya berpotensi menyebabkan aritmia kordis, khususnya pemanjangan
interval QTc dan/atau torsades de pointes. Risiko ini meningkat bila metadon diberikan
bersama dengan penghambat CYP3A4 seperti ciprofloxacin.2 Secara umum, tabel 3
merangkum beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam penggunaan opioid.

Tabel 3. Penggunaan opioid untuk nyeri kronik pada populasi khusus15

14
BAB IV

OBAT-OBAT YANG TERGOLONG OPIOID

Morfin

Morfin sebagai prototipe opioid terdiri dari cincin benzene dengan gugus hidroksil
fenolik pada posisi 3 dan hidroksil alkohol pada posisi 6 dan atom nitrogen (Gambar 7).
Kedua gugus hidroksil dapat mengalami konversi ke eter atau ester. Sebagai contoh,
kodein adalah morfin dengan O-metilasi pada posisi 3, sedangkan heroin adalah morfin
dengan O-asetilasi pada posisi 3 dan 6. Morfin dan kodein yang memiliki gugus 6-
hidroksil berhubungan dengan insiden nausea lebih tinggi daripada hidromorfon dan
oksikodon yang tidak memiliki gugus 6-hidroksil.13

Gambar 7. Struktur kimia morfin 13

Morfin merupakan salah satu dari 20 alkaloid yang diisolasi di opium 200 tahun
lalu dan masih menjadi standar emas terhadap semua analgesik.2 Obat ini diisolasi oleh
ahli farmasi Jerman, Freidrich Wilhelm Adam Serturner, dan diberi nama “morphium”
sesuai dengan nama dewa tidur. Morfin digunakan untuk mengontrol nyeri derajat sedang
sampai berat.13 Untuk nyeri muskuloskeletal kronik, dosis harian morfin oral biasanya
sampai 180 mg/hari, jarang sampai memerlukan 300 mg/hari.2 Morfin termasuk pilihan
pertama untuk terapi opioid kronik karena potensinya dapat diandalkan, banyak tersedia,
dan murah. Jika pasien berganti ke pengobatan lain, dosis ekuianalgesik terhadap morfin
menjadi dasarnya.11 Morfin bersifat hidrofilik dan tidak melewati sawar darah otak
dengan baik.2 Setelah pemberian oral, hanya sekitar 40-50% dosis yang diberikan
mencapai sistem saraf pusat, dalam 30 menit untuk immediate release dan dalam 90
menit untuk extended release.13 Metabolisme morfin menurun pada gagal hati dan dapat
terjadi pemanjangan waktu paruh sampai dua kali lipat, sehingga interval dosis harus

15
diperpanjang untuk menghindari kadar darah yang berlebihan. Metabolisme morfin juga
menurun pada gagal ginjal sehingga metabolitnya dapat berakumulasi dan toksisitas
meningkat, terutama neurotoksik. Dalam hal ini, turunkan dosis morfin atau hindari
penggunaannya.2

Efek samping morfin berhubungan dengan pelepasan histamin (bisa menyebabkan


bronkospasme dan hipotensi) dan depresi pernafasan langsung di batang otak. Morfin
dapat juga menurunkan sistem saraf simpatik sehingga tonus vena perifer menurun,
menyebabkan pooling vena, dan hipotensi orthostatik.13 Morfin harus digunakan dengan
hati-hati (khususnya preparat kerja panjang) pada pasien dengan gagal jantung.11 Morfin
mempunyai efek pada traktus digestivus termasuk spasme otot polos bilier, spasme
sphincter Oddi, dan penurunan motilitas usus yang mengakibatkan konstipasi. Efek
serupa terjadi pada sistem genitourinarius yaitu spasme trigonum vesika urinaria sehingga
timbul retensi urin. Morfin dapat menginduksi mual muntah dengan stimulasi langsung
pada chemoreceptor trigger zone. Bentuk parenteral dari morfin mengandung sulfit yang
dapat menyebabkan reaksi alergi sampai anafilaksis pada individu dengan alergi sulfa.13

Kodein

Kodein diisolasi pertama kali pada tahun 1832 sebagai ekstrak morfin yang tidak murni
dari opium. Obat ini digunakan secara luas sebagai antitusif dan analgesik untuk nyeri
ringan sampai sedang dengan aman, karena efeknya kecil dalam supresi pernafasan dan
kemungkinan toleransi, ketergantungan, serta penyalahgunaannya minimal.2 Kodein
merupakan prototipe analgesik opioid lemah dengan afinitasnya pada reseptor mu yang
tergolong lemah. Potensi analgesiknya sekitar 50% dari morfin.13 Kodein telah
ditunjukkan efektif untuk nyeri osteoartritis pada uji randomisasi dengan kontrol plasebo
selama 4 minggu pada dosis 100-400 mg/hari dalam bentuk formulasi controlled-release
(dihidrokodein). Namun frekuensi efek samping cukup banyak terjadi, 82% untuk kodein
dan 58% untuk plasebo. Hal ini menyebabkan penghentian obat pada hampir 40% yang
menggunakan kodein. Waktu paruh kodein berkisar 2,5-3 jam. Dosis kodein harus
diturunkan 25-50% bila ada gangguan ginjal.2 Efek samping kodein serupa dengan opioid
agonis lain. Kodein dosis rendah secara paradoks lebih bersifat emetik dibanding dosis
lebih tinggi karena efek kompetisi pada chemoreceptor trigger zone.13

16
Hidrokodon

Hidrokodon merupakan derivat semi sintetik dari morfin. Hidrokodon 10 mg


ekuianalgesik dengan kodein 60 mg.2 Indikasi dari hidrokodon termasuk nyeri derajat
sedang-berat dan batuk non produktif yang simtomatik. Bioavaibilitasnya tinggi setelah
pemberian oral.13 Waktu paruh obat ini 3,8-4,5 jam. Hidrokodon harus digunakan hati-
hati pada lanjut usia dan yang mengalami gangguan ginjal atau hati.2 Walaupun banyak
penelitian untuk efektivitas jangka panjang terapi opioid, hidrokodon termasuk yang
belum banyak dipelajari. Dari satu studi besar dengan sekitar 11.000 pasien yang
menderita nyeri kronik, di mana 3.000 pasien menggunakan hidrokodon, menemukan
penyalahgunaan yang relatif rendah dan mengindikasikan efektivitas jangka panjang.7

Oksikodon

Oksikodon mempunyai aktivitas di banyak reseptor opioid termasuk reseptor kappa.13


Obat ini 6-9,5 kali lebih poten daripada kodein (5 mg oksikodon = 30-50 mg kodein) dan
1,5-2 kali lebih poten daripada morfin (5 mg oksikodon = 10 mg morfin).2 Oksikodon
merupakan alternatif bagi pasien dengan intoleransi atau alergi morfin. Walaupun begitu,
oksikodon dapat memiliki risiko lebih tinggi untuk penyalahgunaan dan harus digunakan
hati-hati pada pasien dengan skor risiko lebih tinggi.11 Bioavaibilitas oksikodon tinggi
pada dosis oral dengan waktu paruh 2,5-3 jam.13 Uji randomisasi terkontrol dari
oksikodon untuk nyeri muskuloskeletal dan dua uji coba untuk nyeri neuropatik
menunjukkan penurunan nyeri yang signifikan pada osteoartritis dan nyeri neuropatik.
Efek samping umum terjadi dan menyebabkan penghentian obat pada 10-36% pasien.2
Pada gagal ginjal dengan laju filtrasi glomerulus < 60 mL/menit, oksikodon controlled-
release mempunyai konsentrasi plasma 50% lebih tinggi karena waktu paruh yang
memanjang. Kadar plasma juga menjadi 40-50% lebih tinggi dan waktu paruh 2 jam lebih
lama pada pasien dengan gangguan hati ringan sampai sedang. Menarik bahwa wanita
memiliki konsentrasi plasma 25% lebih tinggi daripada pria. Interaksi dengan SSRI dapat
menyebabkan sindrom serotonin dengan halusinasi visual dan tremor.2

17
Hidromorfon

Hidromorfon merupakan derivat semi sintetik dari morfin yang dikembangkan mulai
tahun 1920. Obat ini lebih poten dari morfin (hidromorfon 2 mg ekuianalgesik dengan
morfin 10 mg). Tablet 2 dan 4 mg memiliki onset 30 menit dan durasi kerja sekitar 4 jam
(waktu paruh 2-3 jam). Obat ini bekerja lebih cepat daripada morfin (lebih larut lemak)
dan kurang cepat dibanding fentanil (kurang larut lemak).2 Hidromorfon juga dapat
diberikan parenteral dengan rute intravena, intramuskular, dan subkutan.13 Salah satu
studi yang menilai efektivitas hidromorfon adalah penelitian terhadap 197 pasien dengan
pemantauan selama 90 hari. 127 pasien yang menderita gangguan non kanker,
kebanyakan penyakit sendi degeneratif, menunjukkan penurunan skor nyeri yang
signifikan. Namun, 17 pasien menghentikan terapi karena efek samping. Pengurangan
nyeri pada pasien disertai juga dengan perbaikan kualitas hidup.7 Perhatian harus
ditujukan pada peresepan hidromorfon untuk pasien lanjut usia dan mereka dengan
gangguan hati dan ginjal.2 Walaupun demikian, hidromorfon dapat lebih dipilih dibanding
morfin pada pasien dengan gagal ginjal.13

Oksimorfon

Oksimorfon adalah agonis opioid semi sintetik baru.2 Obat ini memiliki afinitas tinggi
pada reseptor mu tanpa interaksi dengan kappa dan delta. Oksimorfon 10 kali lebih poten
daripada morfin.13 Bioavaibilitas oksimorfon hanya 10% ketika diberikan secara oral.
Makanan meningkatkan konsentrasi oksimorfon oral 38-50% sehingga harus diberikan
setidaknya 1 jam sebelum atau 2 jam sesudah makan. Oksimorfon meningkat kadarnya
dalam darah jika ada gangguan hati atau ginjal. Obat ini tidak boleh diberikan pada pasien
dengan penyakit hati derajat sedang sampai berat.2 McIlwain dan Ahdieh menunjukkan
efektivitas oksimorfon dalam studi multisenter selama 52 minggu pada 153 pasien yang
menderita nyeri kronik derajat sedang sampai berat yang berhubungan dengan
osteoartritis. Mereka menemukan bahwa oksimorfon ER dapat memberikan analgesik 12
jam untuk terapi nyeri pada populasi pasien ini yang membutuhkan terapi opioid jangka
panjang.7

18
Fentanil

Fentanil merupakan agonis opioid piperidin sintetik tertua yang berinteraksi terutama
dengan reseptor mu. Obat ini termasuk opioid kuat, tersedia dalam bentuk parenteral,
transdermal, dan transbukal.13 Kekuatannya 100 kali lebih poten daripada morfin dan
tidak memiliki metabolit aktif. Sifat obat ini sangat lipofilik. Obat ini lebih efektif
dibanding plasebo untuk nyeri osteoartritis, tapi hanya 50% yang menyelesaikan terapi
dalam waktu 6 minggu penelitian. Fentanil transdermal bersifat sustained release dengan
menghasilkan administrasi obat sistemik melalui kulit selama 72 jam.2 Preparat
transdermal mempunyai lag time 6-12 jam dari pemasangan untuk mencapai onset kerja.
Ketika preparat transdermal dilepas, reservoir subkutan bertahan dan pembersihan obat
dapat membutuhkan waktu sampai 24 jam.13 Konversi ekuianalgesik dari fentanil
transdermal sekitar 25 mcg/jam untuk 72 jam dengan 90 mg morfin oral untuk 24 jam.
Fentanil transdermal tidak boleh digunakan pada pasien opioid-naive karena potensi
depresi pernafasan dan tidak boleh digunakan untuk titrasi opioid awal. Fentanil
transdermal dicadangkan untuk pasien yang tidak bisa menelan atau tidak bisa mentolerir
morfin sustained-release dan metadon.2

Meperidin

Meperidin adalah opioid agonis mu yang relatif lemah dengan efektivitas sekitar 10% dari
morfin. Waktu paruhnya sekitar 3 jam. Efek antikolinergik dan anestetik lokal dari
meperidin cukup signifikan.13 Obat ini seharusnya tidak digunakan untuk terapi opioid
jangka panjang karena metabolitnya adalah toksin sistem saraf pusat yang menghasilkan
ansietas, mioklonus, dan kejang terutama pada gangguan ginjal.2

Buprenorfin

Buprenorfin merupakan opioid semi sintetik yang berasal dari morfin. Obat ini bersifat
agonis parsial dengan afinitas sangat tinggi pada reseptor mu dan antagonis pada reseptor
kappa. Buprenorfin 30-40 kali lebih poten daripada morfin, namun efek analgesiknya
mencapai kondisi plateau pada dosis tinggi karena obat ini juga memiliki aktivitas
antagonis. Karena afinitasnya yang tinggi pada reseptor mu, buprenorfin dapat

19
menghambat efek opioid lain. Dosis buprenorfin 1 kali sehari untuk terapi adiksi, namun
mencapai 3-4 kali sehari untuk analgesia. Buprenorfin oral dimetabolisme di hati secara
ekstensif (80-90%) pada metabolisme fase pertama, sehingga bioavaibilitas oralnya
rendah. Namun karena sifatnya yang sangat lipofilik, bioavaibilitas obat ini bila diberikan
sublingual sangat baik. Buprenorfin dikontraindikasikan sebagai terapi nyeri pada pasien
yang ketergantungan opioid karena dapat mencetuskan gejala withdrawal berat.
Buprenorfin memiliki efek anti-hiperalgesia, kemungkinan karena efek antagonis pada
reseptor kappa yang diduga berperan dalam hiperalgesia dan toleransi.2

Metadon

Metadon merupakan opioid sintetik yang telah digunakan dalam 40 tahun terakhir,
terutama sebagai terapi pemeliharaan untuk adiksi heroin karena obat ini dapat
mengontrol craving, mencegah gejala withdrawal, bersifat kerja panjang, dan legal.
Untuk nyeri muskuloskeletal kronik maupun nyeri neuropatik kronik, penggunaan
metadon juga memiliki alasan kuat karena obat ini mempunyai efikasi dan efek samping
yang setara dengan morfin. Metadon menghasilkan efek analgesia melalui mekanisme
opioid dan non-opioid. L-isomernya merupakan agonis reseptor mu dan delta. Aktivitas
metadon terhadap reseptor delta ini berperan dalam kemampuannya melawan efek
toleransi dan ketergantungan. Sebagai tambahan, L-isomer juga menghambat reuptake
serotonin dan norepinefrin. Aksi metadon dalam menghambat reseptor NMDA yang
berperan dalam amplifikasi nyeri juga dapat mengurangi nyeri neuropatik maupun nyeri
resisten opioid lain.2 Metadon tidak berhubungan dengan opioid standar sehingga berguna
pada pasien dengan alergi morfin. Obat ini dimetabolisme di hati dan usus serta
diekskresi hampir eksklusif di feses, sehingga menjadi keuntungan untuk pasien dengan
gangguan ginjal.13 Dosis metadon diturunkan 50% hanya pada pasien dengan gagal ginjal
terminal atau dialisis.2 Obat ini terdistribusi di jaringan lemak dan fase eliminasinya
panjang dengan waktu paruh 12-150 jam.13 Hal ini menyebabkan metadon berisiko untuk
terjadinya overdosis tipe lambat. Ada beberapa strategi peresepan metadon:2

 Start low, go slow


Strategi ini direkomendasikan bagi pasien yang opioid-naive agar dapat menghindari
efek samping saat obat dititrasi naik dosisnya untuk mencapai analgesia yang efektif.
Mulai titrasi dengan metadon 2,5-5 mg tiap 8-12 jam ditambah opioid kerja pendek
20
untuk breakthrough pain. Perlahan naikkan dosis metadon 2,5 mg setiap interval 2-4
minggu berdasarkan respon klinis.
 Stop and go
Strategi ini direkomendasikan bagi pasien yang menggunakan kodein dan hidrokodon
(opioid lemah) atau yang menggunakan ekuivalen dosis morfin kurang dari 200 mg.
Kalkulasi 10% dosis ekuivalen morfin harian untuk memulai metadon dalam dosis
terbagi 2-3 kali/hari. Gunakan opioid kerja pendek hanya untuk breakthrough pain
dan tingkatkan dosis metadon 2,5 mg tiap 8 jam setiap 2-4 minggu. Jangan
meningkatkan dosis metadon lebih cepat dari 2 minggu.
 Taper titrate
Strategi ini direkomendasikan bagi pasien dengan ekuivalen dosis morfin 200-500
mg/hari. Kalkulasi 7% dosis ekuivalen morfin untuk target konversi metadon terbagi
dalam 3 dosis tiap 8 jam. Mulai dengan 50% target dosis metadon/hari dan turunkan
opioid yang sekarang sebanyak 50%. Dosis metadon dititrasi naik perlahan dengan
meningkatkan dosis harian 2,5-5 mg/hari setiap 2-4 minggu bersamaan dengan
tappering down opioid yang sekarang 50%.

Metadon kurang menyebabkan konstipasi dibanding morfin dan lebih murah.


Metadon memiliki potensi untuk mencetuskan torsades de pointes, aritmia berpotensi
fatal yang disebabkan pemanjangan interval QT. Pemanjangan QT kongenital, kadar
metadon tinggi (biasanya di atas 60 mg/hari), dan kondisi yang meningkatkan
pemanjangan QT (hipokalemia, hipomagnesemia atau penggunaan obat lain yang
memperpanjang interval QT) dapat meningkatkan resiko ini.11,13 Buprenorfin, pentazosin,
naltrexon, naloxon, dan tramadol dikontraindikasikan pada pasien dengan metadon
karena dapat mencetuskan gejala withdrawal.2

Tramadol

Tramadol adalah opioid atipikal unik yang merupakan analog 4-phenyl-piperidine dari
kodein. Obat ini diabsorbsi cepat dan ekstensif setelah dosis oral dengan potensi
analgesiknya setara kodein.13 Afinitas tramadol lemah pada reseptor mu dengan efek
tambahan menghambat juga reuptake serotonin dan norepinefrin. Dosis tramadol yang
direkomendasikan 25-100 mg tiap 6 jam dan tidak lebih dari 400 mg/hari. Interval dosis
dan dosis maksimal harus diturunkan kurang dari 200 mg/12 jam ketika laju filtrasi
21
glomerulus kurang dari 30 mL/menit. Dosis harian tidak boleh lebih dari 300 mg/hari
pada yang berusia lebih dari 75 tahun dan 50 mg/12 jam pada yang mengalami gangguan
hati. Bahkan informasi pabrik produsennya merekomendasikan tramadol jangan
digunakan pada gangguan hati. Tramadol tidak boleh diberikan dalam jangka panjang
karena banyak obat lain yang lebih aman dan efektif. Efek samping tramadol termasuk
nyeri kepala, konstipasi, nausea, dizziness, sedasi, dan stimulasi sistem saraf pusat dengan
spastisitas, agitasi, ansietas, euforia, halusinasi dan kejang. Kejang telah dilaporkan
terutama pada pasien yang menggunakan antidepresi trisiklik, prometazin, SSRI, dan
neuroleptik. Oleh karena itu, tramadol dikenal dapat menyebabkan serotonin-like
syndrome pada pemberian bersama SSRI. Selain itu, gejala opioid-like withdrawal juga
bisa terjadi jika tramadol dihentikan tiba-tiba. 2

Konversi ekuianalgesik antar opioid

Konversi antar preparat opioid dapat dikalkulasi (Tabel 4). Ketika mengkonversi dari
morfin ke fentanil transdermal, aturan 1:2:3 dapat digunakan dalam artian 1 mg morfin
parenteral/hari ekuivalen ke 2g/jam via patch fentanil, yang juga ekuivalen ke 30
mg/hari morfin oral.10

Tabel 4. Konversi ekuianalgesik opioid oral16

22
BAB V

PENGGUNAAN OPIOID UNTUK NYERI KRONIK NON KANKER

Pedoman terapi opioid untuk nyeri kronik non kanker

WHO tahun 1980an membuat pedoman terapi untuk nyeri kanker (Gambar 8). Obat
diberikan menurut intensitas nyerinya : nyeri ringan (skala 1-3), sedang (4-6), berat (7-
10).17 Pedoman ini banyak dipelajari dan diadaptasi untuk pedoman nyeri kronik non
kanker.2

Gambar 8. Pain ladder dari WHO17

Aturan penggunaan opioid untuk nyeri kronik melalui pedoman praktek klinis
diharapkan dapat mencapai terapi yang efektif dan aman serta menurunkan jumlah
penyalahgunaan ataupun overdosis opioid. Centers for Disease Control and Prevention
(CDC) tahun 2013 meninjau delapan pedoman terapi opioid untuk nyeri kronik non
kanker yang dikeluarkan berbagai institusi. Hasilnya adalah bahwa secara umum,
direkomendasikan hal-hal berikut:18

 Asesmen awal dari riwayat nyeri, pengobatan, keluarga/sosial, dan pemeriksaan fisik
 Melakukan tes obat melalui urin, sesuai indikasi
 Menganalisa semua pilihan terapi, menimbang manfaat dan risiko terapi opioid, dan
menggunakan opioid ketika terapi alternatif tidak efektif
 Memulai terapi opioid dengan dosis efektif yang paling rendah

23
 Mengimplementasikan persetujuan terapi nyeri
 Memantau kemajuan terapi dengan dokumentasi, khususnya pada dosis tinggi
 Menggunakan metode yang aman dan efektif untuk menghentikan opioid

Gambar 9 menunjukkan algoritma yang ringkas pedoman terapi opioid secara aman dan
efektif untuk nyeri kronik non kanker Kanada (salah satu pedoman yang ditinjau CDC):16

Gambar 9. Algoritme terapi opoid untuk nyeri kronik non kanker dari Kanada16

24
Asesmen awal yang komprehensif

Sebelum memulai terapi opioid, perlu dilakukan asesmen komprehensif.8,16 6 langkah


asesmen standar diperlukan untuk sampai pada keputusan klinis bahwa opioid cocok
diberikan pada pasien:2

1. Riwayat medis komprehensif termasuk kelainan medis dan psikiatri serta untuk
identifikasi komorbiditas yang penting. Definisikan gambaran utama nyeri dalam hal
onset, progresivitas, kondisi sekarang, dan faktor yang memperberat atau
memperingan. Tanya pasien tentang severitas nyeri dengan skala 0-10, di mana 0
tanpa nyeri dan 10 nyeri yang paling berat.2,10
2. Pemeriksaan fisik menyeluruh termasuk pemeriksaan neurologi dan muskuloskeletal.2
3. Identifikasi komorbiditas psikiatrik sejak awal saat proses menentukan keputusan.
Sangat penting untuk mengidentifikasi gangguan kepribadian karena riwayatnya dapat
tidak akurat dan pasien ini memiliki problem impulsif dan gangguan dalam
mengambil keputusan dan juga penyalahgunaan obat. Ekspresi melawan anggota
keluarga, pegawai, pihak asuransi, dan dokter dilihat sebagai “red flag” untuk adanya
kelainan kepribadian.
4. Formulasikan diagnosis kerja sebelum memulai terapi opioid. Diagnosis tidak boleh
non spesifik seperti nyeri punggung bawah, nyeri lutut, dan sebagainya. Diagnosis
harus objektif dan spesifik tergantung tipe nyeri dan abnormalitas yang ditemukan,
termasuk : penyakit struktural sistem muskuloskeletal yang aktif atau progresif
(nosiseptif), kelainan sistem saraf (neurogenik atau neuropatik), kelainan psikiatrik
yang menghasilkan atau memperkuat nyeri (gangguan somatisasi), atau kombinasi
dari berbagai mekanisme.
5. Tanya pasien apa yang dia harapkan dari evaluasi dan rekomendasi Anda.
6. Tentukan bahwa Anda memperkirakan tampaknya nyeri tidak akan tereliminasi
secara sempurna namun beberapa perbaikan dapat diharapkan.

Manajemen efektif untuk nyeri kronik non terminal membutuhkan lebih dari
sekedar peresepan obat. Setiap pencetus nyeri yang potensial atau dapat diobati harus
diidentifikasi dan diobati dahulu. Perhatian harus kemudian ditunjukan pada modalitas
fisik dan psikologis, terapi non opioid dan ajuvan, terapi gangguan mood dan restorasi
tidur.11

25
Kebutuhan pasien terhadap opioid ditetapkan hanya setelah kriteria berikut
terpenuhi : nyeri derajat sedang sampai berat, problem organik, kegagalan respon obat
lain yang terdokumentasi / ajuvan / terapi fisik / program latihan terstruktur, dan teknik
intervensi, khususnya untuk terapi dosis tinggi jangka panjang.8

Risiko penyalahgunaan

Sebelum memulai terapi opioid, pertimbangkan menggunakan alat skrining untuk


menentukan risiko adiksi opioid pada pasien. Banyak alat skrining belum dipelajari dan
divalidasi, tapi Opioid Risk Tool (ORT) telah digunakan secara luas (Tabel 5).11,16

Tabel 5. Skrining risiko penggunaan opioid menggunakan ORT11

Tes obat melalui urin / Urine Drug Screening (UDS)

UDS menjadi standar rutin bila terjadi adiksi terapi, namun penggunaannya belum diakui
secara universal dalam manajemen nyeri kronik. Dalam tinjauan sistematik, efektivitas
UDS dalam menurunkan penyalahgunaan opioid pada pasien dengan nyeri kronik

26
memiliki bukti yang relatif lemah. Klinisi harus hati-hati dalam menginterpretasinya
(Tabel 6).7 UDS berguna sebagai alat untuk : (1) data awal ada tidaknya penggunaan
zat/obat-obatan yang berisiko adiksi, (2) pemantauan lanjutan dari kepatuhan pasien
dalam penggunaan opioid.16 Pasien menjalani UDS sebelum terapi opioid dimulai, lalu
minimal 1 tahun kecuali perilaku pasien mengarahkan perlunya tes lebih sering.11

Tabel 6. Interpretasi hasil UDS8

Pertimbangan efektivitas terapi opioid

Sebelum memulai terapi opioid, bukti ilmiah dari efektivitas opioid pada pasien dengan
nyeri kronik non kanker sebaiknya dipertimbangkan.16

Opioid dibanding plasebo

American Pain Society (APS) dan American Academy of Pain Medicine (AAPM)
menyusun pedoman terapi opioid kronik untuk nyeri kronik non kanker pada tahun 2009.
Terdapat 70 uji terandomisasi yang termasuk dalam 12 tinjauan sistematik untuk
mengevaluasi manfaat opioid jangka pendek terhadap nyeri kronik non kanker. Selain itu,
didapatkan 13 uji randomisasi dengan kontrol plasebo lainnya. Opioid yang paling sering

27
dievaluasi adalah kodein, morfin, oksikodon, dan tramadol. Osteoartritis, nyeri punggung
bawah, dan nyeri neuropatik adalah kondisi yang paling sering mendasari nyeri pasien.
Banyak penelitian menemukan bahwa opioid efektif dalam mengurangi nyeri dan
memperbaiki fungsi dibanding plasebo pada pasien dengan nyeri kronik non kanker.
Namun, hampir semua data adalah hasil jangka pendek ( 12 minggu).6

Pada publikasi British Medical Journal tahun 2015, mayoritas tinjauan sistematik
setuju bahwa opioid mempunyai efek analgesik jangka pendek yang lebih besar
dibanding plasebo, namun manfaat untuk fungsi tidak jelas. Disetujui juga bahwa
buktinya sedikit dan kualitasnya belum kuat. Pengurangan rata-rata nyeri kronik non
kanker bervariasi sekitar 30%. Tidak ada penelitian yang meneliti lebih dari empat bulan,
dan semuanya mempunyai angkat dropout tinggi (>20%), kebanyakan karena efek
samping atau tidak efektif.5

Opioid dibanding non-opioid

Penelitian yang membandingkan opioid dengan obat lain (seperti OAINS, antidepresi,
atau pelemas otot) lebih relevan untuk klinisi dan pasien. Sayangnya, hanya sedikit uji
randomisasi terkontrol dalam hal ini.5 Sebuah uji randomisasi terkontrol pada pasien
dengan osteoartritis menunjukkan tramadol sama efektifnya dan bisa ditolerir seperti
diklofenak. Hasil berbeda didapatkan dari dua uji randomisasi terkontrol pada pasien
dengan nyeri punggung bawah kronik, di mana celecoxib lebih efektif dibanding tramadol
dengan efek samping lebih rendah selama durasi terapi 6 minggu.19 Satu tinjauan
sistematik menemukan oksikodon dan morfin sedikit lebih efektif dibandingkan
antidepresi atau OAINS untuk pengurangan nyeri dalam dua penelitian. Namun tidak
ditemukan perbedaan antara propoksifen, kodein, atau tramadol dengan non opioid dalam
6 penelitian.6 Kekuatan bukti ilmiah dari studi-studi ini lemah secara keseluruhan, namun
menunjukkan OAINS mungkin memiliki efek analgesik antara tramadol dan opioid yang
lebih kuat, dengan efek serupa terhadap fungsi.5 Uji head-to-head lain pada kondisi
penyakit muskuloskeletal yang bervariasi dibutuhkan lebih banyak untuk menilai
perbandingan terapi opioid dengan non opioid ini.19

28
Opioid jangka pendek dibanding jangka panjang

Terapi opioid jangka panjang didefinisikan sebagai terapi yang bertahan minimal 90 hari
dalam dosis harian atau hampir setiap hari.8 Penilaian efektivitas terapi opioid jangka
panjang lebih terbatas daripada jangka pendek karena kurangnya studi jangka panjang
yang berkualitas tinggi.7 Hanya ada sedikit studi tentang penggunaan opioid lebih lama
dari 8-12 minggu. Studi tahun 2003 menemukan bahwa opioid sama efektifnya pada
pasien yang diterapi dengan opioid jangka panjang dibandingkan yang diterapi dengan
opioid jangka pendek, sehingga menunjukkan bahwa toleransi yang signifikan tidak
terjadi pada pasien-pasien ini.2 Tinjauan Cochrane tahun 2010 terhadap terapi opioid
jangka panjang untuk nyeri kronik non kanker (minimal terapi 6 bulan) menyimpulkan
bahwa bukti reduksi nyeri dengan opioid jangka panjang lemah, sementara kualitas hidup
dan perbaikan fungsional tidak jelas.1

Tinjauan sistematik terbaru dari Annals of Internal Medicine tahun 2015


menunjukkan belum ada studi terapi opioid versus tanpa opioid mengevaluasi hasil
jangka panjang lebih dari 1 tahun dalam hal nyeri, fungsi, kualitas hidup, penyalahgunaan
opioid, atau adiksi. Bahkan, beberapa studi observasional berkualitas sedang sampai
tinggi menunjukkan bahwa terapi opioid berhubungan dengan peningkatan risiko
penyalahgunaan opioid, overdosis, fraktur, infark miokard, dan disfungsi seksual. Peneliti
menyimpulkan bahwa tidak ada cukup bukti untuk menentukan efektivitas terapi opioid
jangka panjang dalam memperbaiki nyeri kronik dan fungsi. Bukti justru mendukung
adanya risiko bahaya yang serius tergantung dari dosis yang digunakan.20

Opioid kerja pendek dibanding kerja panjang

Bukti bahwa opioid kerja panjang berbeda dengan kerja pendek tidak ditemukan secara
signifikan.7 Dari 7 penelitian (2 berkualitas tinggi), tidak ditemukan perbedaan yang jelas
dalam manfaat atau bahaya antara opioid sustained atau immediate release. Dari 6
penelitian (3 berkualitas tinggi), tidak ditemukan perbedaan jelas dalam manfaat atau
bahaya antara tramadol extended, sustained atau immediate release.6

29
Kesimpulan

Kebanyakan studi secara konsisten menunjukkan bahwa opioid efektif untuk mereduksi
intensitas nyeri kronik non kanker.19 Opioid lebih efektif dibanding plasebo terhadap
nyeri dan fungsi, tidak memandang tipe opioid (kuat atau lemah) atau mekanisme
nyerinya (nosiseptif atau neuropatik). Namun, opioid tampaknya memberikan hasil yang
lebih nyata terhadap nyeri dibandingkan fungsi.16

Nyeri neuropatik perlu diperhatikan karena sering menjadi komponen nyeri


persisten pada kelainan reumatologi. Berlawanan dengan opini sebelumnya bahwa opioid
tidak efektif untuk nyeri neuropatik, ternyata opioid dapat menurunkan nyeri neuropatik.2
Metaanalisis menunjukkan efikasi opioid pada nyeri neuropatik, walaupun kebanyakan
pedoman menjadikan opioid hanya sebagai terapi lini kedua atau ketiga untuk nyeri
tersebut karena profil perbandingan manfaat dan kerugiannya.19

Ringkasan bukti ilmiah dari efektivitas opioid berdasarkan tipe nyerinya


disimpulkan sebagai berikut:8,16

1. Nyeri nosiseptif
Opioid menunjukkan manfaat kecil sampai sedang untuk memperbaiki fungsi dan
mengurangi nyeri dalam jangka waktu terapi  3 bulan. Respon pasien umumnya
diperoleh dengan opioid dosis menengah setelah kegagalan terapi non-opioid atau
manajemen lainnya.
2. Nyeri neuropatik
Opioid menunjukkan manfaat kecil sampai sedang. Pasien dengan nyeri neuropatik
dapat memerlukan opioid dosis lebih tinggi, dengan kombinasi antidepresi trisiklik
atau antikonvulsan.

Efek manfaat diukur mayoritas peneliti menggunakan tiga tingkat dari Cohen, yaitu:16

1. Kecil : beda rata-rata < 10% dari skala nyeri


2. Sedang : beda rata-rata 10-20% dari skala nyeri
3. Besar : beda rata-rata >20% dari skala nyeri

30
Sasaran terapi opioid

Sebelum memulai terapi opioid, dokter harus mendiskusikan dengan pasien tentang
harapan yang realistik. Sasaran terapi opioid untuk nyeri kronik non kanker jarang
mencapai eliminasi nyeri, namun targetnya adalah penurunan intensitas nyeri atau
perbaikan fungsi yang bermakna.8 Oleh karena itu, digunakan konsep minimum clinically
important difference (MCID), yaitu derajat minimal yang diterima dalam penurunan
severitas nyeri dan perbaikan fungsi sesuai laporan pasien. Pendekatan yang ideal yaitu
MCID dalam nyeri maupun fungsi mencapai perbaikan 20-30% dan jika memungkinkan
digunakan kedua-duanya.4 Penilaian ini dihitung berdasarkan indeks seperti skala nyeri
numerik (0-10) dan asesmen fungsional Oswestry Disability Index (0-50). Untuk
pedoman klinis, digunakan pengurangan nyeri yang bermakna klinis minimal 30%
dan/atau perbaikan fungsi 30% lebih.8,16

Ketika telah dibuat keputusan untuk penggunaan opioid jangka panjang, aturan
terapi harus diterangkan sejelas-jelasnya dan dianjurkan pembuatan surat persetujuan
yang ditandatangani pasien dan dokternya.2,10 Informasi yang diberikan termasuk risiko
ketergantungan obat, opioid induced hyperalgesia, dan toleransi.19 Konsekuensi dari
persetujuan ini termasuk aturan satu dokter yang membuat resep dan satu farmasi yang
ditunjuk, skrining obat dari urin/serum jika diminta, tidak ada refill awal dan tidak ada
peresepan obat lewat telpon, serta jika obat hilang atau dicuri, diperlukan laporan polisi
untuk mendapat resep tambahan.8

Uji coba terapi opioid

Terapi opioid merupakan uji coba terapeutik. Uji coba terapi opioid terdiri dari 3 fase
yaitu inisiasi, titrasi, dan pemeliharaan (gambar 10).15

 Inisiasi : memilih opioid dan dosisnya yang sesuai untuk pasien secara individual,
setelah mempertimbangkan informasi dari asesmen komprehensif sebelumnya.
 Titrasi : penyesuaian dosis untuk mencapai hasil yang diinginkan (reduksi nyeri,
perbaikan fungsi, dan kepuasan pasien dengan efek samping minimal/bisa ditolerir).
 Pemeliharaan : dosis harian yang dibutuhkan pasien untuk tetap relatif stabil.

31
Gambar 10. Terapi opioid, titrasi sampai mencapai efek yang diinginkan15

Pada nyeri kronik, opioid tambahan dapat dipertimbangkan untuk rescue pain,
breakthrough pain, dan incident pain.15

 Rescue pain : analgesia yang tidak cukup selama titrasi dosis


 Breakthrough pain : eksaserbasi nyeri kronik yang tidak bisa diprediksi pada pasien
dalam terapi opioid dengan dosis pemeliharaan yang stabil
 Incident pain : eksaserbasi nyeri kronik yang berhubungan dengan aktivitas yang bisa
diprediksi pada pasien dalam terapi opioid dengan dosis pemeliharaan yang stabil

Fase inisiasi

Pada fase inisiasi uji coba terapi opioid, mulailah dengan preparat dosis rendah dan kerja
pendek.8,16 Dokter harus mengikuti prinsip bahwa dosis opioid diusahakan serendah
mungkin atau ALARA (as low as reasonably achievable) untuk memperoleh efektivitas
terapi tanpa disertai efek samping mayor.8 Khususnya, pasien berusia lebih dari 70 tahun
memiliki metabolisme yang menurun dan waktu eliminasi opioid memanjang sehingga
dosis awal harus diturunkan 25-50%.2

Pemilihan jenis dan dosis opioid harus didasarkan pada karakteristik obat dan
severitas nyeri pasien. Pasien dengan nyeri persisten konstan dan intensitas sedang (4-6
pada skala nyeri 0-10) sering berhasil dengan dosis around the clock menggunakan
kodein, dihidrokodein, hidrokodon, oksikodon sustained-release, atau morfin dosis
rendah. Hidromorfon, morfin dosis lebih tinggi, metadon, dan fentanil transdermal
biasanya digunakan untuk nyeri berat (7-10 pada skala nyeri 0-10). Walaupun ada banyak

32
usaha farmasi dalam mempengaruhi dokter untuk meresepkan obat tertentu, tidak ada
data yang membuktikan superioritas dari segi efektivitas maupun efek samping dari
masing-masing preparat opioid. Karena variabilitas respon individu terhadap obat, maka
yang harus mengarahkan klinisi adalah respon pasien terhadap efek analgesia dari opioid
yang dipilih.2 Tabel 7 dapat membantu klinisi untuk memilih opioid yang paling sesuai.16

Tabel 7. Pendekatan bertahap untuk pemilihan opioid16

Jika nyeri dialami pasien hampir sepanjang hari, terapi seharusnya dijadwalkan
dengan dosis teratur daripada diberikan hanya jika nyeri.2 Opioid sering dikombinasikan
dengan asetaminofen dalam terapi nyeri. FDA menyatakan bahwa dosis maksimum
harian untuk asetaminofen kurang dari 4000 mg untuk nyeri akut dan 2000 mg/hari untuk
nyeri kronik, yang dianut oleh pedoman nyeri kronik dari American Society of
Interventional Pain Physicians (ASIPP) 2012. Dosis lebih rendah direkomendasikan
secara khusus untuk kombinasi tramadol dan asetaminofen, serta pasien dengan gangguan
hati dan alkoholik.8

Fase titrasi

Titrasi opioid dilakukan sampai mencapai dosis terapi yang efektif. Terapi dikatakan
efektif bila pasien melaporkan perbaikan nyeri dan/atau fungsi dengan efek samping yang
minimal. Fase titrasi ini dapat mencakup penyesuaian dosis menjadi lebih tinggi atau
lebih rendah, rotasi opioid, atau bahkan penghentian opioid melalui tapering.15

Tabel 8 dapat menjadi acuan untuk melakukan titrasi dosis opioid pada nyeri
kronik non kanker.16 Titrasi ke dosis lebih tinggi perlahan-lahan untuk meminimalkan
toksisitas, memberi kesempatan pasien mentolerir efek samping, dan menemukan dosis

33
efektif paling minimal. Titrasi yang terlalu cepat dapat melebihi kemampuan pasien untuk
mentoleransi opioid dan menyebabkan komplikasi serius seperti depresi pernafasan.15
Dosis awal opioid dititrasi ke dosis lebih tinggi setiap 2-4 minggu tergantung reduksi
nyeri atau timbulnya efek samping. Secara umum, periode titrasi lamanya sekitar 3 bulan
untuk mencapai dosis yang diperlukan.2

Tabel 8. Dosis opioid oral untuk nyeri kronik non kanker16

Satu jenis opioid harus dititrasi naik terlebih dahulu sebelum rotasi ke opioid lain
supaya membatasi efek samping. Jangan menggunakan opioid kerja panjang atau
controlled release untuk titrasi ke dosis lebih tinggi. Mulai titrasi dengan preparat kerja
pendek untuk menentukan dosis harian total yang diperlukan. Kemudian ganti dengan
preparat kerja panjang pada 50% atau kurang dari konversi dosis ekuianalgesik yang
diikuti dengan titrasi ke dosis lebih tinggi untuk mengatasi nyeri dengan adekuat. Dosis
tambahan untuk rescue pain diberikan sebesar 10-15% dari dosis harian total dalam
bentuk preparat jangka pendek.2

Rotasi ke opioid lain dapat dilakukan pada kasus dengan efek samping yang tidak
bisa ditolerir atau efektivitasnya tidak adekuat.19 Jika hal ini terjadi, opioid dirotasi
dengan mengambil keuntungan toleransi silang yang tidak sempurna antar berbagai
opioid. Ada 2 cara rotasi opioid. Pertama, ganti ke opioid baru dengan 1/3 sampai 1/2
dosis ekuianalgesik opioid yang sekarang (sambil menggunakan preparat kerja pendek

34
untuk breakthrough pain) dan naikkan dosis opioid baru sampai target efektif dapat
ditentukan. Alternatifnya, turunkan opioid yang sekarang sampai ½ dosis dan tambahkan
opioid baru dengan ½ dosis ekuianalgesik selama beberapa hari sambil memantau efek
analgesik sebelum benar-benar menggantinya.2 Rotasi opioid sering dilakukan untuk
nyeri kronik akibat kanker, namun efektivitasnya dalam nyeri kronik non kanker belum
diketahui. Semakin banyak literatur menunjukkan bahwa rotasi opioid dapat berkontribusi
terhadap peningkatan insiden fatal terkait opioid.7 Perlu diperhatikan bahwa variabilitas
antar individu membuat hasil rotasi opioid tidak dapat diprediksi.2

Fase pemeliharaan

Setelah mencapai dosis terapi opioid yang stabil dalam 8-12 minggu, penting untuk
membuat kesimpulan apakah obat ini sebaiknya dilanjutkan atau dihentikan. Terapi
opioid dilanjutkan jika analgesia dan status fungsional yang diharapkan tercapai. Syarat
minimalnya adalah perbaikan nyeri 30% dan/atau perbaikan aktivitas 30%, tanpa disertai
penyalahgunaan atau efek samping mayor.8 Tujuan fase pemeliharaan adalah
mempertahankan kontrol nyeri dan/atau perbaikan fungsi dengan terapi opioid rutin.15
Hal lain yang perlu diperhatikan adalah mayoritas pasien dengan nyeri osteoartikular
kronik mengalami physical deconditioning dan perlu program rehabilitasi progresif ketika
nyeri telah cukup berkurang sehingga aktivitas fisik bisa dilakukan.10 Pasien yang
mengalami breakthrough pain dapat diberikan tambahan opioid onset cepat dan kerja
pendek sebesar 10-15% dari dosis opioid harian.2 Tabel 9 menunjukkan dosis
pemeliharaan opioid yang direkomendasikan.8

Nyeri kronik non kanker dapat ditangani secara efektif pada mayoritas pasien
dengan ekuivalen dosis morfin  200 mg/hari.16 (Ekuivalen dosis morfin 40 mg dianggap
dosis rendah, ekuivalen morfin 41-90 mg dianggap dosis sedang, > 91 mg morfin
dianggap dosis tinggi).8 Dosis opioid total melebihi ekuivalen morfin 100 mg
berhubungan dengan peningkatan risiko overdosis dan harus segera dipertimbangkan
untuk tapering atau rujuk pada spesialis nyeri.11

35
Tabel 9. Terapi opioid yang direkomendasikan dalam fase awal dan pemeliharaan8

Terapi opioid jangka panjang tidak harus dilihat sebagai terapi sepanjang hidup.
Keputusan menghentikan terapi seringkali lebih tepat daripada mempertahankan opioid.
Hentikan opioid jika sasaran tidak tercapai atau timbul penyalahgunaan obat. Opioid
harus dihentikan dengan tapering untuk menghindari gejala withdrawal.19

Kapan untuk merujuk pasien pada spesialis nyeri atau program nyeri multidisiplin

Dokter ahli penyakit dalam maupun ahli reumatologi dapat menjadi frustrasi dalam
perawatan gangguan nyeri kronik ketika penanganan etiologi nyeri tidak sepenuhnya
menghilangkan keluhan pasien. Kompleksitas medis, psikologis, dan sosioekonomis pada
pasien sering menciptakan tuntutan yang intens bagi klinisi.10 Klinisi secara individu
sering tidak mempunyai keterampilan dan pengetahuan spesialistik multipel untuk
mengkaji seluruh dimensi nyeri kronik pada pasien. Oleh karena itu, pasien yang
memiliki faktor psikologis dan sosioekonomis yang cukup dominan dalam nyeri
kroniknya lebih baik ditangani oleh tim multidisiplin. Pusat spesialis nyeri harus memiliki
tim multidisiplin dari spesialis medis, termasuk untuk terapi medis intensif, neurologi,
psikologi, dan fisioterapi.2

36
BAB VI

EFEK SAMPING OPIOID

Efek samping opioid secara umum

Efek samping yang umum diketahui dari opioid termasuk : konstipasi, pruritus, depresi
pernafasan, mual, muntah, penurunan pengosongan lambung, disfungsi seksual, kekakuan
otot dan mioklonus, gangguan tidur, pireksia, performa psikomotor yang menurun,
gangguan kognitif, hiperalgesia, dizziness, sedasi, depresi napas, kematian, dan interaksi
dengan banyak obat. Semua ini menggambarkan bahwa opioid berpengaruh pada banyak
sistem organ.7 Walaupun begitu, mayoritas efek samping membaik saat terapi dilanjutkan
dan dosis disesuaikan. Opioid dosis rendah disertai komplikasi yang lebih sedikit.8 Tidak
ada bukti kuat bahwa preparat satu opioid mempunyai efek samping lebih rendah
dibanding yang lain, kecuali meperidin.2 Tabel 10 menggambarkan efek samping yang
paling umum terjadi dengan opioid.16

Tabel 10. Efek samping opioid yang signifikan dibandingkan dengan plasebo16

Walaupun secara umum tidak ada kontraindikasi absolut untuk penggunaan opioid
dalam manajemen nyeri kronik non kanker, kewaspadaan diperlukan untuk
meminimalisir efek samping dan risiko. Efek samping yang paling sering adalah
konstipasi, dialami sekitar 40% pasien yang menggunakan opioid untuk nyeri kronik non
kanker.19 Regimen termasuk meningkatkan asupan cairan dan serat, stimulan usus seperti
bisakodil, atau laksatif osmotik seperti laktulosa seringkali efektif untuk konstipasi.7,10
Laksatif yang bersifat bulk-forming, seperti psillium dan metilselulosa, harus dihindari
karena dapat menyebabkan obstruksi pada pasien yang diterapi opioid.10 Konstipasi dapat
menjadi masalah besar pada mayoritas pasien secara signifikan dengan adanya paparan
opioid terus-menerus. Sebagai konsekuensinya, dokter harus mempertimbangkan regimen

37
untuk usus dari awal sebelum timbulnya konstipasi dan seterusnya setelah timbul
konstipasi.8

Efek samping sedasi biasanya sementara.10 Namun demikian, efek sedasi dan
dizziness tampaknya berkontribusi dalam peningkatan kejadian jatuh dan fraktur yang
berhubungan dengan dosis, khususnya pada lanjut usia. Sedasi dapat juga berkontribusi
terhadap kemungkinan peningkatan risiko kecelakaan kendaraan bermotor pada
pengendara yang menggunakan opioid, dengan peningkatan relatif 20-50%. Pasien yang
menerima opioid jangka panjang (dosis rata-rata ekuivalen morfin 60 mg) untuk nyeri
menunjukkan penurunan waktu reaksi, perhatian, dan kecepatan psikomotor dalam tes
laboratorium.5

Efek nausea biasanya menghilang dalam 2-3 minggu, tetapi dapat diterapi dengan
hydroxyzine atau prochlorperazine supositoria. Retensio urin biasanya sementara, namun
dosis harus diturunkan, atau opioid lain harus digunakan. Pruritus dapat diakibatkan dari
pelepasan histamin oleh sel mast dan mungkin membutuhkan penggantian ke opioid
lain.10 Studi kohort pasien tanpa diagnosis depresi yang memulai terapi dengan opioid
mengarahkan kemungkinan depresi meningkat selama terapi dan risiko lebih besar
dengan durasi terapi yang lebih panjang.5

Terapi opioid jangka panjang dapat berhubungan dengan efek samping endokrin
penting, yaitu hipogonadisme yang dikenali mulai 1970an. Mekanismenya adalah supresi
sekresi gonadotropin releasing hormone oleh hipotalamus yang kemudian mensupresi
gonadotropin hipofisis, dan akhirnya menurunkan sintesis steroid seks di testis dan
ovarium. Penurunan kadar testosteron telah dilaporkan pada pria yang menerima
analgesik opioid kerja panjang atau opioid minimal 1 tahun. Amenorea atau oligomenorea
dapat terjadi pada wanita premenopause yang menerima terapi opioid dimana kadar
testosteron dan estradiol menurun. Estimasi prevalensi hipogonadisme dengan terapi
opioid berkisar dari 0% (uji terandomisasi jangka pendek kecil) sampai hampir 90%
(pasien yang diseleksi pada opioid kerja panjang).5 Efek negatif endokrin ini dikenal
sebagai opioid induced androgen deficiency (OPIAD) dengan data terkini mengarahkan
angka lima juta pria mengalami OPIAD di Amerika Serikat.19 Gejala yang dapat
bermanifestasi pada pasien dengan OPIAD termasuk penurunan libido, disfungsi ereksi,
lelah, hot flashes, dan depresi. Temuan lain yang dapat termasuk juga penurunan rambut

38
di kepala dan tubuh, anemia, penurunan massa otot, peningkatan berat badan, osteopenia,
atau osteoporosis.7

Komplikasi yang lebih serius termasuk depresi nafas dan kematian, yang dapat
terjadi ketika dosis awal terlalu tinggi, opioid dititrasi terlalu cepat, atau opioid
dikombinasi dengan obat lain seperti benzodiazepin yang berhubungan dengan depresi
nafas atau yang dapat mempotensiasi depresi nafas diinduksi opioid atau penyalahgunaan
opioid dengan atau tanpa obat lain. Pasien dengan sleep apnea atau kondisi paru lain
dapat memiliki risiko lebih tinggi untuk depresi nafas dan opioid harus dimulai, dititrasi,
dan dimonitor ketat dengan dosis serendah mungkin.7

Opioid merupakan depresan pernafasan yang poten, dan overdosis adalah


penyebab utama pada orang-orang yang menggunakannya. Di seluruh dunia, diestimasi
69.000 orang meninggal dari overdosis opioid tiap tahun. Jumlah overdosis opioid
meningkat dalam tahun-tahun terakhir, sebagian karena peningkatan penggunaan opioid
dalam manajemen nyeri kronik. Tahun 2010, diestimasi 16.651 orang meninggal dari
overdosis opioid yang diresepkan di Amerika Serikat. Overdosis opioid dapat diobati
dengan nalokson, antagonis opioid yang cepat membalikkan efek opioid. Kematian
biasanya tidak langsung terjadi, dan pada mayoritas kasus, overdosis disaksikan oleh
anggota keluarga atau teman yang kontrak dengan orang yang menggunakan opioid.14

Opioid menekan dorongan untuk bernafas dan overdosis ditandai oleh apnea,
miosis, dan stupor. Laju pernafasan yang sangat menurun menyebabkan hipoksemia,
sehingga terjadi hipoksia serebral dan gangguan kesadaran. Henti jantung adalah
komplikasi lanjut dari overdosis opioid dan akibat dari henti nafas dan hipoventilasi.
Hipoksia serebral yang lama adalah mekanisme cedera otak dan kematian pada overdosis
opioid, hasil dari apnea atau disritmia kordis dan henti jantung.14

Beberapa pedoman merekomendasikan opioid sebagai pilihan yang lebih aman


dibanding OAINS untuk nyeri pada pasien yang berusia lanjut (terutama 75 tahun ke
atas), mengingat risiko gastrointestinal, ginjal, dan kardiovaskular yang berhubungan
dengan OAINS. Namun, studi kohort menemukan mortalitas karena semua penyebab
lebih tinggi di antara orang berusia lanjut yang menggunakan opioid untuk artritis
dibanding dengan OAINS. Angka penyakit jantung, fraktur, dan obstruksi usus secara
khusus tinggi antar pengguna opioid. Jadi, perbandingan keamanannya tetap tidak pasti.5

39
Problem lain dalam terapi opioid jangka panjang

Problem yang paling sering dilaporkan pasien adalah hilangnya analgesia. Keluhan ini
memiliki diagnosis banding termasuk:2

1. Progresi dari penyakit yang mendasari dengan peningkatan nosiseptif perifer atau ada
problem baru dengan peningkatan inflamasi, tumor, proses neuropati, fraktur
osteoporotik
2. Timbulnya ansietas atau depresi
3. Perubahan kognitif dalam persepsi nyeri atau pelaporan adanya demensia atau
delirium
4. Toleransi opioid (jarang)
5. Timbulnya penyalahgunaan, adiksi, atau maksud kriminal

Toleransi opioid didefinisikan sebagai penurunan efek opioid dalam dosis tetap
yang digunakan terus-menerus, sehingga mengakibatkan perlunya peningkatan dosis
untuk mencapai efek yang sama. Toleransi terhadap kebanyakan efek samping opioid
(depresi nafas, sedasi, nausea) sudah menjadi hal yang umum, sementara toleransi
analgetik jarang merupakan penyebab dari kegagalan terapi opioid.2,3

Ketergantungan opioid adalah sindrom withdrawal yang karakteristik terjadi saat


penghentian opioid tiba-tiba (atau penurunan dosis cepat dan/atau pemberian antagonis
opioid).3 Sindrom withdrawal opioid ditunjukkan berupa flu-like syndrome dengan
rinorea, lakrimasi, batuk, bersin, hipertensi, takikardi, menggigil, berkeringat, piloereksi,
menguap, mialgia, kram perut dan diare, gelisah, dan iritabilitas.2 Ketergantungan fisik
dihasilkan dari bagian otak yang mengontrol fungsi somatik, khususnya di locus cereleus.
Ketergantungan psikologis merujuk pada efek emosional yang tidak menyenangkan
termasuk anhedonia, disforia, dan craving.5 Dosis dan atau durasi terapi opioid yang
menimbulkan ketergantungan belum dapat ditentukan untuk pasien dengan nyeri sedang
sampai berat.2 Namun bukti dari uji klinis terapi nyeri punggung menunjukkan bahwa
ketergantungan dapat timbul hanya dalam 1-3 bulan penggunaan opioid harian.5

Pada opioid kerja pendek, sindrom withdrawal dapat mulai terjadi dalam 12-24
jam dari dosis terakhir dan puncaknya pada 48-72 jam. Fase kedua terjadi kemudian
dengan insomnia, iritabilitas, dan mialgia selama 2-6 bulan. Dengan opioid kerja panjang
seperti metadon, gejala withdrawal bisa saja tidak terjadi dalam beberapa hari, tetapi bisa

40
bertahan beberapa minggu sampai sebulan. Gejala withdrawal opioid tidak fatal, berbeda
dengan sindrom withdrawal alkohol. Gejala ini dapat dihindari dengan menurunkan dosis
opioid 10-15% tiap 2-3 hari selama periode 2-3 minggu. Klonidin 0,2-0,4 mg dapat
menurunkan gejala withdrawal.2

Penyalahgunaan yang diteliti oleh Drug Abuse Warning Network Data (DAWN)
menunjukkan bahwa kodein dan opioid potensi rendah lain memiliki rasio
penyalahgunaan yang rendah. Tramadol juga memiliki risiko adiksi rendah, dan studi
eksperimental menunjukkan bahwa efek psikoaktif lebih sedikit dibanding opioid lain.
Bagaimanapun juga, baik tramadol maupun kodein tidak dapat ditoleransi mayoritas
pasien dalam jangka panjang. Dalam situasi manajemen nyeri kronik, mayoritas pasien
telah menggunakan obat ini (tramadol dan kodein) dan menolak untuk mencobanya.8

Adiksi opioid adalah sindrom perilaku dan psikologis yang ditandai oleh perilaku
merusak diri sendiri, ketagihan obat, penggunaan kompulsif, perlunya obat untuk efek
psikis dibanding untuk mengurangi nyeri, dan penggunaan opioid terus-menerus
meskipun timbul efek yang membahayakan. Pada kenyataannya, risiko adiksi sangat
rendah pada pasien yang diterapi untuk nyeri.2

Fenomena yang menarik, “pseudoadiksi”, adalah kondisi iatrogenik yang


diakibatkan terapi nyeri persisten yang tidak adekuat. Bila mengatasi nyeri tidak adekuat,
maka akan mendorong pasien untuk menunjukkan perilaku seperti menyalahgunakan obat
karena pasien mencari lebih banyak obat untuk terapi nyeri yang adekuat. Perilaku
mereka menyerupai adiksi tapi dapat diselesaikan bila nyeri diatasi dengan adekuat.2

Beberapa pasien yang menggunakan terapi opioid dapat timbul hiperestesia


generalisata atau meningkatnya sensitivitas terhadap nyeri. Peningkatan nyeri yang
diinduksi opioid secara paradoks ini disebut opioid induced hyperalgesia (OIH).
Tampaknya tidak semua opioid mencetuskan sindrom ini. Opioid fenantren seperti morfin
menghasilkan OIH pada manusia dan binatang, namun derivat piperidin seperti fentanil
atau sufentanil tidak. Metadon adalah agonis murni reseptor mu namun d-isomernya
merupakan antagonis reseptor NMDA. Kemampuan ini membuat metadon sebagai
pilihan baik untuk terapi atau menghindari OIH. Buprenorfin, agonis opioid parsial
dengan ada sifat antagonis, juga merupakan antagonis reseptor kappa dan telah
ditunjukkan efektif untuk terapi hiperalgesia pada eksperimen.2

41
Mekanisme molekular pasti dari OIH belum dapat dimengerti. Banyak mekanisme
yang diajukan untuk OIH, termasuk sistem glutaminergik sentral, dinorfin spinal,
fasilitasi descenden, mekanisme genetik, penurunan reuptake dan peningkatan respon
nosiseptif. Dari semuanya, sistem glutaminergik sentral dipertimbangkan sebagai
kemungkinan yang paling besar.7

Manajemen untuk mencegah dan mengatasi efek samping opioid

Keberhasilan terapi opioid bergantung pada manajemen efek samping yang menjadi
tantangan besar bagi klinisi. Efek samping yang terjadi pada dosis stabil perlu dilihat juga
kemungkinannya bukan karena opioid, namun sebagai komplikasi penyakit yang
mendasari atau kondisi komorbid lain (dehidrasi, hiperkalsemia, hipoksemia, sepsis,
obstruksi usus) atau efek samping obat lain seperti benzodiazepin, antidepresi trisiklik,
kortikosteroid, atau OAINS.2

Tantangan untuk menggunakan terapi analgesik opioid berdasarkan pada


keseimbangan antara dua perhatian kesehatan masyarakat yang penting : respon terhadap
kebutuhan untuk mengurangi nyeri kronik dan mencegah penggunaan berlebih atau salah
dari obat opioid (Gambar 11).4 Formulir kesepakatan terapi antara dokter dan pasien,
skrining risiko penyalahgunaan, dan monitor reguler dari 4A (analgesia, activities of
daily living, adverse side effect, aberrant drug-related behavior) akan menolong untuk
mengedukasi pasien dan membimbing manajemen berdasarkan sasaran terapi.7

Gambar 11. Perbandingan risiko dan manfaat opioid untuk nyeri kronik non kanker4

42
BAB VII

RINGKASAN

Nyeri kronik didefinisikan sebagai nyeri yang menetap lebih dari waktu normal
penyembuhan jaringan dengan asumsi terjadi dalam tiga bulan. Berlawanan dengan nyeri
akut yang merupakan respon pertahanan tubuh, nyeri kronik tidak memiliki manfaat dan
dapat menyebabkan penurunan kesehatan fisik dan mental. Peran nosiseptif, neuropatik,
dan psikogenik pada terjadinya nyeri kronik saling berkaitan satu sama lain. Ketiganya
perlu dikaji dan dikelola secara komprehensif demi perbaikan nyata bagi pasien.

Selama ribuan tahun, opioid dipandang sebagai salah satu obat yang paling efektif
untuk mengatasi nyeri. Obat ini berperan utama dalam terapi nyeri derajat sedang sampai
berat terkait kanker atau penyakit medis berat lainnya. Oleh karena itu, muncul pemikiran
bahwa pasien dengan nyeri kronik non kanker juga bisa mendapat manfaat dari terapi
opioid. Opioid mendeskripsikan semua zat yang bekerja pada reseptor opioid. Walaupun
ada beberapa tipe reseptor, obat opioid umumnya bekerja pada reseptor mu. Saat
diaktivasi, akan terjadi blokade pelepasan neurotransmiter nyeri yang hasil akhirnya
adalah analgesia.

Kebanyakan studi secara konsisten menunjukkan bahwa opioid efektif untuk


mereduksi intensitas nyeri kronik non kanker. Opioid lebih efektif dibanding plasebo
terhadap nyeri dan fungsi tanpa memandang tipe opioid atau mekanisme nyerinya.
Sebelum memulai terapi opioid, dokter harus mendiskusikan dengan pasien tentang
harapan yang realistik. Sasaran terapi opioid untuk nyeri kronik non kanker jarang
mencapai eliminasi nyeri, namun targetnya adalah perbaikan minimal 30% dari nyeri
dan/atau fungsi. Terapi opioid merupakan uji coba terapeutik yang terdiri dari fase
inisiasi, titrasi, dan pemeliharaan. Pemilihan jenis dan dosis opioid harus didasarkan pada
karakteristik obat dan severitas nyeri pasien.

Pedoman praktek klinis mengenai penggunaan opioid untuk nyeri kronik non
kanker diharapkan dapat mencapai terapi yang efektif dan aman serta menurunkan jumlah
penyalahgunaan ataupun overdosis opioid. Rekomendasi umum dari berbagai pedoman
tersebut mencakup : asesmen awal komprehensif, UDS sesuai indikasi, menggunakan
opioid ketika terapi alternatif tidak efektif, memulai opioid dengan dosis efektif terendah,

43
mengimplementasikan persetujuan terapi; memantau kemajuan terapi, dan menghentikan
opioid dengan metode yang aman dan efektif.

Walaupun secara umum tidak ada kontraindikasi absolut dalam penggunaan


opioid sebagai terapi nyeri kronik non kanker, kewaspadaan diperlukan untuk
meminimalisir efek samping dan risiko. Efek samping paling sering berupa konstipasi
yang dapat diatasi dengan regimen termasuk meningkatkan asupan cairan dan serat,
stimulan usus, atau laksatif osmotik. Komplikasi yang lebih serius termasuk depresi nafas
dan kematian dapat terjadi ketika dosis awal terlalu tinggi, titrasi terlalu cepat, atau opioid
dikombinasi dengan obat lain seperti benzodiazepin. Tantangan untuk menggunakan
terapi opioid adalah mencapai keseimbangan antara kebutuhan untuk mengurangi nyeri
kronik dan mencegah efek samping maupun penyalahgunaan opioid. Pemantauan berkala
dari 4A (analgesia, activities of daily living, adverse side effect, aberrant drug-related
behavior) diharapkan dapat membantu dalam manajemen pasien.

44
DAFTAR PUSTAKA

1. Noble M, Treadwell JR, Tregear SJ, Coates VH, Wiffen PJ, Akafomo C, et al. Long-
term opioid management for chronic noncancer pain. Cochrane Database of
Systematic Reviews 2010; (1): CD006605.
2. Mahowald ML, Krug HE. Principles of opioid treatment of chronic musculoskeletal
pain. In: Hochberg MC, Silman AJ, Smolen JS, Weinblatt ME, Weisman MH (eds.)
Rheumatology, 5th ed. 2011. Philadelphia: Mosby Elsevier. p467-484.
3. Rosenblum A, Marsch LA, Joseph H, Portenoy RK. Opioids and the treatment of
chronic pain: controversies, current status, and future directions. Experimental
Clinical Psychopharmacology 2008; 16(5): 405-416.
4. Franklin GM. Opioids for chronic noncancer pain. American Academy of Neurology
2014; 83: 1277-1284.
5. Deyo RA, Von Korff M, Duhrkoop D. Opioids for low back pain. British Medical
Journal 2015; 350: g6380.
6. Chou R, Fanciullo GJ, Fine PG, Adler JA, Ballantyne JC, Davies P, et al. Clinical
guidelines for the use of chronic opioid therapy in chronic noncancer pain. Journal of
Pain 2009; 10(2): p113-130.
7. Manchikanti L, Abdi S, Atluri S, Balog CC, Benyamin RM, Boswell MV, et al.
American Society of Interventional Pain Physicians (ASIPP) guideline for responsible
opioid prescribing in chronic non-cancer pain: part 1-evidence assessment. Pain
Physician 2012; 15: S1-66.
8. Manchikanti L, Abdi S, Atluri S, Balog CC, Benyamin RM, Boswell MV, et al.
American Society of Interventional Pain Physicians (ASIPP) guideline for responsible
opioid prescribing in chronic non-cancer pain: part 2-guidance. Pain Physician 2012;
15: S67-116.
9. Dart RC, Surratt HL, Cicero TJ, Parrino MW, Severtson SG, Bucher-Bartelson B, et
al. Trends in opioid analgesic abuse and mortality in the United States. New England
Journal of Medicine 2015; 372: p241-248.
10. Mahowald ML, Krug HE. Chronic musculoskeletal pain. In: Firestein GS, Budd RC,
Harris ED, McInnes IB, Ruddy S, Sergent JS (eds.) Kelley’s Textbook of
Rheumatology, 8th ed. 2009. Philadelphia: Saunders Elsevier. p963-992.
11. Berland D, Rodgers P. Rational use of opioids for management of chronic
nonterminal pain. American Academy of Family Physicians 2012; 86(3): p252-258.

45
12. Schaible HG. Scientific basis of pain. In: Hochberg MC, Silman AJ, Smolen JS,
Weinblatt ME, Weisman MH (eds.) Rheumatology, 5th ed. 2011. Philadelphia: Mosby
Elsevier. p199-203.
13. Trescot AM, Datta S, Lee M, Hansen H. Opioid pharmacology. Pain Physician 2008;
11: S133-153.
14. World Health Organization. Community management of opioid overdose 2014.
Geneva: WHO. p1-66.
15. The Management of Opioid Therapy for Chronic Pain Working Group. Department of
Veterans Affairs/Department of Defense clinical practice guideline for management
of opioid therapy for chronic pain 2010. p1-160.
16. National Opioid Use Guideline Group. Canadian guideline for safe and effective use
of opioids for chronic non-cancer pain 2010. San Fransisco: NOUGG. p1-126.
17. Scottish Intercollegiate Guidelines Network. Control of pain in adults with cancer: a
national clinical guideline 2008. Edinburgh: SIGN. p1-78.
18. Centers for Disease Control and Prevention. Common elements in guidelines for
prescribing opioids for chronic pain 2013. p1-2.
19. Freynhagen R, Geisslinger G, Schug SA. Opioids for chronic non-cancer pain. British
Medical Journal 2013; 346: f2937.
20. Chou R, Turner JA, Devine EB, Hansen RN, Sullivan SD, Blazina I, et al. The
effectiveness and risks of long-term opioid therapy for chronic pain: a systematic
review for a National Institutes of Health Pathways to Prevention Workshop. Annals
of Internal Medicine 2015; p1-20.

46

Anda mungkin juga menyukai