Anda di halaman 1dari 12

RAGAM DAN LARAS BAHASA

A. Pendahuluan
Bahasa sebagai alat komunikasi sosial dapat digunakan untuk berbagai macam
keperluan. Seorang mahasiswa kadangkala menggunakan ragam bahasa yang berbeda
dalam menyelesaikan tugas-tugasnya. Kadang ia menggunakan ragam tulis ketika
menulis makalah dan menggunakan ragam bahasa lisan ketika presentasi. Ragam bahasa
berhubungan dengan pemakaiannya di masyarakat. Penggunaan bahasa disesuaikan
dengan topik-topik tertentu yang sedang dibicarakan, hubungan antara penutur dan mitra
tutur, dan media yang digunakan ketika berkomunikasi. Dengan demikian, ragam bahasa
dapat berupa ragam bahasa lisan dan tulis. Sementara itu, laras bahasa berhubungan
dengan kesesuaian antara bahasa dengan pemakainya. Dalam hal ini, seseorang dapat
menggunakan bahasa sesuai dengan keperluannya. Misalnya, seorang peneliti akan
menggunakan laras yang berbeda dengan seorang wartawan. Macam-macam laras
bahasa antara lain laras ilmiah, sastra, jurnalistik, dan iklan.

B. Uraian Materi
1. Ragam Bahasa
Penutur bahasa Indonesia sangat luas cakupannya, mulai dari Sabang hingga
Merauke. Berbagai macam kegiatan yang dilakukan oleh penutur bahasa Indonesia juga
sangat beragam. Bahasa Indonesia digunakan untuk tujuan-tujuan tertentu sehingga
setiap kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat menyebabkan tejadinya keragaman
bahasa. Pada dasarnya keberagaman bahasa dapat diklasifikasikan karena adanya
keberagaman sosial dan fungsi bahasa di dalam sebuah masyarakat.
Hartman dan Strok (melalui Rani & Leonie Agustina, 1995: 81) mengklasifikasikan
ragam bahasa berdasarkan: 1) latar belakang geografi dan sosial penutur, 2) media yang
digunakan, dan 3) pokok pembicaraan. Jika kita kaitkan dengan karya tulis ilmiah, maka
salah satu klasifikasi yang digunakan adalah ragam bahasa berdasarkan media yang
digunakan, yaitu bahasa lisan dan bahasa tulis. Ragam lisan berkaitan dengan tuturan
yang diucapkan melalui alat wicara, sedangkan ragam tulis berkaitan dengan bahasa yang
ditulis. Mari kita perhatikan ciri ragam lisan dan tulis berikut ini.
a. Ragam Lisan
Ragam ini terwujud melalui tuturan yang diujarkan oleh pemakai bahasa. Ketika
menggunakan ragam lisan, kita dibantu oleh unsur-unsur paralinguistik, seperti titinada,
tempo, tekanan, kontur, gerak tangan, anggukan kepala, ekspresi mata, dan ekspresi fisik
yang lainnya. Dalam pemakaiannya, ragam bahasa lisan diklasifikasikan ragam bahasa
lisan formal dan nonformal.
Ragam lisan formal dapat kita gunakan untuk kegiatan ilmiah, seperti seminar,
seminar proposal atau hasil penelitian. Selain itu, ragam lisan formal juga digunakan untuk
pidato, pengantar dalam dunia pendidikan, khotbah, rapat resmi, dan kegiatan formal
lainnya. Sementara itu, ragam bahasa lisan nonformal digunakan untuk percakapan
sehari-hari antarteman, di warung kopi, angkringan, pasar, dan kegiatan nonformal
lainnya. Ciri ragam lisan nonformal yaitu banyak menggunakan bentuk ujaran yang
dipendekan. Pilhan kata, struktur morfologi, dan sintaksis pada ragam lisan nonformal
terkadang disisipkan unsur-unsur bahasa daerah.
Berikut ini beberapa ciri yang membedakan antara bahasa lisan formal dan
nonformal. Perbedaan itu dapat kita lihat berdasarkan hal-hal berikut ini.
1) Pelafalan
Pelafalan berkaitan dengan pengucapan kata yang dilakukan oleh penutur. Fonem
dalam bahasa Indonesia keberadaanya sudah sangat jelas. Lafal bahasa Indonesia yang
baik adalah lafal yang tidak lagi menampakkan unsur kedaerahan (Rani & Leonie Agustina,
1995: 262).
Contoh:
tulisan lafal baku lafal tidak baku
dapat [dapat] [dapət]
enam [enam] [ənəm]
kalau [kalaw] [kalo]

1) Penggunaan Kata Sapaan dan Kata Ganti


Penggunaan sapaan dan kata ganti dalam ragam lisan formal dan nonformal
merupakan ciri yang paling terlihat pemakaiannya. Dalam ragam bahasa lisan formal, kita
biasa menggunakan bentuk-bentuk sapaan seperti, Ibu, Bapak, Saudara, Anda, saya,
kamu, sedangkan dalam ragam bahasa lisan nonformal sapaan yang kita gunakan, seperti
lu, ente, gue, ane, dan lainnya.
Contoh:
“Anda harus membaca buku ini!” (lisan formal).
“Elu harus baca buku ini!” (lisan nonformal).
“Silakan Saudara membuat kelompok!” (lisan formal).
“Elu dan temen-temen buat kelompok!” (lisan nonformal).
2) Penggunaan Afiksasi
Penggunaan afiksasi pada bahasa lisan formal, seperti prefiks (awalan), sufiks
(akhiran), dan simulfiks (gabungan awalan dan akhiran) cenderung lengkap, sedangkan
pada bahasa lisan nonformal sebaliknya.
Contoh:
“Adik bermain sepak bola” (lisan formal).
“Adik main sepak bola” (lisan nonformal).
“Siapa yang pintu itu!” (lisan formal).
“Tolong bukain pintu itu!” (lisan nonformal).
“Kamu harus segera menyelesaikantugas ini!” (lisan formal)
“Kamu selesein tugas ini” (lisan nonformal)

3) Penggunaan Unsur Fatik


Unsur fatik (persuasi) sering muncul pada ragam lisan nonformal, misalnya sih,
deh, ops, kok, gitu, yoi, ye, aw dan lainnya, sedangkan dalam ragam lisan formal hal
semacam itu tidak digunakan.
Contoh:
“Kok gitu, ya?” (lisan nonformal).
“Yoi dong” (lisan nonformal).
“Saya sih nggak setuju” (lisan nonformal).

4) Fungtor Kalimat Tidak Lengkap


Salah satu ciri bahasa lisan adalah ketidaklengkapan fungtor-fungtor kalimat,
misalnya tidak munculnya subjek (S) atau predikat (P). Hal ini terjadi karena bahasa lisan
cenderung singkat, cepat, dan ketika terjadi kesalahan dapat langsung diperbaiki. Berikut
ini contoh kalimat tidak lengkap ragam lisan.
Rara : “Kamu sedang menulis apa?”
Aim : “Menulis surat.” (terjadi penghilangan subjek saya)

Naya : “Ibu sedang memasak apa?”


Luna : “Nasi goreng.” (terjadi penghilangan subjek ibu dan predikat sedang
memasak)
b. Ragam Tulis
Pada paparan di awal sudah dijelaskan mengenai ragam lisan dengan segala
macam cirinya. Berdasarkan ciri tersebut, dapat dibedakan antara ragam lisan dengan
ragam tulis. Perbedan yang paling menonjol adalah pada media yang digunakan. Bahasa
pada ragam lisan terealisasi melalui alat wicara si penutur, sedangkan bahasa pada ragam
tulis terealisasi melalui sebuah tulisan. Dalam ragam lisan, kesalahan berbahasa dapat
segera direvisi, sedangkan dalam ragam tulis (jika tulisan sudah dipublikasikan),
diperlukan waktu yang relatif lebih lama untuk memperbaikinya. Hal lain yang sangat
menonjol dalam ragam tulis adalah keterbacaan. Oleh karena itu, di dalam ragam tulis
persoalan pilihan kata (diksi), susunan kalimat, ejaan, dan tanda sangatlah penting.
Penglasifikasian ragam tulis berdasarkan pemakaiannya pada dasarnya sama
seperti ragam lisan. Ragam tulis diklasifikasikan menjadi ragam tulis formal dan ragam
tulis nonformal. Ragam tulis formal digunakan untuk menulis skripsi, tesis, disertasi,
makalah, surat resmi, artikel ilmiah, dan tulisan-tulisan formal lainnya. Sementara itu,
ragam tulis nonformal digunakan untuk menulis sms, status di facebook atau twitter, surat
pribadi, catatan harian, karya sastra, dan sebagainya.
Ciri ragam tulis formal dan nonformal juga hampir sama dengan ciri ragam lisan
formal dan nonformal. Dalam ragam tulis, terutama ragam tulis formal, kita harus tepat
menggunakan bentuk sapaan, afiksasi, dan struktur kalimat. Perbaikan dalam ragam lisan
dengan ragam tulis juga berbeda. Jika terjadi kesalahan pada ragam lisan, kita seketika
bisa memperbaikinya.
Kelasalahan dalam ragam tulis nonformal agak sedikit longgar jika dibandingkan
dengan ragam tulis formal. Kesalahan penulisan pada ragam tulis nonformal memang
biasa terjadi karena digunakan pada situasi informal. Tulisan untuk situasi informal
cenderung singkat, tidak lengkap, banyak terjadi singkatan, penyisipan unsur-unsur
kedaerahan, dan sebagainya. Hal itu akan sangat berbeda dengan ragam tulis formal.
Ketepatan menggunakan diksi, ejaan dan tanda baca, struktur kalimat, dan kohesi dan
koherensi harus benar-benar diperhatikan. Mari kita perhatikan pengunaan diksi, ejaan
dan tanda baca, fungtor kalimat, dan kohesi dan koherensi pada ragam tulis formal.
1) Diksi
Diksi berkaitan dengan pilihan kata. Dalam ragam tulis formal, kosakata yang kita
gunakan adalah kosakata baku. Kesalahan penulisan kosakata kadang dipengaruhi oleh
ragam lisan. Karena hampir setiap hari kita menggunakan ragam lisan, peggunaan ragam
ini kadangkala membawa dampak terhadap pilihan kata dalam ragam tulis. Misalnya, kata
antri (lisan-ragam tulis tidak baku) seharusnya ditulis menjadi antre (tulis baku), apotik
(lisan- ragam tulis tidak baku) seharusanya ditulis menjadi apotek (tulis baku), sholat
(lisan-ragam tulis tidak baku) seharusnya ditulis menjadi salat (tulis baku), sate (tulis tidak
baku) seharusnya ditulis satai (tulis baku), dan masih banyak yang lainnya.
Kosakata bahasa asing yang diserap ke dalam bahasa Indonesia juga menjadi
penyebab kesalahan penulisan kosakata. Dalam karya tulis ilmiah yang berbahasa
Indonesia, penulis terkadang menulis kosakata asing sesuai dengan aslinya. Padahal,
kosakata asing tersebut sebenarnya sudah diserap ke dalam bahasa Indonesia baku,
misalnya,photocopy seharusnya ditulis fotokopi (baku), reality seharusnya ditulis realitas
(baku), extreme seharusnya ditulis ekstrem (baku), mall (tulis tidak baku) seharusnya
ditulis mal (tulis baku). Penulisan kosakata baku dan tidak baku yang sering terjadi ketika
menulis karya ilmiah dapat dilihat pada lampiran 1.
2) Ejaan dan Tanda Baca
Ketepatan menggunakan ejaan dan tanda baca sangat penting ketika kita menulis
karya ilmiah. Ejaan berkaitan dengan pelambangan bunyi bahasa dalam bentuk tulisan,
seperti penggunaan huruf vokal dan konsonan, penggunaan huruf kapital, penulisan
kosakata, penulisan istilah asing dan unsur serapan, dan penggunaan tanda baca.
Pembahasan mengenai penggunaan ejaan dan tanda baca secara mendalam dibahas pada
bab III buku ini.
3) Penggunaan Fungtor Kalimat
Fungtor kalimat berkaitan dengan fungsi kalimat, seperti subjek (S), predikat (P),
objek (O), keterangan (Ket), dan pelengkap (Pel). Dalam kalimat sederhana (ragam tulis
formal), fungsi subjek (S) dan predikat (P) harus muncul. Hal tersebut sangat berbeda
dalam ragam tulis informal karena ada beberapa fungsi yang biasanya dihilangkan.
Contoh:
Tolong kamu hapus tulisan itu! (tulis formal)
Hapus tulisan itu! (tulis nonformal, terjadi penghilangan subjek kamu).
Saya memesan segelas es teh. (tulis formal)
Saya es teh. (tulis nonformal, terjadi penghilangan predikat memesan).
Adik sedang membaca buku di kamar. (tulis formal)
Adik membaca di kamar. (tulis nonformal, terjadi penghilangan objek buku).
Dosen itu sedang mengajar ilmu bahasa. (tulis formal)
Dosen itu sedang mengajar. (terjadi penghilangan pelengkap ilmu bahasa)
4) Kohesi dan Koherensi
Sebuah kalimat memerlukan unsur-unsur pembentuk teks yang berupa alat
kohesi. Alat ini merupakan aspek formal bahasa dan menjadi pemarkah hubungan
antarkalimat dalam wacana yang disusun secara padu dan padat untuk menghasilkan
kalimat, paragraf, dan wacana yang baik. Alwi, dkk., (2014: 427) menyatakan bahwa
kohesi merupakan hubungan antarproposisi yang ditulis secara eksplisit oleh unsur-unsur
gramatikal dan semantik dalam kalimat-kalimat yang membentuk wacana. Dari pernyataan
tersebut dapat disimpulkan bahwa kohesi adalah hubungan antarkalimat dalam wacana
baik dalam strata gramatikal maupun dalam strata leksikal tertentu. Sementara itu,
Halliday & Hasan (1976: 4) mengatakan “The concept of cohesion as a semantic one, it
refers to relations of meaning that exist within the text, and that define it is a text.” Konsep
kohesi merupakan konsep semantik yang mengacu pada relasi makna yang ada dalam
teks dan memberi definisi pada sebuah teks.
Sebagai salah satu unsur pembentuk teks, kohesi dapat berupa penggunaan
unsur bahasa sebagai pemarkah hubungan antarbagian dalam teks. Penggunaan
pemarkah dalam ragam tulis haruslah tepat. Pemarkah hubungan itu antara lain seperti
berikut ini.
a) Hubungan yang menandakan tambahan kepada sesuatu yang sudah disebutkan
sebelumnya, misalnya: lebih-lebih lagi, tambahan, selanjutnya, di samping itu, lalu,
seperti halnya, juga, lagi pula, berikutnya, kedua, ketiga, akhirnya, tambahan pula,
demikian juga.
b) Hubungan yang menyatakan perbandingan, misalnya: lain halnya, seperti, dalam
hal yang sama, dalam hal yang demikian, sebaliknya, sama sekali tidak, biarpun,
meskipun.
c) Hubungan yang menyatakan pertentangan dengan sesuatu yang sudah
disebutkan sebelumnya; misalnya: tetapi, namun, bagaimanapun, walaupun
demikian, sebaliknya, sama sekali tidak, biarpun, meskipun.
d) Hubungan yang menyatakan akibat/hasil; misal: sebab itu, oleh sebab itu, karena
itu, jadi, maka, akibatnya.
e) Hubungan yang menyatakan tujuan, misalnya: sementara itu, segera, beberapa
saat kemudian, sesudah itu, kemudian.
f) Hubungan yang menyatakan singkatan, misal: pendeknya, ringkasnya, secara
singkat, pada umumnya, seperti sudah dikatakan, dengan kata lain, misalnya,
yakni, sesungguhnya.
g) Hubungan yang menyatakan tempat, misalnya: di sini, di sana, dekat, di seberang,
berdekatan, berdampingan dengan.

Koherensi merupakan pertalian antarkata atau kalimat dalam teks. Beberapa


kalimat yang memiliki informasi berbeda dapat dihubungkan sehingga menjadi kalimat
yang padu. Sebagai bagian dari sebuah teks, koherensi berfungsi untuk melihat
bagaimana seorang penulis dapat menjelaskan sebuah fakta atau peristiwa melalui tulisan.
Kita dapat memanfaatkan piranti kohesi untuk mewujudkan sebuah tulisan yang koheren.
Proposisi ”Sikap kritis mahasiswa Indonesia” dan ”Kehidupan politik di Timur Tengah”
merupakan dua hal yang berbeda. Dua hal yang berbeda tersebut dapat dihubungkan
dalam satu pernyataan yang berupa sebab-akibat sehingga kalimatnya menjadi ”Sikap
kritis mahasiswa Indonesia tidak mempengaruhi kehidupan politik di Timur Tengah ”.
Dengan demikian, makna kalimat dapat dipahami melalui proposisi-proposisi yang
dibangun secara utuh dan padu. Keutuhan dan kepaduan ini oleh penulis/pembicara
dimanfaatkan untuk memudahkan penafsiran informasi bagi pembaca.

2. Laras Bahasa
Pada bagian atas, kita sudah membahas ragam bahasa. Penentuan ragam bahasa
ini dapat dilakukan berdasarkan media yang digunakan (lisan dan tulis). Hal tersebut
berbeda dengan laras bahasa, jika ragam bahasa ditentukan beradasarkan media yang
digunakan, penentuan laras bahasa dapat dilihat dari segi pemakainya. Dalam praktiknya,
seorang penutur/penulis selain dapat memilih media yang digunakan (ragam), ia juga
dapat menggunakan bahasa sesuai dengan keperluannya (laras). Seorang wartawan
dengan seorang peneliti akan menggunakan laras bahasa yang berbeda karena perbedaan
bidang mereka. Hal ini menunjukkan bahwa bahasa yang digunakan oleh penutur/penulis
harus disesuaikan dengan bidang-bidang tertentu yang menjadi pokok pembicaraan.
Kesesuaian antara bahasa dan fungsi pemakaiannya memunculkan berbagai macam laras
bahasa, seperti: 1) laras ilmiah, 2) sastra, 3) jurnalistik, dan4) iklan. Mari kita perhatikan
berbagai macam laras bahasa tersebut.
a. Laras Ilmiah
Karya ilmiah adalah sebuah karangan yang membahas permasalahan tertentu,
atas dasar konsepsi keilmuan tertentu, dan ditulis dengan menggunakan metode-metode
tertentu (Syamsudin, 1994). Karya ilmiah dapat berisi hasil pemikiran seorang penulis
atas sebuah permasalahan, peristiwa, gejala, dan bisa juga pendapat. Berdasarkan hasil
pemikirannya, penulis karya ilmiah menyusun berbagai informasi menjadi sebuah
karangan yang utuh. Penulis karya ilmiah disebut sebagai penulis bukan pengarang
(Soeseno,1993: 1). Karya ilmiah dapat berupa hasil penelitian, buku, modul, dan artikel
ilmiah. Agar isi karya ilmiah dapat dipahami oleh para pembacanya, maka aspek
kebahasaan dalam karya ilmiah harus diperhatikan. Oleh karena itu, karya ilmiah ditulis
dengan menggunakan laras ilmiah. Perhatikan ciri-ciri laras ilmiah berikut ini (Soeparno,
dkk., 2001: 11).
1) Menggunakan kalimat efektif
a) Bentuk gramatikal singkat, namun memuat pesan yang padat.
Contoh:
Kalimat tidak singkat:
Kakak laki-laki ibu akan berangkat ke Singapura pada bulan Desember
yang akan datang.
Kalimat singkat:
Paman akan berangkat ke Singapura bulan Desember.
b) Tidak menggunakan bentuk-bentuk yang berlebihan (redundan).
Contoh:
Kalimat berlebihan:
Penelitian ini dilakukan agar supaya proses pembelajaran lebih baik.
Kalimat tidak berlebihan:
Penelitian ini dilakukan agar proses pembelajaran lebih baik.
Kalimat berlebihan:
Banyak para guru telah melaksanakan kurikulum 2013.
Kalimat tidak berlebihan:
Para guru telah melaksanakan kurikulum 2013.
c) Memiliki kesepadanan struktur gramatik dan pola pikir.
Contoh:
Kalimat tidak sepadan:
Guru mengambil data di lapangan, kemudian dianalisis sesuai dengan
metode yang digunakan.
Kalimat sepadan:
Guru mengambil data di lapangan, kemudian menganalisis sesuai
dengan metode yang digunakan.
2) Tidak menggunakan bentuk-bentuk bahasa yang ambigu (bermakna ganda).
Contoh:
Kalimat ambigu:
Mobil pegawai baru sedang diperbaiki (yang baru mobilnya atau
pegawainya).
Kalimat tidak ambigu:
Mobil-pegawai yang baru itu itu sedang diperbaiki (mobilnya yang
baru).
Mobil pegawai baru itu sedsang diperbaiki (pegawainya yang baru).
3) Tidak menggunakan bahasa figuratif.
Contoh:
Kalimat dengan bahasa figuratif:
Hasil penelitian ini bagaikan langit dengan bumi dengan penelitian yang
terdahulu.
Kalimat tanpa bahasa figuratif:
Hasil penelitian ini berbeda dengan penelitian yang terdahulu.
4) Tidak menggunakan bentuk-bentuk persona.
Contoh:
Kalimat bentuk persona:
Kita harus menjaga nilai-nilai budaya Jawa.
Kalimat tanpa bentuk persona:
Nilai-nilai budaya Jawa harus dijaga.
5) Memiliki keselarasan antarproposisi dan antarparagraf.
Contoh:
Kalimat yang tidak selaras:
Banyak permasalahan dalam proses pembelajaran. Guru dan
penelitian tindakan kelas (PTK).
Kalimat yang selaras:
Banyak permasalahan dalam proses pembelajaran. Para guru
dianjurkan untuk melakukan Penelitian tindakan kelas untuk
mengatasi permasalahan tersebut.
Selain menggunakan laras ilmiah, bahasa dalam karya tulis ilmiah juga
menggunakan bahasa Indonesia ragam baku. Berikut ini ciri-ciri bahasa Indonesia ragam
baku.
a) Menggunakan awalan me- dan ber-secara eksplisit.
Contoh:
Awalan -me dan ber- tidak eksplisit:
Mahasiswa baca buku referensi dan kemudian diskusi dengan teman-
temannya.
Awalan -me dan ber- tidak eksplisit:
Mahasiswa membaca buku referensi dan kemudian berdiskusi dengan
teman-temannya.
b) Menggunakan kata tugas secara eksplisit.
Contoh:
Kata tugas tidak eksplisit:
Data dianalisis sesuai metode yang digunakan.
Kata tugas eksplisit:
Data dianalisis sesuai dengan metode yang digunakan.
c) Menggunakan kata tugas secara tepat.
Contoh:
Kata tugas tidak tepat:
Pada instrumen penelitian ini adalah human instrument. (seharusnya
tidak menggunakan kata pada)
Kata tugas tepat:
Instrumen penelitian ini adalah human instrument.
Kami berdiskusi tentang sastra Indonesia.
Kami mendiskusikan sastra Indonesia.
d) Tidak menggunakan struktur logika yang rancu.
Contoh:
Struktur logika rancu:
Kami tidak berkomunikasi dalam perjalanan antara Jakarta menuju
Bali.
Struktur logika tidak rancu:
Kami tidak berkomunikasi dalam perjalanan dari Jakarta menuju Bali.
Kami tidak berkomunikasi dalam perjalanan antara Jakarta dan Bali.
e) Menggunakan fungsi kalimat (subjek dan predikat) secara eksplisit.
Contoh:
Kalimat tanpa subjek:
Mempunyai beberapa tujuan.
Kalimat tersebut seharusnya menjadi:
Penelitian ini mempunyai beberapa tujuan.
Kalimat tanpa predikat:
Kepala sekolah, guru, siswa, dan orang tua wali.
Kalimat tersebut seharusnya menjadi:
Kepala sekolah, guru, siswa, dan orang tua wali akan bertemu siang
ini.
f) Menggunakan bentuk-bentuk gramatikal yang tidak berlebihan.
Contoh:
Bentuk gramatikal berlebihan:
Kepadapara segenap tamu undangan dimohon berdiri.
Bentuk gramatikal tidak berlebihan:
Segenap tamu undangan dimohon berdiri.
g) Menghindari bentuk-bentuk singkatan.
Contoh:
Bentuk singkatan:
Gimana cara menggunakan kartu permainan ini?
Tidak disingkat:
Bagiamana cara menggunakan kartu permainan ini? (baku)
h) Menghindari bentuk-bentuk kosakata daerah.
Contoh:
Kalimat dengan kosakata daerah:
Berape jumlah mahasiswe yang dijadikan sampel?
Kalimat tanpa kosakata daerah:
Berapa jumlah mahasiswa yang dijadikan sampel?
i) Menggunakan bentuk terpadu (sintetik).
Contoh:
Bentuk tidak sintetik:
Kejadian itu membuat tentram penduduk kampung.
Bentuk sintetik:
Kejadian itu menentramkan penduduk kampung.

b. Laras Sastra
Setiap kegiatan yang diekspresikan melalui bahasa mempunyai ciri bahasa yang
khusus atau berbeda. Hal ini dapat dilihat dari pilihan kata (diksi), morfologi, dan sintaksis
yang digunakan. Penggunaan bahasa pada laras sastra salah satunya untuk mencapai
nilai estetis. Untuk mendapatkan keindahan kata atau bunyi, kaidah formal bahasa kadang
dikesampingkan. Jika bahasa pada umumnya bermakna lugas, bahasa pada laras sastra
tidak demikian, misalnya, pernyataan”Cara ibu menyayangi anak-anaknya”, jika
diungkapkan dengan laras sastra maka menjadi seperti berikut ini.
Pernah aku ditegur
Katanya untuk kebaikan
Pernah aku dimarah
Katanya membaiki kelemahan
Pernah aku diminta membantu
Katanya supaya aku pandai
......
(Chairil Anwar)
Aturan-aturan kebahasaan pada laras sastra cenderung longgar. Kaidah
kebahasaan formal kadang tidak digunakan. Hal ini dilakukan untuk mencapai nilai estetis
karya sastra.

c. Laras Jurnalistik
Laras jurnalistik digunakan oleh para wartawan ketika menulis berita di media
cetak, seperti koran, majalah, dan tabloid. Sebagai salah satu ragam bahasa, laras
jurnalistik patuh kepada kaidah dan etika bahasa baku (Sumadiria, 2006: 53). Ciri utama
bahasa jurnalistik adalah sederhana, singkat, padat, lugas, jelas, jernih, dan menghindari
kata-kata teknis. Laras jurnalistik memiliki ciri yang khas yang disebut sebagai gaya
selingkung. Namun, dengan adanya gaya selingkung tersebut bukan berarti ragam bahasa
jurnalistik tidak tunduk pada kaidah dan etika bahasa baku. Salah satu pedoman
pemakaian bahasa pers yang diterbitkan oleh Persatuan Wartawan Indonesia (PWI)
berbunyi: ”Wartawan hendaknya selalu ingat bahwa bahasa jurnalistik adalah bahasa yang
komunikatif dan bersifat spesifik. Tulisan yang baik dinilai dari tiga aspek, yaitu: isi, bahasa,
dan teknik persembahan (Sumadiria, 2006).
Berdasarkan pedoman di atas, ragam bahasa jurnalistik adalah salah satu ragam
bahasa yang bersifat kreatif yang patuh pada kaidah bahasa baku. Salah satu hal yang
harus mendapatkan perhatian bahwa bahasa yang digunakan dapat menentukan baik dan
tidaknya sebuah tulisan. Ini berarti bahwa ragam bahasa jurnalistik harus memperhatikan
kaidah yang ada dalam EYD dan juga harus santun.
d. Laras Iklan
Iklan merupakan alat untuk mempromosikan suatu produk. Iklan mempunyai
tujuan agar konsumen membeli produk yang ditawarkan. Salah satu unsur yang harus
diperhatikan dalam iklan adalah penggunan bahasa yang tepat. Bahasa iklan merupakan
bentuk komunikasi satu arah. Hal ini juga dijelaskan oleh Lewis (melalui Ihza, 2013: 70),
ia memperkenalkan konsep AIDA (Attention, Interest, Desire, Action). Melalui bahasa,
konsep ini bertujuan untuk membangkitkan perhatian, daya tarik, minat atau hasrat, dan
tindakan. Konsep AIDA jika ditinjau dari perspektif komunikasi cenderung satu arah
(linear) karena produsen atau pengiklan memiliki peran sebagai komunikator.
Laras iklan merupakan salah satu wujud ragam bahasa jurnalistik yang digunakan
oleh insan pers yang kreatif. Iklan harus memiliki daya informatif persuasif yang kuat.
Oleh karena itu, pembuat iklan harus memilih kata-kata yang menarik untuk para
konsumen.

Dibandingkan dengan ragam bahasa yang lain, bahasa iklan merupakan bahasa yang
khas dan unik. Iklan bertugas meyakinkan orang, menciptakan keinginan dan akhirnya
memotivasi orang untuk bertindak (Bovee, 19: 301). Hal ini terealisasi dalam
penggunaan bahasa iklan yang tendensius, menawan, ramah, dikemas secara
sederhana dan semenarik mungkin sehingga konsumen akan menjatuhkan pilihan pada
produk yang ditawarkan. Bahkan, ada orang membeli barang bukan karena benar-benar
membutuhkan, tetapi karena terpengaruh sebuah iklan yang dilihatnya.

Anda mungkin juga menyukai